13 minute read

SOLUSI

Next Article
SOSIAL

SOSIAL

Vaksin dan Herd Immunity jadi Solusi Menanggulangi Covid-19

Ilustrasi vaksin (Sumber: kompas.com)

Advertisement

Selama pandemi berlangsung, setidaknya ada dua wacana yang diklaim bisa menjadi solusi. Keduanya adalah pembuatan vaksin dan herd immunity. Permasalahan muncul, faktor waktu dan kondisi suatu negara pun berpengaruh. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah keduanya sisi terang penanganan Covid-19?

Sejak kasus pertama dan kedua Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada awal Maret lalu, Indonesia menyatakan keadaan darurat Covid-19. Kebijakan demi kebijakan digelontorkan, mulai dari imbauan penggunaan masker, rapid test massal, dan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, dilansir dari Tirto. id, pada pertengahan April, Pemerintah Pusat memberikan tugas khusus kepada Lembaga Eijkman langsung untuk memproduksi vaksin di bawah satu konsorsium berbagai instansi. Ini adalah tugas sulit. Dunia berkejaran dengan waktu demi menciptakan vaksin yang dapat membunuh virus yang sudah menjangkiti lebih dari 2,5 juta orang (data global per 22 April). Semua pihak menunggu dan bertanya: apakah misi ini sukses? Tak hanya Indonesia yang optimis mencoba membuat Vaksin Covid-19, tiga perusahaan farmasi terbesar

Amerika Serikat, Inovio, Moderna, dan Pfizer kini telah memulai uji klinis, yaitu tahap pertama dalam pengembangan vaksin. Sementara itu, para peneliti di Oxford University yang didukung oleh Pemerintah Inggris mengatakan mereka bertekad untuk memproduksi vaksin pada musim gugur nanti. Namun, pejabat senior WHO (World Health Organization), Dale Fisher menyebut vaksin untuk Covid-19 tidak akan siap hingga akhir tahun depan. Hal ini menunjukkan Lembaga Bio Molekuler Eijkman turut berlomba dengan perusahaan farmasi bermodal besar demi membuat vaksin Covid-19.

Rata-rata pernyataan dari pihak-pihak tersebut ditambah WHO, menyatakan kemungkinan vaksin tersebut siap diedarkan dan didistribusikan pada akhir tahun 2021. Pengembangan dan distribusi massal vaksin secara luas dipandang sebagai cara yang paling mungkin untuk mengendalikan Covid-19. Dilansir kembali dari Tirto. id, baru-baru ini Eijkman mengabarkan akan mengembangkan metode pengelolaan plasma darah yang diambil dari pasien Covid-19. Nama plasma tersebut adalah convalescent, yang diambil antara 2 hingga 4 pekan setelah pasien sembuh. Plasma ini, mengandung antibodi untuk bisa menetralisir virus dan diharapkan bisa membantu pasien-pasien dalam kondisi berat. Di sisi lain, Eijkman harus melayani gelombang besar tes spesimen PCR dari pasien-pasien terduga COVID-19. Mereka minim laboratorium standar bio safety

level 3 karena mayoritas dipakai untuk tes spesimen. Meski demikian, Eijkman masih percaya diri menargetkan vaksin corona bisa diproduksi pada tahun 2021. Selain adanya jangka waktu yang cukup lama untuk mendapatkan vaksin, permasalahan lain datang dari prediksi Penggagas Kongres Diaspora Indonesia, Dino Patti Djalal, yang mengatakan negara-negara berkembang diprediksi kesulitan mendapatkan vaksin untuk Covid-19. Hal ini merujuk kepada produksi vaksin Covid-19 yang masih dalam proses. Sementara itu, seluruh negara membutuhkan vaksin tersebut. “Hak yang dikhawatirkan adalah vaksin itu baru satu tahun mungkin nanti baru bisa difinalkan, lalu diproduksi, dan didistribusikan. Semua negara akan rebutan, dan mungkin yang akan terkena dampak yang paling sulit mendapatkan adalah negara-negara berkembang,” kata Dino dalam konferensi pers secara daring dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Senin (11/5/2020) dilansir Kompas.com. Herd Immunity sebagai Pilihan

Ilustrasi herd immunity (Sumber: Merdeka.com)

Tak hanya vaksin, berbagai solusi berdasar keilmuan hingga keterlibatan budaya masyarakat turut beredar di berbagai sumber informasi. Bahkan, tak sedikit muncul berbagai informasi yang simpang siur mengenai bagaimana kita bisa menghentikan penyebaran dari virus corona ini. Mulai dari meminum air rebusan bawang putih, berjemur pada jam tertentu, sampai terdengar istilah herd immunity.

