1 minute read

TAJUK

Next Article
TRIVIA

TRIVIA

Tidak ada yang menyangka pada tahun dengan angka kembar yang cantik, 2020 justru membawa banyak kabar tidak gembira. Siapa yang sangka, tahun ini kita harus menahan rasa rindu sebab orang tersayang dilarang bertamu. Sedih tak dapat dibendung, sebab kita pun tidak diperbolehkan berkunjung. Penerapan “jaga jarak sosial”, “karantina mandiri”, dan “kenormalan baru” menjadi kebiasaan yang harus dibiasakan.

Sejak akhir tahun 2019, sebuah virus yang terlalu sering kita dengar namanya tersebut, muncul dan menyebar di Cina. Tidak butuh waktu setahun, virus tersebut ditetapkan oleh WHO sebagai pandemi dunia. Tandanya, virus tersebut juga mengancam tanah air. Tidak main-main, pada Juli 2020 ini, sekitar 75.000 orang di Indonesia telah terjangkit virus ini. Dengan sekejap, dunia dan segala rencana manusia menjadi hancur berantakan. Rilisnya film, gelaran konser, hingga pernikahan harus diberhentikan sebab menghadirkan banyak massa yang berpotensi menyebabkan resiko penularan tertinggi. Usaha-usaha kecil hingga yang besar, tutup untuk sementara waktu. Kerugian dimanamana, saham anjlok, tempat ibadah dan sarana pendidikan juga ditutup.Tak terkecuali pada wadah kami belajar, UPN “Veteran” Yogyakarta.

Advertisement

Dalam buletin ini, redaksi Sikap Pers berusaha melakukan adaptasi terhadap apa yang sedang terjadi. Kita boleh sedih atau menyesali, tapi rasanya itu bukan solusi. Cepat atau lambat, kita harus bergerak sebab tidak mungkin terdiam ditengah kelumpuhan. Dalam buletin ini, hadir karya dari reporter kami yang berusaha untuk tetap bekerja meski dari dalam rumah. Aktivitas untuk keluar rumah harus berhenti, tapi manusia diciptakan dengan pikiran yang luas dan tidak boleh terhenti.Dalam buletin ini juga, harapannya kita bisa tahu cara mensyukuri, bahwa kita hidup di era yang sudah maju. Sudah mampu untuk menghadapi kenormalan baru. Meskipun terdiam di satu tempat, atau jarak terpaut cukup jauh, pencarian informasi bisa terus berjalan.Otak yang diciptakan Tuhan, tidak akan mati sebab terus bekerja, berpikir, dan berkomunikasi. Pandemi ini tidak bisa terus-menerus dijadikan alasan untuk bersusah diri. 48

This article is from: