Majalah global energi

Page 1

EDISI I desember 2011


EDISI I desember 2011


EDISI I desember 2011


Redaksi Mengawal Kebijakan Energi Nasional

Dr. Ibrahim Hasyim SE, MM Pimpinan Umum Majalah Global Energi

Pembaca yang Budiman, Kehadiran Majalah Global Energi Edisi Desember 2011 dimaksudkan untuk memberikan lautan informasi dari berbagai persoalan energi. Bagaimana persoalan saat ini, prediksi ke depan, hingga ke mana arah pembangunan energi negara ini. Bersama Global Energi, kami punya impian untuk mengawal Kebijakan Energi Nasional hingga 2025. Bahkan hingga 2050 sekalipun. Mengapa demikian? Tak lain, karena persoalan energi menjadi persoalan kita semua dan menjadi penentu arah perjalanan bangsa ini berikutnya. Kebutuhan energi di sebuah negara akan sangat bergantung dari langkah bersama yang diambil pemerintah, industri dan masyarakatnya.Kalau terjadi perbedaan kebutuhan energi antarnegara, maka itu terletak adanya perbedaan pola konsumsi energi yang dibentuk dari perbedaan intensitas pembangunan yang tumbuh dan perbedaan kekuatan regulasi nasional yang diterapkan serta institusi pengelola energi dari negara yang bersangkutan Ketersediaan energi bagi suatu bangsa adalah persoalan hidup mati, terbukti banyak peperangan yang terjadi sampai saat ini , tidak terlepas dari persoalan perebutan sumber energi. Karena itu, pembangunan energi nasional yang dilakukan oleh bangsa ini harus kita kawal. “Mengawal”, mempunyai arti bahwa Majalah Global Energi akan terus mengkritisi perjalanan kebijakan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sendiri dalam mengembangkan dan menggunakan energi. Masa depan energi suatu negara akan sangat ditentukan oleh seperti apa regulasi dan kebijakan yang ditetapkan, bagaimana manajemen imple­

mentasi yang dilakukan oleh pelaku energi serta se­ perti apa masyarakat membentuk pola konsumsinya. Karena itu pembangunan dan penggunaan energi harus dikelola dengan perencanaan yang matang. Regulasi dan kebijakan adalah awal dari segalanya. Ke mana arah dan pedoman termuat di sana. Meskipun demikian, pelaku penyedia dan masyarakat pengguna, punya kepentingan dan kebutuhan yang tidak selalu sama dan naik turunnya sangat dinamis dalam perjalanannya. Bila kita tidak punya perencanaan yang tepat, salah urus dan apalagi boros, maka sangat mungkin akan mendatangkan “bencana” bagi bangsa ini di masa mendatang. Apalagi kalau kita melihat kondisi energi di negara kita Indonesia. Hingga saat ini, energi fosil masih tetap menjadi “primadona” dalam penggunaan energi secara keseluruhan. Industri, rumah tangga, dan transportasi masih mengandalkan energi fosil terutama minyak bumi. Berdasarkan data yang ada, penggunaan energi fosil dari tahun ke tahun cenderung meningkat, Indonesia saat ini menggunakan energi minyak bumi sebesar 41,7 %, gas 20,6%, batu bara 34,6%, dan energi baru terba­rukan (EBT) hanya 3,1%. Karena itu, dengan kebijakan energi nasional ke depan, kita harus mampu me­ngembangkan energi nasional menuju bauran energi yang terdiri dari 20% berasal dari minyak bumi, batu bara 33%, gas bumi 30%, dan EBT harus meningkat menjadi minimal 17%. Meski demikian, untuk menuju target di 2025, saat ini Indonesia masih mengalami be­berapa kendala seperti kejar kejaran dengan per­tumbuhan konsumsi energi yang tinggi, ketergan­tungan yang tinggi pada energi fosil penggunaan energi yang masih boros, penetapan harga energi yang belum mencerminkan harga keekonomian, serta pe­n gem­b angan dan pemanfaatan EBT yang belum optimal. Dalam mewujudkan pembangunan arah energi yang berkelanjutan di 2025 sudah barang tentu diperlukan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada pencapaian angka-angka tersebut. Periode 40 tahun ke depan (2010 hingga 2050) bukan merupakan waktu yang panjang untuk penentuan masa depan sebuah negara dan bangsa. Berbagai keputusan yang diambil saat ini merupakan fondasi penting bagi peradaban di tahun 2050. Berbagai kebijakan yang diputuskan saat ini merupakan potongan-potongan mozaik guna menyusun nasib dan wajah Indonesia 40 tahun

EDISI I desember 2011


Dalam kaitan dengan itulah, misi majalah ini ditancapkan. Majalah ini akan mengikuti dan mengawal perkembangan regulasi, kebijakan, manajemen implementasi pelaku energi dan perilaku masyarakat dalam suatu ruangan upaya membangun energi nasional ke depan, sehingga kemandirian energi tercapai , yaitu terpenuhinya kebutuhan energi dalam negeri dalam segala bidang guna menunjang kepentingan pembangunan nasional yang menyejahterakan masyarakat. Pembaca yang Budiman, Kembali pada terbitnya Majalah Global Energi. Mungkin pembaca bertanya-tanya, mengapa majalah ini terbit di Surabaya. Bukan di Jakarta pusatnya segala berita? Ada sejumlah pertimbangan, antara lain: Pertama, mulai bergesernya penemuan sumbersumber energi (minyak, gas, batubara dan lainnya) ke arah Timur. Pulau Kalimantan , Sulawesi , Maluku dan Papua, akan segera menjadi lumbung berbagai sumber energi. Kedua, konsumsi energi di kawasan Timur juga semakin cepat tumbuh sejalan dengan pemekaran daerah dan dengan demikian maka persoalan penyediaan, distribusi dan konsumsi energi akan mengemuka dan tidak kering berita. Ladang informasi yang terbentuk akan merupakan sumber daya berharga yang perlu disebarluaskan ke pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Ketiga, majalah ini sengaja diluncurkan masih dalam suasana peringatan Hari Pahlawan, 10 November, sejarahnya Surabaya. Kami berharap dengan semangat kepahlawanan (heroisme), majalah Global Energi ini bisa tetap eksis mengiringi heroisme arekarek Suroboyo yang tak pantang mundur. Majalah ini akan tetap heroik mengawal kebijakan-kebijakan dan manajemen implementasi pembangunan energi nasional dalam upaya mencapai kemandirian energi , yang berujung pada terbangunnya ketahanan energi nasional yang tangguh. Meski kami terbit di Surabaya, majalah yang ber motto lugas dan jelas ini tetap mengunjungi pembaca nya di Jakarta, Semarang, Bandung, Jogjakarta, Bali Palembang, Medan, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Kami berusaha keras menjadikan Global Energi sebagai referensi pengambil keputusan dunia usaha, perguruan tinggi hingga masyarakat umum. Karena itu, kami jauhjauh hari sudah melengkapi reporter di sejumlah daerah maupun di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Singapura, hingga Australia. Semoga Majalah Global Energi bisa selalu menginspirasi langkah Anda. Salam 5

EDISI I

TERBIT SEJAK 1 DESEMBER 2011

Penerbit

: PT Prima Nadia Gravia

Komisaris

: Ir. Tina Murti Agustini MM.

Direktur Utama

: Dr Ibrahim Hasyim SE, MM

Direktur

: Erfandi Putra Dewan Redaksi

1. Prof. Ir. Mukhtasor, M. Eng. Ph.D 2. Dr. Hanggono T. Nugroho 3. Dr. Buana Ma’ruf 4. Dr. Ir. Tri Ahmadi 5. Dr. Zudan Achmad Fathoni. 6. Ir. Gusrizal MSc Pemimpin Umum

: Dr Ibrahim Hasyim SE, MM

Wakil Pemimpin Umum : Ir. Tina Murti Agustini MM. Pemimpin Redaksi

: Erfandi Putra

Redaktur Pelaksana

: Agung Kusdyanto

Redaktur

: Gatot Susanto

Corporate Secretary

: Sekar Wangi Reporter

Surabaya

: 1. Hari Istiawan : 2. Arya Wiraraja Jakarta : 1. Djauhari Effendi 2. Balya Nauval 3. Wajar Setya Tresnanto Bandung : Adam Permasa Yogyakarta : Maysita Bali : Ashari H Luar Negeri Singapura Belanda

: Ir. Muhammad Abdu. : Ir. Rangga Raditya, Msc.

Sirkulasi

: Safri Hamdani

Iklan Desain Grafis

: Pudja Caturwangi : Aryaduta

Konsultan Keuangan

: Merdiko Adi Alamat:

Jalan Cipta Menanggal VI/7 Surabaya Telepon: 031- 8281712, Fax 031-8270385 E-mail: media@global-energi.com

DESEMBER 2011


Daftar Isi >>>

Laporan Utama

>>>

- Sang Jawara Siap Produksi Massal - Pulang Malah Dicekal Bea Cukai Halaman 31

>>>

Kemana Arah Kebijakan Energi Kita

Inovasi

Regulasi

BBM, Dinaikkan Atau Dibatasi ? Halaman 36

Energi? Semua negara mengalami “persoalan” dengan komoditas ini. Perang di Timur Tengah yang selalu melibatkan Amerika Serikat, hingga tumbangnya Khadafi konon tidak terlepas dari kepentingan energi, dalam hal ini minyak. Juga demikian di Indonesia yang menghabiskan triliunan rupiah untuk subsidi yang didominasi bahan bakar minyak (BBM). Lalu bagaimana negara ini mengelola energinya kini masa mendatang?

>>>

Wawancara

Malingnya Lebih Pintar Halaman 47

>>>

Halaman 8

Kolom

Kenaikan Harga BBM Lebih Regional Halaman 51

>>> >>>

Nusantara

- Jatim Dikepung Investor Migas - Kemelut Pasokan Gas di Jatim: Sudah Langka Harga Dinaikkan Pula - Santos Shutdown Defisit Gas Jatim Makin Parah Halaman 53

Laporan Utama

Panas Bumi, Siapa Berani Setiap kali kita menyebut minyak, pasti kita akan menoleh ke Timur Tengah. Tapi bila menyebut panas bumi mengapa kok “tidak menoleh” ke Indonesia. Padahal, negara ini menjadi “pemilik” terbesar panas bumi di jagad ini. Sayangnya, hingga saat ini pemanfaatannya masih relatif kecil. Sejumlah investor dari sejumlah negara menaruh minat, tapi mengapa semuanya ini masih gamang?

Halaman 16

>>>

Laporan Utama

Menimbang-nimbang Energi Nuklir Halaman 24

>>>

>>>

Lingkungan

‘Kompor Gas Alam’ di Kota Mati Halaman 28

6

EDISI I

Global

Bus-bus Merah London Itu Makin Hijau DESEMBER 2011 Halaman 62


>>>

Investasi

2015, Pertamina EP Siapkan Investasi Rp 7,7 Trliun Halaman 66

Surat Pembaca Soal BBM adalah Soal Manajemen PALING tidak sudah enam kali Pemerintahan SBY gagal mengambil kebijakan soal BBM, terutama BBM bersubsidi. Ingin menaikkan harga BBM bersubsidi, takut kalau inflasi naik dan juga berakibat naiknya harga-harga. Tentu, SBY takut citranya menurun. Lantas ada ide, mobil pribadi harus membeli Pertamax.

>>>

Tekno

- Jalan Raya Berlistrik Bagi Mobil Listrik - Pesawat Hybrid Pertama di Dunia Halaman 68

Kemudian ada ide-ide atau wacana-wacana lain yang tidak pernah terealisasi.Terakhir wacana kenaikan harga BBM datang dari Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Widjajono Partowidagdo hingga Rp 1.000 per liter. Pemerintah juga sempat membisiki MUI agar membuat fatwa, semacam fatwa atau tausyiah atau apalah namanya, yang intinya mengatakan bahwa bagi orang yang mampu membeli Pertamax diharamkan untuk membeli BBM bersubsidi. Sebuah

>>>

Eksplorasi

- Sulap Blok Migas Bak “Gula” bagi “Semut” Investor - Mengapa Target Lifting Minyak Sulit Ditembus - Terobos Emas Hitam, Bikin Asosiasi Tandingan Halaman 70

logika yang kacau balau. Soal BBM adalah soal manajemen. Kalau mau jujur, maka sebenarnya masalah BBM adalah masalah manajemen. Tidak perlu dihubung-hubungkan dengan agama. Kalau diikatakan BBM bersubsidi haknya orang miskin dan Pertamax haknya orang kaya, maka ini juga merupakan logika yang berantakan. Bukankah banyak motor digunakan para salesman dari perusahaan-perusahaan besar?Bukankah banyak juga anaknya orang kaya berangkat ke sekolah naik motor?Persoalan BBM adalah persoalan manajemen. Haidar Putra, Sidoarjo, Jatim

Rubrik Pasca-CSR Redaksi yang terhormat, Saya mengenal majalah Global Energi dari teman-teman saat acara sosialisasi dan perkenalan pre-launching di Bojonegoro. Saya salut dengan visi misi majalah ini. Namun saya berharap ada rubrik khusus

>>>

News Maker

Disangsi, Jero Pilih Aksi Halaman 82

>>>

kami yang ada di daerah, di mana telah dilakukan eksplorasi migas, pengetahuan soal ini penting, mengingat hak-hak dan kewajiban kami sebagai warga. Sebab terus terang karena warga tak tahu sehingga berpikir yang aneh-aneh hingga aksi turun ke jalan. Terima kasih. Rusdi, Bojonegoro Mahasiswa

Lugas Mudah Dimengerti Wisata

Pesona Natuna dari Pantai hingga Perut Bumi Halaman 88

>>>

melainkan pasca-CSR atau seingat saya ada istilah beyond CSR. Bagi

Korporasi

PT Pertamina Tongkang Siap Arungi Dunia Halaman 85

>>>

mengenai CSR (Corporate Social Responsibility), tapi tidak hanya mengupas soal CSR dari perusahaan-perusahaan migas dan energi

Lintas Migas

- Genting Oil garap Lapangan Ande-Ande - Lagi, Petronas Dapat Jatah Jual BBM Subsidi 2012 7 EDISI I Halaman 94

Salam. Saya baru mengenal majalah ini setelah Global Energi hendak wawancara khusus dengan Rio Haryanto. Tapi karena Rio masih di Inggris untuk mempersiapkan F-2 di Eropa wawancara belum bisa dilakukan. Soal majalah ini, terus terang saya awam masalah pertambangan dan energi. Bagi orang seperti saya pengetahuan soal pertambangan dan energi penting, karena itu saya berharap dalam membuat liputan yang lugas dan mudah dimengerti. Artinya, kupasannya tidak terlalu teknis njlimet sebab majalah ini kan untuk umum. Terima kasih.

DESEMBER Beby, 2011Manajemen Rio Haryanto


laporan utama

Ke Mana

kebijakan energi Kita

Arah

Oleh: Erfandi Putra

Energi? Semua negara mengalami “persoalan� dengan komoditas ini. Perang di Timur Tengah yang selalu melibatkan Amerika Serikat, hingga tumbangnya Khadafi konon tidak terlepas dari kepentingan energi, dalam hal ini minyak. Juga demikian di Indonesia yang menghabiskan triliunan rupiah untuk subsidi yang didominasi bahan bakar minyak (BBM). Lalu bagaimana negara ini mengelola energinya masa mendatang?

8

EDISI I desember 2011


laporan utama

P

ada masa-masa menda­ tang, kekuatan negara sa­ ngat ditentukan juga oleh k e t a h a n a n e n e r g i n ya . Karena itulah, energi menjadi bagian sangat penting dalam perjalanan sebuah negara. Negara akan menjadi maju atau tidak sangat tergantung juga oleh keterse­diaan energinya. Tersedia tidaknya energi akan menentukan posisi Indonesia. Sektor ini, mempunyai peranan penting di semua aspek, khususnya guna menopang pertumbuhan hingga ke semua lini kehidupan. Persoalan energi menjadi sangat penting bagi perja­lanan negara ini ke de­pan. Mengapa? Karena, tersedia ti­daknya energi akan menentukan ke­ma­juan Indonesia. Sektor energi, mem­punyai peranan penting di semua as­pek, khususnya yang berkait kehi­ du­p an hingga pada pertumbuhan ekonomi. Karena itulah, untuk menyusun ke­b ijakan energi yang tepat guna di­ben­tuklah Dewan Energi Nasional (DEN) yang berdiri berdasarkan Undang-Undang No. 30/2007 tentang Energi. Di mana Presiden sebagai Ketua, Wakil Presiden sebagai Wakil Ketua, Ketua Harian Menteri Energi dan Sumber­d a­ya Mineral. Anggota dari unsur pe­m e­r intah (para menteri terkait) dan 8 un­sur pemangku kepentingan. Ir Agusman Effendi, anggota DEN yang mewakili konsumen mengata­ kan, DEN pada intinya ditugasi me­ nyusun kerangka Kebijakan Energi Nasional (KEN) hingga 2050. Ini men­ jadi penting, karena persoalan energi tidak akan ter­lepas dari perjalanan suatu bangsa ke depan. Substansi kebijakan energi nasional yang utama ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional, prioritas pe­ngembangan energi, pemanfaatan sumber daya energi nasional dan cada­

Prof. Ir. Mukhtasor M. Eng. Ph. Anggota Dewan Energi Nasional

ngan penyangga energi nasional. Sementara kebijakan pendukung­ nya, yakni konversi dan diversifikasi ene­r­gi, lingkungan dan keselamatan, har­ga, subsidi, dan insentif energi, infra­s truktur dan industri energi, pene­litian dan pengembangan energi serta kelem­bagaan dan pendanaan. “Draf sudah kami ajukan ke DPR. Ting­g al menunggu hasil penggo­ dokan­nya lebih lanjut,” kata mantan Ketua Ko­misi VII DPR-RI itu. Kebijakan energi nasional memang sudah seharusnya dibuat, agar men­ jadi panduan yang terarah di masa men­­datang. Bila kita berkaca pada kri­ sis ekonomi global pada tahun 20082009 telah menunjukkan besarnya pe­ngaruh harga minyak bumi pada pere­konomian global. Harga minyak bumi pada saat itu naik melampaui 100 dol­lar AS per barel yang memicu krisis eko­nomi global akibat tingginya inflasi, kenaikan biaya produksi dan harga bahan pokok. Pasca krisis ekonomi global konsep

ketahanan energi (energi security) men­jadi semakin relevan. Ketercu­ ku­pan pasokan serta stabillitas harga ener­gi menjadi prioritas utama dalam menen­tukan kebijakan pembangunan di banyak negara. Pertambahan penduduk dan gen­carnya industrialisasi di tengah keter­b atasan sumber daya energi khusus­nya energi fosil, menyebabkan ketidak­seimbangan permintaan dan pena­waran. Diperkirakan hingga tahun 2030 kon­sumsi energi dunia masih tergan­ tung kepada energi minyak bumi yang tidak terbarukan. Demikian juga de­ ngan Indonesia dengan pertumbuhan eko­n ominya yang dinamis hanya me­m iliki cadangan minyak yang diperki­r akan akan habis pada 16 tahun kemu­dian. Dan inilah yang seharusnya men­ jadi persoalan ke depan kita. Sebagai gam­baran cadangan energi minyak In­ do­nesia hanya 8 miliar barel, sedang­ kan cadangan dunia 1.208 miliar barel. Karena itu, kata Agusman, KEN di­ susun untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional un­ tuk mendukung pembangunan nasio­ nal berkelanjutan. Melihat kenyataan ini, Prof. Ir. Mukh­tasor M. Eng. Ph.D., anggota

Ir Agusman Effendi

Anggota Dewan Energi Nasional ge/erfandi putra

9

EDISI EDISI II desember desember 2011 2011


laporan utama DEN lain­nya mengatakan, cadangan energi minyak Indonesia memang tidak ter­l alu banyak juga. Karena itu, sudah se­pan­tasnyalah persoalan energi ke de­pan menjadi perhatian yang serius. Setiap pertumbuhan harus di-drive oleh energi. “Ketersediaan ener­­gi menjadi salah satu pertim­b a­n gan yang utama bagi investor untuk me­ nanamkan investasinya. Juga infra­ struktur lainnya. Intinya, energi men­ jadi kata kunci berhasil tidaknya kita me­narik investor,” katanya. Berdasarkan data, elastisitas energi kita saat ini sekitar 1,5%. Artinya, bila per­tumbuhan 6%, maka dibutuhkan pertumbuhan energi sekitar 9%. Inilah yang menjadi persoalan selama ini. Pem­bangkit 10.000 MW yang dide­ ngung-dengungkan masih molor juga. Bukti elastisitas energi masih 1,5%, yakni elektrifikasi (jumlah rakyat yang dapat aliran listrik) kurang dari 70%, sehingga begitu ada tambahan aliran listrik langsung digunakan untuk ru­ mah tangga. Bukan untuk kebu­tuhan in­dustri . Sementara industri kita be­ lum mengarah pada industri kreatif yang memerlukan energi rendah. Sektor industri masih mendo­mi­ nasi konsumsi energi di negara ini de­ngan pemakaian sebesar 329,7 juta SBM (setara barel minyak) atau 49,4% dari total konsumsi energi nasional. Di tem­pat kedua, sektor transportasi me­ nyum­­bang konsumsi sebesar 226,6 juta SBM (34%). Sementara rumah tangga dan bangunan komersial masing ma­sing menggunakan 81,5 juta SBM (12,2%) dan 29,1 juta SBM (4,4%). “Karena itu, kita harus ber­usaha elastisitas energi mi­nimal menjadi 1%. Ini ha­rapan kita pada tahun 2025 men­datang,” katanya. Pada 2025 men­­datang kon­sumsi energi diusahakan sbb:

Konsumsi Energi Tahun

Gas Bumi Batubara 33%

Batubara yang dicairkan 2%

     

Minyak Bumi 20%

EBT Panas EBT lainnya bumi lainnya 5% 5% 5%

minyak bumi < 20% gas bumi > 30% batubara > 33% panas bumi > 5% EBT Lainnya >5% batubara dan dicairkan > 2%.

Saat ini, penggunaan minyak bumi mencapai kisaran 51%, gas sebanyak 28%, batubara 15%, sisanya air dan pa­nas bumi . Mukhtasor yang juga Guru Besar ITS ( Institut Teknologi Sepuluh Nopember ) mempre­diksi, kita dalam penggunaan energi me­ngapa ke tahun 2050? Karena, kita um­pamakan tahun 2006 negara maju, sa­ma keada­annya dengan Indonesia pa­da 2050. Artinya, pada 2050 nanti, In­d o­n esia sama dengan negara maju pada 2006. Kebutuhan energi pri­mer (minyak bumi, batubara, gas) pada 2010 menca­

EDISI I desember 2011

pai kisaran 130 MTOE. Pada 2030 men­c apai kisaran 550 MTOE dan tahun 2050 kebutuhannya di kisa­ran 1.100 MTOE. Demikian juga dengan kebutuhan lis­trik. Pada 2010 mencapai 33.000 (ka­pasitas pembangkit), meningkat men­jadi kisaran 198.000 Mega Watt, dan pa­d a 2050 di­p erkirakan ke­ butuhannya akan men­ca­pai kisaran 500 Mega Watt. Meningkatnya kebutuhan energi pri­mer ini, tidak lain dikarenakan jum­lah penduduk yang meningkat. Di sam­ping pertumbuhan ekonomi yang me­ning­kat pula. Yang menjadi pertanyaan apakah kebu­tuhan energi primer ini akan di­ penuhi sesuai kebutuhannya? “Tidak. Sesuai dengan KEN, kita sudah mem­ punyai kebijakan energi yang terarah dan terukur,” kata Mukhtasor. Karena itu, langkah awal, batubara dan gas harus lebih banyak lagi diper­ gunakan, untuk menggantikan minyak bumi. Untuk jangka pendek peng­guna­an panas bumi dan energi air akan diting­ katkan peranannya. Jangka pan­jang, energi laut dan energi surya ha­rus menjadi pilihan kita untuk men­cukupi kebutuhan. Pengembangan energi dilakukan dengan mempertimbangkan keseim­ bangan keekonomian energi, keama­ nan pasokan dan pelestarian fungsi ling­kungan. Energi Terbarukan Untuk mewujudkan keseimbangan yang dimaksud, prioritas pengem­ba­ ngan energi nasional didasarkan pada prinsip, memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, meminimalkan peng­gunaan minyak bumi, mengop­ timalkan pemanfaatan gas dan energi baru, serta memenuhi selisih penye­ di­aan energi dengan menggunakan batubara.


laporan utama Sementara, prioritas pengem­bang­ an energi suatu daerah dilakukan de­ngan mengutamakan sumber daya ener­gi setempat. Pengembangan en­ergi dan sumber daya energi diarahkan un­tuk memenuhi kebutuhan energi da­lam negeri, pembangunan pem­ bangkit listrik tenaga nuklir diupa­ yakan untuk, mendukung keamanan pasokan ener­gi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon, dengan tetap memper­hatikan potensi energi terbaru. Kebijaksanaan sumber daya energi na­sional, pemanfaatan sumber daya ener­g i nasional dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengacu pada strategi peman­ faatan biomassa, sampah, tenaga air, panas bumi, energi laut, dan angin diarahkan untuk ketenagalistrikan. Pemanfaatan tenaga matahari di­arahkan untuk ketenagalistrikan, dan energi non listrik untuk industri, rumah tangga, dan transportasi. Pemanfaatan bahan bakar nabati diarahkan untuk menggantikan bahan bakar minyak, terutama untuk transportasi dan industri. Peman­ faatan bahan bakar m­i nyak hanya untuk transportasi, se­panjang tidak/ atau belum bisa digan­tikan dengan energi atau sumber energi lain. Pemanfaatan gas bumi diarahkan untuk industri, ketenagalistrikan, ru­m ah tanggan, dan trasportasi. Peman­f aatan batubara diarahkan untuk ketenagalistrikan dan industri. Peman­faatan batubara tercairkan dan hydro­gen diarahkan untuk trasportasi. Pe­manfaatan sumber energi baru ber­ bentuk padat dan gas diarahkan untuk ketenagalistrikan. Pemanfaatan sum­ ber energi berbentuk cair selain Liquid Petroleum Gas diarahkan hanya untuk sektor transportasi. Pemanfaatan sumber daya energi diutamakan un­ tuk memenuhi kebutuhan energi dan bahan baku untuk industry.

Kardaya Wardika

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, dengan hidroelektrik mungil yang menghasilkan listrik untuk rumah tangga . ge/erfandi putra

Prioritas pemanfaatan sumber energi dilakukan berdasarkan pertim­ bangan menyeluruh atas kapasitas, kontinuitas, dan keekonomian serta dampak lingkungan hidup.. Di samping itu, kata Mukhtasor, ke depan kita harus melakukan konversi, efisiensi hingga mendaur ulang energi yang terbuang. Menga­man­kan pasokan energi dengan cara memperbanyak sum­ber-sumber, yakni energi terba­ rukan. Uang hasil minyak disisihkan untuk mencari ladang minyak baru.

EDISI I desember 2011

Produksi minyak akan ditingkat­ kan. Penggunaan minyak ini lebih ba­ nyak digunalkan untuk transportasi. Di samping harus menyediakan atau memaksimalkan energi terbarukan seperti, panas bumi, hydro, mini hydro, energi laut, energi surya, biogas dan lainnya. Panas Bumi. Teuku Riefky Harsya, Ketua Komisi VII DPR-RI yang membidangi sektor energi, kepada Global Energi mengata­kan, draf KEN yang diajukan


DEN soal energi ke depan sudah ditangan dewan dan terus dilakukan penggodokan bersama-sama dengan instansi terkait. “Mulai sekarang, memang sudah seharusnya mengurangi peran minyak bumi dalam penggunaan energi. Kita harus mencari pengganti. Jawabnya, adalah energi terba­rukan,” katanya. Panas bumi, merupakan salah sa­ tu energi altenatif yang sa­ngat mung­ kin atau sesegera mungkin untuk dioptimalkan. Indonesia, hingga saat ini tercatat sebagi pe­milik energi panas bumi terbesar di jagad ini. Selain panas bumi, masih cukup banyak lagi energi terbarukan yang seharusnya kita manfaatkan untuk kepentingan energi nasional. Sudah se­harusnya semakin banyak meng­gu­ nakan energi terbarukan untuk men­ cukupi kebutuhan energi nasional, khu­s usnya pada masa-masa men­ datang. “Yang jelas kebijakan energi ter­ sebut harus berpihak pada ke­pen­ tingan dalam negeri,” kata Teuku. Pada kesempatan yang sama, Darwin Zahedy Saleh saat masih

ge/erfandi putra

laporan utama

Teuku Riefky Harsya Ketua Komisi VII DPR-RI

menjabat Menteri ESDM menga­ takan, kita akan terus melakukan upaya agar peran minyak bumi dari waktu ke wak­tu terus dikurangi. Ini mengingat, mi­nyak ada batas waktu ketersediaannya. Tidak hanya panas bumi yang menjadi andalan, tetapi energi air akan le­b ih banyak dimanfaatkan untuk me­menuhi kebu­tuhan energi di masa men­datang. Karena itulah, pemerintah terus memacu untuk mencapai tuju­a nnya se­p erti yang digariskan atau kebijakan KEN. Dirjen Energi Baru Terbarukan

Pokok Pokok Kebijakan Energi Nasional 2010-2050 1. Mengubah paradigma sumber daya energi sebagai komoditas menjadi sebagai modal pemangunan nasional 2. Meningkatkan efisiensi, konservasi dan pelestarian lingungan hidup dalam pengelolaan energi 3. Meningkatkan pangsa sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT) 4. Meningkatkan cadangan terbukti energi fosil dan mengurangi pangsanya dalam bauran energi nasional 5. Meningkatkan pengelolaan energi secara mandiri, penciptaan lapangan kerja, kemampuan penelitian,pengembangan penerapan (litbang RAP) dan peran industri dan jasa energi dalam negeri 6. Memeratakan skses terhadap energi migas dan listrik bagi masyarakat kota dan desa 7. Mengamankan pasokan energi, khususnya listrik dan migas untuk jangka pendek, menengah dan panjang 8. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya energi dalam pembangunan ekonomi nasional 9. Menetapkan dan mengamankan cadangan penyangga energi nasional

EDISI I desember 2011

dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Kardaya Wardik mengatakan, penggunaan energi alternatif me­mang harus dipacu. Kita jangan sampai terlambat untuk menggali potensi energi non fosil. Sebenarnya, kata Kardaya, selain energi terbarukan yang sudah dike­ nal seperti panas bumi, air hingga energi surya, kita sudah seharusnya meman­faatkan peluang energi yang ada di sekitar kita. “Misalnya seperti alat ini, yakni alat pembangkit listrik skala ruma­han. Alat sederhana (penghasil listrik) yang digerakkan oleh aliran air yang cukup kecil sudah bisa mengahasilkan tenaga listrik untuk skala rumahan,” katanya sambil menunjukkan alat tersebut yang dipamerkan pada peringatan Hari Jadi Pertambangan dan Energi ke-66. Sementara Soebroto, mantan Men­ teri Pertambangan dan Energi (19781988) mengatakan, minyak itu ada ba­tasnya. Karena itu, jangan boros meng­gunakannya. Nah, disini peran peme­rintah menjadi penting dalam hal mem­berikan sosialisasi kepada masyarakat. “Potensi energi di luar minyak cukup bagus. Ide pemerintah baik. Mengapa dalam pelaksanaannya ka­ dang melenceng,” kata mantan Sekjen OPEC (1988-1994) itu. Lalu Soebroto menunjuk soal kebi­ ja­kan gas. Dia bertanya, mengapa gas harus dijual ke luar negeri. Padahal di dalam negeri kita sangat mem­ butuh­kan. “Lihat saja, sejumlah pe­ ngusaha berteriak kekeurangan gas. Tak salah bila saya katakana ayam kelaparan di lumbung padi,” katanya bersemangat. Dia berharap agar kebijakan yang sudah bagus, benar-benar dijalankan se­suai dengan apa yang telah disepa­ kati. Jangan karena ganti pemerin­tahan, ganti pula kebijakannya. Janganlah.


laporan utama Apa yang dikatakan tokoh senior energi Soebroto ini sudah sepantas­ nyalah kita dengar. Kita yang katanya kaya akan berbagai energi, nyatanya masih banyak persoalan untuk men­ jaga kestabilan energinya. Salah satu faktor adalah kebijakan yang “menyimpang”. Suatu misal, kita yang kaya gas, tapi PT PLN malah akan mengimpornya. Seperti inilah yang dimaksud Soebroto, agar kebijakan soal energi tidak terpengaruh oleh ber­bagai keputusan atau setidaknya di­minima­lisir dari berbagai kepenti­ngan sesaat. Saat ini, energi Indonesia masih mengandalkan pada migas. Cadangan minyak bumi dalam kondisi menurun, walaupun ekploitasi cadangan gas bumi cenderung meningkat. Untuk

ge/erfandi putra

Hal lain yang disoroti Soebroto, yak­ni kemudahan bagi investor. Seba­ gai contoh, untuk memaksimalkan pa­nas bumi sudah barang tentu kita membu­tuhkan investor, karena inves­ tasi di sek­tor ini besar. Bertolak pada kenyataaan inilah, berikan kemudahan pada mereka. “Saya mendengar, sebenarnya inves­tor cukup banyak tertarik untuk membenamkan investasinya di sektor ini. Baik investor asing maupun lokal, tetapi mengapa sektor ini masih minim yang menggarapnya. Ini pasti ada sesuatu,” katanya. Karena itu, Soebroto berharap ke­mu­dahan berinvestasi yang dide­ ngung-dengungkan penuh kemu­da­ han itu benar-benar dilaksanakan. “Ke­mudahan berinvestasi memnag

Soebroto

Mantan Menteri Pertambangan dan Energi

su­dah sepantasnyalah diberikan. Juga de­m ikian, persoalan pajak jangan sampai memberatkan, sehingga minta investor tersebut menjadi kenyataan,” katanya. Proyeksi Konsumsi Energi Indonesia 2010-2050

No. Uraian

2000

2005

2008

2010

2015

2020

2025

2030

2035

2040

2045

2050

1

Konsumsi Listrik

Skenario Moderate

6.8

9.2

11.1

12.7

19.0

29.4

44.0

63.1

89.1

124

166

219

Skenario Tinggi

6.8

9.2

11.1

12.7

19.0

31.2

52.1

83.5

123

170

223

279

2

Kapasitas Pembangkit [GW]

Skenario moderate

23.8

26.1

30.6

31.6

46.8

68.7

103

147

207

287

368

485

Skenario Tinggi

23.8

26.1

30.6

31.6

46.8

75.7

122

195

285

379

496

618

3

Konsumsi Energi Final

Skenario Moderate

70.3

83.9

95.2

104

135

180

244

319

405

506

613

731

Skenario Tinggi

70.3

83.9

95.2

104

135

191

282

399

523

652

775

895

4

Kebutuhan Energi Primer

Skenario Moderat

103

128

143

160

206

272

364

467

600

758

934

1138

Skenario Tinggi

103

128

143

160

206

289

426

606

805

1019

1230

1436

Sumber Data: Pusdatin ESDM, Statistik PLN,Handbook of Energy and Economic Sytatistics inJapan 2008

Energi dalam MTOE (Million Tons of Oil Equivalent/juta ton setara minyak), listrik dalam TWh. (Herman Darnerl Ibrahim, Jakarta, 24 February 2010)

Proyeksi Kebutuhan Energi 2010-2050 (Model MARKAL) No. 1

PROYEKSI

KONSUMSI ENERGI FINAL

MTOE

2010

2015

2020

2025

2030

2035

2040

2045

2050

97,05

137,35

190,76

260,49

343,90

438,79

555,97

662,42

757,17

2

KONSUMSI ENERGI PRIMER

MTOE

154,90

209,05

292,06

398,12

551,37

721,28

932,21

1137,76

1335,34

3

KONSUMSI LISTRIK

MTOE

13,67

21,04

32,16

47,45

67,36

93,80

128,49

173,35

222,86

4

KAPASITAS PEMBANGKIT

GW

36,51

59,35

82,53

114,81

172,75

250,13

349,98

469,26

603,10

Beberapa asumsi berbeda dengan sebelumnya (HDI) , angka 2010 sedikit berbeda karena angka baseline pada 2008 sedikit berberda, namun secara umum memberi gambaran masa depan kebutuhan energi yang hampir sama.

EDISI I desember 2011


laporan utama

Penyerapan Energi Terbarukan yang Masih Minim

h

ingga kini, pemerintah ma­s ih mengakui sulitnya merealisasikan dan mengem­ bangkan energi terbarukan. Apalagi, pemerintah masih berkutat pada subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hal tersebut membuat pengem­b angan energi terbarukan dan konser­vasi energi saat ini sulit berkembang. Masalah lainnya, yakni infra­struk­ tur minyak dan gas (migas) yang ter­ batas. Keterbatasan ini karena penda­ naannya yang tidak ada dan difo­ kus­kan pada hal lain seperti subsidi BBM sendiri, kemudian pendidikan dan lain-lain, sehingga pemanfaatan energi tidak efisien akibatnya bauran energi juga terjadi ketimpangan. “Energi baru terbarukan itu harga­ nya mahal. Biaya produksinya pun ma­ hal. Hal ini yang menyebabkan su­lit­nya penyerapan energi terbarukan. Saat ini energi terbarukan penye­r a­p annya masih kecil hanya sekitar 5%. Tapi kita menargetkan penggunaan ener­gi terbarukan bisa sebesar 25% pa­da tahun 2025,” kata Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Ter­ ba­rukan dan Konservasi Energi Ke­ men­terian Energi dan Sumber Daya Mi­neral Maritje Hutapea. Menurutnya, perlu adanya insentif yang lebih bagi beberapa jenis energi ter­barukan. Sebagai regulator, peme­ rintah akan lebih fokus pada pembuat kebijakan-kebijakan. Strategi yang dapat dilakukan pemerintah dengan cara meningkatkan eksplorasi, pembe­ rian insentif ekonomi untuk mening­ katkan investasi bagi kegiatan eksplo­

Proses produksi bahan Bakar Nabati (BBN). PT Pertamina belum menggarap secara optimal sektor ini.

rasi, yakni eksplorasi wilayah baru termasuk frontier areas untuk mening­ katkan status cadangan. Sementara, John Roome, Direktur Bank Dunia untuk Pemba­n gunan Berkelanjutan, Kawasan Asia Timur dan Pasifik mengungkapkan, kawasan Asia Timur-Pasifik telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Namun, masih terdapat 170

EDISI I desember 2011

juta orang di kawasan ini yang belum memiliki saluran listrik dan sebanyak 1 miliar penduduk masih menggunakan bahan bakar padat untuk memasak. Karena itu, masih banyak pendu­ duk yang bergantung pada bahan bakar padat, sehingga polusi udara dalam ruangan akan terus menjadi faktor risiko kesehatan. Terutama, berisiko bagi perempuan dan anak-


laporan utama anak. Hal ini merupakan laporan Bank Dunia bersama dengan AusAID. Laporan tersebut menjabarkan sejumlah program yang ambisius untuk mengatasi masalah kekurangan energi di kawasan ini pada tahun 2030. Karena itu, laporan ini diharapkan dapat mendorong pemerintah bekerja melalui dua jalur secara simultan. Jalur pertama, pemerintah di kawasan ini diharapkan dapat mencapai akses universal bagi listrik dengan cara akselerasi. Caranya bisa melalui program jaringan listrik ataupun di luar jaringan. Termasuk menyediakan layanan yang lebih efisien untuk ru­mah tangga. Pada jalur kedua, peme­rintah diharapkan dapat meningkatkan akses untuk bahan bakar memasak yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, dengan penggunaan gas natural, gas cair, hingga biogas. Tidak hanya sebatas bahan baku saja, pemerintah juga diharapkan me­ nyediakan kompor masak yang lebih canggih, terutama di daerah pedesaan miskin. Ini akan membantu pening­ katan kesehatan dan mengurangi jumlah kematian prematur. Karena berdasarkan catatan Bank Dunia, sebanyak 600 ribu orang meninggal di kawasan ini setiap tahunnya akibat polusi dalam ruangan. “Kedua jalur ini sangat terjangkau. Biaya yang diperlukan diperkirakan mencapai 78 miliar dollar AS untuk dua dekade mendatang bagi kawasan untuk mencapai akses universal untuk listrik, bahan bakar modern untuk memasak dan kompor memasak yang canggih,” ujarnya. Tak Terserap Di sisi lain, kalangan dunia usaha masih merasa prihatin dengan mi­nim­ nya penyerapan bahan bakar nabati (BBN) oleh PT Pertamina. Karena itu, pemerintah harus ber­tindak untuk

meningkatkan penye­rapannya. Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kamar Dagang dan Indus­t ri (Kadin) Indonsia Harry Salman F Sohar mengatakan, dana subsidi peme­rintah untuk bioethanol dan biodiesel sebesar Rp 3 triliun belum digunakan. Pertamina belum menyerap kedua BBN itu dengan optimal. Bahkan, ta­h un ini, tidak ada penyerapan sama sekali untuk

bioethanol. Anggaran sub­sidi yang t i d a k t e r p a k a i m e n g a k i ­b a t k a n tidak jalannya program energi baru terbarukan (EBT). Menurutnya, jika pemerintah se­rius menjalankan program EBT maka harus ada langkah konkret. Salah satu­nya dengan meminta Pertamina menyerap lebih banyak lagi bahan ba­kar ramah lingkungan tersebut. Penyerapan bioe­ thanol diharapkan bisa mencapai 5% dan penyerapan biodiesel harus di­ tingkatkan dari 30% menjadi 60%. Dengan optimalnya penyerapan akan membawa dampak positif bagi in­dustri dan harga yang relatif terjang­ kau bagi konsumen. “Kalau pemerin­ tah belum melakukan intervensi berarti keinginan untuk mewujudkan program EBT masih setengah-sete­

EDISI I desember 2011

ngah. Perlu ada political will karena banyak dampak positif bagi ketahanan energi di masa depan,” katanya. Berdasarkan pembicaraan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Harry belum mendapatkan kepastian mengenai target pemerintah untuk penyerapan BBN tahun ini. Pihaknya juga akan melakukan pem­ bicaraan dengan stakeholder untuk menemukan solusi agar penyerapan bisa dioptimalisasi. “Ini kan tanggung jawab peme­ rintah melalui ESDM dan juga Perta­ mina. Namun sayangnya belum ada tanggapan serius,” tandasnya. Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Kardaya Wardika pernah mengakui minimnya penyerapan bioethanol dan biodiesel oleh Pertamina. Hal itu ka­r ena belum adanya fasilitas pencampur bahan bakar minyak (BBM) dengan BBN di setiap Depo. Akibatnya, pem­belian Pertamina terbatas pada Depo yang sudah tersedia fasilitas pencam­pur. Ia juga meminta Pertamina me­man­ faatkan penyerapan tidak hanya pada daerah-daerah tertentu saja. “Kami belum menetapkan berapa target minimal yang harus diserap Pertamina karena harus melihat be­ berapa pertimbangan teknis. Tidak bisa langsung meminta penyerapan de­ngan persentase tinggi,” kata Kardaya. Selain Pertamina, lanjut dia, Shell juga diminta untuk menyerap BBN mes­kipun tidak sebesar Pertamina. Pi­haknya meminta Shell turut berpar­ ti­sipasi dalam menjual bahan bakar ra­mah lingkungan yang bermanfaat bagi Indonesia dalam mengurangi gas buangan (polusi). “Paling tidak, Shell ikut berkontribusi pada program pemerintah ini,” pungkasnya.  Wajar Setya Tresnanto, Balya Nauval


laporan utama

Panas

Siapa Berani Setiap kali kita menyebut minyak, pasti kita akan menoleh ke Timur Tengah. Tapi bila menyebut panas bumi mengapa kok “tidak menoleh” ke Indonesia. Padahal, negara ini menjadi “pemilik” terbesar panas bumi di jagad ini. Sayangnya, hingga saat ini pemanfaatannya masih relatif kecil. Sejumlah investor dari sejumlah negara menaruh minat, tapi mengapa semuanya ini masih gamang? 16

EDISI I desember 2011 EDISI I desember 2011


laporan utama

K

EMENTERIAN Energi Sum­b er Daya Mineral (ESDM) sudah seringkali me­ngingatkan tentang pentingnya meman­faat­­kan potensi sumber energi panas bumi yang melimpah di negeri ini. Se­bab energi fosil tinggal menunggu wak­tu saja untuk menjadi “fosil” alias habis. Lantaran itu pengembangan pemanfaatan energi, panas bumi (geothermal) mempunyai arti penting bagi kelangsungan kehidupan di bumi nusantara ini. Seperti diketahui, kita tak bisa selamanya mengandalkan energi fosil, seperti minyak hingga gas, yang pada saatnya habis juga. Begitu juga dengan energi air yang akan menjadi pengganti energi fosil untuk kebijakan energi masa mendat­ang. Hanya saja, kata mantan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh se­muanya harus berproses. Artinya, kita harus mem­punyai perencanaan yang matang untuk menggunakan energi alternatif tersebut. Apa yang dikatakan Dar­w in menunjukkan potensi pa­nas bumi di Indonesia harus diguna­kan benarbenar untuk kepentingan rakyat. Di samping itu, penggunaan energi ramah lingkungan ini harus membawa manfaat bagi semuanya. Dan Pemerintah sendiri bermak­ sud untuk lebih memanfaatkan energi panas bumi dalam penyediaan tenaga listrik nasional melalui program percepatan pembangunan pembang­ kit tenaga listrik 10.000 MW tahap II, yang komposisi energi mixnya lebih ke arah energi baru terbarukan, yang salah satunya adalah panas bumi. Dengan pelaksanaan pro­gram ini, diharapkan kontri­busi pemanfaatan energi panas bumi meningkat menjadi 17% (4.713 MW) dari potensi energi panas bumi yang ada hingga tahun 2015. Untuk itu, pemerintah sudah

Aktivitas PT Pertamina Geotermal Energy (PGE) di Ulubelu, Provinsi Lampung.

meng­a mbil langkah-langkah guna men­d orong pe­n gem­b a­n gan panas bumi di Indonesia. Bah­kan peme­ rin­tah telah menge­luarkan UndangUndang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi. Berdasarkan regulasi tersebut telah ditetapkan 22 Wilayah Kerja Per­tambangan (WKP) yang terdiri atas 8 WKP di Sumatera, 7 WKP di Jawa, 2 WKP di Sulawesi, 3 WKP di Nusa Teng­gara dan 2 WKP di Maluku. Indonesia yang berada di ring of fire dunia dengan banyaknya gunung be­ rapi di samping memberikan dampak yang berbahaya juga memberikan anugerah akan tersedianya ener­g i yang ramah lingku­ngan yaitu panas bu­mi. Potensi energi pa­nas bumi yang dimiliki oleh Indonesia men­capai seki­ tar 29.000 MW de­ngan potensi sum­ber daya 13440 MW dan reserve 14.473 MW tersebar di 265 lokasi di seluruh Tanah Air. Saat ini pengembangan lapangan panas bumi di Ulubelu, Provinsi Lam­

EDISI I desember 2011

EI.com

pung se­dang dilakukan. Lapangan ini telah berhasil me­la­ku­kan pengeboran 12 (dua belas) su­mur dengan potensi uap da­ri uji produksi sebesar 80 MW. Pengem­bangan lapangan panas bumi juga sedang dilaksanakan di Lumut Balai (Provinsi Sumatera Selatan), Su­ ngai Penuh (Provinsi Jambi), Hu­lulais (Pro­v insi Bengkulu), Kotamobagu (Pro­v insi Sulawesi Utara), Karaha (Provinsi Jawa Barat). Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya panas bumi terbesar di dunia (40% cadangan dunia) juga aktif dalam kancah industri panas bumi dunia. Apalagi kebutuhan dunia akan energi ini sungguh besar. Berdasarkan Laporan Technology Roadmap Geothermal Heat and Power, yang diluncurkan 14 Juni 2011 lalu pada konferensi tahunan EURELEC­TRIC di Stockholm, Swedia, bahwa melalui upaya pengembangan sumber daya panas bumi yang belum diman­f aatkan dan teknologi baru, pengguna­a n energi panas bumi dapat mencapai sekitar 3,5% dari produksi listrik global dan 3,9% energi untuk pemanas pada 2050.


Sebuah peningkatan yang cukup signifikan dari angka saat ini yang hanya mencapai 0,3% dan 0,2% untuk masing-masing. Dalam laporan itu disebutkan meski eksploitasi panas bumi telah dilakukan selama lebih dari satu abad, tapi sampai saat ini upaya untuk me­manfaatkan energi panas bumi ter­k onsentrasi pada daerah uap air alami (vulkanik). Sehingga, upaya pemanfaatan panas bumi harus diperluas untuk memecahkan kendala ekonomi dan non-ekonomi yang meng­hambat eksploitasi lebih lanjut, ter­u tama di negara-negara berkembang. Energi panas bumi juga dapat diambil dari sistem aquifer dalam, yang tersebar di seluruh dunia. Sumber daya ini biasanya dapat ditemui pada kedalaman 3 kilometer dan meng­hasilkan temperatur lebih dari 60 derajat Celcius. Pemanfaatan pada sistem aquifer diperkirakan akan tumbuh cepat, mencerminkan ketersediaan yang luas, baik untuk panas maupun listrik. Se­l ain daerah-daerah yang belum di­man­faatkan, sebagian besar energi panas bumi dunia berada pada daerah pengeboran dalam, yang bisa mencapai lima kilometer dan ditemukan dalam batuan yang relatif kering dan kedap (hot rock). Saat ini, teknologi yang memung­ kinkan untuk memanfaatkan panas dari batuan tersebut adalah Enhanced Geothermal Systems (EGS), yang masih dalam tahap uji coba. Dengan sistem ini, ke dalam sumur yang dibor disuntikkan air pada tekanan yang cukup, sehingga menciptakan patahan pada batu. Sumur lainnya kemudian dibor untuk memompa air yang telah disuntikkan tersebut. Cadangan minyak dan gas (migas) dan produksi nasional semakin tipis, berbanding terbalik dengan

ge/erfandi putra

laporan utama

Dr Alexander Chandra - Perwakilan International Institute for Sustainable Development (ISD). konsumsi yang cenderung meningkat. Perlu kesa­daran untuk menghemat penggunaan energi fosil dan beralih ke energi panas bumi (geothermal/ biofuel) untuk mencukupi pasokan listrik. “Harus ada terobosan. Minyak mau habis, energi terbarukan relevan. Fokus untuk listrik bagusnya ke geothermal. Tinggal memfasilitasi apa yang diinginkan investor dan pemerintah harus jadi fasilitator yang baik, “ ujar Kardaya Warnika, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konser­ vasi Energi Kementerian ESDM pada peringatan Hari Jadi Pertambangan dan Energi di penghujung September lalu di Jakarta. Indonesia memiliki potensi besar energi panas bumi, yakni mencapai 29.138 MW. S a ya n g n ya , h i n g g a s a a t i n i kapasitas PLTP yang terpasang baru 4,05% dari potensinya. yakni sebesar 1.180 MW. Tahun 2014 kita programkan ada tambahan 3900-4000 MW pem­ bangkit listrik dari panas bumi.

EDISI I desember 2011

Tahun 2017 akan dikembangkan 10 ribuan MW lagi. Lalu kita akan fokus mengembangkan program ini dengan suatu kemudahan (insentif). Lalu Kardaya menunjukkan alat sederhana yang biasa menghasilkan listrik. “Ini tidak harus menggunakan arus air yang besar, cukup di selokan saja sudah menghasilkan listrik untuk kebutuhan listrik keluarga,” katanya. Lamban Dr Alexander Chandra, perwa­ kilan International Institute for Sustainable Development menga­ takan, Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, harus secepatnya mengambil langkah-langkah untuk mengamankan peng­gunaan energi. Artinya, Indonesia yang saat ini ter­ masuk negara boros dalam menggu­ nakan energi fosil harus secepatnya mengambil langkah-langkah ke arah pengamanan peng­gunaan energinya. “Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) di sini cukup luar biasa. Lihat di kota-kota besar motor-mobil saling


laporan utama berhimpitan yang sudah barang tentu memerlukan banyak BBM,” katanya. Karena itu panas bumi menjadi kekuatan yang maha dahsyat bagi In­donesia. Mengapa? Karena negara ini mempunyai kandungan terbesar di dunia. Yang menjadi pertanyaan se­jauhmana peran pemerintah me­ ngoptimalkan energi ini? Mengapa hingga saat ini penggunaan panas bumi masih relatif kecil. “Itu-per­ tanyaan-pertanyaan yang harus kita kritisi,” katanya. Sejalan dengan Alexander, Dr Ir Surya Darma MBA, Penasihat Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) juga berharap pemerintah mengambil langkah-langkah yang signifikan untuk mengembangkan panas bumi menjadi energi alternatif. Pemerintah bisa dika­takan lamban memanfaatkan energi ini. Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki panas bumi terbesar di dunia dengan potensi sekitar 29.000 mega­watt (MW), te­tapi yang diman­faat­kan baru sekitar 1.189 MW. Pe­man­faatan ini di an­ta­ra­nya tersebar di Siba­yak, Gunung Salak, Wayang Windu, Ka­mo­jang, Derajat, Dieng hingga Lahendong. Sementara Filipina yang hanya mem­punyai kandungan panas bumi sekitar 4.000 MW yang terman­faatkan sekitar 1.800 MW. “Hampir 50% sudah diman­faatkan,” katanya. Begitu juga d e n g a n Amerika Serikat

yang hanya mempunyai kandungan sekitar 8.000 MW yang sudah di­man­ faatkan sekitar 2.500 MW. Jadi bila melihat data-data di atas, peman­ faatan panas bumi di negeri ini ma­sih jauh dari harapan. Dengan potensi 29.000 MW tersebut, panas bumi sudah bisa menerangi Indonesia. Menurut perhitungan Surya Dar­ ma, kebutuhan listrik secara na­sional mencapai kisaran 24.000 MW, tapi mengapa penggunaan energi panas bumi untuk lis­trik sangat ke­cil. Jadi de­ngan panas bumi, PT PLN se­ha­­ rusnya sudah tidak re­pot-repot lagi soal bahan ba­kar. “Me­nga­pa panas bumi ti­dak se­rius di­manfaat­kan,” kata Surya Darma, de­ngan nada pe­nuh tan­da tanya. Surya Darma yang bulan lalu me­ ngakhiri jabatan sebagai Ketua Umum API, mengatakan, banyak faktor mengapa penggunaan p a n a s bumi di Indonesia lambat.

Dan semua ini sa­ngat tergantung pada goodwill peme­rintah. Bila pemerintah serius, investor pasti berdatangan untuk terjun di bisnis ini. Sebab se­ benarnya sejumlah investor dari manca negara sa­ngat ter­tarik untuk berinvestasi di sektor ini. Mereka datang dari Italia, Be­landa, Jer­man, Islandia, AS, Australia, Prancis, Ka­ nada hingga Turki. Hanya sa­yang­nya, kata Surya Darma, mereka pu­lang lagi dengan tangan kososng. Mengapa demikian? Ternyata untuk berin­vestasi di sektor ini sangat ruwet. Tidak trans­ paran, izin berubah-ubah, dan masih ba­nyak lagi faktor non-tek­nis hingga po­litis yang mem­buat pemanfaatan energi ini menjadi lamban. “Saya masih bingung. User panas bumi memang lebih dominan pada PLN, tetapi mengapa BUMN tersebut seolah lebih mencari gas atau batu bara sebagai bahan bakar penggerak turbin­n ya. Mengapa mereka tidak serius untuk menggunakan panas bumi. Ini ada apa?” kata Surya, heran. Investor asing memang sangat diperlukan dalam pengelolaan bisnis ini. Pasalnya, investasi di sektor ini cukup mahal. Sebagai contoh, untuk menghasilkan tenaga listrik 1.000 MW diperlukan investasi sekitar 3.000.000 dollar AS. Investasi sebesar

Dr Ir Surya Darma MBA,

Penasihat Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API)

ge/erfandi putra

EDISI I desember 2011


laporan utama

Kebutuhan Lahan Spesifik

Grafik Perbandingan Pemakaian Lahan Untuk Beberapa Sistem Pembangkit Listrik 70 60 50 40 30 20 10 0 Solar Cell

Batubara

Solar Thermal

Nuklir

Geothermal B i n a r y

Perbandingan Pemakaian Lahan Untuk Beberapa Sistem Pembangkit Listrik

Grafik Perbandingan Perbandingan Emisi CO2 1200 1000

CO2 Emmision

itu di­perkirakan break even point (BEP) sekitar 8-9 tahun. Bertolak pada kenyataan ini, Surya Darma berharap agar ada kepastian hukum di sektor ini. Kepastian pe­ ngem­b alian modal yang memiliki tingkat pengembalian yang menarik pula. Di samping itu, kepastian ke­ mudahan pajak juga menjadi per­ hatian investor. Mengapa demikian? Hal ini karena berdasarkan kenyataan yang ada, sejumlah investor asing terhadang oleh kesepakatan harga jual panas bumi kepada user, dalam hal ini PT PLN. Pihak PLN sebagai pembeli dalam negosiasi harga jual sering berbelit-belit dan ruwet. Ya inilah berbagai ken­dala yang kita hadapi dalam pengembangan energi terbarukan panas bumi. Seharusnya krisis global saat ini yang juga bersumber pada energi ini, dijadikan momentum untuk kebang­ kitan energi nasional untuk keamanan pasokan energi. Pemerintah sudah seharusnya memberikan penekanan untuk terus mengembangkan energi ini karena energi ini tidak akan habis sehingga sudah selayaknya mendapat prio­ ritas. Energi ini juga ramah lingku­ ngan, sehingga berkontribusi pada kelestarian lingkungan. Energi ini juga tidak bisa dipindahkan, sehingga menjadi trigger bagi perekonomian lokal. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah menyikapi persoalan ini. Yang jelas bahan baku (panas bumi) melimpah. Investor pun juga siap mengeksploitasi. Dan pasar pun sudah jelas. Lalu menunggu apa lagi?  Erfandi Putra

800 600 400 200 0 Batubara

Diesel

Minyak Bumi

Gas Alam

Perbandingan Perbandingan Emisi CO2 dari Beberapa Sumber Energi

EDISI I desember 2011


laporan utama

Gas Dicari, Gas Dibawa Pergi

Kurangnya pasokan gas di sektor kelistrikan di Indonesia, seperti menyimak sebuah benang kusut yang tak jelas ujung-pangkalnya. Di satu pihak, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berulangkali menyatakan masih sangat membutuhkan pasokan gas untuk dijadikan bahan bakar di sejumlah pembangkit listriknya. Di lain pihak, pemerintah justru cenderung “mempertahankan” kebijakannya untuk mengekspor gas ke sejumlah negara. Ada apa semua ini?

K

ONDISI ini membuat mantan Wakil Presiden M. Jusul Kalla beberapa wak­ tu lalu memandang perlu melontarkan kritikannya. Pria yang akrab disapa JK tersebut mengeluhkan kondisi In­donesia yang kaya sumber daya alam, tapi manfaatnya belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakatnya sendiri. “Indonesia ini aneh. Kenapa negara kita yang kaya sumber daya alam, listriknya sering padam. Pasokan gas untuk produksi listrik kurang. Eh justru banyak diekspor ke Jepang, Korea atau China,” ujar JK, dalam sebuah per­temuan Dekan Fakultas Ekonomi Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu Selain mengkritik pemerintah selaku pemegang kebijakan, JK juga menyoroti gemarnya pengusaha na­ sional mengekspor beragam komoditi dalam bentuk mentah (bahan baku). Padahal seharusnya para pengusaha mulai mengubah paradigma dari

EDISI I desember 2011


laporan utama semata-mata mengekspor bahan baku menjadi ekspor barang jadi yang memberikan banyak nilai tambah. Mengenai tudingan JK tersebut, kalangan pelaku usaha sebenarnya juga sepakat bahwa kebijakan In­ donesia mengekspor gas ke sejumlah negara bukanlah langkah yang bijak. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Erwin Aksa, misalnya, sepakat bahwa kebijakan ekspor gas harus segera dihentikan. Ini demi mengatasi permasalahan krisis energi (gas) yang saat ini terus menjadi momok dunia industri. “Mengalirnya ekspor gas ke luar negeri adalah salah satu pangkal masalah krisis energi. Akibatnya se­c ara langsung, di antaranya, adalah pemadaman listrik yang juga langsung dirasakan masyarakat. Ada banyak pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), tapi karena stok (gas) terbatas, akhirnya menggunakan solar yang harganya jauh lebih mahal (dibanding harga gas),” ujar Erwin. Atas minimnya pasokan gas dalam negeri, diakuinya, banyak industri yang tidak mendapatkan suplai gas sesuai kebutuhan. Berdasarkan data Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), dari 326 industri yang membutuhkan pasokan gas, 50 persen di antaranya belum mendapatkan pasokan sama sekali. Rata-rata kebutuhan gas domestik per tahun pada tahun 2009 hingga 2010 adalah 5.557,6 MMSCFD. Wilayah Sumatera Bagian Tengah, Selatan dan Jawa Bagian Barat (Region III), meru­ pakan wilayah dengan kebutuhan terbesar, dengan rata-rata kebutuhan per tahun dari tahun 2009 hingga 2014 sebesar 2.994,7 MMSCFD. Kebutuhan untuk bahan bakar antara lain diserap oleh PGN Batam, PGN Pekanbaru, dan PGN Jawa Barat, selain diserap Kilang LPG seperti

kebutuhannya dengan rata-rata sebesar 843,8 MMSCFD per tahun yang didominasi oleh pengggunaan untuk listrik PLN pada PLTGU Gresik. Selain listrik, kebutuhan juga datang dari pabrik milik Petrokimia Gresik sebagai bahan baku dan PGN sebagai bahan bakar. Kebutuhan domestik ini belum seluruhnya terja­ min pasokannya karena volume gas terkontrak masih di bawah volume kebutuhan. Sebagian dari kebutuhan ini baru mendapatkan komitmen pasokan dari produsen.

Dahlan Iskan, Menteri BUMN milik PT Ogspiras Basya Pratama di Pa­lembang dan PT Titis Sampurna di Prabumulih. Industri yang menggu­ nakan sebagai bahan bakar adalah PT Asahimas di Jawa Barat. Sedangkan kebutuhan untuk pembangkit tenaga listrik antara lain diserap oleh PLTG Duri, PLTG Teluk Lembu, PLTGU Asrigita Prasarana, PLTG Talang Dukuh, PLTG Energi Musi Makmur, PLN Injiniring, PLN Kramasan, PLN Borang, PLN Muara Karang, PLN Tanjung Priok, PLN Muara Tawar, serta PLN Cilegon. Produsen migas yakni PT Chevron Pacific Indonesia menyerap sebagian besar kebutuhan gas sebagai energi di wilayah ini, selain Joint Operation Body (JOB) Suryaraya Teladan. Semen­ tara itu, kebutuhan gas untuk bahan baku pada industri pupuk datang dari pabrik-pabrik Pupuk Sriwijaya I sampai IV di Palembang, serta Pupuk Kujang di Jawa Barat. Wilayah Jawa Bagian Timur (Re­ gion V) menjadi yang kedua terbesar

EDISI I desember 2011

Peringkat Pertama Sektor kelistrikan menduduki pe­ ringkat pertama dalam menyerap gas yang rata-rata pada tahun 2009 hingga 2014 mencapai 2.130,7 MMSCFD. Kedua, kebutuhan gas untuk bahan bakar yang kebutuhannya rata-rata 1.385,5 MMSCFD. Ketiga, industri pu­ puk dan petrokimia rata-rata sebesar 1.145,6 MMSCFD. Sementara, dari 326 pabrik yang membutuhkan jaminan suplai gas beberapa tahun ke depan, terserak pada 22 sektor industri yang tersebar di 15 provinsi. Diperkirakan pabrik tersebut butuh gas sebanyak 2.798 MMSCFD hingga 3.283 MMSCFD per tahunnya sampai 2015. Kebutuhan tersebut tidak seberapa dibandingkan total ekspor gas Indonesia tiap tahunnya. Tengok saja, ekspor gas ke berbagai negara mencapai sebesar 390.450,85 MMSCFD melalui kapal tanker dan sebanyak 219.485,26 MMSCFD lewat pipa pada 2009. Ini seperti mengurai kembali benang kusut. Sebenarnya, bangsa ini tidak dalam kondisi defisit gas jika saja persentase jumlah ekspor energi ini lebih kecil dibading untuk kebutuhan domestik. Saat ini ekspor gas menempati porsi 60% dari total produksi.


laporan utama Lebih lanjut Erwin Aksa menga­ takan, terganggunya dunia usaha tidak hanya berpengaruh pada investasi, namun juga daya serap tenaga kerja. Apa artinya perekonomian terus tumbuh bila tidak memberi efek pada masyarakat luas? Selain menghentikan ekspor gas, Erwin juga menyerukan agar peme­ rintah mau menata ulang regulasi pengelolaan ladang-ladang gas dalam negeri agar tidak cenderung berpihak pada kepentingan asing. PLN Impor Gas Akibat pasokan gas yang tak kun­ jung jelas ini, Mantan Dirut PLN, Dahlan Iskan yang kini dipercaya sebagai Menteri BUMN terpaksa membuat keputusan mengimpor gas dari negara lain. Kebijakan tersebut diakui Dahlan cukup dilematis mengingat melim­pahnya produksi gas di Tanah Air. Namun pilihan impor itu disebut Dahlan tak terelakkan lagi melihat ke­s ulitannya selama ini dalam memas­t ikan pasokan gas untuk proses pro­duksi listrik PLN. “Tahun lalu kami masih berkonsentrasi

menyelesaikan krisis listrik dan daftar tunggu (pe­l anggan PLN). Untuk tahun ini, kami akan serius menggunakan gas sebagai bahan bakar pembangkit. Ini karena penggunaan gas sangat strategis. Anda tahu saya pergi ke Iran adalah untuk melihat gas di sana,” ujar Dahlan. Bila jaminan atas pasokan gas un­ tuk PLN belum juga didapat, Dahlan mengingatkan bahwa opsi impor gas tersebut akan benar-benar dilakukan­ nya. Selain dari Iran, beberapa negara yang dipertimbangkan untuk men­ suplai gas untuk PLN adalah Qatar, Australia, dan Papua Nugini. Kegeraman Dahlan atas minimnya pasokan gas ke PLN sebenarnya sung­ guh beralasan. Akibat ketiadaan pa­so­ kan gas yang cukup untuk pem­bangkitpembangkit listrik yang dimilikinya, biaya produksi listrik PLN jadi mem­ bengkak lantaran terpaksa meng­gan­ tinya dengan solar dan batubara. Berdasar perhitungan internal PLN, biaya pokok produksi listrik dengan menggunakan gas rata-rata sebesar Rp 318 kWh. Nilai tersebut jauh lebih murah dibanding biaya pokok produksi dengan menggunakan BBM (solar) yang mencapai Rp 1.600 kWh. Nilai tersebut juga masih lebih rendah dibanding biaya pokok produksi menggunakan batubara yang ditaksir sebesar Rp 500 per kWh. Saat pasokan gas tahun ini me­ nurun dari 389 triliun british thermal units (TBTU) menjadi hanya 320 TBTU saja, pembengkakan subsidi yang harus ditanggung PLN diklaim men­ capai Rp 11,4 triliun. Bila mengacu pada perkiraan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mi­neral, kebutu­han gas PLN di tahun depan diper­kirakan mencapai 344,7 TBTU. Atas kebutuhan tersebut, Menteri Pereko­nomian, Hatta Radjasa,

EDISI I desember 2011

dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, pada September 2011 lalu, telah berjanji akan menyediakan pasokan gas sebesar 372,667 TBTU. “Untuk memenuhi target tersebut, pemerintah akan memprioritaskan pe­m enuhan kebutuhan gas bagi domestik, dalam hal ini untuk me­ menuhi ke­butuhan gas untuk PLN. Tidak boleh ada lagi pasokan gas ke luar negeri, khu­susnya Singapura. Kami sudah meminta Menteri ESDM untuk membentuk tim hukum agar ada renegosiasi seluruh pasokan gas ke sana,” ujar Hatta. Namun demikian, menyikapi “ja­ minan” dari pemerintah tersebut, ru­ panya PLN belum sepenuhnya menu­ tup opsi impor gas yang digagasnya. Bagi PLN, selain masalah volume pa­ sokan, waktu ketersediaan juga harus tetap diperhitungkan. “Kami sebenarnya sudah tidak bicara volume lagi, tapi juga masalah waktu. Siapa yang bisa lebih cepat memberikan gas pada PLN. Karenanya (penjajakan impor gas) ini tetap kami lakukan,” tutur Dahlan. Hingga saat ini Dahlan menyebut telah ada 10 perusahaan dari berbagai ne­g a­r a yang siap bertransaksi gas dengan PLN. “Nanti kami akan lihat, kami banding-bandingkan, siapa yang paling cepat bisa memasok gas ke PLN,” tegas Dahlan. Lagi-lagi, “benang kusut” tentang kelistrikan nasional belum sepenuhnya terurai. Solusi yang mampu disimpulkan dari segenap masalah yang hadir, sejauh ini juga masih sebatas proyeksi. Janji bisa saja tak terbukti. Alokasi bisa saja meleset dari rencana semula. PLN masih bisa juga kekurangan pasokan gas sampai harus sibuk membeli dari negara lain. Masyakarat juga masih bisa terancam pemadaman bergilir akibat proses produksi listrik PLN yang belum terjaga. Ya kita tunggu saja endingnya.


laporan utama

Presiden Slovakia, Ivan Gasparovic, berkunjung ke Indonesia dan diterima langusung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, beberapa lalu. Selain merupakan kunjungan ke Indonesia yang pertama kalinya bagi Gasparovic, ada beberapa hal lain yang membuat pertemuan kedua Kepala Negara tersebut menarik untuk disimak.

s

alah satunya adalah di­ sepakatinya kerjasama In­ donesia-Slovakia dalam 15 bidang, diantaranya pe­ ngem­b angan budidaya gandum, pem­biayaan ekspor-impor, kerjasama industri media dan juga pembangunan pabrik ban serta farmasi. Satu lagi hal menarik adalah kerjasama dalam hal pengembangan energi nuklir antara kedua negara. “Kami sangat meyakini bahwa tenaga nuklir sangat ramah terhadap ekonologi dan merupakan salah satu

EDISI I desember 2011

cara termudah untuk memproduksi listrik. Penelitian harus dilakukan demi meningkatkan keselamatan peman­f aatan energi nuklir,” ujar Gasparovic, usa penandatanganan kerjasama, di Istana Negara, Jakarta, Oktober silam. Terkait bentuk kerjasamanya dengan Indonesia, menurut Gaspa­ rovic, pihaknya siap membantu dan bekerjasama dalam hal kajian dan riset energi nuklir untuk kepentingan perdamaian. “Kami memiliki pengalaman dalam


laporan utama hal riset serta pemanfaatan energi nuklir, terutama untuk pembangkit listrik. Kami bisa membantu Indonesia terkait kajian-kajian ke arah sana,” tutur Garparovic. Wajar saja bila Gasparovic bicara demikian. Di Slovakia, seperti halnya di negara-negara Eropa lain, peng­g unaan energi nuklir untuk listrik sangatlah tinggi. Hingga saat ini se­d ikitnya 60% tenaga listrik di negeri pecahan Cekoslovakia tersebut ter­c atat dihasilkan dari energi nuklir. Persentase tersebut sedikit lebih tinggi ketimbang Italia, Jerman atau Perancis yang penggunaan nuklir­nya untuk tenaga listrik tercatat sebesar 50%. “Ini peluang bagi kita untuk me­ ngembangkan energi alternatif dari tenaga nuklir. Bagaimana pun kebu­ tuhan listrik kita ke depan tidak akan bisa dipenuhi secara konvensional seperti saat ini. Dalam 10 tahun hingga 20 tahun ke depan, kita tidak bisa mengandalkan listrik dari cadangan batubara, minyak dan gas (migas) saja,” ujar Duta Besar RI untuk Slova­ kia, Harsha E Joesoef. Dalam kerjasama yang telah ditan­ datangani, menurut Harsha, pihak Indonesia dan Slovakia sepakat me­ ngembangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Ke­ pulauan Bangka-Belitung (Babel). Ker­ jasama tersebut akan ditangani lang­ sung oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dari pihak RI dan UJD Slovakia dari pihak Slovakia. “Pihak Babel sejauh ini sudah sepakat, dan telah menandatangani letter of intent (LoI) dengan pihak Slo­ vakia,” tutur Harsha. Atas kerjasama tersebut, Presiden SBY pun telah ber­ pesan bahwa pengembangan energi nuklir harus tetap memperhitungkan aspek teknologi, lingkungan, ekonomi, keamanan dan juga aspek sosial. “Kita terbuka untuk kerjasama

Susilo Bambang Yudhoyono

Ivan Gasparovic

nu­klir demi tujuan damai. Meski bisa saja (PLTN) dibangun di Indonesia, namun tetap harus juga dipastikan terpenu­h inya elemen-elemen (tek­ nologi, lingkungan, ekonomi, ke­ amanan dan sosial) tersebut,” ujar SBY. Penekanan terhadap aspek sosial, menurut SBY, penting meng­i ngat resistensi yang selama ini terjadi baik di dalam mau­pun luar negeri terhadap pengem­bangan nu­klir, terutama pasca ledakan reaktor PLTN di Fukushima, Jepang. Terkait kebutuhan pasokan ke depen, Harsha menjelaskan, pengem­ ba­ngan energi nuklir menjadi syarat wajib untuk mengejar target pertum­ buhan ekonomi nasional yang dipatok sebesar 6 persen sampai 7 persen. Tiap pertumbuhan ekonomi 1 per­ sen, itu membutuhkan pasokan listrik minimal 1,5 kali jumlah kapasitas terpasang saat ini, yaitu sekitar 50.000 megawatt (MW). Jadi bisa dihitung sendiri lah berapa kebutuhannya untuk pertumbuhan (ekonomi) 6 per­ sen sampai 7%. Padahal berapa ba­ nyak sih cadangan kita? Lambat laun (cadangan) itu pasti akan habis, dan kita harus bersiap diri. Salah satunya

dengan pengembangan energi nuklir ini. Belum Tersentuh Anehnya, meski banyak dibi­ca­ rakan sejak dulu, pengembangan energi nuklir di Indonesia sejauh ini seolah belum pernah dilakukan secara serius. Potensi energi alternatif yang mulai banyak dilirik negaranegara Eropa tersebut praktis belum banyak ter­sentuh oleh proyek-proyek pengem­bangan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Padahal bila menilik di level global, kontribusi energi nuklir kini telah men­ capai 16 persen terhadap total pangsa listrik dunia. Dengan penguasaan pangsa sebesar itu, tak bisa dipungkiri lagi bahwa energi nuklir saat ini telah menjelma menjadi sumber energi potensial, ekonomis dan tidak layak lagi untuk disepelekan. Ide awal membangun sebuah Pem­ bangkit Listrik Tenaga Nukir (PLTN) tercetus pertama kali di Indonesia sejak 1956 silam. Saat itu, beberapa uni­ versitas di Tanah Air telah mulai giat menggelar seminar tentang penting­ nya pengembangan energi nuklir untuk pemenuhan kebutuhan listrik

Presiden Indonesia

EDISI I desember 2011

Presiden Slovakia


laporan utama Tanah Air. Ide tersebut mengerucut pada dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL) pada 1972. Wacana terus bergulir hingga me­n emukan sedikitnya 14 titik di Pulau Jawa yang mumungkinkan untuk pembangunan PLTN. Dari lokasi-lokasi tersebut, lima tempat diantaranya dinilai potensial untuk menjadi lokasi pemba­ngu­nan PLTN per­tama di Indo­nesia. Pada 1978, te­lah dila­

k u ­ kan studi k e ­l a ­y a k a n introduksi PLTN denga bantuan dari Pemerintah Italia. Sayang rencana pembangunan ter­sebut akhir ditunda akibat harus menunggu penyelesaian pemba­ ngunan dan pengoperasian reaktor riset serbaguna bernama GA Siwabey berkapasitas 30 MW di Puspiptek Serpong. Tahun 1985, telah dilakukan re­ evaluasi dan pembaruan studi dengan bantuan International Atomic Energy Agency (IAEA), Bechtel International dari Amerika, SOFRATOME dari

Peran­ cis dan CESEN dari Italia. D o k u m e n ya n g d i h a s i l k a n dan kemampuan analitis yang di­ kembangkan dalam program tersebut hingga saat ini masih menjadi dasar pemikiran bagi perencanaan dan pengembangan energi nuklir di In­ donesia. Beragam langkah dan studi kelayakan sempat dilakukan sebe­ lumnya terjadinya krisis 1998 yang membuat kondisi kebutuhan dan penyediaan energi, khususnya ke­ listrikan, di Indonesia dinilai perlu dievaluasi ulang. Maka dilakukanlah

EDISI I desember 2011

sebuah studi perencanaan energi dan kelistrikan nasional jangka panjang oleh sebuah tim nasional di bawah nau­ngan BATAN dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan dukungan IAEA. Studi tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi nasional di­p erkirakan meningkat dengan per­t umbuhan sebesar 3,4% per tahun dan mencapai 8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025 mendatang. Dengan asumsi tersebut, sekitar 40% diharapkan dapat disuplai dari jenis energi gas. Lalu batubara digadang-gadang menjadi penyuplai kedua dengan kontribusi sebesar 30%. Sementara 30% sisanya diharapkan dapat disuplai dari beragam energi alternatif lain, seperti hidro, mikrohidro, geo­thermal dan sebagainya. Dalam rancangan tersebut, energi nuklir disiapkan untuk dapat meno­ pang 5% sampai 6% kebutuhan energi di 2025 kelak. Belajar Dari Korea Mantan Direktur Utama PT PLN


laporan utama (Persero) yang kini menjabat sebagai Menteri BUMN, Dahlan Iskan, suatu ketika pernah menulis di sebuah surat kabar tentang pengalamannya melihat pengembangan energi nuklir di Korea Selatan. Dikatakan Dahlan dalam tulisan tersebut, Korsel sedikitnya memiliki 20 PLTN yang semuanya dibangun di kawasan pantai yang terbentang dari Timur hingga Selatan. Atas kepu­tusannya tersebut, kini keseharian dan denyut kehidupan Korsel tak bisa dipisahkan dari pasokan energi nuklirnya. Sebanyak 30% dari total pasokan listriknya disuplai oleh PLTN-PLTN yang ada. Atas keputusan tersebut juga Korsel terbukti mampu menekan har­ga listriknya menjadi hanya 3,9 cent dollar AS/kWh. Harga tersebut masih di bawah harga listrik di Jepang yang ma­sih di kisaran 17 cent dollar AS/kWh. Coba bandingkan dengan harga listrik di Indonesia. Bila diperkirakan harga 3,9 cent dollar AS/kWh setara dengan Rp 350/kWh, harga tersebut masih jauh di bawah harga listrik nasional dari PLTU batubara yang sebesar Rp 600/kWh. Harga tersebut juga belum diban­dingkan dengan harga listrik nasional yang diproduksi menggunakan solar yang mencapai Rp 3.000 sampai Rp 3.500/kWh. Dahlan saat itu mengaku tercengang dan tidak percaya dengan murahnya harga listrik yang dihasil­kan di Korsel. Namun itulah adanya. Yang juga menarik dari tulisan Dahlan adalah tentang betapa cueknya warga Korsel terkait bocornya PLTN di Fukushima, pasca tsunami di Jepang. Saat di Korsel, Dahlan bahkan mengaku sempat menyempatkan diri bertanya pada warga Korsel tentang hal tersebut. Sang warga tersebut mengaku memang ada ketakutan namun tidak begitu signifikan. Masih dalam tulisan tersebut, Dahlan menulis bahwa para warga Korsel menggambarkan tingkat ketakutannya hanya di kisaran 15% sampai 20% saja. Jika harus berandai-andai, bagai­manakah dengan warga di Indonesia? Seberapa takutkah terhadap pengem­ bangan energi nuklir? Kapankah potensi energi nuklir bisa berkon­tribusi maksimal terhadap kebutuhan energi

Belum

Nuklir

mau bikin

Pemerintah ternyata tidak mau gegabah membangun Pem­ bangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Alasannya, utama faktor ke­ amanan yang tinggi dan masyarakat Indonesia dikenal dengan penga­ wasan yang lemah. “Indonesia bikin pembangkit batu bara saja belum beres mau bikin nuklir,” kata Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowi­ dagdo di Jakarta, Jumat (11/11). Jika Indonesia ingin membangun PLTN maka harus bekerja sama de­ ngan asing, seperti Singapura. Hal ini disebabkan masalah kontrol dan pe­ngawasan nuklir relatif masih kurang. Ia mencontohkan, Jepang yang terkenal disiplin ternyata masih bisa kecolongan dengan bocornya reaktor nuklir di PLTN Fukushima. “Indonesia itu masalah kontrak, pengawasan, dan kontrolnya relatif masih kurang. Di Amerika Serikat saja baru terjadi kebocoran (reaktor nuklir) di Iowa kalau nggak salah. Dan di Jepang kan waktu itu di Fukushima, masa kita tidak belajar dari situ sih,” tandasnya. Ketimbang energi nuklir, lebih baik memanfaatkan energi yang ada lebih dahulu. Pembangunan PLTN itu membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan batu bara, panas bumi, dan gas. Lebih baik meman­ faatkan energi terbarukan, seperti penggunaan energi panas bumi, gas, CBM (Coal Bed Methane/Gas Batu­bara), angin, air, dan sebagainya.”Kami pakai energi yang ada dulu saja, ngapain pakai energi yang nggak ada. Nuklir itu mahal, jangan dipikir murah. Itu lebih mahal dari batubara, panas bumi, dan gas. Jadi pakai yang ada dulu saja. Siapa tahu energi matahari dan angin lebih murah dari batubara, jadi ngapain mikirin nuklir lagi kalau seperti itu,” katanya. Indonesia bisa mengembangkan nuklir jika bekerja sama dengan Singapura. Sehingga pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir bisa dilakukan di pulau Indonesia yang dekat dengan Singapura. “Kalau kerja sama dengan Singapura saya lebih percaya. Kita bisa kerja sama dengan mereka kalau mau,” singkatnya. Ia mengakui, emisi dari pembangkit listrik tenaga

27 EDISI EDISI I desember I desember 2011 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.