Istilah herd immunity menjelaskan sebuah situasi tingginya angka di suatu wilayah (misalnya kota, provinsi, atau negara) yang imun (kebal) terhadap suatu penyakit berkat vaksinasi maupun kekebalan tanpa penanggulangan. Biasanya kekebalan ini disebabkan oleh seseorang yang terpapar virus dan mendorong terciptanya antibodi untuk melindungi tubuh dari virus tersebut. Herd Immunity akan tercapai ketika mayoritas penduduk dari suatu daerah sudah kebal terhadap suatu penyakit dan akan menghentikan penyebarannya.

Herd immunity terdengar menjanjikan sebagai solusi dari wabah ini, karena ini adalah salah satu situasi yang memperlambat bahkan menghentikan penyebaran penyakit berbahaya pada suatu populasi.

Dapatkah kita berharap pada herd immunity sebagai solusi dari pandemi ini?

Permasalahan pada herd immunity dan Covid-19 adalah angka imunitas yang

masih sangat jauh untuk mencapai herd immunity. Para ahli memperkirakan suatu wilayah harus memiliki tingkat imunitas sebesar 60% sampai 90% untuk menghentikan penyebaran suatu penyakit. Mayoritas negara terdampak Covid-19 belum mencapai angka 1%, termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan penyebaran virus yang sangat cepat. Namun, herd immunity masih menjadi pertanyaan apakah mampu menangkal penyebaran covid-19 apa tidak. Pasalnya, herd immunity bisa dianggap sebagai mitos dan rencana pembunuhan massal. Pendapat ini dikemukakan oleh ahli penyakit menular Australia, Professor Raina Macintyre. “Wacana herd immunity hanyalah tindakan defensif atau bertahan dan sama halnya dengan pembunuhan massal,” ujarnya pada Suara.com. Selain itu, WHO juga tidak meyakini bahwa pasien yang sembuh mempunyai kekebalan tubuh yang cukup. Dilansir dari suara.com, pejabat WHO, Mike Ryan berpendapat bahwa hanya sepersekian persen dari populasi yang memproduksi antibodi. Namun, bukti-bukti yang ada saat ini tidak mendukung bahwa sebagian besar memiliki antibodi. Sehingga, saat ini herd immunity bukan solusi yang ideal bagi pemerintah. “Salah satu cara agar herd immunity ini berhasil yaitu dengan menciptakan vaksin. Apabila vaksin telah ditemukan dan diuji secara klinis maka gagasan herd immunity bisa diterapkan,” ujar Ryan. (Arnelia Anindya Nariswari, Adeja Dasheva, Ayu Larasati)

Pro Kontra Klorokuin dan Avigan dalam Atasi Covid-19

Ilustrasi Klorokuin (sumber: Riau Pos)

Pemerintah telah mengupayakan beberapa kebijakan demi menghentikan rantai penyebaran virus yang dinyatakan sebagai pandemi bagi seluruh dunia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal ini masih terus diupayakan sebab belum ditemukan obat atau vaksin untuk menyembuhkan pasien yang dinyatakan positif. Presiden Jokowi telah

mengumumkan bahwa akan membeli jutaan obat klorokuin dan avigan. Pemerintah mengatakan bahwa obat tersebut mampu membantu penyembuhan pasien positif corona. Bahkan, obat-obat ini telah digunakan beberapa negara sebagai salah satu upaya dalam mengatasi pandemi.

