


Kalimat tersebut seringkali digaungkan dalam ranah-ranah sosial maupun akademis. Namun, sebetulnya, apa yang dimaksud dengan patriarki? Walby (1990) menerjemahkan patriarki sebagai suatu kerangka struktur sosial diikuti dengan praktik ketika pria menguasai, menindas, dan memanfaatkan perempuan untuk kepentingannya sendiri. Literatur lain oleh Lerner (1989) mengutarakan bahwa patriarki dalam makna yang lebih luas merujuk pada pelaksanaan dan institusionalisasi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan anak-anak dalam dalam masyarakat.
Lebih spesifik, Pitcher and Whelehan (2004) mendefinisikan patriarki sebagai sistem sosial yang menempatkan maskulinitas tertentu mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi kelompok yang kurang maskulin melalui produksi rumah tangga, pekerjaan, negara, kekerasan (laki-laki), seksualitas, dan budaya. Dengan demikian, patriarki terjadi ketika standar maskulinitas tertentu dianggap lebih superior, lebih “pantas”, dan lebih-lebih lainnya daripada sifat lain Misalnya, sistem yang patriarkis mengglorifikasi laki-laki dengan perawakan yang berotot dan kuat, bersifat keras, tidak suka menangis, dan seterusnya. Konsekuensinya, komunitas yang di luar karakterisasi tersebut dianggap kurang memenuhi ekspektasi masyarakat dan lantas dicela dan dieksklusi. Dalam kehidupan sosial, sistem patriarki ini beroperasi dan direproduksi melalui lembaga-lembaga seperti institusi pendidikan, agama, adat istiadat, dan keluarga, masing-masingnya mengokohkan serta memperkuat posisi maskulinitas tertentu.
We teach girls to shrink themselves, to make themselves smaller. We say to girls, you can have ambition, but not too much. You should aim to be successful, but not too successful. Otherwise, you would threaten the man. Because I am female, I am expected to aspire to marriage. I am expected to make my life choices always keeping in mind that marriage is the most important. Now marriage can be a source of joy and love and mutual support but why do we teach girls to aspire to marriage and we don’t teach boys the same? We raise girls to see each other as competitors not for jobs or accomplishments, which I think can be a good thing, but for the attention of men. We teach girls that they cannot be sexual beings in the way that boys are.
Struktur yang patriarkis merupakan sistem yang kompleks. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa sistem tersebut tidak bisa dicurangi. Sebaliknya, Kandiyoti (1988) memperkenalkan istilah “patriarchal bargain” yang merujuk pada upaya redefinisi dan renegosiasi relasi gender yang timpang melalui upaya strategis perempuan untuk melawan subordinasi oleh sistem yang patriarkis. hooks (2000) juga menggarisbawahi pentingnya upaya perempuan untuk merebut kembali ruang-ruang agensi untuk bergerak dan berekspresi. Usaha besar tersebut selanjutnya juga terefleksi dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Sumberkencono, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kajian singkat ini berupaya menjabarkan bentuk-bentuk partisipasi perempuan dalam komunitas yang dapat menjadi potensi untuk transformasi dari sistem yang patriarkis.
Riset ini dirancang dan dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, spesifiknya observasi partisipatif dikombinasikan dengan
wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat perempuan. Observasi partisipatif menawarkan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami
kehidupan “sehari-hari” dengan cara yang ikut serta dalam aktivitas yang langsung terkait dengan subjek penelitian (McLees, 2013). Keterlibatan secara langsung
dalam aktivitas, ritual, dan interaksi masyarakat menjadi medium bagi peneliti untuk ikut merasakan dan membawa peneliti lebih dekat pada situasi-situasi masyarakat yang tidak difabrikasi (Bailliard, Aldrich, & Dickie, 2013; Dewalt & Dewalt, 2010); yang lantas menajamkan pemahaman atas pandangan dari subjek penelitian.
Observasi partisipatif juga memungkinkan peneliti untuk menjadi peserta aktif dalam pertukaran komunikasi, sehingga peneliti turut serta dalam hampir semua aktivitas yang dilakukan orang lain sebagai cara untuk memahami aturan budaya, perilaku, dan norma, serta merasakan pengaruh kontekstual atas peristiwa yang diikuti (Dewalt & Dewalt, 2010). Dalam riset ini, peneliti mengidentifikasi empat bentuk partisipasi perempuan dalam komunitas sosial di Desa Sumberkencono, yakni himpunan dalam kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), keterlibatan politis melalui keterwakilan perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD), kader desa dalam jejaring Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan institusi independen berbasis religi di bawah organisasi Fatayat yang dibawahi oleh Nahdlatul Ulama (NU). Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer, yang didapatkan melalui keikutsertaan dalam acara-acara yang diadakan oleh keempat komunitas atau organisasi tersebut.
Program Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) merupakan salah satu program keperempuanan yang prominen dalam dinamika perempuan di Desa Sumberkencono. Secara struktural, PKK adalah organisasi yang telah didukung oleh pemerintah desa.
Karenanya, acara-acara yang dilaksanakan juga cenderung melibatkan perangkat desa. Misalnya, perempuan yang terhimpun dalam PKK merupakan tonggak utama dalam acaraacara inovatif yang diikuti desa, salah satunya festival olahan masakan yang diadakan oleh pemerintah kabupaten. Tidak hanya itu, perempuan-perempuan anggota PKK juga terlibat dalam acara-acara pelatihan peningkatan kapabilitas perempuan. Selain itu, fokus utama dari organisasi PKK cenderung mengarah pada bagaimana perempuan dapat memberikan kontribusi dalam peran sebagai ibu dan istri, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga serta mendorong peran aktif mereka dalam keluarga dan masyarakat.
Serupa dengan PKK yang juga didukung oleh kekuatan struktural, keterwakilan perempuan dalam BPD awalnya diimplementasikan akibat legislasi pemerintah pusat mengenai pentingnya menyediakan kuota administratif terhadap perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Meskipun demikian, dalam realitasnya, integrasi perempuan dalam birokrasi tidak hanya diimplementasikan sebatas pemenuhan kuota semata. Sebaliknya, perempuan dilibatkan dalam berbagai bentuk upaya pengambilan keputusan yang tidak diskriminatif. Kolaborasi antara perempuan dengan laki-laki juga berjalan dengan baik. Tidak hanya itu, justru dalam BPD, norma patriarkis di mana terdapat asosiasi gender dengan suatu pekerjaan—misalnya bagian konstruksi merupakan bagian laki-laki—berhasil dipatahkan secara perlahan. Dalam kepengurusan BPD, justru perempuan merupakan koordinator dalam bidang bangunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara gradual, perempuan Desa Sumberkencono mencoba untuk membobol sistem yang patriarkis,
Berbeda dengan PKK dan BPD yang telah didukung dengan aturan struktural, kader Posyandu tidak terlibat secara struktural dengan pemerintahan desa. Meskipun demikian, kader Posyandu seringkali juga berkolaborasi dengan pemerintah desa dan dua institusi perempuan tersebut.
Cara kerja kader Posyandu cenderung lebih turun ke bawah dan menyasar masyarakat, mengingat kegiatan-kegiatannya yang berputar pada aktivitas yang bertemu dan berinteraksi langsung dengan warga. Misalnya, melalui Posyandu bergilir dan pintu ke pintu. Misalnya, melalui Posyandu bergilir dan pintu ke pintu. Kontribusi tersebut tentunya patut untuk diapresiasi, mengingat artinya perempuan diberi agensi untuk bisa bergerak dalam ranah sosial masyarakat. Meskipun demikian, partisipasi kader Posyandu juga cenderung terbatas; dengan hanya berkutat pada pemberdayaan perempuan dan anak-anak—yang mengindikasikan keterkaitan erat antara dua subjek tersebut. Dalam kegiatan sosial masyarakat yang melibatkan perempuan dan anak-anak pun, partisipasi laki-laki sebagai kader Posyandu tidak dapat diidentifikasi. Dengan demikian, keberadaan kader perempuan dapat dimaknai sebagai upaya perempuan terlibat dalam masyarakat, tetapi juga masih patriarkis yang prevalen.
Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi wanita Islam terbesar yang mendorong agenda pemberdayaan perempuan di Indonesia. Anggotanya utamanya merupakan kaum wanita muda yang berada di teritori ranting NU tertentu.
Adisti (2021) menggarisbawahi dualitas yang dimiliki oleh organisasi tersebut, yakni bahwa Fatayat masih memegang teguh tradisi komunitas desa yang erat dengan kultur patriarkis, tetapi di sisi lain, ia juga menunjukkan komitmen untuk mengadopsi pandangan modern tentang pemberdayaan perempuan dewasa ini. Hal tersebut terefleksi pula dalam kegiatan Fatayat di Desa Sumberkencono, yang cenderung masih terbatas pada upaya penyantunan anak yatim, pengajaran terhadap anak-anak, serta kajian religi oleh perempuan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan, dinamika pemberdayaan perempuan di Desa Sumberkencono mencerminkan usaha-usaha dalam melawan norma patriarkis serta menghadirkan perubahan sosial yang terbilang progresif Akan tetapi, tendensi sosial seperti asosiasi perempuan dengan bidang kemasyarakatan tertentu serta partisipasi laki-laki dalam peran kemasyarakatan yang sama masih sulit ditemukan menunjukkan bahwa masih terdapat hambatan dalam upaya perwujudan kesetaraan gender yang proporsional. Meskipun demikian, tak dapat dimungkiri bahwa keberadaan organisasi perempuan yang aktif dan terus berjalan telah mengindikasikan langkah positif menuju kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam lingkungan desa yang semakin inklusif. Kerangka tersebutlah yang selanjutnya perlu terus untuk dikembangkan, dirawat, dan dijaga; agar bisa terus bertumbuh dan berevolusi—yang nantinya akan menjadi bekal melawan sistem secara bertahap namun pasti.
Adichie, C. N. (2014). We should all be feminists. Fourth Estate. Adisti, A. R. (2021). Reviving the Spirit of Gender Equality: Fatayat Nahdlatul Ulama between Idealism and Realization. Journal of Nahdlatul Ulama Studies, 2(1), Article 1.
https://doi.org/10.35672/jnus.v2i1.17-33
hooks, b. (2000). Feminism is for Everybody: Passionate Politics. Pluto Press.
Kandiyoti, D. (1988). Bargaining with Patriarchy. Gender & Society, 2(3), 274–290.
https://doi.org/10.1177/089124388002003004
Lerner, G. (1993). The Creation of Feminist Consciousness: From the Middle Ages to Eighteen-seventy (First Edition). Oxford University Press.
McLees, L. (2013). A Postcolonial Approach to Urban Studies: Interviews, Mental Maps, and Photo Voices on the Urban Farms of Dar es Salaam, Tanzania. The Professional Geographer, 65(2), 283–295. https://doi.org/10.1080/00330124.2012.679449
DeWalt, K., & DeWalt, B. R. (2010). Participant Observation: A Guide for Fieldworkers. Rowman Altamira.
Pilcher, J., & Whelehan, I. (2017). Key concepts in gender studies (2nd ed.). SAGE Publications Ltd.
Walby, S. (1989). Theorising Patriarchy. Sociology, 23(2), 213–234.