7 minute read
PORSI SAKTI DALAM SUKSESI
luar kampus, untuk ikut dalam pesta demokrasi kampus. Tak tanggung-tanggung, angka 35% dari total pemilih diberikan sebagai hak prerogatif sang Menteri. Angka tersebut bak porsi sakti, yang dalam tanda kutip membuat siapa saja yang mendapatkannya akan berpeluang besar untuk duduk di kursi rektor”
Terhitung sejak Oktober 2010, ketika Menteri Pendidikan Nasional saat itu, Mohammad Nuh mengeluarkan peraturan baru terkait pemilihan rektor (pilrek) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebelumnya, diketahui bahwa pilrek PTN secara penuh dilakukan pemilihan oleh senat universitas. Aturan anyar yang dikeluarkan ini kemudian membagi porsi suara.
Advertisement
Sebanyak 65% suara dari total pemilih diberikan kepada senat universitas, sedangkan sisanya, 35% diberikan hak prerogatif kepada Menteri untuk turut memilih.
Sebelum memasuki tahapan
‘bagi-bagi porsi’ 65:35 tersebut, proses pemilihan rektor melalui tahapan yang cukup panjang. Tahapan tersebut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2017 tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Pemimpin
Perguruan Tinggi Negeri Pasal 5 ayat 1, disebutkan bahwa tahapan pengangkatan Pemimpin PTN terdiri atas empat tahapan.
Empat tahapan yang dimaksud yakni penjaringan bakal calon, penyaringan calon, pemilihan calon, serta penetapan dan pelantikan.
Ketua panitia pelaksana
Pemilihan Rektor Universitas
Lampung (Unila) tahun 2022 lalu, Prof. Abdurrahman menuturkan bahwa setelah senat membentuk panitia pilrek, pani- tia akan menjalankan proses penjaringan seluas-luasnya dan sesuai dengan ketetapan Kemendikbudristek serta internal universitas itu sendiri.
“Kalau penjaringannya kita kan ada kriteria-kriteria yang ditetapkan sebagai panitia dan itu juga berdasarkan aturan yang berlaku baik aturan yang ditetapkan oleh Kemendikbudristek maupun aturan lokal yang ada di Universitas (di senat),” tuturnya (21/1).
Sebelum memasuki tahap penyaringan, para kandidat bakal calon rektor diberi kesempatan menyampaikan visi, misi, serta program kerja pada rapat senat terbuka. Setelahnya, dilakukan penetapan 3 (tiga) calon rektor yang dilakukan pada rapat senat tertutup.
“Pemilihan melalui voting, oleh senat semua tidak ada yang lain, tidak ada unsur yang lain. Kalau yang penetapan calon rektor tiga orang itu menteri belum (masuk pada proses pemilihan),” katanya.
Puncak pemilihan rektor ada pada tahap ketiga. Pada tahap inilah yang memberikan hak kepada Menteri untuk ikut memilih nama yang akan menduduki posisi orang nomor satu di suatu perguruan tinggi.
Menghitung Jatah Menteri
Teknokra mencoba menghitung pembagian suara Menteri dan Senat dalam peraturan mengenai pilrek ini. Sebagai contoh, jika menilik di Universitas Lampung, jika saat ini memiliki 48 orang anggota senat. 48 anggota senat ini berhak memilih calon rektor pada tahap pemilihan calon rektor, dengan masing-masing individu memiliki satu hak suara. Artinya, suara dari 48 anggota senat senilai dengan 65% dari total pemilih.
Total pemilih yang dimaksud adalah penjumlahan 48 suara senat dengan nilai suara Menteri. Total pemilih ini kemudian menjadi faktor pengali untuk menghasilkan berapa jumlah hak suara Menteri. Total pemilih yang terhitung berkisar sebesar 73 suara. Dari perhitungan juga, diperoleh bahwa seorang Menteri memiliki suara berkisar senilai 25 orang suara senat.
Dasar Dibuatnya Aturan Dinilai Tak Jelas
Dosen Ilmu Pemerintahan, Budi Harjo mengatakan jika melihat dari sisi politik, peraturan ini dibuat untuk dapat mengendalikan dan mengatur perguruan tinggi, sebab perguruan tinggi dianggap sebagai subordinat dari pemerintah.
“Sebetulnya dari sisi pemerintah urgensinya tentu adalah bagaimana perguruan tinggi betul-betul menjadi bagian, ya subordinat dari pemerintah, karena bagian dari pemerintah sehingga kepentingan pemerintah tentu adalah bagaimana perguruan tinggi itu dalam tanda petik bisa dikendalikan, kemudian bisa diatur dan tunduk terhadap pemerintah terutama menteri pendidikan,” katanya (13/2).
Budi Harjo juga menambahkan bahwa tanpa adanya suara Menteri dalam pemilihan rektor ini pun, perguruan tinggi tetaplah bagian dari pemerintah, sehingga dalam kutip tetap dapat dikendalikan oleh pemerintah.
“Sesungguhnya kekhawatiran bahwa perguruan tinggi itu kemudian akan dalam tanda kutip tidak bisa dikendalikan, sebetulnya juga tidak mungkin terjadi, karena bagaimana pun perguruan tinggi negeri itu bagian dari pemerintahan atau dari negara yang bertugas untuk mencerdaskan kehidupan bang- sa,” tambahnya. Sedangkan Akademisi dari Fakultas Hukum, Muhtadi menilai peraturan mengenai pembagian hak suara kepada Menteri tak memiliki dasar yang jelas.
“Kita tidak pernah mengetahui dasar hukum pemikiran yang orisinil kenapa suara 35 persen itu (ada) dalam pemilihan rektor,” katanya (9/2).
Ia juga menyebutkan bahwa tidak ada alasan pasti kenapa dilakukan pembagian suara dalam pemilihan rektor. Menurutnya, adanya pembagian ini dilakukan sebagai salah satu bentuk eksistensi
“ subjektivitasnya,” tambahnya.
Ia menjelaskan pula jika memandang dari aspek hukum, suara dari Menteri tidak bersifat signifikan, sebab aturan tersebut tak mengatur kemana suara tersebut harus diberikan. Menurutnya, signifikan tidaknya suara ini dapat dinilai dari aspek politik yang terjadi di dalamnya.
“Karna aturan hukum itu tidak ada yang mengatakan 35 persen suara itu mau ke siapa. Jadi proses signifikan atau tidak signifikan itu tergantung pada proses politikal disitu,” katanya. Sedangkan menurut akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial
Sangat diperlukan kenyamanan kerja sama antara semua pimpinan, sehingga perlu ada semacam ikatan. Karena nanti koordinasinya dengan Menteri ya, maka Menteri mempunyai hak tetapi secara proporsional ” dari kementerian.
“Sampai hari ini kita baca informasi yang berkembang di berbagai macam pemerintahan alasan sesungguhnya tidak ditemukan. Ada banyak alasan yang diberikan oleh beberapa pihak kementerian juga, itu terkait misalnya adalah salah satu upaya untuk menunjukkan emang kampus itu bukan milik masyarakat, tapi milik negara,” katanya.
Kepada Siapa Suara Menteri
Diberikan
Lebih lanjut, Muhtadi juga menambahkan jika Menteri dapat memberikan suaranya kepada lebih dari satu calon rektor, yang mana artinya hak suara 35% tersebut dapat dibagikan sesuai subjektivitas Menteri memandang calon rektor.
“Kalau misalnya suara ini dibelah, tetap aja dari sisi hukum ya terserah menteri, mau bagi suaranya. Kalau aspek hukum suara 35 persen itu yang penting itu diserahkan kepada calon yang menurut menteri itu (baik) secara dan Ilmu Politik, Syarief Makhya, suara Menteri sudah tentu jatuh kepada satu nama calon rektor. Hal tersebut dikarenakan pihak Menteri tidak memiliki kriteria dan penilaian calon rektor yang terukur.
“Suara menteri itu harus diukur dengan parameter yang jelas dan terukur. Karena tidak ada kriteria yang terukur, maka suara menteri hanya diberikan pada satu calon saja yang sejalan dengan kepentingannya,” katanya (17/2).
Syarief Makhya menyebutkan pula kebijakan yang mengatur porsi Menteri untuk ikut memilih merupakan kebijakan politis yang sifatnya subjektif.
“Artinya penentuannya sangat subjektif. Akibatnya ukuran jadi rektor adalah karena memiliki akses politik, bisa melalui parpol, atau jaringan-jaringan misalnya melalui ormas (organisasi masyarakat), dan sebagainya. Calon rektor yang memiliki akses, berpotensi terpilih,” ujarnya.
Menjadi Modus Baru Penyelewengan
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni mengungkapkan aturan dalam pilrek ini alih-alih untuk mengimbangi suara internal dan mencegah terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pada kenyataannya malah menjadi modus baru untuk melakukan penyelewengan bagi calon rektor.
“Yang mana awalnya sebenarnya tujuannya untuk mengimbangi suara-suara di dalam. Semacam mencegah KKN ya supaya enggak semakin luas. Nyatanya beberapa kejadian sampai yang baru-baru ini kan, menjadi salah satu semacam modus baru, bahwa ternyata bisa dibilang semacam jual beli suara, jual beli voting, jual beli dukungan itu tidak hanya di internal kampus namun di kementerian eksternal juga,” ungkapnya (17/3).
Kemudian, Dewi menyebutkan beberapa temuan penyelewangan yang dapat terjadi atas peraturan yang mengatur pemilihan rektor ini.
“Kalau calon-calon rektor, dari temuan kami kebanyakan suap ya dan gratifikasi. Jadi, suara-suara dari kementerian bisa dibeli dengan menyuap dengan memberikan hal-hal yang menguntungkan di pihak kementerian,” katanya.
Sementara itu menurut Kepala Ombudsman RI Perwakilan Lampung, Nur Rakhman Yusuf, melalui mekanisme pemilihan rektor bagaimanapun indikasi penyelewengan tetap akan terjadi. Namun, pada skema yang diterapkan saat ini, menambah peluang untuk melakukan penyelewengan.
“Sebenarnya dengan mekanisme apapun akan ada penyelewengan, selama yang maju adalah orang yang kurang berintegritas. Peluang itu (suap) akan lebih besar dengan mekanisme yang ada (saat ini), itu bisa saja terjadi,” ujarnya (27/3).
Dilansir dari tulisan yang dimuat di kumparan.com berjudul “Aroma Suap Pemilihan Rektor Unpad” yang diunggah pada 15 April 2019 lalu, dalam bentuk infografis dipaparkan beberapa isu kasus dugaan suap untuk mendapatkan dukungan
Menteri dalam pilrek.
Buntut Panjang Hadirnya Pera turan pung Periode 1998-2007, Prof. Muhajir menyebutkan faktor 35 persen dari mencederai tidak lucu kan, kan kampus instruksi akademik bukan politik jadi suasana akademik ini jadi jaminan proses pembe lajarannya,” katanya. mengkhawatirkan akan tumbuh intrik-intrik pus ketika rektor terpilih bukan merupakan pilihan mayoritas di kalangan senat. kum, kemudian peraturan serupa ta Unila yang mengatur mengenai pemilihan dekan dan pemilihan ketua jurusan. Di da lamnya disebutkan bahwasanya suara senat fakultas se nilai dengan angka 65%, sedangkan sisanya 35% menja di hak suara rektor. terpilih atas kemau an rektor, itu mun gkin (ketua) juru san atas kemauan dekan (juga). Se hingga yang ter jadi penurunan kualitas demokrasi. Kondisinya tidak kondusif dan akh irnya jadi saling curiga,” ujarnya.
Terlebih lagi, pembagian suara ini nantinya akan membuat sua sana di kampus menjadi suasana politik.
Peraturan turunan ini nantinya ditakutkan akan menjadi pelu ang baru untuk melakukan sistem nepotisme dalam pemili han dekan dan ketua jurusan.
Saran Skema Pemilihan
Saat pertama kali dikeluarkan pada 2010, peraturan ini langsung mendapatkan protes dari beberapa akademisi asal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Di- rektor sebelum aturan ini dikeluarkan, dirinya menilai bahwa aturan tersebut masih terus digunakan karena kurangnya dukungan untuk menolak. Menurutnya, selama ini yang bersuara untuk mencabut peraturan tersebut hanya dari kalangan dosen ataupun guru besar, padahal akan lebih baik jika forum rektor ikut untuk menolak.
“Tidak didukung oleh forum rektor dalam memajukan rektor, seharusnya yang mengusulkan itu forum rektor, kalau individu dosen, susah. (Tidak ikut menolak) karena mereka penikmat, mereka sudah menikmati yang 35% itu,” katanya.
Menurutnya, perguruan tinggi merupakan benteng terakhir dari nilai-nilai demokrasi. Oleh sebab itu, proses demokrasi di kampus tidak bisa diintervensi. Prof. Muhajir kemudian memberikan dua saran skema pemilihan yang bisa diterapkan.
“Saran kembali ke pemilihan seperti dulu. Aturan yang 35 menyarankan bahwa isu dan permasalahan mengenai mahasiswa harus menjadi sorotan yang perlu dibedah para calon rektor.
“Mahasiswa itu (perlu) dikasih kesempatan untuk berbicara, mengkritisi, memberi masukan. Kalaupun tidak memilih karena belum Peguruan Tinggi Negeri
Badan Hukum (PTNBH), tapi kalau soal suaranya (tetap) diperhatikan, dia bisa memberikan masukan-masukan apa programnya ke depan,” ujarnya.
Tanggapan Sang Pembuat Kebijakan
Teknokra berusaha untuk dapat mewawancarai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, juga Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Namun, pihaknya mengarahkan dan hanya memberikan akses Teknokra untuk mewawancarai Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan. Sri Gunani, berada di ruangannya ketika diwawancarai dilanjutkan.
“Sebenarnya sekarang ini kan sudah lalu ya, artinya meneruskan yang lalu, tapi kan selalu di-review pada saat pergantian Menteri, me-review beberapa peraturan yang terkait. Kemudian kalau memang diperlukan, dilakukan penyesuaian apakah berbeda sekali atau melanjutkan,” katanya.
Ketika ditanyakan perihal proses optimasi dan hal-hal yang dipertimbangkan hingga diperoleh angka perbandingan 35:65 dalam pemilhan rektor, Sri Gunani mengaku kurang mengetahui hal tersebut. Meski begitu, menurutnya proses pembentukan suatu peraturan tentu melalui proses dan pertimbangan yang matang.
“Saya mohon maaf, saya belum menanyakan hal itu. Tapi kalau secara pribadi, setiap mengambil keputusan itu harus ada reasoning -nya, ketemu angka itu harus ada caranya. Dan saya yakin itu ada sebuah proses,” pungkasnya =