Beberapa negara seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan sempat menggunakan obat Avigan sebagai upaya untuk mengatasi Covid-19. Bagaimana keefektifan obat ini berdasarkan pengalaman dari negara tersebut? Berdasarkan ulasan dari Nikkei Asian Review, Avigan adalah merek dagang dari favipiravir yang dikembangkan pada tahun 2014 oleh perusahaan Jepang Fujifilm Holdings. Obat ini telah digunakan oleh Cina dan Jepang pada Februari 2020 lalu. Cina menyatakan bahwa obat avigan cukup efektif untuk melawan Covid-19. Dikutip dari detiknews.com, uji klinis pada obat ini pertama kali dilakukan di Wuhan dan Shenen terhadap 200 pasien terinfeksi virus corona. Hasil mengatakan bahwa pasien mampu sembuh dalam kurun waktu sekitar empat hari, sedang pasien yang tidak menggunakan avigan perlu waktu sekitar sebelas hari untuk dinyatakan sembuh. Berbeda dengan Cina, Korea Selatan tidak bisa percaya begitu saja pada efektivitas dari obat avigan. Menurut Kementrian Keamanan Pangan dan Obat-obatan Korea Selatan, belum ada data klinis yang cukup untuk membuktikan kemanjuran dan khasiat dari obat tersebut. Selain itu, efek samping dari avigan ini dapat menyebabkan cacat dan kematian pada janin. Sedangkan Chloroquine merupakan obat yang umumnya digunakan untuk mengobati penyakit malaria. Obat ini digunakan untuk membunuh parasit malaria yang hidup di sel darah merah. Chloroquine juga digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh parasit tipe amoeba dan beberapa penyakit autoimun lainnya seperti lupus. Efek samping dari obat klorokuin ini sangat berbahaya apabila pemakaiannya tanpa resep dari dokter. Dilansir dari www.axios.com, pasangan suami istri berusia 60 tahun asal Amerika Serikat dilaporkan telah mengkonsumsi klorokuin. Konsumsi tersebut menyebabkan sang suami meninggal dunia, sedangkan istrinya dirawat intensif. Banyak spekulasi tentang pembelian kedua obat ini. Sejumlah pakar mengatakan bahwa tidak adanya bukti ilmiah yang cukup bahwa kedua obat tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan Covid-19. Menurut Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Prof Zubairi Djoerban, bahwa belum ada bukti yang cukup kuat obat Avigan dan Chloroquine akan menjadi pilihan untuk kasus Covid-19. Masyarakat diimbau tidak langsung berbondong-bondong membeli kedua obat ini. Setelah adanya pernyataan resmi dari Presiden Jokowi, bukan berarti masyarakat diperbolehkan menggunakan obat tersebut tanpa anjuran dokter. Pemerintah juga mengatakan bahwa obat ini merupakan obat untuk penyembuhan bukan untuk pencegahan, “Saya sampaikan bahwa klorokuin ini adalah bukan obat first line, tetapi obat second line. Karena memang obat Covid-19 ini belum ada dan juga belum ada antivirusnya,” ujar Jokowi dikutip dari Kompas.com (23/3).

(Yuslin Aprilia, Mutiara Elisabeth Carolina, Salma Annisa Rahmah)

Potensi Pasien Sembuh Corona dapat Terkena Kembali

Ilustrasi pasien virus corona dalam masa penyembuhan penyakit Covid-19.(Shutterstock)

Media internasional sempat dihebohkan dengan berita seorang pria di Jepang kembali positif corona setelah dinyatakan sembuh. Hal yang sama juga terjadi di Cina. Tim medis mengungkap 14% pasien virus corona yang telah pulih di Cina kembali terinfeksi dan dinyatakan positif Covid-19 untuk kedua kalinya. Dilansir dari Kompas.com, ahli virologi Spanyol bernama Luis Enjuanes menjelaskan, di antara beberapa kemungkinan virus corona memang membuat orang mengembangkan kekebalan tubuh. “Akan tetapi, respons kekebalan itu tampaknya tidak terlalu kuat. Maka ketika respons kekebalan melonggar, virus yang masih ada di beberapa saluran tubuh muncul kembali,” jelasnya. Pendapat lain diungkapkan oleh Dokter spesialis anak dr. Arifianto dalam talk showonline bertajuk Covid-19 pada Anak: Apa yang Harus Diketahui Orang Tua? yang diselenggarakan oleh Inisiatif Zakat. “Fenomena ini bisa terjadi kemungkinan karena SARS-CoV-2 yang memiliki banyak strain,” ujarnya. Melansir dari Republika.com, Arifianto menjelaskan dengan contoh apabila seseorang terinfeksi SARS-CoV-2 dengan strain “A” kemudian sembuh, dia akan memiliki antibodi sehingga tidak akan kembali sakit akibat virus tersebut. Namun, orang itu masih memiliki kemungkinan untuk sakit akibat infeksi SARS-CoV-2 dari strain “B”, karena strain berbeda maka dia tidak punya kekebalan pada strain baru (B). Kemungkinan berikutnya adalah antibodi yang

