23 minute read
SOSIAL
Pengorbanan Tenaga Medis sebagai Garda Terdepan
Pandemi Covid-19 ini mengakibatkan beberapa sektor di Indonesia terganggu, seperti sektor ekonomi, industri, rumah tangga, UMKM, terlebih kesehatan. Keuangan di Indonesia sedang difokuskan untuk sektor kesehatan dengan cara memaksimalkan dana yang dikeluarkan untuk rumah sakit yang dijadikan sebagai rujukan Covid-19. Selain itu, dana tersebut juga digunakan untuk para tenaga medis dalam penanganan pasien yang terinfeksi virus corona. Sebagai salah satu garda terdepan, para tenaga medis rela berkorban untuk menangani pasien yang terjangkit virus ini. Seperti diketahui, virus corona mudah menyebar dan menular dengan medium berupa droplet yang menyebabkan pasien positif semakin hari semakin bertambah. Tidak sedikit pula pasien yang meninggal setelah terpapar virus ini. Semakin bertambahnya pasien yang positif, maka tenaga medis yang dibutuhkan semakin bertambah pula. Sayangnya, banyak tenaga medis yang akhirnya dinyatakan terpapar Covid-19 diakibatkan adanya beberapa pasien yang tidak jujur. Pasien tersebut enggan mengatakan perihal riwayat perjalanan mereka yang sebenarnya. Apakah mereka sebelumnya berkunjung ke daerah zona merah atau ke daerah rawan pasien Covid-19. Faktor tersebut berimbas besar sehingga membuat tenaga medis terpapar Covid-19. Bahkan, beberapa tenaga medis pun gugur setelah dinyatakan positif Covid-19. Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES/R) mencatat terdapat 44 tenaga medis meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona dengan rincian 32 dokter dan 12 perawat Petugas medis mengenakan jas hujan plastik sebagai pengganti APD (Foto: katadata.co.id)
Advertisement
Selain karena ketidakjujuran pasien, APD (Alat Perlindungan Diri) yang terbatas juga mengakibatkan banyaknya tenaga medis menggunakan alternatif lain. Jas hujan plastik pun diubah agar bisa menjadi pengganti APD. Tidak hanya APD, jumlah masker dan hand sanitizer juga semakin menipis
Tanggung jawab dan Amanah dalam Waktu Bersamaan
Sama seperti masyarakat lainnya, selain berprofesi sebagai tenaga medis, mereka adalah seorang kepala keluarga, seorang istri, ibu, juga seorang anak dalam keluarganya. Namun, mereka harus mampu menahan rasa rindu kepada keluarga karena tidak dapat bertemu dalam waktu yang cukup lama lantaran harus mengemban tugas. Video call menjadi alternatif untuk mengobati rasa rindu dengan keluarga atau orang terdekatnya.
Suster Afit (bbc.com)
Salah satu cerita datang dari seorang tenaga medis yang bernama Suster Afit. Beliau merupakan suster yang merawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu. Para tenaga medis di RSUD Pasar Minggu diharuskan tinggal di tempat khusus yang disediakan sehingga mereka jauh dari keluarga. Afit memiliki seorang bayi yang masih membutuhkan air susu ibu (ASI). Lantaran tak bisa pulang, setiap hari ia mengumpulkan ASI. Suaminya akan datang mengambil ASI tersebut lalu akan dibawa pulang untuk anaknya. Ia pun hanya bisa berkomunikasi dari kejauhan dengan suaminya. Afit juga menitipkan salam untuk anaknya yang bernama Aro.
“Alhamdulilah pagi ini sudah dapat susu (ASI) untuk anak saya di rumah. Yah, tidak apa namanya juga ibu pekerja. Ibu-ibu karier lainnya di luar sana juga tahu kalau kita ada sedikit gangguan akan berpengaruh terhadap produksi ASI kita,” kata Afit di channel Youtube-nya. Selain itu, untuk mengobati rasa rindunya kepada sang anak, Afit pun selalu membawa baju anaknya. Afit mengabadikan momennya kepada masyarakat sebagai garda terdepan melalui Youtube. Tidak hanya Suster Afit, suster Faiqah merupakan seorang ibu dari dua anak yang menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Sungai Buloh. Sebagai tenaga medis yang menjadi garda terdepan, ia harus mengenakan APD yang sangat ketat dan panas. Suster Faiqah harus memakai pakaian ini setiap melakukan kontak dengan pasien yang ODP, PDP, atau positif Covid-19, terutama jika akan memasuki bangsal isolasi. Keluar dari bangsal isolasi tersebut, ia harus melepas APD dan segera membuangnya. Setelah itu, ia diharuskan mandi. Faiqah pun merasa frustasi dengan rambut panjangnya karena ia harus mencuci rambutnya saat mandi, sehingga ia memutuskan untuk memotong rambutnya menjadi lebih pendek.
Suster Faiqah (Foto: health.grid.id)
Tidak hanya Suster Afit, suster Faiqah merupakan seorang ibu dari dua anak yang menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Sungai Buloh. Sebagai tenaga medis yang menjadi garda terdepan, ia harus mengenakan APD yang sangat ketat dan panas. Suster Faiqah harus memakai pakaian ini setiap melakukan kontak dengan pasien yang ODP, PDP, atau positif Covid-19, terutama jika akan memasuki bangsal isolasi. Keluar dari bangsal isolasi tersebut, ia harus melepas APD dan segera membuangnya. Setelah itu, ia diharuskan mandi. Faiqah pun merasa frustasi dengan rambut panjangnya karena ia harus mencuci rambutnya saat mandi, sehingga ia memutuskan untuk memotong rambutnya menjadi lebih pendek. Sebagai seorang Ibu, ia juga harus memompa ASI untuk anaknya. Namun, ia harus menahan dulu untuk tidak memompa jika tugasnya menjadi tenaga medis belum selesai. Akibatnya, payudaranya terasa perih dikarenakan ASI yang tidak dikeluarkan sudah terlalu lama.
Tetap Berusaha Senang dan Ikhlas dalam Menjalankan Kewajiban
Jhon Doe Designer StockInDesign
Tenaga medis yang menangis merindukan keluarganya (Foto: detik.com) Tak hanya harus berjauhan dengan keluarga dan menahan diri mengenakan APD terlalu lama, hal lain juga dirasakan oleh para tenaga medis. Di Rumah Sakit Unair Surabaya, sebanyak 50 orang tenaga medis ditolak oleh warga yang berada di lingkungan rumahnya. Saat Virtual Conference penyerahan bantuan 1.800 APD dari Telkomsel pada tanggal 4 Mei lalu, Dr. Nily Sulistyorini, SpF. selalu Humas RS Unair membenarkan bahwa ada 50 nakes yang ditolak di lingkungan rumahnya. Nilly juga mengatakan ada tenaga kesehatan yang disuruh istrinya untuk memilih antara pekerjaan atau rumah tangganya. Bahkan dari 50 tenaga medis tersebut, diantaranya terpaksa tinggal di Rumah Sakit selama satu bulan. Ini terjadi karena mereka tidak memiliki tempat tinggal lainnya. Meski harus melakukan berbagai macam pengorbanan, para tenaga medis tetap merasa senang dapat membantu menyembuhkan pasien yang terpapar virus corona. Tidak hanya bertugas menjadi perawat atau dokter, mereka juga berusaha menjadi pendengar yang baik untuk mendengarkan keluh kesah pasien. Mereka ikhlas membantu dan menjadi pahlawan untuk melawan pandemik Covid-19 ini.
(Tarisa Ramadhani dan Ayu Fitmanda Wandira)
Jangan Tolak Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19
Warga menolak jenazah pasien corona dengan memblokade jalan (Foto: tirto.id)
Pandemi Covid-19 masih menghantui Indonesia dan dunia. Pemerintah terus melakukan berbagai tindakan untuk menekan penyebaran virus ini di masyarakat. Begitu juga dengan para dokter, perawat, dan petugas mediawwww lainnya yang masih terus melakukan usaha terbaik untuk mengobati dan menyembuhkan pasien yang sudah positif terjangkit. Hingga Senin (11/5) jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 14.265 orang, pasien yang meninggal 991, dan pasien sembuh menjadi 2.881 orang. Ironisnya, akhir-akhir ini bayak berita tentang penolakan pemakaman jenazah pasien Covid-19 ini. Maraknya kasus penolakan oleh warga terhadap pemakaman jenazah menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Menyikapi kondisi itu, sejumlah warga yang diduga sebagai provokator diamankan oleh polisi. Mereka dijerat dengan Pasal 212 KUHP dan 214 KUHP serta Pasal 14 ayat 1 UU No 4 Tahun 1984 tentang Penanggulangan Wabah. Beberapa kasus penolakan jenazah pasien Covid-19 terjadi di berbagai daerah. Pertama, kasus penolakan pemakaman jenazah perawat positif virus corona oleh warga di Desa Sewakul, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang pada Kamis (9/4). Tiga orang yang diduga sebagai pelaku provokator penolakan pemakaman itu akhirnya diamankan polisi dan ditetapkan sebagai tersangka.
Bupati Banyumas Achmad Husein (tengah) turut membongkar makam pasien positif corona yang ditolak warga (Foto: Kompas.com)
Kedua, kasus penolakan pemakaman jenazah yang terjadi di Banyumas, Jawa Tengah pada Selasa (31/3) Warga Desa Tumiyang Kecamatan Pakuncen dan Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah telah memblokade sebagian jalan dengan batang pohon. Karyoto, Kepala Desa Karangtengah melalui Kompas. com mengemukakan bahwa hal ini terjadi sebab warga merasa kecewa lantaran tidak diberitahu perihal pemakaman jenazah pasien positif Covid-19 tersebut. “Yang pertama kami dibohongi petugas, dari Selasa siang banyak plat merah berseliweran dan kami sama sekali tidak ada informasi dan pemberitahuan kepada pemdes (pemerintah desa),” ujar Karyoto. Selain tidak diberitahu, warga juga merasa pemakaman ini ditutup-tutupi oleh aparat karena listrik di kawasan tersebut padam bertepatan dengan rombongan mobil untuk pemakaman tiba. Ketiga, kasus penolakan jenazah Covid-19 di Jawa Tengah diketahui bahwa terdapat seorang perawat dari Rumah Sakit Kariadi Semarang meninggal dengan status positif virus corona. Saat hendak dimakamkan di daerah Ungaran, diketahui sekelompok masyarakat menolak pemakaman jenazah perawat tersebut. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, memberikan konfirmasi melalui akun Instagram pribadinya. Di salah satu unggahannya, Ganjar mewakili seluruh warga Jawa Tengah memohon maaf kepada semua dokter, perawat, dan petugas medis lainnya terkait peristiwa penolakan tersebut. Lebih lanjut, Ganjar mengimbau seluruh warga Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia untuk berhenti melakukan penoAlasan Pertama: Pemahaman yang Salah dan Ketakutan Berlebih Dikutip dari Kompas.com, Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada, Prof. Koentjoro, menilai penolakan masyarakat karena adanya ketidakpahaman sehingga bertindak berlebihan hingga melebihi batas. "Itu ada dua kemungkinan. Satu, keyakinan yang salah. Jadi mereka itu bahasa Jawanya sok keminter. Mungkin itu disebabkan hubungannya dengan rasa ketakutan yang berlebih, padahal semuanya itu tidak perlu," kata Koentjoro, Senin (13/4). Masyarakat biasanya menganggap jika ada jenazah Covid -19 dimakamkan di sekitar tempat tinggal mereka, maka akan beresiko terjadinya penularan virus. Ketakutan seperti ini mungkin wajar terjadi. Namun, seharusnya warga tetap tidak boleh berlebihan hingga menolak jenazah yang akan dimakamkan. Alasan Kedua: Kurangnya Informasi Salah satu faktor penolakan warga terhadap jenazah Covid-19 juga karena tidak tersampaikannya informasi secara jelas soal virus corona. Alih-alih menenangkan, informasi yang beredar mengenai Covid-19 justru malah menimbulkan rasa takut yang berlebihan di tengah masyarakat. Ketika terjadi kebingungan dan kepanikan, tidak semua masyarakat mendapatkan informasi yang benar. Informasi seharusnya disampaikan secara jelas dan detail. Penyampaian informasi juga harus tenang dan tidak berlebihan agar virus corona ini tidak menjadi hal yang sangat menakutkan bagi masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa penolakan jenazah Covid-19 ini disebabkan rasa takut dan kurangnya informasi yang ada. Pemerintah dapat bekerja sama dengan media agar media tidak memberitakan hal-hal yang menakutkan tentang virus ini. Hal ini dapat membuat terjadinya pengurangan penolakan pemakaman jenazah oleh masyarakat. Mengapa demikian? Berikut alasan jangan menolak jenazah pasien Covid-19.
Inilah Mengapa Seharusnya Masyarakat Tidak Perlu Takut
Waspada boleh, takut jangan (Foto: Dian Puspita) Perlu diketahui bahwa pengurusan jenazah Covid-19 sudah dilakukan dengan prosedur khusus dan ketat di rumah sakit. Dalam hal ini, jenazah dibungkus dalam kantong jenazah yang sangat rapat, lalu dimasukkan ke dalam peti yang tertutup rapat. Selanjutnya, dilakukan penyemprotan disinfektan pada peti yang memuat jenazah tersebut untuk memastikan kondisi lebih steril. Selesai melewati prosedur tersebut, jenazah akan langsung dibawa menuju tempat pemakaman untuk dikebumikan. Petugas pemakaman yang bertanggung jawab mengubur jenazah, sebelumnya sudah dilatih secara khusus untuk melakukan prosedur pemakaman jenazah Covid-19 dengan benar dan aman. Selain itu, petugas juga menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap saat melakukan proses pemakaman. Proses pemakaman dilakukan secara cepat dengan jumlah pelayat yang sangat dibatasi agar kondisi tetap aman. Hal penting yang harus diketahui seluruh masyarakat bahwa virus corona tidak bisa mencemari tanah atau sumber air di sekitarnya. Dengan begitu, virus tersebut tidak akan menyebar di sekitar lingkungan area pemakaman. Bukan tanpa alasan, virus ini tidak akan bertahan lama di luar tubuh manusia. Bahkan, virus tersebut akan segera mati begitu jenazah telah dimakamkan. (Bimo Yogatama, Dian Puspita, Manggarani, dan Shinta Tri Pangestu)
Kisah Para Pekerja Lapangan
Keluh Kesah Ojek Online Saat Covid-19
Pengemudi ojek online menggunakan masker (katadata.co.id)
Sejak virus corona menyebar di Indonesia, beberapa pekerja dirumahkan demi keamanan bersama. Namun, tak sedikit pekerja lapangan yang masih tetap memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Salah satunya dilakukan oleh Muhammad Raka Ibrahim. Mahasiswa yang juga bekerja menjadi ojol (ojek online) ini mengaku masih harus bekerja menjadi driver ojol (ojek online) meski sedang pandemi seperti ini. “Sebenarnya saya juga takut dengan virus corona ini. Ya tapi mau bagaimana lagi, saya juga harus cari order-an untuk menambah pemasukan saya, soalnya kan bapak dan ibu juga dirumahkan karena virus ini. Jadi saya harus bantu-bantu sedikit,” ujarnya. Raka, begitu sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa beberapa pekan terakhir order-an yang didapat oleh para pekerja ojol memang sangat berkurang dibanding hari-hari biasanya. Bahkan tak jarang, Raka harus bekerja 24 jam untuk memenuhi targetnya. Lebih lanjut, Raka bercerita meskipun ada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19, orang-orang saat ini lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah daripada pergi keluar rumah. Oleh karena itu, para driver ojol kebanyakan hanya bergantung pada penyediaan jasa seperti antar makanan dan pengiriman barang. “Iya, sekarang sepi banget order-an, tadi aja keluar rumah dari jam 07.00 pagi sampai sore saja baru dapat 2 orderan, susah sekali makanya, ” keluhnya. Bukan hanya itu, mahasiswa berusia 20 tahun ini juga mengatakan beberapa kali merasa kesulitan dalam mengantar pesanan sejak diberlakukannya lockdown pada beberapa daerah di Yogyakarta. “Susahnya itu saat ada orderan go-food atau go-send ke kampung-kampung. Banyak yang sudah lockdown dan tidak bisa masuk, jadi itu bisa mengurangi performa saya dalam penilaian karena saya tidak bisa mengantar tepat sampai tujuan,” tuturnya.
Selain kisah ojek online, relawan kemanusiaan juga menjadi salah satu kisah yang cukup menarik untuk diulas. Di kondisi yang saat ini sedang genting dengan pandemi Covid-19, maka mulai banyak relawan kemanusiaan yang turun tangan, salah satunya ialah relawan Palang Merah Indonesia (PMI) pengubur jenazah Covid-19 yang memiliki kisah cukup menarik bersama rekan-rekan seperjuangannya selama pandemi ini. Septiadi Pitianta atau lebih akrab disapa Adi (33) ialah salah satu relawan PMI Kabupaten Sleman yang telah mengabdikan diri menjadi relawan sejak 2006. Saat ini, Adi bertugas menjadi relawan pengubur jenazah korban Covid-19 bersama 29 rekan lainnya. Adi pernah bercerita bahwa jenazah yang ia kuburkan
Kisah Mistis Relawan PMI Pengubur Jenazah dari Sleman
bersama rekan-rekannya belum tentu terpapar virus corona. Selama menjadi bagian dari Satgas Covid-19 PMI Sleman, ia dan rekan-rekannya telah 12 kali memakamkan jenazah diduga terpapar Covid-19. Relawan PMI Kabupaten Sleman ini pernah mengungkapkan jika di PMI ada nama khusus untuk tim yang bertugas memakamkan jenazah. Tim itu dinamakan Tim Pendak Bengi Sobo Makam (tim tiap malam mengunjungi makam) atau bisa disingkat TPBSM. Hal ini lantaran dari 12 jenazah yang sudah mereka makamkan, 11 diantaranya dilakukan di malam hari. “Biasa memakamkan jenazah pukul 02.00 WIB. Terkadang selesai dari pukul 03.40 WIB hingga pukul 06.00 WIB,” imbuhnya. Selama menjadi petugas pemakaman jenazah, Adi bersama rekan-rekannya juga sering mengalami hal mistis di luar nalar manusia. Salah satu kejadian yang pernah dialami ialah saat mengantarkan jenazah ia sempat diajak berkomunikasi oleh jenazah tersebut. Awal mula cerita itu ialah ketika ia dan rekannya memakamkan jenazah di TPU wilayah Kalasan pada bulan April 2020. Biasanya, timnya mengantarkan dengan dua mobil ambulans. Mobil ambulans pertama untuk personil dan mobil ambulans kedua untuk jenazah. “Namun saat mengantarkan jenazah itu, kami menggunakan dua mobil ambulans untuk jenazah. Nah, tiga orang yang berada di salah satu mobil itu merasa sedih. Ternyata ada makhluk yang mencoba berinteraksi dan berterima kasih kepada mereka karena sudah merawat hingga dimakamkan di tempat terakhir,” begitu ungkapnya. Ternyata bukan hanya Adi
Relawan PMI ikut membantu penguburan jenazah pasien selama pandemi corona (Foto: detik.com)
yang mengalami kejadian itu, rekan-rekannya yang berada dalam ambulans yang sama juga mengalami kejadian tersebut. Selain mendengar ucapan terima kasih, mereka juga melihat sosok yang mirip dengan jenazah itu. “Jelas sedikit kaget karena ditampakkan wajah jenazah. Tapi proses pemakaman di TPU Kalasan tetap berjalan lancar, meski beberapa relawan masih terkejut,” imbuhnya. Adi juga mengungkapkan ada kebiasaan yang harus dilakukan sebelum proses pemakaman. Mereka harus memberi tahu perangkat desa atau tetua setempat jika akan ada pemulasaran jenazah dengan protokol Covid-19. Selain itu, ada kebiasaan lain yang wajib juga dilakukan yaitu mengucapkan salam sebelum memasuki lingkungan pemakaman dan berdoa setelah pemakaman selesai. Mereka mencoba menghormati yang ada di makam tersebut. “Sebelumnya dalam sehari kami bisa memakamkan 2-3 kali jenazah dalam satu hari. Namun saat ini, di PMI sudah ada sekitar 30 orang yang siaga. Jadi kinerja kami lebih baik karena sudah tertata,”
Tak hanya di Indonesia, saat masa pandemi ini berbagai negara terdampak juga membutuhkan banyak tenaga kesehatan untuk berjuang menghadapi situasi yang ada. Mulai dari tenaga ahli hingga relawan kemanusiaan tentu akan sangat berperan besar. Walau begitu, tidak semua orang mau dan tergerak untuk berperan meskipun hanya sebagai relawan kesehatan. Banyak penyebab yang menjadi alasannya, salah satunya kesehatan pribadi. Kondisi seperti ini merupakan hal yang wajar. Namun, cerita berbeda
Rama Sahu, Petugas Medis yang Tetap Bekerja Meski Idap Penyakit Kanker
datang dari salah satu wanita asal India ini. Rama Sahu, wanita berumur 46 tahun asal Negara Bagian Orissa, India, merupakan salah satu petugas kesehatan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Setiap pagi, ia harus meninggalkan rumahnya untuk menunaikan kewajibannya. Ia berulang kali mengunjungi sekitar 201 rumah setiap harinya dengan suhu udara mencapai 40 derajat Celcius. Rama setiap hari melakukan kegiatannya tersebut untuk membantu melakukan survei, membagikan sembako, dan mengedukasi masyarakat umum tentang virus corona.
Walau berulang kali bertemu dengan orang yang sama, namun tak seorang pun menyadari keadaan Rama Sahu. Ia mengidap Kanker Uterus sejak tahun 2014. Keadaannya kini demikian buruk hingga ia harus mengenakan popok untuk menjalankan tugasnya. “Kami dibutuhkan dalam masa seperti ini,” ujar Rama Sahu yang dilansir dari BBC India. Maka dari itu, ia terus bekerja sekalipun sedang menghadapi kanker yang menyakitkan itu.
Rama Sahu merupakan istri dari Ramesh dan mempunyai dua anak lakilaki, namun keduanya telah meninggal dunia. Anak pertamanya meninggal ketika
Ilustrasi Sahu pergi dari pintu ke pintu untuk mendidik warga soal virus corona (Foto: bbc.com) berumur empat tahun, dan yang satunya lagi saat enam bulan. “Dunia kami runtuh,” kenang Sahu. Kedua anak itu sakit, tapi mereka tak tahu sakit apa. Rama dan Ramesh ingin sekali memiliki seorang anak lagi, namun impiannya tersebut tidak bisa terwujud setelah mendengar kabar kanker milik Rama. Ramesh pun berkata bahwa mereka ingin pindah ke kota Mumbai untuk perawatan Sahu dan memulai kemoterapi. Sempat dikatakan bahwa Rama akan segera sembuh, namun justru kankernya terus saja kembali. Meskipun demikian, Rama tidak pernah mengeluh dan menyerah. Ia tetap semangat untuk terus bekerja meningkatkan kesehatan masyarakat. “Ketika saya bekerja, saya bisa lupa dengan masalah saya. Pikiran saya selalu sibuk bekerja”, katanya. Ramesh sebagai suaminya hanya bisa mendukung segala keinginan istrinya. “Di rumah ia sering menangis, tapi kalau bekerja ia lupa sakitnya,” ungkap Ramesh. “Ia tinggal di rumah hanya jika sakitnya tak tertahankan.” ”Dan penyelesaiannya biasanya paham, lalu meminta istriku untuk pulang dan beristirahat,” imbuh Ramesh lagi. Rama Sahu tidak pernah menyerah dengan keadaannya sekarang. Ia mempunyai keyakinan bahwa jika ia tidak melaksanakan tugasnya, keadaan dapat menjadi kacau. “Sekalipun ia sakit, ia tidak mundur. Kami sangat bersyukur ada orang seperti dia,” puji Laxman Gowda, kepala desa tempat tinggal Rama Sahu. (Bimo Yogatama, Shinta Tri Pangestu, dan Vanissa Zera)
Uluran Tangan di Masa Pandemi Covid-19
Pandemi COVID-19 ini menyebabkan beberapa pihak menjadi kehilangan mata pencaharian sehingga membuat keadaan keuangan mereka pun menjadi kritis. Kondisi pada saat inilah yang menyebabkan pihakpihak tersebut susah untuk makan dan membeli kebutuhan pokok sehari-hari. UMKM pun juga terganggu karena tidak diperbolehkan untuk berjualan pada saat pandemi ini. Kondisi seperti inilah yang membuat masyarakat yang berkecukupan tergerak melakukan aksi solidaritas. Aksi ini dilakukan bertujuan untuk membantu masyarakat yang kekurangan, khususnya saat pandemi terjadi. Selain komunitas sosial, beberapa jejeran artis pun ikut menyumbang sejumlah uang yang digunakan untuk membantu ojek online, UMKM, bahkan tenaga medis. Tidak hanya artis, influencer, selebgram, dan youtuber juga turut melakukan penggalangan dana.
Berhasil Kumpulkan Donasi 2 Miliar dalam Sehari Rachel Vennya merupakan salah satu influencer yang melakukan aksi solidaritas berupa penggalangan dana melalui Web Kitabisa.com. Ia berhasil mengumpulkan donasi sebanyak Rp 9 miliar sejak pertengahan Maret 2020 lalu. Rachel juga turut memberikan sumbangan secara pribadi berupa 1000 pcs Hazmat Suit untuk Rumah Sakit Rujukan Covid-19 di Indonesia. review “Melihat kurangnya APD akhirnya aku contact @faniakhamada (team Kitabisa) untuk mencari hazmat suit, Qadarullah ada 1000 pcs hazmat suit ready stock dibantu dengan kak Gio (Team Kawal Covid-19) akhirnya aku pribadi memutuskan untuk menyumbang. Jhon Doe 1000 pcs hazmat suit tersebut menyebar ke 82 Rumah Designer Sakit Rujukan Covid-19 di Indonesia sudah fix tingStockInDesign gal dikirim,” tulis Rachel dalam salah satu unggahannya. Rachel berhasil mengumpulkan Rp 2 miliar lebih hanya dalam sehari. Rachel pun merasa sangat terharu karena banyaknya orang baik yang ingin membantu penggalangan dana ini. Setelah 3 hari berlangsungnya penggalangan dana, sudah terkumpul sebanyak Rp 5 miliar. Namun dibalik kesuksesan tersebut, Rachel mengaku mengalami perasaan tertekan karena ia merasa dirinya lama-kelamaan menjadi pusat mencari bantuan. Hal tersebut dicurhatkan Rachel di YouTube Luna Maya ‘Rahasia Rachel Vennya Dibalik Donasi 8 Miliar’ pada Minggu (19/04/2020). “Sekarang yang saya lakukan di rumah adalah koordinasi terus. Jujur saja hari ini tuh benar-benar pressure banget ya, karena kan di satu sisi senang banget bisa dapat uang Rp 2 miliar sehari,” ungkap Rachel Vennya.
Laman penggalangan dana (Foto: TribunStyle.com)
Masyarakat pun banyak yang menganggapnya luar biasa karena mampu mengumpulkan donasi dalam jumlah yang besar, namun hal tersebut justru menjadi tekanan baginya. “Orang yang melihatnya menganggap keren banget. Saya pas awal juga 'ih keren banget gue'. Tapi lama kelamaan itu jadi seperti sebuah harapan bahwa orang-orang akan dibantu
1sama saya,” tuturnya. Ia menambahkan, orang-orang mulai merasa bahwa ia tidak punya keterbatasan untuk membantu orang lain sehingga mereka semua Natum vere numenis simus, od qui ber Mameminta bantuannya. Dirinya juga menyalurkan dana Rp 2 miliar ke Palang Merah Indonesia (PMI) yang langsung diterisyarakat pun banyak ma oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai ketua. Namun, beberapa waktu lalu Rachel menolak penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia) karena ia merasa bahwa saat ini seharusnya perhatian ditujukan untuk orang-orang yang butuh bantuan. Rachel pun berterima kasih kepada 135.107 orang yang telah ikut berdonasi. "Saya tidak pernah mendaftarkan diri ke MURI, tetapi niat baik MURI sangat saya hargai. Terima kasih buat 135107 #OrangBaik yang sudah berdonasi," tulis Rachel. Arief Muhammad: Ini Merupakan Bukti Kerja Sama Masyarakat Indonesia
Donasi yang digalang Arief Muhammad (Foto: Kitabisa.com)
Tidak hanya Rachel Vennya, seorang influencer yaitu Arief Muhammad pun ikut mengadakan penggalangan dana yang akan disalurkan untuk masyarakat yang membutuhkan, khususnya ojek online dan UMKM. Dana yang telah terkumpul tersebut akan digunakan untuk membeli sembako dan kemudian akan dibagikan kepada mereka. Sebesar Rp 2,6 miliar dana sudah terkumpul. Arief pun turut membagikan APD untuk tenaga medis sebanyak 1.000 Hazmat Suit untuk 20 Rumah Sakit Rujukan Covid-19, 1.300 paket makanan, 50 bilik disinfektan, 10 alat cuci tangan, dan 1.000 paket sembako. Sebelumnya, pada 18 Maret lalu, Arief Muhammad melakukan galang dana melalui Kitabisa.com. Tak sampai 24 jam, dana yang terkumpul mencapai Rp 1 miliar. Hal itu Arief umumkan melalui akun Instagram miliknya, @ariefmuhammad. “Enggak sampai 24 jam sudah terkumpul 1 miliar lebih. Orang baik mah masih banyak ya,” tulisnya. Hingga Kamis (19/3), dilihat dari laman resmi Kitabisa.com, donasi yang dikumpulkan akun Arief & Tipang telah mencapai nominal Rp 1.316.724.582 dari target Rp 1,5 miliar. “Ini sekaligus bukti kalau uang kecil dikumpulkan bareng-bareng jadinya bisa banyak dan bermanfaat juga,” tulisnya. Dengan terkumpulnya dana secara kurang dari 24 jam ini, pemilik nama lengkap Muhammad Arief Yakoeb menyebut ini merupakan bukti kerja sama masyarakat Indonesia. Gerakan Solidaritas Pangan Jogja (SPJ)
Sekitar dua bulan lalu ketika kasus corona mulai merebak di Indonesia, pada pertengahan Maret Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda) DIY mengumumkan warganya positif terinfeksi virus corona atau Covid 19. Kekhawatiran dan ketakutan mulai dirasakan masyarakat Jogja. Perekonomian di Yogyakarta yang diandalkan yaitu sektor pariwisata menjadi terhambat. Jumlah wisatawan yang datang ke Jogja menurun drastis. Destinasi ditutup sehingga tidak ada pengunjung. Hal tersebut tentu sangat berdampak pada para pekerja informal yang ditopang oleh sektor andalan jogja tersebut. Selain itu, bagi mereka kalangan bawah, para pekerja informal yang men-
36
gandalkan penghasilan harian seperti tukang becak, sopir ojek online, pemulung, pedagang pasar semakin sulit mendapat pemasukan. Ini terjadi setelah orang-orang makin membatasi diri ke luar rumah demi menghindari virus corona. Saat banyak masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, lahirlah gerakan solidaritas yang digagas oleh Ita Fatia Nadia. “Saya bersama kedua putri saya berinisiatif untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tak berdaya atau tidak mampu di tengah pandemi Covid-19 ini,” ujar Mantan Direktur Kalyanamitra tersebut. Pada 17 Maret lalu, dapur umum swadaya yang dibuat Ita menghasilkan 50 bungkus nasi. Setelah berjalan beberapa hari, Ita dan kedua anaknya kewalahan. Kemudian ia mengontak jaringan pekerja sosial lainnya yang ia kenal di Jogja, salah satunya adalah SMI (Sosial Movement Institute). Bersama SMI yang mayoritas adalah aktivis mahasiswa, gerakan itu semakin lebar. Donasi mulai berdatangan, para pembuat nasi angkringan yang dagangannya tak laku kemudian dibeli untuk dibagikan. Solidaritas semakin luas, sejumlah organisasi kemudian ikut bergabung seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Yogyakarta, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Yogyakarta, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Yogyakarta, dan sejumlah organisasi serta lembaga lainnya. Aksi sosial beberapa organisasi itu lantas dinamai Gerakan Solidaritas Pangan Jogja (SPJ). Cara kerja para relawan dan komunitas yang terlibat dalam solidaritas ini diminta tetap mematuhi protokol pencegahan penyebaran Covid-19. Setiap dapur umum, tak lebih dari tiga orang yang memasak. Mereka diharuskan bergantian untuk menghindari kerumunan. Pun demikian dengan para relawan yang menjadi kurir pemasok bahan baku makanan atau distributor nasi bungkus. Mereka semua diminta untuk mematuhi protokol, mengenakan masker, sarung tangan, dan juga membawa cairan sanitasi tangan. Terhitung dari 27 Maret - 28 April 2020, Solidaritas Pangan Jogja sudah mendistribusikan 22.506 porsi nasi bungkus kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun aksi solidaritas ini tak selalu berjalan lancar, pada 18 April lalu diadakan rapat koordinasi yang dihadiri sembilan relawan. Rapat koordinasi pembagian masker dan pangan di Kantor Walhi Jogja dibubarkan paksa oleh aparat.
“Sebelum pembubaran pertemuan di Walhi, sejumlah orang tak dikenal mendatangi dua posko dapur umum. Pada 17 dan 18 April 2020, ada orang tak dikenal mendatangi dapur umum di Ngadiwinatan. Sehari sebelumnya, 17 April 2020, dapur umum di Balirejo kedatangan tamu tak dikenal juga. Mereka menanyakan sumber dana dapur umum dan ada kaitanya dengan anarko tidak,” ungkap salah satu relawan. Pendirian dapur umum adalah inisiatif warga untuk membantu sesama warga rentan yang kehilangan mata pencaharian akibat pandemi Covid-19. Tidak ada hubungannya dengan
SPJ (Solidaritas Pangan Jogja) membagikan nasi bungkus (Foto: Instagram @solidaritas.yogyakarta)
anarko. “Kecurigaan seperti ini malah bisa menghambat inisiatif-inisiatif masyarakat yang ingin membantu. Aksi aparat ini juga terbilang bertolak belakang dengan instruksi Presiden Jokowi yang mengimbau untuk saling membantu sesama warga di masa pandemi,” lanjutnya. Saat ini Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) masih berjalan dengan lancar dengan beberapa dapur umum yaitu di Dapur Ngadiwinatan, Dapur Wonocatur, Dapur Keparakan Kidul, Dapur Piyungan, Dapur Sayegan, Dapur Gamping, Dapur Prawirotaman, Dapur Condong Catur, Dapur Balirejo, Dapur Sembungan, Dapur Caturtunggal, Dapur kota gede, dan Dapur bong suwung. Dapur umum juga masih menerima donasi-donasi dari berbagai pihak yang ingin membantu. Kegiatan dari Solidaritas Pangan Jogja bisa dilihat dari media sosialnya di Instagram yaitu @solidaritas.yogyakarta. Di akun tersebut, kita dapat melihat kegiatan distribusinya setiap hari serta donasi-donasi yang masuk. Aksi Pita Hitam Perawat
Ilustrasi Aksi Pita Hitam oleh perawat (Foto: Kompas.com)
Tidak hanya aksi solidaritas yang berupa materi, para perawat di Jawa Tengah mengenakan pita hitam di lengan kanan mereka sebagai aksi solidaritas lantaran adanya penolakan pemakaman perawat di Semarang. Aksi ini pun diunggah di sejumlah media sosial.
Para perawat mengungkapkan rasa kepedihan. Sebagai tenaga medis yang menjadi garda terdepan pada saat pandemi ini, seharusnya penolakan pemakaman tidak terjadi. Perawat yang sudah mengorbankan dirinya untuk berkontak langsung dengan pasien memang risiko tertular lebih besar, tetapi jasa dari perawat tidak sebanding dengan adanya penolakan pemakaman ini. Ketua Bidang Sistem Informasi dan Komunikasi Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia ( DPP PPNI), Rohman Azzam, membenarkan aksi solidaritas itu. “Pita hitam adalah sikap solidaritas yang menunjukkan duka mendalam atas wafatnya sejawat kami, perawat RSUP dr. Kariadi Semarang khususnya, yang diperlakukan secara berlebihan oleh oknum masyarakat dengan menolak pemakamannya di lokasi pemakaman umum,” jelasnya. Dengan adanya aksi solidaritas tersebut, kita dapat mengapresiasi para orang baik yang sudah menyumbangkan sebagian rezekinya untuk orang yang membutuhkan. Selain itu, menumbuhkan kepedulian terhadap para tenaga medis dan para pejuang lainnya juga perlu dilakukan. Sebagai warga negara yang baik, jika tidak bisa membantu dalam bentuk materi, maka kita dapat membantu dengan stay at home sehingga jumlah kasus pasien positif tidak terus bertambah dan pandemi ini segera usai. (Manggarani, Tarisa Ramadhani, dan Ayu Fitmanda Wandira)