Marketing Public Relations ( MPR) Implementasi Kode Etik Jurnalistik sebagai Pertanggungjawaban Profesi Jurnalis di Harian Surya Rubrik Kontak Jodoh di Harian Kompas & Jawa Pos Pengaruh Kampanye di TV terhadap Pemilih Pemula Tone Iklan Presiden Indonesia 2004 di Televisi Berita Terorisme dalam Wacana Media
No. ISSN 2085-8582
Volume 2, Nomor 2
Juni 2010
Jurnal ilmiah ini terbit setiap enam bulan. Berisi hasil-hasil penelitian, artikel, makalah, bahasan metodologi penelitian, resensi, atau pendekatan baru dalam konteks ilmu komunikasi. Tujuan penerbitan adalah menyosialisasikan dan mengembangkan hasil penelitian serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Redaksi menerima naskah dari para pakar, akademisi maupun praktisi. Naskah yang dikirim harus asli, belum pernah diterbitkan atau dimuat di media lain. Diketik spasi ganda pada kertas kuarto maksimal 20 halaman termasuk tabel dan data pendukung. Tulisan dikirim via email: lppm.stikosa@yahoo.co.id, disertai identitas penulis: nama, alamat, dan pekerjaan. Referensi sumber ditulis dengan menyebutkan nama belakang pengarang, tahun, dan halaman (McQUail. 1970:16). Daftar pustaka ditulis di halaman terpisah dan disusun menurut abjad. Redaksi berhak merevisi atau menolak naskah yang tidak sesuai dengan visi Jurnal ActAWS. Penerbit Pengarah Redaktur Pelaksana Penyunting Dewan Redaksi Lay Out Distribusi Alamat Penerbit
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
: LPPM Stikosa-AWS : Ketua Stikosa-AWS Zainal Arifin Emka, M. Si. : Suprihatin, S. Pd : Zainal Arifin Emka, M. Si : - Wolly Baktiono, M. Si - Fajar Arifianto Isnugroho, S. Sos : Suprihatin, S. Pd : LPPM Stikosa-AWS : Stikosa-AWS Jalan Nginden Intan Timur I/18 Surabaya Telp. (031) 5967164 Faks. (031) 5922018 Email: lppm.stikosa@yahoo.co.id
i
Jurnal Ilmiah Stikosa-AWS ActAWS Volume 2 nomor 2 Juni 2010 Daftar Isi: A. Pengantar Redaksi .................................................... i B. Daftar Isi .......................................................................... ii 1. Marketing Public Relations (MPR ) H. Supriadi, SH MM ............................................................... 1 2. Implementasi Kode Etik Jurnalistik sebagai Pertanggungjawaban Profesi Jurnalis di Harian Surya Mas’ud Sukemi, M. Si. ............................................................... 6 3. Rubrik Kontak Jodoh di Harian Kompas & Jawa Pos Sri Moerdijati, M.S. ............................................................... 27 4. Pengaruh Kampanye di TV terhadap Pemilih Pemula Mucholil, S.Kom, M. Si ………………………………….....…….... 38 5. Tone Iklan Presiden Indonesia 2004 di Televisi Andria Saptyasari ................................................................ 64 6. Berita Terorisme dalam Wacana Media Zainal Arifin Emka, M. Si ………………………………………......... 73
ii
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
MARKETING PUBLIC RELATION (MPR) H. Supriadi, SH. MM Staf pengajar Stikosa-AWS
ABSTRAK
M
emasuki era globalisasi pada abad 21, persaingan kegiatan bisnis di bidang pemasaran semakin nyata. Keberhasilan kinerja Public Relations (PR) sebagai item penting organisasi perusahaan yang bertugas menciptakan dan mempertahankan nilai atau image positif organisasi, semakin tinggi. Salah satucara yang ditempuh adalah dengan berusaha memarketkan aktivitas public relations dengan maksimal dan efektif, hal tersebut diwujudkan dengan upaya memberikan kualitas teknik promosi penjualan produk yang memadukan kekuatan publisting (suatu bentuk pengembangan kegiatan public relations dengan pendekatan jurnalistik dalam mengkonfirmasikan produk yang akan diluncurkan kepada publiknya). Konsep mega marketing yang merupakan perpaduan antara kekuatan public relations dan marketing mix dan kemudian muncul istilah Marketing Public Relations (MPR).
1
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
I.PENDAHULUAN I.MARKETING PUBLIC RELATIONS Dalam bukunya The Marketer’s Guide to Public Relations yang dipopulerkan oleh Thomas L.Haris (1991) mengatakan : “Marketing Public Relation is the process of planning and evaluating programs, that encourange purchase and customer through credible communication of information and impression that identify companies and their products with the need, concerns of costumer “ ( Marketing Public Relations adalah sebuah proses perencanaan dan pengevaluasian program yang merangsang penjualan pelanggan. Hal tersebut dilakukan melslui pengkomunikasian informasi yang kredibel dan kesan-kesan yang dapat menghubungkan perusahaan, produk dengan kebutuhan serta perhatian pelanggan ) Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Marketing Public Relations merupakan perpaduan pelaksanaan dan strategi pemasaran ( marketing strategy implementation ) dengan aktivitas program kerja Public Relations ( work program of public relations ), dalam upaya meluaskan pemasaran dan demi mencapai kepuasaan pelanggan (costumer satisfaction). Sedangkan dalam pelaksanannya Marketing Public Relations (MPR) menerapkan 3 (tiga) strategi penting yakni : 1. Pull Strategy yaitu public relations memiliki dan harus mengembangkan kekuatan untuk menarik perhatian public. 2. Push Strategy yaitu public relations memiliki kekuatan untuk mendorong berhasilnya pemasaran 3. Pass Strategy yaitu public relations memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini yang menguntungkan. II. PERMASALAHAN PERANAN MARKETING PUBLIC RELATIONS Dilihat dari segi pemasaran, Marketing Public Relations(MPR) berperan sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan npemasaran yaitu : 1. Mengadakan riset pasar,untuk mendapatkan informasi bisnis yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. 2. Menciptakan produk yang sesuai dari hasil riset pasar tersebut. 3. Menentukan harga produk yang rasional dan kompetitif. 4. Menentukan dan memilih target konsumen (target audience) 5. Merencanakan dan melaksanakan kampanye pomosi produk (pre-project selling) yang akan diluncurkan serta mampu bersaing di marketplace dan cukup menarik (eyes catching) baik segi kemasan, maupun kualitas produk yang ditawarkan terhadap konsumennya.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
2
6. Komitmen terhadap pelayanan purna jual dan kepuasan pelanggan akan terpenuhi, yang mengacu kepada “Marketing is the idea of satisfying the needs of customer by means of the product and the whole cluster of thing associated with creating, delivering and finally concumming it”.(marketing adalah sebuah ide untuk memuaskan keinginan pelanggan dengan menampilkan produk dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, yang diasosiasikan dengan pembuatan, pendistribusian dan akhirnya pengkonsumsian produk tersebut). Dilihat dari segi komunikasi, Marketing Public Relations (MPR) verfungsi secara garis besar mempunyai tugas antara lain sebagai berikut : 1. Menumbuh kembangkan cita positif perusahaan ( corporate image ) terhadap public eksternal atau masyarakat luas demi tercapainya saling pengertian bagi kedua belah pihak. 2. Membina hubungan yang positif antar karyawan ( employee relations ), antara karyawan dengan pimpinan atau sebaliknya, sehingga akan tumbuh budaya perusahaan ( corporate culture ) yang mengacu kepada disiplin dan motivasi kerja, profesionalisme yang tinggi srta memiliki Sense of belonging terhadap perusahaan yang baik. Sedangkan untuk mewujudkan serta merealisasikan agar tujuan dari pada peran Marketing Public Relations dengan baik yaitu dengan cara mengadakan berbagai program komunikasi mulai dari komunikasi lisan maupun tulisan, komunikasi melalui media cetak ( Koran, majalah, press release, brosur dan leaflet ), sampai komunikasi melalui media elektronika ( televise, radio, internet ). III. KESIMPULAN PERKEMBANGAN MARKETING PUBLIC RELATIONS Dalam perkembangan Marketing Public Relations telah mencapai titik temu yang cukup efektif dalam membangun pengenalan merk ( brand awareness ) dan pengetahuan merk ( brand knowledge ). Perkembangan tesebut berpotensi untuk memasuki dan mendukung bauran pemasaran ( marketing mix ) yaitu produk (product), tempat ( place), promosi ( promotion ) dan harga (price) dan khususnya unsure “ promosi “ dalam bauran tersebut dianggap lebih hemat untuk mencapai publisitas tinggi dalam proses publikasi, jika dibandingkan dengan iklan komersial yang selain biayanya cukup mahal dan jangka waktunyapun cukup pendek (produck oriented), dan Marketing Public Relation mengandung kekuatan untuk mendidik ( educated ) masyarakat atau
3
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
publiknya. Sedangkan dengan adanya kecanggihan dari media elektronik mempunyai manfaat sebagai berikut : 1. Dapat lebih efektif dan efisien dalam penggunaan publikasi,mengingat semakin tingginya biaya promosi di media massa ( komersial ) 2. Dapat meningkatkan kredibilitas ( kepercayaan ) dari pesan-pesan yang disampaikan melalui jalur public relation, sehingga dapat menembus situasi yang relatve sulit dijangkau oleh iklan atau memiliki kemampuan menjembatani kesenjangan informasi jika disampaikan melalui taknik periklanan serba terbatas itu. 3. Kampanye melalui iklan mempunyai keterbatasan pada ruang ( space ) dan waktu ( timely ) yang tersedia di media elektronik dan media cetak, oleh karena itu penggunaan promosi iklan tersebut harus memberi ruang dan waktu siarnya agar pesan/informasi dapat dimuat atau ditayangkan oleh media bersangkutan. Sedangkan kampanye melalui Public Relations tidak membeli space ,media agar dapat dimuat/ditayangkan. Pesan-pesan atau informasi public relations tersebut diolah dan dikemas sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu berita (news) artikel sponsor (advertorial) atau feature sehingga mampu menarik perhatian bagi pembaca atau pemirsanya. Perbedaan-perbedaan antara pemasaran dan public relations tetap ada, tetapi perbedaan kedua peranan tersebut bias dipersempit atau diupayakan titik temu perannya (equal function) dalam hal pencapaian tujuan utamanya ( main objectif ) dan khalayak sasaran ( target audience ). Kesimpulannya, bahwa target dan tujuan yang hendak dicappai dalam strategi Marketing Public Relations harus sejalan dengan bagaian pemasaran (marketing) dan tujuan pemasaran (marketing objective) adalah untuk memuaskan bagi pihak pelanggannya (customer satisfaction) tersebut terlebih dahulu dibutuhkan suatu kepercayaan pelanggan (customer trust) melalui pembinaan dan pemeliharaan, agar konsumen tetap loyal dan tidak berpaling kepada produk pesaing. Jadi dalam praktiknya Humas (Public Relations) dapat berfungsi ganda yaitu di satu pihak sebagai Marketing Public Relations ( MPR ) untuk mencapai marketing objective, sedangkan pihak lain sebagai corporate public relations untuk mencapai tujuan dari perusahaan (company goals) dalam menciptakan identitas dan citra perusahaan yang positif (make an identity and corporate image). Sedangkan tujuan program Stake Holder berupaya untuk membangun saling pengertian (mutual understanding), saling menghargai (mutual appreciation), kemauan baik (good will) dan toleransi (tolerance) baik terhadap publik internal maupun eksternal.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
4
DAFTAR PUSTAKA Emeraldy Chatra dan Rulli Masrullah. 2008. Public Relation: Strategi Kehumasan dalam menghadapi krisis. Multi Trust Creative Service: Bandung Ian Philipson, 2008. Public Relation. Image Press: Jogjakarta. Moekajat. 1991. Kamus Marketing. Mandar Maju: Bandung. Morrisan. 2008. Manajemen Public Relation: Strategi Menjadi Humas Profesional.. Kencana Perdana Media Group: Jakarta. Rosady Ruslan. 2008. Manajemen Public Relation dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi. Rajawali Pers: Jakarta.
5
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI PERTANGGUNGJAWABAN PROFESI PARA JURNALIS DI HARIAN SURYA
Drs. Mas’ud Sukemi, M.Si. Staf pengajar Stikosa-AWS
ABSTRACT
T
his research begin there is pers freedom belong to journalist (reporter) particularly Surya Daily news journalist, is that mean freedom that performed by those journalist extent without any regulations to regulate his or her performance. The freedom established in norm corridor, principle or rule, that is Act 40 of 1999 on Press. In this statue regulated concerning to profession ethical as journalist. An ethic required in this thing are Journalistic Ethical Code, already formulated on 14 March 2006 by Press Organization. It could be basic for journalist (reporter) to be accountable his or her profession as journalist in the public front. Therefore, analysis in this research by using descriptive analysis to explain data from the problem into sentence outline by related to norm requirements, principle also relevant to reality in the field based on discussed problem. Actually in reality indicating that journalist (reporter) Surya Daily news, in performing his or her profession activity always take responsible according to Journalistic Ethical Code. It could as accountability in mandating provision of Article 7 Journalistic Ethical Code, Indonesian journalist have refusal right to protecting their informant who did not want to show his or her identity or existence, valuing embargo requirement, background information and “off the record” suitable to agreement. However, did not close any contingency, if journalist Surya Daily news prohibit requirement in Journalistic Ethical Code, would be burden sanction heavy enough based Company Regulation P.T. Antar Surya Jaya, a Press Company as place where those journalist done their profession. Kata kunci: implementasi, kode etik jurnalistik, tanggung jawab profesi
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
6
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Dunia jurnalistik dan pers adalah dunia tulis menulis dan pemberitaan yang memiliki peran sangat penting serta strategis dalam banyak aspek kehidupan berbangsa, bernegara, sosial masyarakat maupun dalam berpolitik. Termasuk bahwa jurnalistik dan pers juga menjadi media yang paling berpengaruh dalam rana revolusi dan perubahan sosial lainnya. (Nurul Hadi Abdi, 2007: http://anoeh.multiply.com). Tidak mengherankan jika peran dan eksistensi pers sebagai media jurnalistik menjadi sangat signifikan untuk mencapai kebutuhan strategis tersebut. Pada pencapaian kebutuhan yang sangat strategis tersebut, baik jurnalistik maupun pers mempunyai kekebasan yang dilindungi oleh undangundang. Seperti yang disebutkan dalam unsur Menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999) yang dikatakan bahwa, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin. Hal ini berlanjut pada bunyi ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum�. Kemerdekaan pers merupakan salah satu persyaratan sebuah demokrasi, di mana kemerdekaan pers perlu dijaga, karena pertahanan pers yang kuat adalah profesionalisme yang memelihara integritas, kepercayaan publik, dan dukungan masyarakat terhadap fungsi pers. Dengan demikian masyarakatpun berhak mengingatkan pers agar memelihara kemerdekaannya, sebab seperti yang telah disebutkan di awal paragraf ini bahwa kemerdekaan pers adalah wujud daripada kemerdekaan menyatakan pendapat. Sebagaimana yang disebut dalam ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, di mana pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi yang baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Berdasarkan beberapa pertanyaan yang dituangkan dalam beberapa pasal tersebut di atas, pada hakikatnya kebebasan pers adalah: a) Memper-
7
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
cepat proses demokrasi; b) Mempercepat pembangunan nasional; c) Sebagai kontrol sosial; d) Menambah wawasan; e) Pencerdasan bangsa; f) Meningkatkan tertib hukum; g) Terciptanya masyarakat mandiri (http: //www.litbangdasulsel.go.id). Adanya kebebasan pers tersebut memang tidak dapat terlepas dari keberadaan serta peran profesi seorang jurnalistik dalam hal ini adalah wartawan. Tetapi kebebasan pers yang dimiliki oleh seorang jurnalis (wartawan), bukan berarti kebebasan yang seluas-luasnya tanpa adanya suatu aturan yang mengatur kinerjanya. Kebebasan tersebut tetap diatur dalam suatu koridor hukum, yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, seperti yang sudah tersebut sebelumnya dan tentunya diatur masalah aturan etika dalam melakukan profesi sebagai seorang jurnalistik. Etika yang diperlukan dalam hal ini adalah Kode Etik Jurnalistik, yang telah dirumuskan pada tanggal 14 Maret 2006 oleh Organisasi Pers. Adanya kode etik tersebut, pada dasarnya merupakan pertahanan yang kuat untuk melindungi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Termasuk pula sebagai pedoman serta pegangan, karena etika merupakan sesuatu yang lahir dan keluar dari hati nurani seseorang, yang sangat diharapkan dapat mendorong serta memberi pengaruh positif dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai profesi yang dijalankannya. Keberadaan dan pelaksanaan kode etik jurnalistik sebagai norma atau disebut sebagai landasan moral profesi wartawan dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila, oleh karena kode etik jurnalistik merupakan kaidah penentu bagi para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya, sekaligus memberi arah tentang apa yang seharusnya dilakukan serta yang seharusnya ditinggalkan. (Muliadi Nur, 2008: http: //umrikebo.blogspot.com). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktik sehari-hari masih terdapat (tidak semuanya) berbagai pernyimpangan-penyimpangan terhadap kode etik jurnalistik maupun terhadap ketentuan-ketentuan lain (khususnya norma-norma hukum) yang berlaku bagi profesi wartawan. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan di atas, penulis ingin membahas bagaimana kode etik tersebut diimplementasikan secara konkrit di perusahaan pers “Harian Surya�. Terutama di kalangan para jurnalis (wartawan) Harian Surya dalam melaksanakan profesinya. II. PERMASALAHAN Rumusan Masalah Dari beberapa identifikasi masalah tersebut peneliti rumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penegakan kode etik jurnalistik bagi jurnalis (wartawan) Harian Surya dalam melaksanakan profesinya?
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
8
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban dan perlindungan bagi jurnalis (wartawan) Harian Surya dalam melaksanakan kode etik jurnalistik? Kerangka Pikir Kebebasan pers menunjukkan dua pengertian yaitu “bebas dari� merupakan pemikiran Thomas Hobes dan John Lock, yang berarti kondisi yang memungkinkan seseorang untuk tidak dipaksa melakukan suatu perbuatan. Sedangkan “bebas untuk� berasal dari pemikiran Jacues dan Hegel yang berarti kondisi yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu untuk menyampaikan segala sesuatu yang mereka inginkan. Dalam perspektif ini, kebebasan pers berarti kondisi yang memungkinkan para pekerja pers (para jurnalis/wartawan) tidak dipaksa berbuat sesuatu dan mampu berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Kebebasan informasi dan komunikasi adalah hak setiap orang, bukan hanya pers saja, tetapi timbullah kewajiban yang harus dipikul oleh pers terhadap kemaslahatan dan kesejahteraan umum berupa penyajian berita yang transparan, benar, akurat dan jujur. Jika pers menyajikan berita, kemudian terjadi penyalahgunaan kebebasan, maka hal ini tentu saja juga merugikan masyarakat. Etika pada dasarnya merupakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab, antara tujuan yang hendak dicapai dan cara mencapai tujuan tersebut. Etika berkaitan dengan perilaku benar atau tidak benar, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna atau tidak berguna dan yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika juga dapat diartikan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Dalam konteks manusia sebagai bagian dari organisasi tertentu, maka etika lebih berfungsi sebagai norma. Etika menjadi normatif atau etika normatif (Satya Dharma, dkk, 2003 : 115). Etika dalam ini juga merupakan pilihan nilai moral dalam menghadapi realitas yang harus diterapkan dalam berkomunikasi. Setidaknya ada 3 (tiga) pertimbangan mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak untuk dibutuhkan. Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi dan mengalienasi audiens. Dengan demikian, etika komunikasi melindungi publik yang lemah. Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis para wartawan media besar untuk memonopoli kritik. Sementara praktik mereka tidak mau dikritik. Jangan sampai semua bentuk
9
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
kritik terhadap terhadap media langsung dimasukkan ke dalam stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers. Jadi, tujuannya justru untuk masa depan pers sendiri dengan menagih tanggung jawab negara. Ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan kredibilitas pers di depan publik, tujuan media sebagai instrumen pencerahan kurang mendapat perhatian. Padahal nilai dan makna melekat pada tujuan suatu tindakan, sedangkan logika instrumental sering menjadikan sarana, cara atau instrumen sebagai tujuan pada dirinya (Boris Libois, 1994 : 3). Hak untuk berkomunikasi di ruang publik merupakan hak yang paling mendasar. Bila hak itu tidak dijamin akan mengebiri pikiran atau kebebasan berpikir sehingga tidak mungkin bisa ada otonomi manusia. Termasuk hak komunikasi di ruang publik juga tidak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang didasarkan pada kebebasan nurani dan kebebasan berkekspresi. Jadi untuk menjamin otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila hak untuk berkomunikasi di publik dihormati. (Haryatmoko, 2007 : 43). Oleh karena itu, etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut. Kebebasan pers tersebut juga tidak dapat terlepas dari dimensi etika komunikasi itu sendiri, yaitu dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi (salah satunya adalah para jurnalis/wartawan) hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik untuk bertanggung jawab. Kehendak baik ini diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Ada 3 (tiga) prinsip utama deontologi jurnalisme: Pertama, hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Masuk dalam kategori ini ialah perlindungan atas sumber berita; pemberitaan informasi yang benar dan tepat, jujur dan lengkap; pembedaan antara fakta komentar, informasi dan opini; sedangkan mengenai metode untuk mendapatkan informasi harus jujur dan pantas (harus ditolak jika ternyata hasil curian, menyembunyikan, menyalahgunakan kepercayaan, dengan menyamar, pelanggaran terhadap rahasia profesi atau instruksi yang harus dirahasiakan). Kedua, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara. Termasuk hak ini ialah hak akan martabat dan kehormatan; hak atas kesehatan fisik dan mental; hak konsumen dan hak untuk berekspresi dalam media; serta hak jawab. Selain itu, harus mendapat jaminan juga ialah hak akan
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
10
privacy, praduga tak bersalah, hak akan reputasi, hak akan citra yang baik, hak bersuara, dan hak akan rahasia komunikasi. Jadi, hak akan informasi tidak bisa memberi pembenaran pada upaya yang akan merugikan pribadi seseorang. Setiap orang mempunyai hak untuk menerima atau menolak penyebaran identitasnya melalui media. Ketiga, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Unsur ketiga deontologi jurnalisme ini melarang semua bentuk provokasi atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil (Boris Libois, 1994: 6-7). Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif dan sosiologis. Di mana penelitian dengan pendekatan normatif ini didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari salah satu atau beberapa gejala aturan/norma/kaidah tertentu dengan jalan menganalisanya. (Soerjono Soekanto, 1999:43). Termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam suatu aturam/norma/kaidah tersebut akan dirumuskannya sebagai konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik (sehingga harus dianuti), dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus dihindari). Hal ini tergambar pada etika suatu profesi, yaitu profesi jurnalis di dalam melakukan tugasnya (pekerjaannya). Sedangkan yang bersifat sosiologis menitikberatkan pada hubungan aspek-aspek normatif dan kenyataan normatif dari sebuah norma, kaidah, aturan dan etika yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik khususnya yang menyangkut profesionalisme jurnalis (wartawan) Harian Surya. Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang terkumpul melalui observasi dan wawancara serta identifikasi dan inventarisasi secara kritis dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif, artinya bahwa data yang terkumpul disajikan apa adanya. Kemudian dianalisis serta diinterpretasikan, sehingga data tersebut dapat dibaca dan dipahami maksudnya. Data yang diperoleh akan diproses, sehingga akan diperoleh adanya suatu informasi, dan informasi tersebut dapat disusun menjadi kategori-kategori yang pada gilirannya akan dideskripsikan secara analitik (Moleong, 1998 : 198). Jenis Penelitian Melihat latar belakang dan pokok permasalahan seperti yang telah dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif.
11
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Oleh sebab itu, dasar pertimbangan dipergunakannya jenis penelitian kualitatif ini, karena penelitian kualitatif lebih tertarik pada hasil yang bermakna universal. Artinya, hasil penelitian kualitatif tidak hanya dapat digeneralisasikan pada latar substantif yang sama, tetapi juga pada latar lainnya. Jadi menurut Bogdan dan Taylor, dapatnya digeneralisasikan lebih banyak digunakan oleh peneliti yang tertarik pada penyusunan teori dasar (grounded theory) (Bogdan, 1982 : 41). Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri (instrumen manusia) atau dengan bantuan orang lain yang merupakan alat pengumpul data utama. Instrumen manusia merupakan instrumen yang paling sesuai dalam memperoleh data yang diperlukan bagi penelitian kualitatif, karena manusia sebagai instrumen penelitian dalam hal ini mengadakan observasi (pengamatan), mencatat dan mengadakan interpretasi mengenai pesan-pesan dan pengertianpengertian yang ada serta kenyataan-kenyataan di lapangan. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung di tempat penelitian dengan menggunakan sumber informan yang dipilih yaitu, Pimpinan Umum Harian Surya (Rusdi Amral) dan Pimpinan Redaksi Harian Surya (Dhimam Abror Djuraid). Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan interview atau wawancara langsung serta terarah dengan informan yang dilaksanakan pada tanggal 23 sampai dengan 25 Juli 2008. Interview sendiri merupakan proses tanya jawab secara lisan antara dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Untuk data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan (studi literatur), termasuk dokumen-dokumen lainnya baik pendapat atau tulisan para sarjana dan tulisan-tulisan melalui website internet. Di samping itu data ini juga diperoleh dari aturan-aturan/norma-norma/kaidah-kaidah yang berkaitan dengan permasalahan kode etik jurnalistik bagi para jurnalis (wartawan). Metode Analisis Data Keseluruhan data yang diperoleh, dari data primer maupun data sekunder akan dianalisis menggunakan metode non statistik, yaitu analisis dengan menekankan pada analisis deskriptif. Hasil Penelitian Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik di kalangan Wartawan Harian Surya. Sebelum melaksanakan tugas, wartawan dibekali dengan aturan yang terda-
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
12
pat di Kode Etik Jurnalistik. Selain itu, jurnalis (wartawan) perlu pula dibekali dengan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai dengan tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan. Kemampuan yang dimaksud adalah kompetensi wartawan. Kompetensi (skill), didukung dengan pengetahuan (knowledge), dan dilandasi dengan kesadaran (awareness) yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jurnalistik. Kompetensi ditentukan sesuai unjuk kerja yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan media, dipersyaratkan oleh institusi media (pengusaha pers), dan diakui oleh asosiasi profesi wartawan (Dewan Pers, 2006 : 21). Wartawan profesional termasuk dalam hal ini wartawan Harian Surya saat ini menghadapi tuntutan masyarakat dan perkembangan persoalan sosial yang tumbuh kian kompleks. Untuk dapat menjawab tuntutan dan perkembangan tersebut wartawan harus memiliki dan terus-menerus meningkatkan berbagai kompetensi yang diperlukan. Meskipun demikian, kompetensi wartawan bukanlah seperangkat hukum atau peraturan yang bersifat definitif. Setiap lembaga pengkajian media, institusi media atau organisasi wartawan dapat merumuskan standar kompetensi sesuai kebutuhan. Berdasarkan wacana yang berkembang dalam lokakarya dan diskusi mengenai kompetensi wartawan, paling tidak aspek-aspek tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori kompetensi, yaitu: 1. Kesadaran (awareness): mencakup kesadaran tentang etika, hukum dan karir. Dalam melaksanakan pekerjaannya wartawan dituntut menyadari normanorma etika dan berbagai ketentuan hukum yang berkaitan dengan karya jurnalistik. Selain itu dalam meniti karirnya wartawan juga harus menyadari arti penting profesionalisme dalam melaksanakan pekerjaannya. Kesadaran akan etika merupakan hal sangat penting dalam profesi kewartawanan. Dengan adanya kesadaran tersebut, mekanisme kerja wartawan akan selalu mengacu pada kode perilaku, sehingga setiap langkahnya akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang, termasuk dalam mengambil keputusan penulisan isu-isu sensitif. Oleh karena itu, kurangnya kesadaran akan etika dapat berakibat serius, dan dapat menyebabkan wartawan mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Untuk menghindari hal tersebut, wartawan wajib: • Memiliki integritas, tegas dalam prinsip, kuat dalam nilai-nilai. Wartawan yang beretika melaksanakan misinya, memiliki tekad pada standar jurnalistik yang tinggi dan bertanggungjawab. • Melayani kepentingan publik, memantau mereka yang berkuasa agar bertanggung jawab, menyuarakan mereka yang tak bersuara. Berani dalam keyakinan dan bersikap independen, mempertanyakan otoritas, dan meng13
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
hargai perbedaan. Untuk meningkatkan kompetensi etika wartawan Indonesia, termasuk wartawan Harian Surya, perlu mendalami Kode Etik Jurnalistik dan penafsirannya. Sementara itu guna mendukung kesadaran etika wartawan, perusahaan pers dituntut untuk menyusun dan menerapkan kode praktik dan kode perilaku perusahaan media. Sebagai pelengkap pemahaman etika, wartawan perlu juga meningkatkan kesadaran hukum. Wartawan wajib menyerap dan memahami undang-undang pers, menjaga kehormatan dan melindungi hak-haknya. Wartawan perlu tahu hal-hal mengenai penghinaan, privasi, ketentuan dengan sumber (seperti off the record, confidential sources). Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik, dan menjaga demokrasi. 2. Pengetahuan (knowledge): mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan. Wartawan dituntut untuk menguasai sejumlah pengetahuan dasar seperti ilmu pengetahuan umum (budaya, sosial, politik) dan pegetahuan khusus (terkait dengan liputan isu terkait), serta pengetahuan teknis. Wartawan perlu mengetahui perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan sebagai basis informasi untuk memerankan fungsi pers sebagai pendidik dan informatif. Wartawan tanpa pengetahuan yang memadai, hanya akan menghasilkan karya jurnalistik yang berisi informasi yang dangkal dan tidak memberikan pencerahan bagi masyarakat. Memahami teori jurnalisme dan komunikasi penting bagi wartawan sebelum bekerja turun ke lapangan, agar memahami bidang dan wilayah kerjanya. Jurnalisme tidak sekadar berita dan informasi, di dalamnya tercakup juga etika, dan tanggung jawab sosial. 3. Keterampilan (skills): mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti computer, kamera, mesin pemindai/scanner, faksimili, dan sebagainya. Dalam hal ini terkait pula dengan kompetensi reportase yang mencakup kemampuan menulis, mewawancara, dan melaporkan informasi secara akurat, jelas, bisa dipertanggungjawabkan dan layak. Format dan gaya reportase terkait dengan medium dan audiensnya, tulisan untuk koran harian berbeda dengan majalah, media internet, atau radio dan televisi. Kompetensi ini penting untuk memastikan saling kepahaman dengan narasumber, mampu merespon dan meyakinkan. Kompetensi mengoperasikan komputer penting dalam proses menyusun laporan, kemampuan ini bukan sekadar mengetik tulisan, melainkan juga menyusun database (berguna untuk laporan investigasi), dan aplikasi mulJurnal Ilmiah Vol.2 No.2
14
timedia, termasuk pagemaker (untuk layout), printshop, photoshop, dan lainlain. Berkait dengan hal di atas dan adanya keragaman masyarakat adalah keniscayaan di Indonesia sebagai negara dengan wilayah yang luas, terdiri atas beratus-ratus suku bangsa, beragam adat, agama, dan kepercayaan. Itu sebabnya Kode Etik Jurnalistik yang telah direvisi pada tahun 2006 menekankan dalam preambul (mukadimah), bahwa wartawan Indonesia tidak berprasangka, bersikap diskriminatif atau merendahkan seseorang berdasarkan suku, ras, dan agama. Berhubungan dengan maksud di atas pula bahwa, para jurnalis (wartawan), khususnya wartawan Harian Surya dalam menjalankan profesinya sebagai seorang jurnalis (bekerja dalam dunia pers) tersebut harus benar-benar menjalankan apa yang sudah diamanatkan dalam ketentuan Kode Etik Jurnalistik. Di samping itu sebagai seorang wartawan Harian Surya, berdasarkan buku Sembilan Elemen Jurnalistik yang dikarang oleh Bill Kovach, mengatakan bahwa berita itu adalah sepenggal informasi yang mengandung suatu kebenaran. Meskipun demikian, fakta jurnalistik secara terminologi, tidak harus berarti kebenaran mutlak. Fakta jurnalistik adalah apa yang dilihat dan didengar oleh wartawan, sejauh hal itu akurat maka bisa diangkat sebagai fakta, dengan memverifikasi dan menguji fakta itu, sehingga mendekati kebenaran. Namun kebenaran pemberitaan pers tidak otomatis adalah kebenaran hukum, tetapi kebenaran yang diyakini oleh wartawan sebagai kebenaran hati nurani. Dalam menulis berita, wartawan sedapat mungkin menghindari opini, serta mengidentifikasi dengan jelas sumber informasi fakta dengan mendeskripsikannya secara akurat. Adanya rumusan bahwa wartawan “tidak beritikad buruk�, seperti apa yang tertulis dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, menegaskan pentingnya niat dan itikad baik wartawan Harian Surya dalam menjalankan dan melaksanakan profesi jurnalisme. Akurasi dan keberimbangan menjadi kurang relevan, jika dalam tugas liputan landasan berpikir wartawan penuh dengan niat dan itikad tidak baik, seperti untuk kepentingan pribadi dan kelompok, atau untuk menyerang atau mendukung pihak-pihak tertentu. Jika itikad wartawan semata-mata untuk kepentingan publik, maka kelemahan dalam akurasi atau kurang berimbang masih bisa dimaafkan, sejauh hal itu akibat kelemahan teknis dan bukan dari suatu kesengajaan. Selain masalah kebenaran, independensi, akurasi dan itikad baik, sejumlah persoalan etika yang menonjol untuk dilaksanakan oleh wartawan Harian Surya salah satunya adalah privasi, yang mana di dalam Kode Etik Jurnalistik tertuang pada pasal 9, yang menyatakan bahwa: wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk ke-
15
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
pentingan publik, dengan sebuah bentuk penafsiran yaitu: 1. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. 2. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Sebenarnya privasi adalah wilayah dan perilaku pribadi seorang individu yang tidak langsung terkait dengan kepentingan publik dan tidak merugikan orang lain, sehingga seharusnya tidak diberitakan oleh media, khususnya Harian Surya. Wilayah privasi antara lain adalah rumah, tempat tinggal, atau ruangan-ruangan tertentu yang ditempati seseorang (seperti toilet, kamar di rumah sakit, kamar hotel dan sebagainya), aktivitas privasi adalah kegiatan personal yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum, kegiatan yang terkait dengan hobi seseorang, kehidupan rumah tangga, atau hubungan personal. Hal ini yang selalu diperhatikan oleh para jurnalis (wartawan) Harian Surya dalam meliput suatu berita yang berhubungan dengan segala bentuk privasi narasumber. Dalam melaksanakan tugas atau profesi sebagai wartawan selalu didukung oleh dewan redaksional yang handal, sehingga ketika melaksanakan pasal 9 Kode Etik Jurnalistik, wartawan Harian Surya mengetahui betul mana bagian untuk konsumsi publik dan mana yang bukan sebagai konsumsi publik. Sebagai wujud dari pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, bahwa para jurnalis (wartawan) Harian Surya juga menempuh jalan dan cara yang jujur (fairness) untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan, dengan meneliti kebenaran dan akurasinya sebelum memberitakannya atau menyiarkannya serta harus memperhatikan kredibilitas sumbernya. Di dalam menyusun suatu berita hendaknya dibedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampuradukkan antara keduanya, termasuk kedalamannya adalah objektifitas dan sportifitas berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab serta menghindari cara-cara pemberitaan yang dapat menyinggung pribadi seseorang, sensasional, immoral dan melanggar kesusilaan. Dalam unsur fairness ini juga terkandung makna bersikap wajar atau patut. Di mana sesuatu yang dipublikasikan oleh wartawan Harian Surya tidak boleh terlepas dari unsur kepatutan menurut etika yang berlaku. Pemberitaan suatu berita yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara, fitnahan, pemutarbalikan suatu kejadian adalah merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik, secara khusus bagi wartawan itu sendiri. Menanggapi besarnya kesalahan yang dapat ditimbulkan dari proses atau cara pemberitaan serta menyatakan pendapat di atas, maka dalam Kode Etik Jur-
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
16
nalistik diatur juga mengenai hak jawab dan hak koreksi (di mana hal tersebut akan dibahas dalam sub bab tersendiri). Bagi seorang wartawan Harian Surya juga diharuskan menyebut dengan jujur sumber pemberitaan dalam pengutipannya, sebab perbuatan mengutip berita gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya maka pertanggungjawaban terletak pada wartawan dan atau penerbit yang bersangkutan. Pertanggungjawaban dan Perlindungan bagi Wartawan Harian Surya Para jurnalis (wartawan) yang terlibat dalam suatu proses kejurnalisan harus mempunyai tanggung jawab dalam pemberitaan atau apa yang disiarkan. Apa yang diberitakan media massa harus bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, jurnalis (wartawan) tidak sekadar menyiarkan informasi tanpa bertanggungjawab terhadap dampak yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini bisa ditujukan pada Tuhan, masyarakat, profesi atau dirinya masing-masing. Komitmen wartawan Harian Surya jika pemberitaannya mempunyai konsekuensi merugikan masyarakat, jurnalis (wartawan), termasuk di sini adalah perusahaan pers (vide: PT. Antar Surya Jaya tempat naungan wartawan Harian Surya) harus ikut bertanggungjawab dan bukan menghindarinya. Termasuk yang tidak cukup adalah sekadar memberikan (pledoi) tanpa dasar hanya untuk membela diri. Jika dampak itu sudah merugikan masyarakat secara perdata atau pidana, media massa, khususnya di sini adalah Harian Surya harus bersedia bertanggungjawab seandainya pihak yang dirugikan tersebut protes ke pengadilan. Hal ini ditempuh jika jalan kompromi antara pihak yang dirugikan dengan Harian Surya sudah tidak bisa dilakukan lagi, dengan kata lain Harian Surya siap untuk melaksanakan hal tersebut. Sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, para jurnalis (wartawan) secara khusus di sini adalah wartawan Harian Surya mengamanatkan seperti yang diungkapkan dalam pasal 7 Kode Etik Jurnalistik, bahwa wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan “of the record� sesuai dengan kesepakatan, yang mengandung suatu penafsiran sebagai berikut: 1. Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. 2. Embargo adalah penundaan pemuatan, atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. 3. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan tanpa menyebutkan narasumbernya. 4. “Off the record� adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
17
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Bentuk Hak Tolak tersebut seperti yang telah diungkapkan dalam pasal 7 Kode Etik Jurnalistik, berlandaskan pada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pers, sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, khususnya dalam pasal 4 ayat (4) yang berbunyi: “dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”. Hak Tolak bagi wartawan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaannya di depan hukum adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi tersebut. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik (polisi atau jaksa) dan atau menjadi saksi di pengadilan dan hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Hal ini tertuang sebagaimana yang disebutkan dalam penjelasan pasal 4 ayat (4) undang-undang pers. Hak tolak harus digunakan sangat selektif. Sebagai panduan atau tolok ukur yang dapat digunakan untuk menggunakan hak tolak atau tidak menggunakan hak tolak, karena esensi penggunaan hak tolak adalah melindungi narasumber dari kemungkinan terancamnya jiwa keselamatan sang narasumber dan atau keluarganya, maka wartawan harus sangat berhati-hati dalam menggunakannya. Jika tidak hati-hati, maka kemungkinan wartawan menggunakan hak tolak sebagai “sarana bersembunyi” dan atau menjadikannya sebagai “sarana melakukan posisi tawar untuk memeras” sangat terbuka lebar. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya nilai, ketulusan dan keinginan mulia penggunaan hak tolak menjadi hancur dan terdegradasi. (Hinca IP Pandjaitan, 2004 : 24). Saat ini perkembangan penggunaan hak tolak banyak menyimpang jauh dari hakekat makna hak tolak itu sendiri, terutama akibat perkembangan teknologi informasi berupa handphone, yang bermuara pada, sebutlah “jurnalisme short messages services (SMS)”. Di mana banyak sekali media yang menghimpun pandangan masyarakat tentang suatu informasi, baik yang temanya disediakan dan ditentukan oleh media itu maupun yang sama sekali tidak ditentukan sebelumnya. Isi “SMS” ini dimuat apa adanya dengan melindungi sang pengirim SMS. Biasanya cukup dikatakan atau ditulis “081 2345XXX”. Tentulah maksud penulisan nomor handphone tidak secara lengkap, bahkan sebaliknya dibuang 3 angka di bagian belakang dengan menggantikannya “XXX” untuk melindungi narasumber. Cara-cara yang demikian ini sebenarnya sama sekali tidak dibenarkan, kecuali memang jika isi “SMS” dan si pengirim “SMS” disebutkan berakibat pada terancamnya jiwa dan keselamatan sang pengirim SMS dan atau keluarganya. Sama diketahui bahwa ada dua model tentang identitas si pemegang nomor
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
18
handphone. Pertama, pra bayar. Kedua, pasca bayar. Untuk yang disebutkan pertama, maka tak seorangpun dapat mengetahui siapakah sebenarnya pemegang nomor handphone pra bayar tersebut. Sebab siapa saja dapat membelinya untuk kemudian memilikinya tanpa pernah menyebutkan atau mendaftarkan nama dan identitas pemiliknya kepada operator telekomunikasi seluler. Dengan demikian, sesungguhnya penggunaan jurnalisme SMS ini sama sekali tidak mendidik masyarakat pembacanya untuk berlaku bijak dan demokratis. Justru sebaliknya, penggunaan jurnalisme SMS gaya seperti ini adalah jurnalisme yang menciderai demokrasi dan mengajar masyarakat penjadi pengecut. Seperti pepatah “ lempar batu sembunyi tangan�. (Hinca IP Pandjaitan, 2004: 26). Dalam hal ini seharusnya wartawan cukup menjadi materi “SMS� yang diterimanya itu menjadi stimulus untuk melakukan investigasi, check and recheck, dan konfirmasi kepada para pihak yang diberitakan atau dituduhkan. Apabila hal ini sama sekali tidak dilakukan lalu memuatnya begitu saja dengan memenggal nomor SMS sang pengirim SMS. Dapat disimpulkan apabila hal ini terjadi, maka redaksional sudah melakukan pelanggaran atas Kode Etik Jurnalistik. Jika kemudian terjadi persoalan hukum yang ditimbulkan oleh isi SMS tersebut, maka sesungguhnya penanggungjawabnya tidak hanya wartawan saja tetapi redaksi juga ikut memikul dan bertanggungjawab atas tuntutan hukum yang ada. Di sisi yang lain bahwa dilema hak tolak bagai wartawan Harian Surya adalah, apakah hak ini perlu dipertahankan untuk melindungi narasumber konfidensial meskipun melanggar hukum, misalnya jika perlindungan terhadap narasumber ternyata melanggar undang-undang anti teroris, lazimnya wartawan profesional lebih menaati kode etik dan memilih menerima konsekuensi hukum. Dibandingkan dengan profesi lain seperti dokter, ulama/pastor, advokad, hak tolak untuk wartawan ditegaskan menjadi hukum positif dalam undang-undang pers. Jika seorang wartawan dihadapkan kepada pengadilan dan hakim meminta siapa sumber informasinya, dia berhak menolak. Jika wartawan diadili dalam kasus narasumber konfidensial, wartawan bisa mengajukan permohonan ke pengadilan untuk dibentuk majelis hakim yang baru yang akan menyidangkan apakah perkara itu menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum. Jika majelis hakim tahu menyatakan kasus ini menyangkut kepentingan negara, maka hak tolak menjadi gugur. Dengan kata lain dia harus mengungkapkan narasumbernya. Kewajiban pers, khususnya di sini adalah wartawan, adalah bentuk pertanggungjawaban koreksi, jika terjadi suatu kesalahan. Koreksi dilakukan untuk kesalahan fakta atau data yang tidak terlalu signifikan dan secara keseluruhan tidak mengurangi arti penting karya jurnalistik terkait. Koreksi idealnya dilaku-
19
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
kan oleh pihak redaksi media segera setelah mengetahui adanya kesalahan, tidak harus menunggu ada pihak atau pembaca yang bereaksi, jika wartawan menemukan kesalahannya, maka wartawan tersebut wajib melakukan koreksi. Hak koreksi merujuk pada kekeliruan informasi atau fakta yang disajikan oleh pers, dan untuk melakukan koreksi bisa dilakukan siapa saja, tidak harus pihak yang terkait dengan materi informasi. Misalnya keliru menyebut nama tempat, tanggal terjadinya suatu peristiwa, dan nama orang yang terlibat di dalamnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 10 Kode Etik Jurnalistik, yang menyatakan bahwa: wartawan Indonesia segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita keliru, dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar atau pemirsa. Dengan sebuah penafsiran: 1. Segera, berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. 2. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pembaca Harian Surya bisa melakukan koreksi jika ada kesalahan atau kekeliruan tulisan pada pers. Hal ini juga berkaitan dengan bunyi pasal 11 Kode Etik Jurnalistik, di mana wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional, dengan penafsiran bahwa, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Dengan demikian hak koreksi merupakan sarana kontrol yang lain. Selain itu masih ada sarana kontrol yang lain, yaitu kejujuran melakukan kewajiban koreksi. Jika hak jawab dan hak koreksi inisiatifnya datang dari orang yang dirugikan, maka kewajiban koreksi adalah kewajiban redaksi, sekalipun tidak ada sanggahan atau tanggapan dari orang lain jika redaksi menemukan sebuah kesalahan. Sebaliknya, tanpa menunggu pengaduan datang untuk melakukan koreksi, redaksi juga dapat secara proaktif pula melakukan kewajiban koreksi saat mana redaksi mengetahui bahwa pemberitaannya itu tidak benar atau tidak akurat atau melanggar prinsip-prinsip Kode Etik Jurnalistik. Kewajiban koreksi itu dapat meliputi keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Wartawan dalam mengelola berita dan perusahaan pers yang memproduksi berita dan informasi itu dalam bahasa sederhana disebut sebagai produk “sejumlah kata-kata�. Penekanan pada produksi pers adalah kata-kata yang bertumpu pada kekuatan fakta-fakta. Tentulah tidak mungkin semua pembaca senang atau bersuka cita atas berita dan informasi itu. Amarah pembaca itu ada yang terkontrol dan tersalurkan dengan wajar, tetapi tidak sedikit pula amarah yang terpendam, lalu menjadi api kebencian yang dapat diwujudkan
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
20
dalam berbagai bentuk, mulai dari yang sederhana dari kecil sampai ke yang ruwet dan besar. Penyerangan secara fisik dengan menduduki kantor perusahaan pers dapat saja terjadi. Gugatan hukum secara perdata sudah populer. Tuntutan secara hukum pidana juga sudah menjamur. Bahkan gugatan perdata dapat dijadikan kendaraan untuk membangkrutkan perusahaan pers melalui permohonan ganti rugi yang jumlahnya sangat besar dibarengi pula dengan permohonan peletakan sita jaminan atas seluruh aset perusahaan pers tersebut. Tuntutan dengan menggunakan mekanisme hukum pidana dengan cara memenjarakan wartawan atau penanggungjawab perusahaan/ penanggungjawab redaksi juga dapat terjadi akibat amarah yang tak terbendung dan tidak terdistribusikan secara pas. Semua pilihan ini tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi semua pihak, bahkan tidak menguntungkan bagi pembangunan kemerdekaan pers yang bermartabat sebagai pilar demokrasi. Memenjarakan wartawan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akibat permasalahan permberitaan pers atau akibat wartawan melakukan kegiatan jurnalistik sesungguhnya sama sekali tidak sesuai dengan undang-undang pers dan Kode Etik Jurnalistik, termasuk kebiasaan universal yang lazim dilakoni terutama di negara-negara yang teratur. Yang terbijak dan terbaik adalah menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan karena “kata-kata” dengan “kata-kata” pula. Sebuah berita atau informasi yang disampaikan oleh wartawan Harian Surya dalam dunia pers kepada pembaca, diyakini dan dipastikan bahwa semua berita dan atau informasi yang di dapat oleh wartawan telah memenuhi mekanisme jurnalistik dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik pula, maka redaksi memutuskan berita yang diturunkan besok pagi. Tidak ada seorang pun yang mampu mengendalikan “kekuasaan” redaksi di news room. Di sisi yang lain, redaksi sangat tidak berkuasa melawan deadline dan keterbatasan space. Satu-satunya sarana kontrol yang bisa dipakai redaksi adalah profesionalisme dan pematuhan pada Kode Etik Jurnalistik. Redaksi dengan segala otoritasnya akan selalu menghindari kesalahan sekecil apapun. Namun sebagai manusia, wartawan dan redaksi juga sadar tak mungkin tak pernah salah. Meskipun antara karyawan dan redaksi sudah sangat yakin dengan berita yang akan diturunkannya itu sudah memenuhi standar kinerja jurnalistik yang baku termasuk rambu-rambu Kode Etik Jurnalistik, tetap tidak menjamin bahwa berita yang diturunkan tersebut esok hari tidak menimbulkan permasalahan. Sebab, demikianlah adanya sifat berita itu, tak mungkin dapat menyenangkan semua pihak. Walaupun berita itu juga sudah sesuai dengan etika jurnalistik, tetapi kemudian ternyata melukai dan atau menciderai nama baik seseorang, tentulah harus terbuka dan dibukakan pintu untuk melakukan kontrol terhadap wartawan dan
21
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
redaksi oleh orang yang nama baiknya dirugikan itu. Kontrol yang demikian itu disebut Hak Jawab. Hak Jawab, yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sanggahan atau tanggapan atas sebuah pemberitaan yang dirasakan merugikan nama baiknya, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Oleh karena itu, maka filosofi mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers sebagai bentuk pertanggungjawabannya seharusnya diselesaikan dengan menggunakan mekanisme pemberitaan pers pula. Kesalahan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik pula. Bukan dengan memenjarakan wartawan atau, membangkrutkan perusahaan pers. Dengan demikian, hak jawab bukanlah sekedar hak keperdataan, sebagaimana banyak didalihkan orang dan para ahli hukum, yang bisa dipakai oleh si yang berhak dan sebaliknya bisa pula tidak dipakai. Hak jawab adalah hak yang disediakan dan dijamin oleh undang-undang pers dan karenanya sebaiknya harus digunakan dan dilakukan apabila kesempatan untuk itu dibukakan dan disediakan. Hak jawab adalah hak memukul balik akibat sebelumnya para jurnalis (wartawan) sudah dicederai oleh pukulan yang menyakitkan. Apabila hak jawab tidak digunakan, itu berarti bahwa pukulan yang disampaikan itu sama sekali tidak menyakitkan. Jika pemberitaan itu tidak ada yang salah dan tidak pula menyakitkan. Dan jika itu terjadi, memang sangat pantas untuk tidak menggunakan hak memukul balik. Itu berarti tidak pernah ada permasalahan yang ditimbulkan akibat pemberitaan pers itu. Sanksi bagi Wartawan Harian Surya yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Munculnya “wartawan bodrexâ€? (wartawan gadungan) dilihat sebagai ekses kebebasan pers, di mana wartawan bodrex yang makin berkembang biak sering menjadi alasan tentang kekacauan situasi kemerdekaan pers pasca reformasi. Kran kebebasan yang terbuka telah dimanfaatkan untuk mendapatkan peluang mencari nafkah yang mudah diperoleh, yaitu praktik pemberian amplop. Dapat dikatakan menjadi wartawan bodrex bukanlah satu pelanggaran hukum, mereka hanya berperilaku tidak etis, atau dapat dikatakan telah melanggar Kode Etik Jurnalistik, khususnya dalam pasal 6 yang dinyatakan bahwa, wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap, dengan sebuah penafsiran bahwa: • Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. • Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Salah satu prinsip utama kerja wartawan adalah independen dan ti-
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
22
dak terikat sumber berita. Dengan menerima amplop dari sumber berita, wartawan tidak lagi bisa menjaga sikap independensinya. Sebagaimana “tidak ada makan siang gratis”, begitu pula tidak ada amplop tanpa pamrih. Hasil kerja wartawan (berupa informasi, berita) adalah kepercayaan konsumennya, maka kepatuhan pada etika adalah prinsip yang tidak bisa ditawar dengan alasan apapun. Tuntutan atas perbaikan kesejahteraan wartawan bisa dilakukan jika wartawan memiliki posisi tawar. Posisi tawar itu bisa dibangun dengan meningkatkan profesionalitas dan kredibilitas, serta membangun organisasi wartawan yang kuat. Karena budaya amplop masih dianggap sebagai hal yang lazim, bukan sebagai praktik yang memalukan, akibat membuka peluang bagi banyak orang mendirikan “perusahaan pers” dan sejumlah individu memaksakan diri menjadi “wartawan” sekedar untuk menanggapi amplop, yang dalam hal ini dapat merongrong etika dan integritas wartawan. Dengan demikian agar tidak terjadi hal tersebut perlu adanya penggalakan ke masyarakat (sumber berita agar tidak memberikan amplop kepada wartawan). Perusahaan pers juga wajib menerapkan code of conduct bagi wartawannya untuk tidak menerima amplop, dan memberikan sanksi kepada para jurnalis (wartawan) yang ketahuan menerima amplop. Sering dengan pernyataan di atas tersebut pada Harian Surya juga tidak terlepas adanya budaya amplop yang demikian bagi wartawannya sebagai bentuk suatu pelanggaran dalam etika yang pada akhirnya akan dikenakan suatu sanksi. Idealnya, penegakan etika dan pemberitaan sanksi merupakan mekanisme internal suatu perusahaan pers. Norma etika bersifat pada ketaatan, dan penegakkannya pada hati nurani manusia (wartawan) yang melaksanakan. Di bidang jurnalistik pemberitaan yang bersifat penyebaran berita bohong, fitnah, pelanggaran privasi, asas praduga tak bersalah dan plagiat, bisa masuk pada kategori pelanggaran etika maupun hukum. Pelanggaran etika yang sifatnya tidak fatal lazimnya diselesaikan dengan pernyataan ralat atau permintaan maaf, wartawan yang melanggar etika akan diperingatkan, dikenakan sanksi atau skorsing. Sedangkan media atau wartawan yang sering melanggar etika pada akhirnya akan mendapatkan sanksi moral atau sosial, seperti konsumen tidak berminat membeli, karena meragukan kredibilitas media atau wartawan itu. Untuk wartawan Harian Surya yang melanggar adanya etika jurnalisme, khususnya terhadap budaya amplop, akan diberikan sanksi sesuai dengan pedoman pada Kode Etik Jurnalistik pada bagian penutup bahwa, sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau
23
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
perusahaan pers. Dalam hal ini jenis sanksi yang diberikan berdasarkan ketentuan pasal 81 Peraturan Perusahaan PT. Antar Surya Jaya ayat (1): Karyawan yang melakukan perbuatan melanggar hukum, melanggar peraturan perusahaan, melanggar larangan dan tata tertib atau bertingkah laku yang dapat merugikan perusahaan, dan atau patut diduga akan merugikan perusahaan akan dikenakan sanksi. Apabila wartawan Harian Surya benar-benar terbukti melakukan pelanggaran tersebut, maka pimpinan perusahaan dapat menentukan jenis sanksi sesuai dengan bobot dan jenis kesalahannya (sesuai dengan bunyi pasal 81 ayat (3), dan sanksi yang terberat adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sesuai pula dengan ketentuan pasal 81 ayat (2) poin h. Berkaitan dengan masalah PHK (Pemutusan Hubugan Kerja), seperti yang telah dijelaskan pada pasal 81 ayat (2) dan (3), dipertegas kembali pada pasal 81 ayat (5): Tergantung dari jenis dan bobot pelanggaran yang dilakukan karyawan, pimpinan perusahaan dapat langsung memberikan peringatan pertama dan terakhir (III) atau langsung Pemutusan Hubungan Kerja dengan karyawan yang bersangkutan tanpa melalui tahap-tahap sebelumnya. Pada ayat (6), dinyatakan bahwa: Poin d: Membujuk dan atau melakukan perbuatan yang melanggar etika dan norma agama di lingkungan perusahaan. Poin n: Menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. Poin s: Merusak nama baik perusahaan. Inilah sanksi-sanksi yang diterapkan pada jurnalis (wartawan) Harian Surya yang melakukan sebuah pelanggaran etika, walaupun tidak tersurat secara jelas mengenai jenis pelanggaran etika (vide: budaya amplop). Tetapi hal ini sudah mengandung makna yang tersirat dari implementasi Kode Etik Jurnalistik, untuk menegakkan tanggungjawab profesi sebagai seorang jurnalis (wartawan). III. KESIMPULAN Memahami etika tidak menjamin seorang jurnalis (wartawan) akan selalu bisa bersikap etis, namun mempelajari etika adalah kemampuan yang bisa dilakukan setiap wartawan. Dengan selalu mempelajari dan kemudian menerapkan diharapkan muncul sikap etis yang konsisten. Dengan demikian etika bukan lagi sekedar sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dilakukan, dan selalu berupaya menerapkan etika jurnalistik yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas kerja. Itu sebabnya etika yang terjelma dalam kode etik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jurnalisme. Kode etik selain menjadi
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
24
panduan bagi wartawan dalam menentukan tindakan dan pilihan, juga menjadi sarana untuk melindungi masyarakat dari praktek kinerja wartawan yang sembarangan. Oleh karena itu perlu adanya kompetensi etika wartawan Indonesia termasuk wartawan Harian Surya, yang harus mendalami Kode Etik Jurnalistik beserta penafsirannya. Sementara itu guna mendukung kesadaran etika wartawan, perusahaan pers dituntut secara tegas melaksanakan kesadaran etika para wartawannya. Sebagai wujud dari pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, bahwa para jurnalis (wartawan) Harian Surya juga menempuh jalan dan cara yang jujur (fairness) untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan, dengan meneliti kebenaran dan akurasinya sebelum memberitakannya atau menyiarkannya serta harus memperhatikan kredibilitas sumbernya. Di dalam menyusun suatu berita hendaknya dibedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampuradukkan antara keduanya, termasuk kedalamannya adalah obyektifitas dan sportifitas berdasarkan kebebasan yang bertanggungjawab serta menghindari cara-cara pemberitaan yang dapat menyinggung pribadi seseorang, sensasional, immoral dan melanggar kesusilaan. Apabila dalam hal para jurnalis (wartawan) Harian Surya tidak lagi mengindahkan amanat yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik atau pelanggaran etika yang sifatnya tidak fatal, lazimnya diselesaikan dengan pernyataan ralat atau permintaan maaf. Wartawan yang melanggar etika akan diperingatkan, dikenakan sanksi atau skorsing. Sedangkan media atau wartawan yang sering melanggar etika pada akhirnya akan mendapatkan sanksi moral atau sosial, seperti konsumen tidak berminat membeli, karena meragukan kredibilitas media atau wartawan itu. Sedangkan untuk wartawan Harian Surya yang melanggar adanya etika jurnalisme, khususnya terhadap budaya amplop, akan diberikan sanksi sesuai dengan pedoman pada Kode Etik Jurnalistik pada bagian penutup bahwa, sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers, yaitu dengan dikeluarkan dari tempat wartawan tersebut menjalankan profesi. DAFTAR PUSTAKA Atmakusuma. 2006. Panduan Jurnalistik Praktis. Lembaga Pers Dr. Soetomo: Jakarta. Abidin, Wikrama Iryans. 2007. Pokok-Pokok Pikiran tentang Etika Jurnalistik dan Problematikanya. Bogdan, Robert C & Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Edu-
25
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
cation: An Introduction to Theory and Methods. Allyn and Bacon Inc: Boston. Emka, Zainal Arifin. 2005. Wartawan Juga Bisa Salah – Etika Pers dalam Terapan, Stikosa-AWS – Jawa Pos Group: Surabaya. Guba, Egon & Yvonna S. Lincoln. 1981. Effective Evaluation, Jossey-Bass Publishers: Fransisco. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi (Manipulasi Media, Kekerasan, & Pornografi) Kanisius: Yogya Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Kompas: Jakarta. Libois, Boris. 1994. Ethique de I’informantion, Ed.de L’Universite de Bruxelles: Bruxelles. Luwarso, Lukas (2006), Kompetensi Wartawan – Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, Dewan Pers, Jakarta. Luwarso, Lukas & Samsuri. 2007. Pelanggaran Etika Pers. Dewan Pers: Jakarta. Pandjaitan, Hinca IP. 2004. Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi, Kewajiban Koreksi Anda,Ombudsman Memfasilitasinya. Tim Ombudsman Jawa Pos Group dan Jawa Pos Press: Surabaya. Satya Dharma, S.dkk. 2003. Malpraktek Pers Indonesia. Awam Indonesia: Jakarta. Severin, Werner J dan James W. Tankard. 2005. Teori Komunikasi, Sejarah, Metode, dan Terapan didalam Media Massa. Prenada Media: Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1999. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers: Jakarta.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
26
RUBRIK “KONTAK JODOH” PADA SURATKABAR KOMPAS DAN JAWA POS
Sri Moerdijati, M.S.
Staf Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga
ABSTRAK
P
enelitian ini mendiskripsikan identitas pencari jodoh pada rubrik “Kontak Jodoh” dan “Pertemuan” di Kompas dan Jawa Pos tahun 2009. Hal ini pernah diteliti tahun 1990 di Kompas. Pada tahun 2009 ini apakah temuannya masih sama atau berbeda dengan temuan pada tahun 1990. Pemilihan pada kedua suratkabar tersebut berdasarkan pada perbedaan wilayah distribusinya. Kerangka teori yang digunakan tentang rubrik dalam suratkabar, karakteristik demografi dari para pencari jodoh di Kompas dan Jawa Pos. Tipe penelitian diskriptif, metoda analisis isi, populasi penelitian sama dengan sampel penelitian. Unit analisis setiap surat yang dimuat pada rubrik Pertemuan dan Kontak Jodoh di Kompas dan Jawa Pos. Pengumpulan data menggunakan lembar koding dan tabel frekuensi sebagai teknik analisis data. Hasil penelitian menunjukkan simpulan pada Jawa Pos dan Kompas tentang Rubrik Jodoh sama, yaitu sebagian besar dari populasi perempuan berstatus sebagai gadis dan janda, usia antara 20 tahun - 60 tahun. Mayoritas beragama Islam dan Katolik. Pendidikan S1 bahkan ada yang S2. Sebagian besar perempuan bekerja sebagai karyawati dan wiraswasta. Etnis mereka mayoritas Jawa dan Tionghoa dan berasal dari kota-kota besar di Jawa. Temuan ini agak berbeda dengan penelitian pada tahun 1990 berkaitan dengan usia, agama, pendidikan, pekerjaan, dan etnis.
27
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
I. PENDAHAHULUAN Latar Belakang Masalah : Mencari informasi dapat dilakukan dengan Uses and Gratifications ( Littlejohn, 2008 : 301 ). Menurut Donohew dan Tipton dalam Mc.Quail (1996 : 95) strategi pencarian informasi terdiri dari strategi berfokus sempit dan strategi berfokus luas. Masing – masing individu dapat memilih menggunakan strategi yang mana. Salah satu sumber informasi yang dapat digunakan adalah media massa, yaitu suratkabar. Suratkabar menyediakan berbagai macam informasi yang dibutuhkan oleh pembacanya, salah satunya informasi berkaitan untuk mencari pasangan. Kompas mengemas ini dalam rubrik “Pertemuan”, sedang Jawa Pos informasi ini dimuat dalam rubrik “Kontak Jodoh”. Pada rubrik ini berisikan informasi identitas diri pencari jodoh dan identitas dari pasangan yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui data dari para pencari jodoh di suratkabar Kompas dan Jawa Pos pada tahun 2009. Hal ini pernah diteliti pada tahun 1990 pada suratkabar Kompas. (Ibrahim,1998: 391) Temuannya menunjukkan pemasang iklan pada suratkabar Kompas sebagian besar wanita, baik berstatus gadis maupun janda, usianya berkisar antara 25 tahun -34 tahun. Pada tahun 2009 ini apakah temuannya masih sama atau berbeda dengan temuan pada tahun 1990. Selain itu juga ingin mengetahui informasi dalam rubrik tersebut berbeda atau sama pada dua suratkabar tersebut. Pemilihan pada kedua suratkabar tersebut berdasarkan pada perbedaan wilayah distribusinya. Keduanya merupakan suratkabar nasional hanya Kompas wilayah distribusinya lebih luas daripada Jawa Pos. Untuk menjawab hal tersebut peneliti menggunakan analisis isi kuantitatif, karena yang diteliti adalah pesan, yaitu pesan yang ada dalam rubrik “Kontak Jodoh” pada suratkabar Kompas dan Jawa Pos Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang identitas diri para pencari jodoh dan harapannya tentang pasangannya. Perumusan Masalah Bagaimanakah identitas diri / demografi para pencari jodoh pada rubrik “Kontak Jodoh” dan “Pertemuan” di Kompas dan Jawa Pos pada tahun 2009? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian mendiskripsikan atau memberikan gambaran secara detil identitas diri / demografi para pencari jodoh yang terdapat pada rubrik Kontak Jodoh dan Pertemuan di Kompas dan Jawa Pos pada tahun 2009
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
28
Signifikansi Penelitian Manfaat penelitiannya menunjukkan kecenderungan identitas diri/demografi dari para pencari jodoh. Kerangka Teori Penelitian tentang rubrik Kontak Jodoh pernah diteliti oleh Peter Hagul dan Edy Sutopo (Ibrahim, 1998 : 391-392) Mereka meneliti di Kompas dari tahun 1980-1990, dengan jumlah sampel 896 orang yang terpilih secara random sistematis. Hasilnya menunjukkan pemasang iklan di rubrik jodoh sebagian besar perempuan, 70% gadis dan 6% janda dan gadis yang menawarkan diri 3 x lebih banyak dari bujangan.tujuhpuluh persen (70%) gadis berusia 25-34 tahun sedang bujangan berusia 30-38 tahun, sedangkan janda berusia dibawah 39 tahun. Para pencari jodoh ini sebagian besar berpendidikan tinggi, bekerja di sektor formal, beretnis Cina serta berasal dari Jakarta. Pada penelitian ini, peneliti meneliti dua suratkabar yaitu Kompas dan Jawa Pos tahun 2009, keduanya merupakan suratkabar nasional hanya wilayah edarnya berbeda. Selain hal tersebut peneliti ingin mengetahui apakah hasilnya berbeda atau sama dengan temuan penelitian dari Peter Hagul, mengingat jarak waktu penelitian sudah 19 (sembilan belas) tahun. 1. Rubrik ‘Kontak Jodoh’ dalam suratkabar Ruang atau kolom atau bagian dari suratkabar disebut rubrik. (Wojowasito, 1983 : 554) Adanya rubrik tersebut memudahkan pembaca mencari topiktopik yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Berdasarkan pada hal tersebut, Kompas dan Jawa Pos sebagai media massa cetak juga berisikan berbagai macam rubrik, salah satunya adalah rubrik yang memuat informasi untuk mendapatkan pasangan atau rubrik jodoh. Pada Kompas rubrik ini disebut Pertemuan, sesuai dengan namanya pada rubrik ini individu yang mencari jodoh ‘menawarkan dirinya’ dan bagaimana kriteria orang yang akan menjadi pasangannya. Di Jawa Pos rubrik ini ada di lembar Metropolis dengan nama rubrik Kontak Jodoh. Kedua rubrik ini hanya muncul setiap hari Minggu 2. Identitas para pencari jodoh berdasarkan pada karakteristik demografi Demografi merupakan hal penting dalam perencanaan pembangunan, karena demografi berhubungan dengan data kependudukan. Berkaitan dengan hal tersebut maka data kependudukan yang tersedia harus lengkap dan akurat. Demografi mempelajari struktur dan proses penduduk di suatu wilayah. Struktur penduduk meliputi : jumlah, persebaran, dan komposisi penduduk. (Mantra, 2007 : 1-2) Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan identitas para pencari jodoh lebih melihat pada karakteristik demografinya terutama pada komposisi
29
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
penduduknya yaitu yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, etnis dan domisili dari para pencari jodoh di Kompas dan Jawa Pos. 3. Analisis Isi pada media cetak Metode analisis isi digunakan untuk meneliti isi media yang terdokumentasi atau yang dapat didokumentasikan. Jadi pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih. (Budd, 1967:2). Sedangkan menurut Berelson (1952), yang kemudian diikuti oleh Kerlinger (1986), analisis isi didefinisikan sebagai suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak (Wimmer & Dominick 2000: 135). 1. Prinsip sistematik oleh Berelson diartikan, ada perlakuan prosedur yang sama pada semua isi yang dianalisis. Peneliti tidak dibenarkan melakukan analisis hanya pada isi yang sesuai dengan perhatian dan minatnya, tetapi harus pada keseluruhan isi yang telah ditetapkan untuk diteliti (yang telah ditetapkan dalam pemilihan po pulasi dan sampel). 2. Prinsip objektif, berarti hasilnya tergantung pada prosedur penelitian bukan pada orangnya, yaitu dengan ketajaman kategorisasi yang ditetapkan, sehingga orang lain dapat menggunakannya. Sehingga apabila digunakan untuk isi yang sama, dengan prosedur yang sama maka hasilnya harus sama pula, walaupun penelitinya berbeda. 3. Sedang kuantitatif, diartikan dengan mencatat nilai-nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan. Namun ini juga diartikan sebagai prinsip digunakannya hypothetico deduktive method, dimana penelitian harus diawali dengan research question, conceptual atau theoritical framework, hipotesis, yang kemudian dibuktikan di lapangan. 4. Sementara isi yang nyata, diberi pengertian, yang diteliti dan dianalisis hanyalah isi yang tersurat, yang tampak, bukan makna yang dirasakan oleh si peneliti . Alasan perlunya menggunakan analisis isi 1. Sifat selektif dan keterbatasan individu dalam menerima pesan dari media 2. Ada kecenderungan pada individu untuk menggeneralisasi pengalaman komunikasi yang khas 3. Terpaan sehari-hari dari media jarang memotivasi untuk menganalisis aspek-aspek yang berharga pada isi pesan komunikasi
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
30
Tujuan menggunakan analisis isi untuk memperoleh suatu hasil atau pemahaman obyektif tentang isi pesan komunikasi dari berbagai media, dalam hal ini adalah suratkabar. Berkaitan dengan penelitian ini maka dengan menggunakan metoda analisis isi, peneliti bisa mendiskripsikan bagaimana identitas dari para pencari jodoh dan bagaimana harapan mereka terhadap calon pasangannya. Metoda Penelitian Penelitian ini menggunakan metoda analisis isi. Metoda ini digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi atau unsur pesan dalam proses komunikasi. Peneliti menggunakan metoda ini karena menganalisis isi pesan pada suratkabar Kompas dan Jawa Pos yaitu Rubrik Jodoh. Unit analisis dalam penelitian ini setiap surat yang dimuat pada rubrik ini terdiri atas satuan kata dan kalimat pada rubrik tersebut. Prosedur Penelitian Operasionalisasi konsep penelitian ini sebagai berikut : identitas para pencari jodoh pada rubrik Kontak Jodoh disurat kabar Kompas dan Jawa Pos adalah karakteristik demografi mereka yang mengirim surat perkenalan pada rubrik Pertemuan dan Kontak Jodoh di Kompas dan Jawa Pos. Kategorisasi dibutuhkan karena untuk mengklasifikasikan unsur-unsur demografi para pencari jodoh. Sehingga kategorisasinya adalah jenis kelamin, usia , pendidikan, pekerjaan, agama, etnis, serta domisili. Tipe penelitian diskriptif yaitu mendiskripsikan identitas para pencari jodoh pada rubrik Pertemuan dan Kontak Jodoh di Kompas dan Jawa Pos. Populasi penelitian keseluruhan surat perkenalan yang masuk pada Rubrik Jodoh pada masing-masing suratkabar. Pada Kompas terdapat 170 surat perkenalan sementara pada Jawa Pos terdapat 68 surat perkenalan, sehingga jumlah keseluruhannya 238 surat perkenalan. Sampel penelitian merupakan total sampling. Unit analisis pada penelitian ini adalah setiap surat yang dimuat pada rubrik Pertemuan dan Kontak Jodoh di kompas dan Jawa Pos. Pengumpulan data menggunakan lembar koding. Teknik analisis data menggunakan tabel frekuensi. II. PERMASALAHAN Diskusi Teoretik Rubrik Kontak Jodoh di Jawa Pos Berdasarkan temuan data surat perkenalan yang masuk pada rubrik Kontak Jodoh, sebagian besar atau tigaperempat dari seluruh populasi adalah
31
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
perempuan berstatus sebagai gadis dan janda. Hal ini tidak berbeda dengan temuan dari penelitian Peter Hagul untuk hal sama pada tahun 1990. Temuan ini menunjukkan ”sepertinya” yang banyak berminat untuk mencari jodoh adalah perempuan. Perempuan secara eksplisit atau terbuka ”menawarkan dirinya” dengan berbagai macam cara. Ada yang ”menawarkan dirinya” dari sisi fisik, pekerjaan, karakter ataupun sifatnya. Pernyataan-pernyataan siapa diri mereka bisa dibaca pada judul suratnya. Sebagai contoh : Gadis manis berjilbab, Staff accounting penuh pengertian, Bu dosen juga wirausaha, Damba nan sayang anak. Sementara laki-laki cara ”menawarkan dirinya” agak berbeda dengan perempuan. Laki-laki tidak menawarkan dirinya secara langsung, tetapi lebih menekankan apa yang menjadi harapannya. Sebagai contohnya : Pria cari anak pengusaha, Damba yang ikhlas menjadi ibu, Damba istri yang setia, Pria suka kesederhanaan. Mereka yang berstatus gadis sebagian besar berusia di antara 31 tahun – 40 tahun, sedangkan yang berstatus janda berusia di antara 41 tahun sampai dengan 60 tahun. Sebagian besar perempuan ini beragama Islam dan Katolik serta mempunyai pendidikan strata satu. Pekerjaan mereka sebagai karyawati dan wiraswasta serta bertempat tinggal di Surabaya pada khususnya atau di wilayah propinsi Jawa Timur pada umumnya, meskipun ada yang berasal dari luar propinsi. Sebagian besar perempuan ini beretnis Jawa dan Tionghoa serta beberapa etnis lainnya misalkan Batak, campuran Arab-Jawa, ataupun Jawa-Madura. Pada umumnya harapan status tentang pasangan bagi perempuan yang masih gadis adalah jejaka, meskipun ada beberapa gadis yang mengharapkan pasangannya bisa jejaka atau duda, mereka ini berusia lebih dari 35 tahun. Sementara perempuan yang janda mengharapkan pasangan duda tetapi dengan syarat tidak mempunyai anak atau anaknya maksimal dua orang. Harapan usia bagi pasangan perempuan ini sebagian besar sama dengan usiannya atau lebih tua dari usianya, maksimal enam sampai tujuh tahun. Pada umumnya agama dan etnis diharapkan sama. Pendidikan minimal SMA, mempunyai pekerjaan tetap apakah sebagai PNS atau wiraswasta asalkan tidak menganggur. Ada beberapa perempuan yang mensyaratkan pekerjaan pasangan sebagai ABRI atau POLRI. Tinggi badan, berat badan, kesehatan jasmani dan rohani juga menjadi persyaratan. Beberapa perempuan menambahkan syarat bagi pasangannya mempunyai hoby sama dengan mereka, mempunyai sifat jujur, tidak materialistis, bertanggungjawab, romantis, setia, serius berumahtangga, dari keluarga baikbaik serta tidak berjudi/narkoba/miras. Pada setiap akhir dari surat selalu tertulis ”yang serius kirim biodata lengkap”, hal ini menunjukkan mereka mempu-
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
32
nyai niat yang serius dalam usahanya untuk mendapatkan pendamping atau suami. Dari persyaratan atau dambaan ataupun harapan para perempuan baik bagi gadis atau janda, mereka ini ”serius” untuk mendapatkan pasangan, mereka juga tidak mau menanggung risiko dalam kehidupan pernikahan yang akan dijalani. Pengirim surat perkenalan laki-laki juga mempunyai status sama dengan pengirim surat perempuan, status mereka ada yang lajang dan duda. Usia duda berkisar dari 31 tahun – 50 tahun, hal ini berbeda dengan perempuan, mereka yang janda usia maksimalnya ada yang 60 tahun. Sedangkan lajang berusia dari 31 tahun – 40 tahun, ini sama usianya untuk perempuan yang berstatus gadis. Mayoritas laki-laki beragama Islam dan Katolik, sementara yang lain ada yang beragama Hindu dan Budha. Pendidikan terendah laki-laki D1, tetapi mayoritas berpendidikan S1, sebagian besar beretnis Jawa dan Tionghoa. Laki-laki pengirim surat perkenalan sebagian besar berasal dari Surabaya dan propinsi Jawa-Timur pada umumnya. Pengirim surat laki-laki harapan untuk pasangannya hampir sama dengan para pengirim surat perempuan. Pada umumnya mereka menginginkan usia pasangan tidak jauh berbeda dengan usianya sendiri. Agama diharapkan sama, sedangkan untuk etnis kalau bisa sama tetapi kalau berbeda tidak jadi masalah. Pendidikan minimal SMA, pekerjaan boleh dalam bidang apa saja tetapi yang penting halal. Laki-laki lajang atau duda juga mau dengan janda tetapi dengan syarat tidak mempunyai anak. Umumnya status duda mereka karena perceraian dan sudah mempunyai anak. Syarat menarik yang diajukan oleh laki-laki berkaitan dengan penampilan fisik. Mereka mensyaratkan harus cantik, kulit kuning langsat atau putih serta mempunyai sifat keibuan. Selain itu ada yang mensyaratkan pasangannya berasal dari keluarga baik-baik dan anak pengusaha kaya. Berkaitan dengan hal ini judul suratnya sudah eksplisit ”anak pengusaha kaya” sebagai syarat utamanya; judulnya sebagai berikut : ”Pria cari anak pengusaha kaya”. Rubrik Pertemuan di Kompas Populasi pada rubrik Pertemuan berjumlah 170 surat, ternyata yang menggunakan rubrik ini 77,1% atau tigaperempat dari seluruh populasi perempuan, sedangkan yang laki-laki hanya sebagian kecil. Temuan ini sama dengan di suratkabar Jawa Pos. Hal ini semakin menunjukkan ”sepertinya” yang banyak berminat untuk mencari jodoh adalah perempuan. Pada rubrik Pertemuan surat perkenalannya tidak seperti di rubrik Kontak Jodoh, di rubrik ini surat perkenalannya tidak ada judulnya. Di rubrik ini perempuan secara eksplisit atau terbuka
33
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
mendiskripsikan diri berkaitan dengan status, etnis, usia, agama, pendidikan kemudian tentang sifat serta hobynya. Demikian juga halnya dengan laki-laki. Status mereka, baik dari pengirim laki-laki maupun perempuan tidak semuanya masih berstatus lajang/jejaka atau gadis. Ternyata yang mengirimkan surat perkenalan juga ada duda dan janda. Usia pada laki-laki berkisar antara 20 tahun sampai dengan 70 tahun, sementara pada perempuan berkisar antara 20 tahun sampai dengan 60 tahun. Sedangkan persentase terbesar antara pengirim surat berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berada pada usia 31 tahun – 40 tahun Pengirim surat perkenalan pada rubrik Pertemuan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 131 orang, kurang dari 20 % berstatus janda dan berusia antara 24 tahun - 58 tahun, pada umumnya status janda mereka karena bercerai dan sudah mempunyai anak. Sedangkan perempuan yang berstatus gadis berusia antara 20 tahun – 50 tahun. Mayoritas mereka beragama Islam dan menyatakan dalam suratnya mereka menggunakan jilbab. Sebagian lainnya beragama Katolik dan Kristen. Pendidikan terendah SLTP, tetapi sebagian besar berpendidikan S1 dan ada juga S2. Terdapat beberapa perempuan tidak hanya berpendidikan pada satu strata, sebagai contoh ada yang berpendidikan S1 dan juga mempunyai pendidikan D1 (keprofesian). Sebagian besar perempuan bekerja sebagai karyawati dan wiraswasta. Etnis mereka mayoritas Jawa dan Tionghoa, serta berasal dari Jakarta, Bandung, Surabaya. Informasi tentang etnis ini tidak semua pengirim surat memberitahukan mereka berasal dari etnis apa. Pada umumnya harapan status tentang pasangan bagi perempuan yang masih gadis adalah jejaka, meskipun ada beberapa gadis yang mengharapkan pasangannya bisa jejaka atau duda, mereka ini berusia minimal 27 tahun. Sementara perempuan yang janda mengharapkan pasangan duda tetapi dengan syarat tidak mempunyai anak atau anaknya maksimal dua orang. Harapan usia bagi pasangan perempuan ini sebagian besar sama dengan usiannya atau lebih tua dari usianya, maksimal enam sampai tujuh tahun. Pada umumnya agama dan etnis diharapkan sama. Pendidikan minimal SMA, mempunyai pekerjaan tetap apakah sebagai PNS atau wiraswasta asalkan tidak menganggur. Tinggi badan, berat badan, kesehatan jasmani dan rohani juga menjadi persyaratan. Beberapa perempuan menambahkan syarat bagi pasangannya mempunyai hobi sama dengan mereka, mempunyai sifat jujur, tidak materialistis, bertanggungjawab, romantis, setia, serius berumahtangga, dari keluarga baikbaik serta tidak berjudi/narkoba/miras. Pada setiap akhir dari surat selalu tertulis ”yang serius kirim biodata lengkap”. Dari persyaratan atau dambaan ataupun harapan para perempuan baik bagi gadis atau janda, mereka ini ”serius” untuk
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
34
mendapatkan pasangan, mereka juga tidak mau menanggung risiko dalam kehidupan pernikahan yang akan dijalani. Pengirim surat perkenalan laki-laki juga mempunyai status sama dengan pengirim surat perempuan, status mereka ada yang lajang dan juga duda. Mayoritas duda berusia berkisar dari 41 tahun – 70 tahun, hal ini berbeda dengan perempuan, mereka yang janda usia maksimalnya hanya 50 tahun. Sedangkan lajang sebagian besar berusia antara 31 tahun – 40 tahun, tetapi ada juga lajang yang berusia antara 20 tahun sampai 30 tahun. Mayoritas laki-laki beragama Islam dan Kristen, sementara yang lain ada yang beragama Hindu dan Budha. Pendidikan terendah laki-laki SLTA, tetapi mayoritas berpendidikan S1 bahkan ada yang S2, sebagian besar beretnis Jawa dan Tionghoa. Laki-laki pengirim surat perkenalan sebagian besar berasal dari Jakarta, kota-kota besar di pulau Jawa bahkan ada yang berasal dari luar pulau Jawa, seperti Batam, Palembang. Pengirim surat laki-laki harapan untuk pasangannya hampir sama dengan para pengirim surat perempuan. Pada umumnya mereka menginginkan usia pasangan tidak jauh berbeda dengan usianya sendiri. Agama diharapkan sama, sedangkan untuk etnis kalau bisa sama tetapi kalau berbeda tidak jadi masalah. Pendidikan minimal SMA, pekerjaan boleh dalam bidang apa saja tetapi yang penting halal. Laki-laki lajang atau duda juga mau dengan janda tetapi dengan syarat tidak mempunyai anak. Umumnya status duda mereka karena perceraian dan sudah mempunyai anak. Syarat menarik yang diajukan oleh laki-laki berkaitan dengan penampilan fisik. Mereka mensyaratkan cantik, kulit kuning langsat atau putih serta mempunyai sifat keibuan. Berdasarkan pada analisis dan interpretasi data dari rubrik Kontak jodoh dan Pertemuan di Jawa Pos dan Kompas pada tahun 2009 dapat diketahui hasil dari analisis isinya mempunyai kemiripan. Mayoritas yang memasukkan surat perkenalan di dominasi perempuan yang berstatus gadis dan janda. Temuan ini sama dengan temuan pada tahun 1990, namun untuk usia mereka berbeda. Pada tahun 1990, rentang usia untuk gadis dan janda antara 25-34 tahun. Sedangkan pada penelitian ini, mereka berusia antara 20 – 60 tahun. Sebagian besar beragama Islam dan Katolik, sementara temuan pada tahun 1990 hanya beragama Islam. Mereka yang beragama Islam menyebutkan menggunakan jilbab, hal ini tidak ditemui pada penelitian terdahulu. Mereka berpendidikan S1 bahkan ada yang S2, serta sebagian besar bekerja sebagai karyawati atau wiraswasta. Pada penelitian tahun 1990 mayoritas berpendidikan S1 dan bekerja di sektor formal. Etnis mereka mayoritas Jawa dan Tionghoa, hal ini berbeda dengan
35
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
temuan pada penelitian terdahulu yaitu etnisnya lebih banyak Tionghoa, baru kemudian Jawa. Surat perkenalan tersebut berasal dari kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung; dan juga dari kota-kota besar di luar Jawa. Temuan pada tahun 1990 lebih dari separuh berasal dari Jakarta terutama Jakarta Pusat. Berdasarkan uraian tersebut di atas temuan penelitian pada tahun 1990 dan tahun 2009 ternyata tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya pada rentang usia, pendidikan, pekerjaan, agama serta tempat tinggal mereka. Nampaknya yang �merasa bingung� untuk mencari jodoh lebih banyak perempuan dibandingkan dengan pria. Di samping itu, kalau dilihat dari karakteristik demografi mereka berasal dari kelas menengah dan tinggal di kota-kota besar. Dari hasil penelitian dan uraian tersebut di atas menunjukkan rubrik ini merupakan gejala dari kelas menengah di kota besar – meskipun hal ini sudah mulai juga nampak dari kota-kota di sekitar kota besar, seperti Kediri – untuk mencari jodoh. III. KESIMPULAN Berdasarkan pada uraian pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pada suratkabar Jawa Pos dan Kompas tentang Rubrik Jodoh simpulannya sama yaitu sebagian besar atau tigaperempat dari seluruh populasi adalah perempuan berstatus sebagai gadis dan janda. Usia berkisar antara 20 tahun sampai dengan 60 tahun. Mayoritas mereka beragama Islam dan menyatakan dalam suratnya mereka menggunakan jilbab. Sebagian lainnya beragama Katolik dan Kristen. Pendidikan terendah SLTP, tetapi sebagian besar berpendidikan S1 dan ada juga S2. Terdapat beberapa perempuan tidak hanya berpendidikan pada satu strata, sebagai contoh ada yang berpendidikan S1 dan juga mempunyai pendidikan D1 (keprofesian). Sebagian besar perempuan bekerja sebagai karyawati dan wiraswasta. Mayoritas beretnis Jawa dan Tionghoa, surat perkenalan dari kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung; dan juga dari kota-kota besar di luar Jawa. DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
36
Flournoy, Don Michel (ed.), 1990. Analisa Isi Suratkabar-suratkabar Indonesia ,Gajahmada University Press: Yogyakarta. Ibrahim, Idy Subandi dan Hanif Suranto, 1998. Wanita dan Media. Bandung: Rosda. Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss, 2008. Theories of Human Communication. ninth ed. Singapura: Wadsworth. Mantra, Ida Bagus, 2007. Demografi Umum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. McQuail, Denis and Sven Windahl, 1996. Communication Models second ed. London and New York: Longman. Rakhmat, Jalaluddin, 1989. Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Karya:Bandung. Subiyakto, Henry, “ Metoda Analisis isi� dalam Suyanto, Bagong (ed), 1995. Metode Penelitian Sosial, Airlangga University Press: Surabaya. Wimmer, Roger D. & Joseph R. Dominick, 2000. Mass Media Research An Introduction, sixth ed., Wadsworth Publishing Company: Belmont. Wojowasito, 1983. Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta, Ichtiar BaruVan Holve.
37
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
PENGARUH KAMPANYE DI TV TERHADAP PEMILIH PEMULA Mucholil, S.Kom, M.Si Staf pengajar Stikosa-AWS
ABSTRAK
P
emilihan Presiden (Pilpres) yang akan dilaksanakan secara langsung untuk pertama kali bagi rakyat Indonesia, ternyata memunculkan fenomena baru yang sangat menarik, yaitu rakyat atau pemilih semakin susah dipengaruhi untuk memilih calon presiden tertentu, meskipun dari suatu partai pemenang pemilu legislatif. Selain itu pemilih telah mengerti bagaimana pentingnya menggunakan hak pilih dalam pemilihan presiden secara benar dan tidak perlu takut pada siapapun. Karena pada saat pemilihlah yang banyak dirayu calon presiden untuk dapat mendukung pencalonannya. Yang lebih menarik lagi adalah seorang calon presiden, untuk bisa menduduki kursi kepresidenan, ternyata tidak hanya cukup mengandalkan kalau dirinya seorang jendral yang sudah berbintang empat atau dirinya seorang pengusaha yang kaya raya atau bahkan seorang Profesor yang sudah senior. Tetapi seorang capres harus bisa menarik simpati rakyat, dan bagaimana untuk bisa menciptakan citra yang baik di hati masyarakat. Hal ini terjadi karena rakyat Indonesia saat ini ternyata lebih menginginkan seorang pemimpin yang selain mempunyai kecerdasan yang tinggi juga harus mempunyai daya tarik secara fisik.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
38
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sudah delapan kali bangsa Indonesia, menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu tahun 2004 adalah yang ke-9. Dari kedelapan kali itu, model pemilihan masih memilih para wakil rakyat untuk menjadi anggota DPR/MPR, tanpa mengetahui siapa yang dipilih. Pemilih hanya mencoblos gambar partai. Dilihat dari tujuannya, pada masa lalu masih memilih wakil rakyat untuk menjadi anggota DPR/MPR. Selanjutnya lembaga inilah yang memilih pimpinan nasional dan membuat garis-garis besar haluan negara. Pemilu 2004 berbeda, karena Pemilu tersebut juga memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilu 2004 jelas lebih demokratis dan transparan. Indikator jika Pemilu lebih demokratis adalah setiap pemilih tahu benar siapa yang mereka inginkan dan siapa yang mereka anggap layak menjadi presiden. Lebih transparan, indikatornya adalah banyaknya lembaga-lembaga sosial masyarakat yang ikut memantau dan menghitung perolehan suara, mulai dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS) sampai tingkat KPU pusat. Pemilu presiden secara langsung putaran I telah dilaksanakan tanggal 5 Juli 2004. Hasil pemilihan umum (Pemilu) presiden dan wakil presiden 2004 putaran I tersebut telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 26 Juli 2004. Dari penetapan tersebut dipastikan bahwa Pemilu presiden dan wakilnya tidak bisa diselesaikan dalam satu putaran, karena tidak ada satu pasangan calon pun yang mampu mengumpulkan lebih dari 50% suara sah. Berdasarkan ketentuan yang ada di dalam UU No. 23/2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, khususnya Pasal 67 ayat (I), apabila tidak ada pasangan calon yang memeroleh lebih dari 50% suara, pasangan calon yang memperoleh suara banyak pertama dan kedua pilih kembali oleh rakyat secara langsung melalui Pemilu. Yang menempati urutan pertama dalam perolehan suara pada putaran I ini adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – M. Jusuf Kalla (SBY-JK) dengan memeroleh 39.838.184 suara dan urutan kedua ditempati oleh Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi dengan 31.569.104 suara. Jadi, kedua pasangan inilah yang berhak mengikuti Pemilu putaran II, sedangkan tiga pasangan lainnya gugur. Ketiga pasangan yang gugur dalam pemilu presiden putaran I tersebut adalah pasangan Wiranto – Salahuddin Wahid, Amien Rais – Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah Haz – Agum Gumelar secara berturut-turut menempati urutan ketiga, keempat dan kelima. Pasangan Wiranto – Salahuddin memperoleh 26.286.788 suara, Amien – Siswono 17.392.931, dan Hamzah Haz – Agum Gumelar 3.569.861 suara.
39
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
KPU dalam situsnya (kpu.go.id) menetapkan, bahwa jumlah pemilih Pemilu Presiden putaran II adalah 153.312.436 , sedangkan suara sah yang diperoleh oleh kedua pasangan tersebut pada Pemilu presiden putaran I sebanyak 71.407.288 suara. Dengan demikian masih ada calon pemilih sebanyak 81..905.148 suara yang dapat dipengaruhi untuk memilih yaitu pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) melalui dialog kampanye. Komisi Pemilihan Umum (KPU), setelah pertemuan dengan Tim Kampanye dua Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pilpres putaran ke-2, telah menetapkan bahwa bentuk kampanye untuk Pemilu presiden putaran II adalah dengan format dialog yang hanya akan diikuti oleh kedua pasangan capres-cawapres yang telah lolos ke putaran II. Dialog tersebut akan diadakan pada tanggal 14 sampai dengan 16 September 2004 (kpu.go.id). Dialog tersebut disiarkan secara langsung oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) sehingga semua lapisan masyarakat dapat mengikuti jalannya dialog, dan dengan sendirinya secara tidak langsung dapat memberikan penilaian kepada capres-cawapres tersebut. Kampanye dengan model dialog ini jelas sangat menarik bagi kalangan intelektual termasuk mahasiswa, apabila dibandingkan dengan kampanye yang mengerahkan massa. Kampanye dialog tidak perlu ada pengerahan massa, cukup pasangan capres-cawapres dan beberapa panelis. Karena pada dialog ini yang dipentingkan adalah bobot atau kualitas capres-cawapres tersebut dalam menjawab berbagai pertanyaan dari para panelis tersebut. Bukan banyaknya massa pendukung yang hadir dalam acara tersebut. Memang kampanye dialog capres-cawapres pada putaran II ini masih ada kekurangannya bila dialog itu dinamakan debat pasangan capres-cawapres. Beberapa pengamat atau kaum intelektual sempat mengecam dengan adanya dialog ini. Misalnya Sahrir yang juga Ketua Partai Indonesia Biru (PIB) menilai kebijakan KPU yang memutuskan debat pasangan capres-cawapres dengan tidak mempertemukan dua kandidat (Mega-SBY) dalam satu panggung adalah merupakan pembodohan rakyat. (Kompas,14 September 2004). Masih ada beberapa pengamat yang sependapat dengan Sahrir, misalnya Muladi yang juga mantan Menteri Kehakiman. Beliau menamakan dialog ini sebagai langkah mundur. “Dialog antar capres kali ini menunjukkan suatu kemunduran. Ini suatu langkah mundur (set back). Yang dilakukan pada pilpres putaran pertama sudah benar. Mereka tampil dalam satu panggung� (Jawa Pos, 15 September 2004). Imam Prasojo dari Universitas Indonesia menyesalkan dialog capres putaran kedua pilpres yang tidak mempertemukan kandidat seperti putaran pertama. Kebijakan KPU yang menampilkan capres secara terpisah ini akan menyulitkan masyarakat membandingkan program antara Mega dengan SBY (Surya, Rabu, 15 September 2004).
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
40
Terlepas dari semua itu, kampanye dialog ini dinilai baik sebagai langkah awal menuju pemilu yang lebih mengedepankan program kerja menuju Indonesia baru yang damai dan sejahtera. Mahasiswa sebagai kelompok masyarakat ilmiah tentunya akan lebih tertarik untuk mengikuti jalannya dialog dan sekalligus memberikan penilaian kepada kedua pasangan capres-cawapres tersebut atas dasar kualitas jawaban yang mereka berikan kepada para panelis yang memberikan pertanyaan kepada kedua pasangan tersebut. Meskipun seperti diketahui tim panelis di antara masing-masing peserta Pemilu, tetapi topik dan materi telah digariskan oleh KPU. Sebagai objek penelitian, penulis sengaja memilih kalangan mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (StikosaAWS). Pertimbangannya, mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu komunikasi tentunya akan sangat peduli pada acara-acara yang disiarkan melalui media massa. Kedua, dilihat dari materi percakapan sehari-hari, mahasiswa StikosaAWS sangat memerhatikan politik, khususnya mengenai kampanye caprescawapres yang dikemas dalam bentuk dialog di televisi. Yang menjadi masalah, mungkinkah calon pemilih yang jumlahnya 81.905.148 pemilih itu akan terpengaruh dengan adanya kampanye dialog tersebut dan mau memilih capres yang berkampanye ini. Kalau terpengaruh oleh kampanye dialog tersebut, dari sisi apa mereka tertarik? Dari kualitas dialog atau dari sisi personalitas kandidat capres-cawapres? Mengingat calon pemilih tersebut merupakan pemilih yang dapat dianggap sebagai kelompok mengambang atau kelompok yang belum menetapkan pilihannya (undicided majority). Pemilih ini, semula telah mempunyai pilihan sendiri tetapi kalah dalam Pemilu pilpres putaran I (yaitu para pemilih Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah-Agum). Dalam memilih pasangan calon presiden dan wakilnya masyarakat tampaknya lebih berdasar apresiasi mereka pada sosok atau personalitas calon presiden dari pada wakilnya. Masyarakat lebih tertarik personalitas calon presiden yang meliputi aspek keberpihakan pada rakyat, kejujuran, kebijaksanaan dan ketegasan dalam pengambilan keputusan. Meskipun akan ada hal-hal yang timpang di kemudian hari, bila pemilih menentukan pilihannya atas dasar personalitas, maka hampir dapat dipastikan bahwa kesenjangan antara harapan dengan prestasi presiden yang dipilih akan sangat besar. Karena itu besar kemungkinan presiden terpilih akan mengalami kesulitan yang sangat besar dalam menjalankan kebijaksanaannya dan lebih sulit lagi untuk mempertahankan kepresidenannya dalam pemilihan yang akan datang. Capres baru yang lebih populer yang dapat mensinkronkan personalitasnya dengan harapan yang tinggi dari pemilih akan mendapatkan popularitas dan dukungan yang tinggi.
41
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Dari hasil perolehan suara pemilihan presiden putaran pertama, terlihat pemilih lebih menyukai figur daripada substansi lain, seperti pengalaman atau dukungan dari partai politik. Pemilih misalnya, mengharapkan figur yang terpilih sebagai presiden akan secara sendirian (single handedly) memecahkan permasalahan yang menjadi perhatian masyarakat yaitu perekonomian. Pemilih tidak peduli betapa sulitnya menjalankan kebijaksanaan tanpa dukungan DPR, dan sebagian besar pemilih juga tidak peduli program dan tim ekonomi yang akan disusun oleh presiden terpilih. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis sengaja tidak mengikutkan cawapres sebagai bagian dari penelitian ini. II. PERMASALAHAN II.1 Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar pengaruh antara kualitas dialog kampanye di televisi terhadap sikap pemilih dalam menentukan pilihan? 2. Seberapa besar pengaruh antara personalitas calon presiden dengan sikap pemilih dalam menentukan pilihan? 3. Secara bersama-sama seberapa besar pengaruh antara kualitas dialog dan daya tarik fisik calon presiden terhadap sikap pemilih dalam menentukan pilihan? II.2 Kerangka Teori Menurut Davids Krech (1996), sikap dapat terbentuk dengan adanya informasi yang diterpakan kepadanya. Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) dalam wujud simbol. Komunikasi dalam bahasa Inggris dikenal dengan Communication, berasal dari kata lain Communicatio, dan bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah: sumber (komunikator), pesan (message), saliran (channel) dan penerima (komunikan) serta efek yang ditimbulkannya. Menurut Schramm, suatu proses kegiatan komunikasi akan berjalan baik bila terdapat overlaping of interest (pertautan minat dan kepentingan) antar sumber atau penerima. Overlaping of interest menuntut adanya persamaan (dalam tingkatan relatif) dalam hal “kerangka referensi� (frame of reference) dari kedua pelaku komunikasi (sumber dan penerima). Yang dimaksud dengan kerangka referensi di sini antara lain merujuk pada tingkat pendidikan, pengetahuan, latar belakang budaya, kepentingan, dan orientasi. Semakin besar tingkatan persamaan dalam hal kerangka referensi, semakin besar pula overlaping of interest. Ini berarti akan semakin mudah proses komunikasi berkangsung.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
42
Dengan kata lain, komunikasi akan berjalan lancar dan sukses bila terdapat sama pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan makna yang dimaksud. Jadi antara komunikator dan komunikan harus memiliki frame of reference yang sama. Dengan kata lain, kesamaan makna menjadi hal yang penting dalam komunikasi. Tujuan utama komunikasi adalah mengubah sikap dan perilaku komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Dengan demikian komunikator akan berusaha menyampaikan pesan untuk memengaruhi komunikan agar mengikuti kehendaknya. Saat ini, media massa mendominasi komunikasi masyarakat. Salah satu sarana komunikasi massa modern adalah media televisi. Beberapa stasiun televisi sudah tidak lagi melakukan siaran hanya 8 jam sehari atau 12 jam sehari, tetapi 24 jam sehari. Oleh karena itu televisi sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan sikap masyarakat. Menurut Hamijoyo (2004), media televisi mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh media lainnya, misalnya dapat menggambarkan hal-hal: 1. Yang terlalu besar atau terlalu kecil ukurannya; 2. Yang terlalu jauh dan terlalu dekat jaraknya; 3. Yang terlalu cepat dan lambat gerakannya; 4. Yang tersembunyi atau terselubung tempatnya atau kedudukannya; 5. Yang lampau dan yang belum dan yang akan terjadi; 6. Gerak-gerik wajah, mulut, gaya berpakaian dan lain-lain dari tokoh yang ditayangkan secara amat jelas dan jeli (melalui bidikan kamera super closeup); 7. Suara bunyi, gerak, atau sesuatu yang biasanya kurang berarti atau menarik, dengan teknik zoom, sound & light effect bisa “diledakkan� sehingga berubah menjadi sangat menyolok dan mencekam di luar batas kewajaran. Televisi mampu menciptakan semua kejadian menjadi sangat realistic, sehingga sampai batas-batas tertentu dapat memberi pengaruh yang besar. Di samping itu ia mampu menggambarkan segala sesuatunya dalam gerak dan warna yang dinamis. Oleh karena itu televisi dipercaya merupakan media penerangan, dakwah, dan pendidikan yang selain menambah pengetahuan dan wawasan, dalam kondisi tertentu juga dapat membentuk opini,sikap dan perilaku khalayak (Hamijoyo, 2004). Mengapa debat capres-cawapres pilpres 2004, disiarkan oleh televisi bukannya media massa lain seperti radio, koran, dan sebagainya? Media TV dipilih karena keunggulan-keunggulannya. Tujuan akhir dari KPU dengan disiarkannya debat capres-cawapres di televisi adalah agar seluruh masyarakat Indonesia dapat mengetahui akan visi-misi dan program kerja capres-cawapres.
43
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Tetapi tujuan capres-cawapres yang bersangkutan sudah pasti bukan hanya visi-misi dan program kerja itu saja. Melainkan juga bagaimana untuk bisa menciptakan image yang menarik agar supaya khalayak terpengaruh untuk memilih dia (capres) dalam pemilihan presiden 2004. Pesan yang mudah dapat dimengerti dan dipahami akan mampu menggerakkan atau mendorong perubahan perilaku pada diri khalayak, sehingga akan membuat makna yang terkandung dalam pesan tersebut dapat membukakan mata khalayak untuk melihat keuntungan atau nilai praktis dari pesan yang disampaikan. Dalam acara kampanye dialog atau debat capres-cawapres di televisi, capres-cawapres pada saat menyampaikan pesan dalam hal ini berupa visimisi dan rencana program kerja, maka dia telah bertindak sebagai komunikator. Salah satu faktor sukses komunikator dalam menyampaikan pesan adalah daya tarik fisik (fisically atractivenes). Hal ini disampaikan oleh Harold Sigall dan Elliot Aronson yang telah melakukan penelitian mengenai pengaruh daya tarik fisik terhadap keberhasilan dalam penyampaian pesan (Rachmat, 2002: 114). Pemenuhan kebutuhan manusia untuk memeroleh kepuasan dari media massa seperti televisi dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Uses and Gratifications. Teori ini menjelaskan bahwa khalayak secara sadar dan aktif mengaitkan diri mereka dengan media tertentu untuk memperoleh gratifikasi. Gratifikasi adalah pelarian diri dari perasaan khawatir, peredaan rasa kesepian, dukungan emosional, perolehan informasi dan kontak sosial. Seorang menyenangi acara televisi yang disajikan oleh stasiun televisi karena kebutuhannya akan terpuaskan kalau menonton acara tersebut. Teori ini memahami interaksi orang dengan media melalui pemanfaatan media oleh orang itu dan kepuasan yang diperolehnya. Kenyataan yang ada pada masyarakat kita saat ini adalah, bahwa sikap masyarakat kita masih banyak yang menganut budaya panutan (paternalistik). Maksudnya dalam bersikap terhadap hal-hal tertentu masih mengikuti apa kehendak dari seorang tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai karisma. Misalnya dalam menentukan pilihan pada saat pemilihan umum, masyarakat pedesaan atau masyarakat tradisonal cenderung mengikuti anjuran seorang Kyai atau seorang yang ditokohkan di lingkungan masyarakat setempat. Bagi masyarakat perkotaan yang umumnya lebih modern dan tingkat intensitas dalam mengkonsumsi media lebih tinggi, cenderung lebih rasional, sehingga pertimbangannya lebih banyak didasarkan pada informasi-informasi yang diserap dari media massa daripada ikut-ikutan tunduk kepada seorang tokoh yang tak begitu dikenalnya secara pribadi.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
44
II.3 Kerangka Konseptual a). Sikap Sikap adalah kondisi internal seseorang dalam bentuk kecenderungan semata-mata, tersembunyi atau tertutup. Baru sikapnya itu diketahui orang apabila diekspresikan. Pengekspresiannya dapat dilakukan secara verbal, yakni dengan kata-kata atau secara nirverbal fisik. Jika diekspresikan secara verbal, maka jadilah opini atau pendapat atau pandangan dan kalau diekpresikan secara nirverbal fisik, jadilah perilaku atau kegiatan atau tindakan. Mesinya opini dan perilaku itu sesuai dengan sikap, karena merupakan ekspresi sikap, tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian. Jika sikap seesorang positif maka opini dan perilakunya juga akan positif tetapi jika sikap seseorang negatif, maka opini dan perilakunya akan menjadi negatif pula. Sikap yang terdapat pada diri seseorang terdiri dari tiga komponen yakni kognisi (cognition) berbentuk tekad atau itikad. Konasi adalah resultan paduan kognisi dan afeksi, dengan perkataan lain tekad atau itikad adalah hasil paduan pikiran dan perasaan. Jadi kalau opini dan perilaku itu adalah ekspresi dari sikap, dan sesungguhnya akspresi dari konasi atau tekad atau itikad. b). Kualitas Dialog Dalam ensiklopedi Indonesia dijelaskan, yang dimaksud dengan kualitas adalah tingkat baik-buruknya sesuatu. Kadar bagaimana derajat kepandaian atau kecakapan. Seseorang dikatakan mempunyai kualitas atau berkualitas adalah apabila orang tersebut mempunyai kecakapan atau kepandaian. Kualitas manusia dibagi menjadi dua unsur utama, yaitu kualitas fisik dan non fisik. Unsur-unsur fisik antara lain keadaan fisik yang ditunjukkan oleh status gizi (misalnya tinggi dan berat badan), serta status kesehatan dan kesegaran jasmani. Sedangkan unsur-unsur kualitas non fisik adalah kualitas budi pekerti dan spiritual serta kualitas mental-emosional. Secara keseluruhan unsur-unsur kulitas tersebut menentukan kualitas dan interaksi manusia tersebut dengan lingkungan social dan lingkungan spiritualnya. Dengan demikian kualitas dialog berarti suatu percakapan atau wawancara dari beberapa orang yang mempunyai derajat kecakapan serta kepandaian. c). Daya Tarik Fisik Dalam pergaulan, akan selalu terjadi interaksi. Tanpa ada yang menyuruh, pada saat terjadi interaksi kita akan selalu memperhatiakn manusia lain, dan memberikan penilaian secara subjektif kepada orangg tersebut. Misalnya seorang mahsiswa yang sedang mengikuti kuliah di kelas akan memperhatikan dosennya, seorang pembeli akan memperhatikan penjualnya dan komunikan akan memperhatikan komunikatornya, penonton bioskop akan memperhatiakn bintang filmnya.
45
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Dari perhatian yang diberikan kepada orang lain tersebut, kita akan menilai bahwa orang ini berwajah tampan, berparas cantik, bertubuh indah, berkulit bersih, gagah, berbicara sopan, dan berpenampilan menarik. II.4 Operasional Konsep Konsep “pengaruh dialog dan personalitas terhadap penentuan pilihan dalam pemilu presiden secara langsung” berarti upaya untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kampanye dialog di televisi terhadap sikap pemilih dalam menentukan pillihan mereka dalam pemilu presiden secara langsung. Dialog dan sikap pemilih (kecenderungan memilih) mahasiswa StikosaAWS dalam penelitian ini dapat dioperasionalkan sebagai berikut: 1. Variabel bebas (X), adalah dialog debat capres-cawapres yang disiarkan secara langsung oleh media televisi. Dengan demikian aktivitas yang dilakukan oleh responden adalah berbentuk aktivitas melihat, mendengarkan dan memperhatikan materi dialog tersebut. Sadar atau tidak responden yang telah melihat, mendengarkan dan memperhatikan, dia juga telah melakukan penilaian terhadap objek yang diamati, termasuk di antaranya personalitas capres tersebut. Aktivitas responden yang akan diteliti dari variabel ini (dialog atau debat capres-cawapres) tersebut meliputi sub variabel sebagai berikut: a. Kualitas dialog (variabel X1) variabel bebas. Penilaian para mahasiswa STIKOSA-AWS terhadap kualitas dalam berdialog dari pasangan kendidat capres-cawapres SBY-Kalla pada kampanye pemilu presiden putaran kedua yang dikemas dalam “dialog dengan cara penajaman visi, misi, dan program”, yaitu: • Tentang kecerdasan capres-cawapres dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh tim panelis; • Rasa percaya diri capres-cawapres dalam acara dialog tersebut; • Kemampuan capres-cawapres dalam menyampaikan visi-misi dan rencana program kerja. b. Daya tarik fisik (variabel X2) adalah variabel bebas. Dalam pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat tampaknya lebih mendasarkan apresiasi mereka pada sosok atau figur calon presiden dari pada wakilnya. Untuk itu dioperasionalisasikan sebagai penilaian para mahasiswa Stikosa-AWS terhadap daya tarik secara fisik dari capres-cawapres tersebut meliputi: • Wajah ( misal: cantik/tampan); • Penampilan (misal: cara berpakaian, kesopanan); • Fisik (misal: gagah/semampai)
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
46
2. Sikap Pemilih (variabel Y) adalah variabel tak bebas. Perilaku atau kecenderungan tindakan mahasiswa Stikosa-AWS dalam menentukan pilihan capres-cawapres pada pelaksanaan Pemilu Presiden secara langsung tahun 2004 putaran II yang merupakan model pemilu yang baru pertama kali dilaksanakan di Indonesia dan sianggap paling demokratis. Selanjutnya variabel Y (sikap pemilih) ini dioperasionalisasikan sebagai berikut: • Penilaian calon pemilih tentang kecerdasan capres • Penilaian calon pemilih tentang perilaku agamis capres • Penilaian calon pemilih tentang rasa percaya diri capres dalam dialog/ debat capres. II.5 Metode Penelitian a. Tipe penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif dengan metode explanatory survey. Yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. b. Populasi dan Sampling Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa aktif StikosaAWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya) sebanyak 344 orang. Berdasarkan tingkatannya, seluruh mahasiswa Stikosa pada semester gasal tahun akademik 2004-2005 berjumlah 346 mahasiswa yang terbagi dalam 4 semester sbb.: Semester I : 101 mahasiswa Semester III : 89 mahasiswa Semester V : 80 mahasiswa Semester VII/IX : 74 mahasiswa Penarikan sampel dilakukan dengan teori stratified sampling yaitu sebuah teknik pengambilan sampel yang dilakukan jika populasi terdiri dari golongan-golongan yang mempunyai susunan bertingkat. Selanjutnya diambil sampel sebesar 15% atau sejumlah 50 mahasiswa terdiri dari laki-laki 21 orang dan perempuan 29 orang. c. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpul an data dalam penelitian ini dilakukan dengan: kuisioner/ angket, observasi, interview.
47
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
d. Metode Analisis Data Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Untuk kepentingan analisis, dibuat model struktur hubungan kausal antar variabel (diagram jalur) sbb.:
Regresi linier berganda untuk mengetahui dan memprediksi pengaruh variabel X1 dan variabel X2, baik secara bersama-sama maupun secara parsial terhadap variabel Y, dengan persamaan sbb.:
Y=β0 + β1X1 + β2X2 + ε
Dimana: Y = sikap pemilih X1 = kualitas dialog X2 = daya tarik fisik Β0 = Konstanta B1 = Koefisien regresi variabel kualitas dialog B2 = Koefisien regresi variabel daya tarik fisik ε = Kesalahan atau error
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
48
Langkah-langkah pengujian hipotesis 1. Uji Simultan Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel tidak bebas, dilakukan Uji-F dengan rumus: F = R2 ( n-k-1) k (1-R2) Di mana: F = Nilai test terhadap nilai F n = Jumlah sampel k = Jumlah Predictor 2. Uji Partial Untuk mengetahui keeratan antar variabel digunakan uji-t sebagai berikut: t-test= r di mana: t = tes signifikan korelasi r = koefisien korelasi k = jumlah regresor 3. Pengukuran persentase pengaruh semua variabel bebas Persentase pengaruh semua variabel bebas terhadap nilai variabel tak bebas ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi (R2). Uji Validitas Untuk mengetahui apakah instrumen dalam penelitian ini sahih atau tidak, maka perlu dilakukan uji validitas. Pengujian meliputi validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construk validity). Uji validitas dilakukan dengan menganalisis setiap item dengan cara mengkorelasikan setiap skor item dengan skor total. Rumus korelasi yang dapat digunakan adalah korelasi Product Moment korelasi Pearson dengan rumus sbb.:
49
rxy = n ∑ xy - ∑ x ∑ y
______________________________ √ { n ∑ x2 - ( ∑ x )2 } { n ∑ y2 - ( Y )2 }
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Dalam memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi , item – item yang mempunyai korelasi positif dengan skor total serta kolerasi yang tinggi menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau koefisien korelasi (r) lebih ≼ 0,3 maka item tersebut disebut falid. PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan dua variabel bebas yaitu variabel bebas yaitu kampanye dialog di televisi ( X1) terdiri dari 10 butir item. Daya tarik fisik capres (X2) terdiri dari lima butir item dan variabel tak bebas yaitu sikap pemilih (Y) terdiri dari 19 butir item. Untuk pengelolahan data digunakan software SPSS versi 11.05. hasil pengolahan tersebut sebagaimana tabel berikut ini : Tabel 1 HASI KORELASI ITEM KUESINER VARIABEL KAMPANYE DIALOG DI TELEVISI (X1) No. Butir
Koefisien Korelasi
Keterangan
Item 1
.711
Valid
Item 2
.670
Valid
Item 3
.597
Valid
Item 4
.743
Valid
Item 5
.771
Valid
Item 6
.844
Valid
Item 7
.750
Valid
Item 8
.617
Valid
Item 9
.840
Valid
Item 10
.825
Valid
Tabel 1 di atas bahwa untuk semua item instrumen penelitian variable Kampanye Dialog Di Televisi (X1) diperoleh koefisien korelasinya di atas 0,3. Hal ini menunjukkan setiap item pertanyaan penelitian ini dapat dikatakan valid dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian. Koefisien korelasi semua item instrument penelitian variable Daya Tarik Fisik Capres (X2) terhadap total skor menunjukkan koefisien korelasinya diatas 3,3, koefisien korelasi ini menandakan bahwa semua item instrument penelitian termasuk katagori valid, sehingga dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian (lihat table 4.5).
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
50
Tabel 2 HASIL KORELASI ITEM KUESINER VARIABEL DAYA TARIK FISIK CAPRES (X2) No. Butir
Koefisien Korelasi
Keterangan
Item 1
.776
Valid
Item 2
.656
Valid
Item 3
.666
Valid
Item 4
.542
Valid
Item 5
.532
Valid
Korelasi semua item instrument penelitian variable Sikap Pemilih (Y) terhadap total skor (lihat tabel 2) diperoleh koefisien korelasinya diatas 0,3, koefisien korelasi ini menandakan bahwa semua item instrument penelitian untuk variable Sikap Pemilih termasuk kategori valid, sehingga dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian. Tabel 3 HASIL KORELASI ITEM KUESINER VARIABEL SIKAP PEMILIH (Y) No. Butir Item 1
51
Koefisien Korelasi
Keterangan
.789
Valid
Item 2
.712
Valid
Item 3
.753
Valid
Item 4
.810
Valid
Item 5
.582
Valid
Item 6
.789
Valid
Item 7
.578
Valid
Item 8
.432
Valid
Item 9
.370
Valid
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
1.Uji Reliabilitas Uji realibilitas digunakan untuk menunjukkan sejauhmana hasil dari pengukuran itu hasilnya relatif konsisten, bila pegukuran tersebut diulangi dua kali atau lebih. Reliabilitas itu sendiri artinya adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliable). Reliabilitas merupakan salah satu cirri atau karakter utama instrumen pengukuran yang baik. Kadang-kadang reliabilitas disebut juga sebagai keterpercayaan, keterhandalan, keajegan, konsistensi, kestabilan dan sebagainya. Namun ide pokok dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana data hasil pengukuran terbebas dari kekeliruan pengukuran (measurement error). Teknik perhitungan koefisien reliabilitas yang digunakan disini adalah dengan menggunakan cara : Alpha Cronbach. Bila α ≥ 0,6 data layak dipergunakan untuk penelitian (Hair, Tatham, Anderson & Black, 1995:639). Rumus Alpha digunakan adalah
k 1-∑ σ2 b r11 = ____ _______ (k-1) σ 21
keterangan : r11 = reliabilitas instrument k = banyaknya butir pertanyaan ∑ σ ² b = jumlah varians butir ∑ σ ² 1 = varians total Berdasarkan tabel 3 semua item instrument penelitian variable kampanye dialog di televisi (X1) diperoleh nilai α ≥ 0,6, hal ini menandakan semua item instrumen variabel kampanye dialog di televisi dinyatakan reliable dan layak untuk digunakan dalam penelitian.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
52
Tabel 4 HASIL UJI RELIABILITAS VARIABEL KAMPANYE DIALOG DI TELEVISI (X1)
**** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ****
R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S – S C A L E (A L P H A)
Reliability Coefficients
N of Cases = 50.0 Alpha = .9064
N of Items = 10
Hasil uji reliabilitas semua item instrument penelitian variabel daya tarik fisik capres (X2) diperoleh dari nilai α ≥ 0,6, maka uji reliabilitas semua item instrumen variabel sikap pemilih dikatakan reliable dan layak untuk digunakan pada penelitian. Tabel 5 HASIL UJI RELIABILITAS VARIABEL DAYA TARIK FISIK CAPRES (X2) ****** Method 1 (space saver) will be used for this analysis****** R E L I A B I L I T Y A N A L Y I S I S – S C A L E (A L P H A)
Reliability Coefficients
N of Cases = 50.0 Alpha = .6223
53
N of Items = 5
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Tabel 5 mennunjukkan hasil ujij reliabilitas semua item instrumen variabel sikap pemilih (Y). diperoleh nilai ι ≼ 0,6, maka uji reliabilitas semua item instrumen variabel sikap pemilih dikatakan reliable dan layak untuk digunakan pada penelitian. Tabel 6 HASIL SKOR TOTAL VARIABEL SIKAP PEMILIH (Y) ****** Method 1 (space saver) will be used for this analysis****** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S – S C A L E (A L P H A)
Reliability Coefficients
N of Cases = 50.0
Alpha = .8263
N of Items = 9
2.Total Skor Variabel Penelitian 2.1 Sikap Pemilih (Y) Skor yang diberikan responden tentang sikap sosial adalah nilai yang diperoleh dari jawaban menurut kategori yang telah ditentukan yaitu menurut pengukuran skala ordinal. Setelah dilakukan perhitungan atas 9 item pertanyaan untuk mengukur sikap pemilih terhadap 50 responden diperoleh skor tinggi 42 dan skor terendah 28. Distribusi frekuensi dari 50 responden berdasarkan nilai skor diperoleh sebagai berikut :
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
54
Tabel 7 HASIL SKOR TOTAL VARIABEL SIKAP PEMILIH (Y)
No.
Skor Total Variabel X1
Frekuensi
Presentase
1
28.00
1
2.0
2
29.00
3
6.0
3
30.00
2
4.0
4
31.00
2
4.0
5
33.00
4
8.0
6
34.00
7
14.0
7
35.00
2
4.0
8
36.00
6
12.0
9
37.00
5
10.0
10
38.00
6
12.0
11
39.00
3
6.0
12
40.00
9
4.0
13
41.00
4
8.0
14
42.00
3
6.0
Total
50
100.0
Distribusi responden berdaasarkan skor total mesing-masing item tersebut, dapat dilakukan pengelompokkan skor total. Pengelompokkan skor total atas variabel sikap pemilih diharapkan dapat diperoleh gambaran lebih jelas tentang distribusi frekuensi responden. Pengelompokkan ini dilakukan atas dasar interval skor total terendah dengan skor total diatasnya. Berdasarkan skor responden untuk variabel sikap pemilih didapat gambaran, bahwa paling banyak responden pada katagori tinggi (33 – 45) sebanyak 42 orang, dan pada katagori sedang (21 – 32) sebanyak 8 orang, dan pada katagori rendah tidak ada. 2.2 Kampanye Dialog di Televisi Skor kampanye dialog di televisi ini juga dikatagorikan menurut pengu-
55
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
kuran skala ordinal. Jumlah item untuk kampanye dialog di televisi sebanyak 10 butir item, sehingga nilai tertinggi adalah 49 dan nilai terendah adalah 31. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 8 HASIL SKOR TOTAL VARIABEL KAMPANYE DI TELEVISI (X1)
No.
Skor Total Variabel X1
Frekuensi
Presentase
1
31.00
1
2.0
2
32.00
1
2.0
3
33.00
2
4.0
4
34.00
1
2.0
5
35.00
2
4.0
6
36.00
4
8.0
7
38.00
3
6.0
8
39.00
6
12.0
9
40.00
6
12.0
10
41.00
1
2.0
11
42.00
2
4.0
12
43.00
1
2.0
13
44.00
4
8.0
14
45.00
6
12.0
15
46.00
4
8.0
16
47.00
3
6.0
17
48.00
1
2.0
18
49.00
2
4.0
Total
50
100.00
Berdasarkan skor responden untuk kampanye dialog televisi dapat gambaran bahwa paling banyak skor katagori tinggi yaitu sebanyak 39 orang, sedangkan katagori sedang sebanyak 11 dan pada katagori rendah tidak ada.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
56
2.3 Daya Tarik Fisik Capres Skor daya raik fisik capres ini juga dikatagorikan menurut pengukuran skala ordinal. Jumlah item untuk daya tarik fisik capres sebanyak 5 butir item, sehingga nilai tertinggi adalah 25 dan nilai terendah adalah 16. hasil yang diperoleh dari penelitian ini dari sebagian berikut : Tabel 9 HASIL SKOR TOTAL VARIABEL DAYA TARIK FISIK CAPRES (X2) No.
Skor Total Variabel X2
Frekuensi
Presentase
1
16.00
1
2.0
2
17.00
1
2.0
3
18.00
6
12.0
4
19.00
5
10.0
5
20.00
14
28.0
6
21.00
7
14.0
7
22.00
6
12.0
8
23.00
7
14.0
9
24.00
2
4.0
10
25.00
1
2.0
Total
50
100.0
Berdasarkan skor responden untuk daya tarik fisik capres dapat gambaran bahwa paling banyak skor katagori tertinggi yaitu sebanyak 42 orang. Sedangkan pada katagori sedang sebanyak 8 orang dan pada katagori rendah tidak ada. 2.4 Uji Asumsi Klasik Sebelum dilakukan pengujian statistik lainnya uji asumsi klasik dilakukan lebih dahulu mengecek kelayakan moden analisi regresi. a. Uji Multikolinieritas Salah satu metode untuk mengukur multikolinieritas adalah menggunakan Variance Inflatory Factor (VIF) untuk tiap variable bebasnya. Bedasarkan perhitungan VIF dengan bantuan software SPSS sebagai berikut :
57
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Tabel 10 UJI MULTIKOLINIEARITAS Collinearity Statistics
Model
1
( Constant ) Kampanye Dialog di Televisi Daya Tarik Fisik Capres
Tolerance
VIF
.993
1.007
.993 1.007 a. Dependent Variable : Sikap Pemilih Berdasarkan tabel di atas pada kolom VIF atau Variance Inflation Factor diperoleh nilai untuk semua variable bebas mendekati angka 1 atau dibawah angka 5, hal ini menunjukkan bahwa kedua variable bebas tersebut tidak mempunyai persoalan Multilinieritas. b. Uji Autokorelasi Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variable tergantung dengan variable penggunaan (e ) digunakan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin – Watson test. TABEL 11 MODEL SUMMARY (b) Model
R
R Square
1
.761 (a)
.579
Adjusted R Std. Error of the Durbin – Watson Square Estimate
.561
3.4185596
1.271
a Predictors : (constant), daya Tarik Fisik Capres, kampanye Dialog di Televisi b Dependent Variable : Sikap Pemilih Pada tabel ini diperoleh hasil D – W sebesar 1,271 hal ini menunjukkan tidak ada hubungan antara variable tergantung dengan variable pengganggu. c. Uji Heteroskedastik Heteroskedastik dimaksudkan terdapat hubungan antara variable pengganggu dengan variable bebas dimana variable tergantung yang digunakan tidak hanya dijelaskan oleh variable bebas tetapi juga dipengaruhi dengan variable pengganggu. Hipotesis pertama yang akan diuji untuk variable kampanye dialog di
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
58
televisi dapat dioperasionalkan sebagai berikut: Ho = tidak terdapat heteroskedastik dalam regresi. Ha = terdapat heteroskedastik ke dalam regresi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai signifikasi = 0,147 lebih besar dari probabilitas alfa = 5 % hal ini berarti tidak terdapat heteroskedatik dalam regresi antara variabel komunikasi interpersonal keluarga dengan nilai residu. Tabel 12 UJI HETEROSKEDASTIK UNTUK VARIABEL KAMPANYE DIALOG DI TELEVISI
Model
Unstandardized Coef- Standardized ficients coefficients B
1
( constant) Kampanye Dialog di Televisi
4.322 -.066
Std. Error
1.204 .045
t
Sig.
beta
-.208
3.590
.001
-1.473 .147
Tabel 13 UJI HETEROSKEDASTIK UNTUK VARIABEL DAYA TARIK FISIK CAPRES Model
1
( constant ) Daya Tarik Fisik Capres
Unstandardized Coef- Standardized ficients coefficients B
Std. Error
.726
1.395
.144
.105
t
Sig.
.520
.605
1.375
.176
Beta
.195
Hipotesis kedua yang akan diuji untuk variable Daya tarik fisik capres dapat dioperasionalkan sebagai berikut:
59
Ho = tidak terdapat heteroskedastik dalam regresi. Ha = terdapat heteroskedastik ke dalam regresi.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai signifikasi = 0,057 lebih besar dari probabilitas alfa = 5 % hal ini berarti tidak terdapat heteroskedatik dalam regresi antara variabel kredibilitas otang tua dengan nilai residu. 2.5 Analisis Model dan Pembuktian Hipotesis Variabel tidak bebas (Y) yaitu sikap pemilih dan dua variabel bebas yaitu kampanye dialog di televisi (X1) dan daya tarik fisik capres (X2) dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan hasil sebagai berikut TABEL 14 ESTIMASI REGRESI LINEAR BERGANDA VARIABEL KAMPANYE DIALOG DI TELEVISI DAN NYATA TARIK FISIK TERHADAP SIKAP PEMILIH
***** M UL T I PL E R E G R E S S I O N ***** Equation Number 1 Dependent Variable Sikap Pemilih Block Number 1. Method: Enter Kampanye Dialog di Televisi Daya Tarik Fisik Capres
Variable (s) Entered on Step Number 1. Kampanye Dialog di Televisi 2. Daya Tarik Fisik Capres
Multiple R .761 R Square .579 Adjusted R Square .561 Standart Error 3.4186
Regression Residual Total
Analysis of Variance DF Sum of Square Mean Square F Sig.F 2 754.717 377.258 32.290 .000 47 549.268 11.687 49 1303.984 ---------------Variables in the Equation-------------------
Variable B SE B Beta T Sig. T r^2 (constant) 1.218 2.912 .418 .678 Kampanye Dialog . .552 .075 .702 7.386 .000 .5373 Di Televisi Daya Tarik Fisik Capres .442 .175 .240 2.530 .015 .1197
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
60
Dari tabel fungsi linier berganda dalam penelitian ini adalah :
Y = 1.218 + 0,552 X1 + 0,442 X2
Keterangan : Y = Sikap pemilih. X1 = Kampanye Dialog di Televisi X2 = Daya Tarik Fisik Capres Selanjutnya dari koefisien Beta diketahui perbandingan relatif pentingnya suatu varuabel bebas dengan variabel bebas lainnya terhadap variabel tidak bebas dalam model dengan penjelasan sebagi berikut: 1. Nilai koefisien regresi variabel kampanye dialog di televisi (X1) = 0,552 artinya jika kampanye dialog di televisi berubah dengan satu – satuan maka sikap pemilih (Y) akan berubah sebesar 0,552 satuan dengan anggapan bahwa variabel bebas lainnya tetap. 2. Nilai koefisien regresi variabel daya tarik fisik (X2) = 0,442 artinya jika daya tarik capres berubah dengan satu – satuan maka sikap pemilih (Y) akan bertambah sebesar 0,442 satuan dengan anggapan bahwa variabel bebas lainnya tetap. 2.6 Pengujian terhadap Koefisien Regresi ( uji total /Simultan) Uji Simultan digunakan untuk mengetahui pengaruh secara simultan atau secara bersama – sama variasi perubahan nilai variabel bebas dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel bebas dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel tak bebas. Hipotesis : Ho : β1 = β2 = β3 = 0 (Tidak ada pengaruh bersama – sama variabel kampanye dialog di televisi dan daya tarik fisik capres dan sikap pemilih.) Ha :β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0 (ada pengaruh bersama – sama variabel kampanye dialog di televisi dan daya tarik fisik capres dan sikap pemilih.) Berdasarkan tabel 14 nilai signifikasi = 0,000 lebih kecil dari probabilitas alfa = 5% ini berarti variabel kampanye dialog di televisi dan daya tarik fisik capres mempunyai pengaruh terhadap signifikasi terhadap sikap pemilih. 2.7 Pengujian terhadap Koefisien Regresi ( uji Partial) Uji partial digunakan untuk menguji tingkat signifikasi masing – masing variabel bebas terhadap variabel tak bebas dengan cara membandingkan nilai
61
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
uji –t dengan probabilitas alfa = 5%. Sesuai tabel 14 diperoleh: 1. Untuk menguji variabel kampanye dialog di televisi (X1) terhadap sikap pemilih (Y). : Ho : β1 = 0 ( tidak ada pengaruh kampanye dialog di televisi terhadap sikap pemilih) Ho : β 2 ≠ 0 (ada pengaruh kampanye dialog di televisi terhadap sikap pemilih) Berdasarkan perhitungan nilai signifikasi (X1) =0,000 ternyata lebih ke cil dari probabilitas alfa = 5% yang artinya variabel kampanye dialog di televisi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sikap pemilih (Y) 2. Untuk menguji variabel daya tarik fisik capres (X2) terhadap sikap pemilih (Y): Ho : β1 = 0 ( tidak ada pengaruh daya tarik fisik terhadap sikap pemilih) Ho : β 2 ≠ 0 (ada pengaruh daya tarik fisik terhadap sikap pemilih) Hasil perhitungan diperoleh nilai signifikansi untuk variabel daya tarik fisik capres (X2) = 0,015 terntara lebih kecil dari probabilitas alfa =5%.Hal ini menandakan bahwa variabel daya tarik fisik capres (X2) mempunyai pengaruh yang signifikasikan terhadap sikap pemilih (Y). Dari hasil uij –t tersebut dapat diketahui bahwa secara patial variabel yaitu kampanye dialog di televisi dan daya tarik fisik capres mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sikap pemilih. 2.8 Pengukuran Persentase Pengaruh Variabel Bebas Persentase pengaruh semua variabel bebas terhadap nilai variabel tak bebas ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi (R²/R-Squred). Pada tabel 14 diperoleh hasil R Squared sebesar 0,579. hal ini berarti 57,9% perubahan dari variabel sikap pemilih (Y) dipengerahui oleh masing – masing variabel bebas yaitu kampanye dialog di televisi dan daya tarik fisik capres yang menjadi penelitian ini dan sisanya 42,1% ditentukan oleh variabel lain yang tidak teliti dalam penilitian ini. Berdasarkan pengaruh partial, variabel kampanye dialog di televisi (X1) mempunyai pengaruh paling besar = 53,73% diantara variabel bebas lainnya terhadap sikap pemilih (Y) dan variabel daya tarik fisik capres (X2) mempunyai pengaruh paling rendah = 11,97% terhadap sikap pemilih.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
62
III. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa dialog atau debat capres di televisi dan daya tarik fisik capres sangatlah mempengaruhi sikap calon pemilih pada pemilu presiden. Besar pengaruh variabel diatas sebesar 57,79% sedangkan pengaruh variabel lain 42,21%. Beberapa variabel bebas menunjukkan antara kampanye dialog di televisi / debet capres, dan daya tarik fisik capres menjelaskan adanya korelasi yang bersifat positif. Semakin baik citra seorang capres dan didukung kecerdasan yang tinggi maka sikap calon pemilih menunjukkan ada kecenderungan lebih menerima calon tersebut. DAFTAR PUSTAKA Algifari,2000,Analisis Regresi:Teori,Kasus dan Solusi,Edisi Kedua,Cetakan I, Yogyakarta, BPVE. Hadi, Sutrisno, 1998, Statistik, Andi Offset, Yogyakarta. Liliweri, Alo, 2000, Komunikasi Verbal dan Non Verbal, Citra Aditya Bakti, Bandung. Littlejohn,Stephen W, 1996, Teories of Human Communication, Terjemahan Universitas Padjadjaran, Bandung. McQuail., 1987, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta. Mulyana,Dedy.,2001, Ilmu komunikasi Suatu Pengantar, Remaja Rosda Karya, Bandung. Rakhmat,Jalaludin,1992, Retorika Modern : Pendekatan Praktis, Rosda Karya, Bandung. Sugiyanto,Hadi.,2004,Statistik Sisial Terapan,Hand Out Kuliah,Universitas Dr. Soetomo, Surabaya. Wiryanto., 2000, Teori Komunikasi Massa, PT. Gramedia, Jakarta. Yulianita, Neni., 2004, Komunikasi Pemasaran, Universitas Dr. Soetomo, Surabaya.
63
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Tone Iklan Presiden Indonesia 2004 di Televisi
Andria Saptyasari,M.Si Staf Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga
I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Penelitian ini untuk melihat tone of political advertising di iklan televisi dari iklan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai kandidat presiden di pemilihan presiden 2004. Penelitian ini mempunyai signifikansi di bidang komunikasi politik karena yang akan diteliti ini merupakan iklan politik pertama di Indonesia yang dimediakan di mana pilpres 2004 ini juga merupakan pemilihan presiden langsung yang pertama kali di Indonesia. Penelitian ini mempunyai asumsi bahwa tiap-tiap kandidat memilih tone of political advertising untuk menarik voters dalam pemilihan presiden. Seperti dikemukakan oleh Wen, Benoit dan Yu bahwa ada tiga tones of political advertising yaitu acclaims (positive utterances), attacks (negative utterances) dan defence (protecting from attack). Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa acclaims lebih berkorelasi secara positif dengan peningkatan popularitas daripada attacks dan defence (Wen et al., 2004, p. 140-155). Berdasarkan pernyataan Wen, Benoit dan Yu di atas, maka penelitian ini mencoba melihat dan menganalisis the tone of political advertising di iklan televisi dari Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga dapat mengklasifikasikan kecenderungan tones categories of political advertising yang digunakan di iklan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono apakah mereka cenderung menggunakan acclaims, attacks atau defence. Untuk melihat the tone of political advertising ini digunakan analisis semiotik pada sebelas iklan yang terdiri dari 6 iklan Megawati dan 5 iklan Susilo di putaran pertama pemilihan presiden 2004. Ini dipilih karena isi dari iklan di putaran pertama lebih lengkap daripada iklan di putaran kedua.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
64
b.Rumusan Masalah: Bagaimana the tone of political advertising di konstruksikan lewat text, visual images dan sound effects di enam iklan Megawati dan lima iklan Susilo di televisi? c.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk medeskripsikan the tone of political advertising yang di konstruksikan lewat text, visual images dan sound effects di enam iklan Megawati dan lima iklan Susilo di televisi. d.Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang kecenderungan the tone of political advertising yang di konstruksikan lewat text, visual images dan sound effects di enam iklan Megawati dan lima iklan Susilo di televisi apakah acclaims, attacks atau defence. e.Tinjauan Pustaka • Budget Iklan Presiden Tahun 2004 Pada tahun 2004, ada regulasi baru KPU termuat dalam Peraturan Nomer 48, yang membolehkan kandidat presiden beriklan selama 25 menit per hari di stasiun radio dan televisi, dan satu halaman per hari di surat kabar untuk memberikan edukasi tentang misi-misi mereka pada masyarakat Indonesia (USINDO, 2004; IDEA, 2003). Ini adalah pertama kalinya kandidat politik mengiklankan isu, citra dan kebijakan mereka lewat media (KPI cited in CETRO, 2004). Dalam konferensi pers Panwaslu, Ahmad Faisol dari ISAI mengatakan bahwa dari tanggal 6 sampai 10 Juni 2004, kelima kandidat awal: Megawati, Wiranto, Susilo, Hamzah Haz, and Amien Rais, masing-masing membelanjakan uang iklan sebesar Rp6.5 milyar (477 spots), Rp6.02 milyar (413 spots), Rp4.6 milyar (412 spots), Rp1.7 milyar (230 spots), and Rp1.37 milyar (149 spots) pada 11 stasiun televisi termasuk TVRI, RCTI, Global TV, Indosiar, SCTV, ANTV, TV7, Metro TV, Lativi, TPI and Trans TV (Faisol cited in Junaidi, 2004). Data di atas menunjukkan Megawati lebih banyak menggunakan iklan televisi disebabkan karena target utamanya adalah the grassroots level (FKR, 2004, p. 3) yang memiliki tingkat literacy rendah dan lebih memilih media elektronik daripada media cetak (Wimmer & Dominick, 2003, p. 311). Sebaliknya Susilo menduduki tempat ketiga dalam beriklan di televisi dan dia lebih memilih menggunakan iklan surat kabar dibanding media elektronik (EUEOM, 2004) karena target utamanya adalah educated people termasuk para profesional, pemimpin religius dan murid-murid SMA (Siboro, 2004), untuk menjaring siapa-siapa yang
65
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
tidak menjadi target utama Megawati. Dan hasil pemilihan presiden putaran kedua tanggal 20 September 2004 menunjukkan Susilo unggul dengan memperoleh 60.7% suara dibanding Megawati yang memperoleh 39.4% suara (KPU cited in Carter Center, 2004). Ini menunjukkan walaupun nilai nominal yang dikeluarkan untuk iklan politik di media lebih besar, tidak menjamin perolehan suara juga akan meningkat karena banyak faktor yang mempengaruhi termasuk tone yang dipakai apakah acclaims, attacks atau defence tone. Apalagi menurut Wen, Benoit dan Yu acclaims tone lebih berkorelasi secara positif dengan peningkatan popularitas daripada attacks dan defence (Wen et al., 2004, p. 140-155). Dengan kata lain, khalayak lebih senang pada iklan-iklan kandidat yang memiliki positive tone atau acclaims tone daripada yang menjelek-jelekkan kandidat lain atau attacks tone. Lebih lanjut untuk menganalisis ini akan dibahas tentang tone iklan presiden sebagai iklan politik di Indonesia. •Tone Iklan Presiden sebagai Iklan Politik di Indonesia Bagian ini akan mendiskusikan the tone of political advertisement di iklan presiden Indonesia tahun 2004. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, berkaitan dengan tone pada iklan politik, Wen, Benoit dan Yu mengatakan bahwa ada 3 macam tone yakni acclaims (positive utterances), attacks (negative utterances) dan defence (protecting from attack). Mereka menegaskan bahwa acclaims berkorelasi positif pada peningkatan popularitas dibanding attacks dan defence (Wen et al., 2004, p. 140-155). Berdasarkan kategori tersebut penelitian ini mencoba menganalisis tone yang dipakai Megawati dan Susilo di iklan televisi. Pengamatan sepintas dari peneliti, Megawati menggunakan defence yang terlihat dalam keyword-nya “Sudah terbukti Sudah teruji, Pilih Mega-Hasyim”. Dengan kata lain, Megawati ingin mengatakan: “Pilihlah saya karena saya adalah incumbent president di 2001-2004, dan saya lebih punya pengalaman menjadi pemimpin Negara daripada kandidat lain”. Ini merupakan tindakan memproteksi diri dari serangan Susilo di kampanye capres. Sementara, Susilo menggunakan acclaims dengan mengatakan “Bersama Kita Bisa!” dan ini lebih mendukung popularitasnya daripada keyword Megawati’s. Namun ini hanya pengamatan sepintas, yang nantinya akan dibahas lebih mendetail di temuan data. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya masing-masing kandidat memiliki tone yang berbeda tergantung pada tujuan mereka sendirisendiri. Meskipun Megawati dan Susilo mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menarik simpati para voters dalam pilpres, namun mereka mengemas pesannya secara berbeda. Sehingga walaupun isinya sama, tetapi maknanya bisa berbeda.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
66
Lewat text, visual images dan sound effects yang ada di enam iklan Megawati dan lima iklan Susilo di televisi akan dianalisis kecenderungan the tone of political advertising, apakah acclaims, attacks atau defence. f.Metodologi Studi ini menggunakan qualitative content analysis method yang lebih dikenal dengan semiotic analysis. Semiotik adalah sebuah metode untuk melihat bagaimana makna diproduksi dan ditransmisikan (O’Shaughnessy & Stadler, 2006, p. 112-113). Semiotik di sini digunakan untuk menganalisis makna teks, visual images dan sound effects dari iklan-iklan Megawati dan Susilo dikaitkan dengan kecenderungan the tone of political advertising mereka di iklan tersebut. Semiotik tidak bisa dilepaskan dari sistem tanda, dan menurut O’Shaughnessy and Stadler, tanda di sini dibagi menjadi dua bagian yaitu: signifier dan signified (O’Shaughnessy & Stadler, 2006, p. 112-113). Sehingga untuk menganalisis tanda yang ada di iklan harus dipisahkan dulu menjadi dua, yaitu 1) signifiers, seperti logo, keywords, colour, voices, song dan images, dan 2) signified, seperti memaknai dan menginterpretasi makna denotative dan konotatif pada semua signifiers tadi. Namun, tidaklah mudah untuk memaknai dan menginterpretasi tanda tersebut, karena tanda-tanda tersebut mempunyai codes, conventions, dan systems yang berbeda-beda tergantung pada masingmasing cultural context (O’Shaughnessy & Stadler, 2006, p. 112-113). Sehingga, untuk menginterpretasi signifiers yang ada di iklan tersebut, studi ini mendasarkan diri pada analisis cultural context yang diperoleh dari berbagai artikel dan buku yang berkaitan dengan Pilpres Indonesia 2004. Tahapan dalam penelitian ini antara lain: 1. Menentukan sampel. Semua sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah iklan-iklan Megawati dan Susilo di Pilpres putaran pertama karena isinya lebih lengkap daripada di putaran kedua. 2. Selanjutnya, pada tahap intertextuality process, penelitian ini mencoba mengkonstruksi hubungan antara semua signifiers yang ada dalam iklaniklan tersebut dengan the tone of political advertising dalam iklan Pilpres Indonesia 2004. Untuk menganalisis lebih dalam tentang the tone of political advertising di iklan Megawati dan Susilo, penelitian ini mencoba membuat narrative meaning of the tone yang ada di iklan mereka. Kemudian mengklasifikasikannya ke dalam kategorisasi acclaims, defence atau attacks tone berdasarkan penjabaran dari Wen, Benoit dan Yu (Wen et al., 2004, p. 140-155). Kategori di atas akan diaplikasikan untuk melihat kecenderungan the tone of political advertising yang dipakai Megawati dan Susilo di iklan mereka.
67
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
g.Temuan dan Analisis Data Bagian ini akan membahas dan mendeskripsikan the tone of political advertising yang digunakan di 6 iklan Megawati dan 5 iklan Susilo. II. PERMASALAHAN Analisis Iklan-Iklan Megawati 1.Tone di Iklan Megawati •Attack dan defence tones di keywords Megawati Keywords Megawati “Sudah terbukti Sudah teruji, Pilih Mega Hasyim!” di iklannya meunjukkan attack dan defence tones. Keywords ini menggambarkan tendensi Megawati secara eksplisit menyerang dan membela diri dari kandidat lain, dengan kata lain, “I am qualified to be president and others are not, because I have a special quality as incumbent” (Jamieson, 1992, p. 378), sehingga posisinya sebagai incumbent sangat menguntungkannya (Kompas, 2004, p. 82), karena pendatang baru yang lain belum mempunyai pengalaman seperti dirinya. Namun, keywords ini terlihat arrogant, yang mana menurut Jamieson, the arrogant packaging is seen to be an unattractive message (Jamieson, 1992, p. 139), dan masyarakat tidak menyukai negative campaigns seperti ini yang menggunakan attack dan defence tones. Mereka menganggap the negative political advertising as unfairness because it vilifies other candidates (Chang et al., 1998). Meskipun ada satu iklan Megawati yang menggunakan a neutral tone, masyarakat Indonesia sudah terlanjur terterpa attacking keywords yang ada di lima iklannya yang lain. Menurut Wen, Benoit dan Yu, lebih banyak menggunakan attack dan defence tone, maka akan berkorelasi pada unpopularity (Wen et al., 2004, p. 140-155). •Attack tone lewat images kekerasan militer Images kekerasan militer yang ada di iklan Megawati seperti: barikade militer, pertikaian mahasiswa dengan militer, genjatan senjata dan penggunaan tank, serta pernyataan Megawati, “Tragedi krisis multidimensi dan kekerasan yang sangat menyengsarakan rakyat harus menjadi pelajaran dan harus kita perjuangkan agar tidak terulang kembali” merepresentasikan bahwa dia ingin mengatakan, “Kita sudah punya pengalaman dipimpin oleh a military man, Soeharto yang sering menggunakan aksi militer untuk menyelesaikan segala persoalan yang muncul, untuk itu maka pilihlah saya karena saya adalah a civilian female yang tidak menyukai cara kekerasan untuk mengatasi konflik.” Images ini dan pernyataan Megawati tersebut merepresentasikan secara eksplist untuk menyerang kandidat lain yang berasal dari kalangan milite r seperti Susilo, un-
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
68
tuk memastikan rakyat Indonesia tidak memilih Susilo. Sehingga seperti halnya di atas, the attack tone sangat berkorelasi positif dengan unpopularity daripada the acclaims tone (Wen et al., 2004, p. 140-155). Lebih lanjut, attack tone di keywords dan images iklan Megawati yang menggunakan the direct and explicit language menunjukkan powerless language (Tannen, 1998, p. 269-270; Guerrero et al., 2007, p. 177). Apalagi budaya Indonesia termasuk a high context culture yang lebih menyukai indirectness (DeVito, 2004, p. 46-49), sehingga masyarakat Indonesia lebih memilih kandidat yang menggunakan the indirect dan explicit language yang lebih menunjukkan politeness. Analisis Iklan-Iklan Susilo 1.Tone di Iklan Susilo •Implicit Attack tone Di iklan Susilo menunjukkan the attack tone implicitly. Contohnya, Susilo menggunakan lagu Islami yang berjudul Rindu Rasul karangan Bimbo, yang secara implisit ingin mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah rindu untuk dipimpin oleh presiden laki-laki setelah 3 tahun dipimpin oleh presiden perempuan, Megawati (2001-2004). Ini secara implisit menyerang Megawati dengan mengatakan bahwa presiden seharusnya laki-laki dan bukan perempuan, karena dalam Islam, Nabi (pemimpin agama) selalu laki-laki. The attack tone yang lain yaitu kata-kata yang diucapkan seorang Muslimin, “Saat ini bangsa Indonesia merindukan figure Bapak” yang kemudian dilanjutkan perkataannya oleh seorang Muslimat, ”Bapak Bangsa”. Komentar yang diucapkan ini dikatakan implisit menyerang Megawati karena bukan Susilo sendiri yang mengatakannya tetapi masyarakat yang menginginkan laki-laki sebagai presiden atau bapak bangsa. Hal ini senada dengan yang ditemukan oleh survey Nielsen bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya lebih memilih laki-laki sebagai legislators dan lebih memilih laki-laki sebagai presiden (Nielsen, 2003). The implicit and indirect attack tones yang ada di iklan Susilo mengindikasikan penggunaan the powerful language (Tannen, 1998, p. 269-270). Apalagi dua attack tones ini tercover oleh the acclaim tone yang ada di semua iklan Susilo seperti penggunaan keywords, “Bersama Kita Bisa!”, sehingga masyarakat Indonesia tidak menyadari keberadaan dua attack tones di iklan Susilo. •Acclaim tone The acclaim tones yang ada di keywords Susilo “Bersama Kita Bisa!” mengekspresikan kata-kata emotif seperti hopeful, togetherness, equality and solidarity. Kata-kata emotif ini menciptakan a positive tone and a powerful meaning (Anderson, 1990, p. 136; Brader, 2006, p. 37). The acclaim tone yang
69
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
lain yang digunakan Susilo terlihat dalam iklan kelimanya: “Berilah kami kesempatan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dengan memilih kami pada tanggal 5 Juli 2004�. Pernyataannya ini menunjukkan bahwa ia ingin dipilih oleh voters, tetapi ia mengatakannya secara lebih sopan dan indirect dengan mengatakan “Berilah kami kesempatan�. Dengan kata lain, sebagai a newcomer, Susilo menyadari bahwa dia tidak memiliki pengalaman sebagai presiden, tetapi bagaimana masyarakat tahu kemampuannya jika tidak memberikan kesempatan padanya untuk memimpin negeri ini sebagai presiden sehingga dia mengatakan seperti itu. Semua acclaim tones ini berkorelasi positif terhadap popularitasnya daripada the attack and defence tones (Wen et al., 2004, p. 140155). Lebih lanjut, seperti dikatakan sebelumnya bahwa budaya Indonesia termasuk a high context culture yang lebih menyukai indirectness (DeVito, 2004, p. 46-49), sehingga masyarakat Indonesia lebih menyukai kandidat yang menggunakan the indirect and explicit language untuk menunjukkan politeness. III. KESIMPULAN Berdasarkan pada pernyataan yang dikemukakan oleh Wen, Benoit dan Yu bahwa ada tiga tones of political advertising yaitu acclaims (positive utterances), attacks (negative utterances) dan defence (protecting from attack), maka terlihat Megawati lebih memilih menggunakan attack dan defence tones di keywords dan images-nya, sedangkan Susilo lebih menggunakan acclaims dan implicit attacks tones di text, song dan pemilihan katanya. Lebih lanjut, seperti yang telah dikemukakan oleh Wen, Benoit dan Yu bahwa acclaims dan implicit attacks tones yang digunakan Susilo ini lebih berkorelasi secara positif dengan peningkatan popularitas daripada attacks dan defence tones yang digunakan Megawati dalam iklannya. Apalagi Indonesia termasuk negara high context culture yang lebih suka pada kandidat yang menggunakan bahasa yang lebih implicit dan lebih polite dibanding dengan bahasa yang explicit.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
70
DAFTAR PUSTAKA Anderson, B. R. O. G. (1990). Language and power: exploring political cultures in Indonesia. London: Cornell University Press. Brader, T. (2006). Campaigning for hearts and minds: how emotional appeals in political ads work. Chicago: University of Chicago Press. Carter Center. (2004). Special Report series, The Carter Center 2004: Indonesia election report. Retrieved 14 July, 2006, from http://www.cartercenter.org/ documents/2161.pdf Chang, W. H., Park, J., & Shim, S. W. (1998). Effectiveness of Negative Political Advertising. Retrieved 1 April, 2006, from http://www.scripps.ohiou.edu/ wjmcr/vol102/2-1a-B.htm CETRO (the Center for Electoral Reform). (2004). Pedoman Siaran Kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Lembaga Penyiaran. Retrieved 13 June, 2007, from http://www.cetro.or.id/uu/kpi0072004.pdf DeVito, J. A. (2004). The interpersonal communication book. Boston: Pearson. EUEOM General and Presidential Elections Indonesia 2004: Media Monitoring Results for the Presidential Elections. Retrieved 4 March, 2006, from http:// www.id.eueom.org/media_result_pres.html Guerrero, L. K., Andersen, P. A., & Afifi, W. A. (2007). Close encounters: communication in relationships. Los Angeles: Sage Publications. IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). (2003). Preliminary Review June 2003: Legislative Framework for the Indonesian General Elections 2004. Retrieved 6 August, 2007. from http://www.idea.int/ publications/legislative_framework_indonesian_elections/upload/LEGISLATIVE_FRAMEWORK_2004.pdf Jamieson, K. H. (1992). Packaging the presidency: a history and criticism of presidential campaign advertising (2nd ed.). New York: Oxford University Press.
71
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Junaidi, A. (2004, 25 June). Presidential candidates violate TV ad regulations. Retrieved 14 April, 2007, from http://www.thejakartapos.com Kompas. (2004). Sang kandidat, analisis psikologi politik lima kandidat presiden dan wakil presiden RI pemilu 2004. Jakarta: Kompas. Nielsen, A. C. (2003, February). Indonesia: A Report on Public Opinion and the 2004 Elections Qualitative Research Survey. Retrieved 14 July, 2006, from http://www.asiafoundation.org/pdf/elections_survey_indo_03.pdf O’Shaughnessy, M., & Stadler, J. (2006). Media and Society: An Introduction. New York: Oxford University Press. Siboro, T. (2004, 17 April). Grassroots ready for Susilo’s campaign for presidency. Retrieved 14 April 2007, 2007, from http://www.thejakartapost.com Tannen, D. (1998). The relativity of linguistic strategies: rethinking power and solidarity in gender and dominance. In D. Cameron (Ed.), The Feminist Critique of Language: A Reader (pp. 261-279). London: Routledge. USINDO (The United States-Indonesia Society). (2004, 15 September). USINDO Election Countdown: New IFES Poll SBY in Lead but Mega Gains. Retrieved 23 February, 2006, from http://www.usindo.org/miscellaneous/Election%20Primer.htm Wen, W. C., Benoit, William L., & Yu, Tzu-hsiang. (2004, September). A Functional nalysis of the 2000 Taiwanese and US Presidential Spots. Asian Journal of Communication, 14(2), 140-155. Wimmer, R. D., & Dominick, J. R. (2003). Mass Media Research: Introduction (7th ed.). Belmont: Wadsword.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
72
BERITA TERORISME DALAM WACANA MEDIA
(Analisis Wacana Berita tentang Terorisme pada Jawa Pos, Surya, dan Kompas periode Maret – Juni 2007)
Zainal Arifin Emka, M.Si Staf pengajar Stikosa-AWS
ABSTRACT
T
he war against terrorism reverberated by America, also echoes in Indonesia which experiences some of the bomb-attacks, being entitled as terroractions. The war against terrorism is not a holy war that permits all means necessary to win it.. War, including the so-called war against terrorism, is a conflict. And a conflict always involves two sides. It is a mistake to consider only reporting one side in a conflict and ignoring the other one. Mass media which functions to control, bears the obligation to watch the war through the balanced reporting, so that the report would be intelligible. One effort to realize it is to open the space for the information diversities from diverse sources. Even official source is not the side who is free-interest. He can also be potential to have an agenda and hide it. This is where the importance of a balanced coverage is counted. Kata kunci: berita, terorisme, media massa
73
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perang melawan terorisme yang dikumandangkan Amerika Serikat sejak terjadinya serangan mematikan yang kemudian dikenal dengan sebutan Tragedi 11 September 2001, terasa gaungnya di sebagian besar negara-negara di dunia. Indonesia yang kemudian juga mengalami serangan teroris dalam peristiwa Bom Bali I pada 12 Nopember 2002 dan bom Bali II pada 1 Oktober 2005, disusul bom di hotel JW Marriott Jakarta 5 Agustus 2003, dan di depan gedung Kedubes Australia pada 9 September 2004, serta merta ikut terlibat dalam kegalauan perang melawan terorisme itu. Tingkat sensasionalitas peristiwa peledakan bom itu memang sangat tinggi. Bukan saja karena jumlah korban jiwa yang cukup besar, sekitar 200 jiwa melayang. Juga karena peristiwa itu terjadi di pulau Bali yang kondang di seluruh dunia sebagai daerah tujuan wisata dan di Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia. Karena bobot beritanya (news value) yang sangat tinggi itu, maka tak pelak lagi, pers Indonesia menempatkan berita-berita seputar terorisme sebagai berita utama. Sebagai berita dengan nilai jual tinggi. Media massa tampaknya cukup “beruntung� karena genderang perang global melawan terorisme terus bergema. Gaung sensasi aksi teror itu terus terpelihara oleh serentetan ancaman teror per telepon. Pendek kata media selalu menyediakan ruang-ruangnya meliput setiap perkembangan kasus terorisme. Apalagi ketika polisi menangkapi para tersangka teroris yang kemudian disebut-sebut sebagai keberhasilan Polri membongkar jaringan terorisme di Indonesia sekaligus membongkar rencana serangkaian aksi teror. Terakhir sukses itu dilakukan dengan menangkap Abu Dudjana dkk pada awal Juni 2007. Yang hendak dikatakan dengan paparan itu adalah fakta bahwa perang melawan terorisme sudah menjelma menjadi perang global. Bukti keglobalannya salah satunya bisa dilacak dari diserahkannya Imam Hambali dan Umar Al Farouq. Dua orang Indonesia atau menikah dengan orang Indonesia, yang disangka sebagai gembong teroris dan ditangkap oleh aparat keamanan Indonesia ini, serta merta harus diserahkan kepada aparat keamanan Amerika Serikat dan kemudian diketahui ditahan di Guantanamo yang kontroversial itu. Dalam konteks seperti itulah media massa di Indonesia seharusnya melihat semua isu tentang terorisme. Artinya, perang melawan apa yang disebut Amerika sebagai aksi terorisme bukanlah sekadar perang yang terjadi di suatu negara, tapi sudah mendunia. Dengan pemahaman seperti itu, maka liputan berita terorisme seharusnya juga dilihat dalam sebuah keterkaitan, ada konteks antara
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
74
apa yang terjadi di Indonesia dengan yang terjadi di belahan bumi lainnya. Melihat konteks seperti itu tentu tak cukup hanya dengan menyebut-nyebut si Anu ada hubungan dengan Al Qaedah, atau si Fulan pernah berlatih kemiliteran di Afghanistan, atau si Badu ikut aktif membantu gerakan separatisme di Filipina Selatan. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka rumusan masalah yang ingin diteliti adalah: 1. Apakah dalam pemberitaan mengenai terorisme, media telah bersikap berimbang dalam penggunaan nara sumber? 2. Masalah lain yang ingin peneliti ketahui adalah mengapa media memberikan perlakuan berbeda ketika meliput dan memberitakan isu-isu terorisme? Mengapa media merasa cukup menyiarkan berita hanya dengan mengutip satu sumber, dalam hal ini kepolisian. 3. Mengapa media melupakan prinsip “Satu berita dari banyak sumber. Bukan banyak berita dari satu sumber”. Bahkan tak jarang media menyiarkan berita penting tentang rencana serangkaian aksi teror oleh tersangka hanya dari narasumber anonim yang biasa disebut media dengan “sumber yang layak dipercaya”? 4. Media juga sangat santer menyajikan keterangan polisi yang sarat berisi tuduhan berat terhadap para tersangka. Pertanyannya, mengapa media tak tergerak untuk mengkonfirmasi keterangan (baca: tuduhan) polisi itu kepada para tersangka? Bahkan media juga tampak tak berhasrat menguji kebenaran atau setidaknya menggali lebih rinci keterangan polisi. 5. Sungguh menarik untuk mengetahui, mengapa untuk berita tentang terorisme yang sangat pelik itu, media memperlakukannya seperti meliput berita seremonial, berita upacara yang cukup dipungut dari keterangan Kepala Humas atau dari acara jumpa pers saja? 6. Dari semua pertanyaan atas pemberitaan media massa tentang terorisme itu, kemudian menarik untuk mengetahui, mengapa di Indonesia khususnya, partisipasi masyarakat untuk ikut “terlibat” dalam perang melawan terorisme tak bisa digerakkan. Bahkan keberhasilan Polri menangkap kelompok yang disebut teroris pun malah dipertanyakan dan menimbulkan kecurigaan? 7. Mengapa di era kebebasan pers sekarang pers seolah kesulitan membuat liputan berimbang, nara sumber yang beragam, khususnya dalam liputan isu terorisme di dalam negeri. Bukankah lokasi dan beragam nara sumber berada dalam jangkauan media di Indonesia? 8. Pertanyaannya adalah mengapa untuk liputan konflik di dalam negeri pun
75
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
pers menghadapi kendala yang sama. Nara sumber media untuk liputan perang di Aceh, konflik Maluku dan Poso serta liputan berbagai aksi teror, sebagian terbesar informasinya diperoleh (atau “disarankan”) berasal dari sumber-sumber resmi. 9. Pers Indonesia sudah menikmati kebebasannya. Pertanyaannya, masih begitu sulitkah bagi pers Indonesia untuk meliput secara seimbang, adil, dan tidak memihak. Antara lain dengan memberi tempat bersuara kepada orang-orang yang dinyatakan oleh polisi sebagai pelaku terorisme sebelum pengadilan memvonisnya. 10. Ada pertanyaan mendasar, mengapa ketika meliput isu terorisme pers hanya memberi tempat pada keterangan sumber resmi, dalam hal ini aparat keamanan pemerintah? Mengapa pers seolah merasa tak perlu memberi tempat pada para pihak yang diduga sebagai pelaku atau sekadar membantu tindakan terorisme? Mengapa dalam liputan isu terorisme pers mengabaikan asas keberimbangan dengan menempatkan para tersangka pelaku dalam posisi “sudah pasti bersalah” padahal belum diproses secara hukum melalui pengadilan? METODE PENELITIAN Kerangka Konseptual Untuk memahami penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa konsep tentang beberapa masalah yang menjadi perhatian peneliti. Berikut peneliti jelaskan beberapa definisi yang akan digunakan dalam penelitian. Pengertian Berita: • Berita adalah sesuatu yang nyata – news is real. Wartawan adalah pencari fakta. Fakta yang dilengkapi dengan benar akan sama dengan kebenaran itu sendiri. • Ada dua jenis berita. Pertama, berita yang terpusat pada peristiwa hangat yang baru terjadi, dan umumnya tidak diinterpretasikan, dengan konteks yang minimal, tidak dihubungkan dengan situasi dan peristiwa lain. Kedua, adalah berita yang berdasarkan pada proses yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam masyarakat yang dihubungkan dalam konteks yang luas dan melampaui waktu. Berita bukan fakta, berita itu laporan tentang fakta. Suatu peristiwa menjadi berita hanya apabila ditemukan dan dilaporkan oleh wartawan. Meminjam kata-kata Dr. Hagemenn, apabila peristiwa itu ”memasuki isi kesadaran publik” dan dengan demikian menjadi pengetahuan publik secara aktual. (Perspektif Pers Indonesia, Jakob Oetama, 1987, hal 195)
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
76
Reportase Faktual Meminjam istilah Walter Lipmann, baru merupakan �laporan dari satu aspek� dan baru berfungsi �mengisyaratkan tanda terjadinya suatu peristiwa�. Reportase faktual merupakan suatu persyaratan dan kemampuan elementer yang harus dimiliki oleh seorang wartawan karena mempersyaratkan sikap obyektif dan kejujuran dalam melihat dan melaporkan dan melihat suatu kejadian. Menurut Jakob Oetama, dalam bukunya Perspektif Pers Indonesia, 1987, hal 195, untuk masyarakat yang semakin kompleks, reportase jenis itu tidak memadai. Reportase faktual melihat suatu peristiwa hanya dari satu dimensi, dimensi linier, kronologi kejadian, itupun hanya dilakukan sekilas saja. Ia juga mengingatkan, suatu peristiwa tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan beberapa peristiwa lain. Selalu ada kaitan, ada konteks. Reportase komprehensif amat memperhatikan konteks dan kaitan itu. Komprehensif artinya mencakup segala segi. Keberimbangan Menurut Robert Scheer dari Los Angeles Times, pertanyaan yang lebih penting adalah bukan apakah Anda bisa netral. Tapi bagaimana Anda mengerjakan pekerjaan Anda dengan cara yang adil dan jujur. Dalam hal ini, suratkabar Washington Post mempunyai standar mengenai sikap adil, yaitu: 1. Berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta yang penting. Jadi adil adalah lengkap. 2. Berita itu tidak adil bila dimasukkan informasi yang tidak relevan. Jadi adil adalah relevansi. 3. Berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak membimbing pembaca ke arah yang salah atau menipu. Jadi adil adalah jujur. 4. Berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya di balik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi adil adalah menuntut keterusterangan (Ishwara, 2005:46-47). Narasumber Mutu suatu tulisan antara lain ditentukan oleh sumber. Siapa atau apa yang menjadi sumber harus jelas sehingga pembaca dapat menilai sendiri. Karena itu nama atau asal sumber harus dicantumkan, siapa dia dan apa kemampuan, keahlian, atau keterampilannya. Semua sumber baik itu orang maupun informasi berupa catatan, dokumen, referensi, buku, kliping, dan sebagainya yang akan digunakan wartawan haruslah disebutkan asalnya. Melvin Mencerh dalam bukunya News Reporting and Writing mengatakan, bahwa sumber manusia terkadang kurang bisa dipercaya dibanding sum-
77
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
ber dokumen, referensi, buku, dan seagainya. Orang atau pejabat yang terlibat dalam peristiwa bisa mempunyai kepentingan untuk melindungi (Ishwara, 2005:46-47). Sumber Anonim Sumber juga bisa membahayakan atau menimbulkan kerugian bagi wartawan atau media terutama sumber yang tidak mau disebutkan namanya. Sikap skeptis dalam menghadapi sumber anonim ini sangat penting karena: 1. Bahaya dimanfaatkan: ada kemungkinan media dimanfaatkan oleh sumber rahasia itu atau oleh wartawannya sendiri yang membuat (fabrication). Cerita dengan menyebutkan dalam tulisannya sebagai sumber yang dirahasiakan. 2. Kredibilitas hilang: kemungkinan hilangnya kredibilitas jika pembaca tidak diberitahu sumber yang menyampaikan informasi penting itu. Banyak yang mau bicara dengan wartawan asalkan wartawan berjanji tidak mengungkapkan identitasnya. 3. Tuntutan hukum: kesulitan membela dalam tuntutan hukum (fitnah) bila hakim menolak pembuktian akurasi dari berita yang didasarkan pada sumber yang tidak mau disebutkan identitasnya. Dalam kaitan dengan nara sumber anonim, Deborah Howell, editor di Washington untuk surat kabar Newhouse menambahkan dua pegangan: 1. Jangan pernah memakai sumber anonim untuk menyampaikan suatu opini tentang orang lain. 2. Jangan pernah memakai sumber anonim sebagai kutipan pertama dalam sebuah berita. Terror Penggunaan kekerasan dan ancaman untuk menimbulkan rasa takut dan untuk meniadakan perlawanan (teror). • Terror, defensive: penggunaan teror untuk mempertahankan kedudukan atau hak tradisional (teror defensif). • Terror, system: hubungan sosial yang dipaksakan oleh adanya teror (teror sistem). • Terrorism : penggunaaan kekerasan secara sistematis untuk menimbulkan rasa takut dan mengganggu sistem wewenang (terorisme) (Sukamto, 1983) Tipe Penelitian Tipe penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif yang sepenuhnya beranjak dari analisis teks. Paradigma ini memandang bahwa realitas kehi-
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
78
dupan sosial bukanlah realitas yang netral, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Dalam studi analisis teks berita, paradigma kritis terutama berpandangan bahwa berita bukanlah sesuatu yang netral, dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Media, sebaliknya, adalah ruang tempat kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan. Berangkat dari pemahaman itu, maka faktor-faktor yang mewarnai munculnya sebuah berita menjadi fokus penelitian. Penempatan sumber berita yang menonjol dibanding dengan sumber lain, menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain, liputan hanya satu sisi dan merugikan pihak lain, tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok, tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalakankan oleh wartawan, editor ataupun pemimpin redaksi. Media juga dipandang sebagai instrumen ideologi. Melalui media lah satu kelompok menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain. Media di sini tidak dipandang sebagai wilayah yang netral tempat berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok ditampung. Media justru bisa menjadi subjek yang memiliki kemampuan dan kemauan mengonstruksi realitas atas penafsiran dan definisinya sendiri untuk kemudian disebarkan kepada khalayak. Dari sini sudah harus dikatakan bahwa salah satu sifat analisis kritis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai ketika memandang subjek penelitian. Analisis yang sifatnya kritis, umumnya memang beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang diyakini peneliti. Oleh karena itu keberpihakan peneliti dan posisi peneliti atas suatu masalah sangat menentukan bagaimana data/teks ditafsirkan. Unsur subjektivitas itu sebisa mungkin ditekan karena analisis kritis di sini sepenuhnya didasarkan pada penafsiran peneliti pada teks. Panafsiran atas teks itu sepenuhnya dihajatkan untuk bisa mendapatkan dunia dalam, masuk menyelami dalam teks, dan menyingkap makna yang ada di baliknya. Langkah awal yang dilakukan penelti untuk mencapai tingkat subjektivitas itu adalah dengan melakukan koding dan tabulasi atas teks oleh lembaga lain. Dalam hal ini dilakukan oleh Lembaga Konsumen Media (LKM) Surabaya. LKM dalam hal ini memfokuskan diri memperhatikan unsur-unsur dalam teks berkait berita tentang terorisme yang dberitakan suratkabar Jawa Pos, Surya, dan Kompas. Bertolak dari temuan itulah selanjutnya peneliti melakukan telaah kritis atas teks.
79
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Teknik Pengumpulan Data Informasi tentang bagaimana wartawan, redaktur, dan pemimpin redaksi menempatkan serta memperlakukan berita tentang isu-isu terorisme di medianya, dikaji lewat studi analisis wacana kritis. Untuk keperluan itu peneliti menentukan tiga suratkabar sebagai objek penelitian, yaitu harian pagi Jawa Pos, harian Surya, dan harian Kompas. Ketiga harian itu dipilih karena ketiganya merupakan suratkabar umum. Berdasarkan pengamatan, ketiga suratkabar itu banyak memberitakan isu-isu terorisme, khususnya ketika aparat kepolisian melakukan aksi penangkapan terhadap orang atau kelompok yang dinyatakan telah ata akan melakukan aksi terorisme. Langkah berikutnya, peneliti menyerahkan atau meminta bantuan Lembaga Konsumen Media (LKM) Surabaya untuk melakukan tabulasi dan pengkodingan atas berita-berita tentang terorisme yang diberitakan suratkabar Jawa Pos, Surya, dan Kompas yang terbit dalam kurun waktu Maret hingga Juni 2007. Tabulasi meliputi: judul, rubrik, jenis berita, angle, visualisasi, labeling, metafora, katagori narasumber, dan kutipan. Teknik Analisis Data Analisis atas data temuan dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama, peneliti membandingkan temuan tiap variabel yang diteliti antara yang disajikan Jawa Pos, Surya, dan Kompas. Kedua, menganalisis temuan itu berdasar landasan teori yang digunakan, dalam hal ini analisis wacana kritis. Ketiga, memberikan interpretasi atas temuan data. Karena menggunakan penelitian tipe kualitatif, maka interpretasi sepenuhnya didasarkan pada kemampuan peneliti yang sangat terbatas dan sepenuhnya merupakan pendapat pribadi peneliti yang sangat mungkin salah. II. PERMASALAHAN TABEL I SUMBER INFORMASI Narasumber
Nama Suratkabar Jawa Pos
Surya
Kompas
Pihak Kepolisian/Militer
37
30
24
Pejabat Pemerintah
2
5
-
Pakar/Ahli
2
-
3
TPM (Tim Pengacara Muslim)
6
-
-
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
80
Pihak Luar Negri
3
-
-
Pemuka Agama
2
-
-
NGO (Non-Government Organization)
2
-
1
Keluarga tokoh tersangka teroris
10
8
14 31
Warga/Khalayak Umum
9
14
Sumber Anonim 25
9
7
Tersangka Teroris
-
1 3
1
98
61
78
Lain-lain Jumlah
3
Narasumber Aparat Keamanan: Dari analisis yang dilakukan menunjukkan ketergantungan Jawa Pos, Surya, dan Kompas terhadap narasumber-narasumber berita resmi negara yang terdiri dari pihak keamanan dalam hal ini kepolisian atau militer. Dari 98 narasumber berita yang dikutip Jawa Pos, 37 di antaranya merupakan narasumber resmi atau mencapai 37 persen. Harian Surya berada di urutan kedua dengan jumlah 30 dari total 61 narasumber yang dikutip atau mencapai angka 49,18 persen. Sedangkan harian Kompas 24 kali mengutip keterangan narasumber kepolisian atau militer dari sebanyak 78 narasumber yang dikutip atau mencapai angka 30,77 persen. Beberapa nama yang kerap muncul dalam pemberitaan tentang terorisme di suratkabar Jawa Pos, Surya, dan Kompas, khususnya dalam kurun waktu Maret hingga Juni 2007 adalah: • Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol. Sisno Adi Winoto, • Kapolda DIJ, Hari Anwar, • Kapolwil Surakarta, Yontje Mende, • Kapolda jateng Irjen Pol. Doddy Sumantyawan, • Kabidpenum Polri Kombes Bambang Kuncoro, • Kapolresta Surabaya Utara AKBP Eddy Sumitro Tambunan, • Kadin Penerangan Umum Mabes TNI, Kolonel Yani Basuki, • Kapolres Magetan AKBP Bambang Sunarwibowo, • Kepala Desk Antiteror Kementrian Polhukam, Ansyad Mbai, • Kabid Kedokteran kepolisian, dr Mussadeq Ishaq, • Kapolda Jatim Irjen Pol. Suryadi Samawiredja, • Kapolresta Sukabumi, AKBP Syaeful Zahri, • Kasatreskrim Kompol Djoko Tjahyono, • Kapolresta Surabaya Selatan AKBP Heri Dahana, • Kabareskrim Komjen Pol. Bambang Hendarso Danuri, • Kapolri Jenderal Sutanto, • Direktur I Kamtrannas Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol. Surya Dharma. 81
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Pembahasan/Interpretasi/Tafsiran Hasil Analisis Berita yang ditulis hanya berdasar pernyataan satu pihak narasumber, pada dasarnya mempunyai nilai berita rendah. Hak masyarakat untuk tahu seperti terampas sebagian karena informasi yang disajikan media hanya dari satu narasumber. Karena itu pembaca akan merasa kehilangan beragam informasi dan dari sudut pandang yang berbeda yang bisa diperoleh dari narasumber yang lebih beragam. Ketika wartawan hanya mengutip informasi dari narasumber yang itu ke itu, boleh jadi alasannya karena keterbatasan akses. Namun hendaklah disadari bahwa justru keterbatasan akses itulah yang bisa menggiring wartawan untuk hanya mewawancarai sumber-sumber resmi yang senantiasa siap dengan klaim-klaim yang bisa saja sepihak. Kecenderungan seperti itu menjadi persoalan serius mengingat dalam berita tentang terorisme pernyataan narasumber merupakan klaim sepihak yang seringkali berisi tuduhan berat dengan konsekuensi hukuman berat pula, bahkan sampai hukuman mati. Kode Etik Jurnalistik yang disepakati sedikitnya oleh 29 organisasi profesi wartawan di Indonesia dan kemudian dikukuhkan lewat Surat Keputusan Dewan Pers, pasal 3 menyebutkan: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran pasal itu adalah: 1. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. 2. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. 3. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Menguji Informasi Narasumber Resmi Tentu saja tak ada yang salah dengan tindakan mengutip keterangan narasumber, apalagi narasumber yang memang memiliki otoritas atau kewenangan untuk itu. Jelasnya, penggunaan narasumber dalam praktik jurnalistik merupakan hal yang lazim dan tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Namun praktik itu bisa tidak lazim jika informasi dari narasumber itu hanya berupa opini , dan lebih-lebih opini yang bersifat menghakimi pihak lain. Dalam hal ini wartawan sesungguhnya dianjurkan untuk bersikap skeptis dan kemudian tergerak untuk menguji kebenarannya. Wartawan setidaknya bisa menguji kebenaran informasinya misalnya dengan meminta dokumen atau narasumber lain yang bisa menguatkan informasi dari narasumber pertama. Bukan menelannya mentah-mentah begitu saja dan menyiarkannya pula.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
82
Beberapa berita bernada seperti itu ditemukan pada harian Jawa Pos dan Kompas. Jawa Pos edisi 15 Juni 2007 di bawah judul “Kapolri: Indonesia Belum Aman” tertulis penegasan Kapolri Jenderal Pol Sutanto di Lembang bahwa bahwa ditangkapnya Abu Dujana tidak menjamin Indonesia akan aman dari ancaman bom. Sebab masih ada sejumlah tersangka teroris yang belum tertangkap. Seorang di antara mereka adalah Noordin M Top yang kini menjadi prioritas utama perburuan Densus 88 Mabes Polri. Di bawah judul “Bisa Lebih Dahsyat daripada Bom Bali” Jawa Pos edisi 4 April 2007 mengutip pernyataan Brigjen Pol Surya Dharma yang menatakan sayap militer JI pimpinan Abu Dujana sangat berbahaya. “Mereka itu punya rencana untuk melakukan pembalasan pada polisi lewat assassination operation,” katanya. Yang dibidik, kata Surya Dharma, adalah Kadensus 88 Brigjen Pol Bekto Suprapto dan juga sejumlah petinggi Mabes Polri yang selama ini giat menangkap pelaku teror. Selain itu Kajati Jateng juga tak luput dari daftar sasaran. Harian Surya edisi 17 Juni di bawah judul besar berwarna merah “Rekrut 32.000 Bomber” juga menyajikan laporan bernada menakutkan seperti itu. Surya mengutip pendapat pengamat terorisme dari Univeritas Malikussaleh Banda Aceh, Al Chaidar menyatakan bahwa gembong teroris Abu Dujana dan Mbah sudah merekrut 32.000 calon teroris yang tersebar di 29 propinsi di Indonesia yang siap dengan aksi-aksi mereka. Lebih jauh Al Chaidar menyatakan, perekrutan terhadap 32.000 relawan ‘jihad’ ini bisa menjadi bom waktu yang tak kalah menakutkan. Sebab mereka sudah dididik, didoktrin, dan dicuci otak dengan mindset (pemikiran) ‘jihad buta’ oleh para tokoh senior seperti Abu Dujana, Zarasih, Noordin M Top, Abu Fatih (pelaku bom Natal dan Atrium Senen) dan Hambali. Mengutip Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, berita Kompas, 13 Juni 2007 berjudul ”Jaringan Abu Dujana Berkembang Pesat” menggambarkan Ainul Bachri alias Abu Dujana (37) cukup piawai sebagai pemegang kendali di level operasional kelompok Jemaah Islamiyah. ”Ia justru merupakan pelindung Noordin M Top dan pengatur strategi peledakan sejumlah bom,” kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sisno Adiwinoto. Dan, di bawah judul ”Polri Temukan Dokumen Rencana Peledakan Bom”, Kompas edisi 15 Juni mengutip pernyataan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal (Pol) Sutanto yang menyatakan, polisi menemukan bukti atau dokumen tentang rencana peledakan bom di sejumlah tempat. Akan tetapi Sutanto tidak bersedia mengungkap lebih jauh tempat atau wilayah yang menjadi sasaran kelompok teroris itu.
83
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Kemudian Kompas edisi 22 Maret 2007 menurunkan berita ”Bahan Peledak Ditemukan di Bungker” mengutip keterangan Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, yang menyatakan Abu Dujana diduga terlibat dalam peledakan bom di Hotel JW Marriott serta perlindungan terhadap Noordin M Top dan almarhum Azahari yang tewas dalam penggerebekan d Malang, Jawa Timur tahun lalu. Dalam berita-berita itu, tidak tampak upaya wartawan sampai pada edisi berikutnya untuk menguji kebenaran pernyataan para narasumber resmi. Misalnya dengan meminta data atau dokumen yang dipunyai narasumber, Jadi bukan cuma omongan. Mungkin saja wartawan sudah melakukannya, sudah meminta tapi tak diberi. Kalau itu benar, seharusnya wartawan menuliskannya dalam berita. Ini agar pembaca mengetahui upaya yang sudah dilakukannya. Membuktikan bahwa wartawan tidak hanya menelan mentah-mentah apapun yang dikatakan narasumber. Dukungan fakta untuk penyataan dengan nada menakutkan seperti itu tentu saja penting karena memang menjadi tugas wartawan untuk hanya menyebarkan informasi yang benar-benar akurat, didukung data lengkap dan meyakinkan. Tanpa itu wartawan bisa dituduh pembaca sebagai provokator dan penyebar ketakutan. Bukan itu tugas wartawan. Dampak buruk publikasi seperti itu sebenarnya sudah mulai muncul. Banyaknya ancaman bom di perkantoran ataupun plasa-plasa yang kemudian tak pernah terbukti kebenarannya, sudah mulai membuat masyarakat apatis. Juga tak kunjung tertangkapnya Noordin M Top yang selalu dikatakan polisi masih berada di Indonesia dan sangat berbahaya karena di tubuhnya selalu terlilit bom yang siap diledakkan, mulai membuat masyarakat melihatnya sebagai tokoh jadi-jadian. Nada kecurigaan seperti itu pernah diberitakan Surya Edisi 14 Juni 2007 berjudul ”Teroris Jadi Proyek” mengutip pernyataan anggota Komisi I dari FP-DIP, Permadi yang menilai Polri saat ini jelas melakukan tindakan tidak profesional. ”Kalau begini, sama saja Polri tidak profesional. Tidak tertutup kemungkinan ada permainan dalam hal ini. Tetapi, saya tidak mau mengatakan ini permainan yang dilakukan Australia, meski Australia, berkepentingan dalam penangkapan para tersangka teroris ini,” tegas Permadi. Masih dari Surya, 12 Juni 207 menurunkan pernyataan Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM), Mahendradatta yang mengatakan akan mengklarifikasi pihak kepolisian terkait penengkapan lima orang yang diduga sebagai teroris. Polisi harus menjelaskan kelima orang itu ditangkap dalam peristiwa apa. ”Kalau tidak segera dijelaskan, maka kami melihat ada pergerakan politik
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
84
untuk memberangus aktivis Islam,” kata Mahendra, Senin, 11/6. Mahendra juga mengatakan, saat ini ada upaya pihak tertentu menghalangi gerak TPM dengan cara memunculkan TPM bayangan. TPM bayangan ini mencoba lebih dulu masuk menjadi pengacara orang-orang yang ditangkap dengan dugaan terorisme. Ditanyai mengenai kelompok Abu Dujana, Mahendra mengaku tidak tahu menahu. Namun pada 25 Maret 2007 lalu, wakil koordinator TPM, Ahmad Mihdan mempertanyakan penangkapan orang-orang yang diduga sebagai jaringan Abu Dujana. ”Setelah Dr. Azahari tidak ada sekarang dimunculkan nama Abu Dujana, memangnya dia itu siapa?” ujarnya ketika itu. Ia menegaskan, Imam Samudra, Muklas, dan Amrozi yang dianggap sebagai dedengkot teroris saja tidak mengetahui siapa Abu Dujana. Sampai di sini peneliti tak bisa memastikan, di mana letak masalahnya, mengapa ada kelompok yang tak bisa mengapresiasi kerja keras dan pengorbanan polisi dalam memburu dan mengungkap yang berrarti mencegah serangan teroris. Keterangan polisi yang tak cukup meyakinkan atau kerja wartawan yang setengah-setengah sehingga tak berhasil meyakinkan pembacanya? Narasumber Anonim Realitas lain adalah digunakannya narasumber anonim. Narasumber anonim ini lazimnya muncul dengan sebutan: “sebuah sumber” atau “sumber yang minta tak dikorankan” atau “sumber yang tak mau disebut identitasnya” atau “sumber yang layak dipercaya”. Dalam hal penggunaan narasumber anonim ini, menariknya Jawa Pos paling banyak menggunakannya, jumlahnya mencapai 25 kali. Surya 9 kali, dan Kompas 7 kali. Jawa Pos lebih terang-terangan menyebut narasumber anonim itu dengan sebutan sumber Jawa Pos. Ini sama dengan cara yang dipakai Surya. Namun Kompas agak tersamar dengan menggunakan sebutan seperti sebutan “informasi yang dihimpun di kepolisian”. Sebutan-sebutan yang biasa digunakan Jawa Pos, Surya, maupun Kompas untuk secara tersamar menyebut, atau dalam upaya melindungi atau menyebut secara tersembunyi narasumber anonimnya antara lain: • sumber di Kepolisian, sebuah sumber di kepolisian, • sumber JP yang minta namanya dirahasiakan, • sumber yang meminta namanya tidak dikorankan, • seorang anggota Polwil Surakarta, • informasi yang dihimpun di TKP,
85
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
• • • • •
menurut sebuah sumber, sumber JP, sumber JP di kepolisian, informasi yang dihimpun JP, informasi yang dihimpun di kepolisian, informasi di kepolisian.
Pembahasan/Interpretasi/Tafsiran Hasil Analisis Dalam batas-batas tertentu, mungkin bisa dipahami ketika wartawan menggunakan sumber anonim. Tapi akan terasa melampaui batas ketika informasi yang disampaikan sumber anonim dan kemudian disebarluaskan kepada masyarakat bermuatan tuduhan berat kepada teroris. Misalnya: tersangka adalah pelaku serangkaian peledakan bom di tanah air, berencana melakukan serangkaian serangan teroris, dsb. Dalam berita Surya berjudul “Tangan Kanan Azahari” yang ditempatkan sebagai headline juga terasa upaya menggiring pembaca ke arah kesimpulan seperti tercantum dalam judul. Berita tentang M. Yusuf yang disebut sebagai teroris, meskipun mencantumkan banyak sumber, akan tetapi kategori yang dipilih hanyalah warga sekitar dan kepolisian. Wartawan tidak menanyakan kepada keluarga tersangka maupun tersangka sendiri, mengenai siapakah dia dan orang seperti apakah dia. Dengan demikian, wartawan secara tidak sengaja telah mengkuti pola stereotyping teroris sebagai pribadi yang eksklusif, misterius, asosial, dan introvert. Dalam berita berjudul “Polisi Bongkar Bungker Bahan Peledak” yang memberitakan tentang pembongkaran bungker di rumah Sikas, pada sub judul, dituliskan, “Seorang Teroris Tewas Ditembak”. Yang perlu menjadi catatan adalah, ia tertembak bukan ketika sedang melakukan aksi terorisme. Jadi statusnya adalah masih orang yang diduga terlibat jaringan terorisme. Tetapi Surya telah melakukan judgement dengan memberikan sub judul demikian. Narasumber Anonim untuk Headline Hal penting lainnya yang ditemukan dalam penelitian ini adalah digunakannya informasi dari sumber tanpa identitas sebagai judul, bahkan sebagai intro (pembukaan, teras berita, atau lead) berita utama (headline). Langkah ini tentu patut dicatat mengingat dalam konsep penulisan berita dengan format piramida terbalik, teras berita (lead) atau intro merupakan bagian terpenting dalam keseluruhan berita. Apalagi bila ditilik informasi yang disajikan lewat teras berita itu di antaranya bermuatan tuduhan yang memberatkan nama-nama orang yang di antaranya disebut dengan jelas identitasnya.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
86
Berikut ini beberapa contoh temuannya: Harian Jawa Pos edisi 8 April menurunkan berita utama dengan judul ”Noordin Batal Sumpah Pelaku Bom Bunuh Diri”. Intronya: Noordin M Top, buron nomor wahid Densus 88 Mabes Polri, berencana membaiat (sumpah) enam tersangka teroris yang ditangkap di Jateng bulan lalu. Namun rencana itu gagal total setelah penggerebekan di Jogja oleh aparat gabungan Polda DIJ dan Mabes Polri. ”Kelompok itu telah dideteksi aparat intelejen sejak Oktober tahun lalu,” ujar sumber Jawa Pos - (cetak miring dari peneliti – Pen). Jawa Pos edisi 9 April menurunkan berita di bawah judul ”Noordin Membentuk Laskar Istimata Baru” dengan subjudul ”Selain Universitas, RS dan Hotel Jadi sasaran Teror”. Di situ tertulis lead: Teroris buron Noordin M Top telah membentuk laskar berani mati atau disebut Laskar Istimata. Kelompok baru itu rencananya, mengagantikan sel lama yang telah diendus polisi. Laskar Istimata itu beroperasi lebih tertutup dan disiplin yang ketat. ”Perencanaannya sejak Azahari tewas di Malang, sebenarnya hampir jadi. Tapi, sekarang ada reorganisasi lagi,” ujar sumber Jawa Pos. Catatan lain yang perlu diberikan untuk berita Jawa Pos tersebut adalah kesan adanya keinginan atau kesengajaan wartawan untuk mendramatisasi atau mencari sensasi dengan mencantumkan subjudul di atas. Realitasnya, subjudul itu dikutip dari keterangan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto bahwa pihaknya sudah memberikan peringatan kepada jajaran Polda di seluruh Indonesia untuk tidak meremehkan ancaman sekecil apapun terhadap tempat-tempat publik. Seperti hotel-hotel, rumah sakit, dan universitas (cetak miring dari peneliti-Pen). Sementara itu harian Surya edisi 25 Maret dengan judul “Tangan Kanan Azahari”, tertulis: Informasi dari kepolisian, (cetak miring dari peneliti – Pen) Holis adalah orang kepercayaan almarhum Dr. Azahari. Paska kematian Dr. Azahari, Holis bergabung dengan Noordin Moch Top. Holis juga ditengarai ikut terlibat aksi kerusuhan di Poso dan beberapa kerusuhan di Indonesia. “Ketika menjadi kaki tangan Dr. Azahari, Holis bagian mengirim bom yang sudah dirakit,” aku sumber kepolisian. Masih kata sumber tadi, bom yang dikirim Holis ke Poso menggunakan jalur laut (kapal laut). Dan Surya edisi 13 Juni di bawah judul ”Jaringan Teroris Surabaya”, harian ini menjadikan informasi dari sumber anonim ini sebagai headline: Jaringan terorisme di surabaya diperkirakan cukup kuat. Penangkapan Arif Syaifuddin di Surabaya, Senin 11/6 memberi petunjuk kepada polisi bahwa jaringan itu sudah tertata rapi. Sumber-sumber di kepolisian mengatakan,
87
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
setelah penangkapan Arif kini polisi memburu lelaki bernama AT. ”AT ini kelahiran Surabaya yang dipercaya sebagai Kepala Divisi Tempur. Sedangkan Arif Syaifuddin yang ditangkap kemarin itu merupakan hasil rekruitmen AT dan dipersiapkan sebagai leader di kelompok itu,” kata sumber itu kepada Surya, Selasa 12/6 di Surabaya. Harian Kompas ternyata juga melakukan hal yang sama. Kompas edisi 25 Maret 2007, di bawah judul ”Ditemukan, Catatan Berisi Peta”, tertulis: Dujana, menurut pihak polisi (cetak miring dari peneliti-Pen), lebih berbahaya ketimbang Noordin M Top maupun Azahari Husein. Dujana dinilai memiliki kepemimpinan yang kuat dan secara pribadi disegani. Juga kalimat berikut ini: Dari sejumlah keterangan yang dihimpun, kepolisan mencium saat ini Jemaah Islamiyah (JI) telah memiliki susunan organisasi yang baru. Masih dari Kompas: Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari kepolisian, sepekan setelah peristiwa peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, JI mengadakan rapat konsolidasi di suatu tempat di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pembahasan/Interpretasi/Tafsiran Hasil Analisis Penggunaan narasumber anonim dalam praktik jurnalistik sebenarnya merupakan hal yang lazim dilakukan dan Kode Etik Jurnalistik membolehkan hal itu. Namun yang tidak lazim adalah bila informasi dari narasumber anonim itu hanya berupa opini narasumber, bukan fakta empirik. Hal kedua yang seharusnya menjadi pertimbangan wartawan adalah bahwa ketika wartawan melindungi narasumbernya dan mengutip keterangannya, berarti secara tidak langsung wartawan mengambil alih tanggung jawab atas kebenaran dan segala konsekuensi yang timbul akibat pemberitaan itu. Narasumber Anonim Melempar Tuduhan Masalah lain yang muncul dari penggunaan informasi dari narasumber anonim adalah karena bila dicermati, sebagian dari informasi yang dilontarkan narasumber anonim itu berisi tuduhan yang memberatkan para pihak (dalam hal ini tersangka teroris). Beberapa contoh pernyataan berisi tuduhan itu antara lain: Harian Jawa Pos: • Noordin Batal Sumpah Pelaku Bom Bunuh Diri. • Noordin M Top, buron nomor wahid Densus 88 Mabes Polri, berencana membaiat (sumpah) enam tersangka teroris yang ditangkap di Jateng bulan lalu. • Selain Universitas, RS dan Hotel Jadi sasaran Teror. • Teroris buron Noordin M Top telah membentuk laskar berani mati atau dise but Laskar Istimata.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
88
Harian Surya: • Holis adalah orang kepercayaan almarhum Dr. Azahari. • Paska kematian Dr. Azahari, Holis bergabung dengan Noordin Moch Top. • Holis juga ditengarai ikut terlibat aksi kerusuhan di Poso dan beberapa kerusuhan di Indonesia. • Ketika menjadi kaki tangan Dr. Azahari, Holis bagian mengirim bom yang sudah dirakit. • Arif Syaifuddin yang ditangkap kemarin dipersiapkan sebagai leader di kelompok itu. Harian Kompas: • Dujana lebih berbahaya ketimbang Noordin M Top maupun Azahari Husein. Dujana dinilai memiliki kepemimpinan yang kuat dan secara pribadi disegani. • Kepolisan mencium saat ini Jemaah Islamiyah (JI) telah memiliki susunan organisasi yang baru. • Sepekan setelah peristiwa peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, JI mengadakan rapat konsolidasi di suatu tempat di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. • Selain itu, sebelum peledakan Hotel JW Marriott di Jakarta pada 5 Agustus 2003, Noordin sempat melapor dahulu kepada Dujana di suatu daerah di Sumatera. Sekali lagi, sekadar untuk mengingatkan, informasi bernada memberatkan para tersangka itu dikutuip dari narasumber anonim dan belum atau tidak dikonfirmasi kepada para tersangka. Wartawan mengutip dan menyiarkannya begitu saja. Bahkan tak terlihat upaya untuk menguji kebenarannya, dengan meminta dukungan fakta, berupa dokumen misalnya. Dikeluarkan dari Pembicaraan Masih berkait dengan penggunaan narasumber, Jawa Pos juga merupakan satu-satunya suratkabar yang memberi tempat bersuara untuk TPM (Tim Pengacara Muslim), meski cuma sekali. Namun ketiga suratkabar terlacak berusaha memberi tempat untuk keluarga tersangka teroris. Jawa Pos 10 kali, Surya 8 kali, dan Kompas 14 kali. Inilah kiranya yang digambarkan teori ekskomunikasi (Excomunication), yaitu bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Di sini, misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia tidak diaggap, dianggap lain (alien). Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak aparat kepolisian atau militer, tidak ada kebutuhan untuk mendengar suara pihak lain.
89
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Konsekuensi penting dari ekskomunikasi ini, partisipan wacana hanya dibatasi pada pihak aparat keamanan. Pihak tersangka teroris memang ditampilkan, tetapi ditampilkan melalui perspektif aparat. Temuan itu menunjukkan bagaimana ekskomunikasi dilakukan dengan penghadiran dan penghilangan (presence and absence) suatu kelompok dan berbagai identitasnya. Harian Surya edisi 16 Juni 2007, setelah sekian puluh berita turun tanpa secuil pun pernyataan dari para tersangka teroris, dalam berita di bawah judul ”Meringkus Si Embah” memang memberi tempat untuk tersangka teroris. Namun keterangan atau informasi dari pihak tersangka teror itu hanya berupa kaset rekaman saja yang dibawa oleh Kabareskrim ketika konferensi pers. Pembahasan/Interpretasi/Tafsiran Hasil Analisis Ada yang dilupakan ketiga suratkabar dan media massa pada umumnya bahwa dengan cara pandang seperti itu suratkabar sudah melakukan penggambaran yang simplifistik, dan menggambarkan pihak tersangka teroris selalu dalam kerangka kepentingan aparat keamanan. Dalam berbagai pemberitaan itu, wartawan samasekali tidak berusaha untuk mengonfirmasi kebenaran akan tuduhan yang dilancarkan polisi. Dalam berita tentang terorisme wartawan seolah menempatkan polisi dalam posisi mahabenar sehingga apapun informasinya tak perlu dicek dan cek kembali. Polisi boleh jadi benar, tapi tersangka toh tetap punya hak untuk bersuara. Dikucilkan dalam Pembicaraan Temuan fakta itu juga menunjukkan terjadinya eksklusi, yaitu bagaimana pihak tersangka teroris dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Eksklusi ini bisa dilacak dari kelompok dalam hal ini aparat kepolisian/ militer-- yang merasa mempunyai otoritas dan kemampuan tertentu menganggap para tersangka teroris sebagai kelompok yang sudah pasti buruk. Fakta itu bisa dilacak dari digunakannya labeling yang digunakan Jawa Pos, Surya, dan Kompas, seperti: • Noordin, Gembong Teroris yang kepalanya dihargai Rp 2 Miliar, • Abu Dujana, pelaku teror nomor wahid, • Buruan nomor wahid, • Noordin, buron nomor satu, • Gembong teroris, Teroris buron, • Jaringan Abu Dujana, • Abu Dujana, pentolan geng teroris, • Abu Dujana, tangan kanan gembong teroris Noordin M.Top, • jaringan Abu Dujana, • Pelarian buron yang kepalanya dibanderol 500 juta,
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
90
• • • • • • • • • • • •
Komplotan, Tersangka kasus terorisme Abu Dujana, Laskar Istimata (laskar berani mati), Jaringan teroris, Yusron, tersangka kasus teroris, Abu Dujana, buron teroris, Abu Dujana, buron, yang kepalanya dihargai setengah miliar, Abu Dujana, panglima lapangan, Abu Dujana panglima perang JI, Zarkasih Pimpinan Eksekutif tertinggi/pengendali organisasi/pucuk pimpinan, Zarkasih, pemimpin eksekutif tertinggi, Abu Dujana yang menjabat sebagai “panglima perang”.
Pembahasan/Interpretasi/Tafsiran Hasil Analisis Bila dicermati, temuan-temuan dalam pemberitaan terorisme itu sesungguhnya juga telah terjadi praktik marjinalisasi. Dalam marjinalisasi memang tidak terjadi pengucilan atau mengeluarkan orang dari pembicaraan seperti dalam ekskomunikasi dan eksklusi. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk atas semua tersangka teroris yang notabene belum diadili. Bahkan penggambaran buruk itu otomatis merembet kepada anggota keluarga tersangka seperti kepada istri, anak-anaknya, bahkan orangtuanya. Banyak misrepresentasi dari marjinalisasi ini terjadi dalam pemberitaan terorisme. Para tersangka dalam banyak wacana suratkabar digambarkan secara buruk. Penggambarannya bahkan terkesan sangat menyederhanakan. Misalnya dengan menyodorkan ”fakta” bahwa tersangka berjenggot, rajin salat, mengajar mengaji, sering pulang malam, pendiam, jarang bergaul dengan tetangga. Istri tersangka misalnya, direpresentasikan sebagai jarang bergaul dengan tetangga, hanya terlihat keluar rmah ketika mengantar anaknya ke sekolah, berjilbab, memakai kerudung, jarang kelihatan keluar rumah. Di sini, istri tersangka teroris tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi penggambaran itu tidak disertai dengan pemisahan. Dampak lebih jauh dari cara pemberitaan suratkabar seperti itu adalah terjadinya delegitimasi. Kalau marjnalisasi berhubungan dengan bagaimana para tersangka dan keluarganya digambarkan secara buruk dengan indikatorindikator sederhana, maka delegitimasi atas para tersangka tampak dari bagaimana para tersangka dianggap tidak absah. Temuan yang menarik dicermati dari paparan ketiga suratkabar antara lain disebutnya remote control, CD, CD player, laptop, komputer, kaset-kaset,
91
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
dan buku-buku, yang dalam pemberitaan kasus terorisme digambarkan seolaholah sebagai kepemilikan yang tidak sah. Dalam pemberitaan tentang terorisme hal seperti itu seringkali muncul, lewat pernyataan aparat keamanan atau sekadar simplifikasi yang dilakukan wartawan. Misalnya: tersangka memelihara jenggot, rajin salat, mengajar mengaji, menjadi imam, sering pulang malam, bersikap pendiam, atau jarang bergaul dengan tetangga. Jenis Berita Jenis Berita
Jawa Pos
Surya
Kompas
Straight News
11
16
8
Soft News/Features
10
5
6
In-depth News
-
-
2
Investigative Reporting
-
-
1
Analisis yang dilakukan atas fakta yang tercantum dalam tabel 2 adalah temuan betapa ketiga suratkabar, Jawa Pos, Surya, dan Kompas hanya memberi tempat terbesar untuk kemasan berita langsung atau straight news. Sedikit sekali yang menggunakan format sajian liputan menyelidik atau investigative reporting, setidaknya untuk liputan mendalam atau indepth news. Dari ketiga suratkabar itu, hanya Kompas yang pernah menyajikan liputan mendalam 2 kali, dan liputan menyelidik 1 kali. Pembahasan/Interpretasi/Tafsiran Hasil Analisis Temuan ini tentu memprihatinkan mengingat posisi wartawan adalah sebuah profesi yang dinisbatkan sebagai representasi masyarakat untuk memenuhi hak tahunya akan sesuatu masalah yang terjadi di lingkungannya. Dari wartawan masyarakat berharap mendapat informasi yang objektif, apa adanya, dan benar. Posisi seperti itu meniscayakan adanya kemauan kuat setiap watawan untuk mencari tahu, menggali lebih dalam setiap informasi yang diterimanya. Bagaimana wartawan bisa yakin bahwa sebuah informasi benar terlebih yang hanya bersumber dari aparat keamanan kalau wartawan belum menyelidikinya dari sumber berbeda atau sumber independen. Dari sini bisa dipertanyakan sikap skeptis wartawan dalam menghadapi setiap informasi dalam upaya menguji kebenaran setiap informasi yang diterimanya. Dengan sikap skeptis adalah awal bagi wartawan untuk melakukan liputan yang berimbang, tidak memihak, adil dan netral. Dengan demikian informasi yang disampaikan kepada masyarakat bisa diharapkan sudah dalam
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
92
keadaan bersih dari kesalahan dan benar. Khusus untuk liputan isu terorisme, wartawan mungkin merasa lebih aman jika hanya mengutip keterangan atau informasi aparat keamanan. Atau akan merasa aman jika cukup hanya menyiarkan berita secara apa adanya berdasar sumber resmi polisi pula. Namun meminjam istilah Walter Lipmann seperti dikutup Jakob Oetama dalam bukunya “Perspektif Pers Indonesia”, 1987, hal 195: reportase faktual seperti itu baru merupakan ”laporan dari satu aspek” dan baru berfungsi ”mengisyaratkan tanda terjadinya suatu peristiwa”. Reportase faktual baru merupakan suatu persyaratan dan kemampuan elementer yang harus dimiliki oleh seorang wartawan karena mempersyaratkan sikap obyektif dan kejujuran dalam melihat dan melaporkan dan melihat suatu kejadian. Menurut Jakob Oetama, dalam buku yang sama, untuk masyarakat yang semakin kompleks, reportase jenis itu tidak memadai. Reportase faktual melihat suatu peristiwa hanya dari satu dimensi, dimensi linier, kronologi kejadian, itupun hanya dilakukan sekilas saja. Ia juga mengingatkan, suatu peristiwa tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan beberapa peristiwa lain. Selalu ada kaitan, ada konteks. Reportase komprehensif amat memperhatikan konteks dan kaitan itu. Komprehensif artinya mencakup segala segi. Telaah lebih jauh atas temuan itu adalah kemungkinan di sinilah boleh jadi sumber keraguan masyarakat atau sebagian masyarakat atas kebenaran berita-berita tentang terorisme. Antara lain karena sebagian besar bersumber dari kepolisian yang ditempatkan sebagai subjek. Sedikit sekali porsi untuk pihak yang ditempatkan sebagai objek, apalagi pihak independen. Lebih-lebih untuk berita yang melibatkan dua pihak atau beberapa pihak seperti tuduhan tindak terorisme. Artinya, wartawan seharusnya menggali fakta dan harus mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung. Tentu saja liputan berita dengan kualifikasi seperti itu menuntut usaha lebih besar dibanding liputan berita upacara, misalnya. Lebih-lebih jika liputan menyelidik itu memang sejak awal dihajatkan untuk membongkar atau mengungkap sesuatu yang boleh jadi sengaja disembunyikan para pelakunya dari mata wartawan dan pandangan masyarakat. Liputan seperti itu pasti memerlukan waktu lebih lama karena para pemain kunci mugkin tidak bersedia memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan sama sekali menolak buka mulut. Dalam kaitan ini wartawan biasanya berdalih tak bisa melakukannya karena tekanan waktu tenggat (deadline). Di era kebebasan pers untuk mencari, mengumpulkan dan menyiarkan informasi, “keengganan” wartawan untuk melakukan indepht news atau
93
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
investigative reporting, tentu menimbulkan tanda tanya. Penelitian ini memang membatasi diri pada analisis wacana, sehingga tidak sampai menjangkau ke ruang-ruang redaksi (newsroom), tempat isu-isu terorisme digarap dan disajikan kepada pembaca. Boleh jadi wartawan takut dicap tidak nasionalis atau tidak patriotik ketika membela orang-orang yang ditangkap Densus 88 yang baru dalam status tersangka. Wartawan juga takut dicap proteroris kalau mencoba membela orang yang menjadi korban salah tangkap dan kemudian divonis sebagai teroris. Ketakutan seperti itu sebenarnya pernah juga dialami media di Indonesia ketika ketika merebak aksi penangkapan bahkan pembunuhan massal terhadap ribuan orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau sekadar simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Undang-Undang Pers No. 40/1999 memberi sekaligus mengamanatkan kewenangan pers antara lain untuk melakukan kontrol sosial (Ps 3 (1), dan untuk itu berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Ps 4 (3). Peran pers itu (Pasal 6) untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkait kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Untuk bisa menjalankan peran �mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan� itulah pers dituntut bersikap independen dan profesional dengan mematuhi standar-standar jurnalisme. Bukan menjadi corong suatu pihak dan mengabaikan hak bersuara pihak lainnya. Metafora atas Tokoh Di tengah membanjirnya informasi sebagai hasil dari kebebasan pers itu, masyarakat sering dibuat bingung. Masyarakat kerap bertanya-tanya karena sering kali antara berita-berita itu saling berbeda dan bahkan berlawanan. Selanjutnya, masyarakat justru bertanya-tanya karena berita bermunculan secara sepotong-sepotong, terkesan tiba-tiba dan tanpa ujung untuk kemudian menghilang. Selain disajikan sepotong-sepotong tanpa kelanjutan (follow up news), wartawan juga menyajikan berita tanpa konteks. Berita disajikan seolah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri, terlepas dari peristiwa lainya. Tanpa konteks. Padahal di dunia ini tak pernah ada peristiwa yang berdiri sendiri. Sebuah peristiwa sederhana semisal tabrakan antara mobil angkutan kota (angkot) dengan bus kota saja, sesungguhnya didahului oleh peristiwa lainnya. Misalnya kondisi sopir bus kota yang kelelahan karena harus kerja lembur dan kemarahan sopir
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
94
angkot yang dibawanya sejak dari terminal akibat perselisihannya dengan sang majikan yang menegurnya karena tak kunjung membayar setoran. Di sinilah menariknya untuk mencermati dan menelisik bagaimana berita-berita itu dihadirkan. Adakah motif-motif politik-ideologis tertentu yang ber(ter)sembunyi di balik teks-teks berita. Wacana secara ideologi dapat menggusur gagasan orang atau kelompok tertentu. Penggusuran itu akan peneliti coba lacak dari bagaimana isu terorisme disajikan dalam teks berita. Bagaimana cara media memaknai realitas? Paling tidak ada dua proses besar yang dilakukan media. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proporsisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Aspek memilih fakta tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fakta itu dipahami oleh media. Ketika melihat suatu peristiwa, wartawan mau tidak mau memakai kerangka konsep dan abstraksi dalam menggambarkan realitas. Hampir mustahil wartawan melihat dunia tanpa membuat kategorisasi atau perspektif tertentu. Pendefinisian ini tentu saja menyebabkan realitas yang hadir bisa berubah secara total. �Realitas� yang sama dapat menciptakan �realitas� yang berbeda kalau ia didefinisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda.
95
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Tabel 3 Metafora atas Tokoh Jawa Pos • • • • • • • • •
Mata rantai jaringan teroris, Generasi terakhir asal Indonesia yang sempat merasakan pendidikan militer di Afghanistan, Jaringan penebar terror di Nusantara, Doni, kaki tangan Abu Dujana, Abu Dujana, tangan kanan gembong teroris Noordin M Top, Baiat dilakukan Noordin terhadap calon “pengantin” atau eksekutor yang siap melakukan bom bunuh diri, JI ternyata tak pernah lumpuh, Yusron, tangan kanan teroris Abu Dujana, Organisasi JI yang didirikan Abdullah Sungkar itu akan layu dan mati
Surya Bakul gan
Kompas
Goren- Kabur,
Polri benar- Tewas tertembenar menjadi bak, bintang, Licin bagai be- B u r o n a n lut pelaku bom JW Marriot 3003
Dari temuan penggunaan metafora atas tokoh itu terlihat bagimana teks digunakan suatu kelompok dalam hal ini aparat keamanan sebagai narasumber untuk mengunggulkan diri sendiri dan memarginalkan kelompok lain, dalam hal ini para tersangka teroris. Dalam hal ini Jawa Pos terlihat ”sangat kreatif” dalam memproduksi metafora atas tokoh pemberitaan. Menarik untuk didiskusikan, apakah seseorang, kelompok, atau suatu gagasan, dalam hal ini para tersangka teroris atau pelaku terorisme atau gagasan teror, ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah semuanya diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Menilik temuan dalam tabel 3, tampak sekali penggambaran yang tampil adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarginalkan seseorang atau kelompok tertentu. Di sini hanya citra yang buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari pemberitaan. Semuanya tampak seperti bisa dibaca dari teks yang digunakan Jawa Pos: Abu Dujana, tangan kanan gembong teroris Noordin M Top, Baiat dilakukan Noordin terhadap calon “pengantin” atau eksekutor yang siap melakukan bom bunuh diri, JI ternyata tak pernah lumpuh, Yusron, tangan kanan teroris Abu Dujana, organisasi JI yang didirikan Abdullah Sungkar itu akan layu dan mati.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
96
Atau seperti yang dipilih Surya: “bakul Gorengan”, Polri benar-benar menjadi bintang, dan Licin bagai belut. Dan teks yang digunakan Kompas: Kabur, Tewas tertembak, Buronan pelaku bom JW Marriot 3003. Representasi sekaligus misrepresentasi adalah peristiwa kebahasaan. Maka sungguh menarik untuk diteliti lebih jauh bagaimana ketiga suratkabar itu menampilkan para tersangka teroris dengan menciptakan metafora atas mereka. Penyebutan kata kabur, buronan seperti digunakan Kompas, sepintas seperti tak bermuatan apa-apa. Namun dengan mudah bisa dilihat betapa kata kabur dan buronan menyiratkan pesan bahwa pelakunya adalah orang buruk atau orang jahat. Hal yang sama bisa dilihat dari begitu banyaknya metafora atas tokoh seperti dilakukan Jawa Pos. Bisa disimak pesan apa yang ingin disampaikan Jawa Pos dengan sebutan-sebutan berikut ini: Abu Dujana, tangan kanan gembong teroris Noordin M Top, Baiat dilakukan Noordin terhadap calon “pengantin” atau eksekutor yang siap melakukan bom bunuh diri, JI ternyata tak pernah lumpuh, Yusron, tangan kanan teroris Abu Dujana, organisasi JI yang didirikan Abdullah Sungkar itu akan layu dan mati. Khusus untuk penggunaan metafora “bakul gorengan” yang muncul dalam berita Surya berjudul “Teroris Anak Bakul Gorengan”, dari satu sisi bisa dianggap wartawan telah merendahkan atau memandang rendah pekerjaan sebagai penjual goengan. Namun sebutan yang sama juga bisa mengirimkan pesan bernada sinisme, ternyata orang yang oleh polisi disangka sebagai teroris itu tak lebih dari anak penjual gorengan. Kesimpulan peneliti ini bertolak dari temuan bahwa berita itu mengambil sudut pandang kehidupan pribadi tersangka teroris. Foto yang melengkapi berita utama (headline) Surya edisi 21 Maret 2007 itu menunjukkan Amir Slamet, orangtua Inul (tersangka teroris) yang sedang berdiri sambil menunjukkan kue goregan dagangannya. Kemasan Berita Representasi atau misrepresentasi tentang bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan, bisa jadi merupakan penggambaran yang buruk dan cenderung memarginalkan seseorang atau kelompok tertentu. Representasi atau misrepresentasi bisa ditampilkan selain dengan kata, kalimat, aksentuasi, juga dengan kemasan berpa foto atau grafis. Atinya, dengan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan ditampilkan dalam pemberitaan terorisme kepada khalayak. Dalam mencermati bahasa yang digunakan wartawan dalam memberi takan isu terorisme, menarik juga untuk mengamatinya dari kalimat langsung
97
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
narasumber yang dikutip wartawan. Dalam jurnalistik dikenal sebagai kalimat kutipan. Biasanya berada di antara tanda kutip (”__”). Menariknya, beberapa pernyataan penting justru dikutip wartawan dari narasumber anonim. Sebuah sumber anonim dikutip Surya menyatakan: “Densus 88 sudah menyisir lokasi sejak Minggu (25/3) pukul 23.00 WIB. Sebelumnya mereka sudah koordinasi di Polresta Surabaya Selatan. Sekitar Pukul 02.00 WIB, Senin dini hari, anggota Densus menggerebek rumah Irul di Simogunung Baru Raya.” Juga pernyataan narasumber yang hanya disebut sebagai polisi menyatakan: …mengatakan bahwa Irul berada dalam kendali Abu Dujana, dan sering mengadakan kontak (par. 12). Polisi anonim lainnya dikutip menyatakan: “Mereka Pasti menyamar. Untuk mengidentifikasi mereka, kami hanya menggunakan feeling.” (par. 5). Sebuha narasumber tanpa identitas yang disebut dari Densus 88, dikutip pernyataannya: “Kami tidak berwenang bicara, tapi tanyakan langsung kepada pimpinan di Jakarta” (par. 9). Dan seorang narasumber yang disebut sebagai polisi dikutip pernyataannya: Holis adalah orang kepercayaan Almarhum Dr. Azahari. Pasca kematian Dr. Azahari, Holis bergabung dengan Noordin Moh Top yang kini masih dicari polisi. Holis juga ditengarai ikut terlibat aksi kerusuhan di Poso dan beberapa peledakan bom di Indonesia (par. 11). Lagi-lagi polisi yang disembunyikan identitasnya dikutip pernyataannya: “Kami tidak berwenang bicara, tapi tanyakan langsung kepada pimpinan di Jakarta.” “Ketika menjadi tangan kanan Azahari, Holis bagian mengirim bom yang sudah dirakit.” (par. 11) kata polisi yang tak disebut namanya. Tidak hanya polisi tanpa identitas, warga tanpa identitas juga dikutip. Di antaranya: “Menurut warga sekitar, keluarga Mustaqim (mertua Holis, tersangka teroris), dikenal jarang bergaul dengan warga sekitar. Saat ada rapat RT atau RW, perwakilan keluarga Mustakim jarang datang. Bahkan, keluarga Holis dan Mustakim jarang terlihat shalat berjama’ah di Mushalla yang jaraknya sekitar 15 meter dari rumah Mustaqim. (par. 6). Warga anonim lainnya dikutip pernyataannya: “Bukan hanya saya yang menganggap keluarga Mustaqim tertutup, hampir semua warga juga menilai sama.” (par. 7). Sebuah narasumber anonim yang disebut dari kalangan keluarga menyatakan dalam kalimat tak langsung: tidak percaya kalau kakak iparnya menjadi teroris. Selama ini dikenal kesantunannya dengan sesama keluarga dan sifat kebapakan terhadap anak-anak. (par. 14)
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
98
Pembahasan/Interpretasi/Tafsiran Hasil Analisis Melihat isi pernyataan narasumber-narasumber anonim seperti dikutip dari temuan itu, sesungguhnya wartawan telah melakukan tindakan berani dalam menghadapi risikonya. Pertama, sebagian atau keseluruhan pernyataan para narasumber cenderung memberikan kesaksian yang memberatkan posisi tersangka teroris. Sebagai contoh pernyataan polisi anonim yang dikutip menyatakan: “Ketika menjadi tangan kanan Azahari, Holis bagian mengirim bom yang sudah dirakit.” Juga pernyataan seorang warga yang samasekali tak diatribisikan bahkan sekadar umurnya. Seorang warga tanpa identitas menyatakan: “Menurut warga sekitar, keluarga Mustaqim (mertua Holis, tersangka teroris), dikenal jarang bergaul dengan warga sekitar. Saat ada rapat RT atau RW, perwakilan keluarga Mustakim jarang datang. Bahkan, keluarga Holis dan Mustakim jarang terlihat shalat berjama’ah di Mushalla yang jaraknya sekitar 15 meter dari rumah Mustaqim. Kedua, Kode Etik Jurnalistik dari Persatuan Wartawan Indonesia, pasal 13 menyatakan bahwa wartawan yang mengutip keterangan dari narasumber yang keberatan disebut identitasnya, berarti bersedia mengambil alih tanggung jawab atas segala konsekuensi yang muncul akibat dipublikasikannya pernyataan sumber anonim itu. Ketiga, sesunggunyalah berita –apalagi cuma berupa pernyataan— yang bersumber dari narasumber tanpa identitas memiliki nilai berita (news value) rendah. Keempat, wartawan memang diperbolehkan mengutip keterangan dar narasumber anonim. Bahkan untuk itu wartawan memiliki perlindungan yang bernama Hak Tolak. Artinya, wartawan dilindungi hukum untuk tidak bersedia membuka identitas narasumbernya. Sebab tanpa itu, tak akan ada lagi orang yang bersedia berbagi informasi kepada wartawan, khususnya bila itu memiliki risiko bagi sang informan. Kelima, bila karena pertimbangan demi kepentingan umum wartawan harus menerima kesepakatan untuk melindungi identitas narasumbernya, sesungguhnya hal itu hanya pantas dilakukan untuk informasi yang berupa fakta impirik berupa benda atau dokumen. Bukan berupa pernyataan berisi opini yang disebut fakta opini. Apalagi kalau itu berisi opini yang menyudutkan orang lain. Keenam, penggunaan narasumber anonim, sesungguhnya tanpa disadari dapat menurunkan kredibilitas wartawan dan selanjutnya kredibilitas me
99
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
dianya. Wartawan adalah profesi yang dilindungi untuk mewakili masyarakat menuntut hak tahunya. Profesi itu bahkan dilindungi undang-undang. Maka masyarakat akan kecewa jika informasi yang diterimanya dikutip dari sumber tanpa identitas. III.KESIMPULAN Setelah menelaah berita-berita tentang terorisme yang disajikan suratkabar Jawa Pos, Surya, dan Kompas yang terbit dalam kurun waktu Maret hingga Juni 2007, peneliti menyimpulkan: Dalam memberitakan isu-isu tentang terorisme ketiga suratkabar tersebut masih lebih banyak mengandalkan informasi dari sumber-sumber resmi negara, dalam hal ini Polri atau pihak militer. 1. Dalam memberitakan isu-isu tentang terorisme ketiga suratkabar tersebut tak terlihat berupaya menghubungi para tersangka teroris untuk melakukan konfirmasi atas tuduhan polisi. 2. Dalam memberitakan isu-isu tentang terorisme ketiga suratkabar tersebut suka menggunakan narasumber anonim. Seperti warga tanpa identitas, saksi mata tanpa identitas, bahkan polisi yang tak disebut namanya. 3. Dalam memberitakan isu-isu tentang terorisme ketiga suratkabar tersebut juga melakukan penghakiman terhadap orang-orang atau kelompok yang baru disangka sebagai teroris. 4. Dalam memberitakan isu-isu tentang terorisme ketiga suratkabar banyak sekali melakukan labeling terhadap orang yang disangka sebagai teroris. 5. Dalam memberitakan isu-isu tentang terorisme ketiga suratkabar sedikit sekali yang melakukan liputan mendalam atau liputan menyelidik. Sebagian besar dikemas berupa berita langsung ata straight news. 6. Ketidakpercayaan atau keraguan atau sikap skeptis sebagian masyarakat terhadap keberhasilan polisi membongkar apa yang disebut sebagai jaringan terorisme, antara lain dibangun oleh liputan media yang sepihak, tidak mendalam, dan sepotong-sepotong, meloncat-loncat dari satu topik ke topik lainnya. Setiap peristiwa seolah berdiri sendiri tak terkait dengan peristiwa lainnya. Bertolak dari berbagai temuan dalam penelitian ini, peneliti menyarankan: 1. Meskipun meliput isu perang melawan terorisme, posisi wartawan tetap harus independen agar bisa meliput secara berimbang dan adil. 2. Betapapun perang melawan terorisme adalah perang yang melibatkan dua belah pihak. Maka salah kalau wartawan menganggap hanya ada satu pihak yang layak didengarkan suaranya sementara pihak lainnya boleh diabaikan.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
100
1. Bukanlah tugas wartawan untuk ikut berperang melawan apa yang disebut terorisme. Karena itu wartawan tetap harus berada dalam posisinya sebagai mediator yang bersifat menjembatani lewat liputan yang dilakukannya. 2. Dalam meliput isu terorisme wartawan jangan menggunakan pendekatan aparat kepolisian adalah “si baik” yang sedang melawan “si jahat” para tersangka teroris hanya karena nara sumber resmi mengatakan itu. 3. Wartawan sudah seharusnya menyadari bahwa perang melawan terorisme haruslah tetap berada dalam koridor hukum dan hak asasi manusia. Dalam bingkai seperti itulah seharusnya wartawan melihat dan meliput isu terorisme. 4. Para awak media sebaiknya menyimak kembali seruan pertemuan Forum Masyarakat Asia-Eropa (ASEM) di Hanoi, Vietnam 8-9 Oktober 2004 lalu. Pertemuan itu menyerukan kepada pemerintahan negara anggota untuk menghapus peraturan yang menerapkan berbagai halangan bagi warga negara untuk mengekspresikan hak-hak dasarnya dengan dalih “perang melawan terorisme.” 5. Penelitian ini akan lebih lengkap bila juga bisa menjawab apakah berita tentang teroris hanya ditangani oleh wartawan beat yang berada di kepolisian dan instansi keamanan pada umumnya. 6. Bila jawaban atas pertanyaan di nomor 7 adalah “ya”, maka disarankan sebaiknya untuk liputan tentang teror juga dibuka kemungkinan diliput oleh wartawan di luar beat sehingga bisa didapatkan sudut pandang dan perspektif berbeda. DAFTAR PUSTAKA Chomsky, Noam. 2005. Kuasa Media. Terjemahan. Yogyakarta: Pinus. Departemen Komunikasi dan Informatika. 2006. Membangun Pers Nasional yang Bebas, Profesional dan Bermartabat. Jakarta: (Pengarang). Dewan Pers. 2006. Kompetensi Wartawan: Pedoman Peningkatan Profesional Wartawan dan Kinerja Pers. Jakarta: Sekretariat Dewan Pers. --. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jakarta: Sekretariat Dewan Pers. Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
101
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hamidi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Ida, Rachmah. 2006. Authoriphobia Media dan Paradoks Demokrasi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press. Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Kurnia, Septiawan Santana. 2003. Jurnalisme Investigasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Oetomo, Jakob. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. Potter, Deborah. 2006. Buku Pegangan Jurnalisme Independen. Amerika: Biro Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Jurnal Ilmiah Vol.2 No.2
102