terbentuk setelah seseorang terinfeksi SARS-CoV-2 ini hanya memberi kekebalan dalam jangka pendek. Hal ini membuat seseorang yang sudah sembuh bisa terinfeksi kembali oleh virus yang sama setelah perlindungan dari antibodi tersebut tak lagi ada. Sejauh ini pihak otoritas kesehatan belum dapat memastikan apa yang sesungguhnya terjadi pada fenomena tersebut. Pakar kesehatan mengungkapkan hasil salah tes juga bisa menjadi penyebab adanya fenomena ini. “Ada interpretasi yang berbeda-beda serta banyak variabel. Pemerintah perlu bersiaga untuk merespons setiap variabel tersebut,” ungkap Jeong Eun-kyeong profesor kedokteran paru-paru di Rumah Sakit Sacred Heart Universitas Hallym. Penyebaran Covid-19 yang sangat cepat dan masih baru membuat peneliti terus mempelajari lagi tentang Covid 19 karena belum cukup studi yang menjelaskan tentang reaksi sistem imun terhadap virus tersebut. (Novella Candra Wastika)

Petugas medis membawa pasien saat simulasi ke Ruang Isolasi Khusus Kemuning Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Jalan Pasteur, Kota Bandung, Jumat (6/3/2020). Kegiatan tersebut guna melatih keterampilan juga kesiapsiagaan petugas serta peralatan medis dalam menangani pasien virus Covid-19. Sumber : Ayobandung.com/ Kavin Faza

Prediksi Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Politik Pascapandemi

Pandemi Covid-19 saat ini membawa dampak yang begitu masif meliputi berbagai aspek kehidupan. Mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, juga budaya. Perubahan sosial, budaya, dan ekonomi ini terjadi dalam jangkauan luas yang mencakup seluruh dunia. Akibatnya, hampir semua negara tidak bisa menghindar dari dampak yang disebabkan pandemi tersebut. Dari segi sosial, Covid-19 menumbuhkan semangat kebersamaan dalam upaya menghadapi virus corona. Banyaknya penggalangan dana dari berbagai organisasi atau perseorangan menunjukan betapa besarnya rasa kemanusiaan yang ada di antara semua orang. Sifat Covid-19 yang sangat mudah menyebar membuat semua orang harus menerapkan protokol Kesehat-

an, seperti menggunakan masker, rajin mencuci tangan, hidup bersih, dan jaga jarak. Tanpa sadar, hal-hal tadi dapat membuat individu merasakan hubungan yang renggang dan penuh kecurigaan. Kemudian dari bidang politik, adanya pandemi ini merupakan sebuah tantangan bagi pemimpin-pemimpin negara yang tumbang akibat dampak pandemik. Seperti bagaimana ia bisa mengatur jajaran pemerintahan dalam melindungi dan melayani warga negaranya. Pemerintah juga harus bisa menjaga kepercayaan dan legitimasi dari rakyat. Sementara itu, di lihat dari aspek budaya, pertemuan dan perkumpulan yang lazimnya dilakukan secara tatap muka langsung, kini berkumpul bersama bisa dengan memanfaatkan potensi dan sarana digital yang ada melalui telepon, video call, dan video conference. Bahkan, kegiatan seni yang cenderung mengumpulkan banyak orang, kini bisa menggunakan platform berbasis digital. Terakhir adalah bidang ekonomi, sisi yang sangat dikhawatirkan semua masyarakat dunia, terlebih pemerintahannya. Di bidang ekonomi akan terjadi perubahan yang sangat besar, kecenderungan bergeser ke arah digitalisasi di sebagian besar instrumen ekonomi. Kegiatan yang bersifat fisik mau tidak mau bergeser ke arah digital yang banyak menggunakan jasa internet. Unsur-unsur swasta menjadi lemah, sementara negara dipaksa untuk memerankan diri sebagai central power dalam melayani rakyat. Jika berlanjut pandemi ini maka kemungkinan paling buruk adalah ekonomi kapitalis akan lenyap dan tak ada perusahaan multi nasional, juga transnasional. Dalam sebuah catatan Geografer David Harvey pada tulisanya yang berjudul A Companion to Marx’s capital mengatakan: “modal bukanlah benda, melainkan proses yang ada dalam gerak. Ketika sirkulasi terhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh. Tak ada kapitalisme tanpa gerak.”

Dunia Anak Saat dan Setelah Covid-19

Dua siswa sekolah dasar tengah melakukan cuci tangan (foto: UNICEF)

Pada mulanya Andrew Pollard, professor infeksi dan imunitas Universitas Oxford memperkirakan bahwa anak-anak tidak rentan terinfeksi Covid-19. Namun, saat ini para ahli (IDI dan WHO) sepakat bahwa asumsi tadi terbukti keliru. Mereka mengatakan bahwa Covid-19 mungkin menginfeksi orang dari semua usia. Bila ditilik di Indonesia, pemerintah telah menerapkan kebijakan PSBB di berbagai wilayah yang membawa pengaruh besar bagi kehidupan

anak-anak. Pemerintah negara lain pun telah memberlakukan kebijakan serupa berupa pembatasan sosial dan lokalisasi segala jenis kebutuhan dan kegiatan. Hal ini menempatkan anak-anak pada krisis yang fundamental. Krisis tersebut diantaranya krisis gizi, krisis kesehatan, dan krisis pendidikan. Ketiga krisis ini merupakan kebutuhan krusial dalam dunia anak-anak. Menurut survey yang dilakukan, di Indonesia terdapat 115 juta keluarga yang terancam menjadi level menengah kebawah dari segi penghasilan. Berkurangnya penghasilan individu ini akan berdampak pada kemampuannya untuk menyediakan makanan yang bergizi bagi anak-anak. Kekurangan asupan gizi akan mempengaruhi proses tumbuh dan kembang seorang anak. Apabila ia tidak mendapatkan asupan yang cukup maka ia akan tumbuh menjadi generasi stunting, padahal di Indonesia sendiri belakangan sedang menekan angka stunting degan berbagai cara, tetapi karena adanya kondisi yang seperti ini maka upaya pemerintah terebut besar kemungkinan tidak mencapai hasil yang diinginkan. Selain tumbuh menjadi generasi stunting, kekuragan asupan gizi pada anak-anak juga berdampak pada kecerdasan yang ia miliki. Akibat kedua dari penerapan PSBB, adalah terputusnya anak-anak dari pelayanan kesehatan yang optimal. Bahkan, di perbatasan Suriah dan Yordania karena adanya penutupan akses wilayah, mereka benar-benar terputus dari akses Kesehatan. Sehingga ada banyak anak-anak di luar sana yang mungkin sedang sakit tetapi tidak memperoleh pelayanan maksimal. Entah karena rumah sakit yang terbatas, ataupun ketakutan orang tua apabila sampai tertular virus yang mungkin menyebar di rumah sakit. Contoh lainnya di bidang kesehatan juga berimbas pada jaminan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak di bawah umur. Bahkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia diramalkan akan terjadi peningkatan jumlah kematian anak di bawah umur. Akibat perhatian medis yang difokuskan pada penanganan masalah pandemi, setidaknya ada 23 negara yang menunda atau memberhentikan aksi kampanye imunisasi bagi warganya. Tidak kalah penting, anak-anak saat ini juga mengalami krisis pendidikan. Akibat segala hal yang dilakukan dari rumah membatasi anak-anak untuk dapat menempuh pendidikan secara normal di sekolah. Ada beberapa negara yang menerapkan sistem sekolah daring, tetapi kebijakan ini bukan solusi bagi semua pihak, karena tidak semua tempat dan keluarga memiliki akes untuk internet. Kondisi seperti ini dikawatirkan akan menciptakan kesejangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin pada masa yang akan datang akibat perbedaan pendidikan yang dijalani saat usia kanak-kanak. Ada banyak sekali kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Oleh karenanya sangat diperlukan adanya rekonstruksi fundamental bagi kehidupan anak-anak. Rekonstruksi tersebut adalah suatu proses pembangunan yang komperehensif dan mendasar mencakup kesehatan, pendidikan, keamaan, gizi hingga jaminan psikologis mereka. Rekonstruksi fundamental ini tentunya memerlukan waktu yang tidak sedikit. Bahkan selama dekade terakhir pihak UNICEF dan organisasi peduli anak sedunia telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan kehidupan anak-anak yang lebih baik belum sepenuhnya terwujud meskipun sudah banyak peningkatan. Perlu sekali kesadaran dan dukungan dari semua pihak baik keluaga, sekolah, pemerintah, hingga lingkungan sosial untuk turut serta menciptakan dunia yang baik bagi anak-anak. Dengan adanya situasi seperti ini barangkali kita memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk menjamin suatu generasi yang digadang-gadang oleh bangsanya. (Amelia Maulidina, Syiva Pramuji Budi Astuti, Azura Aulia Azahra)

This article is from: