TUCZINE Issue #7 - July 2012
LAST OF THE SANE
GAMBAR BESAR
MESIN TEMPUR
BANDUNG BERISIK MMXII
BASA-BASI REDAKSI
a
lhamdulillah, akhirnya pada awal ramadhan ini Tuczine isu #7 dengan kurang gairah berhasil dirilis juga, mungkin bisa menjadi teman di sela-sela berburu pahala kita? Ini lebih susah payah dan molor sekali dari yang seharusnya terbit berkala seperti halnya media reguler lainnya. Tapi hey, Tuczine kan bukan media? Ini hanya bukti keras kepala dan bebalnya kami saja, see? Kita hidup di tengah kenyataan bahwa hubungan individu diretas oleh dunia maya yang hampa, hubungan sosial menjadi sesuatu yang abstrak, arti sahabat dan pertemanan telah terjebak dengan penokohan fiktif layar kaca yang dengan gampang bisa memproduksi dan mereproduksi realitasnya sendiri, dan bukan tidak mung-
kin hubungan sosial kita lambat laun akan tersubversi ke arah sana. Tuczine sekali lagi hidup dan semoga bisa berperan sebagai kitab devosi tokoh-tokoh dualitas dan para persona di TUC dan mungkin juga diaspora di luar TUC, yang secara nyata dijadikan wadah relasi bersama melalui pesawat literasi, sekaligus berperan juga sebagai buluh perindu untuk kolega yang terpisah jarak, yang terus berharap majalah digital sekenanya ini akan terus terbit sampai hari kiamat. Isu Tuczine kali ini sedikit lebih padat, sekaligus lebih masif mengaduk-aduk emosi, membebani pikiran dan merusak pola hidup teratur kami untuk beberapa waktu. Tapi tidak masalah, karena kami selalu mengalami rejuvenasi setiap kali satu edisi zine ini kelar. Kami selalu berterima kasih kepada kolega-ko-
lega yang telah membantu dengan energi kreatif mereka: artikel, foto, wawancara, doa, cairan ludah dan janji palsu. Terima kasih, salut dan selamat datang! Juga, terima kasih banyak kepada kalian yang telah mengintegasikan sel-sel radikal dan apatisnya bersama kami, walau sebagai kelas pekerja, semua dari kita memang tereduksi untuk menjual waktu, tenaga dan pikiran demi bertahan hidup. Sekali lagi, terima kasih dan mohon maaf untuk segala kekurangan, selamat beribadah, dan selamat ber-rock n’ roll bersama perangkat ibadah kalian. Terakhir, seperti biasa, jangan menunggu edisi berikutnya, karena ini selalu bisa menjadi yang terakhir.
.
GAMBAR BESAR / BASA-BASI REDAKSI / CONTENTS / WELCOME TO OUR CROWD MUSIC TIMELINE IN TUC / THE TIMELINE, THE GENERATIONS, WHATEVER / WHAT HAPPENED IN OUR TIME ISSUE MENULIS MASA DEPAN BERSAMA DJP INTERVIEW MUSTAFID AMNA / DHANI BLUES / GILANG NUGRAHA EVENT PAREPARE BERGERAK #2 OUR MUSIC AVANTGARDE: MUSIK DI LUAR KOTAK CHICK HANA NURAINI / RUSNANI ANWAR BAND BERBAHAYA OLLIE OVER / HEAT SEEKER ROCKETS UP CLOSE GALIH WIBOWO NUSANTO / MUH. FAHMI SCENE REPORT PALU NOISE TERRITORY PENADAH LUDAH TUPAC SHAKUR: LEGACY OF A THUG / BANDUNG BERISIK, JAVA ROCKIN’ LAND DAN ROCK IN SOLO: SEBUAH PERBANDINGAN UNTUK MENCARI FORMULA METAL FEST IDEAL DI INDONESIA / PROMOTOR MUSIK, BISNIS YANG MENGGIURKAN? / BURNING BRIDGES / DEADICATION / KLASIK / KENAPA ART ROCK? / MCA: REST IN PEACE / RADIO SHOW: HISTERIA KELAS MENENGAH MENADAH LUDAH JANGAN AJARI ANAK-ANAK ITU MENIPU POINT OF VIEW BRAND ROKOK DI KONSER MUSIK / AKAN SELALU JADI DILEMA MY LIST SHOCK ME! 10 GRUP DAN MUSISI YANG SEMPAT MEMBUAT SAYA TERPERANJAT / 30 HOTTEST ROCK STAR’S DAUGHTERS / 6 LAGU YANG OTOMATIS MEMBAWA BENAK SAYA MENGEMBARA KE MANA-MANA KETIKA MENDENGARNYA INSIDE TUC MINI GATHERING DAN DUA ANGGOTA KELUARGA BARU SENTILAN DI KALA SENGGANG ASIMILASI NEGERI TANPA JATI DIRI GIG REPORT BANDUNG BERISIK MMXII / DARI SAMPIT KE BANDUNG BERISIK / MORRISSEY LIVE IN JAKARTA / ROCK IN CELEBES 2012 / HAMMERSONIC JAKARTA INTERNATIONAL METAL FESTIVAL / DREAM THEATER WORLD TOUR 2012 / BAD RELIGION AT BIG WAVE 2011 / MARKY RAMONES BLITZKRIEG AT ROCKVOLUTION 2011 / ED KOWALCZYK & THE CRANBERRIES AT JAVA ROCKIN’ LAND 2011 / BEN FOLDS LIVE & UP CLOSE REVIEW / MOVIE FILM PERANG MINIM PERANG BOOK BERKELIARANLAH DI MUKA BUMI DAN PERHATIKAN! MUSIC CLINIC GET THE SOUND: DISTORTION PART. 2 DISTORTION FROM THE EFFECT WTF ROCK N’ ROLL MILITARY GALERI BIG LONELY BEAR PHOTOGRAPHY FREE ROAM LIVE YOUR DREAM! / WHAT’S THIS LIFE FOR? / ANYER / LIFE BEGINS AT 40 H8’S NOTES CUM FEEL THE NOIZE HALAMAN BELAKANG
MUSIC TIMELINE IN TUC
WELCOME TO OUR CROWD
d
engan perjalanan waktu, orang-orang yang datang silih berganti, datang sebentar, atau menetap, bagaimanapun juga telah membawa bersama mereka selera mereka masing-masing. Bukan menghilangkan kemurnian, malah menambah warna dan pilihan di TUC. Awalnya, diisi dengan orang-orang yang memuja death, black, thrash, glam, classic dan nu metal, serta grindcore, punk dan hardcore, dan mengkultuskan ‘underground’, TUC kini diramaikan teman-teman yang membawa hal-hal yang selama ini bisa membuat kening berkerut demi mendengarnya sekedar diasosiasikan dengan term ‘underground’ tadi sebagai sebuah payung besar untuk musik-musik cadas: blues, elektronik, reggae dll. Keragaman selera musik ini sedikit banyak, meski tidak absolut, mungkin saja dipengaruhi oleh usia masing-masing anggota. Sebagai perkumpulan yang diisi berbagai macam latar belakang usia, TUC pada akhirnya menjadi tempat berkumpul dan bertukar pikiran berbagai macam ide, selera, dan attitude musik dari beberapa era yang telah berlalu. Ini juga menunjukkan bahwa di TUC, segala jenis usia bisa melambangkan, atau mewakili kejadian apa saja yang terjadi di jamannya, untuk kemudian didiskusikan bersama. Berbagi pengalaman. Selain itu, ini juga menunjukkan rentang usia para anggota yang ternyata bisa menyentuh angka puluhan tahun! Sementara beberapa orang sedang mulai menyukai Queen, beberapa lainnya malah baru akan lahir, haha. Bukan untuk menunjukkan kesenjangan, atau perasaan inferior. Menentukan selera musik seseorang berdasarkan usia, seperti disebut tadi, memang tidak absolut. Karena selera itu lintas usia, lintas generasi dan dinamis. Karena selera adalah masalah hati, bukan eksakta yang dilambangkan oleh angka-angka dari tahun kelahiran. Seorang anak muda yang lahir pada akhir 1980-an malah mempunyai selera musik yang ‘sangat orang tua’ dengan menjadikan blues sebagai pasangan
hidupnya. Di isu ini, kami coba mengangkat rentang usia teman-teman dan kemudian membaginya ke dalam generasi atau angkatan berdasarkan kriteria dan penamaan yang hanya Tuhan yang tahu sebabnya. Dari rentang usia yang panjang itu kami kemudian mengelompokkannya ke dalam empat generasi berdasarkan timeline dari apa yang terjadi saat itu. Meskipun ini kemudian sangat lemah dan bisa diperdebatkan karena hanya didasari oleh hasil penelusuran singkat dan tak mendalam kami, percayalah, kami sudah berusaha, hehe. Sekali lagi, ini hanyalah sebuah usaha untuk mengangkat keragaman di TUC, bukan untuk mengkotak-kotakkan, atau memancing kesenjangan. Usaha ini diharapkan mampu sedikit ‘memetakan’ keragaman selera musik teman-teman berdasarkan timeline, demi memancing diskusi lebih panjang nantinya. Sekaligus mencoba menelusuri hubungan antara selera temanteman yang sekarang dengan apa yang dialami dulu. Juga, untuk menegaskan bahwa di TUC itu musik adalah sebuah obyek, dan karenanya ia tidak merepresentasikan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Di sini, sebuah genre musik bukan lagi bagian dari propadanda derogatori. Dan yang paling penting, semoga bisa menyegarkan kembali ingatan ke tujuan awal TUC sebagai wadah berkumpulnya para penikmat musik di DJP, tempat bertemu teman-teman yang seide atau tidak seide, tempat bertukar pengalaman tentang jenis-jenis musik baru, tempat menggali pengetahuan akan musik-musik yang sudah lama tenggelam, tempat berdiskusi dan berbagi tentang musik, genre apa saja, dari jaman apa saja. Berbicara tentang musik adalah berbicara tentang manusia. Seperti halnya manusia, musik itu dinamis dan terus berkembang, menembus ruang dan sekat waktu. Begitu juga dengan Tax Underground Community dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
.
image taken from youritlist.com
WELCOME TO OUR CROWD
THE TIMELINE, THE GENERATIONS, WHATEVER POST-FLOWER GENERATION Birth Late 60’s – Early 70’s First Encounter Early – Late 80’s What Classic Rock, Progressive, Punk, NWOBHM, Blues, Glam Metal, Thrash Metal, Death Metal, Hard Rock, New Wave, etc Who Yahudi, Chresno Daroe Warsono, Andria Sonhedi, Anak Agung Ngurah Goya Yamadagni, Sapto Supriyanto, and others
1
Para senior dari era ini lahir di saat anak-anak muda dengan celana cut bray, baju warna-warni dan gaya hidup bohemian masih turun ke jalan, dalam kampanye damai dan anti-perang, dengan musik rock yang sedang di masa jayanya sebagai soundtrack, menandai satu generasi di dunia modern yang sangat mencolok dibanding generasi sebelum atau setelahnya: Generasi Bunga. Musik di awal 1980-an masih merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi di dekade sebelumnya. Musik heavy metal dan rock dengan semua percabangannya (blues rock, progressive, classic, psychedelic, art, garage, dan tentu saja, punk) masih terus berjaya. Ini ditambah dengan demam new wave yang mulai melanda. Jamannya mengagung-agungkan musik elektronik, dan juga dance music. Sementara itu, di ranah underground, beberapa genre musik ekstrim sedang mempersiapkan kelahirannya. Thrash metal muncul sebagai pelarian dari lambatnya NWOBHM yang muncul di akhir dekade sebelumnya, disusul death metal yang menjadikan thrash metal terasa kurang cadas, dan kemudian black metal, yang sedikit menaikkan dua genre sebelumnya ke level yang lebih ekstrim. Di New York, beberapa orang merasa Ramones dan The Sex Pistols kurang cepat dan terlalu bertele-tele, mereka kemudian memainkan musik punk yang lebih cepat dan bertenaga, menandai kelahiran hardcore. Pertengahan dan menjelang akhir 1980-an mengikuti naiknya musik pop dan kemunculan MTV beberapa tahun sebelumnya, musik hard rock dan heavy metal mengalami perkawinan silang dengan pop
dan fashion, memunculkan sebuah genre baru dengan musik yang lebih lembut tapi dengan dandanan yang glamor: glam metal. Band-band semisal Mötley Crüe, Bon Jovi, Ratt, Poison, Whitesnake, Cinderella, Aerosmith dan Guns N’ Roses menguasai jaman ini, setidaknya sampai akhir 1980-an. Di Indonesia, jaman ini adalah jamannya para rocker besar. Majalah musik masih bertiras tinggi, dan kaset pita adalah idola. Serbuan produk budaya popular dari luar semakin gencar. Sepertinya masih merupakan kelanjutan euforia kebebasan dari pelarangan segala produk barat (terutama musik rock) di dua dekade sebelumnya. Akhir 1980-an, seiring dengan mulai masuknya kaset luar, beberapa band cadas mulai terbentuk, dan kompetisi musik rock, di segala tingkatan, mulai marak. Om Rebel adalah salah satu di antara yang ikut kompetisi itu. Senior-senior dari generasi ini adalah yang paling kaya pengalaman. Mereka telah mengalami berbagai berbagai jenis atau trend musik yang muncul, bertahan atau malah kemudian tenggelam lagi. GENERATION X? Birth Late 70’s - Early 80’s First Encounter Early – Mid 90’s What Grunge, Alternative, Punk, Black Metal, Hard Rock, Hip Hop, etc Who Wiko Winanto, Raden Andriana, Derry Marselano, Saiful Annas Ghozali, Ardian Mustafa, Awang Darmawan, and others
2
Masa transisi. Di Amerika, meski Bush sempat menjajal Saddam, tidak ada lagi ancaman perang berarti, komunisme telah dikalahkan, Perang Dingin baru saja usai. Saatnya keluar dan bersenang-senang. MTV menjadi pengukur selera bermutu. Musik dari era sebelumnya: disko, dance pop, hip hop dan boyband, masih ada. Hard rock dan utamanya glam metal sedang menuju akhir, sebentar lagi mengalami serbuan hebat, dan hampir sepenuhnya tersapu. Awal 1990-an menandai lejitan
musik tanpa aturan nada yang jelas dengan lirik-lirik penuh kemarahan, yang kemudian disebut grunge. Tahun 1991, Nirvana dan Pearl Jam merilis “Nevermind” dan “Ten”, mungkin album terbaik mereka, yang di kemudian hari dijadikan milestone dari ledakan grunge di era itu. Bersama bandband asal Seattle lainnya, mereka mencuri perhatian media utama, dan sedikit banyak berpengaruh besar pada tenggelamnya glam metal. Ini beriringan dengan naiknya musik alternative, yang oleh media disebut demikian, karena mungkin tidak cukup kotor untuk disebut grunge. Di Skandinavia, sekumpulan anak muda dengan corpse paint di wajah juga mencuri perhatian, dalam konotasi negatif: kontroversi dan kecaman, dengan saling membunuh sesamanya dan membakar gereja berusia ratusan tahun, mengenalkan musik black metal ke seluruh dunia. Thrash metal yang mulai besar di dekade sebelumnya, beberapa tetap kencang, beberapa lagi mulai melemah, setidaknya itulah yang disematkan ke “The Black Album”-nya Metallica. Meski demikian, mereka tetap ditunggu, terbukti dengan konser Metallica dan Sepultura yang dibanjiri penonton dan berakhir rusuh. Dalam skala underground, death metal mulai populer ke mana-mana. Beberapa rilisan death metal, dalam bentuk kaset, mulai masuk ke Indonesia, yang dengan sendirinya ikut menandai lahirnya skena-skena underground lokal di beberapa kota. Disebut skena, karena kolektif-kolektif ini lebih terstruktur dari rocker-rocker era sebelumnya dengan gig-gig rutin, fanzine militan, dan semangat berkumpul yang kuat. Beberapa band-band cadas yang hari ini menjadi legenda terbentuk dalam kurun ini. Yang paling epik dari era ini tetaplah grunge, yang sayangnya (atau bagusnya?) tenggelam secepat mereka muncul. Awal 1990-an akhirnya menjadi sangat sempit untuk ledakan grunge yang segera saja dilanjutkan oleh kemunculan kembali punk lewat The Offspring, Green Day dan band-band California lainnya. Kegagalan Generasi X yang diikuti sukses “Smash” dan “Dookie” menjadi penanda akhir dari
image taken from youritlist.com
sebuah era dan awal dari era berikutnya. Teman-teman dari masa ini tentu paham akan hal itu. MILLENNIUM GENERATION Birth Mid 80’s First Encounter Mid 90’s – Early 2000’s What Nu Metal, Post-Grunge, Alternative, Pop Punk, Ska, Hardcore, Hip Hop, etc Who Arief Hidayat Adam, Abram Martin Preben Ihutan Hutauruk, Gigih Santra Wirawan, Koko Handoyo, Muhammad Fahmi, Maraha Sufitra, and others
3
Ada medio unik yang sempat terjadi, fenomena konyol saat para anak muda berbondongbondong membuat fans club dan secara prematur menjadi poseur. Era di mana double tape recorder adalah barang penting sebagai media berbagi lagu. Rilisan band-band langka sudah sangat lumrah direkam massal dengan cover yang difotokopi hitam putih seadanya, tampak sangat underground. Tidak jauh dari masa itu, sempat marak juga kaset rekaman sejenis namun memakai cover berwarna yang banyak diedarkan di lahan-lahan penjualan kaset bekas. Rilisan band-band dari Victory Records paling banyak ditemui, pertanda gejala hardcore kids mulai marak. Zine lokal mulai berulah menebar dogmanya, dengan tampilan yang masih tradisional tetapi memiliki racun tinggi. Punk lokal masih dalam idealisme tertingginya, tercatat beberapa kali aksi gabungan mahasiwa dan para punkers yang turun ke jalan. Grunge was dead, hanya beberapa band tua yang mencoba bertahan. Lalu munculah gelombang post-grunge dan alternative lewat Creed dan sejenisnya. Teman-teman dari era ini juga menjadi bagian dari semaraknya pop punk lewat Blink 182 dan Sum 41 (yang diawali The Offspring dan Green Day beberapa tahun sebelumnya), dan band-band skatepunk menjamur seiring dengan tumbuhnya minat bermain papan luncur. Yang paling epik dari era ini adalah munculnya genre hibrida bernama nu metal:
Korn, Linkin Park, Limp Bizkit, Slipknot, Papa Roach, Payable on Death, atau System of A Down yang mungkin saja diawali Rage Againts the Machine, Nine Inch Nails dan Ministry beberapa tahun sebelumnya. Dalam rentang ini juga sempat terjadi booming ska. Banyak digelar acaraacara ska, walaupun kemudian banyak band ska yang hilang secepat mereka muncul. Untuk musik bawah tanah, skena di berbagai daerah mulai ramai meski belum muncul sampai ke permukaan, benar-benar masih underground dengan etika do it yourself, dan para poseur yang masih bisa dikendalikan dengan gerakan were not a fashion victim. Musik underground di Indonesia sedikit banyak ikut terpublikasi dengan mulai rilisnya kompilasi “Metalik Klinik” pada tahun 1997. Teman-teman yang lahir pada pertengahan 80-an mengalami masa remajanya di era ini. Dan sedikit banyak ikut terpapar dan mungkin saja terpengaruh besar oleh musik yang sangat meraja jaman itu: nu metal dan pop punk. INTERNET GENERATION Birth Late 80’s First Encounter Late 90’s – Early 2000’s What Pop Punk, Metalcore, Emo, Screamo, Hip Hop, Electronic, all kind of music Who Muhammad Fadli, Moch Syaichudin, Dedy Fitriadi, Meirani Febrina, Angga Maxzi Jauhari, Esha Shedy Sf, and others
4
Era setelah pergantian millennium adalah era kekinian, dan internet (dan komputer) adalah yang paling dominan. Di era ini, hampir tidak ada satu genre musik yang benar-benar meledak dan mendominasi seperti di dekade-dekade sebelumnya. Yang ada hanya pengulangan, entah dibikin semakin rumit atau dibuat sederhana. Karena sebenarnya yang membuat suatu genre musik itu menjadi hype adalah media, dan dengan internet, semua punya medianya masing-masing. Begitu juga dengan musik underground, sudah
tidak ‘underground’ lagi kalau melihat dari publisitasnya. Semua bisa tahu black metal, di manapun, kapanpun. Inilah yang terjadi sekarang, di luar industri musik pop yang masih mendominasi media mainstream. Pada awal 2000-an beberapa band nu metal masih terasa sengatannya. Di periode ini juga muncul sedikit letupan di ranah underground bernama metalcore, yang oleh seorang antropolog kemudian disebut New Wave of American Heavy Metal, yang sebenarnya hanyalah pengulangan dan penentuan istilah baru dari apa yang pernah dimulai band semacam Breakdown dan lain-lain di akhir 80-an. Bersamaan dengan itu, muncul juga dua jenis baru tapi lama: emo dan post-hardcore. Lagi-lagi hanyalah pengulangan dari apa yang terjadi di dekade-dekade sebelumnya. Emo kemudian diterjemahkan dengan salah kaprah menjadi fashion dan musik penuh penderitaan oleh anak-anak muda. Internet dan segala produk digital yang menyertainya menyebabkan revolusi besar-besaran, dalam segala bidang, termasuk musik. Munculnya situs file sharing dan format musik digital (mp3, wav dst) membuat kaset tape dan vcd mulai kehilangan penggemar. Semua jenis musik mendapatkan ruangnya, dan karenanya, hampir semuanya bisa kita kenal. Dulu selera kita ditentukan radio, MTV dan majalah musik, sekarang kita bisa memilih sendiri. Dengan internet, publikasi jadi mudah, komunikasi terjalin, relasi jadi lebih luas, semua orang saling mengenal dan kita semua berbahagia. Beberapa teman yang mulai menyelami musik sejak era ini setidaknya harus bersyukur dengan kemudahan-kemudahan yang hanya bisa diimpikan di era-era sebelumnya.
.
WELCOME TO OUR CROWD
WHAT HAPPENED IN OUR TIME Kami meminta beberapa orang untuk menuliskan resume mereka. Meminta mereka mengenang dan menceritakan kembali apa yang mereka alami di jaman mereka, kapan pertama suka musik, kenapa, apa saja yang sempat mereka lakukan, pengaruhnya pada mereka saat ini, dan seterusnya, ya hal-hal seperti itu. Mari bernostalgia. image taken from youritlist.com
ANDRIA SONHEDI JOGJA, 1971
s
aya masuk smp tahun 1984, lulus 1987. Baru serius suka musik tahun 1985, dimulai dengan Queen. Suasana musik pertengahan tahun 1980-an di Indonesia adalah pop kreatif, sedang di luar sana aliran new wave dan musik elektronik yang mewabah. Bahkan Queen pun mau tak mau mulai memakai keyboard untuk lagu-lagu mereka, semacam lagu “Machine World” dan “Radio Gaga”. Ada majalah musik saat itu yang saya kenal tetap menyajikan artikel musik hard rock (istilah heavy metal masih digunakan pada masa itu), di samping tetap memuat musik-musik Madonna, Prince, Duran-Duran atau A-Ha. Nama majalahnya Vista, beredar di awal era 1980-an s.d. 1990-an sebelum aliran grunge marak. Artikelnya adalah terjemahan bebas dari Hit Parader, Metal Edge atau Circus dengan gambar-gambar menarik yang berasal dari hasil repro majalah-majalah tadi. Sebenarnya banyak grup yang dimuat di Vista
bakal menjadi grup fenomenal di masa selanjutnya, misalnya Motley Crue, Yngwie Malmsteen, Poison atau Europe. Belakangan, di akhir era 1980-an ada tabloid Citra Musik (nantinya jadi Citra) yang juga mengulas perkembangan musik baik di Indonesia maupun luar negeri. Kata Vista, rock saat itu banyak membawa pengaruh dari grup-grup lama, bukan yang sedang ngetop di luar negeri. Jadi, musik kita walau disuplai dengan banyak kaset-kaset barat murah dan beragam aliran baru, yang jadi kiblat masih Deep Purple, Led Zepellin, Genesis, Yes, Queen atau Rolling Stones. Tidak ada yang mengekor Scorpions, padahal musiknya melodius. Iron Maiden masih dianggap underground, apalagi cover-nya tergolong mengerikan untuk saat itu. Judas Priest masih dianggap macho karena baju berpaku mereka, meskipun ada lagu baladanya. Cover album-albumnya juga tampak gagah. Lagu “Final Countdown” dari Europe juga fenomena tersendiri. Intronya itu
yang langsung nyangkut. Tapi sayangnya tak diikuti gelombang grup-grup semacam itu. Pasar masih merespon musik untuk dansa dan lagu-lagu balada. Bon Jovi juga fenomenal. Walau orang lebih sering mendengar “Never Say Good Bye”, yang jelas “Slippery When Wet” termasuk laku keras. Tahun 1986 juga tahunnya Judas Priest dengan album “Turbo”. Queensrÿche juga sudah muncul dengan “Rage for Order”. Selain Europe, JP dan Bon Jovi, saat itu Van Halen juga muncul dengan “5150”-nya, sekaligus perkenalan Sammy Hagar sebagai pengganti David Lee Roth. Ada juga AC/DC dengan “Who Made Who”, Genesis dengan “Invisible Touch”, juga Queen dengan “A Kind of Magic”. Glam atau hair metal ada juga yang muncul: Poison dan Cinderella, walau saat itu mereka belum ngetop kecuali di tingkat underground saja. Sebenarnya di era 1980-an banyak aliran-aliran musik di luar sana yang berjubel ingin dikenal luas (Anda bisa lihat di Wikipedia untuk membuktikannya). Beberapa grup ingin mencoba mengeluarkan idealismenya, sayangnya tertutup oleh iklim musik di Indonesia yang saat itu dikendalikan beberapa gelintir orang di Glodok. Akhirnya musik pop manis lebih berkuasa sehingga gempuran rock dan hard rock hanya terasa pada event festival musik. Merekalah yang akhirnya harus menyesuaikan diri. Oh ya, tambahan, era 80-an akhir termasuk mulainya fenomena para gitaris shredder unjuk gigi, walau kemudian sempat tergusur sebentar oleh grunge dan alternative yang anti solo guitar. Mereka berasal dari gitaris hard rock dan glam metal era 1980-an yang merasa bahwa lagu-lagu instrumental gitar pun mampu bersaing dengan lagu-lagu bervokal.
.
RADEN ANDRIANA BANDUNG, 1978
k
arena masa kecil gw itu di tahun 1980-an, dan termasuk remaja di tahun 1990-an, gw kenal musik pertama ya dari radio, kaset dan juga kaset video. Pertama sih masih lagu anak-anak gitu (gw masih sempat mendengarkan Chicha Koeswoyo dan Adi Bing Slamet), lalu pas masuk smp baru deh lagu-lagu remaja (walaupun sebetulnya kaset pertama yang gw beli pas smp adalah “Step by Step” dari New Kids on the Block). Baru pas kelas 2 smp mulai nge-rock, apalagi jaman itu di Bandung ada radio GMR 104,4 FM yang khusus menyiarkan musik rock dan mulai ada juga MTV Asia (waktu itu masih disiarkan sama AnTeve. Gw paling sering nonton MTV Rock, MTV Alternative Nation, sama MTV Headbanger’s Ball). Kebetulan banget masa-masa gw sma itu pas lagi mulainya band-band indie di Bandung seperti Pas Band, Pure Saturday dan Puppen. Mungkin yang bikin gw pindah aliran dari boyband ke musik rock itu garagara ikutan pramuka di SMPN 2 Bandung. Jadi di pramuka smp gw itu biasa nyanyiin lagu-lagu The Beatles waktu api unggun. Jadilah gw mulai mendengarkan The Beatles, dan waktu itu juga tahun meninggalnya Freddie Mercury. Gw penasaran siapa itu Freddie Mercury dan mulai mendengarkan Queen. Karena tahu gw dengerin The Beatles dan Queen, ada om gw yang mengenalkan sama musik-musik tahun 1960-an dan classic rock. Dari situ gw mulai kenalan sama lagu-lagu Simon & Garfunkel, The Doors, Rolling Stones, Deep Purple, Led Zeppelin dan The Police. Sementara pergaulan di sekolah juga waktu itu lagi jamannya Guns N’ Roses, Metallica, Sepultura, serta mulai ada grunge/alternative rock dengan Nirvana, Pearl Jam dan Red Hot Chili Peppers. Tapi mungkin pengaruh terbesar itu pas sekolah di SMAN 1 Ujungberung. Apalagi kebetulan gw satu kelas sama Kimung dan almarhum Ivan Scumbag. Dari dua orang ini gw suka pinjam kaset, tahu band-band luar negeri dan nonton MTV bareng. Gw sendiri lupa sebetulnya lagu atau band apa yang pertama kali gw dengarkan, tapi ya itu, kaset pertama yang gw beli justru “Step by Step” tadi (tidak ngerock sama sekali ya?). Tapi yang gw ingat beberapa kaset rock pertama yang gw beli itu “Use Your Illusion I & II” (Guns N’ Roses), “Nevermind” (Nirvana), “Ten” (Pearl Jam)
sama “Blood Sugar Sex Magic” (Red Hot Chili Peppers). Sebetulnya gw bingung juga sih genre favorit gw apa. Sebagai orang yang besar di tahun 1990-an, segala genre musik sepanjang rentang itu enak didengarkan, tidak peduli genre apa (bahkan musik dangdut karya Rhoma Irama dan Pancaran Sinar Petromaks). Tapi kalau harus bilang sih, gw suka punk. Kenapa gw suka punk? Entahlah. Mungkin karena buat gw ini musik yang tidak rumit dan penuh semangat. Dulu sebetulnya kenal punk itu karena di MTV ada video klipnya Green Day dan The Offspring. Dulu juga kan lagi jaman grunge yang sedikit banyak terpengaruh punk juga. Nah, dari situ gw penasaran musik punk itu seperti apa. Mulai deh cari informasi dari majalah (maklum, dulu belum jaman internet). Kebetulan juga gw satu sma sama Kimung, dari dia juga akhirnya gw jadi tahu Sex Pistols, Ramones, Social Distortion, Dead Kennedys dan tentu saja Bad Religion (walaupun ini sebetulnya juga berawal dari gw lihat video “American Jesus” dan “21st Century Digital Boy” di MTV Alternative Nation). Damn you Kimung! Hahaha (bahkan dulu saya sempat dapat kaset “Public Image Limited” dari orang ini). Pengaruh musik punk buat gw? Banyak. Apalagi dulu pas sma. Sepertinya cool banget tampil beda di sekolah. Tapi gw tidak sampai pakai style rambut mohawk warna-warni ke sekolah. Di satu sisi pemberontak tapi di sisi lain gw tidak mau berurusan dengan otoritas sekolah. Yang gw ingat pas sma itu gw mengikuti skinhead, dengan rambut plontos dan sepatu boot, serta tentunya jauh lebih kurus dibanding sekarang. Gw yakin musik punk masih berpengaruh buat gw sampai sekarang, walaupun gw juga tidak berani menganggap diri gw sebagai anak punk. Gw cuma penikmat musik, tidak berani hidup menggembel tidak jelas di jalan. Gw juga suka heran sama ‘anak-anak punk’ yang ngamen di lampu merah tapi nyanyiin lagu Ungu. Cuma mau kelihatan seram saja? Yang pasti itu bikin image anak punk jadi buruk. Makanya gw lebih suka Bad Religion dan The Offspring, karena buat mereka anak punk tidak harus
gembel dan bisa memiliki pendidikan yang tinggi. Masa di kita tidak ada anak punk yang mengikuti Greg Graffin sih? Doktor begitu tapi nge-punk. Melihat perkembangan musik sekarang gw malah jadi sedih. MTV saja akhirnya hilang dari Indonesia. Kenapa sih sekarang semuanya harus seragam di semua media? Musik pop alay dan boyband serta girlband. Bukannya tidak suka musik pop, but fuck this: lagu-lagu baru cuma untuk jadi RBT dan kalaupun ada lagu dari penyanyi baru, kebanyakan malah recycle lagu-lagu lawas. Itu pun aransemennya jadi jelek. Malaslah lihat boyband bergaya Korea (malah kelihatan banci buat gw). Kalau girlband sih bisa dinikmati secara visual saja, karena seringkali rok mereka jauh lebih tinggi dari kualitas musik dan popularitas mereka. Saya sangat merindukan dunia musik kembali seperti di era 1990-an. Beruntung sekarang banyak band-band 1990-an yang bangkit lagi, walaupun kebanyakan cuma konser reuni (biasa, butuh duit). Yang gw suka di TUC: banyak genre musik. Makanya gw senang-senang saja ada di TUC, karena buat gw malah jadi asyik. Ada teman di classic rock, ada teman di punk, ada teman di metal, ada juga teman yang berasal dari planet lain. Satu hal yang bikin gw betah di TUC adalah tidak selalu soal musik. Ada yang senang film, baca buku, teori konspirasi, atau bahkan ada juga yang penggila sejarah dan teknologi militer. Semoga TUC juga tidak bosan sama gw.
.
WELCOME TO OUR CROWD
ARIEF HIDAYAT ADAM BANDUNG, 1984
J
aman smp saya ingat masuk Nirvana Fans Club atas ajakan teman walau saya tidak tahu Nirvana itu apa. Aduh saya alay yah? Kartu fans club-nya harus selalu saya sematkan di dada, ke mana saja! Suatu hari saya diundang untuk berkumpul bersama member lain. Saya masih ingat ketua fans club-nya itu bernama Bob. Di rumahnyalah secara bersejarah saya harus hapal minimal satu album Nirvana. Dari sana saya mulai bermusik dengan band grunge yang hanya manggung setahun sekali. Saat sma, beberapa senior ada yang aktif di scene. Beberapa di antaranya suka menjadi agen penjualan tiket Saparua. Musik di list saya kala itu kemudian berkembang, radio GMR jadi barometer dan ‘saluran rekam boombox’. Beberapa rilisan lokal dengan gampang bisa kita cari di tempat jualan kaset bekas di Jl. Dewi Sartika. Di tempat inilah saya nongkrong setiap malas ke sekolah. Rilisan menarik kala itu “Bandung Burning”, ada juga ep “Bakakak Hayam” (Noin Bullet), “This F System” (Turtles Jr.), “Freedom” (Jeruji), “Punk N’ Skin” (Runtah) dan rilisan-rilisan band lokal besar lainnya. Nah, yang menarik di masa ini adalah semua band dengan genre berbeda itu sedang bersemangat untuk berkreasi. Era Saparua itu benar era hebat bagi saya. Yang biasanya pada hari senin kita saling membanggakan stempel acara yang menempel pada bagian tubuh kita
sebagai bukti telah menjadi saksi dalam sebuah gig di hari sebelumnya. Yang paling seru dari semuanya itu pas acara apa ya lupa, tapi yang pasti Suckreligius yang manggung. Itu ada kejadian mistisnya, banyak orang kesurupan dan si vokalisnya sedikit melayang-melayang di udara! Jaman itu, Achi (vokalis hardcore berjilbab!) yang sekarang di Gugat, masih bergabung dengan Dinning Out. Dia kalau manggung selalu ditemani ibunya, yang juga berjilbab. Menjelang tahun 2000-an, semua ingin bereksplorasi mencari genre-genre baru. Muncul gelombang nu metal dari Limp Bizkit, Korn, One Minute Silence dll yang mempengaruhi juga kreatifitas band lokal. Banyak band-band cover nu metal bermunculan. Contohnya Virus, yang memainkan lagu-lagu Korn. Sekarang gitarisnya bergabung ke D’Bagindaz. Terus ada 711 yang meng-cover Limp Bizkit atau Ragajimesin dengan lagu-lagu Rage Against the Machine. Eksistensi DIY mulai berkembang pesat. Banyak industri rumahan dan individual, terutama dari skena punk yang membuat dan menjual sendiri produk-produknya: emblem, kaos dll. Dulu di belakang mall Bandung Indah Plasa ada satu etalase yang dipakai berjualan, dan menjadi cikal bakal dari Riotic Store sekarang. Sebagai seorang alay, dulu saya suka nongkrong di situ sama artis-artis lokal. Ada Kiming Dajjal (sekarang gitaris Powerpunk), Aldi Keparat dan Ichan Dislaw, yang terkenal playboy sama
cewek abg. Di lain kesempatan mereka juga membuat zine lokal, dan sering melakukan koordinasi dengan mahasiswa sebelum turun ke jalan. Mulai muncul juga embrio emo. Dulu dinamakan emotional hardcore. Ada beberapa band yang mengusung jenis ini. Salah satunya Way of Life. Mereka menyuguhkan hardcore yang digabung dengan puisi. Untuk ska, rajanya kala itu ada Noin Bullet dan Dirty Dolls. Band luarnya ada Mighty Mighty Bosstones, Save Ferris, Voodoo Glow Skulls, Kemuri dan Sublime. Kalau hardcore ada Burgerkill, Injected, Balcony, Authority (yang bubar saat The Expolited manggung di Bandung), Savor of Filth dll. Di punk dan skin ada Turtles Jr., Keparat, Jeruji, Runtah, Dislaw dll. Band luarnya ada The Exploited, Rancid dll. Metal dan grindcore lokal dulu tidak sebanyak sekarang deh, waktu itu ada Impiety, Extreme Decay (Malang) dll. Untuk grunge lokal ada Slum, Bangke Cobain, Plum, dan muncul sticker yang tulisannya “Budak Baong Made in Bandung - Bandung Grunge”. Beberapa rilisan yang cukup mempengaruhi saya waktu itu di antaranya “Punk-orama”, “Bandung Burning”, “Masaindahbangetsekalipisan”, “Full of Hate”, “Brutally Sickness” dll. Oh iya, tahun 2001 kalau tidak salah ada rilisan luar, “Alternative Fresh 1” yang gambar cover-nya jeruk. Kaya’nya orang-orang di era saya pada dengerin deh. Dari situlah saya mengenal any kind of pop music. Muncul juga majalah fenomenal Music Book Selection, yang jadi langganan para penghamba mesin fotokopi. Isinya berupa lirik dan chord lagu-lagu yang sedang hit di MTV. Kala itu juga sedang booming album “The Best”-nya Bob Marley. Menjadi riuh karena pada saat itu Slankers juga bermunculan di mana-mana. Kalau tidak salah, karena dulu mereka masih memakai drugs, jadi lagu-lagu Bob Marley tadi jadi pengantar wajib mereka ketika nyimeng. Oh iya, cimeng di jaman saya gampang sekali didapat. Mungkin karena itu orang-orangnya pada keatif ya? Haha. Tapi karir bermusik saya stagnan atau malah beridealis? Sejak smp itu saya hanya berkutat di grunge. Empat band saya total semua memainkan grunge. Tapi, mungkin karena hal itu jugalah yang akhirnya membuat saya bisa merasakan dan menjajal panggung Saparua. Di panggung itu, uh saya serasa artis, melebihi Cherry Belle. Pokoknya, bagi saya, jaman pertengahan 90-an sampai awal 2000-an itu masa indah banget sekali pisan. Apalagi saya pas ganteng-gantengnya waktu itu.
.
GIGIH SANTRA WIRAWAN SEMARANG, 1985
s
aya kenal musik sejak kecil. Memang dari anak-anak sudah mengenal berbagai jenis musik. Kebanyakan pengaruh dari orang tua yang suka musik Koes Plus, lagu-lagu lemori dan lain-lain. Mulai smp (1996) baru menemukan selera sendiri seperti (saya jujur) boyband, girlband, pop dan mulai memainkan alat musik. Baru setelah masuk sma (1999) mulai doyan menyanyikan lagu yang ‘agak keras’ mulai dari Padi, Red Hot Chili Peppers, Nirvana, Blink 182, The Offspring, Papa Roach lalu berlanjut sampai penemuan jati diri pada album “Slipknot” (2000). Saya tidak banyak mendengarkan lagu. Tapi, jika saya suka suatu lagu, langsung saya cari chord-nya dan saya mainkan bersama teman-teman. Beberapa lagu yang pernah kami mainkan di studio antara lain: “Seperti Kekasihku” (Padi), “Californication” dan “Otherside” (RHCP), “Smells Like Teen Spirit” (mungkin lagu yang paling banyak dimainkan anak-anak seperti kita), “The Man Who Sold the World”, “Polly” (Nirvana), “Aliens Exist”, “Adam Song”, “All the Small Things” (Blink 182), “Self Esteem”, “One Fine Day”, “Denial Revisited”, “Want You Bad” (The Offspring), “Last Resort”, “Between Angels and Insects” (Papa Roach), dan banyak lagu System of A Down, dan lain-lain. Sedangkan lagu-lagu di album “Slipknot” selalu jadi favorit saya sejak per-
tama kali mendengarkan tapi tidak pernah bisa memainkannya di studio. Genre favorit saya bisa dilihat dari band-band yang paling mempengaruhi karakter saya semasa muda: Slipknot, System of A Down, Superman Is Dead (meskipun sekarang tidak lagi suka), lalu belakangan juga suka dengan Avenged Sevenfold, Lamb of God, Sikth dan lain-lain. Lagu System of A Down yang pertama saya dengar, dan langsung menohok sehingga saya jatuh hati adalah “Chop Suey!”. Jadi genrenya agak susah disebut secara spesifik. Bahkan saya juga suka dengan lagu-lagu pelesetan. Saya sempat keluar dari band karena memainkan lagu punk padahal saya (waktu itu) menganggap diri saya seorang maggot yang genrenya adalah nu metal. Tapi saya juga pernah menganggap diri saya sebagai punker, dan sering potong rambut dengan gaya mohawk waktu masih muda. Musik sangat mempengaruhi karakter saya, lagu-lagu dari band-band tadi merubah sifat saya yang tadinya banyak bicara, suka menggoda wanita dan tidak punya malu menjadi lebih pendiam, kurang gaul tapi meledak-ledak di dalam, dan masih suka melirik wanita. Pernah di suatu ujian di sma, saya diberi nilai 0 oleh guru karena lembar ujiannya saya gambari lambang Slipknot, padahal mungkin bisa dapat 2 atau 3. Saya juga lebih banyak berpikir kenapa orang-orang suka dengan musik yang itu-itu
saja, gampang memainkannya dan liriknya berlebihan, padahal dulunya saya juga begitu. Dan pemikiran itu menjadikan saya merasa berbeda dan lebih suka sendiri. Karakter yang dipengaruhi musik underground saya anggap sebagai karakter yang benar, dan menganggap seharusnya manusia lebih banyak melakukan hal yang berguna dan tidak menjadi seorang yang berlebihan. Tapi, kemudian saya menemukan hal baru bahwa tidak semua anak underground berjiwa dan berkarakter ‘benar’ seperti anggapan saya, dan banyak orang benar tanpa harus menjadi underground. Bahkan saya juga sering malu dengan diri saya sendiri, dan berkata ke diri sendiri “masa sih Gigih yang terkenal sebagai anak underground melakukan hal seperti ini?”. Sekarang saya masih menganggap kalau ‘musik kita’ itu adalah musik yang hebat. Kita beruntung punya selera musik yang bagus. Kebanyakan musisi idola kita memang punya jiwa dan kepribadian yang saya kagumi. Saya juga berpikir kalau orang-orang seperti kita ini ‘lebih pintar’ dari orang lain yang terlalu mudah terhipnotis oleh lagu yang dipasang di radio dan televisi. Tentunya sampai sekarang saya masih terpengaruh dengan kejadian di masa muda, buktinya saya mendirikan TUC dan masih aktif sampai sekarang. Masalah perkembangan dunia musik, terus terang saya agak susah menilai. Saya bukan pengamat musik seperti rekan-rekan TUC. Beberapa musisi terkenal saya malah tidak kenal. Tapi jika dilihat dari masuknya bandband underground luar yang mengadakan gigs di Indonesia, saya rasa perkembangannya bagus. Saat pertama punya niat mendirikan komunitas musik di DJP, saya berpikir akan menemukan puluhan orang yang suka dengan Slipknot dan belasan yang suka dengan System of A Down, ternyata saya salah. Saya akhirnya sadar bahwa pengetahuan musik saya belum ada apa-apanya dibanding dengan luasnya dunia musik metal. Dengan berbagai kesukaan jenis aliran musik di TUC, pengetahuan saya bertambah, saya menjadi malu karena tadinya saya pikir saya anak paling underground. Sekarang saya merasa jiwa saya sudah banyak berubah, tapi saya yakin karakter underground akan selalu ada meskipun cuma sedikit. Saya masih punya keinginan yang besar untuk kembali ke studio setiap kali mendengarkan lagu-lagu, tapi kenyataannya sudah sangat sulit.
.
WELCOME TO OUR CROWD
FADLI MORON SIANTAR, 1986
I
nternet. Di jaman ini siapa yang tidak mengenal internet? Kalau dibilang saya mengenal musik lewat internet sebenarnya tidak juga, kalau disebut lebih intim, mungkin. Sebenarnya awal kenal musik yang sedikit nge-rock itu sewaktu saya masih pakai celana pendek warna biru. Jaman itu band seperti Jamrud dan Boomerang sangat booming. Waktu itu jamannya vcd bajakan. Masuk sma saya mulai mengenal band-band nu metal seperti Linkin Park dan Limp Bizkit. Tidak begitu lama, kawan saya akhirnya mengenalkan saya pada band punk rock asal Amerika, Green Day, masih lewat vcd Bajakan. Waktu itu saya berpikir punk itu yah Green Day. Dari situ kenal band-band sejenis, sebut saja Blink 182, Sum 41, yang lokal Netral dan kompilasi “Punk Klinik”. Bagi gw dan temen gw, band-band itu belum bisa mengalahkan Green Day. Akhir 2003, muncullah band dengan tipikal musik punk rock juga, asal Bali, yes Superman Is Dead. Waktu kuliah kawan sekost-an gw nawarin list mp3. Jadi dia bawa list lagu-lagu, kita order, dan lagulagu itu di-burning-in. Waktu itu harganya 10 ribu per cd-nya. Di situlah gw mulai kenal Ramones dan NOFX. Memang sih waktu itu warnet sudah banyak, tapi maaf, waktu itu belum terpikir buat download. Mulai browsing dan cari tahu nama band punk besar kaya’ Rancid, NOFX, Ramones, Sex Pistol, Social Distortion, Living End dll semenjak
DHANI BLUES UJUNG PANDANG, 1987 penempatan (2006). Mulai lihat video mereka di Youtube, terus beli cd bajakannya di Blok M bawah tanah, dan mulai download sejak kenal TUC. Waktu sebelum kenal TUC gw hanya lihat video Youtube aja, kadang dikonversi ke mp3. Dulu, tiap sabtu pagi gw ke warnet. Tiga jam di warnet biasanya bisa bawa pulang dua sampai tiga album, sambil browsing band mana yang mau dijadikan target download berikutnya. Biasanya gw browsing tentang band favorit gw. Misalnya waktu itu Superman Is Dead, nah gw cari, band itu influence-nya siapa saja. Dari situ terus berkembang mulai dari baca biografi, cari lagu hits-nya, sampai lihat diskografi dan berujung dengan searching link download albumnya. Biasanya gw cari album ‘the best’-nya atau album kompilasi lagu-lagu hits. Kalau cocok biasanya langsung download per album. Dari internet jugalah saya mengenal skena punk lokal, yang menurut gw lebih menarik daripada skena punk luar. Selain produk negeri sendiri, lagu punk lokal tidak perlu lama buat mencerna. Liriknya kebanyakan menggunakan Bahasa Indonesia yang dengan gampang bisa dipahami. Bunga Hitam, Marjinal, Sosial Sosial, Sabotage, Begundal, Begunal Lowokwaru, Sextoy, Rocket Rockers dan Konflik adalah beberapa dari band lokal yang waktu itu cukup mengalihkan perhatian dari band-band luar. Jadilah gw pengoleksi kaset pita band punk lokal yang gw beli di Blok M sebulan sekali. Memang waktu itu, sangat susah mencari rilisan band lokal yang berformat cd, terutama band-band street punk. Info tentang gigs juga mengalir deras di internet, tidak heran gw jadi bagian dari gig-gig kecil di kafe-kafe, gig street punk di jalan kampung, atau gig DIY punk terbesar di Indonesia: “Jakarta Bersatu”. Sebenarnya selain internet, ajang kumpul dan tali kasih sesama anggota TUC juga menambah wawasan dan koleksi musik gw. Sampai sekarang internet masih jadi ajang untuk menambah koleksi lagu. Saat ini, internet menjadi sarana untuk ekstensifikasi dan eksplorasi musik bagi gw yang mulai jenuh dengan musik punk. Sepertinya gw akan mulai merambah ke Korean Pop. Salam chibi-chibi.
.
G
w dilahirkan di era revolusioner musik glam metal dan hard rock di akhir 80-an dan dibesarkan di tengah euforia musik grunge di era 90-an. Sejak kecil mulai mendengarkan Nirvana, Bon Jovi, Def Leppard, Oasis hingga boyband seperti NKOTB, Bad and Breakfast hingga Boyzone dari koleksi kaset kedua kakak gw. Bapak sejak kecil membiasakan gw mendengarkan Deep Purple dan The Beatles, serta ibu sering memutar lagu Titiek Puspa dan lagulagu pop era 80-90-an. Karena itu kuping gw cukup banyak menerima referensi musik, dari era dan genre apapun. Waktu sma gw membaca sebuah koran lokal yang mengulas daftar “100 gitaris paling berpengaruh sepanjang masa” dan menemukan foto seorang negro bernama Jimi Hendrix, di peringkat #1. Karena kecewa kenapa guitar hero gw saat itu, Paul Gilbert, tidak ada dalam daftar, gw lalu nanya sama bapak: “siapa sih Jimi Hendrix?”, yang dijawab: “dia itu gitaris paling hebat, tidak ada yang bisa meniru”. Sebuah jawaban yang membuat gw terjerumus ke dunia musik psychedelic rock yang akhirnya mengenalkan gw sama blues, dan akhirnya gw ‘menikah’ sama blues di tahun 2003. Mulai dari black blues seperti BB King, Albert King, Muddy Waters, Buddy Guy, hingga white blues seperti Clapton, SRV dan John Mayer. Pertanyaannya, kenapa orang seperti gw yang berkiblat di Mississipi dan Austin, Texas bisa bergabung dengan penghuni-penghuni bawah tanah di TUC? Gw melihat underground bukanlah sebuah jenis musik. Seperti blues, underground adalah kata sifat. Underground adalah kebebasan, absolutely freedom, sama seperti yang gw pelajari pada blues. Makanya, gw merasa TUC adalah rumah bagi orangorang yang merasa benar di jalan ‘bawah tanah’, orang orang yang merasa tertekan oleh keseragaman dan kebusukan industrialisme. TUC adalah tempat di mana gw bisa menemukan orang-orang yang sevisi sama gw, walaupun selera musiknya berbeda jauh.
.
I PUTU RYAN DESSAPTASOMA DENPASAR, 1987
s
aya kenal musik dari kecil. Pernah dengar penyanyi cilik juga kan? Era saya ada Melissa dengan Si Komo, sekitar tahun 1992-1993 mungkin ya? Dulu inget punya kasetnya, favorit dan lumayan sering disetel dulu. Pokoknya masa kecil yang bahagialah, mendengar lagu yang memang khusus dari anak-anak dan untuk anak-anak. Sekitar tahun 1999-2000, MTV (waktu itu di ANTV) baru masuk siarannya di Bali, dan seperti yang kita tahu memang dulu isinya musik saja. Saya tahu musik musik luar negeri dari situ. Dengar Red Hot Chili Peppers, album “Californication”, langsung suka. Itu album rock pertama yang saya beli. Beli kaset harganya 20 ribu, jadi sudah bisa beli sendiri dari menyisihkan uang jajan. Berlanjut kala sma (sekitar tahun 2002-2003), teman-teman akrab saya lebih banyak denger lagu-lagu punk seperti Blink 182, Green Day dst. Waktu itu Superman Is Dead baru rilis album major label, dan lagu-lagu dari album “Kuta Rock City” sudah jadi semacam anthem masa sma. Saya entah kenapa merasa agak bosan dengar lagu-lagu mereka atau musik punk rock, dan semata ingin dengar musik ‘yang lain dari yang lain, yang teman-teman tidak pernah dengar”. Kemudian muncul album “Toxicity”, dari System of a Down, kala itu sudah jadi album paling ‘berisik’ yang
pernah saya dengar. Lalu Rage Against the Machine, album “Evil Empire”. Tapi semua masih dari koleksi kaset, jadi masih terbatas dari berapa banyak saya bisa menyisihkan uang jajan. Lalu saya kenal komputer dan format mp3, kebetulan kenal juga teman yang punya koleksi mp3 dan video musik ‘berisik’. Dari teman itu juga saya baru tahu yang namanya Slipknot, Korn, Marilyn Manson, Nightwish, Rammstein, Mudvayne, Cradle of Filth dsb. Lebih lanjut ketika akhirnya saya kenal internet sehingga dapat referensi yang lebih luas. Dari internet juga saya kenal genre musik. Jadi semua pengertian saya tentang genre itu sebenarnya dapat definisi dari internet. Baru kemudian coba download musik mereka sebagai sampel dari genre tertentu, jadi “oh, ini Metallica jadi ini yang namanya thrash, oh ini Helloween ini namanya power metal”. Agak kebalik dari penikmat musik keras umumnya kali ya, hehehe. Karena saya orangnya termasuk ‘biasa’ saja sih, tidak ada yang ‘keras’ atau ‘underground’ atau ‘rebellious’ dari saya kecuali mungkin musik yang saya dengar. Sampai sejauh ini favorit saya kebanyakan thrash dan doom metal, meskipun tidak menutup kuping sama genre lain. Kenapa thrash? Mungkin karena ketika kenal musik lewat internet yang pertama dicari referensinya adalah thrash metal. Paling gampanglah nyantol di telinga dari, katakanlah, death metal atau black metal misalnya. Dan musiknya tidak terlampau rumit, jadi lebih cepat dicerna. Untuk doom metal saya kenal paling akhir, dan termasuk genre yang paling susah saya definisikan (sempat salah kaprah bahwa hanya terbatas di lagu metal dengan tempo pelan). Dan ternyata genre ini termasuk paling variatif, oleh karena itu susah bosannya menggali referensi karena satu band dengan yang lain bisa jadi menawarkan musik yang sangat berbeda. Ada yang kesannya epik kaya’ Candlemass,
ada yang gloomy kaya’ Type O Negative, ada yang kesannya ‘mengawang-awang’ kaya’ Sleep, ada yang terkesan ‘weird’ kaya’ Cathedral, dsb. Pengaruh musik-musik tadi pada saya, menipu kesan orang mungkin ya, hehehe. Ada yang bilang muka saya muka dangdut cuma tidak cocok sama musiknya. Meskipun sebenarnya dalam hati saya tidak menolak untuk bergoyang mendengar dendang dangdut gandrung Banyuwangi. Kalau lain dari itu entah ya. Banyak yang bilang bisa mengambil filosofi dari lirik lagu yang mereka dengar. Untuk beberapa contoh seperti mencocok-cocokkan lirik lagu Korn dengan emosi remaja mungkin ada benarnya. Tapi dalam perkembangannya, lirik lagu sebagai filosofi hidup bisa berbahaya kalau liriknya berkutat tentang detail pembunuhan, kultus pemujaan setan dan ganja. Hmm, kalau masih dicari juga pengaruhnya, mungkin dengan tahu musik ‘underground’ lokal saya jadi sadar kalau sebenarnya musik di Indonesia banyak yang bagus dan tidak semua tunduk dengan apa yang sering diperdengarkan. Dan itu bikin saya tidak menyerah dengar musik. Melihat perkembangan dan perbedaan musik dari jaman dulu sampai sekarang seperti apa, saya tidak bisa komentar banyak karena saya tergolong penikmat musik yang masih baru. Banyak yang bilang musik jaman dulu lebih baik dari yang sekarang. Dari apa yang saya dengar memang musik, terutama musik populer jaman sekarang jarang ada yang terdengar berpotensi untuk menjadi legenda musik berikutnya, atau setidaknya punya lagu yang bisa dikenang untuk 10 atau 20 tahun ke depan. Tapi mungkin juga saya salah, hanya waktu yang bisa jawab itu nanti. Tentang majemuknya selera musik di TUC, wajar, justru itu bagus. Jadi ada variasi dan setiap orang bisa saling memberi referensi jika ingin menyelami selera musik yang lain. Dan memang saya lihat TUC kan tidak mematok harus suka genre ini genre itu. Saya awal dengar TUC juga salah kaprah, saya kira memang khusus untuk yang hobi dengar musik ‘underground’, dalam kenyataannya, saya lihat semangat atau jiwanya yang ‘underground’, sementara musiknya ‘menyesuaikan’, dan yang sesuai untuk tiap kepala kan beda-beda, tidak bisa diseragamkan.
.
WELCOME TO OUR CROWD
AJAR REDINDRA ISLAMI JOMBANG, 1988
s
ebagai bocah ingusan, pas jaman sd saya menelan selera musik orang-orang di sekitar. Semua saya dengarkan, tidak pilih-pilih, selama itu disetel saudara sepupu yang lebih gede atau muncul di tv. Mulai dari dangdut, lagu-lagu lokal, Malaysia, atau barat yang pastinya waktu itu saya tidak mengerti artinya. Agak gedean sedikit, mulai spesifik rasanya, saya terpikat sama Pesta Rap dan Iwa K. Bagi saya waktu itu; “whoah, ini nyayi kok nyerocos gitu ya, apa gak keselibet lidahnya? Tapi kok enak juga ya, tetep berirama”. Terus, waktu itu juga ada video klipnya Beastie Boys yang judulnya “Intergalactic” sering diputar di MTV (buat yang ingat video klip ini pasti tahu dong kenapa bocah ingusan bisa suka). Tapi sayangnya, karena memang masih bocah, saya tidak punya koleksi apa-apa dari jaman itu. Masuk smp, di mana saya mulai keluar dari zona nyaman keluarga, hidup tidak lagi sekedar main-main, dan status sosial mulai punya pengaruh ke pergaulan. Eminem lagi meledak-ledaknya di media dengan album “The Marshall Matters LP”-nya (waktu itu sih pinjam dari teman), dan karena sudah dapat pelajaran Bahasa
Inggris di sekolah, mulailah coba mengartikan lagu barat yang saya dengarkan. Dan sebagai remaja dengan berbagai masalah sosial (sudah badan kecil, tidak ganteng, bukan anak orang kaya dan prestasi akademis pas-pasan) rasanya waktu itu saya sangat membenci seluruh dunia, dan lirik-lirik lagu Eminem somehow, fit perfectly dengan otak saya saat itu. Seolah saya katakan pada diri saya sendiri; “kasar dan lugas, mulai dari hari ini hiphop adalah musik saya!”. Selain Eminem, waktu itu saya mendengarkan juga D12, Linkin Park, Limp Bizkit serta album kompilasi “Hiphop and Hard”. Beberapa teman mendengarkan Slipknot, yang buat saya meskipun tidak suka-suka amat, tetap masuk juga di kuping
saya. Dekade 2000-an awal, karena jaman sma uang jajan jumlahnya juga lebih besar, mulailah saya menabung buat beli kaset sendiri. Eminem tetep pahlawan saya jaman itu, tapi karena sudah mulai kenal internet, saya mulai browsing artis-artis lain dan referensi jadi makin luas (jaman ini sudah tidak mengandalkan MTV lagi seperti sebelumnya, soalnya sudah terlalu dominan pop culture-nya). Mulai dari artis-artis yang dekat dan muncul di lagu-lagunya Eminem semacam Dr. Dre, Snoop Dogg dan Cypress Hill. Saya justru jadi lebih suka hiphop klasik gangsta rap tahun ‘90-an dari artis-artis senior macam mereka daripada hiphop jaman itu, yang kita akui saja, makin hari makin berakulturisasi dengan musik pop semacam Black Eyed Peas, Usher dll. Di jaman saya sma juga ada video game GTA San Andreas, yang tentu saja sebagai seorang gamer dan penggemar gangsta rap sekaligus, adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata. Menjalani kehidupan gangster di daerah ghetto, menyetir mobil lowrider Chevy Impala, perang gang dan drive by. Saya bahkan merasa Carl Johnson adalah diri saya sebenarnya, dan Ajar Redindra Islami ini sekedar avatar di dunia yang ini. Well, okay, berlebihan, but I
just love this game! Hahaha. Seiring dengan makin mudahnya akses internet, referensi musik saya pun makin luas. Saya sudah tidak lagi terpaku pada Eminem, terlebih karena makin lama liriknya makin terasa lembek bagi saya. Perburuan saya terhadap gangsta rap pun rasanya sudah mentok, karena subgenre ini sudah dapat dibilang mati dan terkubur di tahun ’90-an. Hiphop mainstream pun makin mengecewakan, rapper-rapper makin banyak bergaul dengan pop star, sementara tema bling-bling dan hedonisme sudah berada dalam taraf memuakkan. Secara ajaib internet menunjukkan saya pada dunia hiphop underground, dan secara ironis akhirnya saya tahu siapa yang disebut Eminem sebagai “sepasang badut gay” dalam lagu-lagunya terdahulu: yup, saya mengenal Insane Clown Posse dan skena horrorcore. Mereka adalah musuh bebuyutan Eminem, tapi ternyata, bagi saya mereka hebat! Saya suka musik mereka. Sempat ada rasa khawatir dengan masa depan hiphop dalam pikiran saya karena rasanya hiphop makin hari makin mainstream dan dieksploitasi oleh industri. Tapi kekhawatiran saya lenyap ketika melihat dunia hiphop underground, ternyata masih banyak rapper-rapper inovatif dengan DIY ethic yang tidak mau didikte oleh media. Tidak hanya horrorcore, hiphop underground sendiri pun ternyata sangat luas, Kottonmouth Kings, La Coka Nostra dan banyak lagi. Eminem pun sekarang justru terasa seperti pop star buat saya (meskipun saya tetap respect karena lirik-liriknya telah berdampak tersendiri pada diri saya yang lebih muda dan labil dulu). Masalah mereka saling hujat dan sebagainya, well, this is hiphop, this is how we do it! Dan TUC, ah, tentu saja Insane Clown Posse jugalah yang mempertemukan saya dengan TUC (berawal dari bagi lagu mereka di Fordis dan diundang masuk milis). Sebenarnya, dalam TUC pun saya masih merasa agak asing karena kaya’nya yang suka hiphop juga masih jarang. Tapi justru sayalah yang makin melek dengan genre musik lain selama di sini, dan referensi musik saya makin luas (meskipun sebelumnya juga tidak merem-merem amat). Saya juga suka Slipknot sejak smp, dan banyak juga teman yang mendengarkan punk semacam Rancid atau NOFX, tapi adalah sebuah kepuasan sendiri menemukan sebuah tempat di mana selera tidak lazim saya akan musik terasa sangat diterima. MMFWCL!
.
IMAGES FROM THE PAST
Anak Agung Ngurah Goya Yamadagni, circa 1989 Arief Hidayat Adam, circa 1999-2000
ISSUE
MENULIS MASA DEPAN BERSAMA DJP oleh Moh. Hijrah Lesmana
Suatu ketika, Bapak bertanya kepada saya, apa yang ada di pikiran saya jika kelak lulus smu? Apakah saya punya cita-cita? Apakah kamu sudah menulis masa depanmu? Jika pertanyaan itu dipersempit menjadi ‘akan melanjutkan kuliah di mana’ atau ‘akan memilih jurusan apa’ tentu akan lebih mudah mencari jawabannya.
B
ekerja tidak ada dalam pilihan, karena (mungkin) faktor usia yang masih belia, pengalaman, kemampuan dan mental yang cukup untuk bertarung di dunia kerja yang kompetitif. Mungkin juga karena kami berada dalam lingkungan keluarga yang lebih mementingkan kemampuan akademis untuk bisa bekerja di sektor formal kelak. PNS adalah DNA keluarga kami. Mungkin juga ada sedikit anggapan bahwa dengan memiliki prestasi akademis, maka pekerjaan akan datang dengan sendirinya. Pertanyaan itu pun tidak segera terjawab karena itu adalah pertanyaan besar untuk anak muda yang sedang mencari jati diri. Seperti halnya remaja pada umumnya, saya lebih suka kesana-kemari dengan teman-teman, kuliah di tempat yang sama, ngontrak atau ngekos di tempat yang sama dan tidak punya gambaran masa depan. Mungkin itu adalah fase umum perkembangan dari setiap manusia. Hingga kini, saya terkadang merasa lebih tua dari temanteman smu dulu, karena ketika saya harus bangun pagi untuk berangkat kerja demi menghidupi diri, teman-teman seangkatan smu bahkan masih senang bermain playstation dan naik gunung. Terkadang juga, saya merasa masa muda saya telah hilang, atau saya sedikit sekali merasakannya. Itu karena selain rutinitas pekerjaan yang harus dijalani, juga masih cita-cita yang belum bisa terealisasi. Saya tidak ingat lagi kapan terakhir kali saya bermain kelereng atau layang-layang. Hingga saat ini, ketika saya sudah memasuki masa kerja hampir 9 tahun, saya tetap tidak memiliki jawabannya. Tapi saya berpikir pasti Bapak sudah tahu bahwa sudah waktunya bagi saya untuk menentukan jalan hidup dan membuat pilihanpilihan. Sebuah pesan yang selalu saya ingat adalah bahwa seorang lelaki itu ditakdirkan memiliki ‘langkah kaki’ yang panjang, maka berusahalah untuk tegar dalam menjalani image by Resurgere taken from deviantart.com
hidup dan berani menghadapi resiko. Itu adalah bisikan lirih dari Bapak ketika beliau mengantar saya di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya untuk berangkat ke Balikpapan, kota di luar Jawa pertama yang akan saya singgahi. Pesan itu kini bukan lagi terngiang-ngiang di telinga, tetapi sudah telah tertulis di hati. Sedikit demi sedikit jawaban itu mulai lahir saat memasuki kampus STAN di Balai Diklat Keuangan Balikpapan, saat dimana saya mulai menimba ilmu selama setahun sebagai akibat lulus tes D1 Spesialisasi Perpajakan. Tes di Malang, Jawa Timur, tapi kuliah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Aneh memang, tapi itulah yang terjadi. Hingga kini, saya belum tahu alasan kenapa bisa begitu jalan ceritanya. Plus, magang di Bontang (Kalimantan Timur) dan penempatan pertama di Sanggau (Kalimantan Barat), sebuah kabupaten kecil yang bahkan tidak pernah ada dalam pikiran terliar saya sekalipun. Faktanya, saya menjadi pegawai DJP yang kesekian yang menjadi journey man atau nomaden, manusia yang sering bepergian atau pindah tempat. Adalah kehidupan jauh dari keluarga dan teman-teman yang membuat saya belajar tentang hidup dan kehidupan. Anda bisa belajar banyak hal dari keluarga, sekolah atau orang paling pintar sekalipun, tetapi Anda tak bisa membeli pengalaman, karena teori dan fakta bisa berseberangan seperti siang dan malam. Saya kini bisa bercerita kepada temanteman dan keluarga bagaimana rasanya berebut naik kapal laut Lawit atau Bukit Raya kemudian diterpa gelombang tinggi, panas terik matahari atau dinginnya hujan dalam 34 jam perjalanan dari Balikpapan ke Surabaya atau Pontianak-Surabaya dan Pontianak-Semarang. Saya kini juga bisa bercerita bagaimana rasanya 2 kali lebaran tidak pulang karena tidak kebagian tiket atau uang yang ada di tabungan belum cukup untuk dibawa pulang, paling tidak agar dianggap sebagai ‘perantau sukses’
oleh keluarga, teman-teman atau tetangga. Faktanya, itulah yang pernah saya alami, dan itu semua memberi saya pelajaran dan pengalaman dalam hidup. Reformasi birokrasi Tahun 2008, seluruh kantor pajak di wilayah Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat mengalami modernisasi, sebuah kata sakti untuk menyebut reformasi birokrasi. Berarti dulunya jadul alias jaman dulu? bisa jadi. Reformasi birokrasi dicanangkan untuk menciptakan good corporate governance, tata kelola pemerintahan yang baik melalui perbaikan kinerja di berbagai bidang, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Yang saya tahu modernisasi bukan hanya soal sistem, tetapi juga cara pandang (point of view) dan cara berpikir (mindset) para pegawai pajak. Juga bukan hanya soal remunerasi, tetapi juga semua hal-hal yang berhubungan dengan efektifitas dan efisiensi yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara melalui perbaikan kinerja dan etika. Remunerasi bukanlah hadiah yang jatuh dari langit dengan tiba-tiba, tetapi melekat sebagai obligasi di masa depan. Remunerasi adalah ‘hadiah kecil’ bagi para pegawai yang selama ini bekerja dengan baik dan penuh integritas. Tentu saja itu tidak lantas membuat kita musti terkungkung dalam zona nyaman. Inilah saatnya para pegawai DJP keluar dari zona nyaman dan bekerja keras untuk menciptakan DJP yang bersih dan berintegritas. Seringkali saya mendengar teman-teman atau masyarakat yang memandang sinis dan rendah integritas pegawai pajak karena dianggap bergaji besar, absensi semau sendiri dan meng-korupsi uang rakyat. Tidak mudah membuat mereka percaya dengan apa yang terjadi di dalam institusi DJP yang tengah mereformasi diri karena mereka cuma melihat dari luarnya saja, tanpa melihat lebih dalam. Sama tidak mudahnya merubah citra negatif seorang
narapidana di mata masyarakat. Seorang teman pernah menyebut bahwa bekerja di DJP saat ini membuat saya (seolah) sedang berada di ‘surga’. Saya tidak membantah dan juga tidak membenarkannya. Saya hanya membatin bahwa ‘surga’ itu bisa di mana saja, kapan saja dan bisa diciptakan oleh siapa saja. Saya membaca sinisme itu sebagai ‘para pegawai pajak harus bekerja dengan baik dan tak seharusnya Anda mengkhianati kepercayaan kami’. Saya pikir, sejauh ini lokomotif reformasi birokrasi telah berada di rel yang benar. Gayus, sakit gigi dan kapal yang terguncang... Dalam tahun-tahun yang telah berlalu, saat tengah belajar untuk memahami takdir sebagai pegawai pajak dan menikmati masa-masa modernisasi, tibatiba badai menghantam. Institusi DJP goncang karena seorang pegawainya, Gayus Tambunan (dan sekarang DW dst), terkena kasus hukum karena dianggap merugikan negara dengan menggelapkan pajak perusahaan besar yang sedang memiliki hutang pajak. Ironis dan juga miris, karena tahun itu adalah tahun reformasi birokrasi yang dicanangkan DJP dan gerakan anti-korupsi. Ini adalah kasus nasional, karena ia adalah pegawai muda, belum lama bekerja di DJP tetapi secara fantastis disinyalir memiliki uang hingga puluhan milyar hasil ‘pekerjaan sambilan’-nya. Benar, ini seperti badai di lautan. Bukan hanya penumpang yang ada di buritan atau lambung kapal yang merasa goncangannya, tetapi seluruh awak dan penumpangnya. Semua bingung dan resah bagaimana menyikapi ini. Apakah masingmasing harus tetap di dalam kapal, apapun yang terjadi (sambil berharap badai akan reda dengan sendirinya), atau nekad loncat ke laut dan berusaha berenang menyelamatkan diri sendiri? Saya, mungkin juga pegawai lain, seperti mengalami sakit gigi. Yang sakit satu gigi, tapi seluruh badan merasa sakit dan tidak nyaman. Makan tidak enak, tidur pun tak nyenyak. Benarkah yang sakit hanya satu gigi? Atau banyak yang sakit tetapi kadang dirasakan kadang tidak alias timbul tenggelam? Saya memahami Gayus sebagai pribadi yang sedang berusaha menjadi manusia, bukan setan atau malaikat. Saya jadi ingat pesan salah satu dosen saya ketika kuliah, bahwa lulus dari STAN, kelak jika Anda sudah terjun ke masyarakat, Anda bisa menjadi 2 pribadi, yaitu menjadi setan atau malaikat. Dalam perkembangannya, pilihan menjadi ‘manusia’ tampaknya menjadi pilihan yang paling logis karena sifat dasar dan hati manusia yang cenderung berubah-ubah, sering terlena dengan kenikmatan, enggan kehilangan sesuatu yang menyenangkan dan tidak mau menerima
hal-hal yang kurang menyenangkan. Proses pendewasaan Semua orang akan mengalami fase pendewasaan, bagaimanapun prosesnya. Seperti halnya seorang manusia, institusi seperti DJP pun mengalami pendewasaan. Salah satu tanda kedewasaan adalah tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Dengan mencanangkan grand design DJP masa depan, diharapkan tidak ada lagi ‘kesalahan kolektif’ masa lalu, baik yang dilakukan oleh pribadi, kelompok maupun sistem. Juga perlu meyakinkan seluruh pegawai DJP seluruh Indonesia bahwa perubahan tidak hanya dengan slogan penyemangat, remunerasi atau pembangunan kantor baru yang mewah, tetapi juga implementasi di lapangan secara sederhana, misalnya disiplin, saling mengingatkan, mengayomi dan tanggung jawab. Secara naluri, dengan bekerja, Anda akan berinteraksi dengan banyak orang, baik teman sekantor maupun orang lain, yang memiliki berbagai karakter, apalagi instansi yang penuh keberagaman seperti DJP. Anda juga akan dituntut untuk belajar bertanggung jawab, baik terhadap pekerjaan maupun lingkungan. Anda pun akan secara alamiah lebih mensyukuri apa yang anda punyai atas apa yang Anda raih dengan sungguh-sungguh. Benar, semua itu ada harga yang harus dibayar. Jauh dari keluarga dan mutasi yang tidak jelas adalah konsekuensi yang mesti diterima dan dihadapi. Saya meyakini, semakin bertambahnya usia tidak serta merta menambah kadar kedewasaan dalam diri. Banyak faktor yang mempengaruhinya, karena usia hanyalah salah satu faktor dalam fase pendewasaan. Tapi idealnya, dengan semakin bertambahnya usia, semakin banyak pengalaman dan pengembaraan, Anda semakin bisa memberi gambaran tentang sesuatu di masa depan. Anda akan jauh lebih kuat karena telah tertempa oleh berbagai situasi yang menuntut pembelajaran. Untuk itu perlu dilakukan pengawasan diri bahwa proses pendewasaan ini berjalan ke arah yang benar. Terkadang Anda jenuh dengan rutinitas sehari-hari, itu hal yang manusiawi. Apalagi Anda melakukan hal yang sama secara terus-menerus, setiap hari. Plus, tidak adanya mutasi atau rotasi pegawai, khususnya pelaksana secara rutin adalah melelahkan secara psikologis. Bekerja di suatu bidang dan tempat yang sama bertahun-tahun hanya memberi 2 pilihan, keenakan atau kebosanan. Seperti diketahui, mutasi tidak hanya berfungsi untuk memenuhi ‘kuota’ pegawai dari kantor yang banyak pegawai ke kantor yang minim pegawai, tetapi juga peningkatan wawasan disiplin ilmu, mentalitas dan menghindari
kejenuhan. Sehingga di kemudian hari tidak ada lagi cerita ada pegawai yang belum pindah hingga 5-6 tahun, pegawai yang tak pernah pindah dari kota besar atau ada pegawai selalu berpindah-pindah mengikuti mutasi. Kelak perlu dirumuskan kebijakan mutasi yang terencana bagi pegawai baik struktural maupun fungsional akan pola dan waktu mutasinya, karena sangatlah penting bagi setiap pegawai DJP untuk mengetahui kapan ia akan pindah sehingga dapat merencanakan masa depannya dengan baik. Tolok ukur mutasi juga perlu diperjelas, apakah berdasarkan kinerjanya, kedisiplinannya, kepribadiannya atau andil setiap pribadi dalam meningkatkan penerimaan negara. Dengan kebijakan pola mutasi yang baik, berarti juga telah menghargai dan melindungi hak-hak serta berlaku adil terhadap setiap pegawai, tidak ada kecuali. Menulis masa depan... Seringkali, ketika memandangi wajah anak saya yang sedang terlelap dalam tidurnya, muncul pertanyaan-pertanyaan, apakah wajah polos ini kelak akan mewarisi stigma negatif dari masyarakat akan tempat bapaknya mencari nafkah? Apakah anak yang belum tahu apa-apa ini akan mendapat ‘dosa warisan’ selama hidupnya? Yang saya tahu dan saya yakini adalah bahwa ia akan memperoleh kebanggaan dan penghargaan yang layak karena saat ini bapaknya sedang berada di dalam gerbong reformasi birokrasi dan akan berhenti di stasiun berikutnya dengan penuh kebanggaan dan kebahagiaan karena tahu akan mewariskan sesuatu yang baik. Bersama DJP, saya telah dan sedang menulis masa depan. Hal-hal baik yang saya kerjakan hari ini saya yakini juga akan melahirkan hal-hal yang baik kelak. Apa yang terjadi di masa depan tergantung apa yang kita kerjakan hari ini. Jika sudah pensiun, saya akan menatap tahun-tahun yang telah berlalu dengan perasaan bangga dan bahagia, tidak hanya karena DJP telah memberi banyak hal dalam kehidupan saya, tetapi juga karena saya telah menjadi bagian dari keluarga besar DJP, institusi yang memiliki integritas, komitmen dan profesionalitas serta menjadi lokomotif reformasi birokrasi di negeri ini. Semoga apa yang saya sumbangkan untuk DJP, kemarin, hari ini dan seterusnya, kecil atau besar, terangterangan maupun sembunyi-sembunyi, akan melengkapi segala warna dalam perjalanan DJP yang penuh dinamika.
.
INTERVIEW
MUSTAFID AMNA
MEMPRODUSERI KOMPILASI MEMBANGUN SCENE oleh Arief Hidayat Adam Mustafid Amna adalah seorang pemuda berkacamata trendi dengan muka mencekam, salah satu aktifis dari selfmirroringphotoposse yang tidak lama lagi akan mempunyai pacar (amin). Seorang pekerja keras yang mempunyai banyak mimpi untuk membangun skena di tempat kelahirannya, dan dengan semangat DIY di sela waktu padatnya berhasil memproduseri satu album kompilasi indie “Banjarmasin Bersatu United We Stand Divided We Fall�. Percayalah sama saya, album ini mempunyai efek adiksi tinggi. Hai Bang Afid, boleh saya ganggu waktunya? Terkait proyek kompilasi underground yang kamu kerjakan tahun kemarin, kasih tahu kita dong beberapa hal yang kami harus tahu (you know, we all salute you for this crazy project baby). Ok pertama, apa yang membuat kamu birahi untuk mengklikitikin pengerjaan proyek ini?
Ide awalnya sih sebenarnya mau bantuin saudara, kebetulan dia punya band beraliran punk yang sudah terbentuk lumayan lama, sekitar tahun 2003-an, namun hanya sebatas main sana sini gak jelas. Idenya sih mau bantuin bikinin album, sayang kan punya banyak lagu sendiri tapi tidak direkam. Namun karena keterbatasan waktu dan materi yang belum rampung, akhirnya proyek ini tertunda sampai
sekarang. Kemudian tidak tahu mengapa terlintas kenapa saya tidak bikin album kompilasi saja sementara, selain tujuannya promosi juga mempererat silaturahmi antar band. Saya pikir dengan kompilasi ini besar harapan saya antar band saling support, saling respect, saling tukar pikiran dan informasi untuk kemajuan bersama. Jadi, yang melecut saya memulai proyek ini tidak lain adalah mau bantuin saudara saja.
(Dan ternyata setelah ditelusuri oleh redaksi, saudaranya adalah seorang cewek cantik! Bedebah ya? Gak bilangbilang punya saudara cantik). Next, ceritakan bagaimana proses proyek ini dibuat? Sebelumnya agak ragu juga sih mau buat proyek ini. Yang pertama, takut mengecewakan band-band yang terlibat, soalnya ada beban menjaga nama baik. Kalau proyeknya hancur jadi gak enak sama mereka. Kemudian yang kedua, belum pernah bikin gini-ginian, hihi. Tapi dengan berbekal keyakinan dan kenekatan akhirnya jalan juga. Karena proyek coba-coba jadi ya bikinnya nyantai sambil belajar, googling sana googling sini. Total pengerjaan sekitar 3 bulanan, sebulan pertama pengumpulan materi, kemudian pengerjaan cover art, dan proses produksi. Untuk materi yang masuk juga gak ada seleksi, pokoknya siapa cepat dia c’mon. Kemudian materi yang masuk juga seutuhnya tidak saya edit lagi, jadi murni materi yang masuk seperti itu juga yang nantinya didengar. Saya hanya menyesuaikan volume antar track, walaupun agak susah juga sih, soalnya materi yang masuk dari berbagai genre, ada metal, pop, grunge, punk dsb. Untuk cover art sendiri dibantu oleh saudara Fadli Moron (thanks bro, kalo ada proyek lagi bantuin yak). Untuk percetakan cover agak kecewa juga sedikit, ada miskomunikasi dengan pihak vendor, hasilnya tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Namun secara keseluruhan saya cukup puas dengan proyek pertama ini. Saya harap ini akan terus berlanjut, kita tunggu saja. Ada gak sih kendala yang fundamental? Tiba-tiba pantatnya membeku karena tiap malam minggu hanya duduk di depan komputer semalaman mungkin? Atau bagaimana dengan masalah menghubungi bandband-nya? Sounding-nya seperti apa? Masalah pendanaan, atau kegalauankegalauan lain?
Alhamdulillah tidak ada kendala fundamental yang berarti dalam pengerjaan proyek ini. Untuk pengumpulan materi saya dibantu sama saudara saya, kemudian cover dibantu sama Moron. Sounding-nya sih lewat jejaring sosial saja, terus dari mulut ke mulut, kontak-kontak via email. Awalnya memang ada keraguan dari beberapa band yang kita kontak untuk ikut. Mungkin karena saya juga bukan siapa-siapa, tidak kenal sama mereka, tiba-tiba ngajakin untuk ikut album kompilasi. Termasuk keraguan terkait hak cipta, takut lagu mereka saya jual. Namun setelah diyakinkan bahwa proyek ini tidak untuk komersil, hanya untuk tujuan promosi dan silaturahmi semata, akhirnya mereka mau bergabung. Untuk band-band yang ikut memang sengaja tidak saya tarik biaya, mereka cukup mengirimkan materi lagu serta profil masing-masing band. Dengan kata lain free (semoga nanti juga bisa terus begini, amin). Jadi proyek ini murni memang dari kantong saya sendiri. Untungnya lagi untuk desain cover tidak keluar biaya sama sekali, hihi (big thanks to Moron), jadi biaya hanya pada proses pencetakan cover dan replika cd. Terus untuk materi, ada beberapa yang saya minta untuk diperbaiki, namun karena dikejar deadline akhirnya tidak sempat, jadi seadanya. Kegalauan lainnya mungkin terkait promosi penyebaran cd. Sampai saat ini masih belum tersebar semua, masih proses, mudah-mudahan selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama (kapan sih kita tidak sibuk?). Hoho tampaknya ada bau DIY di sini. Nah, arti DIY bagi aplikator seperti kamu itu seperti apa? Yup, kalau bisa dilakukan sendiri kenapa tidak? Arti DIY menurut saya adalah mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri kita sendiri dan juga lingkungan, sehingga dalam melakukan sesuatu tidak tergantung dari pihak lain, sehingga bisa berjalan tanpa adanya intervensi dari pihak lain tsb. Dengan kata lain, kalau Anda ingin kebebasan maka lakukanlah sendiri. Sorry kalau salah, just my opinion. Nice quote baby. Ok, kembali lagi ke bahasan album nya, with your DIY things, selain memproduksi materi, biasanya produser musik juga berusaha untuk mempromosikan produknya, cara seperti apa yang Anda tempuh untuk itu? Nah ini yang menurut saya masih belum jalan, soalnya saya sendiri juga masih kurang berpengalaman (blank) dalam masalah promosi. Kemarin cuma mikir yang penting jadi dulu, promosi belakangan. Mungkin agak terkendala waktu juga dan
kendala dana, jadi untuk masalah promosi ini masih saya serahkan kepada bandband-nya sendiri. Namun yang perlu digaris bawahi di sini, saya masih berusaha untuk memperbanyak link, link, dan link, syukursyukur dapat sponsor yang mau mendanai. Terus kita juga lagi deketin media promosi yang sevisi, misalkan radio-radio lokal, merchandise dsb. Wah mantap kakak. Nah, mumpung wawancara ini dimuat di Tuczine edisi bonusnya majalah Gadis, sekalian saja promosikan, kan yang baca banyak anak abg tuh. Tolong beri kami review terbaik untuk album yang Anda produseri ini! Secara keseluruhan di album kompilasi ini dapat ditemukan berbagai macam genre, seperti metal, grunge, rock dan punk. Karena itulah saya namakan kompilasi ini “Banjarmasin Bersatu”, dengan harapan band-band lokal yang ada di South Borneo ini bisa bersatu dan saling support. Saya kira band-band ini sudah sangat mewakili genre yang saya sebutkan tadi. Misalnya untuk genre metal ada nama Heat Seeker Rockets dan At Last To Burn serta VoiD. Untuk grunge sepertinya bakalan dihidupkan lagi oleh Hamba Tuhan. Kemudian punk hardcore ada Bejad Jr, punk melodic ada Ningrum, V.O.C, Ketupat Basie, The Rindjink dan Mobstergods. Ada Let’s Go Kamen Raider yang mengusung garage rock. Kemudian Talaseta dengan modern rocknya, tidak lupa Rockapudink dan Es Jeruck mewakili pop punk/alternative. Total ada 14 band dalam kompilasi ini. Sebenarnya ada beberapa band yang saya suka dari album kompilasi ini. Tanpa mengurangi rasa hormat pada bandband lainnya, yang paling saya suka adalah Heat Seeker Rockets dengan lagunya “Crows”. Selain karena saya sendiri basicly suka metal, juga untuk sound-nya, boleh saya katakan untuk pengerjaan materinya saya pikir sudah sangat profesional. Oh ya, saya denger sebentar lagi mereka akan launching ep, kita tunggu saja gebrakan dari mereka. Kalau mau tahu lebih banyak tentang Bang Afid, kemana nih? Siapa tahu ada yang minta diproduseri (nanti kompilasi Tuczine “Beranak dalam Printronix” diproduseri ya bang). Bisa ke www.kamarku-nerakaku. com atau e-mail saya afied50@gmail.com atau follow twitter @afid_50 Ok, last words, salam salam mungkin atau apa gitu biar keren?
.
Salam tiga jari dan gaul selalu di setiap kesempatan, pakai Rexona roll on!
INTERVIEW
DHANI BLUES
BELAJAR DENGAN BERBAGI LEWAT KELAS GITAR GRATIS oleh Dede Hate Mardhani Machfud Ramli atau lebih beken dengan monikernya, Dhani Blues, tidak bisa melihat jarinya diam sementara fret gitar terlihat sangat seksi. Tidak menemukan penghiburan di kota kecil tempatnya mencari nafkah, akhirnya dia malah menciptakan hiburannya sendiri (dan bagusnya, ini sangat mulia): meningkatkan skill dengan mengajar para pemula bermain gitar lewat Kelas Gitar Gratis. Berikut wawancara singkat dengan gitaris blues paling hebat di TUC ini.
Ide awalnya bagaimana? Niatnya maksudnya, kurang kerjaan atau biar eksis gitu?
Halo Dhani, apa kabar? Bagaimana kehidupan di Rengat? Skena musik? Kabar baik. Dede apa kabar? Kehidupan di sini baik-baik saja. Skena musik di sini sebenarnya agak kurang jika dibandingkan dengan di ibukota. Musik pop berbau Melayu lebih berkembang subur di sini. Kabarnya, di sana sudah bikin band? Serius atau buat sidejob aja? Awalnya saya ditawari buat jadi gitaris band sini, kebetulan mereka bawain pop sampai smooth jazz. Tapi, ujung-ujungnya band saya tadi ditawari sama pemda setempat buat mengisi acara. Saya dengar ada kegiatan KGG di sana, apa itu? KGG itu Kelas Gitar Gratis. Sebenarnya saya juga meniru konsep kegiatannya dari Iga Massardi (Trees and the Wild) yang mengadakan kelas gratis bagi yang mau belajar cara dan teknik bermain gitar yang baik dan benar. Di Jakarta sendiri diadakan tiap hari minggu sore di Taman Suropati. Pengajarnya Iga Massardi dan mas Petrus Briyanto Adi (Bonita and the Husband) dan mas Ruhul. Ada hubungannya dengan KGG yang di Jakarta itu? Selain di Jakarta dan Rengat, ada di mana lagi? Nah KGG yang saya adakan di Rengat ini kurang lebih sama dengan yang di Jakarta. Sudah minta ijin juga sama yang punya ide. Sebelum saya adakan KGG di sini, saya sudah minta ijin sama mas Iga Massardi, dan di-support sekali sama beliau. Sebenarnya formatnya kurang lebih sama, saya dibantu teman-teman di sini mengajar gitar, cuma mungkin bedanya tempat dan jumlah peminatnya, hehe. Baru Jakarta dan Rengat yang setahu saya. Kalau kata mas Petrus malah mau dibikinin kurikulum, jadi materi yang diajarkan seragam.
Hahaha, salah satunya mungkin. Sebenarnya ini cuma ide iseng dari orang yang bingung mau ngapain tiap weekend karena di tempat tinggalnya tidak ada fasilitas hiburan yang memadai. Dan saya pikir, daripada tiap weekend bengong di kosan aja, kenapa tidak meniru kegiatan KGG di Jakarta? Dan lagian dengan begitu bisa sekalian jadi ajang buat meningkatkan skill dan ilmu juga, karena cara belajar yang terbaik adalah dengan berbagi. Harapannya dengan mengadakan Kelas Gitar Gratis ini? Harapannya sih pengen mempermudah orang-orang yang benar-benar pengen belajar main gitar tapi terkendala dengan tidak tersedianya sekolah musik. Maklum di sini belum ada sekolah musik. Promosinya bagaimana? Respon masyarakat di sana? Promosi awalnya lewat Twitter. Terus saya sempat tampil di acara akustikan di sini dan sekalian promosi. Respon masyarakat sini minim banget. Malah yang datang itu dari luar kota. Tempatnya di mana? Ada ruang kelas atau private gitu? Ijin keramaian? Nah soal tempat itu saya pernah dikasih tahu sama mas Iga, kalau KGG itu konsep awalnya adalah ‘belajar gitar dengan asyik dan santai di taman’. Tapi di Rengat sendiri KGG-nya bertempat di pendopo kota. Di taman juga sih, cuma murid-muridnya tidak perlu duduk di atas rumput soalnya sudah disediakan bangunan terbuka. Ijin keramaian? Memang mau dangdutan? Tidaklah, malah dikasih ijin buat memakai pendopo kota. Kebetulan ada kenalan di sana.
Sasarannya siapa saja nih?
Masyarakat umum sih. Cuma saya lebih mengutamakan yang belum bisa bermain gitar sama sekali. Tapi untuk yang sudah bisa bermain gitar boleh datang dan ikut sharing. Sudah berjalan berapa bulan? Tiap minggu? Bagaimana dengan pekerjaan kantor?
Sudah dua bulan. Tiap minggu
sore. Tidak mengganggu waktu kantor kok. Pesertanya sekarang berapa orang? Rentang usianya? Mereka disiapkan gitar atau bawa gitar sendiri? Total cuma 6 orang. Dari smp sampai umur 20an. Syaratnya sih bawa gitar sendiri. Cuma kalau memang tidak punya, disediakan 3 gitar akustik. Perkembangan mereka setelah 2 bulan ikut kelas ini? Puas atau masih ada yang kurang? Perkembangannya sih lumayan, sudah ada yang ikut festival malah. Memang saya ajarin dari dasar banget, dari fingering dulu. Puas sih puas, cuma masih kurang peminat. Soalnya target saya minimal 10 orang. Rencana ke depannya, masih akan terus dengan KGG ini atau ada kelas gratis lainnya? Kalau nanti dimutasi? Terus dong. Mudah-mudahan ke depan peminatnya semakin banyak. Kalau perlu nanti bikin spesial kelas blues gratis. Nah kalau dimutasi belum tahu deh. Mudahmudahan ada gitaris lain yang tergerak untuk bikin KGG tandingan, KGG perjuangan mungkin. Sekarang tentang Dhani, ceritakan sedikit, belajar gitar sejak kapan? Dan kenapa gitar? Saya belajar gitar agak telat sih, mulainya kelas 3 sma tahun 2003. Kenapa gitar? Karena gitar itu keren, dan murah, tidak mungkin kan minta ke bokap dibelikan grand piano? Hahaha. Oke, pesan-pesan buat yang pemula dalam urusan gitar? Pertama, beli gitar. Kedua, sabar berlatih. Ketiga, banyak-banyak dengar lagu. Itu aja sih. Hari pertama KGG saja kuajarin fingering selama 1 jam. Pokoknya sampai tone-nya itu jelas. Kalau belum jelas ulang lagi sampai jelas. Makanya harus sabar. Oke, sukses terus Dhani dengan KGG, band, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Jangan lupa hormati orang tua, dan segeralah mencari jodoh. Kalau sudah ketemu, segeralah menikah, karena menikah itu (katanya) lebih baik daripada tidak menikah. Oke, terima kasih support-nya kakanda Dede. Sarannya diterima dan dipertimbangkan.
.
INTERVIEW
GILANG NUGRAHA
NETLABEL ADALAH KEPUASAN oleh Dede Hate Sejak beberapa tahun terakhir, netlabel menjadi fenomena baru dalam pergerakan budaya indie. Sebuah cara lain untuk mendistribusikan dan menikmati sebuah karya musik. Di Indonesia sendiri, fenomena ini berkembang dengan pesat, ditandai dengan banyaknya netlabel yang berdiri dan konsisten mendistribusikan musik bagus dengan cuma-cuma. Salah satunya adalah Hujan! Rekords dari Bogor. Berikut wawancara dengan orang di belakang netlabel yang sudah merilis banyak album indie berkualitas ini. Halo, Mas Gilang, apa kabar? Ok, sepertinya masih banyak yang belum begitu kenal Mas Gilang di sini, bisa sedikit ceritakan siapakah dirimu? Halo juga De, pasti banyak bangetlah, karena emang saya bukan siapa-siapa, hehe. Kalo ditanya “siapa sih Gilang itu?� Saya cuma seorang anak muda asal kota kecil yang bernama Bogor yang kini semakin hijau oleh warna angkutan kota dan kebetulan memiliki ketertarikan yang besar terhadap musik, internet dan teknologi. Ketertarikan tersebut jugalah yang akhirnya menjadi landasan saya dan
beberapa teman lainnya dalam menginisiasi beberapa jenis kegiatan kreatif seperti Hujan! Rekords (netlabel), Hujan! Radio (online radio/webzine), Curah! Hujan (educational purpose program, meliputi pembuatan kegiatan diskusi, workshop, movie screening seputar musik dan teknologi, kuratorial live music performance, serta eksebisi sebagai kelanjutan dari kegiatan workshop yang telah diikuti oleh peserta). Ketiga jenis kegiatan tersebut merupakan bagian dari sebuah think tank project yang kami beri nama Kamar Hujan. Ok, mari bicarakan netlabel, kalau saya lihat fenomena ini baru
berkembang pesat, ya sekitar 5-6 tahun terakhir. Bisa ceritakan sedikit mengenai, apa sih netlabel itu? Ya, bisa dibilang fenomena netlabel ini memang sedang berkembang cukup pesat, apalagi kini sudah mulai banyak netlabel baru yang muncul di berbagai kota di Indonesia dengan beragam spesisifikasi rilisan. Menurut seorang kawan, kata ‘label’ dalam netlabel adalah sebuah penamaan ganjil karena sebagai label, netlabel sama sekali tidak berkontribusi dalam proses kreatif. Netlabel hanya memilih, mengkategorisasi, dan mengunggah karya-karya di internet. Sebagai sebuah media atau startup
musik netlabel merupakan sebuah label rekaman yang mendistribusikan musik melalui format digital audio (mp3, ogg vorbis, flac, wav) melalui jaringan internet. Sedangkan bagi saya pribadi netlabel memiliki esensi lebih dari itu. Bagi saya netlabel merupakan sebuah sistem alternatif yang dapat menghindari kekakuan dan kerumitan yang biasa terjadi pada label rekaman konvensional. Netlabel merupakan sebuah budaya tandingan yang berjalan beriring dengan industri musik konvensional. Karena baik netlabel maupun label rekaman konvensional memiliki perannya masingmasing di dunia musik. Jika label rekaman konvensional mencari laba atau profit, maka netlabel hanya mencari kepuasan. Kepuasan merilis band maupun musisi yang tentunya sesuai dengan selera, kepuasan memperkenalkan musisi atau band yang belum terlalu dikenal kepada masyarakat luas, kepuasan menjadi bagian dari sebuah counter culture, dan masih beragam jenis kepuasan lainnya yang sulit dicerna oleh pola pikir orang Indonesia kebanyakan. Apa bedanya dengan mengunduh mp3 di blog-blog atau file hosting biasa? (saya adalah orang yang paling bersyukur dengan adanya netlabel ini, hahaha) Tentunya sangat berbeda. Ketika kita mengunduh mp3 di blog atau file hosting biasanya kita tidak mengetahui apakah file yang kita unduh tersebut merupakan sebuah file bebas yang digratiskan ataukah file yang memiliki hak cipta namun dibebaskan sepihak secara ilegal oleh si pengunggah file. Di netlabel, file yang diunggah dan diunduh sudah dapat dipastikan merupakan file bebas dan digratiskan oleh si pengunggah (netlabel) serta si kreator (artis/band) tanpa harus memiliki perasaan bersalah mendapatkan file secara ilegal, karena pastinya semua rilisan yang ada di netlabel bersifat legal. Masalah legalitas, tentang hak cipta atau royalti dengan artis dll, apakah dengan creative commons license itu sudah kuat? Sebenarnya begini, creative commons bisa dibilang hanya merupakan sebuah option dan berfungsi untuk memberikan hak kepada para pengunduh agar dapat menggunakan file yang mereka dapatkan sesuai dengan jenis lisensi yang diterapkan. Jenis lisensi creative commons yang paling banyak dipakai adalah Creative Commons License Attribution-Noncommercial Share Alike 3.0 Unported, artinya pengunduh bebas untuk membagikan, mengkopi, mendistribusikan, serta mengolah ulang atau mengadaptasi secara gratis dengan tetap mencantumkan sumber materi,
tidak mengambil keuntungan komersial, dan wajib menggunakan lisensi yang sama. Sedangkan untuk masalah legalitas sudah pasti file yang diunduh legal, karena baik musisi maupun pihak netlabel sepakat untuk mendistribusikan secara gratis karya yang dibuat dalam format digital audio. Otomatis pihak artis maupun netlabel sama-sama tidak mendapatkan royalti dari rilisan yang didistribusikan atau dirilis. Ini merupakan kepanjangan tangan dari perkembangan musik dalam format digital yang berhasil memunculkan sebuah budaya baru yang tanpa disadari, kita dalam hal ini sebagai penikmat musik telah aktif menjadi bagian dari budaya tersebut, budaya ini disebut sebagai budaya berbagi file atau free file sharing culture. Ada beberapa hal yang saya kira masih perlu diperjelas tentang pengertian dari free file sharing itu sendiri terutama dalam konteks berbagi file musik. Istilah free file sharing bagi kebanyakan orang acap kali diartikan hanya sebagai aktivitas berbagi suatu file secara gratis, padahal kata ‘free’ dalam free file sharing itu sendiri diartikan sebagai ‘free’ as in ‘free speech’, not as in ‘free beer’. Suatu file bebas tidak selalu dapat diartikan sebagai file gratis, dan suatu file gratis juga belum tentu dapat diartikan sebagai file bebas. Musik bebas adalah tentang kebebasan, bukan mengenai harga maupun hanya sekedar produk industri biasa. Itulah kenapa musik bebas menjadi bagian dari budaya bebas atau free culture. Gerakan budaya bebas adalah suatu gerakan yang mengkampanyekan kebebasan untuk mendistribusikan serta memodifikasi karyakarya kreatif dalam bentuk konten gratis dengan menggunakan media internet dan bentuk media lainnya. Banyak yang kemudian bilang, netlabel itu semacam ‘perlawanan’ pada label mayor, tempat di mana musik yang, sebutlah cutting edge, bisa mendapatkan ruang promosi. Nah, menurutmu, tepatkah disebut demikian? Apakah memang benar ini adalah ‘perlawanan’ atau hanya semacam alternatif bagi musik yang tidak bisa masuk major? Industri musik memerlukan sebuah penyegaran, penyegaran yang tidak hanya berbentuk produk yang ditawarkan, tetapi juga media yang menaungi musik itu sendiri pun memerlukan sebuah penyegaran. Kehadiran startup musik seperti netlabel merupakan salah satu penyegaran yang menjadi bukti bahwa suatu kegiatan publikasi dan pendistribusian yang masif dari rilisan musik tidak selalu memerlukan sokongan dana finansial dengan jumlah angka yang fantastis. Meminjam istilah Andaru Pramudito dalam skripsinya yang berjudul “Free
Culture Sebagai Alternatif Dalam Gerakan Musik Swadaya”, netlabel merupakan langkah awal dari sebuah era yang akan merevolusi pola pikir masyarakat tentang konsep pendistribusian suatu karya musik. Menurut saya pribadi netlabel dapat membawa perubahan yang tidak hanya diartikan sebagai sebuah budaya tandingan, tetapi juga akan menjadi lawan potensial dan sepadan dengan label rekaman konvensional yang sudah terlebih dahulu mapan (muluk-muluk ya? Heheh). Sekarang tentang Hujan! Rekords, kapan didirikan? Sendiri atau bersama teman-teman? Apa semangat di baliknya? Hujan! Rekords sendiri didirikan September 2009 dengan tujuan mengakomodir talenta-talenta yang memiliki kendala finansial untuk merilis karyanya dalam bentuk fisik dan memberikan alternatif penyelesaian melalui jalur net release secara gratis melalui format digital audio dibawah lisensi creative commons license. Waktu itu saya hanya berdua menjalankan netlabel ini bersama seorang kawan, Afi namanya. Saya bertindak sebagai kurator dan Afi lebih ke hal ihwal promosi. Lalu akhirnya seiring berjalan waktu dua orang kawan lagi tertarik untuk bergabung, yaitu Volta yang akhirnya membantu di pengkurasian rilisan, dan Vishnu di bagian social media dan grafis, selain itu juga ada Iqbal yang ikut membantu di pengkurasian. Namun karena kesibukan pribadi akhirnya Volta dan Vishnu memutuskan untuk mengundurkan diri dari kegiatan Kamar Hujan. Lalu Afi kini memutuskan hanya berkontribusi di Hujan! Radio, Iqbal juga berkonsentrasi di Hujan! Radio, dan akhirnya kini yang memegang kendali Hujan! Rekords hanya saya. Walaupun begitu saya masih sering meminta pendapat dan bertukar pikiran kepada kawan-kawan lainnya baik yang telah mengundurkan diri maupun yang kini berkonsentrasi di Hujan! Radio mengenai hal-hal terkait Hujan! Rekords. Kendala saat pertama kali didirikan, atau sampai saat ini masih ada kendala? Kendala sih klasik ya, waktu, hehehe. Terkadang sangat sulit untuk membagi waktu antara kesibukan yang satu dengan yang lainnya. Untuk kendala yang lain paling seperti kendala koneksi internet di negara ini yang, yah you know lah jalannya seperti siput, hehe. Apakah ada restriksi untuk genre musik yang bisa diterima dan dirilis Hujan! Rekords? Dan apa syaratnya suatu album/ep/demo bisa diterima dan dirilis?
INTERVIEW
Restriksi tidak ada. Kami tidak membatasi jenis musik atau genre yang akan kami rilis, karena kami lebih mementingkan kualitas musik dari sebuah band atau musisi di luar genre ataupun besar dari nama suatu musisi atau band tersebut. Untuk syarat yang pasti sih tidak ada, karena sebenarnya semua kembali ke masalah selera kami yang menentukan apakah band ini nantinya akan kami rilis atau tidak. Jadi jika rilisan ditolak oleh Hujan! Rekords bukan berarti materi yang ditawarkan jelek, mungkin hanya tidak sesuai dengan selera kami serta tidak sesuai dengan konsep musik yang berusaha Hujan! Rekords tampilkan di tiap rilisan. Sampai saat ini sudah berapa rilisan? Masih ingat rilisan pertama? Sampai saat ini sudah 23 rilisan yang kami keluarkan. Rilisan pertama itu “Kompilasi Kota Hujan”, kompilasi yang berisi 5 proyek chiptunes asal Bogor yang mencoba untuk menggambarkan perasaannya terhadap kota tempat tinggalnya melalui lagu. Yang bikin saya penasaran, apakah Hujan! Rekords yang mencaricari; “wah band/musisi ini bagus nih dirilis”, atau band/musisi yang menghubungi Hujan! Rekords? Dua-duanya. Terkadang ada band/ musisi yang menawarkan untuk dirilis, ada juga yang memang kami yang menawarkan, biasanya sih dari obrolan iseng “eh band lu rilis di netlabel gw dong”, seperti itu, tertarik syukur, nggak juga gak apa-apa, hehe. Dan keuntungan apa yang didapat band/musisi yang merilis karya mereka? Promosi dari pihak Hujan! Rekords sendiri bagaimana? Kalo keuntungan dari segi materi kami tidak bisa memberikan (atau belum bisa lebih tepatnya) karena memang seperti yang saya singgung di atas, baik musisi maupun pihak netlabel sepakat untuk mendistribusikan secara gratis karya yang dibuat dalam format digital audio. Otomatis pihak artis maupun netlabel sama-sama tidak mendapatkan royalti dari rilisan yang didistribusikan atau dirilis. Sedangkan keuntungan yang bisa kami tawarkan adalah pendistribusian yang lebih luas, no borders, everybody goes online nowadays right? Hehe. Untuk promosi kami selalu mengirimkan siaran pers ke mediamedia, baik media cetak maupun elektronik, impact-nya adalah banyak rilisan kami yang mendapatkan respon dan review positif serta mendapatkan kesempatan wawancara oleh media lokal maupun luar negeri. Selian itu promosi di berbagai social media juga
sudah menjadi agenda dasar setiap kali ada rilisan baru. Rasanya puas sekali ketika melihat sambutan baik yang tidak terduga. Nah, kembali lagi ke masalah legalitas, hak cipta dan sejenisnya, setelah ada deal dengan band/musisi untuk merilis karya mereka, apakah kemudian ada semacam ‘kontrak’ atau kesepakatan secara formal, ya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan? Pernah tidak, ada kasus seperti itu? Kesepakatan secara formal tidak ada, karena kerjasama yang kami lakukan hanya belandaskan kepercayaan saja. Walaupun tidak mengikat secara formal tapi secara moril kita terikat. Sebenarnya hal ini sudah menjadi wacana kami, namun belum terealisasikan, mudah-mudahan ke depannya ada kesepakatan formal yang setidaknya bisa menjelaskan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Alhamdulillah sih belum pernah. Masalah uang memang menarik, secara finansial, ada tidak sih kentungan dari sebuah netlabel? Dan saya cukup yakin musisi/band yang dirilis tidak pernah ada komplain masalah royalti, karena kalau saya lihat, tidak ada yang dijual di sini, atau pernah ada juga kasus seperti ini? Tidak sama sekali, tidak ada keuntungan secara finansial, hehe. Dalam menjalankan label ini kami tidak mengincar keuntungan dari segi materi karena label ini dibuat pada dasarnya atas kecintaan kami terhadap musik dan misi untuk memperkenalkan hasil karya band atau musisi yang berpotensi kepada masyarakat luas, juga sebagai bentuk nyata dari aksi free culture. Dan sama sekali tidak ada kasus seperti itu. Itu dia, bagi musisi-musisi yang memang ingin bekerja sama dengan netlabel ada baiknya juga memahami konsep dasar dari free file sharing, copyleft, jenis lisensi yang dipakai dan free culture itu sendiri. Untuk kebaikan dua belah pihak ke depannya. Saya perhatikan ada beberapa band/musisi, baru merelakan rilisan mereka untuk dirilis via netlabel setelah rilisan fisiknya habis terjual. Nah, ada juga tidak yang sebaliknya, setelah rilisan digitalnya via netlabel ternyata banyak diunduh baru kemudian membuat rilisan fisik? Dan apakah rilisan fisik dan digital bisa saling mendukung? Rilisan fisik dan digital bisa berjalan beriring dan tetap saling mendukung. Seperti yang kita tahu banyak juga musisi/ band yang menggratiskan single-nya kepada
pendengar sebagai bagian dari promosi albumnya. Ada juga yang menggratiskan keseluruhannya dalam versi digital tapi tetap merilis versi fisiknya, karena banyak sekali orang yang cenderung mengunduh dulu versi digitalnya untuk mengetahui seperti apa musik dari band/musisi tersebut, jika si pendengar suka, maka kemungkinan untuk membeli versi fisiknya juga besar. Dan versi fisik akan tetap digandrungi kok karena sifatnya yang tangible. Beberapa musisi/ band yang pernah dirilis oleh Hujan! Rekords juga ada yang tetap merilis versi fisiknya tentunya dengan nilai packaging dan format yang lebih collectible, sebagai daya tarik dan pembeda. Apakah dari semua rilisan Hujan! Rekords setidaknya ada satu rilisan fisik dari masing-masing rilisan digital? Ya untuk dokumentasi atau pengarsipan, karena menurut saya ini cukup penting. Untuk satu rilisan fisik dari masing-masing rilisan digital kami belum ada, tapi jika suatu band/musisi ingin mencetak juga versi fisiknya kami sih tidak masalah, itu kembali lagi ke kesepakatan di awal dan kebijakan dari manajemen band itu sendiri. Tentang netlabel di Indonesia, belakangan ini kalau saya perhatikan cukup banyak juga, apakah kemudian ada semacam persaingan? Tentang Indonesian Netlabel Union itu bagaimana? Persaingan? Gak ada, hahaha. Pada dasarnya kami semua berjejaring dan berteman, komunikasi antara netlabel juga cukup intens dan saling mendukung pergerakan satu sama lain, terbukti dengan lahirnya Indonesian Netlabel Union. Ini merupakan wadah kolektif yang ditujukan untuk memulai jaringan antara satu netlabel dengan netlabel yang lainnya dan juga untuk mengenalkan kepada publik tentang eksistensi netlabel lokal beserta kaitan dan peranannya terhadap komunitas musik lokal, baik secara offline maupun online. September nanti kami akan mengadakan Indonesian Netlabel Union Festival #1 yang akan diadakan di Surabaya. Rilisan terbaru Hujan! Rekords yang saya unduh adalah ep Gurita Gurita “Atas Nama”, keren! Saya juga suka artwork-nya, dan seperti semua rilisan netlabel, artwork menjadi bagian yang penting dan secara artistik sangat menunjang. Apakah artwork ini dikerjakan sendiri oleh band/musisi atau ada tim grafis dari Hujan! Rekords yang membantu?
Wah kalau Gerap Gurita itu
sebenarnya bukan rilisan kami, kebetulan saya mem-post di web-nya Hujan! Radio, hehe. Untuk artwork biasanya band/musisi yang membuatnya. Tapi ada juga band/ musisi yang belum menyiapkan artwork sehingga kadang kami juga yang mengerjakan artwork-nya. Bagaimana melihat perkembangan netlabel ke depannya? Netlabel akan tetap berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi yang ada. Netlabel akan menjadi bagian counter culture yang berjalan beriring dengan industri yang telah mapan dan sebagai bagian dari usaha pengarsipan rilisan digital. Kembali ke kegiatan Mas Gilang, selain Hujan! Rekords, sibuk ngapain lagi? Hujan! Radio? Dan saya sempat lihat blog Bibir Merah Berdarah (sayang sekali dirimu memakai sweater Liverpool, karena saya adalah Mancunian merah, haha). Selain di Hujan! Rekords saya bekerja di sebuah konsultan kontraktor di bilangan Depok dan nyari-nyari sampingan lain untuk bertahan hidup, hehe. Selain itu juga mengurus Hujan! Radio bersama beberapa kawan, dan memanajeri band bernama Kuas Cielo bersama Ricky Volta. Saya juga punya band sih tapi yang satu vakum dari tahun 2009, yang satu lagi Bibir Merah Berdarah, masih proses perampungan EP kedua, kadang juga bikin lagu solo. Itu sebenarnya jaket adik saya, kebetulan
waktu itu jaket saya dipake dia, karena jaket lain lagi dicuci ya terpaksa pake itu, karena sejujurnya saya bukan penggemar klub sepakbola manapun, hahaha. Ok, seharusnya ini saya tanyakan di awal, selain referensi musik yang beragam, apa yang perlu dipersiapkan jika ingin mendirikan netlabel? Yang paling dasar adalah pemahaman tentang konsep free file sharing dan free culture. Selain itu juga perluas jaringan dengan memberdayakan teknologi yang ada, dan sedikit banyak mesti paham juga kualitas audio yang baik. Yang terakhir, jangan suka ngelawan orang tua dan perbanyak ibadah.
oleh sekumpulan PNS pegawai pajak yang mengaku idealis masalah musik, well, pendapatmu mengenai itu? (karena belakangan ini orang cuma tahu bahwa pegawai pajak itu Gayus semua, haha). Hehehe, gak apa-apa, daripada banyak utang mendingan banyak nanya, hehe. Saya sendiri jujur kaget waktu tahu ternyata Tuczine ini dibuat oleh PNS Ditjen Pajak, keren! Kontennya padat dengan penjelasan yang sangat berisi. Selain itu gw sendiri salut sama kawan-kawan yang tetap masih bisa mengerjakan apa yang menjadi passion-nya sembari mengerjakan kesibukan lain untuk bertahan hidup, sukses terus ya! Pertahankan!
Nah, jika ada pembaca kami yang ingin merilis karyanya melalui Hujan! Rekords, bagaimana nih? Hubungi ke mana?
Ok, terima kasih banyak Mas Gilang atas waktunya. Sukses terus dengan Hujan! Rekords-nya, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Any last words?
Gampang, tinggal kirimkan materi demo (minimal 2 lagu) beserta penjelasan terkait rilisan ke hujanrekords@gmail.com. Selanjutnya akan ada proses hearing session yang akan menentukan apakah demo tersebut layak rilis atau tidak. Atau bisa langsung dicek website kami hujanrekords. com untuk info lebih lanjut.
Sama-sama kawan. Terima kasih juga sudah mengapresiasi apa yang gw dan teman-teman Hujan! lainnya kerjakan. Last words? Err‌ do what you love and love what you do, with passion. Dan jangan lupa follow Hujan! Rekords di @hujanrekords dan Hujan! Radio di @hujanradio, promosi hehe.
Wah banyak tanya juga ya saya, haha. Ok, sebelum terakhir, saya dari Tuczine (Tax Underground Community Magazine), majalah digital seadanya, yang dibuat dan dibaca
.
EVENT
PAREPARE BERGERAK #2 KONSISTENSI DI TENGAH KETERBATASAN oleh Dede Hate
k
urang lebih setahun dari inisiasi awal, akhirnya seri kedua dari gelaran Bandar Madani Bergerak besutan anak-anak Pasukan 15 sukses juga dipentaskan pada tanggal 24 s.d. 26 Februari lalu. Sebelum bercerita tentang apa saja yang terjadi pada tiga hari itu, ada baiknya saya jelaskan dulu kenapa di gelaran kedua ini, terjadi perubahan kecil pada nama yang harusnya menjadi bagian yang sakral untuk sebuah gelaran yang direncanakan untuk berlangsung secara berseri dari tahun ke tahun, ya sangat sakral untuk menjaga kesinambungan dan eksistensi. Masalahnya adalah, nama Bandar Madani Bergerak sudah cukup terpublikasikan setahun belakangan ini, dan mulai diterima sebagai nama yang cukup mewakili semangat acara ini, kenapa mesti diganti dengan Parepare Bergerak? Menurut teman-teman dari Pasukan 15, sebenarnya cukup berat juga merevisi nama
yang sudah cukup dikenal ini, tapi karena, sepertinya akan muncul resistensi dari kalangan tertentu dengan nama Bandar Madani, yang menurut mereka, mungkin saja karena kebetulan nama itu sudah duluan dipakai sebagai nama salah satu entitas bisnis milik salah seorang penguasa di kota ini, dan daripada nanti di kemudian hari ada masalah yang muncul terkait dengan pemakaian nama ini, maka akhirnya dipakailah nama Parepare Bergerak untuk edisi kedua ini. Padahal, frase ‘bandar madani’ adalah julukan untuk kota ini, milik semua warga Parepare, dan tidak ada yang boleh merasa punya hak cipta atasnya. Preparation Persetan dengan nama, mari kita bicarakan tentang persiapan untuk acara ini. Meskipun sudah cukup dikenal setelah acara setahun sebelumnya berlangsung cukup sukses dan lumayan meriah, kegiatan meng-
gaet sponsor tidak serta merta menjadi perkara mudah. Karena memang, di kota ini, tidak seperti di kota-kota dengan skena bawah tanah yang terus berkembang populasi dan prospek bisnisnya, cukup sulit untuk menemukan sponsor dari kalangan bawah tanah, yang tidak seperti perusahaanperusahaan kapitalis yang hanya mementingkan ‘saya dapat apa’, lebih terbuka untuk mendukung acara tanpa estimasi profit besar seperti acara ini. Padahal, dana yang dibutuhkan cukup besar. Mulai dari biaya ijin tempat, sewa panggung dan segala macam alat, biaya pengamanan, transportasi dan akomodasi band-band tamu dari luar kota, sampai segala tetek bengek lainnya sepanjang tiga hari acara berlangsung. Jadilah, kurang lebih sebulan sebelum hari H, panitia lumayan sibuk mengajukan proposal ke berbagai perusahaan, clothing, dan beberapa komunitas. Dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Clas Mild, Axis,
Immortal, Mandala Finance, J-Punk Family, Makassar Lowrider, AIdh Photocorps, Pasac, Qeezha Inc., Rock and Roll 72, Deadclub dan Magnum Shop House yang telah mendukung acara ini. Oiya, Tuczine sialan ini juga memberi sedikit sumbangan tak berarti, so what? Wtf. Masih seperti persiapan untuk acara pertama tahun lalu, untuk mencari tambahan dana, teman-teman panitia juga turun ke jalan; ngamen. Selain ngamen, untuk menyiasati kekurangan dana, tahun ini panitia mematok biaya registrasi seadanya kepada band-band yang ingin tampil, selain band tamu dan tuan rumah tentunya. Masalah minimnya dana ini sedikit banyak juga berpengaruh pada kurangnya booth yang berdiri selama acara. Karena ternyata, tidak seperti tahun lalu, pendirian booth/tenda tidak termasuk dalam sewa tempat, masih harus dibayar lagi dan dihitung permeter. Jadinya, tahun ini, tidak ada satupun booth distro selama acara. Sayang juga sih, but yeah, nevermind. Secara umum, konsep dan tujuan acara ini masih sama dengan tahun lalu; sarana berekspresi berbagai macam komunitas kreatif di kota ini. Selain pertunjukan musik (yang menurut saya adalah sajian utama acara ini), minus clothing expo, masih ada lowrider exhibition, skateboarding competition, dance performance, graffiti, ditambah bmx free style dan kontes fotografi. Untuk pertunjukan musik, meskipun masih menampilkan berbagai macam band dengan berbagai macam genre, tahun ini, mungkin karena waktu pelaksanaannya yang lebih lama (tiga hari), atau karena lain hal, di-setting berdasarkan genre per harinya. Jadi, hari pertama diberi tema Pop & Rock Autoplay, untuk band-band pop, rock termasuk reggae untuk unjuk kebolehan. Hari kedua, Underground Revenge, untuk band-band beraliran punk, hardcore dan metal. Hari ketiga, Hip Hop On Da Street, untuk para rapper dan beat box. Well, kalau menurut saya pribadi, segmentasi seperti ini sebenarnya ada kelemahannya; bisa memancing ekslusifitas yang bisa saja menjadi gesekan dan memecah kekompakan (terutama di kalangan penonton). Selain itu, jumlah band dari masing-masing genre belum tentu sama banyaknya, sehingga bisa saja, di satu hari padat, di lainnya lengang. Tapi syukurlah, apa yang saya takutkan tidak menjadi kenyataan, haha piss. Karena faktanya, meskipun telah di-setting seperti tadi, masih ada band hardcore dan metal yang memanaskan hari pertama, pun begitu sebaliknya di dua hari berikutnya. Day 1 Bahkan sejak hari pertama, acara ini sudah dirundung mendung (dalam arti sebenarnya). Jumat 24 Februari sore, entah kenapa tiba-tiba saja langit di atas kota Parepare berubah hitam pekat dan seperti ingin menumpahkan semua isinya ke Pantai
Senggol, tempat acara berlangsung. Padahal, siangnya dan beberapa hari sebelumnya hujan tidak pernah turun. Apakah fee untuk rain stopper-nya kurang? Terpaksa, kick off yang direncakan dimulai sore hari diundur. Saya melihat kecemasan di wajah temanteman panitia selama menunggu hujan reda. Apakah acara yang telah dipersiapkan dengan cukup lama dan menguras tenaga ini harus dibatalkan saja? Barulah pada sekitar pukul 20.00 hujan reda, dan akhirnya, setelah semua peralatan yang waktu hujan turun sempat diungsikan dioperasikan lagi, perhelatan siap dimulai. Setelah dua orang mc bergantian menyampaikan sedikit basa-basi mengenai acara ini, pesan-pesan sponsor (termasuk juga membacakan manifesto TUC yang lumayan panjang itu, yang ditulis kak Uly Ugly), daftar band yang akan tampil malam itu dan tidak lupa menyampaikan elegi atas musibah puting beliung yang terjadi di Kab. Sidrap sehari sebelumnya, muncullah Ollie Over ke atas panggung. Sebenarnya band tuan rumah yang sudah dikenal di skena Parepare ini tidak ada dalam rundown acara malam itu, tapi untuk memanaskan suasana yang sempat dingin karena hujan, mereka akhirnya didaulat untuk memulai pesta. Well, dengan musik hardcore punk yang meledak-meledak, mereka memang berhasil memancing crowd yang tadinya masih adem ayem untuk mulai merapat ke bibir panggung dan mulai saling menubrukkan diri. Helatan kali ini ikut diramaikan oleh puluhan punkers dari Makassar yang menamakan diri mereka The Gokil Street Punk. Lupakan nama mereka yang terkesan trendy, tapi lihatlah semangat mereka, yang telah hadir dan bergerombol sejak siang di depan panggung dan tetap setia di sana sepanjang acara, tidak peduli hujan. Dan terlebih lagi, belakangan, saya tahu bahwa kehadiran mereka ke Parepare murni hanya untuk meramaikan acara ini meskipun itu berarti mereka mesti berjalan kaki dari Makassar, salut cikaling! Setelah Ollie Over menuntaskan dua lagu, giliran sebuah band asal Rappang, Air Band namanya, yang naik panggung dan membawakan lagu-lagu pop yang sendu. Dan, saat crowd di depan panggung hanya berdiri saja, entah dari mana asalnya, tibatiba saja muncul seseorang yang naik ke panggung dan mulai salto dan melakukan stage dive berkali-kali! Baru kali ini, dan mungkin cuma di acara ini saja, ada yang melakukan itu ketika band pop sedang perform. Kelar Air Band, ada The Sisley dari Parepare, masih dengan nada-nada pop yang cathy, membawakan lagu-lagu dari Drive dan Pas Band. Kemudian ada Asal Rasta yang membuktikan bahwa musik reggae di Parepare juga ada dan berkembang. Mereka berhasil mengajak crowd bergoyang santai dengan lagu-lagu dari Steven & Coconut Treez dan satu lagu sendiri berjudul
“Gammara”. Setelah bergoyang santai, saatnya untuk sedikit menjadi lebih intens, Majestic, naik panggung dan mementaskan rock ‘n’ roll yang liar. Tiga lagu dari The S.I.G.I.T; “Black Amplifier”, “Soul Sister” dan “Clove Doper” mereka geber dengan sangat maksimal. Menurut saya, untuk malam pertama ini, Majestic ini adalah salah satu penampil terbaik. Kemudian ada band tuan rumah lainnya, Miranda Incorporation dengan lagulagu dari Simple Plan dan Padi, tentunya dengan aransemen yang lebih menghentak. Berikutnya ada Zagitarius, disusul Zukinni Man dari Rappang yang kembali mengajak bergoyang santai dengan lagu-lagu berirama reggae dari Imanez, Steven & Coconut Treez dan Shaggydog. Setelah itu, Blocking the Last Day, yang lumayan ditunggu, mengambil alih panggung. Entah karena band tuan rumah atau karena memang keren, atau kombinasi keduanya, mereka mampu menyedot crowd dan memandu mereka membuat chaos di depan panggung. Setelah sedikit orasi konyol dari sang vokalis, Donking, yang juga ketua bagian dokumentasi acara ini, dimulailah bagian terliar pesta malam itu. Berturut-turut, kalau tidak salah urutan, mereka memainkan “Redneck” dari Lamb of God, “The Worst Is Yet To Come” dari Still Remains dan satu lagu dari As I Lay Dying. Dan memang di penampilan Blocking the Last Day inilah crowd di depan panggung menjadi sangat liar, sama liarnya dengan lima personil Blocking the Last Day di atas panggung, yang membuat mereka, menurut saya, menjadi penampil paling cadas malam itu. Di sela-sela pertunjukan musik, mc beberapa kali mengadakan kuis yang mampu mengajak penonton untuk lebih terlibat. Selain kuis, yang cukup menarik perhatian, adalah ketika teman-teman dari Makassar Lowrider tiba dan memasuki arena dengan sepeda-sepeda pendek mereka, yang oleh panitia telah disiapkan penyambutan lumayan meriah dengan red carpet dan standing ovation dari crowd. Pertunjukan musik malam itu ditutup dengan penampilan Bhinneka Tunggal Ika yang berkolaborasi dengan Ollie Over membawakan lagu-lagu dari Beside, J-Rock dan Story of the Year. Day 2 Pagelaran musik hari kedua dibuka oleh salah satu band punk yang cukup legendaris di kota ini, D-Prof Punk-Khat 1, yang seperti tahun lalu, tampil enerjik di depan massanya yang lumayan banyak, dengan lagu-lagu cepat dan menyengat dari Marjinal, tapi kali ini tanpa bendera berlambang anarki di atas panggung. Setelah itu ada Blue Packet dari Polman, yang memainkan lagu-lagu dari Drive dan Peterpan, yang karena malam kedua ini temanya underground, mereka bawakan dengan versi metal yang lumayan apik.
EVENT
Kelar Blue Packet, Anti Hero, salah satu guest star dari Makassar, yang sudah ditunggu-tunggu mengambil alih panggung. Band yang sebelumnya sudah pernah main ke Parepare ini mampu melibatkan lebih banyak crowd untuk membentuk circle pit kecil di depan panggung dengan lagu-lagu cadas bercita rasa metalcore dari As I Lay Dying dan Lamb of God. Di sisi lain arena, di skate park area, skater-skater dari Parepare Skateboarding Community (Pasac) dan Palopo Street Skateboarding (Pass) serta skater-skater dari Gowa, Makassar, Pinrang, Enrekang dan Toraja mulai beradu kebolehan dalam skateboarding competition yang mulai digelar pada malam kedua ini. Kembali ke panggung, di sana sudah ada Impossible dari Majene, yang keliatan meriah dengan seragam merahmerah. Saya tidak tahu persis jenis musik apa yang mereka mainkan, yang pasti mereka cukup aktraktif ketika memainkan “Bad Romance” dari Lady Gaga dengan aransemen yang unik, dilanjutkan “Freedom Fighter” dari Saint Loco dan satu lagu dari Asking Alexandria. Kelar Impossible, Pop Is Dead naik panggung. Inilah band yang sangat ditunggu malam ini, terutama oleh punkers yang memang mendominasi crowd dan terus menyemut di depan panggung. Sebelum memulai aksi, si vokalis lebih dulu berorasi dengan menyampaikan pesan-
pesan dari bapaknya, yeah, his father is a punk rocker. Kelar orasi, it’s time to hey ho let’s go, dan “Lagu Buat Kalian” pun meluncur mengaduk-aduk crowd di depan panggung yang sudah larut dalam chaos dan pogo yang brutal. Mereka juga memainkan satu lagu subversif berbahasa Sunda dari Tcukimay, “Diktator”, yang membuat saya ikut berteriak ketika lagu tiba di bagian lirik yang menyebutkan kata ‘anjing!’, kapan lagi berteriak ‘anjing!’ dengan sangat puas? Lagu terakhir, dengan semangat primordial dalam artian positif, mereka memainkan lagu tradisional Makassar, “Anging Mammiri” dengan irama punk yang cepat. Sedikit info tentang Pop Is Dead, meskipun baru terbentuk pada 2009, mereka sebenarnya bukan orang-orang baru di skena punk Makassar. Pop Is Dead adalah gabungan dari Save the Last President, Bintang Rock Indonesia, Shortpants, Sex Punk dan Rockmini. Kabarnya, tahun ini mereka akan merilis full length pertama mereka yang berisi sepuluh lagu. Dalam album ini mereka berkolaborasi dengan nama-nama familiar di skena punk nasional seperti Badik (Turtles. Jr), Negros (Pornostar), Lookas (Tcukimay) dan Apuy (Tikuskampung). Ok, lanjut, berikutnya ada Badut Punk dari Polman, yang seperti halnya Pop Is Dead, juga menunjukkan sisi primordial mereka ketika memainkan lagu tradisional
Mandar. Malam kedua yang sangat berisik ini ditutup oleh guest star lain dari Makassar, Archisexture. Bagi Angga dan kawankawan, Parepare, dan gelaran ini sendiri, mungkin cukup berkesan. Soalnya, penampilan mereka di Bandar Madani Bergerak edisi pertama setahun lalu, adalah debut mereka beraksi di panggung. Ya, Archisexture terbentuk hanya beberapa hari sebelum acara tahun lalu itu. Jadi, bolehlah dibilang, penampilan mereka di edisi kedua ini adalah sekaligus perayaan ulang tahun pertama mereka. Musically, mereka mengusung dan memadukan metal yang variatif, dari post-hardcore sampai metalcore, ditambah bebunyian aneh dari keyboard yang kemudian mereka sebut mixedcore. Malam itu mereka memulai aksi dengan “Love the Way You Lie” dari Eminem feat. Rihanna dengan versi mereka sendiri, yeah ngerap dengan vokal growl, can you imagine? Selain lagu itu, mereka juga memainkan single pertama mereka, “The Revenge”, yang disambut dengan moshpit brutal di depan panggung. Saya sendiri, yang saat itu sudah di atas panggung (bermodal kamera mahal pinjaman dan berlagak seperti fotografer profesional), mau tidak mau ikut ber-bodybang mengikuti irama cadas yang menghentak. Well, rasa-rasanya, Archisexture ini cukup pantas didaulat sebagai penutup pertunjukan musik malam kedua yang bertema
Underground Revenge ini. Mereka berhasil merubah suasana yang awalnya dingin (karena hujan), kemudian gerah, menjadi lebih panas dan berkeringat di ujung malam. Sebenarnya, masih ada satu lagi band cadas yang mestinya tampil malam itu, Face Your Fear, tapi karena satu dan lain hal yang tidak dapat dijelaskan, mereka akhirnya batal tampil. Satu cerita lain dari malam yang panas itu adalah ketika di akhir acara, beberapa personil Satuan Polisi Pamong Praja yang gagah berani itu mendatangi teman-teman panitia, meminta agar panggung dan booth-booth yang ada, kalau bisa, dipindahkan, dengan alasan adanya keluhan dari beberapa pihak yang merasa terganggu. Wtf. Day 3 Seperti dua hari sebelumnya, di hari ketiga ini, hujan masih setia menyapa. Tapi itu tidak bisa menghalangi semangat anak-anak Es Panas yang menjadi pembuka sajian malam itu. Mereka tetap percaya diri memainkan musik pop yang tenang. Kemudian ada Reza & Friends dari Pinrang, masih dengan irama pop. Setelah dirasa cukup dengan sajian dua band pop, mungkin untuk sedikit menaikkan tensi dengan sound yang lebih nge-beat, maka dipanggillah Freedom Squad, kelompok dancer lincah dari Makassar, sebagai penampil berikutnya. Tapi
tunggu dulu, mana wanita-wanita mereka yang tahun lalu sanggup membuat priapria hidung belang merapat ke panggung itu? Wah sayang sekali saudara-saudara. Tentang Freedom Squad, mereka bukanlah kelompok dancer sembarangan. Mereka pernah mewakili Indonesia ke ajang Gatsby Styling Dance Contest PAN Asia 2009 di Jepang. Setelah berkeringat dengan dance, saatnya angguk-angguk dengan hip hop. Beatz Tulak, menjadi grup hip hop pertama yang tampil. Yang hebat dari grup ini adalah, meskipun berdomisili di Makassar, ternyata para personilnya terdiri dari berbagai macam suku dan berasal dari kota yang berbeda (Makassar, Ambon dan Polman). Salah satu lagu yang mereka rapal malam itu adalah lagu mereka sendiri yang berjudul “Selamat Pagi”. Lagu ini berkisah tentang aktivitas pagi hari di kota Makassar, yang tiap hari bertambah makin panas, sepanas darah para mahasiswanya yang menjadikan demonstrasi dan membakar ban bekas di bawah flyover Urip Sumohardjo-PettaraniReformasi-Perintis di Kilo 4 sebagai hobi. Setelah Beatz Tulak, ada Joe da Flash, guest star dari Polman, masih dengan rap dan aksi beat box yang keren. Karena malam ini tema utamanya memang hip hop, jadilah ini seperti ajang beradu rapalan dari rapper-rapper lokal Sulawesi Selatan, karena
setelah Joe da Flash ada Idiot Box dan, sebelum diselingi atraksi bmx, ada Shuki MC dengan lagu yang sanggup mengajak crowd untuk ikut bergoyang, “Party Rock Anthem” dari LMFAO. Yang lebih keren, Shuki juga menyanyikan lagu daerah Bugis favorit saya, “Indo Logo”, dalam versi rap, keren dan unik. Oiya, sebelum Shuki tampil, sempat ada jeda cukup lama untuk pertunjukan musik, demi memberi ruang di depan panggung kepada Baba, Kaisar, Helin Yudis Prayogo dan Anwar Barber dari Makassar BMX untuk melakukan aksi aktraktif dan lumayan mendebarkan dengan sepedasepeda mereka. Sementara di pagar sebelah kiri panggung beberapa orang terlihat sibuk dengan cat pilox berbagai warna dan fungsi. Mereka adalah seniman-seniman graffiti dan mural yang siap beraksi: Alias 3 (Makassar), Ghost (Makassar), Qeezha (Parepare) dan Organs (Makassar). Di panggung, Ollie Over sudah siap untuk aksi kedua mereka di acara ini. Kuping langsung dihajar dengan sound hardcore yang cepat dan intens ketika mereka memainkan “Dunia Saya”, lagu mereka sendiri dan “Stick Tight” dari Terror, dan kembali, seperti istilah Mesin Tempur, chaos continues di depan panggung. Yup, Ollie Over adalah salah satu dari sedikit band di kota ini yang tetap setia memainkan hardcore punk yang menderu-deru.
EVENT
Berikutnya ada segerombolan orang yang naik ke panggung dan menamakan diri mereka Sembrono. Seperti namanya, malam itu mereka tampil sembrono dan ugal-ugalan, membuka lagu dengan irama khas reggae untuk kemudian ditutup dengan crust punk yang kacau. Mereka cuma memainkan dua lagu, tapi yang tampak setelah mereka turun panggung adalah segerombolan orang yang baru pulang dari tawuran antar kampung. Setelah Ollie Over dan Sembrono, aksi cadas malam itu dilanjutkan oleh Septhia Remains, dari Parepare, dengan lagu-lagu metalcore dari Caliban. Disusul kemudian oleh Bloody Anus, dari Parepare juga, bedanya kali ini dengan sound slamming guttural gore death metal (atau apapun namanya) yang membabi buta. Mungkin sadar bahwa mereka adalah penampil terakhir dari barisan musik keras, atau karena ini debut mereka beraksi di atas panggung, Bloody Anus tampil pol-polan menghajar crowd dengan memuntahkan lagu sendiri yang saya tidak tahu judulnya dan lagu dari Turbidity, “Persetubuhan Sedarah”. Sepertinya mereka ini perlu terus didukung karena Parepare memang masih kekurangan band yang memainkan style death metal. Saya tiba-tiba teringat salah satu band muda yang tahun lalu tampil lumayan beringas, Adolf Hitler, tapi kali ini absen, apakah mer-
eka sudah bubar? Melihat suasana crowd yang sangat beringas saat penampilan Bloody Anus barusan, yang sepertinya masih ingin terus moshing, Asal Rasta kembali didaulat naik panggung, untuk mencairkan dan mendinginkan suasana, sekaligus sebagai penutup acara Parepare Bergerak #2 selama tiga hari ini. Mereka berhasil mengajak semuanya bergoyang ringan dan bernyanyi riang dengan lagu-lagu dari Shaggydog, “Di Sayidan”, dan Steven & Coconut Treez, “Lagu Santai”. Penutup yang pas dan membahagiakan bagi semua yang hadir malam itu. Yup, kami anak baik-baik, kami datang untuk musik, menikmatinya, bersenangsenang, pulang dengan tenang, damai, tak kurang suatu apa, dengan perasaan puas, senang, sampai terbawa mimpi indah, tidurpun nyenyak, bangun bangun sudah di surga. Sekitar pukul 23.00, setelah pengumuman pemenang dan penyerahan hadiah untuk skateboarding competition, dan apresiasi panitia yang diwakili Ewink dan Mendo’ kepada sponsor, para guest star, peserta, penonton dan pihak lainnya yang telah hadir dan mendukung acara ini sehingga bisa berlangsung sukses hampir tanpa kendala berarti selama tiga hari, akhirnya, Parepare Bergerak #2 resmi ditutup. Dan sebelum berpisah, malam itu sempat
diadakan sesi foto-foto bareng dan juga seremonial pelepasan teman-teman yang datang dari luar kota Parepare. Aftermath Beberapa teman dari Pasukan 15 yang saya temui beberapa hari setelah acara mengungkapkan kepuasan dengan edisi kedua dari seri Parepare Bergerak ini. Apa yang mereka cita-citakan dengan mengadakan gelaran ini sedikit banyak telah terealisasi. Ya, tujuan yang mereka sasar seperti persatuan, kerjasama dan kekompakan berbagai macam komunitas kreatif di dan dari luar kota Parepare, dan sasaransasaran lain telah menunjukkan bahwa acara yang menguras keringat, tenaga dan duit ini tidak sia-sia. Fakta bahwa acara ini telah berlangsung sukses hanyalah sebuah bonus. Memang masih banyak kekurangan, tapi ke depannya itu semua bisa diperbaiki. Hal tersulit dalam menyelenggarakan gelaran berseri dari tahun ke tahun adalah menjaga kontinyuitasnya. Dan, jika di edisi pertama tahun lalu anak-anak Pasukan 15 berhasil menunjukkan eksistensi mereka, di edisi kedua ini mereka berhasil menunjukkan konsistensi mereka. Maju terus skena Parepare!
.
OUR MUSIC
image taken from cournalie.blogspot.com
k
emudian ada pula musisi yang bertahan habis-habisan dengan idealismenya, dan yang paling menarik yang akan kita bahas adalah para musisi yang bertahan hidup dengan menemukan racikan bermusik yang baru sebagai hasil implementasi dari lirik-lirik ekspresif yang disuarakan tidak hanya melalui liriknya semata, tapi juga melalui musik dan performanya. Mari kita cicipi sedikit rasa dari musik yang out of the box: avant-garde. Istilah ‘avant-garde’ muncul sebagai bentuk kata sifat dalam Bahasa Inggris yang digunakan sebagai istilah untuk orang atau karya yang eksperimental dan inovatif, terutama penghormatan kepada seni, kultur dan politik. Avant-garde menunjukkan perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu kebudayaan.
Musik avant-garde menyuguhkan banyak kegilaan jenius, karena secara teknikal musik ini berfokus pada penggalian ide-ide musik baru dan eksperimentasi dalam berbagai bentuknya, yang lebih bertumpu kepada kepuasan ekspresif sang seniman daripada kesuksesan secara komersial. Dan karenanya, seperti juga di wilayah budaya populer lain semisal film, fashion dan lukisan, istilah ini kemudian lebih berkembang sebagai umbrella term yang digunakan untuk mengakomodasi dan mengelompokkan berbagai jenis musik yang melampaui jamannya, dengan tingkat imajinasi dan aktualisasi di luar kewajaran dan norma yang saat itu berlaku. Sama halnya dengan term ‘extreme metal’ untuk memayungi grindcore, black, death, doom dan thrash metal.
Roots Pada dekade 60-an ketika Amerika dilanda masalah sosial, politik dan rasial, berkembanglah budaya berkesenian (termasuk, tentu saja seni musik) baru bernama avant-garde yang memperlihatkan pergerakan kesenian melawan batas-batas norma berkebudayaan. Ambivalensinya kemudian, para senimannya juga bertindak sebagai agen counter culture terhadap lingkungan dan isu-isu lokal yang sedang merajai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa musik dan tatanan hidup baku mahluk sosial saling mempengaruhi, walaupun pada akhirnya kebanyakan bermutual kembali dengan kebijakan penguasa. Pada konteks ini para musisi tidak ubahnya seperti politikus yang mempunyai pengaruh terhadap pola pikir massa, tetapi tentunya dengan tujuan, bahasa,
AVANT GARDE MUSIK DI LUAR KOTAK
Kening saya berkerut melihat rilisan baru dari para musisi yang begitu banyak setiap harinya, belum lagi munculnya genre-genre musik yang setiap saat seakan bermutasi. Hal ini memperlihatkan beberapa gejala pada dunia kreatif para musisi, ada gejala musisi pengekor atau sering disebut mainstream, yang kemudian banyak digambarkan sebagai musisi yang hanya mementingkan ketenaran dan keuntungan ekonomisnya saja.
oleh Arief Hidayat Adam
dan pendekatan yang berbeda. Ini terlihat pada karya para musisi avant-garde yang selalu melibatkan isu-isu ras, kemarahan, perdamaian, perang, cinta dan kebebasan. Semua aspek musiknya diberi keleluasan untuk berimprovisasi. Pada segi musikalitas, ciri khas dari avant-garde ini dikenal dengan pola titik nada yang menumbuk aturan musikal umum yang juga membolehkan erangan, pekikan dan tangisan dalam menyampaikan energi dan emosi. Jazz? Salah satu genre dari musik avant-garde yang mencekat saya di antaranya adalah free jazz, salah satu dari 52 subgenre jazz. Sudah banyak cara yang digunakan untuk memetakan dan mengurai sejarah musik jazz dan turunannya. Salah satu cara yang paling mudah adalah
pendekatan dari alur sejarah penamaannya. Secara harfiah, ‘jazz’ berasal dari istilah slang West Coast sekitar tahun 1912, yang mempunyai arti ‘yang bervariasi’. Arti dari penamaan inilah yang kemudian menjadi salah satu tolak ukur pengindikasian jazz, dan menjadi ciri khas dari musik jazz itu sendiri: bentuk musik dari bermacam seni suara yang mempunyai pola nada yang sangat dinamis, rumit dan provokatif. Tapi jauh dari situ, embrio dari jazz dan avant garde ini lagi-lagi berasal dari ‘orang-orang bernyali yang terjaga pada malam hari’. Saya selalu membayangkan bagaimana cerita ini dikisahkan secara turun-temurun, kisah tentang budak-budak Swahili yang ada di Amerika Serikat yang hidup dalam ketertindasan, dan konon hidup mereka lebih menderita dari kaum marjinal. Setiap malam bermula dari ketukan ranting
sebagai penghilang rasa sepi, ditambah dengan vokal berat dan putus putus yang menyuarakan ekspresi kesedihan mereka, menciptakan sebuah budaya bermusik baru seperti yang telah banyak diceritakan. Ya, embrio dari jazz ini adalah blue note, atau yang kita pahami sebagai blues. Di Indonesia sendiri, pada realitanya musik jazz dan turunannya mendapat stereotype ‘musik mahal dan eksklusif’. Lihat saja betapa jarangnya gig jazz diselenggarakan, atau kalaupun ada, itu hampir selalu berlangsung di tempat yang mewah dan dengan upeti masuk yang mahal juga. Lantas bagaimana para lower class bisa menikmati dan mengenali jazz?
OUR MUSIC
image taken from cowboydan.org
Karena tidak ada definisi yang disepakati secara bulat, maka musik apa saja yang ‘lebih maju dari jamannya’ (baca: aneh) bisa dikategorikan avant-garde. Pengkategorian ini sendiri bisa menjadi sangat subyektif karena perbedaan cara pikir tentang ‘lebih maju dari jamannya’ tadi. Karenanya, bernaung di bawah term ini memberikan keleluasaan tak terkira bagi semua yang terlibat: musisi, media maupun pendengar. Berikut beberapa ‘genre’ dan musisi yang mungkin bisa dimasukkan dalam naungan avant-garde. Bagi saya, mereka ini, orang-orang bernyali yang terjaga pada malam hari, menawarkan berbagai jenis musik yang sungguh jauh lebih sinting dari jamannya.
bagaimana cara pendengar mengapresiasi free jazz dengan rasio enak atau tidak enak yang sangat tidak mungkin dijadikan perdebatan. Tapi yang pasti, lewat SL*T dajjal memang telah muncul melalui musik jazz! Coba juga The Necks, trio dari Australia. Dengan senjata bass, piano dan drum, mereka seperti sedang membuat ombak, cahaya matahari, udara yang sejuk dan membuat kita terhanyut pada trance, dalam racikan musik yang bertempo panjang dan repetitif, tampak seperti shoegaze dengan alat musik yang sederhana dan minimalis, mencekam pada fase tertentu, dan tanpa terasa, kita disuguhi karya musik yang mempesona. Album mereka yang direkomendasikan: “Hanging Gardens” (2001).
Free Jazz Coba dengarkan rilisan aksi avant-garde lokal, Sungsang Lebam Telak. Rilisan mereka membuat saya tiba-tiba ingin mengunyah bunga bakung, mencekam dengan tipikal musik free jazz: resital piano, bass dan terompet. Mereka menyuguhkan parade tumbukan tata musik yang baku dengan kejeniusan menggunakan alat musik (atau kesintingan ya?). Lewat dua ep mereka yang berjudul “Sungsang Lebam Telak” (2006) dan “Kecuali Mengenang Betismu” (2007), Sungsang Lebam Telak (disingkat SL*T) telah memberi pencerahan dan hiburan gratis dengan gradiasi mencolok. Muncul kemudian gunjingan tentang
Noise Istilah ‘noise’ biasa dipakai untuk mendeskripsikan musik relatif bising yang menggunakan elemen bunyi tidak selaras, janggal, gaduh dan nada yang tak pasti, tetapi kemudian berubah menjadi sebuah karya musik. Avant-garde memang lekat dengan noise dan turbulensi sound. Salah satu band yang jadi perbincangan pada masanya adalah Hanatarash (1984-1993). Saya terkagum melihat performa dari band Jepang ini. Band yang digagas oleh seniman bernama Yamatsuka Tetsuro ini menyuguhkan perselingkuhan artistik antara psychedelic rock, surrealist music dengan avant-garde jazz. Banyak
yang kemudian menyebut genre dari proyek ini sebagai Japanoise. Hal menarik yang menjadi ciri khas Hanatarash adalah ketika setiap penonton live performance mereka diharuskan untuk menandatangani disclaimer penolakan pertanggung jawaban kecelakaan bilamana selama acara berlangsung penonton mengalami luka-luka! Contoh pertunjukan paling ekstrim yang pernah disuguhkan adalah melemparkan bom molotov dan kaleng minyak ke arah penonton, atau membawa buldoser menembus dinding ke tengah panggung, lalu kemudian dengan iringan suara mesin buldoser yang bising dia berteriak-teriak impresif! Ada juga Melt-Banana, masih dari Jepang. Band yang dibentuk tahun 1994 ini memadukan musik brutal dan garang dari distorsi gitar, drum, bass dan bebunyian nyaring nan bising dari instrumen elektronik, plus aksi panggung yang chaos, yang dengan cantiknya ditumbukkan dengan tampilan imut sang frontwoman, seolah menyuguhkan satu paket hiburan beauty and the beast dalam noise. Album yang direkomendasikan: “Bambi’s Dilemma” (2007). Jazz Metal Dan ini lahan kesukaan saya, ketika sesuatu yang rumit dibumbui distorsi dan gloomy things. Sudah pernah mencoba mencicipi “The Red Room”-nya Shining? Band asal Norwegia yang banyak dipuja ini
images taken from flacforthemasses.com & latitudes.nu
telah melahirkan sembilan album menarik, meracik musik dengan doom metal dan efek vokal yang kaya, selain juga melibatkan beberapa instrumen brass. Saat mendengarkan trek demi trek dalam album “Grindstone”, seolah saya sedang berada dalam pesawat luar angkasa, dan sedang melayang mengunjungi peradaban lain yang menyambut kita dengan bebunyian aneh, di luar kenyataan bahwa ternyata sudah banyak orang yang melakukan bunuh diri akibat ‘hipnotis’ dari musik Shining ini. Album yang direkomendasikan: “Grindstone” (2007). Siapa yang tidak kenal Cranial Incisored? Band dari Yogyakarta yang banyak di-review sebagai band rumit dengan komposisi hitungan birama lagu yang kacau. Mereka membrojolkan karya-karya yang unik dengan serbuan technical death metal yang dibalut dengan tone khas jazz, coba dengarkan “Rebuild-Reform-Reinstall” yang intronya dimulai dengan alunan sax, seperti mengingatkan kita akan lounge-lounge bersih di kota-kota besar, tetapi kemudian meledak seketika saat gempuran musik khas Cranial Incisored menggaung. Album yang direkomendasikan: “Rebuild: The Unfinished Interpretation of Irrational Behavior” (2003). Post-Rock Di sini ada Set Fire to Flames dari Kanada. Dengan personil sebanyak 13 orang yang masing-masing dipersenjatai dengan berbagai jenis instrumen, dari gitar listrik
sampai cello hingga rekaman monolog orang gila, juga satu orang vj yang bertugas memproyeksikan visual gambar buram dalam aksi live, mereka dengan jenius menampilkan atmosfir gloomy yang sesuai dengan tema pada album. Saat menyimak lagu “Wild Dogs of the Thunderbolt/’They Cannot Lock Me Up... I Am Eternally Free...’ (From Lips of Lying Dying Wonder Body #2)” di album “Sings Reign Rebuilder”, saya seperti merasa berada di dalam kubus yang diberi lubang-lubang intip kecil dan mendengarkan ocehan Hawkings tentang wormhole. Traditional Music Ada Khurusetra, nama yang diambil dari lokasi peperangan dalam epik Mahabharata. Kuartet ini menampilkan dengungan bising yang mencekam, yang dihasilkan dari instrumen para ‘pelakonnya’, tetapi dengan sikap yang penuh ketenangan dan penghayatan. Berbeda dengan sang frontman yang bertugas sebagai ‘wayang’, dengan fasihnya berteriak sengau, atau bahkan cenderung menyeramkan ditambah dengan pukulan kecil pada gong Jawa. Damn, ini mengerikan! Selain itu ada Senyawa, kolektif avant-garde tradisional terbaik sampai sekarang. Digawangi oleh dua orang jenius, Rully Shabara yang juga merangkap sebagai vokalis Zoo dan Wukir Suryadi yang menggunakan instrumen khas dari bambu yang memadukan alat gesek, petik dan tetabu-
han, menciptakan komposisi musik yang menarik, yang diciptakan sendiri oleh Wukir, dan kemudian dinamakan bambuwukir. Unsur-unsur yang digauli dalam proyek ini sangat banyak, dari etnik, tradisional dan rock eksperimental, teknik vokal yang primitif sekaligus modern, unsur-unsur dari alam, dan tentu saja bambu dan mikrofon. Gabungan dari itu semua pulalah yang membuat mereka diakui musisi internasional. Mereka telah merasakan event-event besar internasional seperti Melbourne International Jazz Festival dan Mona Foma Festival. Coba dengarkan album “Senyawa” (2010). Beberapa musisi avant-garde lainnya yang perlu dicoba: Satoko Fuji, Cecil Taylor (free jazz), Malaikat dan Singa (noise), Eugene Chadbourne (bluegrass), TerbujurKaku (breakcore/chiptune/jungle/ koplo) dan Fredrik Thordendal (jazz metal). Masih banyak lagi genre (dan musisi) out of the box yang dikategorikan sebagai avantgarde dalam skena underground. Malah akan terus menjamur seiring arus penciptaan dan hausnya intuisi akan perbedaan. Yang jadi pertanyaan, ketika avant-garde kelak akan menjadi alur mainstream, lalu musik seperti apa lagi yang bisa melabrak pakem? Feel free, the sky has no limits!
.
CHICK
HANA NURAINI MUSIK INDIE: TENTANG KREATIFITAS, KECERDASAN DAN KEBEBASAN
N
ama saya Hana Nuraini. Saya lahir di Garut 22 tahun silam. Saat ini kuliah di FISIP Universitas Garut, Jurusan Administrasi Negara. Saya mengenal musik indie akhir 2008, tetapi resmi jatuh cinta dan tertarik memahami lebih jauh sekitar 2010-an. Perkenalan saya dengan Efek Rumah Kaca dan sejumlah musisi indie mengubah pandangan saya tentang musik. Sebelum itu saya sama sekali tidak tahu ada musisi-musisi yang berkiprah di jalur bawah tanah dengan beraneka ragam genre. Kini sejak jatuh cinta pada musik indie, saya semakin yakin untuk memantapkan pilihan saya di sini. Kalau ada yang mengatakan saya memilih indie hanya karena lari dari kejenuhan pada industri musik mainstream, itu salah besar. Oke, salah satu alasan saya mendengarkan indie memang karena saya sudah sangat jenuh (termasuk jenuh pada tingkah sejumlah musisi mainstream di layar kaca), tetapi lebih dari itu ada sesuatu menakjubkan yang membuat saya secara tulus mencintai indie, yakni: kreativitas tanpa batas, kecerdasan bermusik dan kebebasan berkarya. Saya prihatin melihat musisi mainstream seakan mengalami pengebirian kreativitas ekstrim sehingga mereka terpaksa (dipaksa) memproduksi lagu bertema itu itu saja. Kebebasan berkarya mungkin
hanya ada saat bulan Ramadhan tiba. Setidaknya mereka tidak hanya menulis lagu cinta semata tapi bisa menulis tentang Tuhan, walau sejumlah lagu hanya ditulis dengan lirik seadanya dan bahkan terlalu apa adanya. Yah, mungkin karena dikejar waktu, mengingat Ramadhan hanya berusia 30 hari saja. Asal ada kata Tuhan, Nabi Muhammad atau taubat, menjelmalah sebuah lagu berlabel lagu religi. Tak peduli apakah substansinya mengena di hati atau tidak. Ah, dangkal dan monoton sekali. Sungguh, berada di dunia musik mayor saya merasa dunia terasa sempit dan kita seolah-olah tak punya agenda lain dalam hidup selain mempersoalkan cinta dengan segenap atributnya. Lain halnya dengan musik bawah tanah yang bisa berkarya sebebas-bebasnya, mengeluarkan segenap kreativitas seni dengan dukungan talenta dan kecerdasan yang mengagumkan. Pianis seperti Frau, gitaris seperti Iman Fattah, Adrian Adieotomo, Gugun (The Blues Shelter), dll. hanya contoh kecil dari sekian banyak musisi indie dengan kecerdasan mengagumkan. Bahkan band yang dicatat MURI sebagai band pertama yang dikontrak label rekaman Amerika juga berasal dari ranah bawah tanah. Lihat betapa besar prestasi yang sudah dicetak musisi jalur ini. Sesungguhnya tidak adil ketika di ranah mainstream ada seseorang bersuara pas-pasan dan hanya bermodal lipsync bisa
tetap popular, sedangkan yang nyata-nyata berkualitas tak mendapat kesempatan dihargai sebagian besar masyarakat kita, produser, label. Mereka tidak adil. Musisi indie juga bebas berkarya semau mereka. Bebas menentukan tema, lirik, genre sesuai keinginan tanpa perlu memikirkan pasar akan suka atau tidak. Kepuasan batin dan ketulusan dari fans loyalis menjadi balasan yang lebih besar ketimbang limpahan materi. Di industri musik mainstream rasanya jarang yang membuat lagu tentang efek pemanasan global, potret sosial politik maupun psikologis. Mana ada yang menulis lirik-lirik yang sukar dicerna oleh orang awam seperti lirik Zeke and the Popo atau Sore. Menurut saya, musik bawah tanah, dalam genre apapun, adalah ranah yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya dan menjadi cerdas di sana. Bukan berarti musik mainstream juga tidak demikian, tapi dengan kondisi pasar yang sempit seperti ini, berkarya di ranah indie memberi porsi lebih untuk ketiga hal tadi.
.
“
Menurut saya, musik bawah tanah, dalam genre apapun, adalah ranah yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya dan menjadi cerdas di sana. Hana Nuraini, 22 tahun. Mahasiswi, aktif menulis, penyuka hujan dan penikmat musik indie. Untuk membaca tulisan-tulisan lainnya silakan berkunjung ke rinaihujan07.blogspot.com
CHICK
RUSNANI ANWAR
DARI SCUMBAG KE PUBLICIST, DAN SUSAHNYA MEMBANGUN SCENE
S
aya lahir dan dibesarkan di Sampit, kota kecil di Kalimantan Tengah. Usia saya 20 tahun Januari lalu. Saya menghabiskan masa sekolah sampai tingkat menengah atas di kota kelahiran saya. Sebagai yang seseorang lahir dan besar di kota kecil, saya tidak begitu peduli dengan mimpi-mimpi besar. Keadaan di sekitar saya hanyalah rutin dan akan berakhir di pernikahan. Mindset seperti ini melekat hingga saya membaca buku “My Self: Scumbag” di tahun 2007. Atau tepatnya, saat saya berkenalan dengan penulisnya di tahun itu. Singkat cerita, saya teryakinkan untuk bermimpi menjadi penulis. Di tahun 2009, saya kesampaian untuk menulis di koran, sebagai wartawan. Tulisan-tulisan saya di koran lambat laun berkembang menjadi blog. Blog itu kemudian dilirik oleh seorang produser film di Jakarta dan akhirnya saya ditawari pekerjaan sebagai publicist, dengan spesialisasi copy writer. Jadi, kalau dulu saya tidak kenal metal, saya tidak akan ada di Jakarta (saya belum pernah keluar pulau sampai dengan tahun lalu), dan bekerja seperti sekarang. Saya suka metal, keroncong dan jazz. Bisa dibilang tiga jenis ini yang betah menemani playlist saya di tahun-tahun belakangan. Tidak ada alasan romantis sih, suka saja. Saya gampang jatuh cinta sama musik dengan ketukan rapat, lirik menakjubkan dan skill bermusik yang hebat. Untuk metal, saya kenal sejak sma kelas satu, tahun 2007. Saya pertama kalinya dikenalkan dengan Burgerkill dan membaca buku biografi Ivan tadi. Sejak itu mulai menggali
musik-musik Ujungberung Rebels dan berlanjut sampai sekarang. Saya tidak tahu apa yang metal lakukan ke orang lain. Namun jika bertanya apa pengaruh metal terhadap saya, saya merasa memiliki teman dalam menghadapi kelabilan masa remaja. Metal membuat saya yakin bahwa there’s plenty of people that heading the same issues like mine. Saat ini, saya sudah tidak lagi mengelaborasi ke-metal-an dengan fashion atau attitude. Ada masanya di mana metal menjadi ungkapan pemberontakan saya. Masa-masa itu dipenuhi emosi dan lagu-lagu keras menjadi representasi terbaik. Ada pula masa di mana metal menjadi ciri, menjadi fashion dan tidak lebih dari apa yang terlihat di luar. Dari semua fase, sengaja atau tidak, metal menjadi semacam soundtrack-nya. Dari banyak teman yang saya tanya mengenai kenapa suka metal, kebanyakan akan mengaitkannya dengan emosi terdalam. Sesuatu yang personal, sebab demikian adanya. Musik underground mampu menangkap kemarahan, kegamangan sekaligus kesedihan dan membahasakannya dengan double pedal dan jeritan pig squeal. Ini sebabnya massa underground sangatlah solid, sebab musik ini tidak sekedar menjadi suara bising yang berlalu sekenanya di radio. Filosofi DIY bagi saya adalah apa yang saya lakukan selama ini. Melakukan sesuatu karena suka, karena ingin, bukan sebagai pembuktian eksistensi. Menulis ya menulis saja. Kalau do it yourself tapi mengharuskan orang lain terlibat sebagai audiens atas ‘oh betapa indie-nya gw’ kan
oksimoron ya. Apakah saya aktif dalam scene? Saya rasa tidak. Sebab di Sampit sendiri scene itu belum terbentuk. Saya hanya menulis untuk beberapa zine, menyiar dan menggagas Ruang Lokal, salah satu program di radio. Tahun 2009, saya dan sekurangnya tujuh kawan lain menghimpun massa yang menyukai musik keras, dan tercetuslah SMC (Sampit Metal Community yang kemudian menjadi Sampit Music Community). Anggotanya lumayan, enam puluhan orang. Kami bermarkas di studio musik dan menggelar pertemuan setiap senin malam. Kita sharing soal musik metal dengan pemateri bergantian antara saya dan tiga teman lain. Sayangnya tidak bertahan lama, awal 2010 komunitas ini bubar seiring keluhan teman-teman mengenai minimnya gig di kota kami. Sementara untuk membuat gig sendiri rasanya sulit mengingat kami masih hijau dan perizinan yang rumit. Saat ini, saya sepertinya akan tetap di Jakarta, melakukan apa yang harus saya lakukan. Mungkin akan kembali dan mencoba giat di scene kota Sampit lagi tahun depan. Tidak mudah membangun scene, lebih tidak mudah lagi untuk membuatnya tetap ada dan bergerak. Semoga scene di kota saya kembali menggeliat kelak.
.
“
Musik underground mampu menangkap kemarahan, kegamangan sekaligus kesedihan dan membahasakannya dengan double pedal dan pig squeal. Rusnani Anwar, 20 tahun. Wartawati, penyiar radio, penulis dan penggiat scene di kotanya. Saat ini bekerja sebagai publicist di salah satu rumah produksi di Jakarta. Bisa ditemui di rusnanianwar.blogspot.com
BAND BERBAHAYA
OLLIE OVER www.facebook.com/ollieover
T
idak banyak yang memainkan hardcore di Parepare. Salah satu di antara yang sedikit itu adalah Ollie Over. Sebenarnya, mereka tidak memainkan hardcore sejak awal. Terbentuk pada 2006 dengan nama Paku Beton dengan formasi Patrick (gitar), Donking (vokal), Anton (bass), Taufik (drum) dan Zul (gitar), saat itu mereka lebih banyak
memainkan punk dengan meng-cover lagu-lagu Endank Soekamti dan Superman is Dead. Tahun 2008, entah demi glorifikasi atau apa, mereka mengganti nama menjadi Dr. Azahari is Dead. Di tahun ini pula, karena alasan pribadi, Donking dan Anton memutuskan keluar. Tahun 2009, Mendo bergabung untuk mengisi kekosongan pada bass, sedangkan vokal diambil alih oleh Patrick. Seiring bergabungnya Mendo, nama Dr. Azahari is Dead pun diganti dengan Ollie Over. Selain nama, arah bermusik mereka juga turut berubah dengan lebih seringnya mereka memainkan musik punk yang lebih cepat dan intens, mengarah ke hardcore yang terpengaruh Terror dll. Sayangnya, akhir tahun 2009 Patrick harus meninggalkan Parepare, membuat Ollie Over kemudian masuk ke masa hibernasi yang cukup lama. Barulah pada tahun 2011 lalu, dengan kembalinya Patrick, Ollie Over bangkit lagi, memulai rejuvenasi
dan memasukkan Ujang pada posisi gitar menggantikan Zul yang keluar, serta menambahkan satu lagi gitaris, Amme, sebagai additional. Dengan formasi baru ini, mereka menyatakan serius dengan Ollie Over, dan siap membawa band ini lebih berperan dalam memajukan skena hardcore di Parepare. Tema-tema dalam lagu mereka masih sama dengan band-band hardcore di manapun; persaudaraan, perlawanan, kerasnya kehidupan sehari-hari dll. Salah satu tes terbesar mereka sebagai salah satu pionir hardcore di Parepare adalah ketika, bersama Brainfool (Makassar), Straight Answer (Jakarta) dan Outright (Bandung), ditunjuk sebagai band pembuka untuk legenda hardcore dunia, Madball, yang akan tampil di Makassar Stage pada paruh kedua tahun ini. Mantap!
.
BAND BERBAHAYA
HEAT B SEEKER ROCKETS www.reverbnation.com/hsrband
esar dalam lingkungan underground Banjarmasin dan subkulturnya, akhirnya tercetuslah ide untuk mendirikan band yang bernama Black Valentine pada tahun 2007 oleh lima anak muda yang terdiri dari Romi (vokal), Agus (gitar), Ryan (gitar), Nyonk (bass) dan Fuad (drum) dengan memainkan rock/post-hardcore. Pada awal 2009 mereka mengubah nama menjadi Heat Seeker Rockets, yang dipakai hingga sekarang. Setelah mendapatkan tambahan personil, Veri (keyboard & vokal) warna musik Heat Seeker Rockets pun mengalami sedikit perubahan, lebih mengarah ke metal/hardcore. Keluarnya Ryan dan Fuad kemudian tidak membuat mereka gusar, malah menambah semangat dan referensi musikal mereka dengan masuknya Arie dan Ichsan sebagai pengganti. Dan line up ini masih bertahan, makin solid dan terus berkarya lewat beberapa lagu dan rencananya sebuah ep yang akan dirilis tidak lama lagi. Harapan mereka simpel saja: dapat diterima oleh semua kalangan penikmat musik, khususnya di Banjarmasin dan sekitarnya.
.
UP CLOSE
GALIH WIBOWO NUSANTO
“
Victoria Concordia Crescit, nama aku Galih, sama dengan kedua adik laki-lakiku. Sedari kecil hidup di desa, di pelosok Jawa Timur sana. Dan begitulah, kalau di desa pasti identik dengan musik dangdut dan setiap ada event, pasti jarang aku lewatkan untuk tidak menontonnya, dan pasti selalu naik ke panggung ikut joget, dan untungnya di Jawa tidak ada istilah saweran, jadi siapapun boleh. Baru mengenal metal, mungkin pas nonton konser /rif di lapangan dekat sekolah, walau sebelumnya sudah tahu beberapa lagu Metallica. Terlebih pas kuliah, jauh dari rumah membuat keingintahuan yang lain membesar. Seringkali di sela perjalanan dari kampus ke rumah kakak sepupu, sengaja muter-muter di Blok M, nyari kaset-kaset bekas yang dulu gampang ditemukan di emperan dalam terminal situ. Kemudian pas sudah kerja, ketemulah sama Gigih, yang kebetulan sekelas waktu di STAN, dan kebetulan pula kami sekosan pas sudah kerja. Dari situlah mulai tambah diracuni hal-hal yang bagus macam System of A Down. Tapi, lama kelamaan ternyata jiwa aku tidak di jenis
musik seperti itu, dan sekarang lebih menggemari lagu-lagu dari 30 Second to Mars, Saosin, Funeral for A Friend dll. Sedikit tentang aku, pada dasarnya aku orangnya egois, selfish, penakut dan semua hal-hal jelek lainnya. Cuma satu yang aku coba pegang dari dulu, dan mengutip wejangan ibu sebelum meninggal; “sholatnya dijaga mas, dan teruslah berbuat baik sebisanya, pun gak ada pamrihnya�. Kalau TUC, dulu sih idenya memang dari si Monodh. Kemudian diajak join, dan di situ ketemu teman-teman lama, sama teman-teman lainnya, ketemu Olap juga. Ya, walau selama kopdar di Jakarta yang muncul itu-itu aja, namun masih terasa kental persaudaraan ini. Saling share musik dan semua pengetahuan, becandaan bahkan hinaan. Banyak banget yang bisa aku dapetin dari perkawanan ini, so terima kasih banyak buat kawan-kawan TUC. Long live for all!!�
.
UP CLOSE
MUH FAHMI
“
Saya orang munafik!!! Saya adalah orang yang membenci kemunafikan, tetapi pada saat yang sama saya membenci diri saya sendiri karena saya juga munafik. Saya benci melihat kehancuran pelan-pelan negeri ini, dan saya tidak bisa melakukan apapun untuk merubahnya. Masa kecil saya dipenuhi dengan penyakit kulit. Karena permainan masa kecil saya adalah lapangan berdebu, becek dan got-got sekitar rumah untuk menangkap ikan cere. Dan saya sangat bangga akan hal ini, karena masa kecil saya dipenuhi dengan permainan dunia luar dan diselingi sedikit Sesame Street, Goggle Five, Megaloman, Power Ranger dan Satria Baja Hitam. Mungkin yang patut disalahkan akan kegemaran saya dalam bermusik adalah ibu saya, walaupun dengan suara yang ‘cukup indah’ ketika beliau bernyanyi, tapi saya rasa sangat cukup untuk meracuni otak saya ini dengan melodi yang mengalun dari alat-alat musik. Awal smp sampai kuliah saya adalah orang yang mencari jati diri dengan mendengarkan bermacam-macam musik dari berbagai band. Sampai akhirnya ketemu band pertama yang membuat saya
sangat amat jatuh cinta, the one and only, Slipknot!!! Kemarahan dalam musik merekalah yang membuat saya deeply in love in metal, dari situlah kemudian baru saya mendalami metal-metal yang lain Saat ini, setelah menikah, saya masih suka membuat istri saya berkerenyit dahinya setiap saya mendengarkan musik metal di rumah. Dalam pikirannya, metal adalah musik yang aneh dan tidak jelas. Saya masih berlangganan majalah FHM, terkadang masih menonton gigs metal, terkadang masih suka jelalatan melihat perempuan cantik, masih suka ngebut pake motor dan lain-lain. Saya tahu TUC dari Gigih dan forum intranet dulu. Saya memutuskan bergabung karena bisa ketemu manusia-manusia aneh yang terdampar di DJP ini. Untuk ke depannya, TUC tidak harus jadi apa-apa, cukuplah kita bergerak diam-diam dan bisa siap bergerak kalau ada peperangan. Terakhir, saya cuma mau menambahkan; “tidak peduli sekecil apapun, selalu ada perhatian yang diberikan oleh seseorang terhadap apa yang kita lakukan dan menyukainya.”
.
SCENE REPORT
PALU T NOISE TERRI TORY
apak distorsi komunitas musik underground di kota Palu sudah dimulai sejak pertengahan tahun 90-an. Pertumbuhan skena underground berbanding lurus dengan maraknya gigs underground yang digelar. Satu demi satu komunitas underground bermunculan, dan pada tahun 2000 komunitas underground dipersatukan oleh Viata Ritual dan gigs Underground I dan II pun digelar dengan segenap talenta dari berbagai genre yang variatif seperti Kalomba Corps, Arwah, Viata Ritual, Almarhum, Mummy, Netral Ground, Neo Next Sound, Sperma Red, Kafan of Death, Sex Punk, I’m Punk dan lainnya. Tak berapa lama, kesatuan skena underground di kota Palu mulai meredup. Masing-masing komunitas kembali fokus pada genre yang mereka sukai. Unity Palu
Punk ‘n’ Skin bergeliat dengan komunitasnya, Grunge Society pun demikian. Adapun penikmat genre death metal mendirikan Palu Death Metal. Dengan degradasi integritas tersebut, semakin hari semakin jarang gig yang digelar bagi pecinta dan pelaku skena underground. Sehingga satu per satu band pengusung musik cadas ini vakum dan bubar, bahkan ada beberapa band yang tidak sempat merekam karya mereka dalam sebuah album. Situasi ini pelan-pelan membuat komunitas-komunitas underground yang tadinya ramai menjadi sepi. Keheningan ini sebenarnya tidak lantas membuat pecinta musik cadas menjadi habis sama sekali. Mereka tetap berusaha eksis dengan cara tampil di gig yang ada seperti festival dan bazaar musik, yang sejatinya diperuntukkan untuk kalangan mainstream.
Tapi, semangat do it yourself harus terus berkobar, dan menggeliatnya skena metal secara global dengan banyaknya rilisan album dari band-band semacam Lamb Of God, Avenged Sevenfold, Trivium, Burgerkill, dan lainnya, pada akhirnya memberikan influence dan motivasi untuk kebangkitan kembali musik metal di kota Palu. Melihat keadaan tersebut, Relly (gitaris Traxtor) dan Hermanto (pemilik MH. Music Gallery) berinisiatif membentuk sebuah wadah untuk menyatukan kembali para pecinta musik metal. Dan dari situlah kemudian berdiri komunitas 13th Area, yang pada 30 September 2007 diubah menjadi Palu Noise Territory. Di Palu Noise Territory tidak ada dikotomi genre, karena hal ini dikhawatirkan akan memicu friksi di kalangan pecinta musik metal itu sendiri. Dalam perjalanan-
nya, komunitas ini bertekad untuk menyatukan para metalhead di seluruh penjuru kota Palu dan memasyarakatkan musik metal di kalangan masyarakat awam yang cenderung memandang sinis terhadap kehadiran para pecinta musik underground. Sampai saat ini, Palu Noise Territory yang bermarkas di MH Music Gallery, Jl. Moh. Hatta No. 23 Palu, Sulawesi Tengah telah merangkul banyak band dan penikmat musik cadas yang tersebar di semua wilayah kota Palu. Palu Noise Territory saat ini terdiri dari empat cabang di empat penjuru Kota Palu: Barat, Timur, Selatan dan Utara. Beberapa band yang telah bergabung antara lain: Traxtor, The Lyan Ghost, Maracana, Quartet, Katiriselle, Ankgono, Vetranizm Sound, Alcatraz, Tyranical Soul, Carolina’s Moon, Respect Your Mom, Fatalfury, Devil Paradise, December Blazzing,
Up Down, Madicca, Dewi Like Cholesterol, Tweety, The Legend of Horror Story dll. Melihat antusiasme dari teman-teman pecinta musik cadas yang bergabung, maka ke depannya Palu Noise Territory selain akan mengadakan gigs juga berencana merilis album kompilasi dari band-band cadas yang ada di kota Palu serta menjalin hubungan dengan berbagai komunitas underground di seluruh Indonesia sehingga diharapkan kehadiran Palu Noise Territory akan semakin solid dan terus bertahan.
.
Untuk tahu lebih lanjut silakan berkunjung ke palunoise. blogspot.com. Terima kasih kepada Redaksi repalution.com, Bang Hermanto, Maman dan Ifar untuk teks dan foto.
PENADAH LUDAH
TUPAC SHAKUR
LEGACY OF A THUG
image taken from rap-wallpapers.com
oleh Ajar Redindra Islami Bagi Anda yang kurang mengerti hiphop mungkin agak asing dengan figur Tupac Amaru Shakur a.k.a 2pac a.k.a Makaveli, rapper yang telah meninggal 16 tahun lalu. Namun pemberitaan media yang lumayan heboh saat hologramnya tampil di festival Coachella beberapa waktu lalu mungkin sedikit banyak akan menggelitik rasa penasaran Anda, memangnya seberapa hebat sih ini orang? Well, kalau boleh saya gambarkan, nama Tupac punya pengaruh pada kaum Afro Amerika sama besarnya seperti nama Benyamin S punya pengaruh pada orang Betawi.
S
aya rasa jika Anda mendengar musiknya sekilas Anda akan mendapat kesan stereotype rapper gangster Negro dengan lirik yang vulgar dan kasar seperti biasa (seperti rapper gangster lain maksud saya). Tapi lebih dari itu semua, jika Anda perhatikan lebih teliti lirik-lirik dalam lagunya Anda akan menemukan makna-makna yang jauh lebih dalam. Terlahir dari keluarga dengan latar belakang organisasi Black Panther, diberi nama yang diambil dari nama pemimpin pemberontakan Indian Inca di jaman penaklukan, serta referensi bacaan buku-buku filosofi, politik dan strategi macam “Art of War”-nya Sun Tzu, atau bukunya Niccolo Machiavelli (bacaan yang berat dan cukup mengejutkan tentunya jika melihat latar belakang pendidikan dan kemiskinannya), Tupac jelas lebih dari sekedar musisi dan gangster. Bagi sebagian orang dia adalah sosok yang inspiratif, pemberontak, filsuf, pujangga dan semacam aktivis yang dengan caranya sendiri menjadi pengeras suara untuk kaumnya. Kritik sosial politik, pesan-pesan pembelajaran, masalahmasalah kemiskinan dan kemanusiaan yang dihadapi kaum Negro di lingkungan kumuh terbungkus rapi dalam lirik-lirik penuh kekerasan dan tema kriminalitas. Lagu-lagunya akan memberikan perasaan ‘terwakili’ bila pendengarnya adalah kaum kulit hitam miskin. Sementara bagi golongan lain maka Tupac bisa membuai dan mengajak mereka melihat secara detil permasalahan-permasalahan hidup dari sudut pandang kaumnya, betapa memang tidak adanya banyak pilihan bagi mereka selain jalan kekerasan: what can we do? we’re poor, and even worse, we’re black. Di beberapa lagu Anda dapat menemukan lirik-lirik yang lebih mengharukan daripada tayangan sinetron di televisi
swasta kita, “Brenda’s Got A Baby” atau “Dear Mama” misalnya, di mana dia bisa secara menyentuh menggambarkan dramadrama sosial yang pelik dan tidak akan bisa selesai dengan penghakiman sepihak. Sementara di lagu lain, Tupac seolah memberikan energi positif lewat “Life Goes On”, “Happy Home” atau “Keep Ya Head Up” bagi pendengarnya yang putus asa dengan permasalahan kehidupannya, if you can’t find something to life for, then you best find something to die for. Hari ini mungkin Anda dapat menjumpai ribuan rapper lain dengan tema semacam itu, ribuan rapper yang bisa ngerap lebih cepat dari dia, tapi saya rasa tidak akan pernah ada yang dapat membuat musik setara dengan Tupac. Bagi saya pribadi musiknya tetap yang paling orisinil, dalam dan berkarakter. Albumalbum hits-nya ketika masih hidup, delapan album pasca kematiannya dan kumpulan puisi-puisinya adalah warisan berharga bagi dunia seni. Organisasi Tupac Amaru Shakur Foundation yang didanai dari penjualan album dan memorabilia pasca kematiannya pun bergerak di bidang sosial dan seni sekaligus, dengan membantu anak-anak kurang mampu (tentunya kebanyakan dari kaum kulit hitam) yang memiliki bakat seni untuk lebih mengembangkan diri. Sekali lagi, Tupac adalah simbol tersendiri bagi kaumnya. Dan tentang kematiannya, saya rasa Anda dapat menemukan berbagai buku maupun artikel yang jauh lebih baik dan lengkap di internet tentang hal ini. Entah tindakan kriminalitas murni, konspirasi, atau memang karena perselisihan West Coast vs East Coast hiphop scene. Terlalu banyak kebetulan dan pertanda dalam kasus pembunuhannya, menimbulkan berbagai peluang untuk berbagai teori dan kemungkinan, yang toh sampai hari ini belum dapat diputuskan kepastiannya oleh penegak hukum.
Tupac sendiri sering kali mengisyaratkan dalam lagunya betapa siapnya dia mati dalam baku tembak jalanan (istilah gangster-nya ‘drive by’), sebuah resiko kehidupan yang memang telah dihadapi sehari-hari di lingkungan di mana dia berasal. Lagu-lagu seperti “God Bless the Dead”, “How Long They Will Mourn Me” atau “The Good Die Young” yang katanya ditulis sebagai tribute untuk teman dan kerabatnya yang meninggal dengan cara seperti itu pula terasa sangat tragis ketika pada akhirnya dia menutup usia dengan cara yang sama. Tak terselesaikannya kasus itu pun menambah kesan acuhnya otoritas pada kaumnya (terlepas dari benar atau tidaknya). Isu-isu perbedaan hak rasial, kesenjangan sosial dan kepastian hukum yang sering kali diekspos Tupac dalam lagunya pun terasa makin nyata, dan seolah dia mati sebagai martir untuk hal-hal yang diperjuangkannya itu. Kematian yang sempurna untuk seorang yang hidup sebagai simbol, kebetulan atau konspirasi? Sekali lagi, entahlah. Mengutip dari wawancara Tupac dengan Vibe Magazine tujuh bulan sebelum kematiannya: “All good niggas, all the niggas who change the world, die in violence. They don’t die in regular ways”. After all, kematian adalah sesuatu yang akan menjemput siapa saja dan kapan saja. Dua puluh lima tahun adalah usia yang cukup singkat untuk seorang manusia. Namun yang terpenting adalah apa yang dapat kita lakukan dalam waktu yang singkat itu. Kontribusi dan warisan apa yang dapat kita berikan pada komunitas, lingkungan dan dunia yang akan kita tinggalkan ini. Berkaca dari Tupac, saya rasa tidak ada yang mustahil.
.
PENADAH LUDAH
BANDUNG BERISIK, JAVA ROCKIN’ LAND DAN ROCK IN SOLO
SEBUAH PERBANDINGAN UNTUK MENCARI FORMULA METAL FEST IDEAL DI INDONESIA oleh Anak Agung Ngurah Goya Yamadagni
T
ahun 2011 lalu metalheads Indonesia sepertinya begitu dimanjakan dengan begitu banyak konser band metal dari luar negeri, baik itu yang kelas super group seperti Iron Maiden atau band metal antah-berantah, yang jelas dari luar negeri. Di samping itu ada tiga event festival besar yang diadakan di tahun ini; Bandung Berisik di bulan Juni, Java Rockin’ Land di bulan Juli dan Rock In Solo 2011. Ketiga festival besar ini punya benang merah yang sama; ‘metal fest’, tapi buat saya pribadi ada beberapa perbedaan yang signifikan dari ketiga festival besar ini. Mari kita kupas satu per satu. Pertama, Bandung Berisik, it’s a real underground movement, festival yang digagas anak-anak Ujung Berung ini diselenggarakan pertama kali tahun 1995 dengan semangat DIY total. Untuk menekan biaya promosi pada saat itu, band-band yang tampil diwajibkan bikin pamflet sendiri, suatu cara yang jitu untuk promosi sebuah event. Untuk Bandung Berisik 2011 atau gelaran yang kelima kalinya ini, anak-anak Ujung Berung mempercayakan penyelenggaraannya pada professional EO. Kalo kita lihat dari sisi penyelenggaraan event, maka aura underground di festival ini sangat kental. Festival ini juga dijagokan menjadi salah
satu metal fest terbesar di dunia sekelas Hellfest, Ozzfest dll. Bayangkan saja, di gelaran kelima ini metalheads yang datang sampai 25.000 orang. Berlanjut ke Java Rockin’ Land, festival tiga hari berturut-turut ini diselenggarakan di Pantai Carnaval Ancol, dengan jualan segudang artis impor, tahun ini headlinernya ada Helloween dan The Cranberries. Menurut saya, festival ini 100% berbau komersial dengan satu brand rokok sebagai penyandang dana utama. Walaupun bertebaran band impor tapi aura metal fest kurang terasa di event ini, mungkin juga karena hangus terbakar api komersial tadi. Enough with JRL, kita pindah ke event yang masih hangat dibicarakan karena kehadiran sang walikota, bapak Joko Widodo, dengan mengenakan kaos Lamb of God di event ini; Rock In Solo 2011. Festival ini mungkin menyadur nama dari Rock In Rio. Hampir sama seperti Bandung Berisik, Rock In Solo tahun ini juga merupakan gelaran kelima yang mengambil tema “Heritage Metal Fest”. Festival ini digagas oleh anak anak The Think yang dikomandoi oleh Aji Down For Life dengan semangat yang hampir sama dengan semangat anak-anak Ujung Berung ketika menggelar Bandung Berisik. Di event tahun ini, Rock In Solo menyiapkan Death Angel dan Kataklysm se-
bagai headliner utama festival ini. Ada satu hal menarik yang bisa kita lihat dari gelaran Rock In Solo tahun ini, yaitu dukungan pemerintah daerah yang begitu besar atas event ini, hal ini dibuktikan dengan kehadiran walikota Solo, bapak Jokowi di festival ini. Kehadirannya pun bukan formalitas belaka, sang walikota datang sendiri tanpa pengawalan dengan mengenakan kaos Lamb of God dan menikmati show Death Angel dan Kataklysm sampai tuntas. Saya dengar malah sang walikota pengennya tahun depan ngundang Metallica dan Lamb of God ke Rock In Solo 2012, salut buat walikota yang metalhead ini. Dari perbandingan ketiga event besar di atas mungkin kita bisa mencari formula metal fest yang paling ideal untuk scene metal di Indonesia. Bagi saya menggabungkan semangat Bandung Berisik serta dukungan total dari pemerintah seperti pada gelaran Rock In Solo dan membuang jauh-jauh bau komersialisme seperti di Java Rockin’ Land akan jadi suatu formula yang sangat dahsyat. Mudah-mudahan nantinya Indonesia punya satu gelaran metal fest yang benar-benar diakui para metalhead di belahan dunia lain. Keep smokin’ your metal engine.
.
PENADAH LUDAH
PROMOTOR MUSIK,
BISNIS YANG MENGGIURKAN? oleh Anak Agung Ngurah Goya Yamadagni
B
elakangan ini semakin banyak kita lihat promotor musik baru yang menggelar pertunjukan musik, baik untuk event berskala nasional atau internasional. Suatu hal yang menggembirakan bagi kita para penikmat musik karena semakin banyak pilihan tontonan bagi kita, cuma mungkin agak menyedihkan untuk kantong kita, karena semakin banyak dana yang harus kita sisihkan kalo ingin menikmati eventevent tersebut. Setiap event yang diadakan selalu dipenuhi penonton fanatik dari tiap artis yang ditampilkan si promotor. Sebagai orang awam di dunia perpromotor-an, sepintas kita mungkin akan menduga bahwa para promotor tersebut meraup untung besar di tiap event-nya. The truth is, gak selalu begitu. Banyak promotor yang mengalami rugi besar walaupun show-nya dipenuhi penonton. Banyak kasus seperti itu, sebagai contoh show Lamb of God. Fans-fans Lamb of God memenuhi hampir seluruh area venue, tapi berdasarkan kabar yang tersiar pihak Solucite selaku penyelenggara mengalami kerugian cukup besar dari event itu. Masih banyak lagi contoh lain dengan kasus yang hampir sama. Di lain pihak, banyak juga event yang mendatangkan keuntungan yang menggiurkan bagi si promotor, sebagai contoh show-nya
Justin Bieber yang tiketnya udah sold out jauh sebelum show-nya berlangsung. Whats up? Dari dua contoh di atas mungkin kita akan menyalahkan genre musik atas sukses atau tidaknya suatu event, tapi bagi saya pribadi genre musik gak ada sangkut pautnya dengan kesuksesan suatu event. Sebenarnya sudah ada formula standar bagi tiap promotor untuk menghitung berapa harus menetapkan harga tiket biar bisa, paling tidak, balik modal. Secara sederhana formulanya bisa saya gambarkan sebagai berikut: harga tiket = total seluruh biaya event : (80% x kapasitas venue). Kenapa 80%? Disamping untuk perhitungan BEP juga untuk pertimbangan keamanan (masih ingat kan dengan tragedi Beside?). Walaupun hampir semua promotor menggunakan rumus di atas masih saja banyak yang mengalami kerugian, apa yang salah disini? Berdasarkan pengamatan saya, ada beberapa hal yang lolos dari perhitungan para promotor tersebut, misalnya penentuan waktu penyelenggaraan event, tiket palsu, penonton jebolan, show yang dibikin lebih dari satu kali dan yang terakhir, promosi. Di samping hal-hal tersebut, ada satu cara yang aman untuk dipilih promotor musik untuk menghindari kerugian, yaitu sistem sharing tiket atau door split.
Dengan sistem ini hasil penjualan tiket akan dikurangi seluruh pengeluaran promotor sebelum nantinya akan dibagi antara si artis dengan promotor dengan prosentase pembagian sesuai dengan kesepakatan yang telah dibikin sebelumnya. Namun sistem seperti ini mungkin agak sulit diterapkan ke band-band yang sudah mapan. Demikian coretan saya, mudahmudahan sedikit membantu bagi yang punya niat jadi promotor musik.
.
PENADAH LUDAH
oleh Andria Sonhedi
BURNING BRIDGES image by metalzone666 taken from flickr.com
B
anyak yang menyayangkan saat Dream Theater menolak sang eks drummer sekaligus pendiri, Mike Portnoy, untuk kembali bekerja di Dream Theater. Saya katakan bekerja karena kala sebuah band mulai berdiri dan bertekad untuk profesional maka band tadi bisa disamakan dengan perusahaan atau badan hukum. Perusahaan rekaman akan mengikat kontrak dengan band, bukan dengan pribadi-pribadi dalam band tadi. Setelah itu perusahaan rekaman akan meminta ada manajer yang akan mewakili band bila berhubungan bisnis, anggota band akan ‘digaji’ dan lain sebagainya. Portnoy seperti kita ketahui, dulu adalah personil Dream Theater yang paling banyak terlibat proyek musik dengan artis lain. Reputasinya sebagai drummer yang kompeten (begitu istilah Dave Grohl dari Foo Fighters) membuat orang atau fans selalu tertarik dengan proyek yang dia ikuti. Dia adalah pendiri Liquid Tension Experiment bersama John Petrucci, Jordan Rudess dan bassist legendaris Tony Levin. Dia juga pendiri Transatlantic, sebuah progressive rock supergroup bersama keyboardis/vokalis Spock’s Beard, Neal Morse, gitaris Flower Kings, Roine Stolt dan
bassist Marillon, Pete Trewavas. Portnoy juga ikut rekaman, tampil live dengan Avenged Sevenfold, Neal Morse, OSI, Hail!, Stone Sour, Fates Warning, Overkill dan G3. Belum lagi kegiatan Portnoy membuat tribute band untuk The Beatles, Led Zeppelin, Rush, dan The Who. Ditambah lagi perannya dalam menyenangkan para pengemar Dream Theater dengan merilis banyak official bootlegs show Dream Theater di website-nya. Dengan seabreg kegiatan luarnya, walau dia selalu menyatakan bahwa Dream Theater adalah prioritas utama, jelas membuat tenaga dan kreativitasnya banyak terserap sehingga membuat dia ingin istirahat sejenak dari Dream Theater. Sayangnya Portnoy lupa bahwa di dunia bisnis rekaman semua orang bisa digantikan. Dan itulah yang dilakukan para anggota Dream Theater lainnya, memberi pilihan untuk tetap mengikuti jadwal band atau keluar. Pada 8 September 2010 Portnoy mengumumkan pengunduran dirinya dari Dream Theater. Sebuah keputusan yang mencengangkan semua penggemar secara umum dan penggemar Mike Portnoy khususnya. Belakangan, Avenged Sevenfold yang diharapkan jadi wadah kreativitas barunya malah menghentikan kerjasama. Pada akhir 2010,
Portnoy mengajukan penawaran untuk kembali ke Dream Theater, dan lewat pengacaranya (ingat perusahaan tadi?) Dream Theater menolak Portnoy untuk kembali. Ada dua hal yang saya dapatkan dari akhir yang menyedihkan atas peristiwa hengkangnya Mike Portnoy dari Dream Theater. Pertama, jangan membuat keputusan bisnis dengan didasari emosi. Kedua, bila kamu membakar jembatan hari ini, kamu pasti akan menyesal karena tidak bisa menyeberang di kemudian hari (sebagaimana ditulis Dave Eleffson di bukunya “Making Music Your Business”).
.
PENADAH LUDAH
oleh Andria Sonhedi
DEADICATION image taken from twistedwallpapers.blogspot.com
B
eberapa waktu lalu saya sempat melihat video clip mendiang Ronnie James Dio, “Metal Will Never Die”. Sepertinya itu adalah salah satu lagu terakhirnya sebelum dia meninggal karena kanker di bulan April 2010 lalu. Saya tidak memasalahkan kalau Anda mungkin menganggap judul lagu ini culun dan kekanak-kanakan. Tidak masalah juga seandainya saat ini lagu-lagu Dio terlalu ringan dan membosankan untuk para penggemar metalcore, nu metal atau ekstrim metal lainnya. Saya menghormati Ronnie James Dio sebagai artis yang mendedikasikan dirinya pada heavy metal bahkan hingga beberapa saat sebelum meninggal. Dengan wajah awet tua dan postur tubuh pendek untuk ukuran orang barat (Ozzy Osbourne pernah mengejeknya sebagai kurcaci saat menggantikann posisinya di Black Sabbath dulu) Dio tetap dihormati untuk perannya membawa heavy metal tetap ada di hati para pecintanya. Itu terutama karena suaranya yang powerfull untuk genre metal dan kharismanya saat di
atas panggung. Belum lagi perannya yang menginspirasi banyak artis untuk menjadi vokalis metal, selain juga karena kebersahajaan hidupnya. Dio pernah menerima Metal Guru Award dari majalah Classic Rock Magazine di tahun 2006 dan Best Metal Singer di ajang Revolver Golden Gods Awards di bulan April 2010. Ada lagi tokoh heavy metal yang
proyek solonya, Fight dan Halford, yang bertipe balada atau membentuk proyek industrial metal kolaborasinya dengan John5, 2wo. Kita pada saat ini terjebak untuk nglokro (bahasa Jawa untuk patah semangat) hanya karena dihujat dan dicibir untuk hal-hal yang tidak kita lakukan atau yang pernah diperbuat para pendahulu kita. Bahkan ada yang hanya sekedar karena ketidakpastian SOP, posisi kerja atau penempatan ke homebase. Mereka jadi tidak ingin berhadapan dengan ‘klien’ (istilah presenter tv), kehilangan motivasi kerja dan bahkan ada pula yang ingin resign. Saya mempertanyakan masih bisakah kita memberikan dedikasi pada tempat kerja kita segigih yang telah dilakukan mendiang Dio, Rob Halford, atau juga Freddie Mercury maupun Lemmy Kilmister yang tetap konsisten walau menuai cibiran entah karena postur tubuh, pilihan seksual atau kekurangan fisik lainnya? Let’s work!
you’ll be caught in the middle of the madness just lost like them and part of all the pain that they feel and all the fools sailed away... mirip, Rob Halford sang vokalis Judas Priest. Pernah dituntut karena lirik lagunya dianggap membuat penggemarnya bunuh diri serta pengakuannya yang mengejutkan sebagai gay di tahun 1998. Namun bagi sebagian besar penggemar metal (termasuk Kerry King dari Slayer) setuju dengan julukan kehormatan ‘metal gods’ untuk Rob Halford. Namun pada dasarnya dedikasi Rob untuk tetap berada di jalur heavy metal tanpa pernah surut sudah terbukti. Memang ada beberapa lagu Judas Priest, dan di dua
.
PENADAH LUDAH
KLASIK
oleh Chresno Daroe Warsono
B
eberapa waktu lalu di milis m-claro beberapa anggota memposting tentang indahnya suara kaset. Ya, aku sendiri sangat sangat setuju dengan pendapat mereka. Suara dari kaset (analog) sesungguhnya lebih bagus, lebih indah dan nuansatik dari suara-suara digital saat ini. Aku mengenal musik claro dan art rock ketika masih jaman kaset di awal 80-an, saat masih smp. Aku ingat kaset pertamaku adalah “The Best Hard Rock” produksi Billboard/Kings Record, beli pada tahun 1983 seharga Rp. 1.500 di toko Duta Irama di kota Malang, lokasinya antara pertigaan Jl. Oro-oro Dowo dan perempatan toko Rajabali-Kimia Farma (entah saat ini lokasi-lokasi itu masih ada atau sudah berubah nama dan bentuk, sudah lama aku tidak menginjakan kaki di kota dingin itu). Kaset pertama ini sampai kini masih aku simpan, cuma tidak pernah diputar lagi. Periode antara 1988 (saat mulai era kaset lisensi) sampai 1997 merupakan saat paling banyak aku ngumpulin kaset, karena saat itu aku masih senang mencoba berbagai musik rock. Jadi selain ngumpulin album-album band claro dan art rock yang sudah aku kenal, aku juga beli album-album image taken from eduardoelektronikasmkn5.blogspot.com
band-band rock baru, macam Nirvana dan Pearl Jam. Di masa itu aku juga rajin ngubek-ubek pasar Jati Negara dan Jl. Surabaya untuk ngumpulin kaset-kaset lama (era bajakan) yang belum sempat terbeli pada masanya. Setelah tahun 1997 itu aku rasakan musik rock yang baru makin tidak karu-karuan dan membosankan, makanya aku berhenti atau sangat jarang beli kaset. Selain itu, yang aku amati, produksi kaset setelah 1997 itu tidak sebanyak masa sebelumnya dan untuk album baru cenderung jauh terlambat dari release date resminya. Pelan-pelan aku sortir kaset-kasetku, banyak yang masuk kotak ‘for sale’. Sampai saat ini aku sudah melego 741 kaset, baik melalui milis, di Jatinegara atau di Jl. Surabaya. Yang tersisa sejumlah 377 kaset, 105 di antaranya adalah koleksi lama, produksi jaman bajakan, sebagian besar labelnya Yess & Team Record. Kadang-kadang merasa menyesal juga sudah terlanjur melepas begitu banyak koleksi kasetku. Sebagian besar kaset itu sebenarnya aku suka, tetapi karena sudah punya cd-nya maka saat itu aku putuskan untuk dilepas. Kecuali untuk beberapa kaset yang aku sangat-sangat sayangi, meskipun
sudah punya cd-nya, kasetnya akan tetap aku simpan. Sejak beberapa bulan lalu aku mulai kembali ngumpulin kaset-kaset claro dan art rock original, antara lain album-albumnya Yes dan ELP era awal, berburunya di ebay.com. Sampai saat ini yang sudah dapat antara lain album studio Yes dari album pertama sampai “Union”, Led Zeppelin “The Song Remains the Same” (2 kaset), Jethro Tull “20 Years of Jethro Tull” (boxset isi 3 kaset), ELP “Welcome Back…” (2 kaset) dan “Love Beach”. Setahuku, sebagian besar kaset-kaset itu belum pernah diproduksi dan diedarkan di Indonesia, benar-benar KLASIK: Kaset Langka dan Asyik.
.
PENADAH LUDAH
KENAPA ART ROCK? oleh Chresno Daroe Warsono
K
alau Anda membaca judul di atas mungkin jadi bertanyatanya, kenapa art rock, bukan progressive rock? Ya, aku lebih nyaman menggunakan istilah art rock daripada prog rock yang saat ini lebih populer, karena istilah art rock itulah yang aku kenal dan sudah lebih dari 20 tahun nempel di otakku, untuk menggambarkan musik-musik indah karya ELP, Yes, Genesis, Rush, Kansas, Marillion (era Fish) dan lain-lain. Terus terang, aku tidak percaya diri kalau menyebut diri sebagai ‘penggemar progressive rock’, takut tidak bisa menjawab kalau ada yang bertanya tentang Porcupine Tree, Nightwish dan band-band progressive baru lainnya yang aku tidak ngerti babar blas (tidak paham sama sekali). Memang pada dasarnya sebagian besar musik yang aku dengar selama 20 tahun terakhir ya itu-itu saja: Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath dan lain-lain (hard rock) serta ELP, Yes, Genesis dan lainlain (art rock). Tapi terus terang aku tidak pernah bosan, tetap saja terdengar indah di telingaku, tetap maknyus kalau istilah Pak Bondan. Ada juga band art rock baru (di atas 90-an) yang aku bisa nikmati dan image taken from albumartexchange.us
suka, tapi tidak banyak, yaitu cuma: Dream Theater, Flower King dan Spockbeard. Musik atau album band-band art rock jadul itu juga tidak semuanya aku suka, biasanya hanya di era 70-80 an saja. Sempat juga sih dalam satu masa aku memiliki koleksi lengkap album-album mereka, tapi akhirnya aku ‘pangkas’ dan aku ‘lepas’ di milis (m-claro dan prog rock) atau di Udin Jl. Surabaya. Beberapa contohnya: Genesis, tadinya aku sempat mengoleksi dari “From Genesis to Revelation” (1969) sampai “Calling All Stations” (1997), tapi akhirnya aku sisakan dari “Trespass” (1970) sampai “Genesis” (1983), yang lain dilego. Kansas, yang tersisa dari “Kansas” (1974) sampai “Drastic Measures” (1983) doang. Meskipun banyak teman yang bilang “Power” (1986) bagus, tapi terus terang dari dulu aku tidak bisa menyukainya, ya akhirnya dilego juga. Demikian juga Rush, yang tersisa “Rush” (1974) sampai “A Show of Hands” (1989). Begitu juga Yes, “Yes” (1969) sampai “Talk” (1994). Tapi lain kasusnya dengan Marillion. Sesungguhnya dari dulu sampai sekarang aku hanya suka era Fish, tapi aku mengoleksi juga 4 album pertama Hogarth, karena di versi remastered 2 cd
yang aku punya, di sampingnya ada huruf M, A, R, I (untuk 4 album era Fish). Setelah sekian lama terpampang ‘MARI’ doang kok kayaknya aneh dan jelek banget jadi ya terpaksa aku beli juga 4 album pertama Hogarth yang di sampingnya ada huruf LL, I, O, N. Jadi sekarang pas dan enak dilihat: MARILLION.
.
PENADAH LUDAH
MCA REST IN PEACE image taken from banana1015.com
oleh RMF Semua yang hidup pasti mati. Hal itu tentu saja dapat menimpa seorang musisi hiphop nyeleneh yang saya kagumi dari Beastie Boys. Berita duka itu pertama kali saya ketahui ketika itu saya sedang asyik membaca-baca twit di timeline dari orang-orang yang saya follow untuk sekedar mencari berita atau apalah yang perlu saya ketahui (yang jelas bukan cerita tentang aib atau hal-hal negatif yang selalu di-twit-kan oleh para pemuda pemudi iseng yang entah apa maksudnya itu selalu seperti bangganya menceritakan aib orang lain).
T
wit yang saya maksud adalah dari Moby (@thelittleidiot): ”I’m very very sad to hear of Adam Yauch’s passing. He was a wonderful, generous, remarkable, and inspiring man and friend”. Yang membuat saya jadi bertanya pada diri sendiri; Adam Yauch yang mana? Kenapa saya jadi terbayang Adam Suseno suami mbak Inul yah? Ah tapi saya yakin Moby pasti tidak kenal Adam Suseno itu. Dan seperti biasa saya langsung googling, dan akhirnya keluarlah frase ‘Adam Yauch, Beastie Boys’, oh Adam Yauch dari Beastie Boys, grup hiphop legendaris asal Amerika Serikat itu. Yang terlintas pertama kali tentang Beastie Boys dalam benak saya adalah salah satu teman kuliah, Joni A (yang angkatannya tiga tahun di atas saya tapi kabar terakhir dia akhirnya lulus tahun lalu, akhirnya) yang setiap kuliah, minimal empat hari dalam seminggu, selalu memakai kaos Beastie Boys. Saya sempat membeli kaos Beastie Boys pemberian temannya yang
kekecilan itu. Ya, Joni yang menurut saya adalah number one fans of Beastie Boys di Indonesia pasti sangat sedih mendengar berita ini. Walah nulis apa saya ini. Oke, Beastie Boys ini adalah grup hiphop yang saya suka karena ketidak biasaan mereka dalam bernyanyi dan membuat aransemen. Mendiang Adam Yauch a.k.a MCA ini adalah salah satu ‘otak’, pendiri sekaligus bapak dari Beastie Boys. Tidak aneh memang jika musik hiphop mereka memiliki kecenderungan memainkan beat-beat yang cepat, dengan hentakan-hentakan yang absurd serta tentu saja lirik-lirik yang amazing kalau kata mas Tukul. Mungkin ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa awalnya mereka adalah band punk. Beastie Boys yang cukup sukses ini terbilang jarang dalam merilis album, meskipun angka penjualan album mereka sebagai grup hiphop boleh dikatakan luar biasa. Beastie Boys yang didirikan Adam ‘MCA’ Yauch, bersama dengan Michael ‘Mike D’ Diamond, Adam ‘Ad-Rock’ Horovitz dan Micahel ‘Mix Master Mike’ Schwartz pada tahun 1979 ini juga merupakan band hiphop yang sangat menginspirasi bagi para musisi berbagai genre dan generasi setelahnya. Bagi saya yang lahir di tahun 80an, beatbeat dari Beastie Boys tidak pernah keluar dari playlist di pemutar mp3 saya karena asyik didengarkan, terutama di saat pagi
hari menjelang dimulainya rutinitas kehidupan. Adam yang lahir 47 tahun yang lalu ini juga dikenal sebagai anggota Beastie Boys yang paling peduli terhadap masalah sosial. Salah satu kegiatan sosialnya yang sukses adalah Tibetan Freedom Concert yang keuntungannya disumbangkan untuk perjuangan kebebasan Tibet. Adam didiagnosa terkena penyakit kanker sejak tahun 2009, yang mengakibatkan tur promo untuk album teranyar mereka “Hot Sauce Committee Part Two” pada tahun 2011 ditunda, menunggu sampai Adam sembuh total dari penyakit yang dideritanya. Namun akhirnya Adam ‘MCA’ Yauch dikabarkan meninggal dunia pada hari Jumat, 4 Mei lalu di New York. Hal ini tentu saja menjadi kesedihan bagi semua penikmat Beastie Boys, termasuk juga para musisi yang pernah bekerjasama dengannya di Capitol Records, label favorit saya, tempat banyak band idola bernaung. Saya teringat kata-kata yang dinyanyikan oleh Wayne Coyne dari The Flaming Lips: do you realize that everyone you know someday will die / and instead of saying all of your goodbyes let them know / you realize that life goes fast / it’s hard to make the good things last Setidaknya Adam Yauch sudah meninggalkan sesuatu yang kelak menjadi amal kebaikannya, yang akan selalu dikenang dan menjadikannya tidak hanya sebagai seseorang yang terkenal karena kejeniusannya bermusik dan menghibur banyak orang, juga atas kepedulian sosialnya bagi umat manusia. Selanjutnya, akan menjadi hal yang menarik menunggu hasil karya musik dari Beastie Boys sepeninggal Adam. Ini tentu menjadi misteri tersendiri bagi para penggemarnya. Goodbye Adam ’MCA’ Yauch, you’re Mr. Goodman
.
PENADAH LUDAH
RADIO SHOW
HISTERIA KELAS MENENGAH Tahun 2007, Marjinal tampil dalam sebuah feature program di salah satu tv swasta nasional, memicu reaksi cukup keras dan memunculkan tudingan sellout dari para hardliners. Beberapa tahun kemudian, mereka muncul lagi di tv swasta nasional, memainkan lagu-lagu mereka secara live di sudut sempit sebuah kafe elit. Kali ini, setahu saya, tidak ada reaksi negatif.
oleh Bobby Durjana
s
aya tidak sedang ingin ikut berpolemik dalam perang ideologi kaum punk, dan tidak sedang mencoba mewakili sentimen apapun yang ada di sana. Penampilan kedua Marjinal di tv itu, awal tahun ini, adalah satu dari ratusan episode yang telah berlalu dari program tv favorit anak muda perkotaan saat ini: Radio Show di tvOne. Meskipun saya tahu yang dipersoalkan kala itu bukanlah konten atau konsep, mungkinkah karena program ini sungguh berbeda dari yang dulu sehingga tidak ada reaksi negatif? Wallahu a’lam. Memvisualisasikan konsep radio ke program televisi sepertinya memang bukan hal baru, termasuk di Indonesia. Yang membuat program ini kemudian menjadi begitu heboh adalah dia hadir di kala televisi mulai kehilangan selera, di tengah kejumudan yang begitu-begitu saja, dan terutama menurut saya, dengan konten yang berani melabrak formula manjur bisnis televisi. Keberanian mereka, orang-orang di belakang program ini, sungguh patut diacungi jempol. Mereka seperti tidak memikirkan rating dengan menampilkan konten yang ‘berat’ dan musik yang tidak laku dalam jam tayang yang ‘mati’. Adalah Sys NS, seorang ‘pemuda di jamannya’, yang datang membawa dan menghidupkan kembali romansa radio ke dalam televisi, menyisipkan berita korupsi dan sepakbola dalam aksi musik live di tempat sempit, dan video klip dari masanya. Meskipun si Muke Gile harus
mundur juga karena merasa diintervensi, atau saya justru melihatnya ditenggelamkan oleh idenya sendiri? Dia terlalu ‘jadul’ untuk selera masa kini. Burgerkill, Eyefeelsix, Efek Rumah Kaca, TOR, Frau dan Besok Bubar hanyalah segelintir musisi tidak biasa yang tampil di Radio Show, dan itulah yang menjadi perbedaan terbesar program ini dibanding program musik di tv lain. Program ini lebih mementingkan isi ketimbang kemasan dan menampilkannya dengan jujur, apa adanya, atau setidaknya itulah yang saya lihat di layar kaca. Musik yang selama ini hanya bisa kita dengar eksistensinya di kalangan tertentu, bisa ada dan memperdengarkan ketidak biasaan mereka di televisi nasional adalah harapan yang menjadi nyata. Mereka, setelah sekian lama, akhirnya mendapatkan ruang untuk unjuk diri dengan kejujuran mereka dalam bermusik, mengingatkan khalayak akan keberadaan mereka, dan membangunkan kesadaran kolektif kepada orang-orang yang masih peduli dengan perkembangan musik Indonesia, bahwa, ‘”ini loh, masih ada musik selain yang kamu dengar dan lihat tiap pagi”. Saya pernah membaca sebuah tulisan, saya sungguh tergelitik dengan salah satu retorika di situ: “kalau sekarang jaman kebebasan pers, kenapa tidak boleh mengumpat di televisi?”. Haha, ada benarnya juga kalau dilihat dari satu sisi. Itu akan benar jika semua orang punya persepsi dan takaran yang sama dalam mengukur kebebasan. Masalahnya, tidak semua orang akan merasa biasa-biasa saja dengan teriakan ‘anjing’ dalam sebuah program tv. Dalam kaitannya dengan Radio Show, saya kemudian menyederhanakannya menjadi: kamu telah diberikan taman bermain, bermainlah sepuasmu, tapi jangan ganggu temanmu, atau kami akan menutup taman ini. Kebebasan berekspresi dan berperilaku di tataran indie (atau underground) memang tidak serta merta bisa dibawa sepenuhnya ketika sudah berhadapan dengan audiens yang lebih besar, apalagi dalam sebuah program tv nasional yang disiarkan secara live. Saya yakin, ini juga sudah disadari oleh mereka yang mendapat kehormatan untuk tampil, meskipun beberapa kali saya melihat masih ada yang keseleo lidah, haha.
Dan demi kebaikan bersama (pihak televisi, musisi dan terutama kami, penonton yang sudah lama merindukan tayangan bermutu), baiknya mereka yang tampil, berbesar hati untuk sedikit menekan energi meluap-luap mereka. Histeria Kemudian terjadilah euforia dan histeria massa. Ini seperti menunggu terlalu lama dalam kegelapan, kemudian ada setitik lubang yang memberikan cahaya, dan udara, dan semuanya bergegas ke sana, dan mulai berteriak-teriak kegirangan. Dalam kurun yang tidak terlalu lama, gaung Radio Show (di dunia maya) akhirnya menyebar ke mana-mana, dan singkat saja kemudian menjadi pengukur identitas dan eksistensi kaum muda kelas menengah masa kini. Rasa-rasanya Anda belum keren kalau belum nonton Radio Show. Atau malah kemudian menjadi gerbong yang membawa semangat derogatori kembali hangat untuk diluapkan. Inilah kami, pemuda-pemudi keren, dengan selera musik yang bagus, lebih baik dari kalian yang menye-menye. Haha, sudah lama kami ingin menumpahkan itu, tapi kami membutuhkan tandingan, dan sekarang kami punya Radio Show. Saya bisa merasakan itu, luapan emosi kegembiraan akan kehadiran sebuah acara musik yang akhirnya bisa kita banggakan, dan kita gunakan untuk menjawab acara-acara musik yang sudah eksis di stasiun lain. Saya adalah seseorang yang tidak eksis di dunia media sosial, tapi saya bisa merasakan itu di puluhan twit yang dipajang sepanjang acara. Tidak salah, dan manusiawi sekali, tapi tidak usah terlalu berlebihan. Toh, tidak ada yang tahu, titik kulminasi kebosanan mungkin akan melanda. Radio Show kini hadir tiap hari, siapa yang bisa memastikan konsep dan konten mereka di masa depan masih akan sama dengan yang kita saksikan hari ini? Untuk saat ini, sebagai seseorang yang mungkin ikut dalam rombongan yang histeris itu, saya kadang-kadang berharap Sandy Andarusman akan menjadi saingan ketat bagi Olga dan Raffi, yang terbengongbengong melihat aksi Deadsquad di panggung Panasonic Award tahun depan, who knows?
.
LAHIR SEKOLAH KERJA MATI KAPAN BIKIN ZINE? tuczine.tumblr.com
MENADAH LUDAH
JANGAN AJARI
ANAK-ANAK ITU MENIPU oleh Hana Nuraini
Bermunculannya boyband dan girlband di ranah industri musik tanah air rupanya tak hanya diramaikan remaja dan orang dewasa saja. Belakangan muncul pula girlband dan boyband yang personilnya adalah anak-anak berusia sekitar 8-12 tahun dan masih duduk di bangku sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Tidak ada yang salah dari hal ini sebenarnya. Merupakan hak setiap orang termasuk anak-anak untuk berkarya di dunia musik. Tapi sayangnya kemunculan boyband dan girlband anak-anak ini menimbulkan beragam persoalan yang membuat miris.
P
ertama, tema lagu yang mereka usung kebanyakan berkutat seputar cinta kepada lawan jenis. Bayangkan! Anak-anak sekecil itu sudah diinternalisasi dengan nilai yang menurut saya belum pantas bagi mereka. Saya bergidik mendengar lirik lagu salah satu boyband anak-anak. Lagu mereka yang saat ini tengah booming sangat kental dengan unsur cinta lawan jenis yang sekali lagi, belum sepantasnya mereka gauli. Sebagai publik figur, sebagai seniman seharusnya mereka memberikan contoh yang baik. Namun tentunya anak-anak itu tidak bersalah. Yang keliru adalah orang-orang dewasa yang ada di balik karir mereka, baik produser, pencipta lagu, manajer bahkan orangtua sang anak yang semestinya tidak membangun dunia seperti ini bagi generasi sebelia mereka. Selain lagu bertema cinta sebenarnya ada juga yang mengusung tema lagu tentang cita-cita maupun persahabatan, tapi sayangnya ada beberapa lagu yang liriknya masih terkesan dangkal dan dipaksakan. Bahkan ada yang menggunakan lirik bahasa asing namun terdengar ganjil di telinga. Saya teringat Oppie Andaresta yang menciptakan sebuah lagu yang mengajari anak-anak untuk menanam pohon demi lingkungan. Lirik lagunya sederhana, mudah dicerna semua kalangan, namun sangat indah dan bermakna. Tidak perlu memaksakan diri membuat lirik yang terdengar fantastis tapi sesungguhnya sangat dangkal. Mengapa para pencipta lagu anak-anak itu
tidak mencontoh apa yang dilakukan Oppie maupun pencipta lagu anak zaman dulu, yakni membuat lagu anak dengan bahasa kanak-kanak yang polos, bersahaja dan bermakna? Persoalan kedua, rata-rata penampilan berbusana boyband dan girlband anak-anak itu tidak sesuai dengan usia mereka. Mereka dipaksa dewasa sebelum waktunya. Gaya busana dan penampilan mereka sama saja seperti boyband dan girlband dewasa, hanya saja dalam versi tubuh yang lebih mini. Namun persoalan selanjutnya adalah sebuah realita yang paling miris. Setiap kali anak-anak itu bernyanyi di atas pentas, terkadang mereka tidak bernyanyi dengan menggunakan suara asli alias hanya lipsync saja! Lip sync atau lip-synch adalah cara menyanyi dengan menggerakkan bibirnya saja sedangkan lagu dari si penyanyi diputar dengan keras (sumber: Wikipedia). Fenomena lipsync akhir-akhir ini begitu merajalela di industri musik Indonesia. Nyaris sebagian besar musisi, entah itu penyanyi solo, duo, band, boyband, girlband menggunakan teknik lipsync ketika bernyanyi. Ada yang mengatakan lipsync digunakan karena kualitas suara yang tidak terlalu bagus. Bukankah ini memalukan? Pada dasarnya bernyanyi adalah unjuk suara. Tapi para penyanyi itu justru mempertontonkan penipuan kolektif dengan hanya berpura-pura menyanyi. Lipsync di sejumlah negara adalah hal yang sangat ditentang keras dan
merupakan hal yang memalukan. Bahkan sanksi bagi penyanyi yang terbukti melakukan lipsync sangat berat sekali. Misalnya Milli Vanili, kelompok musik pop dan penari keturunan Jerman-Amerika yang di tahun 1989-1990 pernah menggemparkan dunia musik karena kedapatan lipsync sehingga sejumlah penghargaan yang telah mereka raih dikembalikan lagi. Ironisnya di Indonesia lipsync justru menjadi suatu hal yang sudah dianggap biasa dan wajar. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang di balik industri musik di negeri ini tidak tergerak untuk memperhatikan kualitas seorang penyanyi. Lipsync jelas-jelas upaya penipuan publik. Bagi para pendengar, suara yang disajikan si penyanyi terdengar indah dan jernih. Padahal pada kenyataannya itu hanya suara saat rekaman. Bahkan tidak jarang para penyanyi itu ketahuan tidak memiliki kualitas suara mumpuni ketika bernyanyi dengan suara asli. Lalu mau dibawa ke mana dunia musik kita? Akankah kita bangga dengan para penyanyi yang hanya bermodal tampang atau ketenaran lalu menjual kepalsuan? Ini dunia musik. Yang diutamakan adalah suara penyanyi dan kualitas musik. Bukan soal penampilan atau rupawan tidaknya seseorang. Namun realitanya penampilan justru menjadi nomor satu. Nomor dua adalah popularitas. Kualitas suara entah menduduki nomor keberapa. Parahnya lagi budaya lipsync ini juga diajari kepaada anak-anak personil boyband dan boygirl itu. Berarti sejak kecil mereka sudah diajari ber-
bohong, tidak professional, tidak total, tidak percaya dengan kemampuan sendiri. Mental anak-anak itu dibuat untuk terbiasa menyajikan karya dengan penuh kepura-puraan, asal penonton senang. Lalu di mana keahlian? Di mana latihan dan kerja keras? Jika sejak kecil saja sudah diajari menipu publik, bagaimana jika mereka nanti dewasa? Saya teringat para penyanyi cilik era saya dulu. Sherina, Tasya atau Trio Kwek Kwek. Dengarkan betapa merdu dan menawan suara mereka. Dan saya rasa mereka digemari bukan karena wajah yang rupawan menggemaskan, tapi benar-benar karena keindahan suaranya. Apakah kini, dengan dibiasakannya lipsync kepada anakanak, masa depan musik kita akan terjamin mutunya? Apakah akan muncul kembali sosok penyanyi yang memiliki angelic voice seperti Sherina jika saat ini anak-anak tidak diajari mengutamakan kualitas suara? Tidak semua penyanyi anak-anak melakukan lipsync memang. Ada juga yang image taken from blogricho.blogdetik.com
menyanyi dengan suara asli dan suaranya memang berkualitas. Tetapi biasanya mereka ini adalah para solois. Kita mungkin masih ingat dengan ajang pencarian penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Sejumlah jebolan ajang itu memang terbukti memiliki kualitas vokal sebagai penyanyi. Namun sayang penyanyi seperti mereka saat ini justru jarang muncul di televisi. Hanya satu dua yang masih terlihat tampil di sejumlah acara. Kehadiran mereka terseret derasnya arus boyband dan girlband cilik yang sayangnya dibiasakan melakukan lipsync saat tampil. Mungkin karena yang diutamakan adalah dancenya. Anak-anak itu seharusnya tetap diajari bagaimana bisa menyanyi dengan kualitas prima sambil menggerakan seluruh tubuhnya dengan atraktif, tentunya sesuai dengan usia dan kemampuan mereka. Saya tahu bahwa menari sambil bernyanyi itu tidak mudah, tapi bukan berarti lipsync menjadi jalan yang dihalalkan. Bagaimana
dengan masa depan dunia musik negeri ini jika kualitas suara dan lagu yang bermutu tak lagi jadi prioritas. Bahkan penyanyi cilik sudah diajari menipu publik dengan hanya berpura-pura bernyanyi saja. Saya berharap budaya lipsync secepatnya punah dari dunia musik Indonesia, baik itu bagi penyanyi dewasa maupun kanak-kanak, karena lipsync hanya menunjukan bahwa kualitas penyanyi Indonesia sangatlah rendah. Mari kita bangun dunia musik yang membanggakan, karena negeri ini memiliki potensi luar biasa di bidang ini. Dan kepada para produser, pelatih vokal, kru acara musik di televisi atau siapapun itu, tolong jangan ajari anak-anak bangsa ini menjadi penipu.
.
POINT OF VIEW
BRAND ROKOK DI KONSER MUSIK image taken from blog.lintas.me
M
eski belakangan ‘diganggu’ cukup banyak kompetitor dari industri lain semacam brand operator seluler, perbankan, produk kecantikan sampai restoran cepat saji, brand rokok belum bisa digusur, dan sejak dulu masih merupakan pemain utama di bidang sponshorship bisnis pertunjukan, khususnya konser musik, baik mainstream maupun underground. Ada banyak sisi yang berkepentingan dan banyak argumen yang berbenturan dalam hal ‘produsen rokok mensponsori konser musik’: penyelenggara, penyandang dana, artis, penonton, aktivis lingkungan hidup, isu kesehatan, kooptasi korporasi kapitalis, idealisme dan etika do it yourself, batas toleransi sampai sikap oportunis. Simbiosis mutualisme atau saling memanfaatkan? Bagaimana pendapat teman-teman TUC? ANAK AGUNG NGURAH GOYA YAMADAGNI “Di Indonesia mungkin hal semacam ini (produsen rokok mensponsori acara musik) sudah jadi suatu hal yang biasa, walaupun kadang ada beberapa band
dari luar negeri yang menolak show mereka disponsori oleh produsen rokok. Di skena underground sendiri banyak penolakan atas dukungan dana dari produsen rokok dll, ini semata-mata karena keinginan untuk berpegang teguh pada semangat kemandirian un-
derground. Saya dengar di beberapa negara di luar negeri malah dilarang produsen rokok untuk jadi sponsor acara-acara musik karena pasar penontonnya kemungkinan besar lebih banyak dari kaum remaja.”
YAHUDI “Intinya asal tidak melanggar regulasi yang ada saja, ya biarlah mereka mensponsori (bukan karena aku perokok loh). Sewaktu masih kuliah dulu kalau ada kegiatan mahasiswa baik event olahraga, musik atau bahkan yang sifatnya penalaran pun pastinya akhirnya dapatnya ya pabrik rokok sebagai sponsor utama. Yang aku tidak suka adalah jika mereka ikut-ikutan menjual produk atau membagi-bagi sampel gratis ke penonton atau pengunjung, atau mereka memasang gambar atau logo produk yang sangat besar mengalahkan acaranya sendiri, sehingga kesannya acara tersebut mendukung kegiatan bisnis mereka. Itulah bentuk pertanggung jawaban mereka kepada masyarakat.”
INDAH PUJIATI “Saya awam soal ini, tapi musik itu industri, dipungkiri atau tidak, tapi begitulah keadaannya. Musisi perlu eksis untuk membuat orang mengetahui musik yang dia usung. Pernah dengar kan, kalau sesuatu yang buruk bila diorganisir dengan baik maka akan terlihat baik, sesuatu yang baik kalau tidak diorganisir akan terlihat tidak baik? Profesional di sini, maksudnya dia akan mengorganisir apa yang diusungnya. Sponsor adalah bagian yang mesti dipikirkan juga. Tinggal bagaimana si musisi mau berkompromi atau tidak. Rokok perlu wadah promosi, musisi perlu support untuk bisa menggelar konser. Saya dengar kalau ada konser, pasti ada yang keliling menawarkan barang
dagangan si sponsor, atau bahkan dibagi gratisan. Entah merupakan sesuatu yang tertuang dalam kontrak atau apa, tapi itu merupakan sisi buruk yang ditimbulkan oleh pertunjukan yang disponsori rokok. Karena bisa jadi kan, di antara penonton ada yang masih di bawah umur? Jadi seperti mengajarkan untuk merokok. Mungkin untuk ke depan, bila musisi tak ingin penonton diracuni hal-hal seperti itu, lebih baik mencari sponsor dari brand lain atau swadana.” FADLI MORON “Kalau menurut gw, apapun namanya, rokok lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Jadi, apakah kita mau ikut membantu penyebaran pesan negatif ini?”
“
POINT OF VIEW
Kepentingan mereka di sana hanya menambah akumulasi kapital, tak ada kepentingan lain. Dan seharusnya para pelaku skena bawah tanah peka akan hal itu. NUGRAHANINGTYAS NEVI PUSPITORINI “Aku tak tahu berapa prosentase keberadaan industri rokok di negara kita dibandingkan industri lain. Tapi kalau dilihat, industri rokok turunannya banyak. Dia akan membuat pabrik kertas sendiri untuk kemasan dan packing, begitu juga dengan percetakan. Dan sangat jelas, penyerapan tenaga kerja sangat besar di industri rokok. Selain tenaga kerja langsung yang kerja di pabriknya, juga tenaga kerja tidak langsung seperti petani tembakau atau petani cengkeh. Kalau para non perokok protes dengan banyaknya iklan rokok, masuk ke konser-konser musik, lah bukannya para industriawan itu memang harus memasarkan produknya supaya laku? Untuk bayar tenaga kerja, biaya produksi dan lain-lainnya? Atau bagusnya rokok diharamkan saja? Lihatlah, ulamanya saja merokok. Yang jelas, efek
image taken from indiejember.org
dominonya sangat luar biasa besar. Jika industri rokok harus tutup, mungkin Kudus akan termasuk salah satu kota dengan tingkat pengangguran tertinggi. Dilihat dari sisi penerimaan negara? Lihatlah ke Dirjen Bea Cukai, tanya cukai yang termasuk besar dari mana saja. Dan Jika konser musik disponsori oleh produsen rokok, apa harus kita salahkan? Dengan senang hati produsenprodusen rokok akan masuk ke konserkonser musik, anak muda adalah segmen terbesar bagi pemasaran mereka. Artis atau promotor akan menolak? Hohoho, mereka malah akan kegirangan. Karena dengan adanya sponsor rokok yang besar, gaung konser akan lebih menggema. Simbiosis mutualisme. Apakah kita akan menyalahkan para artis dan promotor itu? Mereka tidak mencuri. Mereka mencari makan. Berapa jumlah artis idealis yang menolak disponsori oleh produsen rokok? Walau saya tidak men-survey-nya secara langsung, tapi saya yakin jumlahnya tidak sebanyak yang tidak menolak. Dan apakah, karena idealis, kita kemudian melarang iklan rokok di konser musik? Kalau tak ada kaitannya dengan artis idealis itu, terus apa? Yang jelas, menurutku, hukum alam akan berlaku. Kalau masih banyak perokok, ya industri rokok akan tetap jaya. But, the bad thing that I thought: industri rokok menyerap lebih banyak oksigen daripada tenaga kerja.” RIDWAN FREDIAWAN “Berbicara mengenai sponsor pada suatu gig saat ini adalah dana, sponsor adalah interpretasi dari dana. Kebanyakan acara saat ini, apalagi jika suatu event mendatangkan sebuah musisi yang terhitung memiliki nama besar, baik
itu di kalangan mainstream atau indie, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Keterbatasan dana yang dimiliki oleh penyelengaralah yang pada akhirnya menjadikan keterbutuhan pada sponsor yang sanggup menggelontorkan dana yang besar. Hal ini sudah barang tentu merupakan simbiosis mutualisme bagi keduaanya. Jika hal itu dikaitkan dengan sponsor dari sebuah brand rokok yang saat ini merupakan perusahaan yang gila-gilaan menyediakan dana promosinya, sudah barang tentu menjadikannya sebagai target bagi penyelenggara dalam mencari dana. Menurut saya musik tidak ada hubungannya dengan rokok, begitupun sebaliknya, sehingga sah-sah saja menurut saya jika sebuah acara disponsori oleh perusahaan rokok. Apalagi bila acara tersebut merupakan acara yang memiliki komunitas tersendiri/tidak masif, mungkin sangat sulit mencari sponsor yang berdana besar selain perusahaan rokok. So, my regard to those brands.” GALIH WIBOWO NUSANTO “Menurut gw sih malah bagus, maksudnya dari segi pendanaan. Toh masyarakat sekarang sudah pada pintar dan dewasa menentukan apa yang mereka mau. Cuma, harusnya, kalau misalnya bisa cari sponsor dari produk non tembakau, kenapa tidak?” ACENG SUNARYA “Karena pengasosiasian musik dengan rokok menggiurkan pasar. Kepentingan mereka (produsen rokok) di sana hanya menambah akumulasi kapital, tak ada kepentingan lain. Dan seharusnya para pelaku skena bawah tanah peka akan hal itu. Pengakumulasian kapital hanya menumbuhkan tunas-tunas tirani baru.”
“
Saya yakin apa yang dihadapi teman-teman di scene jauh lebih kompleks, sehingga memutuskan mengambil tawaran kerjasama seperti ini.
image taken from xtreme-zine.com
ARIEF HIDAYAT ADAM “Mengenai sponsor rokok ini jadi perdebatan juga. Contoh yang paling dekat ketika acara Bandung Berisik 2011 sukses dilaksanakan. Ada gerakan penolakan dari beberapa orang yang memang beridealisme tinggi. Salah satunya Ucok Homicide. Dia mempublikasikan tulisan yang menyentil panitia dan pemprakarsa event tentang bagaimana underground movement yang seharusnya bergerak idealis dengan semangat DIY-nya. Ini sekarang malah berangkulan mesra dengan sponsor-sponsor global seperti Djarum Super dengan promosi yang jor-joran. Konflik yang klasik memang. Tapi jadi miris juga kalau lama-lama para musisi yang dalam berbagai materi lagunya berisi suara resistensi terhadap kebijakan global, atau produk-produk kapital ini, malah dengan senang hati disponsori.” AJAR REDINDRA ISLAMI “Murni sebuah bentuk dukungan atau justru agenda korporasi untuk menancapkan taring? Menurut saya pribadi sih masih fine-fine saja didanai produsen rokok. Bagi saya tidak ada bedanya kalau didanai produsen lain. Apapun itu, saya yakin apa yang dihadapi teman-teman di scene jauh lebih kompleks dari apa yang saya bayangkan, sehingga mereka memutuskan mengambil tawaran kerjasama seperti ini. Saya juga yakin mereka tetap aware akan segala bentuk kemungkinan. Hukum Islam saja bisa fleksibel, ketika keadaan darurat barang haram pun bisa jadi halal, saya rasa DIY ethic pun demikian.” GIGIH SANTRA WIRAWAN “Dilema. Di satu sisi bagus, sisi lainnya ta*i.” ANDRIA SONHEDI “Kalau membuat murah saya senang. Silakan uangnya untuk menekan harga karcis tapi tak usah promo. Dulu Log Zhelebour, dengan sponsor Gudang Garam, bisa mendatangkan Helloween dengan harga karcis 35 ribu rupiah saja. Dream Theater yang kemarin disponsori Djarum, cuma kok masih mahal juga ya?” DHANI BLUES “Kalau gw tidak masalah deh. Mereka jadi sponsor, mendatangkan band luar, fans di sini senang, bayar, nonton, menikmati konsernya, terus sudah.”
SURYA ISNAWAN “Aku sih sah-sah saja. Mereka mampu dari segi finansial dan profesionalitas. Dan yang paling penting mereka mau jadi sponsor, karena sedikit sekali perusahaan non rokok yang mau melakukannya.” MUHAMMAD AMIN “Negara kita, orang terkaya nomor satunya menurut Forbes adalah yang punya Djarum. Adalah wajar, jika banyak produsen rokok dimintai menjadi sponsor untuk kegiatan macam-macam, termasuk konser musik, karena sangat membantu event organizer dalam hal pendanaan. Terus, merokok bagi rakyat Indonesia adalah kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa dipisahkan, bagi siapa saja, termasuk pemain musik sekalipun. Tentang sponsor rokok di konser musik, pasti pilihannya ada dua dong, menggelar pakai sponsor rokok atau tidak. Kalau pun mau pakai sponsor rokok, ya tidak masalah sih, wajar saja. Kalau tidak mau pakai sponsor rokok (idealis), ya cari sponsor lain dong, atau pakai dana sendiri.” ADITYA ARAD WICAKSONO “Sudah sepantasnya dihentikan sponsor rokok. Diganti sponsor minuman beralkohol, bir dan sejenisnya. Lagian, banyak artis luar keberatan main di Indonesia kalau disponsori produsen rokok, kaya’ Wolfmother yang nyaris batal saat Java Rockin’ Land 2010.” KOKO HANDOYO “Well, kita semua tahu, sebagian besar event atau konser yang berlangsung selama ini disponsori oleh produsen rokok. Selain menjadi ajang untuk mempromosikan produk, pasti mereka ikut menjual produk mereka dalam event tersebut, bahkan kadang satu paket dengan penjualan tiket. Permasalahannya adalah, tidak semua penonton yang akan menyaksikan event atau konser tersebut berada pada usia yang sudah diperbolehkan untuk merokok. Namun, seperi kita ketahui bersama, di negeri kita ini kalau tidak disponsori oleh produsen rokok, mungkin event atau konser tersebut tidak akan terlaksana. Ujung-ujungnya kesempatan kita untuk menyaksikan performa musisi, baik dari dalam maupun dari luar negeri, menjadi kecil. Jadi, daripada tidak bisa menyaksikan para ‘pendekar berdawai’ itu memainkan senjatanya, biarlah para produsen rokok menjadi
sponsornya. Yang terpenting adalah event atau konser terlaksana dan harga tiket bisa murah. Masalah produknya (rokok), kembali lagi ke individu masing-masing.” SAIFUL ANNAS GHOZALI “Masalahnya ada di pihak yang mengadakan pertunjukan, mampukah mereka mencari sponsor yang lebih oke, secara moral, maupun, ya tentu saja, finansial?” RADEN ANDRIANA “Kalau menurut pendapat gw sih wajar saja produsen rokok jadi sponsor konser atau event musik di Indonesia. Karena bisa dikatakan cuma perusahaan rokok yang berani mengeluarkan dana sangat besar buat suatu event. Kenapa juga sih dipermasalahkan? Sementara di setiap konser malah bisa dikatakan ada stand yang jualan bir (padahal secara agama kan lebih dilarang?). Untuk sekarang sih ya tidak masalah produsen rokok jadi sponsor. Secara tidak langsung kan dengan adanya sponsor bisa mengurangi harga jual tiket. Lah wong pakai sponsor saja harga tiket masih mahal, apalagi tanpa sponsor.” AKBAR SAPUTRA “Kalau menurut saya yang bukan perokok, dan baru nonton dokumenter “Sex, Lies & Cigarettes”, jelas sudah industri rokok mencari keuntungan dari konser-konser musik sekarang ini. Target utama sekarang adalah generasi muda, yang tua sih sudah tidak jaman. Walaupun sekilas mungkin seperti mendukung perkembangan musik tanah air, saya lebih suka yang jadi sponsor itu jamu-jamuan atau minuman berenergi. Saya suka event seperti Soundrenaline, LA Lights Indiefest, Djarum Super Rock Festival dsb, tapi kenapa harus rokok?” DANU ADISAPUTRO “Kalau dari sisi kesehatan, idealisme dan pandangan masyarakat normal sih, ya jelas salah. Tapi mau bagaimana lagi? Gelontoran dananya memang kuat banget. Memang tidak ada perusahaan non-rokok berdana besar? Pasti ada. Tapi apa mereka berani ikut keluar dana untuk jadi sponsor suatu acara besar? Itu yang gw juga kurang paham. Lingkaran setan? Bisa jadi.”
POINT OF VIEW MOCH. SYAICHUDIN “Pada dasarnya, siapa saja boleh menjadi promotor sebuah konser musik. Produsen rokok jadi promotor konser underground? Why not? Masing-masing berjalan dengan rutenya sendiri-sendiri, sesuai dengan tujuan masing-masing, jika bisa berjalan bersama-sama kenapa tidak? Nonton konser sambil merokok? Sah-sah saja. Justru kalau menurutku yang lebih enak aku komentari itu produsen rokok jadi sponsor acara olahraga.” DERRY MARSELANO “Buah simalakama!” ACHMAD SOFYAN RASYID “Kalau dari sisi finansial sih finefine saja. Tapi selain itu, dilema juga, sama seperti di dunia olahraga. Jalan tengahnya, sekarang banyak kok event underground yang tidak pakai sponsor rokok. Ya pinterpinter event organizer-nya saja, walau realitanya event-event besar tidak jauh dari rokok, karena selama ini memang mereka yang banyak kasih sponsor ke acara musik.” GELAR MAULANA HIDAYAT “Saya perokok, jadi senang saja kalau ada konser musik (yang saya suka) disponsori sama produsen rokok (khususnya yang saya konsumsi). Memang pasar pembeli dan perokok itu banyak dari kalangan pecinta musik juga, makanya produsen rokok memasarkan produknya di konser atau event musik.” SAPTO SUPRIYANTO “Oke-oke saja. Soalnya memang di negeri ini, penyandang dana terbesar adalah produsen rokok. Mereka kan pembayar pajak terbesar juga. Supaya konserkonser bisa berjalan dengan baik, ya butuh sponsor. Musik kan bisa dibilang entertainment, jadi kalau yang mensponsori brand rokok, yang walaupun dibilang agak-agak berbahaya untuk kesehatan tubuh, ya oke saja sih. Kecuali untuk acara yang bertema pendidikan atau relijius, ya sebaiknya jangan produsen rokok.”
“
Yang pasti, sekalipun nantinya bukan brand rokok yang mensponsori event musik maupun olahraga, kita tetap jadi korban korporasi, tidak ada yang berubah. ABRAM MARTIN PREBEN IHUTAN HUTAURUK “Dari segi kesehatan sudah jelas rokok itu tidak ada gunanya menurut penelitian (entah penelitian siapa). Kalau untuk gw pribadi, tidak ada efeknya. Mau event musik disponsori jenis rokok apapun, brand image-nya tidak pengaruh ke gw. Karena cuma Phillip Morris laknat yang nyantol di mulut gw dengan rokok koboinya. Yang harus dikontrol adalah brand image buat perokok pemula. Ya harus dibikin aturan yang jelas tentang iklan, sponsor rokok dll. Tapi lucunya, Indonesia tidak mau ikut konvensi tembakau internasional (kalau tidak salah ya.) Sudah jelaslah itu kepentingan siapa. Tapi masa sih event musik tidak bisa survive tanpa rokok? Ini yang gw belum tahu. Yang pasti, sekalipun nantinya bukan rokok yang mensponsori event musik maupun olahraga, kita tetap jadi korban korporasi, tidak ada yang berubah.” I PUTU RYAN DESSAPTASOMA “Dari saya yang tidak merokok berpendapat, bahwa sebisanya acara anak muda jangan pakai sponsor rokok. Lebih baik cari alternatif lain seperti sponsor bir misalnya.”
FAHMI BENYEGH “Tidak masalah. Demi kejayaan musik metal Indonesia.” ULY UGLY “Di satu sisi gw suka banget musik, dan senang banget kalau bisa liat performance mereka langsung di depan mata. Tahu sendiri kan auranya live concert itu seperti apa? Tapi di sisi lain, gw pribadi termasuk yang tidak suka sama asap rokok. Jadi, ah terlalu rumit, kalau masalahnya diangkat dari sisi industri rokok, penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, pengangguran atau go green dll. Toh, tidak bisa dipungkiri juga, masalah sponsor dari produsen rokok itu tidak cuma di musik saja. Selama pemerintah atau pihak swasta lain belum bisa menjadi sponsor untuk kegiatan olahraga, musik atau bidang lain, siapa saja yang bisa, ya silakan. Untuk saat ini, seperti iklan pemilu dengan money politic-nya saja: ambil uangnya, tapi jangan coblos orangnya. Nonton konsernya, jangan beli rokoknya, haha.” OLAP LINDEI DAMANIK “Konser musik apa dulu nih? Metal aja ya, haha. Menurut gw tidak masalah sih. Rokok dan metal itu punya kesamaan, jika dinikmati orang yang tidak siap fisik dan psikis, ya memang buruk. Intinya begini menurut gw, kalau produsen rokok jadi sponsor musik, itu karena memang mereka yang merasa musik itu bisa jadi pasar mereka, ya semacam simbiosis mutualisme. Jika ada pihak lain yang mau jadi sponsor konser musik, metal apalagi, itu semakin baik. Walau mungkin akan sedikit lucu ketika konser metal disponsori susu sapi “x” misalnya, hahaha. Gw perokok, dan gw tahu konsekuensinya. Gw suka metal, dan gw nikmati konsekuensinya. Lebih dari itu, gw merasa hidup gw lebih baik dengan metal. Rokok tidak masalah, sepanjang tidak kita gunakan mengganggu kenyamanan orang lain.”
.
POINT OF VIEW
image taken from cnspro.wordpress.com
MOH. HIJRAH LESMANA:
AKAN SELALU JADI DILEMA
T
entang produsen rokok yang jadi sponsor event atau konser musik, masalah ini akan selalu jadi dilema. Sama halnya dengan produsen bir yang mensponsori event musik di Amerika dan Eropa. Di satu sisi, event perlu didanai agar senantiasa berkelanjutan, karena saya pikir tidak banyak pengiklan yang mau mendanai event meski (jujur saja) banyak sponsor kakap punya dana, tapi tidak atau belum mau mendanai event musik. Mengapa harus produsen rokok yang mendanai? Ada beberapa alasan. Pertama, produsen rokok umumnya merakyat (tumbuh dari kecil), memiliki karyawan dari lingkungan sekitar, dan mereka juga membeli tembakau atau cengkeh dari masyarakat. Artinya simbiosis mutualisme pun terjalin. Kedua, ini yang utama, masalah penetrasi pasar dari kebijakan perusahaan. Umumnya, event musik didatangi oleh anak-
anak muda yang labil, mudah dibujuk dan senang mencoba hal-hal baru. Plus, mereka juga adalah pelanggan yang royal. Ketiga, meski korelasi musik dan rokok tidak cukup kuat sebagaimana merk alat-alat musik dengan musik, keduanya tetaplah berhubungan kuat, dan di sisi lain, karena rokok dengan mudah diasosiasikan sebagai gaya hidup. Mereka dengan jeli menempatkan diri di masyarakat, di berbagai macam kegiatan, dari bangun tidur hingga hendak tidur. Artinya, rokok telah ‘disiapkan’ menjadi kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat, yang tingkat urgensinya bahkan belakangan menggeser kebutuhan akan makanan, pakaian dan telekomunikasi. Jika menyimak gencarnya berbagai iklan dan event yang disponsori produsen rokok, baik event tingkat kelurahan hingga nasional, itu tidaklah mengherankan. Produsen rokok akan dengan mudahnya mengucurkan dana, apapun kegiatannya, jika dirasa sesuai dengan kebijakan perusahaan, dari kegiatan gaple di acara 17 agustusan hingga festival jazz tingkat nasional yang mendatangkan musisi-musisi jazz ternama. Di sisi lain masuknya sponsor rokok ke event musik juga perlu dikhawatirkan. Merokok sudah dianggap gaya hidup, terutama oleh anak-anak muda yang masih labil, mudah dibujuk dan senang mencoba hal-hal baru seperti di atas. Plus mereka royal dalam belanja. Meski ada juga event kelas atas yang tidak didanai produsen rokok. Menyikapinya tidak mudah, karena ada tiga pihak yang terlibat, yaitu produsen rokok, pemerintah dan masyarakat, di mana ketiganya punya kepentingan masing-
masing, meski masyarakat-lah pihak yang paling besar menjadi korban karena mereka adalah konsumen, sementara pemerintah hanya mengambil keuntungan dari penjualan atau pajak konser. Kalau melarang event disponsori produsen rokok akan sulit, karena tidak ada payung hukumnya, dan pada kebanyakan kasus, perusahaan rokok selalu berlindung di balik masyarakat, padahal merekalah pihak yang selalu diuntungkan. Fakta bahwa para pemilik pabrik rokok besar adalah orang-orang terkaya di Indonesia membuktikan hal itu. Yang mungkin adalah, boleh konser didanai produsen rokok, tapi jangan jualan di event. Yang selama ini ada kan begitu, tiket masuk di tukar dengan sebungkus rokok Yang mengherankan, banyak event olahraga justru disponsori oleh rokok, bukankah ini bertolak belakang? Contohnya Djarum Sirnas (bulutangkis), Djarum-Gudang Garam-Bentoel (sepakbola) atau Wismilak Open (tenis). Bukankah ini mengkhawatirkan? Seolah-olah berolahraga boleh diselingi merokok, atau merokok boleh sambil berolahraga. Ini adalah cermin ketidakmampuan pemerintah dalam mengatur sponsorship, padahal ada perusahaan-perusahaan kelas atas yang punya dana besar, misalnya maskapai penerbangan, bank atau operator telekomunikasi. Sebenarnya kalau mau, pemerintah bisa mengatur, setidaknya bisa membatasi penetrasi produsen rokok. Kalau tidak, selamanya produsen rokok akan menjadi tumpuan.
.
MY LIST
SHOCK ME!
10 GRUP
DAN MUSISI YANG SEMPAT MEMBUAT SAYA TERPERANJAT oleh Andria Sonhedi
S
elama bertahun-tahun menjadi penikmat musik, terutama rock dan heavy metal, saya mengalami sendiri beragam corak musik bermunculan silih berganti. Beberapa grup atau musisi sempat membuat saya terperanjat dan kagum saat pertama kali mendengarkan lagu mereka, terutama karena keunikan atau keanehannya (untuk pendengaran saya). Mohon maaf bila Anda yang baru mendalami musik di tahun 90-an hanya mengenali beberapa.
image taken from www.artinbase.com
1
Queen Lagu-lagu Queen sebelum tahun 1980; “Bohemian Rhapsody”, “Bicycle Race”, “Don’t Stop Me Now”, “Liar”, “We are the Champions” atau “We Will Rock You” membuat saya yang saat itu sering mendengarkan pop Indonesia dan top 40 lagu-lagu Barat terpesona. Karena lagu-lagu itulah saya kala itu (sekitar tahun 1985) mulai menetapkan Queen sebagai satu-satunya grup yang akan saya dengarkan dengan serius, termasuk mengoleksi kaset, poster dan beritanya. Ah ya, album solo Freddie Mercury berjudul “Barcelona” bisa disejajarkan dengan album awal Queen menurut saya.
2
Rush Lagu Rush yang saat itu (sekitar 1985) saya anggap keras adalah “Tom Sawyer”. Kakak saya dan hampir semua teman yang suka musik kala itu sering memutar lagu ini. Padahal itu era saat Rush mulai kena pengaruh new wave dalam lagu-lagu mereka. Makanya saat saya membeli kaset kompilasi “The Complete of Rock” dengan lagu “Finding My Way” di nomor 1 sisi A saya benar-benar terkejut saat mendengar betapa kerasnya musik mereka di debut albumnya. Belakangan saya baru tahu bahwa mereka saat itu terpengaruh Led Zepellin, dan hebatnya, musik mereka yang menggelegar itu hanya dilakukan oleh tiga orang pemain saja.
3
Metallica Lagu “Battery” adalah lagu pertama di album klasik mereka “Master of Puppet”. Saat saya mendengar pertama kali (tahun 1987 sepertinya) seakan-akan saya dilemparkan kembali ke masa sd saat teman saya menggebrak-gebrak meja untuk mengiringi mereka menyanyi lagu dangdut. Karena terkejut maka saya tidak melanjutkan mendengarkan kaset yang saat itu pinjaman dari teman saya, tidak tahu kalau ada nomor agak kalem “Sanatorium” di akhir side A. Seiring dengan perjalanan waktu akhirnya dua tahun kemudian saya mulai bisa menikmati lagu-lagu Metallica dimulai dari “... and Justice for All”, kaset Metallica pertama di era kaset ber-royalty.
4
Riot Album Riot “Thundersteel” (1988) saya ketahui dari review kaset di koran lokal Yogya saat itu. Sayangnya saya hanya baru bisa mencoba mendengarkan di toko kaset (saat itu kaset bisa dicoba tanpa harus dibeli) tanpa sempat membeli karena terkendala masalah keuangan. Saya anggap “Thundersteel” benar-benar menggoncangkan karena style speed metal yang masih jarang pada saat itu, kecuali Helloween dan Judas Priest yang sudah duluan saya kenal. Sekedar info, album Riot sebelumnya adalah hard rock/heavy metal biasa. Untunglah bertahun-tahun kemudian saya berhasil
mendapat kaset sekennya dan tetap membuat saya terkesan setiap mendengarnya. Janis Joplin Saya pertama kali mengetahui nama Janis Joplin dari artikel yang saya baca di majalah Vista awal era 80-an. ceritanya Sylvia Saartje, lady rocker Indonesia masa itu, mengatakan bahwa idolanya adalah Janis Joplin. Lucunya, wartawan Vista malah tak tahu siapa dia, maklum biografi musisi saat itu masih minim. Bertahun-tahun kemudian saya baru tahu kalau Janis Joplin adalah musisi blues Amerika yang mati muda. Baru di awal era 90-an saya mendapatkan kaset seken “The Best of Janis Joplin” kuno dan menyadari betapa hebat suaranya. Di lagu “Cry Baby” lengkingan suaranya yang tinggi membuat vokalis-vokalis hair metal saat itu jadi tak ada apa-apanya.
juga grup-grup heavy metal baru yang tak saya kenal saat itu seperti Angra, Edguy, Rhapsody, Shaman atau Hammerfall. Akhirnya, kondisinya sama seperti dulu saat saya kehabisan album-album Queen di tahun 1987 karena sudah punya semua, terjadi moratorium. Saya anggap grup-grup baru tadi tak ada apa-apanya dibanding Helloween (yang sebenarnya juga sudah mulai menurun speed-nya saat itu). Di internet sebenarnya saya lihat banyak grup-grup baru cuma tak tahu siapa mereka. Akhirnya, pada tahun 2004 iseng-iseng saya mencoba cd kopian DragonForce “Valley of the Damned”. Lagu-lagu DragonForce langsung menggoncangkan saya, mengingatkan saya pada masa-masa awal mendengarkan Helloween dulu, cuma yang ini lebih cepat lagi. Ternyata para pengusung power metal modern masih layak untuk didengarkan.
6
9
5
The Offspring Lagu “Bad Habit” adalah lagu The Offspring pertama yang saya dengar dan sekaligus berhasil mengejutkan saya. Maklum di acara Billboard Music Awards tahun 1994 sang vokalis, Dexter Holland, menyanyi dengan berteriak serta mengumpat tanpa sensor, yang memang merupakan bagian lagu. Maklum, saat itu era grunge baru berakhir dan memang tak ada vokalis yang menyanyi sambil berteriak kecuali musisi metal. Ada juga lagu mereka dari album “Smash”, “Come Out and Play”, yang sempat mengecoh teman saya saat dipakai untuk mengiringi radio perkemahan garagara intronya yang minim alat musik namun tiba-tiba menghentak sampai akhir. Lagu “Smash” (bukan SM*SH) belakangan juga di-cover oleh grup death metal Finlandia, Norther.
7
Steve Morse Salah satu gitaris tersibuk di dunia ini kaset pertamanya muncul di Indonesia dengan tempelan stiker bulat dengan kalimat ‘terpilih beberapa kali sebagai gitaris terbaik majalah Guitar Player’. Saat saya putar intro lagu pertamanya, “User Friendly”, saya amat terkesan. Walau memang diawali dengan petikan gitar yang lumayan cepat namun kemudian banyak dimasukkan pengaruh southern music dalam lagu tadi, tidak seperti para pendekar gitar yang saya tahu sebelumnya; Yngwie Malmsteen, Joe Satriani dan Steve Vai yang sudah sering saya dengarkan. Saat ini Steve, selain bergabung dengan Deep Purple, juga ikut proyek Mike Portnoy, eks Dream Theater di Flying Colors.
8
DragonForce Sekitar tahun 2000 dan seterusnya, dengan adanya wabah aliran nu metal, kemudian dilanjutkan garage rock (grup yang pakai kata ‘the’ di depan namanya), maka kaset grup-grup heavy metal lama yang saya kenal tidak nampak di deretan kaset yang dipajang di etalase toko. Ada
Nightwish Nightwish saat saya kenal sekitar tahun 2004 adalah sebuah grup heavy metal yang sangat kental warna operanya yang tidak hanya tempelan. Semua ini terutama karena keahlian sang keyboardis Tuomas Holopainen menulis aransemen lagu campuran metal dan klasik kemudian memadukannya dengan suara sopran sang vokalis Tarja Turunen yang memang mahasiswa Sibelius Academy di Kuopio, Finlandia dan The Music University of Karlsruhe. Lagu “Sleeping Sun” adalah lagu slow favorit saya di samping lagu keras “Dead to the World” yang memperdengarkan perpaduan suara operatik Tarja dengan suara metal Marco Hietala.
10
Wuthering Heights Pertengahan tahun 2010 saya baca review cd di internet bahwa “Salt”, album baru Wuthering Heights sangat pantas jadi ‘album tahun ini’. Wuthering Heights saya kira semula adalah grup dari Brazil. Maklum nama grup ini sama dengan lagu milik Pat Benatar yang di-cover oleh Angra, power metal kenamaan Brazil. Ternyata mereka berasal dari Denmark, negara yang bukan tempat kebanyakan musisi power metal bermunculan. Dalam album yang begitu variatif dan berkualitas tinggi ini pergantian lagu antara cepat dan lambat, termasuk selipan sedikit musik folk, membuat saya tak bosan mendengarkannya. Ada pula lagu epik 16 menit berjudul “Lost at Sea” yang diakhiri dengan deburan ombak sayup-sayup. Saya akhirnya menyetujui “Salt” adalah salah satu album terbaik yang saya dengarkan di tahun 2010.
.
30 MY LIST
HOTTEST ROCK STAR’S DAUGHTERS oleh Raden Andriana
P
ara bintang rock dunia sudah terkenal dengan gaya hidup mereka yang glamour, hura-hura dari pesta ke pesta, dikelilingi wanitawanita cantik. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa ternyata tidak sedikit dari mereka yang memiliki anak perempuan cantik, dan seksi pula. Berikut ini adalah 30 anak perempuan rock star paling cantik menurut gw. Oiya, jadilah kreatif, carilah sendiri foto-foto mereka ya.
1
Liv Tyler Liv Tyler lahir pada tanggal 1 Juli 1977 dan merupakan anak hasil hubungan antara Steven Tyler, vokalis band rock Aerosmith dengan Bebe Buell, seorang model yang pernah menjadi Miss November 1974 majalah Playboy. Steven Tyler sendiri baru mengetahui Liv adalah anak biologisnya pada tahun 1991. Walaupun terlambat, namun Steven dikenal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Liv. Sebelum menjadi artis, Liv mengawali kariernya sebagai model. Salah satu penampilannya yang sangat menarik perhatian adalah ketika tampil seksi bersama Alicia Silverstone dalam video klip Aerosmith yang berjudul “Crazy”. Liv sendiri kemudian tercatat membintangi banyak film yang sukses di pasaran, seperti “That Thing You Do!”, “Armageddon”, dan tentu saja trilogi “The Lord of The Rings”.
2
Lauren Harris Lahir pada tanggal 6 Juli 1984, Lauren Harris adalah anak tertua dari Steve Harris yang tidak lain adalah bassist band metal Iron Maiden. Sama seperti Steve, Lauren juga terjun ke dunia musik rock dan telah mengeluarkan album “Calm Before the Storm” pada tahun 2008. Sebagai rocker, image taken from www.starpicsfree.com
Lauren Harris menjadi artis pembuka dalam tur Iron Maiden di Eropa, Dubai, dan India pada tahun 2007.
3
Calico Cooper Walaupun bapaknya sering tampil seram, tapi ternyata anak perempuannya lumayan cantik lho. Calico Cooper yang lahir pada tahun 1981 ini adalah anak perempuan dari rocker gaek Alice Cooper. Calico juga terjun ke dunia musik rock dan sejak tahun 2000 sering ikut tampil mendukung konser Alice Cooper.
4
Lily Collins Lily Collins adalah seorang artis yang telah membintangi beberapa film, di antaranya adalah film “The Blind Slide” tahun 2009 di mana ia tampil bersama Sandra Bullock. Cewek kelahiran Inggris tanggal 18 Maret 1989 ini adalah anak perempuan dari Phil Collins.
5
Theodora Richards Lahir pada tahun 1985, Theodora Richards adalah anak pertama dari pasangan model Patti Hansen dengan gitaris The Rolling Stones, Keith Richards. Theodora Richards tinggal di New York dan berprofesi sebagai model.
6
Alexandra Richards Alexandra Richards lahir pada tahun 1986 dan merupakan adik dari Theodora Richards. Anak kedua pasangan Patti Hansen dan Keith Richards ini berprofesi sebagai model dan juga seorang DJ. Dia pernah berpose bugil untuk majalah Playboy edisi Perancis pada tahun 2010.
7
Erin Lucas Erin Lucas memiliki nama asli Erin Williams. Dia adalah seorang sosialita yang pernah membintangi reality show “The City” di MTV dan sekarang membawakan acara “Sex and Relationship” di Current TV. Cewek kelahiran tanggal 24 Oktober 1984 ini adalah anak dari Cliff Williams, bassist band rock AC/DC.
8
Kimberly Stewart Kimberly Stewart adalah seorang artis, model, bintang reality show, dan juga fashion designer. Cewek kelahiran tanggal 21 Agustus 1979 ini adalah anak dari penyanyi legendaris Rod Stewart. Pada tanggal 21 Agustus 2011 Kimberly melahirkan seorang anak perempuan hasil hubungannya dengan aktor Benicio del Toro. Anak tersebut merupakan cucu pertama Rod Stewart.
9
Amber Le Bon Amber Le Bon adalah anak tertua dari pasangan model Yasmin Parvaneh dengan Simon Le Bon, vokalis band new wave Duran Duran. Sama seperti ibunya, cewek kelahiran tanggal 25 Agustus 1989 ini juga berprofesi sebagai model .
10
Lara Johnston Lara Johnston adalah seorang penyanyi yang pernah mengikuti acara talent search “Rock the Cradle” di MTV tahun 2008 dan juga American Idol tahun 2011. Lara adalah anak perempuan dari Tom Johnston, vokalis dan gitaris band rock The Doobie Brothers.
11
Minka Kelly Lahir pada tanggal 24 Juni 1980, cewek cantik ini pernah membintangi serial TV “Friday Night Lights” (2006-2009) dan “Charlie`s Angels” (2011). Minka adalah anak hasil hubungan antara seorang penari bernama Maureen Dumont Kelly dengan Rick Dufay, gitaris yang pernah bergabung dengan Aerosmith pada tahun 1980-1984.
12
Peaches Geldof Lahir pada tanggal 13 Maret 1989, Peaches Geldof adalah anak dari pasangan penyanyi Bob Geldof (yang terkenal bersama band The Boomtown Rats melalui lagu “I Don`t Like Monday” dan juga merupakan penggagas konser Live Aid pada tahun 1986) dan model Paula Yates (yang tewas karena over dosis heroin pada tahun 2001). Peaches beprofesi sebagai model dan presenter TV di Inggris.
13
Rosanna Davison Rosanna Davison lahir di Irlandia pada tanggal 17 April 1984. Model dan pemenang Miss Wolrd tahun 2003 ini adalah anak dari penyanyi pop Chris de Burg yang populer melalui lagu “The Lady in Red” pada tahun 1986.
14
Norah Jones Sebagai penyanyi dan musisi, Norah Jones telah berhasil mengeluarkan lima album dan juga merupakan pemegang lima penghargaan Grammy Awards. Ia lahir pada tanggal 30 Maret 1979 dan merupakan hasil dari hubungan antara Sue Jones dengan Ravi Shankar. Ravi Shankar sendiri adalah seorang pemain sitar dari India yang sering bekerja sama dengan George Harrison dan juga penerima tiga penghargaan Grammy Awards.
15
Daisy Lowe Model asal London ini lahir pada tanggal 27 Januari 1989 dari hasil hubungan antara seorang fashion designer bernama Pearl Lowe dengan Gavin Rossdale, vokalis band rock Bush (yang sejak tahun 2002 menikah dengan Gwen Stefani, vokalis band No Doubt). Gavin sendiri baru
mengakui Daisy sebagai anak kandungnya setelah dilakukan paternity test pada tahun 2004. Pada tahun 2011 lalu Daisy membuat pengakuan di media massa bahwa dirinya adalah seorang biseksual.
16
Elizabeth Scarlett Jagger Lahir pada tanggal 2 Maret 1984, Elizabeth adalah anak tertua pasangan model Jerry Hall dengan Mick Jagger, vokalis band rock legendaris The Rolling Stones (Jerry Hall menikah dengan Mick Jagger tahun 1990 dan bercerai pada tahun 1999). Sama seperti ibunya, Elizabeth juga berprofesi sebagai model.
17
Georgia May Jagger Anak ketiga pasangan Jerry Hall dan Mick Jagger ini lahir pada tanggal 12 Januari 1992. Sama seperti ibu dan kakaknya, Georgia juga adalah seorang model.
18
Zoe Kravitz Lahir pada tanggal 1 Desember 1988, Zoe adalah anak perempuan hasil pernikahan artis Lisa Bonet dengan penyanyi rock Lenny Kravitz. Zoe adalah seorang artis yang ikut membintangi serial “Californication” dan juga ikut bermain dalam film “X-Men: First Class”.
19
Lucy Walsh Walaupun hanya dikenal sebagai musisi pendukung tur penyanyi pop Ashlee Simpson, tetapi cewek cantik kelahiran tanggal 3 Desember 1982 ini sebetulnya adalah seorang musisi yang berbakat. Ia mahir bermain piano klasik dan juga pernah menjadi seorang balerina selama 10 tahun. Lucy memang lahir dari keluarga musisi. Ayahnya adalah Joe Walsh, gitaris band country rock Eagels. Dia juga merupakan salah satu keponakan Ringo Starr, drummer The Beatles.
Lohan.
23
Bijou Phillips Lahir pada tanggal 1 April 1980, Bijou Phillips adalah seorang model dan artis. Ia adalah anak bungsu John Phillips, salah satu personel kelompok folk rock legendaris The Mamas & The Papas.
24
Brooklyn Sudano Brooklyn yang lahir pada tanggal 5 Januari 1981 ini adalah seorang artis yang pernah bermain dalam serial komedi “My Wife And Kids” dan “Cuts”. Ia adalah anak dari pasangan musisi Bruca Sudano dan Donna Summer, penyanyi yang populer pada era musik disko tahun 1970-an.
25
Jesse Money Lahir pada tahun 1988, Jesse adalah anak perempuan dari Eddie Money, penyanyi rock era 1980-an. Sama seperti ayahnya, Jesse juga adalah seorang penyanyi.
26
Sophie Simmons Sophie Simmons lahir pada tahun 1992 dan merupakan anak bungsu dari pasangan artis Shannon Tweed dengan Gene Simmons, bassist dan vokalis band rock legendaris Kiss.
27
Tali Lennox Tali Lennox yang lahir pada tahun 1993 ini adalah seorang model. Ia juga merupakan anak bungsu dari penyanyi Annie Lennox.
28
Loue Doillon Loue Doillon adalah seorang artis dan model asal Perancis. Cewek yang lahir pada tanggal 4 September 1982 ini adalah anak dari sutradara Perancis Jacques Doillon dan Jane Birkin, penyanyi asal Inggris yang populer pada tahun 1970-an.
20
29
21
30
Khira Li Lindemann Khira Li Lindemann adalah seorang model dan sosialita Jerman. Cewek kelahiran tahun 1991 ini adalah anak dari Richard Kruspe, gitaris band metal Rammstein. Karena tidak lahir dari sebuah pernikahan, maka Khira Li memakai nama keluarga Lindemann. Ibu Khira Li sendiri adalah mantan istri Till Lindemann yang tidak lain adalah vokalis Rammstein. India Waters India Waters adalah seorang model yang berasal dari Inggris. Ia adalah anak perempuan dari Roger Waters, bassist dan vokalis band rock legendaris Pink Floyd.
22
Annabelle Dexter Jones Annabelle Dexter Jones adalah anak perempuan dari Mick Jones, gitaris band rock Foreigner. Annabelle juga adalah saudara tiri Samantha Ronson, seorang DJ yang pernah menjadi pacar lesbinya Lindsay
Miley Cyrus Miley Cyrus yang lahir pada tahun 1992 ini adalah seorang artis dan penyanyi remaja yang terkenal melalui serial “Hannah Montana”. Miley sendiri adalah anak perempuan dari Billy Ray Cyrus, penyanyi country yang terkenal pada tahun 1992 dengan lagu “Achy Breaky Heart”. Frances Bean Cobain Frances Bean Cobain lahir pada tahun 1992 dan merupakan anak tunggal dari pasangan musisi grunge Kurt Cobain dengan Courtney Love. Itulah 30 anak rock star paling cantik menurut gw. Sebenarnya masih ada tiga lagi sih, tapi tidak dimasukkan karena status mereka yang bukan anak kandung. Mereka adalah Nicole Richie, Riley Keough dan Avy Lee Roth. So, where’s your list?
.
MY LIST
6 K
oleh Indah Pujiati
LAGU YANG OTOMATIS MEMBAWA BENAK SAYA MENGEMBARA KE MANA-MANA KETIKA MENDENGARNYA
alau tidak salah, di edisi sebelumnya Bung Dhani ada pernah buat tulisan tentang sepuluh lagu yang mampu membuat dia freeze ketika mendengarnya. Hampir sama, di sini saya ada daftar enam lagu yang otomatis membuat benak saya mengembara ke mana-mana ketika mendengarnya.
1
“The Legend of the Fall” - David Foster Ini instrumentalia karya David Foster, yang pernah saya baca, merupakan soundtrack film, tapi saya lupa judulnya apa dan belum pernah menonton film tersebut. Pertama kali saya mendengarkan lagu ini, otomatis yang terputar di benak adalah padang rumput yang luas, dibatasi dengan pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi. Angin semilir berhembus dan rumput menari mengikuti irama hembusan angin. Lembut.
2
“Chariot of Fire” - Vangelis Ini juga instrumentalia, karya Vangelis, dan kata media ini juga soundtrack sebuah film. Saya juga belum pernah menonton film itu. Pertama kali saya mendengarkan lagu image taken from taringa.net
ini, otomatis yang terputar di benak adalah ruang angkasa. Pernah ke planetarium kan? begitulah kira-kira. Tenang, berjalan lambat, melewati nebula yang beraneka warna dan bentuk, galaksi, asteroid, melayang-layang. Menawan.
3
“Piano and Sea Part I, II, III” Jean Francois Maljean Masih instrumentalia, karya Jean Francois Maljean. Pertama kali mendengarkan trilogi ini, otomatis yang terputar di benak adalah laut biru membentang, ombak pecah menyentuh bebatuan pantai, burung-burung ramai berburu ikan. Persis seperti yang terdengar di sepanjang lagu, mengiringi dentingan piano. Menenangkan.
4
“Fly Away from Here” Aerosmith Iya, ini lagu Aerosmith hehe. Saat pertama kali saya mendengarkan lagu ini, otomatis yang terputar di benak adalah sawah hijau yang terhampar, hutan, sungai, ngarai, batu, perkampungan, pak tani, bu tani dan anak-anak. Gambar-gambar itu melintas, seperti layaknya saya memandang keluar dari jendela kereta api. Perjalanan yang mengasyikkan.
5
“The Meeting” - ABWH Ini lagu milik ABWH, ada yang bersyair dan ada yang tidak (dibawakan ulang oleh salah satu anggota mereka, Rick Wakeman). Pertama kali saya mendengarkan lagu ini (yang bersyair), benak saya tidak menampakkan reaksi apa pun. Satu ketika saya menemukan lagu ini berbentuk instrumentalia, serta merta benak saya memunculkan gambar ruang yang sangat luas, kokoh bergaya kolonial, tembok ruang tersebut tampak jauh, hening menyergap, lama, selama lagu ini. Sunyi.
6
“Missing” - Vangelis Karya Vangelis lagi, instrumentalia lagi, dan benak saya pun bereaksi. Air, butiran air jatuh, satu persatu, menumbuk batu, di dalam gua yang kelabu. Syahdu. Itulah beberapa lagu yang mampu membuat benak saya mengembara secara otomatis. Membawa saya ke dunia lain, walau saya sedang duduk manis di depan komputer. Beethoven pernah bilang; “berjalanlah di alam terbuka dan dengarkan, itulah musik”. Kalo gitu, saya kebalik dong ya, dengarkan musik dan saya berjalan di alam terbuka.
.
INSIDE TUC
MINI GATHERING DAN DUA ANGGOTA KELUARGA BARU oleh Bobby Durjana
D
alam rangkaian nonton bareng Hammersonic Jakarta International Metal Festival tanggal 28 April lalu, sehari setelahnya, minggu tanggal 29 April diadakan gathering nasional TUC ke-tiga, setelah yang pertama dan ke-dua pada tahun 2009 dan 2010. Tahun 2011 sendiri gathering nasional tidak sempat diadakan karena kesibukan para personil TUC dengan permasalahan hidupnya masing-masing. Gathering kali ini dihadiri sekitar 100-an anggota TUC dari seluruh pelosok nusantara, dengan Bang Olap dari Rantau Prapat dan Dede Al Katiri dari Lakessi tercatat sebagai peserta dengan asal daerah terjauh. Gathering ini diadakan di rumah Chef Galih, di daerah Cipedak, Jakarta Selatan banget, sekitar 350 km dari bandara Soekarno-Hatta. Rencananya akan dimulai pukul 10.00 pagi, gathering ini akhirnya berjalan tanpa timeline yang jelas, dan mengalir begitu saja. Karena saya, Bang Olap, Ayip dan Galih memang nginap di tkp, jadilah kami yang pertama ada di lokasi. Sementara Chef Galih membuat sarapan untuk kita ber-empat, Pak Yahudi datang dan mengejutkan kami dengan kesederhanaan dan kerendahan hati beliau. Bagaimana tidak, dengan status sebagai salah anggota TUC yang cukup baru dan usia beliau yang jauh di atas kami, kesediaan beliau meninggalkan hari libur bersama keluarga dan memilih berkumpul bersama kami, para pemuda yang tidak jelas tujuan hidup dan suram masa depannya ini, adalah suatu penghargaan besar. Terima kasih Pak. Belum lagi dengan gaya beliau yang nyantai meladeni kecerewetan Bang Olap. Kami juga akhirnya tahu beberapa hal menarik tentang Pak Yahudi: asal muasal nama, gaya hidup vegetarian dan kegemaran beliau bermain blues. Saya rasa, di masa yang akan datang, Dhani
tidak lagi hanya bermonolog saja, kali ini dia sepertinya mendapatkan tandem yang pas. Tidak lama kemudian Kak Uly datang membawa berbagai macam penganan, tapi tanpa Bang Herwin yang lagi ada urusan keluarga. Disusul kemudian dengan satu lagi anggota yang cukup baru tapi sudah lama menjadi pengintai forum-forum TUC sejak jaman D’Japra, Mas Achmad Sofyan Rasyid beserta istri dan drummer ciliknya. Kehadiran Mas ASR beserta keluarga ini adalah satu lagi kejutan buat kami hari itu. Terima kasih Mas. Teman-teman lain yang datang hari itu di antaranya Gigih, Afid dan Agus. Meskipun tidak semeriah gathering-gathering sebelumnya dengan pertunjukan musik, potong kue ultah dan sebagainya, gathering kali ini berjalan cukup asyik dengan agenda utama sounding master album kompilasi TUC yang dikerjakan Bang Herwin dan Kak Uly. Dan, setelah menyimak trek demi trek, sepertinya album itu akan menjadi sesuatu yang bagus di masa depan. Susunan trek, kualitas output sound, leveling atau apalah istilahnya, dan juga variasi genre musik dan lain-lain sudah terasa pas di kuping. Salut untuk Bang Herwin, Kak Uly dan semua yang terlibat. Tidak sabar rasanya menunggu produksi massal cd-nya. Tentang kompilasi ini, satu hal yang belum sempat diputuskan hari itu adalah penamaan albumnya, ini tentunya juga menunggu saran dari teman-teman semua. Selain sounding album kompilasi tadi dan perkenalan oleh Pak Yahudi dan Mas Achmad Sofyan Rasyid, acara hari itu juga diisi obrolan ringan dan santai tentang TUC, rencana-rencana ke depan, langkahlangkah berikut dan sebagainya. Sebenarnya ada satu lagi agenda tersembunyi untuk gath kali ini: melihat excerpt Tuczine #7 (yang waktu itu sementara dalam proses pengerjaan). Tapi karena setelah flash disk
dicolok dan file-nya tidak ada (setelah saya coba setiba di Makassar, ternyata file-nya ter-hidden, oc goblok!), agenda kejutan ini tidak jadi terlaksana. Acara gathering hari itu diakhiri sekitar pukul 14.00, setelah makan siang dan foto-foto bersama. Ada sedikit kekecewaan yang timbul di hati melihat kenyataan bahwa beberapa anggota baru bersemangat hadir sementara banyak anggota lama yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya justru tidak muncul. Di luar itu, yah, meskipun hanya sebentar dan dihadiri tidak begitu banyak anggota, kesan yang saya dapatkan cukup baik. Setidaknya bisa mengisi kekosongan gathering nasional setahun sebelumnya. Atau setidaknya bisa menjadi satu lagi langkah kecil menuju kemajuan sebuah keluarga berantakan bernama Tax Underground Community. Beberapa hari sebelum dan setelah gathering nasional pada 29 April, TUC mendapat kabar gembira: bertambahnya anggota keluarga besar TUC dengan kelahiran putri dan putra dari Fahmi Benyegh dan Gigih Monodh. Syifa Khansa Melodia, anak pertama bendahara umum TUC, Fahmi Benyegh, lahir pada tanggal 25 April 2012. Selamat menjadi bapak teman! Dan untuk putrinya, semoga menjadi anak yang salihah, baik, cantik dan berbakti kepada orang tua. Ahsan Ubaidillah Tsani, putra kedua wakil ketua umum TUC, Gigih Monodh, lahir pada tanggal 5 Mei 2012. Selamat buat om Gigih dan keluarga! Sudah bisa bikin band punk nih Gih? Dan semoga anaknya tumbuh menjadi anak yang salih, berbakti, baik dan lebih ganteng dari bapaknya. Amin.
.
SENTILAN DI KALA SENGGANG
ASIMILASI NEGERI TANPA JATI DIRI
“A
oleh Moch. Syaichudin
Kami adalah segerombolan pemuda tampan dengan selera musik cadas, merasa lebih baik dari mereka yang menye-menye.
ku cinta Indonesia, negeri makmur gemah ripah loh jinawi. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tanam padi tumbuh padi, tanam duit tumbuh partai. Rakyat santun dengan penguasa yang penyantun (hidup BLT!!). Masyarakat ramah dengan penguasa yang merekayasa sejarah (ganyang PKI!!). Penduduk toleran dengan pemerintahan yang selalu transparan (hidup mutasi!!!) Aku cinta Indonesia, berjajar pulau-pulau penuh dengan kekayaan energi. Energi untuk mengimpor gula, garam, beras, buah dan ideologi (hidup konsumsi!!!). Energi untuk mengekspor bijih bauksit dan minyak mentah dan mengimpornya kembali dalam bentuk aluminium dan mesin-mesin yang sudah jadi (hidup konsumsi!!). Aku bangga dengan Indonesia. Jika terjadi kebocoran surga, maka bocornya ya di negeri ini. Seperti bocornya APBD, APBN dan lainnya. Seperti bocornya mulut wakil-wakil kami saat nampang di tv. Seperti ngowosnya politisi penuh janji saat kampanye dengan nama berderet gelar akademisi dan gelar religi (saya haji lho!). Lihatlah kami, pemuda Indonesia, ganteng kan? Mengisi kemerdekaan dengan modernisasi dan gombalisasi (pamer gadget). Penguasa nggombalin rakyatnya, rakyat nggombalin pasangannya (presidennya tukang sate ya? kok tau? karena kau telah menusuk-nusuk hatiku). Sayangnya rakyat dan penguasa bukan pasangan yang serasi. Yang tidak ada kata ‘saling’ dan bisa orgasme bersama. Rakyat cukup dengan BLT, penguasa dengan mobil dinas parlente.
Rakyat cukup dengan BBM subsidi, penguasa dengan setoran ‘upeti’. Lihatlah ijazah kami. Lihatlah pendidikan di negeri ini. Produktif dengan jutaan gelar tiap tahun, tapi minim produktif kerja nyata, lapangan usaha. Birokrasi yang penuh rasa cinta, seperti kekasih yang dilumuri rindu, dan ingin berlama-lama ketika berurusan dengannya. Siapa sebenarnya kami ini? Pemuda-pemudi minim teladan dan panutan. Harus impor tokoh dan teladan kepemimpinan. Sebagian kelompok berusaha merubah kami manjadi bangsa Arab. Atau sebagian lain yang menawarkan kebebasan ber-merk ‘demokrasi’ dan ‘kebebasan’. Atau sebagian lagi yang mengiming-imingi keleluasaan untuk apa saja dan menyebutnya dengan Perlindungan Hak Asasi Manuksial. Jati diri kami seperti tergadai dengan kemajuan jaman yang ironi, mengikis rasa cinta dan toleransi. Tak peduli banyak yang kelaparan, kami tetaplah pegawaipegawai yang biasa memalsukan SPPD dan uang jalan. Tak peduli banyak rakyat makan nasi aking, kami tetap meminta tunjangan kesejahteraan yang membulatkan angka belanja pegawai di APBN yang sampai trilyunan. Kami adalah kumpulan manusia-manusia berseragam dan kami menggelarkan diri: aparat. Yang tidak takut menodongkan senjata walaupun mungkin salah alamat. Kami adalah mahasiswa-mahasiswa yang sangat peduli dengan penderitaan rakyat. Yang mana kami rela berpanas-panas, berbasah-basah ditempa hujan dan gas air mata. Yang berjuang, bentrok dengan aparat untuk menyuarakan suara rakyat. Bahkan
kami rela bakar diri tanpa mengharap gelar maupun pangkat. Rela menghancurkan mobil dinas dan merusak fasilitas umum. Sungguh keberanian yang kami tiru dari para pahlawan dulu. Keberanian untuk nampang di tv dan berbicara layaknya orang yang paling ngerti. Kami adalah segerombolan pemuda tampan dengan selera musik cadas dan merasa lebih baik dari mereka yang menye-menye. Yang menjual lagu untuk komersialisasi cinta, obral air mata dan penuh kata-kata asmara. Di mana kami beli toleransi? Di mana kami dapatkan jati diri? Yang tidak kami temui dalam edukasi resmi maupun penilaian skripsi. Sementara hati nurani sudah penuh dengan noda omong kosong yang penuh teori. Jangan jadikan kitab suci itu hanya bacaan!!! Dibaca saja untung, biasanya cuma jadi pajangan dan alat untuk mengusir setan. Setan memang kau! Ya, kau yang baca tulisan ini, yang nulis juga. Kapan terakhir kali kau menyentuh kitab suci tuhanmu?? Teriak-teriak suka, ngumpat-ngumpat bangga, tapi mendengar adzan di tv kamu pindah channel-nya. Anjing bukan sih kita ini? Onggokan daging penuh dosa yang merasa lebih baik dari orang lain karena kita mempunyai selera musik yang berbeda. Kalau kamu punya perasaan yang sama, sama seperti saya, merasa bangsat dan banyak omong, maka masih ada kesempatan untuk berbuat kebaikan. Mari menjadi teladan untuk diri kita sendiri.
.
OUT SOON
TAX UNDERGROUND COMMUNITY REKORDS PRESENTS
“KAMI SELALU LEBIH BANYAK BICARA DARI KALIAN” KOMPILASI LAGU-LAGU DARI MASA LALU SEBAGAI ARTEFAK KETIKA KAMI PUNAH NANTI PRE ORDER : ARIEF HIDAYAT ADAM (08561966485) SUPPORTED BY : TUCZINE & WWW.KOMUNITASUNDERGROUNDPAJAK.COM
GIG REPORT
BANDUNG BERISIK MMXII
MAXIMUM AGGRESSION OVERVIEW Lanud Sulaiman, Bandung 18-19 Mei 2012
oleh Feby Anggiany foto oleh Adenk
B
andung Berisik tahun ini masih diadakan di kawasan militer, bedanya, kali ini diadakan selama dua hari di Lapangan Udara Sulaiman Kopo, Bandung. Bandband yang tampil berjumlah sekitar 60 dan tentunya masih didominasi oleh band-band beraliran keras dari Bandung. Tahun ini saya datang lagi bukan cuma untuk bersenangsenang, tapi karena kebutuhan skripsi saya yang membahas musik death metal Bandung. Day 1 Hari pertama panggung dibakar oleh band-band hebat seperti The S.I.G.I.T, Jihad, Siksa Kubur, Burgerkill, Powerpunk, Deadsquad, Dismemberment Torture, Jasad dan band-band hebat lainnya. Acara ini tidak banyak berbeda dengan tahun lalu
namun tetap keren. Kali ini ada tiga panggung yang ditempatkan secara berdampingan dan venue yang super besar (lebih besar dari tahun lalu). Dengan adanya tiga panggung ini, acara tidak terlalu ngaret seperti biasanya. Mereka sangat baik dalam mengatur rundown biarpun sempat terhenti akibat hujan angin selama satu jam di hari pertama dan hampir semua penonton menyingkir untuk berteduh. Nah, akibat hujan besar ini, venue berubah jadi kubangan lumpur. Panitia memang sudah memperingatkan untuk membawa jas hujan dan sepatu boots tapi ya ternyata hampir tidak ada yang bawa sementara saya dan teman saya hanya punya satu jas hujan. Alhasil, sepatu penuh lumpur dan kita memutuskan untuk melepas sepatu karena lebih nyaman. Selain itu, tidak seperti tahun lalu, karena
lumpur ini kita susah untuk mencari tempat duduk dan foodcourt juga tentunya penuh. Kaki jauh lebih pegal dari tahun lalu! Sound system mereka juga cukup baik di hari pertama, visualisasi juga sangat baik. Mereka menggunakan dua LCD screen besar di antara stage kiri (Apocalypse) dan tengah (Inferno) serta di antara stage kanan (Holocaust) dan tengah. Ada pula LCD screen yang dipasang di setiap stage. Mengenai stage, agaknya letak ketiga panggung ini terlalu dekat. Stage tengah atau Inferno tidak masalah karena hanya untuk satu band sekali manggung. Tapi panggung kiri dan kanan dipakai bersamaan oleh dua band, kalau tidak mau menonton salah satu dan berdiri di tengah sound akan terlalu bertabrakkan. Tapi tidak terlalu masalah kalau memang sudah memilih yang kiri atau kanan.
Overall, hari pertama Bandung Berisik tahun ini berjalan baik, aman dan keren. Sebagai tambahan, festival guide tahun ini lebih lengkap dan body checking juga lebih ketat dari sebelumnya. Dua jempol! Day 2 Hari kedua, band-band yang tampil lebih banyak dan tidak kalah hebat seperti Demons Damn, Koil, Outright, Turtles Jr., Down for Life, Deadly Weapon, Beside, Karinding Attack, Mesin Tempur, Death Vomit, Forgotten, Dajjal dan lain-lain. Saya baru sampai venue sekitar pukul 17.00, waktu itu Beside yang sedang perform. Sebenarnya saya memang melewatkan banyak band tahun ini karena semangat redup akibat hp hilang haha. Di hari kedua ini, cuaca cukup cerah, dan kesalahan utama kami adalah
memakai sandal. Lumpur yang sudah terpapar matahari menjadi lebih lengket dan kita jadi susah jalan, nempel-nempel dan takut sendalnya putus. Akhirnya, lagi-lagi kita bertelanjang kaki. Bodo amat diliatin orang deh. Untuk band-nya, kalau di hari pertama ada Jasad yang membawakan lagu-lagu death metal Sundanya, hari kedua ada Karinding Attack dan Forgotten. Karinding Attack yang juga termasuk dalam pembahasan skripsi saya (selain Jasad), bermain dengan baik. Band ini menjadi titik penanda identitas dalam acara ini. Selain dari judul event, Bandung Berisik, tapi juga musik heavy bamboo yang dibawakan oleh Karinding Attack ini adalah bukti bahwa mereka masih mempertahankan seni musik lokal mereka meskipun mayoritas dari mereka sebenarnya adalah musisi metal.
Di hari kedua ini, menurut saya kualitas sound menurun atau entah kuping saya yang kualitasnya menurun. Terdengar jelas mulai dari Forgotten manggung. Vokal lep-lepan, gitar kadang terlalu kencang dan bass-nya mendem. Tarawangsanya juga beberapa kali tidak terdengar. Sound ini mulai membaik sampai band terakhir yaitu Pas Band, tapi tidak lebih baik dari hari pertama sih, menurut saya saja loh. Selain lumpur, sound dan masalah tiket, acara ini tetap keren dan aman. Mudah-mudahan bisa ketemu lagi tahun depan dengan kualitas yang jauh lebih baik. Untuk rating, hmmm, tiga setengah dari lima deh. Salut untuk semua panitia, baik official maupun volunteer, serta kerjasamanya yang baik dengan pihak Lanud. Salut untuk komunitas Ujungberung Rebels, kalian hebat!
.
GIG REPORT
oleh Rusnani Anwar foto oleh Adenk
DARI SAMPIT KE BANDUNG BERISIK
p
ukul 5 sore tanggal 18 Mei saya dan seorang teman, Alfi, menuju Bandung. Berwanti-wanti akan tertinggal banyak penampil di Bandung Berisik VI yang sudah open gate sejak pukul 1 siang. Benar saja, kami tiba di Leuwipanjang pukul 8 malam dan harus berkutat dengan macet sepanjang Kopo, menuju Lanud Sulaiman, tempat acara digelar. Ratusan orang sudah mengantri di luar venue. Untuk hari pertama acara hanya sampai pukul 10 malam. Setengah 10 malam kami tiba di venue. Tertahan di depan lantaran tiket
belum di tangan. Melewatkan Burgerkill, The S.I.G.I.T dan beberapa band yang tampil di hari pertama. Kami terlupa bahwa di hari kedua libur panjang 17-20 Mei, JakartaBandung akan dibanjiri kendaraan dengan volume berkali lipat dari hari biasa. Sebagai konsekuensi, di Bandung Berisik hari pertama saya harus terpuaskan dengan merekam Jasad, Besok Bubar dan Rajasinga dalam ingatan. Berlumpur Saya mendapat kabar bahwa Bandung tengah sering hujan hingga H-2
Bandung Berisik diadakan. Sudah terbayang seperti apa bentuk venue yang notabene adalah lapangan rumput setelah diguyur hujan dan dijadikan arena moshing dan pogo di hari pertama. Sebagai antisipasi, sempat terpikir untuk berbekal jas hujan dan boots, tapi kemudian batal, anak metal kok takut hujan? Kami baru memutuskan untuk merapat ke stage saat Beside menggeber panggung jam 5 sore. Kondisi lapangan sangat, sangat berlumpur, bekas guyuran hujan di hari pertama. Tanah yang liat membuat pergerakan menjadi susah.
Pengamanan ketat yang terkesan diketat-ketatkan membuat banyak kawan berkomentar tentang betapa tidak nyamannya proses masuk ke dalam venue. Namun terlepas dari segala kendala teknis, Bandung Berisik hari kedua berhasil memenuhi espektasi tertinggi saya dari pagelaran ini. Secara personal tentu saja ini adalah kali pertama saya ke Bandung dan menonton event yang sejak lama ingin dihadiri ini. Lebih dari itu, tiga panggung: Apocalypse, Inferno dan Holocaust, menggeber tanpa jeda dan membuat semua hasrat akan musik keras, terpuaskan!
Catatan personal Pergi dan melihat langsung pagelaran Bandung Berisik adalah keinginan yang saya simpan sejak lama. Tepatnya setelah membaca buku “Myself Scumbang” di tahun 2007. Namun kondisi serba tidak memungkinkan. Saya berada di tengah Kalimantan, tidak memiliki rekan berpetualang dan sebagainya dan sebagainya. Dan ketika ini akhirnya terpenuhi, banyak momen emosional yang mungkin terdengar berlebihan, saya rasakan sepanjang Bandung Berisik VI yang bertajuk Maximum Aggression lalu. Untuk pertama kalinya, saya berada di tengah puluhan ribu metalhead, menyanyikan lagu yang sama, menyukai musik yang sama. Saya tersenyum kecil saat mengingat kelompok metal kami di Sampit yang tak sampai sepuluh orang jumlahnya. Bukan lantas merasa rendah diri atau bagaimana, lebih kepada terharu, seandainya saya bisa membawakan semua kesenangan itu dan membaginya kepada kawan kawan. Bandung Berisik VI menjawab semua keinginan saya terkait pagelaran metal. Sound yang kenceng, crowd yang bersemangat (dan berlumpur), tata panggung dan konsep acara yang luar biasa. Bandung Berisik menegaskan posisinya sebagai hajatan yang akan selalu menjadi wadah bertemunya sahabat lama, kawankawan baru dan tempat membagi cerita yang tak habis habis mengenai metal. Sebelum masuk venue di hari kedua, saya dan Alfi banyak berbicara mengenai komunitas metal Bandung dan Jakarta, kultur dan berbagai analisa yang kami telisik sendiri. Tepat sebelum akhirnya
membeli tiket on the stage, saya melontarkan pernyataan: “Sampai saat ini gw masih mencari jawaban apa yang membuat mereka (menunjuk antrian panjang di gerbang masuk) mau berjauh-jauh, berpanaspanas, tanpa permudahan akses kaya’ kita, berkorban tidak hanya materi, tapi juga fisik selama dua hari penuh.” Lalu malamnya, saya menemui diri saya sendiri berada di depan stage Inferno, terbenam lumpur hingga di atas mata kaki, tersenyum lebar sepanjang Karinding Attack menghajar panggung dengan lagu-lagu berbahasa Sunda yang tidak sepenuhnya saya mengerti. Senin tanggal 21 Mei siang, saya meneruskan perjalanan sepulang dari Bandung menuju Sampit. Saat tengah mengantri di A&W Bandara Soekarno Hatta, seorang pemuda tanggung dengan sepatu yang masih berbercak lumpur mengangkat tangannya ke udara, menatap saya. Saya tersenyum lebar dan turut mengangkat tangan, kita sama-sama mengenakan gelang merah bertuliskan Bandung Berisik. Gelang yang hingga saat ini terus saya pakai tanpa jeda.
.
Terima kasih kepada Feby Anggiany (amnerisletter.tumblr.com) dan Rusnani Anwar (rusnanianwar.blogspot.com) untuk review, serta Adenk (adenk_images@yahoo.com) untuk foto-fotonya. Regards.
GIG REPORT
MORRISSEY LIVE IN JAKARTA
Tennis Indoor Senayan, Jakarta 10 Mei 2012
KONSER SANG DEWA BRITPOP oleh Raden Andriana
Hari kamis tanggal 10 Mei 2012 kembali Jakarta dikunjungi salah satu musisi legendaris dan kembali gw beruntung bisa menyaksikan konser musisi yang sering disebut sebagai ‘Dewa Britpop’ tersebut. Ya, hari itu adalah konser Steven Patrick Morrissey yang digelar oleh promotor Indika Productions di Tennis Indoor Senayan.
M
orrissey sendiri mulai dikenal ketika ia menjadi vokalis band indie rock The Smiths dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1987. Setelah The Smiths bubar, vokalis yang lahir pada tanggal 22 Mei 1959 itu kemudian bersolo karier dan telah mengeluarkan setidaknya sembilan album studio. Selain sebagai musisi, ia juga dikenal kritis terhadap masalah sosial dan perlindungan hewan. Pendukung organisasi PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) ini adalah vegetarian dan sangat tidak menyukai rokok. Oleh karena itu maka tidak heran jika dalam setiap konsernya ia
selalu meminta tidak ada rokok dan tidak ada yang menjual makanan dari daging (makanya di Tennis Indoor Senayan pas konsernya tidak ada yang jualan hotdog dan burger, yang ada malah pecel Surabaya dan roti bakar). Gw sendiri berangkat ke arena konser bersama beberapa teman sekolah gw yang kebetulan bekerja di Jakarta. Sampai di Senayan kelihatan banget penonton konser kali ini banyak dari mereka yang berusia antara ‘late 20`s’ dan ‘early 30`s’. Beberapa selebritis seperti Ringgo Agus Rahman, Vincent, Desta, dan Arian13 juga terlihat di antara para penonton. Bahkan
tidak sedikit penonton yang datang dari luar Jakarta. Sejumlah penggemar Morrissey dari Bandung bahkan berangkat dengan menyewa bus lengkap dengan spanduk bertuliskan “Rombongan Jemaah Haji Morrissey Embarkasi Bandung” (gile bener ini bus, langsung jadi pusat perhatian). Gate dibuka pada jam 7 malam dan penonton pun langsung masuk ke dalam venue. Sayangnya, ternyata Morrissey baru akan main jam 9 malam. Selama dua jam penonton pun terpaksa bengong di dalam venue, apalagi konser Morrissey memang tidak pakai artis pembuka. Kaya`nya di sini nih salah satu kekurangan panitia
malam ini, bikin penonton capek dan bosan duluan selama dua jam. Tidak heran kalau kemudian banyak penonton yang berteriak kesal dan mengeluarkan sumpah serapah (hmm, kaya`nya termasuk gw juga deh yang ngomel-ngomel). Tepat pukul 9 malam akhirnya Morrissey pun naik panggung dan langsung disambut histeria penonton yang sedikit rusuh seperti anak sma di pesta seni sekolah. Dengan ucapan “selamat malam Jakarta”, Morrissey membuka penampilannya dengan lagu “How Soon Is Now” dari The Smiths yang pernah menjadi theme serial “Charmed” pada tahun 1990-an. Selanjutnya langsung dibawakan “You Have Killed Me”, “You`re the One for Me, Fatty” dan “Almamaters” yang menjadi ajang karaoke massal para penonton dan bahkan sampai ada yang sempat-sempatnya moshing. Empat lagu pertama ini langsung membakar semangat para penonton dan Morrissey pun tampaknya kaget melihat antusiasme penonton sehingga kemudian dia berkata “I didn`t expect this” sebelum membawakan “Black Could”. Panggung konser Morrissey malam itu sangat sederhana, bahkan lebih mirip panggung acara pentas seni sekolah. Tanpa big screen dan hanya layar putih sebagai background dengan tulisan “Who Is
Morrissey?”. Malam itu para personel band pengiring Morrissey semuanya adalah lakilaki yang tampil bertelanjang dada, kecuali satu gitaris yang sebetulnya cowok juga sih, tapi tampil dengan dandanan baju cewek warna perak dan make up yang cukup tebal. Konon gaya penampilan band pengiring Morrissey ini adalah penggambaran sikap Morrissey yang mendukung kelompok LGT (Lesbian, Gay, and Transexual). Morrissey sendiri memang digosipkan sebagai gay, walaupun ia sering mengaku hidup selibat. Morrissey sendiri tampil cukup atraktif dan tidak kenal lelah dengan suara yang tetap terjaga, walaupun dia sudah berusia lebih dari 50 tahun. Sempat terjadi kehebohan ketika ada penonton cowok yang berhasil naik ke atas panggung dan memeluk Morrissey. Kehebohan lainnya ketika Morrissey melepaskan dan melemparkan kemeja birunya yang sudah basah oleh keringat ke arah penonton (dan langsung jadi rebutan) dan kemudian menggantinya dengan kemeja hitam. Dia juga sempat mengkritik sikap PBB dalam menangani konflik di Suriah dengan berkata “United Nations? What United Nations?”. Selain itu pada saat membawakan lagu The Smiths yang berjudul “Meat Is Murder”, background panggung berubah menjadi cuplikan video perlakuan kejam terhadap hewan ternak (ya
ini sih kampanye Morrissey untuk mendukung PETA. Dia juga sempat mengeluarkan pernyataan yang meminta pemerintah Indonesia menutup Kebun Binatang Surabaya yang dianggap berlaku kejam terhadap hewan-hewan di kebun binatang tersebut). Malam itu Morrissey tampil selama 90 menit dengan membawakan sekitar 20 lagu, termasuk “Everyday is Like Sunday”, “Let Me Kiss You”, “Ouija Board” dan “Speedway”. Setelah “Speedway”, Morrissey menghilang ke balik panggung, tapi tentu saja penonton belum puasa dan berteriak “we want more!”. Dan Morrissey pun kembali naik ke atas panggung, mengucapkan “aku cinta kamu” dan menutup konser dengan lagu “Still Ill”. Jadi konser malam ini dibuka dan ditutup dengan lagu dari The Smiths. Walaupun panitia sempat mengecewakan, namun secara keseluruhan konser Morrissey malam ini sangat bagus dan sukses besar, dengan sekitar 4.000an orang penonton yang merasa puas (walaupun ada beberapa lagu seperti “The More You Ignore Me, the Closer I Get” yang tidak dibawakan dalam konser ini). Semoga selanjutnya bisa ada Radiohead atau The Cure.
.
GIG REPORT
Trans Studio Park, Makassar 29 April 2012
ROCK IN CELEBES 2012
TERBESAR DI TIMUR INDONESIA oleh Dozan Alfian foto oleh Muhammad Farid Wajdi Minggu, tanggal 29 April 2012, cuaca panas luar biasa. Tapi tampaknya itu tak menyurutkan semangat scenester lokal kota Makassar untuk hadir dalam pagelaran musik akbar bertajuk Rock in Celebes 2012 yang bertempat di Trans Studio Park Makassar. Acara yang digagas oleh Chambers Entertainment ini sejatinya dijadwalkan mulai pada pukul 14.00 WITA, namun apa daya, venue masih lengang hingga menjelang rehat maghrib.
S
aya datang sekitar pukul 15.00 WITA, tepatnya ketika Psycroptic (Australia) sedang on stage. Sukseslah saya tercengang bukan buatan demi melihat band sekelas Psycroptic di-set begitu awal plus audiens yang belum seberapa. Padahal sungguh, output suara yang dihasilkan dari permainan mereka sangatlah bersih. Rapijali lagi minus bebunyian sember. Kelar Psycroptic menunaikan hajatnya, baik stage 1, 2 maupun 3 nampak tiada menunjukkan aktivitas apapun. Kosong melompong. Merujuk dari jadwal yang saya dapatkan dari web rockincelebes.com seharusnya band-band lokal sudah sibuk bahu-membahu bekerjasama memanaskan venue yang masih saja terlihat lengang itu. Tapi apa daya, beberapa pemungkas utama justru memakai waktu sesorean itu
untuk melakukan sound check. Sebut saja Deadsquad dan The S.I.G.I.T yang berasyikmasyuk dengan kegiatan menganalisa tata suara panggung hingga mengakibatkan penampil-penampil lokal yang dijadwalkan naik pentas sore itu cuma bisa bersabar -sambil bengong dan mengelus dadamenanti band-band ‘ciptaan Tuhan’ itu tunai sudah melakukan sound check. Keadaan di venue benar-benar mengalami masa reses, sehingga saya memutuskan meninggalkan venue hingga bubaran maghrib. Saat saya kembali, Superman Is Dead sudah sibuk memainkan repertoarnya. Bolehlah saya akui, Jerinx mungkin adalah bangsat paling tengik yang pernah diciptakan Tuhan. Selain dia mendominasi SID, tak sungkan dia sedikit berkelakar “besok kami akan main di Jakarta bersama band US yang bernama A Kali 7” sebelum
akhirnya dikoreksi oleh koleganya -entah Bobby atau Eka- “A 7 Kali, bukan A Kali 7”. Lumayan, aksi mereka cukup bisa memanaskan crowd yang sejak sore limbung sempoyongan akibat molornya rundown acara. Kelar SID, band-band penampil keluaran bumi pertiwi Sulawesi dipersilahkan unjuk gigi. Duh gusti, hampir kesemuanya menyuguhkan dubrak desing yang nyaris serupa. The Box, produk impor dari Palu (Sulawesi Tengah) yang menjadi penyelamat kejenuhan saya. Meskipun (lagi-lagi) memainkan musik berdistorsi tinggi, mereka menyuguhkan sesuatu yang unik: kombinasi antara musik bertegangan tinggi dengan alat musik tradisional yang berupa suling dan semacam perkusi yang entahlah apa namanya. Menarik pula, sang biduan yang nampak mirip mendiang Ucok Harahap
(AKA) ketika muda ini berkata bahwa Pemerintah Kota Palu men-support mereka hingga ke ajang ini. Ah, andai saja semua pemerintah kota meniru sifat terpuji dari Pemerintah Kota Palu tersebut. Sebelum saya lanjutkan, perlu diketahui bahwa kemoloran rundown ini nampaknya berakibat pada durasi tampil bagi penampil lokal. Nampaknya jatah manggung mereka terpaksa disunat sehingga masingmasing band lokal hanya mendapat jatah 2 lagu. Berhubung saya pernah mengalami hal menyebalkan semacam ini dulu ketika aktif dalam band, saya menyayangkan sekali berantakannya masalah pengaturan waktu. Oke, kelar The Box selama beberapa waktu ke depan teman-teman penampil lokal berlomba menjadi yang paling berisik. Oke, agaknya saya yang salah karena acara ini bertajuk Rock in Celebes bukan? Jadi wajar kalau isinya melulu band cadas kan? Baiklah, no offense. Euforia massa menjadi masif tatkala gerombolan pembangkang orangtua asal Jakarta bernama Deadsquad naik panggung. Sontak circle pit terbentuk. Walaupun minus Christoper ‘Coky’ Bollemeyer, crowd seakan tak peduli dan tetap sibuk ber-headbang. Tuntas Deadsquad unjuk kebolehan, beberapa band lokal kembali mengisi panggung sampai akhirnya Suffocation naik singgasana. Frank Mullen benar-benar sosok yang ramah bersahaja. Tak hentinya dia berinteraksi dengan crowd. Guy Marchais nampak memakai tees dengan logo yang familiar bagi publik metal Indonesia: Death Vomit, wow! Sesuai perkiraan saya, massa menjinak pada penampilan Suffocation. Circle pit tak lagi semasif dan se-begajulan pada waktu Deadsquad tampil. Agak terkejut juga saya ketika mendengar beberapa audiens di sekitar saya berharap Suffocation menyudahi permainannya. Suffocation kalah pamor? Peduli setan dengan pamor, yang jelas melewatkan Suffocation adalah nista, apapun yang terjadi pada reaksi massa. Andra and the Backbone men-
gawali performa mereka dengan membawakan cover version dari Foo Fighters: “My Hero”, dilanjut menggempur dengan hits-hits mereka yang sukses membuat audiens menikmati penampilan mereka. Jika Suffocation saja tidak disambut dengan antusias berlebih, apalagi jika Dawn Heist? Terlihat crowd hanya mengisi depan stage 2 tempat mereka perform. Sisanya? Sibuk kenduren di tepi venue. The S.I.G.I.T. lah yang akhirnya membakar semangat crowd yang sudah lelah berdiri. Singalong berjamaah terdengar mengiringi teriakan-teriakan seksi yang keluar dari Rekti. Tiba pada pemuncak acara, Secondhand Serenade didaulat menutup perhelatan Rock in Celebes 2012 ini. Terlihat beberapa pasangan sibuk mempererat pelukan. Beberapa penggila galau pun bersiap melolong mencurahkan isi hati. John Vesely, si empunya band benar-benar mendominasi dan menjadi raja bagi para hulubalangnya. Agak sedikit over sebenarnya jika tiap jeda ganti lagu John Vesely selalu mengganti gitarnya. Belum lagi ditambah celetukan-celetukan yang saya hakkul yakin Vesely tidak mengetahui artinya. Seperti pada contoh ketika dia berseru lantang sambil tersenyum lebar mengucap “Makassar, basamami!” Oh, andai saja dia tahu artinya. So far, Rock in Celebes edisi ketiga ini masih membutuhkan beberapa pembenahan untuk bisa menyandang predikat festival berskala internasional. Sebelum terjadi miskomunikasi atas tulisan saya, sedikit menambahkan info dari Ardy Chambers, pihak event organizer: pertama, Psycroptic memastikan cuma bisa tampil sore karena segera setelah itu harus langsung pulang ke Australia. Kedua, dan terburuk, Suffocation tidak pede jadi headliner, dan meminta Secondhand Serenade menggantikan mereka. Secondhand Serenade bisa tampil terakhir tapi minta jadwal blok sound check, dan Suffocation setuju. Makanya jadwal jadi berantakan, dari sound check sampai show. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan Rock in Celebes ataupun penampil lokal. Saya menuliskannya atas ekspe-
ktasi saya sebagai penonton. Kekecewaan terbesar saya pada masalah jadwal yang molor luar biasa. Soal kejenuhan saya atas mendominasinya musik bergemuruh, sebenarnya tidak ada masalah sama sekali jika memang panitia menginginkan pengisi Rock in Celebes mayoritas band berdistorsi tinggi, mungkin pengaturannya saja yang perlu diselang-seling dengan band yang tidak melulu bermain musik keras. Sekedar menghindari kebosanan dan menjadikan Rock in Celebes lebih berwarna. Lain cerita kalau Rock in Celebes memang khusus diset sebagai festival dubrak desing. Di luar itu, semuanya berjalan dan berlangsung apik dan teratur. Dari pemilihan venue yang jauh dari pusat kota (sehingga setidaknya meminimalisir kemacetan), tata letak panggung dan booth-booth yang ada, sound yang keluar selama acara serta performa para penampil. Pun begitu dengan tertibnya penonton yang diperkirakan berjumlah sekitar 15.000 orang yang datang dari berbagai kota di seputaran Sulawesi dan beberapa kota di Indonesia Timur. Padahal dengan crowd yang utamanya terdiri dari para penikmat underground garis keras yang datang untuk Suffocation dan para hipster yang datang demi Secondhand Serenade, friksi kecil bisa saja menjadi besar Tanpa ada paksaan dari mana pun, saya tetap mengaku salut untuk penyelenggara, karena bagaimana pun juga Rock in Celebes adalah festival musik terbesar se-Indonesia Timur, dan telah mewujudkan mimpi masyarakat di sana untuk bisa menonton band manca negara tanpa harus melulu ke Jakarta atau Bali.
.
Terima kasih kepada Dozan Alfian (dozan-alfian.blogspot. com) dan Muhammad Farid Wajdi (stageshutter.com) untuk reportase dan fotofotonya. Regards.
GIG REPORT
HAMMERSONIC JAKARTA INTERNATIONAL METAL FESTIVAL
MENYONGSONG FESTIVAL METAL TERBESAR YANG SESUNGGUHNYA Lapangan D Senayan, Jakarta 28 April 2012
Sejak mendengar rencana digelarnya Hammersonic Jakarta International Metal Festival beberapa bulan sebelumnya, saya sudah memantapkan hati, sebisa mungkin saya harus datang dan menyaksikan sendiri.
oleh Dede Hate foto oleh Garry Andrew
g
embar-gembor ‘festival metal terbesar se-Asia Tenggara’ sudah cukup untuk merangsang minat dan niat saya. Kalau suatu hari nanti ini akan menjadi Wacken-nya Asia, atau minimal Asia Tenggara, setidaknya saya harus ada, menyaksikan dan menjadi bagian dari kelahirannya. Headliner-headliner mentereng, dari dalam dan luar negeri, hanyalah urusan ke-sekian dalam perhitungan saya. Apalagi setelah batalnya kehadiran Agnostic Front, saya semakin tidak ambil pusing siapa saja yang akan tampil, karena sejujurnya, dari puluhan band yang ada di flyer, hanya sedikit yang saya tahu lagu-lagunya. Oke, sekitar pukul 10.00 pada hari H, Om Gigih menjemput saya di bandara dan kita langsung meluncur ke (dan tiba di) Senayan sekitar sejam kemudian. Di sana sudah ada Bang Olap, Galih, Ayip, Om Sap dan ribuan manusia berpakaian hitam-hitam. Sementara kita masih menunggu tiket di luar, sayup-sayup terdengar dari dalam dentuman yang sepertinya asyik untuk headbanging. Proses menunggu tiket ini cukup lama, dan karenanya kami melewatkan banyak hal. Dari rundown acara yang dimulai sekitar pukul 10.00 itu, sungguh sayang
kami melewatkan penampilan Straight Out, Funeral Inception, Dead Vertical, Massacre Conspiracy, Down For Life dan Dawn Heist. Setelah melihat-lihat lapak-lapak merchandise yang bertebaran di luar, dan membeli beberapa kaos titipan, kami masuk venue sekitar pukul 13.00 dan mendapati Human Like Monster sedang beraksi di Hammer stage. Oiya, set panggung di venue pada hari itu ada dua, saling bersebelahan. Hammer stage ada di depan sebelah kiri area crowd, sedangkan di sisi depan kanan ada Sonic stage. Meskipun penonton belum penuh, dan cuaca masih terik serta debu yang beterbangan, penampilan Human Like Monster cukup percaya diri. Kelar Human Like Monster, ada band Italia, Divine Codex di Sonic stage. Potongan vokalis sekaligus bassist-nya mengingatkan saya pada Dino Cazares dari Fear Factory: tambun. Mereka memainkan sekitar tujuh lagu, yang menurut saya bunyinya sama semua, cenderung membosankan dan datar-datar saja dari awal sampai akhir. Berikutnya ada Noxa, salah satu legenda grindcore Indonesia. Sayangnya, entah karena lapar, haus, kepanasan atau ngantuk gara-gara Divine Codex, saat penampilan Noxa saya lebih banyak menghabiskan waktu (ngadem) di warung di bagian kiri venue. Meski demikian, saya masih bisa mendengar dengan jelas lagu-lagu yang mereka mainkan, yang salah satunya saya tahu berjudul “Sinetron Sucks”. Sampai
saat itu, Noxa adalah yang paling komunikatif dengan crowd dengan banyolan-banyolan konyol si vokalis, sampai menyebut-nyebut SuJu dan bahkan menyanyikan reff “I Heart U”, haha. Setelah Noxa ada trio black metal asal Singapura, Impiety yang hari itu kurang menyeramkan. Sedikit aneh melihat corpsepaint dan mendengar raungan gitar yang raw di siang bolong, hehe. Setelahnya ada jeda cukup lama, dan kami memanfaatkannya untuk mengisi perut. Sementara menikmati makanan, The Arson Project mulai beraksi. Meskipun tidak begitu familiar dengan lagu-lagu yang mereka mainkan siang itu, saya punya memori tersendiri tentang para grinder dari Swedia ini. Album mereka “Blood and Locusts” pada 2008 mengingatkan saya pada Nasum, dan sejak saat itu saya selalu berharap mereka akan menjadi penerus Mieszko Talarczyk dkk. Setelahnya ada Death Vomit, yang menurut saya siang itu merupakan penampil yang mendapat sambutan paling meriah dari crowd. Sepertinya massa mereka memang banyak, utamanya dari Jogjakarta Corpse Grinder. Berturut-turut kemudian tampil Cyanide Serenity dari UK, Nothnegal dari Maladewa yang bermain bagus menjelang sore dan GxSxD dari Jepang yang kurang saya perhatikan karena terhalang tenda untuk soundman yang memang cukup mengganggu pandangan. Iya, sejak Death Vomit, saya sudah duduk santai agak
di belakang, sesekali berbaring di rumput, melepas penat dan menyalurkan kantuk. Selain tenda untuk soundman yang menurut saya cukup mengganggu karena posisinya yang terlalu ke tengah (mestinya sedikit agak ke belakang), sound yang keluar sepanjang siang itu pun terdengar kurang maksimal, tidak balance dan beberapa kali terjadi noise dari luar. Saya kurang mengerti, apakah itu karena sound system, soundman, seteman alatnya, masalah-masalah teknis lainnya, atau saya yang musti berada di tengah-tengah, di antara dua stage, untuk mendengar output yang seimbang dan maksimal? Dunno. Semakin sore, crowd yang memenuhi venue semakin banyak. Area depan panggung yang sejak siang telah menjadi moshpit pun semakin padat. Kerumunan penonton yang baru masuk memenuhi bagian tengah dan belakang venue yang berumput, sehingga sangat cocok jadi tempat istirahat bagi yang kelelahan seperti saya. Setelah GxSxD memang ada jeda cukup lama, sekitar setengah jam, yang dimanfaatkan crowd untuk beristirahat, atau sekedar duduk mendinginkan badan. Terbakar sebelum break Sekitar pukul 17.00, Seringai muncul di Sonic stage, dan tanpa dikomando ribuan metalhead merapat ke depan panggung, termasuk saya. Tanpa banyak bicara, kumpulan orang-orang tua yang
menolak tua itu langsung menghajar crowd dengan “Dilarang di Bandung”. Untuk urusan memainkan emosi massa, Arian dan Seringai-nya adalah yang terbaik. Selama kurang lebih setengah jam mereka mampu menghipnotis crowd untuk terus mengikuti mereka: berteriak, mengumpat, melompat dan saling menubrukkan diri. Beberapa lagu yang mereka mainkan sore itu di antaranya single terbaru mereka yang bisa diunduh gratis, “Tragedi” dan cover Motorhead, “Ace of Spades”. Penampilan mereka ditutup dengan anthem yang saya yakin sudah ditunggu-tunggu oleh semua yang tahu Seringai: “Mengadili Persepsi”. Dan ketika mereka mulai memainkan intro-nya, teriakan massal ‘individu merdeka’ pun bergema di seluruh venue. Dan untuk pertama kalinya sejak siang, saya benar-benar merasa terlibat. Selain penampilan mereka yang aktraktif dan komunikatif, hal lain yang membedakan Seringai dengan penampil-penampil lain, sebelum dan setelahnya, adalah visualisasi dari lagu-lagu yang mereka mainkan dalam bentuk semacam video klip yang ditampilkan di giant screen di panggung. Banyak yang kemudian menilai bahwa pertunjukan sebenarnya dari festival Hammersonic ini dimulai ketika Seringai tampil. Well, saya tidak membantah itu. Kelar Seringai, crowd berbondong-bondong menggeser posisinya ke depan Hammer stage. Di sana sudah ada
empat orang dari Koil. Koil setelah Seringai? It would be great. Saya pun beringsut mendekat, meski akhirnya terhalang juga oleh badan-badan besar di depan saya. Mestinya saya bawa dingklik, hehe. Dan setelah basa-basi dari Otong, Koil pun menggebrak dengan tiga lagu dari “Blacklight Shines On”, dimulai, kalau tidak salah, dengan “Ajaran Moral Sesat”, disusul “Aku Lupa, Aku Luka” dan ditutup dengan “Kenyataan Dalam Dunia Fantasi”. Meskipun ditingkahi sound buruk yang keluar, Otong dkk tetap angkuh menghibur crowd, yang dibalas crowd dengan karaoke massal pada bagian reff lagu-lagu mereka. Bagi saya sendiri, seperti mereka yang suka Koil, ini adalah ajang bernyanyi bersama, dan akhirnya menjadi salah satu momen paling intens saya ikut berteriak selama Hammersonic ini. Di saat jeda pergantian antar lagu, Otong beberapa kali mengeluarkan pernyataan sarkas yang disambut gelak tawa dari crowd. “Kami belum bisa main di Radio Show, karena kami cuma bisa tampil lipsync”, “kami adalah kami band metal palsu, karena kami bisanya tampil di acara seperti Dahsyat, Inbox dll”, kira-kira seperti itulah ‘orasi’ dari Otong. Bagi saya, ini seperti pernyataan ‘what the fuck!’ dari Otong dan Koil kepada orang-orang yang menuduh mereka sellout setelah berkolaborasi dengan Ahmad Dhani. Anyhow, saya selalu suka Koil.
GIG REPORT Sayang sekali mereka mereka cuma sempat menggeber tiga lagu karena break maghrib yang sudah dekat. Hal ini pun mengundang kekecewaan dari crowd, termasuk saya. Meski cuma sebentar, Otong masih sempat menampilkan aktraksi khasnya: membanting gitar sampai hancur. Sebelum ini, saya telah melihatnya melakukan itu tahun 2005 di salah satu gig di Makassar. Saat jeda maghrib, rombongan kami berkumpul kembali. Kali ini makin ramai karena sudah ada Om Rebel, Kak Uly, Bang Herwin, Arad Keparad (yang hari itu menjadi crew Down for Life dan bisa mengakses dan mengambil gambar-gambar esklusif di stage dan backstage), Niko, Agus, Afid, Danu, termasuk Ayip, Bang Olap dan Galih. Matahari senja yang mulai tenggelam, asap rokok yang berhamburan serta aroma alkohol yang samar-samar terbaui menemani segala obrolan kami dan belasan ribu metalhead yang tumpah petang itu. Saat yang tepat untuk beristirahat dan ngobrol santai sambil melepas dahaga, sedikit mengistirahatkan badan, membasahi tenggorokan yang mulai kering (entah karena berteriak atau karena asap), mengisi perut yang baru terasa kosong dan menyalurkan hajat yang dari tadi tertahan. Dreamer dan Doris Setelah break hampir sejam, Dreamer muncul di Sonic Stage dan membuka rundown malam itu. Karena hari sudah gelap, permainan lighting pun semakin terasa romantis, meski tidak begitu istimewa. Selain lighting, yang berbeda sejak malam adalah mulai berfungsinya dua giant screen yang mengapit dua panggung, menampilkan aksi live dari band-band yang sedang tampil. Ini adalah hal yang sangat membantu, terutama bagi saya, karena tidak perlu mendekat ke depan panggung untuk melihat band-band itu beraksi, cukup duduk manis agak di belakang dan mengikuti aksi mereka lewat giant screen, haha. Dan memang, sejak Dreamer, saya lebih banyak duduk manis di belakang. Penampilan Dreamer sendiri membawa sesuatu yang segar. Setelah seharian disajikan pria-pria mengerikan di atas panggung, crowd yang memang didominasi oleh pria-pria hidung belang bisa sedikit terhibur dengan vokalis baru Dreamer yang cantik. Aksi salah satu legenda metal ibukota itu berlangsung sekitar setengah jam. Saya tidak tahu lagu-lagu yang mereka mainkan malam itu kecuali satu cover dari Power Metal, itu pun saya lupa judulnya, haha. Kelar Dreamer, sebuah band yang saya yakin masih asing bagi sebagian besar metalhead yang hadir malam itu muncul di Hammer stage, Chthonic dari Taiwan. Para pria pun kembali terhibur dan melongo melihat bassist mereka yang cantik dan seksi pula (belakangan saya tahu namanya Doris Yeh). Entah, karena Doris Yeh atau
karena memang permainan mereka yang apik dan unik dengan selingan bunyi alat musik gesek (mirip biola?) tradisional Asia Timur yang dimainkan vokalisnya, Chthonic mendapat sambutan yang sangat meriah dari crowd. Setelah Chthonic, veteran lain dari ibukota, Sucker Head menghajar massa dari Sonic stage. Dengan raungan musik beraroma thrash yang padat, salah satunya lewat lagu lama yang kalau tidak salah berjudul “Neraka Jahannam”, om Krisna dkk sukses membuat sebagian crowd mulai melupakan Doris Yeh untuk sesaat. Setelah Sucker Head, sekitar pukul 20.00 lewat, Dirty Rotten Imbeciles mengambil alih Hammer stage. Melihat yang tampil adalah band jadul banget yang saya yakin memang kurang dikenal oleh anak-anak jaman sekarang (termasuk saya), sebagian besar crowd yang tadi memenuhi area moshpit di depan Sonic stage berangsur mundur atau memilih duduk. Tapi tidak demikian halnya bagi para fans fanatik band yang terbentuk sejak 1982 ini, mereka memenuhi moshpit di depan Hammer stage, dan mengikuti aksi D.R.I dengan moshing yang brutal. Para personil D.R.I yang sudah sangat berumur itu sama sekali tidak terlihat kepayahan memainkan musik yang cepat, dan tetap tampil enerjik. Dengan musik crossover thrash, punk dan hardcore, D.R.I setidaknya sedikit mengobati kekecewaan bagi mereka yang mengharapkan Agnostic Front. Ada pemandangan berbeda di area moshpit saat D.R.I beraksi: terlihat cukup banyak mohawk di antara rambutrambut gondrong dan kaos hitam. Untuk sesaat metalheads dan punkers bergaul intim. Setelah D.R.I, ada Burgerkill di Sonic stage. Ketika lampu panggung dihidupkan dan logo mereka ditampilkan di giant screen, tanpa perlu dikomando, ribuan metalhead yang tadi lebih banyak duduk, secara masif berbondong-bondong memenuhi area moshpit dan depan panggung, siap menyambut aksi Eben dkk. Ketika “Shadow of Sorrow” dimainkan, venue pun pecah oleh growl massal dan aksi moshing paling liar malam itu. Gerimis hujan ringan yang mulai jatuh pun tidak mampu menggeser massa dari depan panggung, kecuali hanya sebagian kecil yang berusaha mencari tempat berteduh. Meskipun tampil hanya sekitar setengah jam dan memainkan hanya beberapa lagu (di antaranya “Atur Aku” dan “Seek and Destroy”-nya Metallica), penampilan Burgerkill menurut saya adalah yang paling menyedot perhatian. Dan ketika menutup set mereka dengan “Darah Hitam Kebencian”, klimaks yang paling diharapkan dari sebuah pertunjukan metal pun merebak ke mana-mana. Sekali lagi, Burgerkill membuktikan bahwa mereka adalah band metal terbesar Indonesia. Penampilan hebat Burgerkill, dan aksi massa brutal yang mengikuti-
nya, membuat saya sangsi pada penampil berikutnya. Mereka sepertinya akan ‘minder’ dan ‘susah’ menandingi Burgerkill dalam menggerakkan crowd. Apalagi setelah tahu yang tampil adalah band dari Australia yang tidak begitu populer (setidaknya bagi saya dan Afid): Psycroptic. Tapi, damn, bule-bule itu tampil masa bodoh dan sangat percaya diri, memainkan death metal yang keren. Saya tidak begitu yakin banyak yang kenal lagu-lagu mereka, tapi permainan mereka yang mantap dan powerful, membuat irama death metal yang terdengar menjadi sangat familiar dan enak diikuti. Akhirnya, saya salah, Psycroptic juga mampu menggerakkan massa untuk moshing, crowd surfing, atau setidaknya headbanging. Salut. Makin malam, makin cadas Semakin malam, massa semakin panas, dan terus menagih untuk aksi cadas berikutnya. Deadsquad kemudian muncul di Sonic stage sekitar pukul 22.35. Setelah sedikit orasi dari Daniel, Deadsquad pun menghajar crowd dengan technical death metal yang ganas. Sebagai penampil terakhir dari headliner lokal, mereka bermain maksimal, penuh tenaga, seakan-akan mengeluarkan semua amarah mereka setelah aksi sehari sebelumnya di Radio Show yang berlangsung tidak lepas dan tanggung. “Kemarin malam kami tidak boleh melakukan ini, lega rasanya bisa kembali berteriak ‘anjing!’ di sini”, kira-kira seperti itu curhatan Daniel. Sambutan bergemuruh pun menimpali ketika Daniel meneriakkan “Manufaktur Replika Baptis”. Malam itu Deadsquad tampil minus Christopher Bollemeyer yang absen dan digantikan oleh gitaris Carnivored. Setelah Deadsquad, ada jeda bagi salah satu headliner utama, Nile untuk mempersiapkan peralatan mereka. Kalau
ada band yang paling ingin saya saksikan di festival ini, itu adalah Nile. Karenanya, saya pun merangsek mendekat ke arah Hammer stage. Salah satu lagu mereka yang terkenal, mengundang polemik dan memunculkan multitafsir itu mau tidak mau membuat saya penasaran. Dan saya sungguh tidak menyangka ketika aksi pertama yang dilakukan Kolonel Sanders malam itu adalah menahbis semua metalhead yang hadir dengan teriakan ‘kafiiirrr!’. Yup, Nile langsung menghajar dengan lagu mereka yang paling terkenal, “Kafir”. Lantunan suara adzan di tengah-tengah lagu awalnya terasa janggal, tapi lamat-lamat kemudian terdengar merdu, masuk akal dan cocokcocok saja di antara raungan distorsi dan blast beat. Nile tampil sekitar empat puluh menit, dan mampu memanjakan crowd dengan permainan technical death metal dengan nuansa Mesir kuno (lengkap dengan visualisasi hieroglif di giant screen) yang ciamik. Saya pun puas akhirnya bisa melihat mereka secara langsung memainkan lagu “Kafir” tadi. Akhirnya, tibalah saatnya bagi headliner utama, sekaligus penampil terakhir di festival ini, Suffocation. Karena sudah terlalu letih, saya sempat berpikir untuk mundur dan melihat aksi Frank Mullen dkk dari jauh saja, dan terus menimbang-nimbang bahwa saya masih akan bisa melihat aksi mereka keesokan malamnya di Rock in Celebes di Makassar. Tapi, entah kenapa (mungkin karena sudah terlalu letih juga untuk mundur) saya akhirnya memutuskan untuk tetap berada agak di depan. Ini terbukti menjadi keputusan yang tepat karena besoknya saya tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat siang atau sore ke Makassar yang membuat saya kehilangan kesempatan untuk menyaksikan Rock in Celebes. Keletihan yang sama saya perhatikan juga terpancar dari wajah para metalhead yang sudah ada di venue sejak pagi. Belasan jam yang dilewatkan dengan berteriak, moshing, skanking, headbanging dll tentu sangat melelahkan. Tapi, karena ini sudah mendekati klimaks, maka semua rasa lelah itu harus disingkirkan, dan mempersiapkan diri untuk ritual penutup. Dan yah, semuanya tumpah ruah ketika Suffocation
memulai set mereka. Saya sendiri, meskipun cuma tahu lagu “Effigy of the Forgotten” dari barisan lagu-lagu yang mereka mainkan, cukup aktif terlibat saat penampilan Suffocation ini. Death metal yang mereka mainkan tidak seribet Nile, atau Deadsquad, dan banyaknya part slamming membuat saya semakin enjoy mengikuti mereka. Di jeda antar lagu, Frank Mullen berkali-kali menyapa penonton dengan sapaan ‘my friends’ yang terdengar ganjil di kuping saya. Ketika kebanyakan penampil lain memilih ‘motherfuckers’ sebagai sapaan, dia menggunakan dua kata yang terkesan sok akrab itu, haha. Memang, secara historis, dibanding headliner-headliner lain dari luar negeri yang tampil hari itu, Suffocation mungkin yang paling familiar dengan suasana crowd, ini adalah penampilan mereka yang entah ke-berapa kalinya di Indonesia. Selain monolog Frank Mullen, hal lain yang mengisi jeda antar lagu di set Suffocation adalah video di giant screen yang menampilkan Alex Webster dan George Corpsegrinder dari Cannibal Corpse yang mewanti-wanti para metalhead untuk memantengi kedatangan mereka pada Oktober nanti di acara besutan Revision berikutnya (Hammersonic jilid II?). Ini pun disambut gemuruh teriakan tak sabar dari para metalhead. Kurang lebih selama sejam Suffocation menghibur crowd, sebelum akhirnya menghilang ke belakang panggung, dan muncul lagi untuk memainkan sekira dua lagu sebagai encore, mengakhiri aksi mereka sekitar pukul 01.00 dini hari dan menutup satu hari yang paling berisik di Indonesia selama tahun 2012 ini. Terbesar? Lapar, letih, haus, panas, ngantuk dan semua perasaan lemah seorang manusia terasa sepadan dengan sajian puluhan band yang tampil enerjik sejak pagi, membawa perasaan puas dan kesan mendalam. Tentu, selalu saja ada kekurangan. Menurut saya yang paling menganggu adalah masalah sound system-nya, terutama saat siang. Malamnya memang masih terasa, tapi mungkin karena kuping saya sudah beradaptasi atau memang sudah ditangani, maka semuanya terdengar baik-baik saja. Ada lagi hal kecil yang cukup menganggu, yang mungkin oleh panitia kurang diantisipasi: tidak adanya toilet
portable. Dengan jumlah manusia sebanyak itu, setahu saya cuma ada dua toilet di bagian kiri venue, itu pun sudah bobrok. Ini tentu saja memancing antrian panjang dari orang-orang yang masih ingin buang air secara beradab, meskipun keadaan dua toilet di situ sama sekali tidak beradab. Di luar itu, menurut saya Revision Entertainment sudah melakukan hal yang hebat dengan Hammersonic ini. Bukan saja mengenai deretan headliner-nya, tapi juga kesigapan mereka mengenai ticketing dan jadwal yang boleh dibilang cukup on time, hampir semuanya sesuai rundown. Kecuali mungkin yang terjadi dengan Koil yang kepepet break maghrib. Kesuksesan mereka menggaet sponsor utama dari produsen rokok besar juga bolehlah disaluti. Awalnya saya mengira, dengan sponsor utama perusahaan kapitalis, bakal ada semacam mc di stage yang setiap pergantian penampil berulang-ulang menyampaikan pesan-pesan sponsor. Selain brand rokok itu yang selalu disertakan dalam setiap hal yang berhubungan dengan Hammersonic (flyer, banner, backdrop, trailer), satu booth tersendiri di bagian belakang venue dan gadis-gadis spg yang mondar-mandir menawarkan rokok, tidak ada promosi dan iklan berlebihan dari sponsor utama ini. Satu lagi yang perlu disaluti, setahu saya tidak ada keributan dan semuanya berjalan tertib dari awal sampai akhir. Ini membuktikan para metalhead di Indonesia sudah semakin bijak. Padahal dengan jumlah manusia sebanyak kurang lebih 15 ribu orang (ada juga yang menyebut 13 ribu), dan dengan asal daerah, suku, agama dan latar belakang yang beragam, gesekangesekan kecil saja akan sangat mudah disulut. Ini sekali lagi membuktikan bahwa musik (kali ini metal) bisa menjadi pemersatu. Sebagai festival metal paling majemuk di Indonesia, metalhead yang hadir di Hammersonic pun berasal dari berbagai pelosok nusantara (di akhir acara, saya sempat bertemu dan berkenalan dengan teman-teman dari skena West Borneo Death Metal yang datang berombongan khusus untuk acara ini), bahkan ada yang bilang, dari negeri jiran pun ada. Dibutuhkan lebih dari puluhan headliner mentereng, tata suara yang membahana, belasan ribu penonton, dan kebisingan sekian ratus desibel untuk mengklaim diri sebagai festival metal terbesar se-Asia Tenggara sesungguhnya, tapi Hammersonic sedang mengarah ke sana. Salut untuk Revision Entertainment. Sampai ketemu di Hammersonic berikutnya.
.
Terima kasih kepada bang Garry Andrew (bocahklenteng.blogspot.com) untuk foto-fotonya. Regards.
GIG REPORT
oleh Surya Isnawan
DREAM THEATER WORLD TOUR 2012
Mata Elang Indoor Stadium Ancol, Jakarta - 21 April 2012
THE DREAM COME HERE Sabtu pagi, 21 April 2012, terjadi satu kejadian yang amat jarang terjadi dalam kehidupan saya sejak lulus sma. Secara tidak sengaja saya bangun pukul 05.00 pagi!! Padahal malam sebelum tidur tidak ada rencana apa pun untuk bangun lebih pagi. Saya hanya memikirkan besok malam akan menjadi salah satu malam terindah dalam hidup saya (oke, ini lebay). Mungkin pikiran itu yang membuat tubuh saya ‘tidak tenang’ sehingga ingin segera bangun dengan harapan bangun di waktu yang tepat. Ternyata saking ‘tidak tenang’-nya, syaraf bawah sadar memaksa saya untuk bersiap lebih awal. Mari kita laksanakan!
P
ukul 10.00 saya bertolak menuju Ancol untuk menukarkan tiket yang sudah saya dapat di stand tidak resmi IDTFC (meja makan Solaria MEIS). Sampai di sana bertemu dengan Ryan Tumbok dan tiketnya langsung saya terima. Karena waktunya masih lama saya putuskan pulang dulu dan kebetulan sudah janji berangkat bareng dari Bintaro sore hari. Suasana lokasi konser siang itu sudah lumayan ramai. Terlihat banyak kelompok kecil-kecil di berbagai sudut pantai dan mall. Sepertinya mereka rombongan dari luar Jakarta. Banyak dari mereka yang ngobrol-ngobrol sambil menyanyikan lagulagu Dream Theater yang diputar oleh pihak promotor. Saya masih belum bisa membayangkan seperti apa suasana saat sore harinya.
Pukul 16.00 saya berangkat dari Bintaro bersama tiga orang teman lainnya. Begitu sampai di lokasi saya terkejut oleh suasana di sana. Hampir tidak ada tempat duduk tersisa di sekitar pantai. Antrian di pintu gerbang masuk sudah sangat banyak. Antrian di ticket box juga tak kalah banyaknya. Terlihat antusiasme luar biasa para pecinta Dream Theater dari segala usia. Saya melihat adik-adik abg baik laki-laki maupun perempuan, saya juga lihat om-om dan tante-tante pun datang untuk menyaksikan konser. Musisi, metalhead, nerd, maupun orang kantoran (saya maksudnya) berkumpul menjadi satu di sana. Pukul 19.00 gerbang mulai dibuka. Di sini mulai muncul kekacauan. Proses pemeriksaan tiket dan barang bawaan yang lama membuat penonton yang belum bisa masuk menjadi tidak sabar. Belum lagi
penjualan di ticket box yang prosesnya juga lama membuat suasana menjadi semakin keruh. Makian penonton mulai sahut-menyahut. Sempat terjadi pula aksi dorongmendorong, untungnya tidak lama karena berhasil diredam oleh penonton lain. Setelah lebih dari setengah jam pihak promotor akhirnya memutuskan untuk tidak melakukan pemeriksaan barang bawaan dan pemeriksaan tiket dilakukan seadanya saja. Pemeriksaan tiket yang seadanya ini membuat susunan kelas penonton kacau. Pintu masuk stadium seingat saya hanya dibagi menjadi dua buah, yaitu pintu VIP untuk kelas platinum sampai silver center dan pintu festival untuk kelas festival dan tribun samping. Di pintu masuk stadium pun tidak dicek kembali apakah tiketnya sesuai kelas atau tidak, sehingga pemilik tiket tribun pun bisa masuk ke kelas festival.
Dan saya lihat di kelas VIP tidak ada pembedaan juga antara platinum dengan gold. Untuk yang terakhir semoga saya salah karena kalau benar kasihan yang beli tiket seharga empat juta itu. By the way, sebelum masuk saya mendapat tiket gratis kelas festival milik teman dari salah satu rombongan saya yang batal berangkat. Jadi saat itu saya malah punya dua tiket kelas berbeda hehe. Tinggal pilih suka-suka saya mau di kelas mana. Tapi kenyataannya di stadium malah tidak ada bedanya. Sekitar pukul 20.00 lebih konser dibuka oleh penampilan Andy McKee. Saya sendiri belum pernah tahu siapa sebenarnya Andy McKee ini (karena saya kuper). Tapi setelah melihat sendiri, ternyata orang ini super keren!! Andy memainkan kalau tidak salah sebanyak lima lagu, dan di lagu terakhir Andy sempat menyisipkan intro “A Change of Seasons” milik Dream Theater. Sayang, saat Andy McKee tampil saya mendengar banyak ucapan kurang pantas dari penonton yang meminta supaya Dream Theater segera tampil. Mungkin efek emosi saat di gerbang masuk masih belum hilang. Dan untungnya Andy McKee tidak bisa berbahasa Indonesia.
Satu hal yang cukup saya sayangkan adalah jeda antara ketika Andy McKee selesai dengan dimulainya penampilan Dream Theater yang menurut saya kurang enak dilihat. Layar yang menutupi semua gear personel Dream Theater dicopot secara manual dengan cara menurunkan tiang tempat lighting depan dipasang, dan dalam keadaan lampu terang benderang! Satu lagi poin minus untuk promotor. Waktu menunjukkan pukul 20.45, lampu tiba-tiba menjadi gelap gulita, dan yang dinanti-nantikan seluruh penonton pun muncul, Dream Theater!!! Tanpa babibu mereka langsung menggebrak dengan lagu “Bridgesi in the Sky” selama sekitar sebelas menit, dan seluruh penonton yang ada di dalam stadium pun bernyanyi dan melompat-lompat bersama. Saya lihat hampir tidak ada yang mengambil foto dan video saat lagu pertama dimainkan. Setelah lagu pertama selesai langsung lanjut lagu kedua yang berjudul “6:00” dengan jeda tidak sampai 10 detik. Dan suara nyanyian penonton pun tak kalah banyaknya dengan lagu pertama. Selesai lagu kedua, sang vokalis James LaBrie mulai berinteraksi dengan penonton. LaBrie pun sempat mengenalkan Mike Mangini, drummer baru, dengan sebutan ‘very nice gentleman’. Ya pantas saja LaBrie berkata seperti itu karena kita tahu semua bahwa eks drummer mereka, Mike Portnoy mendapat julukan ‘mad man’, dan karakter personalnya hampir bertolak belakang dengan drummer sekarang. Konser pun berlanjut. Sampai lagu kelima Mangini diberi kesempatan untuk unjuk gigi, seperti yang biasa dilakukan Dream Theater ketika mereka punya anggota baru. Saya pribadi kurang begitu suka dengan solo drum yang dimainkan Mangini saat itu, kecuali saat dia mulai menunjukkan kehebatan single stroke-nya yang amazing! Dan lagi-lagi lagu selanjutnya dimulai hampir tanpa jeda dengan selesainya solo drum Mangini. Sampai lagu selanjutnya nyanyian penonton masih belum berkurang. Malam itu para pecinta Dream Theater seperti sedang karaoke massal! Dua lagu setelah solo drum pun selesai. Panggung mendadak gelap kembali. Ternyata ada sesi akustik! Dengan hanya LaBrie dan Petrucci duduk di depan panggung serta Rudess yang mendukung di belakang, dimulailah sesi akustik tersebut. Sebelum memainkan lagu akustik yang pertama LaBrie sempat berinteraksi lagi dengan penonton. LaBrie pun sempat menyindir lalu lintas kita yang parah itu. Bahkan LaBrie sempat bercanda sarkastik bahwa dia lebih memilih jalan kaki jika ingin menikmati pemandangan Jakarta. Setidaknya itu yang berhasil saya tangkap berdasarkan kemampuan listening saya yang super parah hehe. Selesai dua lagu akustik selesai, kembali lagi ke sesi full band. Dimulai dari single pertama dari album baru mereka, “On
the Backs of Angels” dilanjut “War Inside My Head” dan “The Test That Stumped Them All” nonstop tanpa jeda sedikit pun. Tensi mulai naik kembali. Lantai stadium bergetar kembali. Karaoke massal pun hampir mencapai puncaknya. Selesai lagu “The Test That Stumped Them All”, Rudess langsung mengambil nada-nada choir yang manis dan disambut dengan permainan gitar solo dari Petrucci yang tak kalah manis namun sangat menggigit. Begitu LaBrie masuk kembali dan bernyanyi semua penonton bersorak. “The Spirit Carries On” menjadi puncak karaoke massal malam itu. Sampaisampai LaBrie dan Petrucci benar-benar terperangah melihat reaksi dan nyanyian penonton selama lagu tersebut. Suara penonton yang saya dengar pun dua kali lebih banyak daripada lagu-lagu sebelumnya. Luar biasa!! “Breaking All Illutions” menjadi lagu terakhir yang dibawakan oleh Dream Theater tepat setelah “The Spirit Carries On”. Begitu lagu selesai LaBrie hanya mengucapkan “thank you, good night” sebagai tanda berakhirnya konser dan panggung pun kembali gelap. Penonton yang masih kurang puas berteriak “we want more” tanpa kenal lelah. Saya pun merasa masih ada yang kurang karena Dream Theater masih belum melakukan dua kebiasaan mereka di akhir konser. Dan sesuai perkiraan saya dan permintaan ribuan penonton, Dream Theater melakukan kebiasaan pertama mereka ketika konser selesai yaitu encore! Untuk encore kali ini Dream Theater memakai lagu “Pull Me Under”. Setelah dua jam bernyanyi penonton bukannya lemas malah semakin bersemangat menyanyikan lagu encore tersebut. “Pull Me Under” selesai, konser pun berakhir. Tak lupa sebelum turun panggung para personel Dream Theater terlebih dahulu menyapa para penggemarnya yang menonton di berbagai sudut stadium. Dan akhirnya kebiasaan terakhir konser mereka pun dilakukan, salam membungkuk sebagai penghormatan mereka terhadap fans yang telah bersedia menonton konser mereka. Sekarang waktunya mengomentari yang lain. Sangat disayangkan sound yang keluar selama konser kurang maksimal. Mungkin karena akustik stadium yang memang belum jadi. Suara bass John Myung hampir tidak bisa didengar. Karakter sound panggung John Myung memang tipis, tetapi tidak setipis kemarin. Menurut saya sound Myung kemarin bukan tipis tapi nyaris tak terdengar. Sound gitar Petrucci juga sedikit terlalu kencang. Tetapi secara keseluruhan suara masih cukup memanjakan penonton. Semoga lain waktu Dream Theater ke Indonesia lagi, dengan promotor yang lebih profesional tentunya.
.
GIG REPORT
BIG WAVE 2011
BAD RELIGION MEMBAKAR JAKARTA Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta 20 September 2011 oleh Raden Andriana
B
ig Wave 2011 adalah event yang digelar oleh Big Daddy Entertainment di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada tanggal 20 September 2011. Event ini digelar sebagai pemanasan sebelum konser Linkin Park yang berlangsung keesokan harinya di tempat yang sama. Pada ajang Big Wave 2011 tampil tiga band dari Amerika Serikat; Yellowcard, Panic! at the Disco dan Bad Religion. Sejujurnya, gw sih males lihat Yellowcard dan Panic! at the Disco (secara gw juga nggak tahu lagu-lagu mereka). Satu-satunya alasan gw datang ke event ini nggak lain buat lihat band punk legendaris Bad Religion. Big Daddy Entertainment sendiri tampaknya pendatang baru dalam dunia hiburan di Indonesia, dan jujur aja, gw bilang mereka masih harus banyak belajar. Hal pertama yang banyak dikeluhkan dan banyak diprotes serta dicaci maki di dunia maya adalah harga tiket yang terhitung mahal (untuk kelas festival A seperti yang gw beli aja harganya 450 ribu). Parahnya lagi, nggak ada diskon presale. Diskon yang ada adalah potongan harga 30% untuk pemegang nomor Tri dan itu pun cuma
seminggu sebelum hari H. Untuk penggemar Yellowcard dan Panic! at the Disco mungkin harga segitu nggak mahal, tapi untuk sebagian besar penggemar Bad Religion tentu saja tidak demikian. Waktu hari H gw juga melihat banyak banget kelemahan panitia. Mulai dari aturan yang tidak tegas (disebutkan nggak boleh bawa rokok dan cuma boleh kamera digital pocket, tapi gw lihat banyak penonton yang bebas ngerokok dan beberapa bahkan bisa bawa kamera digital SLR) sampai fasilitas yang kurang nyaman untuk penonton. Gw ngalamin sendiri karena ternyata susah banget nyari toilet, walaupun gw sampai nanya enam kali ke panitia. Setelah gw nanya “apa saya harus pipis di lapangan?!� baru deh bisa buang hajat, itu pun toliet darurat berdinding triplek di atas saluran pembuangan air di bawah stadion. Please deh, masa konser beginik ngga disediain toilet portable? Mahalnya harga tiket berimbas pada kosongnya sebagain besar kursi VVIP, dan penonton di festival nggak terlalu banyak. Akhirnya biar kelihatan penuh, panitia cenderung membiarkan penonton dari kelas tribun yang nerobos ke festival. Bahkan
dari tribun banyak penonton yang diizinkan duduk di VVIP biar kelihatan penuh (tuh si Molon yang ngalamin sendiri, sementara gw ngomel-ngomel udah bayar mahal di festival ternyata banyak yang nerobos). Kalau nggak demi Bad Religion sih gw nggak bakalan dateng deh. Untung aja soundnya lumayan bagus, kalau nggak sih bakalan tambah brengsek nih event. Ya, cukup sudah dengan keluhan, sekarang sedikit laporan tentang konser itu sendiri. Big Wave 2011 dimulai pukul 19.00 dengan Yellowcard sebagai band pertama yang tampil. Walaupun penampilan mereka biasa-biasa aja, tapi cukup memanaskan suasana. Para pelajar dan mahasiswa pun bernyanyi bersama Yellowcard (sementara kami yang generasi 90-an pada nyender aja di bagian belakang, menunggu dengan tampang bosan). Yellowcard tampil sekitar satu jam dan menutup penampilan mereka dengan “Only One� (jujur, cuma ini lagu Yellowcard yang gw tahu). Setelah Yellowcard, kemudian tampil Panic! at the Disco yang langsung disambut histeria para remaja putri (dengan parfum harum dan hot pants, damn, gw serasa lagi jadi penonton Inbox atau Dah-
syat). Panic! at the Disco sebetulnya tampil lebih bagus dari Yellowcard, tapi ya gw sama sekali nggak tahu lagu-lagu mereka. Ditambah dengan histeria cewek-cewek sepanjang konser yang tampaknya terpukau oleh kegantengan Brendan Urie, vokalis Panic! at the Disco. Bener-bener serasa nonton Dahsyat deh. Akhirnya Panic! at the Disco pun mengakhiri penampilan mereka dan cewekcewek gaul itu pun mundur ke belakang, digantikan oleh para penonton yang sebagian besar berkaos hitam dengan lambang The Crossbuster. Backgorund panggung pun berganti dengan cover album “The Dissent of Man” dan satu per satu personel Bad Religion naik ke atas panggung. Jay Bentley (bass), Brian Baker (gitar, yang malam itu tampil dengan kaos putih bergambar Bung Karno), Brooks Wackerman (drum), Greg Hetson (gitar), dan terakhir tentu saja Greg Graffin (vokal) yang langsung disambut teriakan penonton. Sayang sekali Bad Religion datang tanpa Brett Gurewitz, yang menurut Greg Graffin lagi sibuk ngurusin Epitaph Records. Bad Religion membuka penampilan mereka dengan “The Resist Tance” yang
diambil dari album “The Dissent of Man” dan kemudian disusul dengan “Social Suicide” serta “21st Century Digital Boy” yang bikin penonton nyanyi bareng dan pada asyik bikin circle pit. Greg Graffin kemudian berbasa-basi sebentar dengan penonton dengan mengatakan bahwa ini adalah penampilan pertama Bad Religion di Indonesia dan akan membakar Jakarta. Setelah itu berturut-turut Bad Religion membawakan “Los Angeles Is Burning”, “Wrong Way Kids”, “Punk Rock Song”, “Atomic Garden”, “Before You Die”, dan “Recipe for Hate”. Penampilan Bad Religion malam itu benar-benar membakar Gelora Bung Karno dan seakan tidak kenal lelah dengan usia mereka yang sudah memasuki akhir 40-an tahun. Sesekali mereka bercanda di atas panggung (terutama Greg Graffin, Jay Bentley, dan Greg Hetson). Greg juga bilang suatu kebanggaan bagi para penonton untuk menyaksikan konser perdana Bad Religion di Jakarta, perasaan yang sama ketika Greg pertama kali menyaksikan konser Black Flag dan NOFX saat dia masih remaja. Dia bilang bahwa ini adalah semangat mereka saat masih remaja sebelum membawakan “I Want to Conquer The
World”, “Come Join Us”, “New Dark Ages”, “Do What You Want”, dan “You”. Setelah “Modern Man”, Bad Religion membawakan “Generator” dengan intro yang sedikit slow rock dan kemudian “The Defense” serta “Let Them Eat War”. Lagu berikutnya adalah “No Control”, “Anasthesia”, “Along The Way”, serta “Fuck Armageddon… This Is Hell” yang menjadi lagu terakhir sebelum kemudian mereka menghilang dari atas panggung. Tentu saja penonton belum puas dan teriakan “we want more....” pun terus terdengar. Bad Religion pun akhirnya kembali naik ke atas panggung. Intro “American Jesus” pun terdengar dan menciptakan koor massal dengan circle pit yang melibatkan hampir seluruh penonton. Konser Bad Religion kemudian diakhiri oleh “Infected” dan “Sorrow”. Benar-benar sebuah konser dahsyat yang membakar Jakarta dan gw puas banget malam itu, terlepas dari segala kekurangan yang ada. Adalah sebuah kehormataan dan kebanggan bagi gw untuk menyaksikan konser band punk legendaris ini secara langsung.
.
GIG REPORT
ROCKVOLUTION 2011
MARKY RAMONES BLITZKRIEG:
THE LAST RAMONE ON STAGE Lapangan D Gelora Bung Karno, Jakarta 23-24 Juli 2011 oleh Raden Andriana
P
ada tanggal 23 dan 24 Juli 2011 yang lalu di Lapangan D GBK Senayan Jakarta digelar sebuah event musik rock bernama Rockvolution. Memang Rokcvolution ini waktunya bersamaan dengan Java Rockin’ Land yang dilaksanakan di Ancol dari tanggal 22 sampai 24 Juli 2011, namun hal tersebut tidak menghalangi para pencinta musik untuk datang ke acara tersebut. Selain harga tiket yang lebih murah dibandingkan Java Rockin’ Land, band-band yang tampil di Rockvolution pun tidak kalah dengan yang tampil di Java Rockin’ Land. Mereka yang tampil di Rockvolution 2011 antara lain adalah Pee Wee Gaskins, The Datsuns, Koil, Superman Is Dad, Netral, Tonight Alive, dan Marky Ramones Blitzkrieg. Gw sendiri nonton Rockvolution 2011 pada hari kedua, yaitu tanggal 24 Juli 2011, karena sehari sebelumnya gw ada di Ancol menonton Ed Kowalczyk serta The Cranberries di hari kedua Java Rockin’ Land. Sebetulnya sih masih pengen juga ke Java Rockin’ Land hari ketiga karena ada penampilan Helloween di sana, tapi mengingat harga tiket dan jarak tempuh yang lebih dekat ke Senayan, akhirnya gw nonton Rockvolution saja. Apalagi di hari kedua ini Rockvolution akan ditutup dengan penampilan Marky Ramones Blitzkrieg. Marky Ramones Blitzkrieg sendiri adalah band yang dibentuk oleh Marky Ramone, mantan drummer band punk legendaris Ramones yang bubar tahun 1996. Band ini banyak membawakan lagu-lagu Ramones dengan vokalis Michale Graves yang pernah bergabung dengan The Misfits. Marky
Ramone sendiri bisa dikatakan menjadi satu-satunya mantan personel Ramones yang masih aktif bermusik sampai saat ini (walaupun juga sebetulnya masih ada CJ Ramone dan dan Tommy Ramone. Sementara Joey, Johnny, dan Dee Dee Ramone sudah meninggal dunia). Gw tiba sekitar pukul 5 sore di Senayan, di mana sudah banyak orang dengan kaos hitam dengan gambar atau tulisan Ramones. Dari luar venue sudah terdengar Koil sedang bermain, namun gw nggak segera masuk karena masih nungguin temen gw yang telat datang (dengan alasan macet dan susah dapet parkir). Akhirnya kita pun masuk venue saat Koil sudah selesai bermain. Sambil menunggu Marky Ramones Bliztkrieg tampil, gw sempat menonton penampilan Superman Is Dead dan Netral. Superman Is Dead sih kata gw tampil cukup bagus, tapi entahlah kalau Netral, gw ngerasa penampilan mereka biasa-biasa aja. Apalagi mereka tampil tepat sebelum Marky Ramones Blitzkrieg sehingga lebih banyak penonton yang udah nggak sabar. Akhirnya tiba saatnya Marky Ramones Blitzkrieg, dan penonton pun sudah ramai berteriak “hey ho! let`s go! hey ho! let`s go!. Marky Ramone pun naik panggung dan tanpa basa-basi langsung membuka pertunjukan dengan “Rockaway Beach” yang diambil dari album “Rocket To Russia”. Penonton langsung menyambut dengan koor bareng dan pogo dance, sementara Michale Graves selalu bergerak dengan lincah di atas panggung dan Marky
Ramone seakan tidak kenal lelah terus menggebuk drum dengan tempo tinggi (padahal umurnya udah lebih dari 55 tahun lho). Sepanjang konser bisa dikatakan Lapangan D Senayan menjadi ajang karaoke bersama para penggemar musik punk image taken from anyeisvania.blogspot.com (bahkan gw sempat lihat drummer Seringai, Edy Khemod ada di kerumunan penonton dan ikut bernyanyi bersama). Hampir tidak ada jeda antara satu lagu dengan lagu lainnya kecuali hitungan Marky “one.. two.. three.. four..”. Lagu-lagu legendaris dari Ramones pun terus dibawakan seperti “Do You Wanna Dance”, “Sheena Is A Punk Rocker”, “Beat On The Brat”, “Do You Remember Rock`n`Roll Radio?”, “Rock `n` Roll High School”, “ The KKK Took My Baby Away”, “Pet Semetary”, dan “I Don`t Wanna Be Sedated”. Marky Ramones Blitzkrieg membawakan sekitar 27 lagu dan ditutup dengan “Ramones” sebelum meninggalkan panggung. Tentu saja penonton berteriak “we want more!” dan kemudian Michale Graves naik sendirian ke atas panggung dan membawakan sekitar 2-3 lagu dengan gitar akustik sebelum akhirnya seluruh anggota band kembali ke atas panggung. Penampilan Marky Ramones Blitzkrieg pun akhirnya ditutup dengan “Have You Ever Seen The Rain”, “What A Wonderful World”, serta tentu saja “Blitzkrieg Pop” yang disambut koor massal para penonton. Sebuahkonser rock yang penuh dengan energi.
.
GIG REPORT
JAVA ROCKIN’ LAND 2011
ED KOWALCZYK & THE CRANBERRIES:
NOSTALGIA GENERASI 90-AN Pantai Karnaval Ancol, Jakarta 22-24 Juli 2011 oleh Raden Andriana
image taken from anyeisvania.blogspot.com
P
ada tanggal 22 sampai dengan tanggal 24 Juli 2011 yang lalu kembali digeler event festival musik Java Rockin’ Land yang merupakan salah satu festival musik rock terbesar di Asia Tenggara. Sejumlah musisi dari dalam dan luar negeri pun tampil dalam festival ini (dan tidak sedikit di antaranya yang bisa dikatakan merupakan langganan tampil di Java Rockin’ Land sejak pertama kali digelar pada tahun 2009 yang lalu). Pada hari pertama Java Rockin’ Land 2011, bisa dikatakan Loudness yang menjadi headline acara, biarpun mereka cuma tampil di panggung Simpati Stage dan bukan di panggung utama seperi 30 Seconds to Mars. Band heavy metal asal Jepang tersebut berhasil memanaskan suasana, dan devil horn pun sering terangkat dari para penonton (setidaknya itulah kesan para personel Seurieus yang ikut menonton penampilan Loudness pada hari pertama Java Rockin’ Land 2011). Hari kedua Java Rockin’ Land 2011 bisa dikatakan merupakan nostalgia anak muda generasi 1990-an karena ada penampilan Ed Kowalczyk (mantan vokalis Live) dan The Cranberries. Sementara pada hari ketiga sekaligus hari terakhir Java
Rockin’ Land 2011 ada penampilan Good Charlotte, Helloween, dan ditutup dengan Happy Mondays. Helloween bisa dikatakan berhasil membakar Jakarta malam itu, walaupun pada saat yang bersamaan ada Marky Ramonenes Blitzkrieg di acara Rockvolution 2011. Gw sendiri cuma menonton Java Rockin’ Land pada hari kedua saja. Pengennya sih tiga hari hadir terus, tapi harga tiket yang melambung gila-gilaan pada Java Rockin’ Land tahun ini membuat gw terpaksa membatalkan hal tersebut. Hal ini pula yang membuat gw akhirnya memilih menonton Rockvolution pada keesokan harinya karena ada penampilan Marky Ramones Blitzkrieg dengan harga tiket yang jauh lebih murah. Di Java Rockin’ Land hari kedua sendiri gw memang mengincar penampilan Ed Kowalzyk dan The Cranberries. Berangkat bersama teman-teman sekolah gw, hari kedua Java Rockin’ Land ini memang ajang nostalgia anak muda era 1990-an. Generasi yang besar ketika MTV masih memutar acara Alternative Nation. Karena berangkat terlambat dan terjebak kemacetan mencari tempat parkir, rombongan kecil ini nggak sempat ikut nonton penampilan God Bless (yang katanya pada malam itu merupakan salah satu penampilan terbaik di Java Rockin’ Land 2011). Masih berutung akhirnya rombongan kecil ini nggak ketinggalan nonton Ed Kowalczyk di barisan depan. Ed Kowalzyk yang lahir pada tanggal 16 Juli 1971 adalah mantan vokalis utama Live, band rock alternative yang aktif dari tahun 1988 sampai dengan 2009 (sebetulnya sejak 2010 Live sudah bergabung kembali namun tanpa Kowalczyk karena permasalahan hak cipta lagu-lagu Live). Band ini terkenal dengan album “Throwing Copper” (1994) dan “Secret Samadhi” (1997). Walaupun sudah mengeluarkan album solo berjudul “Alive” pada tahun 2010, namun tetap saja lagu-lagu Live yang ditunggu pada malam itu dan Kowalcyzk pun menyadari hal tersebut. Buktinya malam itu penampilannya dibuka dengan lagu “All Over You” yang diambil dari album “Throwing Copper” dan langsung membuat para penonton pun bersorak dan ikut bernyanyi. Malam itu Kowalczyk menyanyikan
sekitar sebelas lagu dan hanya empat di antaranya yang diambil dari album “Alive”, sisanya merupakan lagu-lagu era Live seperti “Selling The Drama”, “The Dolphin`s Cry”, “Heaven” , “Lakini`s Juice”, dan ditutup dengan “I Alone”. Setelah itu masih ada tambahan encore empat lagu yang semuanya merupakan lagu band Live yaitu “Overcome”, “The Beauty of Gray”, “Dance With You”, dan tentu saja “Lightning Crashes”. Sayangnya Kowalczyk nggak membawakan “Pain Lies On The Riverside” atau “Turn My Head”, padahal nggak sedikit penonton yang minta dua lagu Live tersebut dibawakan malam itu. Walaupun demikian, penampilan Kowalczyk malam itu cukup bagus dan ikut menghangatkan suasana. Tetapi tentu saja yang malam itu banyak ditunggu adalah The Cranberries. Java Rockin’ Land 2011 adalah penampilan kedua The Cranberries di Jakarta, setelah sebelumnya sempat melakukan konser di Jakarta tidak lama setelah meluncurkan album “Wake Up and Smell The Coffee” pada tahun 2001. “Analyse” dari album tersebut pun membuka penampilan The Cranberries malam itu dan disusul dengan “Animal Instict” yang diambil dari album “Bury The Hatchet” (1999). The Cranberries sendiri malam itu tampil cukup bagus, walaupun tidak terlalu komunikatif. Apalagi dengan logat Irlandia yang sangat kental, seringkali kata-kata Dolores O` Riordian jadi nggak kedengeran apa maksudnya. Tapi di usianya yang 40 tahun ini Dolores masih tetap cantik dan tampil dengan suara uniknya. Para penonton pun dibuat senang dan bernyanyi bersama malam itu, terutama pada lagu-lagu lama The Cranberries seperti “Linger”, “Ode To My Family”, “Just My Imagination”, “I Can`t Be With You”, “Free To Decide”, “Salvation”, dan tentu saja “Zombie”. Dua lagu tambahan encore malam itu adalah “Promises” dan “Dreams”. Walaupun melelahkan (ya, generasi 1990-an gitu, fisik udah nggak kaya dulu lagi) tapi malam itu benar-benar menyenangkan. Semoga saja berikutnya ada yang mendatangkan Pearl Jam atau Red Hot Chili Peppers.
.
GIG REPORT
BEN FOLDS LIVE & UP CLOSE
AKTRATIF, MENYENANGKAN DAN BIKIN MERINDING Teater Nusa Indah Balai Kartini, Jakarta 26 Mei 2011
oleh RMF Sore itu sedang hujan, handphone saya berbunyi; “Halo??”, “Met, Ben Folds maen di Jakarta anjing”. Ups, tenang itu perkataan teman saya yang dulu pernah satu band dengan saya yah, bukan dari seorang pesepakbola profesional yang jika mengeluarkan kata-kata tadi akan langsung dihukum oleh FIFA karena tuduhan rasis. Kenapa dia langsung menelepon saya? itu karena dia tahu kalau Ben Folds adalah seorang musisi yang saya idolakan sejak sma dulu.
S
emua berawal ketika sma dulu, sekitar tahun 2000an, saya mengunjungi salah satu toko kaset tua di Jalan Dipati Ukur, Bandung. Sang empunya toko menawarkan sebuah kaset dengan cover depan bertuliskan Ben Folds Five; “tah Met dengekeun yeuhh, hade euy”, yang tanpa pikir lagi langsung saya masukkan dalam deretan beberapa kaset yang saya pegang untuk saya beli, dan sejak saat itu Ben Folds Five menjadi teman hidup saya, meskipun awal perkenalan saya dengan band ini digelitiki dengan berita ternyata band ini sudah vakum sejak tahun 2000. Ben Folds Five memutuskan bubar di tahun 2000, ke-3 orang personilnya yaitu Ben Folds, Robert Sledge dan Darren Jessee berkarya di jalurnya masing-masing. Yang saya tahu Robert Sledge dengan International Orange-nya dan Darren Jesse dengan Hotel Lights-nya, dan sejak saat itu kecintaan saya terhadap band ini lebih kepada karyakarya dari pendiri band itu, Benjamin Scott Folds. Ya! saya sebut sebagai teman hidup saya karena karya-karyanya lebih real dan dengan nada-nada catchy itu memiliki tempat tersendiri di dalam otak kanan
saya. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mencintai band ini. Ok, saya mungkin bukan satu-satunya orang yang senang dengan bakal manggungnya former dari Ben Folds Five ini, tapi bagi saya pribadi ini merupakan kejutan hebat yang selalu saya nanti-nantikan. Saya selalu tergila-gila dengan permainan piano nyeleneh penuh improvivasi renyah yang selalu disuguhkan oleh Ben Folds dalam setiap aksi live-nya. I know it would be awesome. Hari itu, 26 Mei 2011 sore, ketika selesai mengikuti salah satu pendidikan yang diadakan oleh institusi tempat saya bekerja, saya langsung meluncur ke Balai Kartini tempat di mana malam itu Ben Folds akan manggung. Dengan menaiki salah satu jenis angkutan umum yang katanya nyaman wae akhirnya saya tiba di lokasi acara pas saat adzan magrib berkumandang, dan langsung mencari mushollah untuk menunaikan ibadah sholat. Hmm bagus juga gedungnya, maklum ini kali pertama saya masuk ke Balai Kartini. Sambil menunggu beberapa teman saya yang akan sama-sama menghadiri acara sakral (bagi kami) ini, saya pun duduk-duduk di pelataran parkir sambil menikmati beberapa batang rokok
image taken from indonesia.travel.com
ditemani seseorang yang berprofesi sebagai penjual tiket tidak resmi yang berkeluh kesah tentang kerasnya hidup di Jakarta. Kira-kira pukul delapan malam akhirnya saya pun masuk ke ruangan yang berkapasitas kurang lebih 100 orang, dilengkapi deretan kursi bertumpuk menyerupai teater bioskop. Ini mengingatkan saya kepada beberapa dvd live Ben Folds yang diadakan di taman kota di mana penontonnya menikmati acara tersebut dengan duduk di atas kursi lipat kecil yang mereka bawa sendiri. Mulanya cukup kaget dengan set panggung yang hanya ada satu grand piano besar, apakah ini berarti dia akan tampil solo? hmmm, interesting. Tak berapa lama, orang yang saya idolakan dalam berimprovisasi memaikan tuts piano ini pun muncul, dan segera membawakan “Effington” dari album “Way to Normal’, dilanjutkan dengan “Annie Waits” dan “Sentimental Guy”. Ya, dalam beberapa penampilannya, Ben Folds selalu membawakan lagu-lagu dari Ben Folds Five, yang bagi penggemar lama seperti saya ini, lumayan untuk melepaskan kerinduan akan band tersebut. Oh, dia adalah seseorang yang berhasil membawakan nada-nada harmonis, diisi beberapa lirik konyol yang
dipadukan dalam sebuah lagu. Lagu “Philosophy”, “Landed”, “Cologne”, “Zack and Sara” pun ikut mengisi setlist Ben malam itu. “Rock this Bitch” yang merupakan lagu wajib bagi penggemarnya pun ia bawakan, memberikan atmosfer tersendiri di hati penggemar setianya. Lirik-lirik sosial lebih banyak dihadirkan dalam karya-karyanya, seperti saat ia membawakan “Still Fighting It”, lagu yang dibuat untuk anaknya yang terkena dampak bullying. Ketika ia membawakan “The Luckiest”, yang bagi saya merupakan lagu romantis, yang ia tuangkan secara tidak vulgar, membuat saya ikut terhanyut dalam dentuman imaginasi emosi. Tidak lupa Ben menyisipkan joke-joke ringan ketika menceritakan inspirasi di balik karyakaryanya. Ben Folds selalu melibatkan penontonnya untuk ikut berpartisipasi dalam lagunya, seperti ketika ia membawakan “You Dont Know Me”, ia menciptakan suasana intim dengan penggemarnya yang ikut bernyanyi dalam part-part lagu yang aslinya dibawakan oleh Regina Spektor itu, oh, bulu kuduk merinding ketika ikut menyanyikannya. Improvisasi hebat pun ia lakukan ketika
ia menceritakan Indonesia yang ia tuangkan dalam sebuah lagu iseng yang disambut tawa renyah penonton. Dan bagaimana Ben mengajak penonton dengan lantangnya meneriakkan “fuuuuuck!” saat mengakhiri lagu “Rockin the Suburbs”, wow benar-benar membuat acara itu menjadi konser yang tak akan pernah saya lupakan. Tiba-tiba Ben memukuli sebuah floor drum setelah memainkan lagu “Steven’s Last Night in Town” dan ternyata kemudian satu demi satu set drum disusun oleh beberapa kru hingga lengkap untuk kemudian ia memperlihatkan kelihaiannya memainkan drum. Ben Folds memang dikenal suka memainkan instrumen lain selain piano sejak jaman Ben Folds Five. Dan konser yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu pun diakhiri dengan lagu “Army” dari album “The Unauthorized Biography of Reinhold Messner”. Sebuah suguhan yang atraktif, menyenangkan, dan pastinya menjadi catatan tersendiri bagi para penggemar Ben Folds yang menyaksikannya. Keep up the good work Ben!!
.
REVIEW
DARI PEMULA UNTUK PEMULA oleh Nugrahaningtyas Nevi Puspitorini
Hmmm, aku bukan seorang reviewer. Bukan kritikus musik, tidak ahli dalam bidang musik. Ya, aku hanya diberi kelebihan buat mendengarkan saja, penyuka musik metal, tapi aliran jadul, dan terhenti lama, tak banyak list-list baru, tak paham genre. Dan mulai sangat menyukai progressive rock. Dan di tahun 2011 kemarin, aku berkesempatan mendengarkan banyak sekali album-album dari band-band yang belum kukenal sama sekali, plus beberapa album keluaran 2012. Yes, I’m the beginner. Kalau kalian mengharapkan ulasanku tentang siapa personil dan riwayat mereka, buka saja Wikipedia. Disana lebih lengkap. Dan akupun tak bisa membandingkannya dengan album mereka yang terdahulu, karena tak pernah kudengarkan. Aku juga tak bisa me-review bagaimana cara mereka memainkan alat musiknya, karena sekali lagi aku bukan ahli musik, dan aku tak bisa memainkan alat musik. Aku hanya akan bercerita bagaimana alunan musik mereka meracuniku saat mendengarkannya. Inilah beberapa album yang sempat kudengarkan itu.
SOUNDS OF A PLAYGROUND FADING IN FLAMES 2011 Untuk pemula sepertiku, yang hanya tahu musik-musik metal jadul macam Metallica, Sepultura, Helloween, Skidrow dan lainlain maka jenis musik ini sangat mengasyikkan. Menikmati In Flames seperti menikmati masa kekinian. Kata Wikipedia, In Flames mengusung jenis heavy metal. Kau akan menikmati kesenangan bahkan pada saat awal mendengarkan trek pertamanya, “Sounds of a Playground Fading”. Tiga belas lagu di album ini sangat easy listening. Bisa membuatmu ikut bergoyang bahkan di saat cuaca mendung sekalipun. Sangat aman buat pemula. Sedang untuk lagu “Enter Tragedy” dan “A New Dawn”, bagi beginner yang benarbenar tingkat awal pingin mencoba heavy metal, memang harus sedikit berusaha menikmatinya karena tak se-easy listening lagu-lagu lainnya. Walaupun bagi yang expert, ini termasuk yang masih ringan. Saat mendengarkan “Jester’s Door”, saya mengharapkan lagu ini akan berlangsung lama, karena awalnya cukup membuat penasaran dengan adanya narasi, tapi ternyata hanya berlangsung sebentar tanpa lirik dan itu cukup membuat saya
kecewa. Kesenangan dan kenikmatan kalian akan ditutup dengan kesenangan yang memuncak di trek terakhir, “Liberation”, sehingga kau tak sadar akan mengulang album ini lagi dari awal. AMERICAN CAPITALIST FIVE FINGER DEATH PUNCH 2011 Ini adalah album kekinian kedua yang kudengarkan di tahun 2011. Mengusung heavy metal, album “American Capitalist” ini sedikit lebih berat buat beginner dari album In Flames. Mungkin beberapa teman yang galau akan langsung memilih “Remember Everything” karena lebih catchy di telinga, bahkan untuk orang awam sekalipun, dan mungkin tak menyadarinya mereka sedang mendengarkan salah satu band heavy metal. Ketika saya bilang bahwa album ini mengasyikkan, ada yang tak setuju, karena mereka bilang terlalu ringan dan sedikit membosankan. Tapi tidak menurutku, asyik dan aku masih bisa bersenandung, karena selera orang toh tak bisa dipaksakan. “Under and Over it” terasa nyaman dan membakar rasa kangen untuk kembali ke heavy metal. Sebelas trek bisa dinikmati dengan rasa aman, walau di sebelahmu
ada teman yang tak menyukai musik keras. Trek yang paling kusuka adalah “Generation Dead”, bahkan liriknya pun asyik; “taking away…, I don’t want it…”, pas bagi wanita yang pms. Lagu “I’ll Fall” merupakan salah satu dari dua lagu penutup yang cukup membuat bersemangat. Tapi memang album ini tak bisa langsung kau nikmati lebih dari satu kali secara berurutan, hanya kau pilih-pilih lagu yang menurutmu asyik saja. Mungkin kau akan membukanya lagi di playlist-mu saat kau kangen pada mereka. ADRENALINE MOB ADRENALINE MOB 2011 Adrenaline Mob ini adalah band bentukan Mike Portnoy, jebolan Dream Theater. Kupikir akan seasik band terdahulunya, tapi ternyata tidak. Ep ini berisi lima lagu, dan dari awal lagu “Believe Me”, aku merasa tak nyaman dengan musiknya. Menurutku tak begitu easy listening. Ini entah hard rock entah grunge, entah apalah, aku memang bukan ahli memilahmilah genre. Lagu “Psychosane”, sedikit mengingatkanku pada Van Halen di jaman lampau. Ya sudah, tak kurekomendasikan buat kalian dengarkan, jiahahaha terserah gw dong ya.
THE LOTUS EFFECT SUN CAGED 2011 A progressive metal band. Jenis musik progresif bisa jadi membuat bosan beberapa kawan, tapi tidak buatku. Yang membuatku kurang menyukai jenis musik progresif adalah jika terlalu banyak menggunakan campuran dan improvisasi techno. Tapi kalian bisa mencoba jenis progressive metal, karena lebih tidak membosankan dibandingkan pure progressive. Varian suara gitarnya lebih banyak, jengjengjet jengjengjet aha!!! Durasi jenis musik progresif memang lebih lama, karena sering para pemainnya mengeksplorasi permainannya, dan minim lirik, dan terkadang ada pergantian nada dalam satu lagu secara tak disangka. Di album ini durasi terlama di lagu “Pareidolized”, 10 menit. Nuansa metal sebenarnya sudah mulai terasa di intro lagu pertama, dan saat itulah kau akan tertarik untuk melanjutkan ke lagu-lagu berikutnya. Memang jenis vokalnya beda dengan vokal death metal dll, hampir bisa dipastikan di jenis musik ini takkan kau jumpai growl. Jadi untuk beginner yang ingin mencoba musik metal dan tak suka ada growl dapat kau pilih jenis musik ini. Favoritku adalah “Ashes to Ear”, “Reductio ad Absurdum” dan “Parasol”. Di lagu “Wave the Banner”, berhentinya sangat tidak nyaman, tapi seperti langsung bersambung dengan lagu-lagu berikutnya, sepertinya memang diformat demikian, sama seperti lagunya Dream Theater yang “A Change of Season”, dibagi menjadi beberapa bagian. Entah kenapa, sekali lagi penutup albumnya asyik, heheheh. Jangan-jangan kalian sangka aku hanya mendengarkan lagu terakhir saja? Tentu tidak kawan. Yah, “Let It Wash Away” adalah penutup yang legit. Secara keseluruhan, album ini memang lumayan manis. IMAGINAERUM NIGTHWISH 2011 Sepertinya tak layak bila kureview album ini. Tapi seperti kubilang, aku tak me-reviewnya, aku ingin meracuni para beginner, heheheh. Pertama kali mendengarkan gothic metal, adalah
dari beberapa lagu, tanpa sealbum penuh, baik dari Lacuna Coil, Beseech, Mandrake dll. Tapi kudapat kesempatan mendengarkan Nightwish sealbum penuh, dan sangat kunikmati, amat sangat. Dan di situ kau akan jadi tahu ciri gothic metal adalah adanya vokal wanita bersuara soprano dan vokal lelaki bergaya black/death metal, dan karena itu kolaborasi mereka dijuluki ‘beauty and the beast’. Sangat kurekomendasikan album ini buat kalian dengarkan, sehingga lamalama telinga kalian akan terlatih. Tiga belas lagu dalam album ini sangat tidak membosankan, dan dapat kau pasang dengan volume keras dengan prosentase tingkat penolakan dari orang lain adalah kecil, karena telah kubuktikan anak buahku telah teracuni, dan ikut mendendangkannya. Lagu “Slow, Love, Slow”, judul dan lagunya cocok sekali karena memang terlalu slow, bikin mengantuk, merupakan salah satu lagu yang tak kusuka. “Scaretale” akan memberikan nuansa dunia gelap bahkan dimulai dari intronya, megingatkanku pada lagunya Sarasvati. Dan entah kenapa dari beberapa album musik yang kudengar, penutup lagu adalah yang terasyik. Demikian pula, album ini ditutup dengan lagu “Imaginaerum”, seperti kau berada dalam gedung orkestra yang akan membawamu kembali ke masa lampau, ke dunia sejarah. Ada suara bagpipe di sana dan akan kau rasakan bagai berada di tanah Skotlandia. Ya, secara keseluruhan, album ini adalah simfoni yang asik buat kalian dengarkan ketika kalian ingin vakum sejenak dari musik hingar bingar, tanpa lepas dari nuansa metal. A DRAMATIC TURN OF EVENTS DREAM THEATER 2011 Dream Theater adalah band progresif pertama yang menarikku kembali mendengarkan musik setelah vakum dan disibukkan dengan urusan
keluarga dan bayi. Ini adalah album Dream Theater yang sangat kurekomendasikan buat beginner, top markotop. Tak usah ku-review, karena sudah ada yang me-review-nya di halaman lain zine ini, haha (Earth menjura ke Om Rebel). Banyak yang bilang album Dream Theater ini terlalu lemah gemulai, tapi aku sangat menyukainya. Sangat disarankan untuk didengarkan oleh para wanita dan gadis remaja, agar mereka teracuni musik berkualitas, daripada dengerin boyband atau girlband. Tapi tak bisa kurekomendasikan kepada kawan penyuka musik
hingar bingar atau pada Bang Olap. Setelah kalian mendengarkan album ini, kalian akan penasaran dengan album-album lama mereka. Ini caraku meracuni kalian. Penasaran? silakan kalian para gadis, dengarkan sembilan lagu di album ini. Bonus; perhatikan lirik lagu “This is the Life”, ajib! NEVERWORLD’S END XANDRIA 2012 Ini adalah album penuh kelima dari Xandria, cukup lama (lima tahun) setelah “Salomé - The Seventh Veil” pada tahun 2007. Band asal Jerman yang sudah berdiri sejak tahun 1997 ini sendiri terdiri dari lima orang yang memang sudah lama berkecimpung di jenis musik seperti ini. Mereka memainkan jenis symphonic metal dengan sedikit tambahan elemen elektronik, dan di album ini ditambah dengan nuansa gothic yang kental dan kentara. Yups, kita kembali ke gothic metal, tapi jangan harap akan sama rasanya seperti saat kau mendengarkan Nightwish. Xandria lebih bersemangat dan ini adalah album yang luar biasa. Dari mulai lagu pertama “Soulcrusher”, mereka akan menggempurmu dan kemudian sedikit mereda saat masuk lagu kedua “The Dreams Still Alive”. Mungkin karena Xandria, selain mengusung gothic, mereka juga memainkan symphonic power metal, entahlah. Atau mungkin karena katanya, katanya loh ya, lagunya lebih ke tema perjuangan dan perasaan. Berbeda dengan band gothic lain dengan dual vocal, di Xandria hanya satu, tapi ada yang sama, ada permainan bagpipe pula di beberapa lagu. Dan jangan harap lagu berjudul “Valentine” akan kau dengarkan bak lagu-lagu cinta yang mendayu-ndayu itu. Lagu favoritku adalah “The Nomad’s Crown”, karena selain ada jeng jeng jet gitarnya, juga ada lengkinganlengkingan. Jangan kau tanya apa nama tekniknya, aku juga tak tahu, dengarkan saja!! Aku tak merasa mendengarkan band gothic di sini, sedikit hingar bingar dari biasanya memang, tapi tetap saja bisa buat kau bergoyang dan lagu ini merupakan lagu paling lama di album ini, sembilan menit. Dan jeng jeng jet-nya akan kau temui lagi di “Euphoria”. Dan, seperti album lain, penutup selalu asyik, like I said before, dan bergoyanglah di trek “Blood on My Hands”, kujamin, yeaaahhh.
REVIEW
SURTUR RISING AMON AMARTH 2011 Pertama mengenal melodeath ini adalah saat dikirimi lagu “Gods of War Arise”, suka dan mulai mendengarkan albumnya untuk pertama kali yaitu “With Oden on Our Side”. Vokal berat, tempo cepat, ternyata sangat asyik buat didengarkan. Tapi menurut seorang teman, tempo di Amon Amarth itu termasuk lambat like a snail, haha. Karena itulah bisa direkomendasikan buat beginner yang ingin mendengar jenis death metal. Di album ini, dari lagu kedua, “Tocks’s Taunt - Loke’s Treachery Part II”, mulai berasa asyik. Harus pakai headset, karena teman mungkin tak suka, menikmati sendiri malah lebih asyik. Tak banyak perubahan dari album “With Oden on Our Side” kalau menurutku sih. Di sesi ini favoritku adalah “Live Without Regrets”, “A Beast Am I”. Di lagu “Slaves of Fear”, tak terasa kau akan mengangguk-anggukkan kepala. Trek terakhir, “Doom Over Dead Man”, bisa kau pilih duluan, baru kau bisa teracuni untuk membuka trek yang lain. Yes, selamat menempuh perjalanan di jalur baru!!! Welcome to Viking metal, enjoy it!! MORE NEVER IS ENOUGH TRANSATLANTIC 2011 Ini adalah album progresif berikutnya di tahun 2011 yang kudengarkan. Nah ini beda lagi genrenya; symphonic progressive rock, bah, bikin pusing kan? Makanya jangan terpengaruh genre. Suka? dengarkan! Tak suka? Tinggalkan! Untuk album ini, I really like it, terutama “Bridge Across Forever”-nya, berulang-ulang kudengarkan. Demikian pula “We All Need Some Light”, begitu mendayu seperti lagu cinta yang syahdu. Rilis album ini terdiri dari 3 cd. Cd pertama, “The Whirlwind”, merupakan lagu progresif terlama yang pernah kudengarkan, hampir 1 jam 19 menit, wuaaahhh. Bahkan sempat kuulang dalam beberapa waktu ke depan, walaupun saat di tengah-tengah lagu, hampir ada kebosanan (improvisasi techno yang tak kusuka), tetapi kemudian aku akan menikmatinya lagi, walaupun memang ada beberapa reff yang diulang-ulang. Untuk cd kedua berisi tiga lagu, ”All of the
Above”, “We All Need Some Light” dan “Duel with the Devil”. Cd ketiga berisi dua lagu; “Bridge Across Forever” dan “Stranger in Your Soul”. Album ini lebih kupilih daripada “The Lotus Effect” (Sun Caged), tetapi setelah “A Dramatic Turn of Events” (Dream Theater”), hahahahhaha. ROSES THE CRANBERRIES 2012 Roses are my fav flowers, haha, apa coba? Oke, silakan rehat sejenak dari metal, grunge, gothic dan musik hingar bingar lainnya. Saatnya kalian nge-pop sebentar tanpa mengurangi kualitas musik kalian. Ini saatnya bernostalgia kembali dengan Dolores, dengan ciri vokalnya yang khas dan rambut cepaknya. Tentu saja kalian takkan pernah lupa lagu “Zombie” kan? Kalau di Indonesia kubilang vokal wanita yang bergaya macam The Cranberries adalah vokalis D’Cinnamons. Silakan kalian menikmati album ini, sebelas trek yang tak terlalu membosankan, tapi bisa pula membosankan kalau keseringan kau putar, karena kurasa nada si Dolores lebih cenderung sama antara satu lagu dengan lainnya, tapi memang itu cirinya kan? Banyak petikan gitar akustik di sini, misal di “So Good”, “Roses”, “Tomorrow”, dan “Raining in My Heart”. Album ini bisa jadi enak kalau ditampilkan unplugged, dengan vokalis duduk, suara drum yang halus tanpa dentuman dan gitar akustik. So yes, actually you can enjoy it. TRANSCENDENCE GOROD 2011 Saat mendengarkan lagu pertama yang berjudul “Earth Pus”, aku bahkan belum tahu genre dari musik Gorod. Setelah kulacak di Wiki ternyata ada yang mengatakan genrenya progressive technical death metal. Hmmm, death metalnya lebih terasa di lagu pertama ini. Tapi seketika kau akan kaget saat masuk trek kedua, “Blackout: Renewed Soul”, karena musik yang mengalun adalah akustik gitar yang akan membuatmu teringat pada instrumen dari lagu-lagu Meksiko dengan seniorita melambai-lambaikan roknya dan
gitaris bertopi sombrero. Sesuatu yang tak kau kira. Jadi memang tak salah ada yang me-review ep mereka ini dengan menyebutnya ‘short but sweet’. Tak terlihat sisi progressive-nya di sana. Yang terasa hanya manisnya kolaborasi akustik gitar dengan instrumen lain. Di trek ketiga baru kau akan dapatkan nafas techno progressive di situ, “Textures”, membuatmu mengingat tekstur makanan yang gurih dan renyah. Masuk lagu ke-empat, “Earth Pus: Salvation”, kembali kalian akan disuguhi akustik gitar yang membuatmu bakal tersenyum senang (karena suara alat musik yang paling kusuka adalah gitar), dan dentuman drum-nya sungguh mengasyikkan, saat lambat dan saat cepatnya. Dan sebagai penutup, nah, genre lengkapnya akan terasa di sana, di lagu “Transcendence”. Yap, benar, lima lagu yang sangat kunikmati, kawan. Dan setelah kau siap, baru boleh kau lanjutkan ke album Gorod yang rilis tahun 2012 ini, “A Perfect Absolution”. MEREDEAD LEAVES’ EYES 2011 Kalau kalian amat sangat menyukai film “The Lord of the Rings”, beginner boleh memilih album ini untuk menambah perbendaharaan telinga. Si Mata Daun akan membawa kalian ke jaman kegelapan, mereka merubah tayangan hutan dan alam ke dalam suguhan musik yang luar biasa, sebuah symphonic metal bernuansa gothic, yaitu saat kau pasang lagulagu berbahasa Norwegia mereka (“Etain”, “Krakevisa”, “Nystev” dan “Sirgrlinn”) . “Velvet Heart” bolehlah kalian pasang saat mendung di hati sedang menyapa, manis, semanis vokal Liv Kristine, demikian juga dengan “To France”. Sudahlah, ambil album ini dan dengarkan, easy listening kujamin, dan takkan membuat cepat bosan. Bagpipe selalu ada di jenis musik ini, ingat-ingatlah. Aku menyukainya, sangat, dengan campuran nada gitar bernuansa metal. Kalau kau cari petikan gitar akustik yang bercampur dengan gitar elektrik, akan kau temui di lagu “Sohrleod”. Walaupun album ini lebih tepat kau dengarkan dengan headset-mu saat kau berlibur di pegunungan, tapi kalian tetap akan menikmatinya di antara tumpukan berkas di kantor. Oke, sementara itu dululah. Masih banyak sebenarnya album yang bisa kuberikan. Bagaimana kalau kalian cari, coba dengarkan dan review sendiri?
.
REVIEW
MIXED REVIEWS ALBUM TITLE ARTIST Release Year Reviewer
A DRAMATIC TURN OF EVENTS DREAM THEATER 2011 Anak Agung Ngurah Goya Yamadagni Inilah album pertama Dream Theater setelah hengkangnya Mike Portnoy. Mungkin banyak yang meragukan kelangsungan Dream Theater tanpa kehadiran Portnoy, namun album ini sepertinya cukup untuk menjadi jawaban atas semua keraguan tersebut. Album yang berisi sembilan trek ini dibuka dengan “On the Back of Angels”, trek yang diawali petikan guitar John Petruci ini terdengar begitu megah seperti mencoba menggambarkan semangat baru Dream Theater, membawa kita kembali ke masa-masa sebelum mereka bergabung dengan Roadrunner. Di lagu ini juga sepertinya John Petruci menyelipkan sedikit sindiran untuk Portnoy; ”you are blinded by your hunger, beware your days are numbered”. Masuk ke trek kedua “Build Me Up, Break Me Down”, suatu hal baru dicoba Dream Theater di trek ini, intro di awal dimulai dengan suara drum machine!!! Sedikit aneh memang mereka menggunakan drum machine sebagai intro lagu, apa ini simbolis kalau tanpa Portnoy pun Dream Theater masih bisa berkarya? hehehe just my wild thought. Buat saya secara pribadi trek ini sedikit datar dan seperti mendengar Linkin Park versi progresif. Selanjutnya “Lost Not Forgotten”, trek ini dibuka dengan permainan cantik Jordan Rudes, yang diikuti kemegahan suara guitar John Petruci, trek yang cukup panjang ini (10:11) sepertinya memberikan cukup ruang untuk Mike Mangini menunjukkan keliarannya di belakang set drum setelah di dua trek sebelumnya permainan Mike Mangini cuma seperti tempelan semata. Trek ke-4, “This Is Life”, adalah sebuah trek ballad yang sepertinya menjadi trek curhat colongan bagi John Petruci atas hengkangnya Portnoy. Sepenggal lirik dari trek ini; “some of us choose to live gracefully, some can get caught in the
maze, and lose their way home, memories will fade, time races on, what will they say, after you’re gone, this is the life we belong to, our gift divine”. Trek ke-5 dan ke-6, “Bridges in the Sky” dan “Outcry”, dua trek yang menurut saya hampir mirip, sama-sama berdurasi cukup panjang (11 menit). Di kedua trek ini sepertinya Dream Theater berusaha mengeksplore skil Mike Mangini habis-habisan. “Outcry” sendiri seperti semacam trek anthem kebangkitan, coba simak lirik dari “Outcry” berikut; “we fight for what is just, for all that we believe, we fight till death or glory, fight to be set free”. Trek ke-7, “Far from Heaven” cukup pendek, cuma 3:56 menit, buat saya trek ini kurang berasa Dream Theater, hampir sama dengan trek terakhir “Beneath the Surface”, too mellow hehehe. Sebelum “Beneath the Surface” ada trek terpanjang di album ini (12:25), “Breaking All Illusions” yang penuh dengan break yang lumayan memainkan emosi kita.
.
RAJAGNARUK RAJASINGA 2011 I Putu Ryan Dessaptasoma Saya tidak pernah suka grindcore sebelumnya, pengalaman pertama dengar genre turunan hardcore dan death metal ini adalah album “Scum” dari Napalm Death. Pemikiran saya saat itu, sang pelopor genre nggak bisa nyantol di telinga, kayaknya bakal susah untuk seterusnya. Itu tahun 2007. Dan tahun 2011 saya membeli album ini, “RajagnaruK” dari band yang sesungguhnya sudah saya dengar beberapa tahun silam namun saya hindari untuk mencari tahu karena mereka beraliran grindcore: Rajasinga. Keputusan untuk membeli album ini sebagian karena ingin memperkaya khazanah musik underground lokal, dan sebagian karena judul-judul lagu yang unik dari album ini; “Kokang Batang”? “Anak Haram Ibukota”? “Dilarang Berbisa”? Saya mendapat firasat akan melewatkan kesempatan mendengar musik bagus jika
melewatkan ini (sebagaimana dulu saya melewatkan “Serigala Militia” dari Seringai dan tak henti menyesal hingga kini). Ok, cukup curhat mari kita review musiknya. Mungkin secara teknis akan ada perdebatan apakah “RajagnaruK” tergolong grindcore (sebagaimana banyak terjadi di musik-musik yang cross genre) dan mungkin itu faktor yang membuat saya menikmati album ini: mereka bukan 100% grindcore. Atau setidaknya musik mereka tidak 100% copy carbon dari “Scum”. Lirik berbahasa Indonesia yang unik, mengalir tanpa dipaksakan dan tanpa membuatnya terkesan kata-kata bahasa Inggris yang diterjemahkan. Dan sing along part, banyak sing along part, mungkin hampir di setiap lagu. Untuk musik sebrutal ini adalah pengalaman tersendiri ikut sing along dibanding hanya headbanging sepanjang lagu dan mengacungkan devil’s horn. Dengarkan trek pembuka “Anak Haram Ibukota” untuk memahami apa yang saya maksud. And the brutality continues, berikutnya adalah lagu-lagu dengan beragam tema, anti-premanisme (“Premandulisme”), hobi motor dan kebut-kebutan (“Roda-Roda Gila”, “Soundtrack Balap”), referensi ganja dan alkohol (“N.A.D. Kush”, “99% THC, 1% Skill”, “S.K.I.P.”), hingga kebiasaan masturbasi dan nonton film porno (“Kokang Batang”). Salah satu favorit saya adalah title trek “RajagnaruK”, intro drum yang menggerinda dan duet unisound vokal growl dan clean. Album ini ditutup dengan “Singa Lapar” yang menampikan pembacaan poem diiringi geraman dan musik liar. Artwork album ini menarik, dan mengandung jokes tersendiri (“Teh Brutal”!), sebagian mengingatkan saya dengan Komunal, yang mana wajar karena Morrg (gitar/ vokal) yang mendesain artwork “Rajagnaruk” juga mendesain “Hitam Semesta” milik Komunal. Dengan banyaknya guest vocal di album ini saya setengah berharap Doddy Hamson (vokalis Komunal) ikut menyumbang vokal beratnya di sini, sayangnya tidak. Terakhir mengenai judul album ini, yang awalnya saya kira adalah kata plesetan dari Ragnarok, ternyata “RajagnaruK” memang tertulis dengan huruf K kapital agar terbaca backward: ‘KurangajaR’!
.
REVIEW
THE PATH OF TOTALITY KORN 2011 Gigih Santra Wirawan Belum lama ini, band nu metal Korn merilis album studio ke10 mereka. Korn mencoba untuk membuat perubahan dalam dua dekade umur mereka. Album baru ini dimulai saat Korn mencoba bekerja sama dengan musisi dubstep yang semula direncanakan untuk dibuat ep. Setelah puas dengan hasilnya, Korn malah berniat membuat full album dengan tema musik serupa dengan judul “The Path of Totality”. Lucunya sang vokalis Jonathon Davis menyatakan saat memilih judul album tersebut dia tidak terlalu paham, maksud dari kata-kata tersebut. Gitaris Munky berkata: “’The path of totality’ adalah cara terjadinya gerhana matahari total. Semua harus berada pada saat dan tempat yang tepat agar gerhana dapat terjadi.” Dan itulah judul album terbaru Korn “The Path of Totality” adalah album experimental Korn di mana kita dapat mendengar mereka mencoba alat musik baru dan jenis suara baru. Band ini telah berkolaborasi dengan beberapa musisi dubstep terkenal dan produser musik elektronik terkemuka, termasuk Skrillex, Excision, Downlink, Datsik, Noisia, Kill the Noise dan 12th Planet. Untuk mempromosikan album ini, Korn akan menggelar tur dunia berjudul “The Path of Totality Tour”. Pada 2009, Davis mulai memikirkan jenis musik Korn untuk ke depannya. Karena Davis adalah penggemar musik elektronik dan juga seorang DJ, dia sering mendownload musik-musik dari berbagai musisi dubstep. Akhirnya cita-cita Davis terwujud, setelah berbicara dengan rekannya James ‘Munky’ Shaffer (gitar), Reggie ‘Fieldy’ Arvizu (bass), dan personel baru Ray Luzier (drum), mereka setuju untuk memasukkan unsur Dubstep ke dalam musik Konn. Davis mengundang penggemar sejati Korn serta musisi elektronik yang sedang naik daun Skrillex untuk berkolaborasi di studio. Lirik album ini, juga sangat berbeda dibanding album-album sebelumnya. Jika biasanya Davis terkenal dengan lirik yang membabi buta dan kata-kata tajam, sekarang dia menggunakan cara yang berbeda. Katanya; “Di album ini, gw gak ngomongin diri gw. Gw menulis apa yang pernah gw lihat dan gw alami. Gw tulis apa yang ada di pikiran gw.” Skillrex, salah satu musisi yang ambil bagian di album Korn ini, menunjukkan ciri khasnya di lagu “Chaos Lives In Ev-
erything”. Musik yang asyik untuk berdansa ditambah riff gitar dari Munky menambah suasana kelam yang diciptakan vokal gelap Davis. Sedangkan di single “Bleeding Out” yang featuring Feed Me berisi suara piano yang sangat keren, lirik lagu ini adalah lirik terbaik yang pernah diciptakan Jonathan Davis. Teriakan saat menjelang bridge bagaikan suara ledakan yang membuka pintu gerbang neraka. Kalo gw pribadi kurang suka sama jenis musik elektronik, termasuk dubstep. Apalagi ciri khas Korn yaitu suara senar bass dipukulin oleh Fieldy lenyap di album ini. Kata Fieldy: “Ini adalah proses recording yang sangat berbeda. Ini adalah pengerjaan album paling mudah dan paling rapi yang pernah dilakukan. Kami mendapat berbagai jenis suara dari para DJ. Kami tidak lagi banyak membetot bass dan menggeber gitar, kami lebih banyak bekerja dengan suara-suara baru dan aneh itu, tapi ini cukup unik dan sesuatu yang baru.” Album itu sendiri mendapat penilaian yang beragam, ada yang mendukung ada juga yang mengkritik pedas, kebanyakan kritik datang dari kalangan metal dan fans lama Korn. Salah satu kritik datang dari Sputnikmusic yang bilang kalau album ini sangat parah, memperlihatkan sebuah band yang sudah lelah dan musiknya tanpa arah, ditambah lagi artis yang diajak berkolaborasi tidak berada pada level musik serta pengalaman yang sama.
.
THE HEADLESS CHILDREN W.A.S.P. 1989 Andria Sonhedi Di era 80-an grup W.A.S.P. identik dengan lirik lagu yang berkonotasi amoral (“F*** Like a Beast” sebagai contoh), belum lagi dengan pakaian yang seperti baru keluar dari mesin pencacah kertas serta badan bergelimang darah (palsu tentu saja) di sesi foto maupun dalam aksi panggung mereka. Nah, di album “The Headless Children” mereka mulai meninggalkan citra lamanya dan memulai babak baru. Blackie Lawless, sang vokalis sekaligus konseptor musik W.A.S.P., mencuci bersih darah palsu dari badannya, memakai baju gelap dan mulai memandang dunia nyata untuk pertama kali. Hasilnya adalah dia tidak bahagia atas apa yang dilihatnya sehingga munculah album “The Headless Children” ini (beruntunglah bila Anda pertama kali mendengarkan W.A.S.P. saat itu) yang berisikan lirik tentang perang nuklir dan isu politik saat itu
Lagu awal, “The Heretic”, diawali dengan intro yang mencekam yang kemudian dilanjutkan luapan riff dan solo gitar yang tak pernah kita perkirakan bisa dilakukan oleh W.A.S.P., terutama pada album-album sebelumnya. Lagu-lagu selanjutnya melaju dengan gaya Judas Priest, dengarkan “Maneater”, “Thunderhead” atau “Rebel in the F.D.G.”. Ada juga instrumental gitar dalam “Mephisto Waltz”, lagu mid tempo yang menjadi judul album “The Headless Children” dan sesuatu yang baru untuk W.A.S.P., power ballad berjudul “Forever Free”. Kalau Anda menyukai The Who maka bisa dicoba “The Real Me” yang pernah dipuji Pete Townsend (The Who) untuk bagaimana seharusnya lagu itu dia mainkan dulu. W.A.S.P. era baru ini adalah kali terakhir Chris Holmes sang gitaris (sebelum bereuni bertahun-tahun kemudian) memberi kontribusi. Drum dibantu oleh Frankie Banali dari Quiet Riot dan tentu saja sedikit sentuhan Ken Hensley dengan sound Hammondnya yang terkenal.
.
PERANG NERAKA BUMI DEAD VERTICAL 2011 Dede Hate Trio grinder ibukota kembali menggerinda dengan materi terbaru lewat “Perang Neraka Bumi”. Sepertinya konsep Perang Dunia Kedua dalam musik metal sedang disukai (setelah Sabaton dan Hail of Bullets), karena di album ini secara runut Boy dkk ‘menceritakan’ kembali riwayat Perang Dunia Kedua sejak D-Day sampai jatuhnya Berlin dan kematian Hitler. Kengerian Perang Dunia Kedua memang bisa secara apik dikisahkan lewat musik grindcore yang menggerinda. Ya, kebrutalannya hampir sama. Proses pengerjaan album ini sempat tertunda beberapa waktu sehubungan dengan wafatnya bos Rottrevore, om Rio Gendatz. Launching party-nya sendiri baru diadakan Maret lalu. Secara musikal, meskipun masih sama dengan pakem yang dibawa Dead Vertical sejak dulu, ada sedikit perubahan dengan kentalnya pengaruh death metal yang terasa. Perubahan lainnya adalah tidak ada lagi lagu yang berdurasi di bawah satu menit. Ada 12 lagu di album ini, sepuluh di antaranya membentuk kesatuan konsep Perang Dunia Kedua, satu cover dari Terrorizer, “After World Obliteration” dan satu bonus track, kesimpulan dari semua masalah di muka bumi, “Inti Petaka”. Hajar bleh!!
.
IDIOSYNCRASY NECRODEATH 2011 Mustafid Amna Dibentuk pada tahun 1984, legenda thrash/ black metal asal Italia ini kembali dengan rilisan terbaru mereka “Idiosyncrasy” yang dirilis pada Oktober 2011 lalu. Album ini boleh dibilang sangat istimewa, bagaimana tidak, musik dan lagu ditulis dalam satu trek tunggal panjang berdurasi 40 menit yang terbagi ke dalam tujuh bagian. Sesungguhnya Necrodeath memiliki semua elemen sebagai salah satu band thrash metal terbaik di Eropa, bersama dengan triplet suci Jerman. Kembali ke tahun 1996, saat itu dunia metal dikejutkan dengan album “Edge of Sanity”-nya Crimson. Sebuah album berdurasi 40 menit yang bercerita tentang kisah fiksi ilmiah yang brilian, dikombinasikan dengan kebrutalan death metal progresif Swedia ala Crimson. Sebuah komposisi yang epik, menjadikan rilisan tersebut sebagai salah satu rilisan paling penting dalam sejarah death metal. Karya 15 tahun lalu itu seakan terulang lagi sekarang, memiliki efek kesamaan namun dalam kerumunan thrash metal modern di album baru Necrodeath yang berjudul “Idiosyncrasy”. Trek tunggal 40 menit tidak hanya memiliki kemiripan komposisi yang panjang, tapi juga dalam visi musik dan petualangan. Jika Anda belum pernah mendengar lagulagu Necrodeath sebelumnya, “Idiosyncrasy” ini album yang sangat bagus untuk mulai mendengarkan. “Idiosyncrasy” secara umum menempel pada alur yang dipenuhi thrash metal modern di sebagian besar durasi, dilengkapi dengan banyak perubahan tempo yang dinamis. Riff-riff dan solo guitar mengingatkan Anda pada rilisan Slayer dicampur dengan komponen black metalnya Venom dan Possessed. Sebuah fusi yang brutal nan indah. Lagu disajikan dalam suasana morbid dan occult yang menyeramkan. Di album ini Necrodeath juga menambahkan sedikit porsi gitar akustik, memberikan album ini kontras yang bagus antara melodi dan kebrutalan. Selain riff thrash chrush heavy ada juga sedikit part jazz-influenced yang menunjukkan Necrodeath sangat tertarik pada eksperimentasi dan inovasi. “Idiosyncrasy” adalah album yang cukup asli, dan itulah yang saya harapkan ketika mendengarkan rilisan baru dari bandband lama yang sudah berpengalaman. Tidak menyimpang dari formula thrash, hanya dikemas secara modern. Yang menarik,
.
walaupun dalam bentuk epik, tapi semua terjaga dengan sangat baik. Sebuah album yang megah. You must listen to it!! OMNIVIUM OBSCURA 2011 Dede Hate Sayang sekali saya tidak sempat menyaksikan konser Obscura di Makassar beberapa waktu lalu. Karena ternyata album terbaru mereka ini termasuk album technical death metal yang masih bisa dinikmati oleh kuping saya. Biasanya saya akan keder duluan jika mendengar ada yang memainkan technical, dengar istilahnya saja sudah berat, apalagi musiknya. Berbicara tentang technical death metal, saya dari dulu telah menetapkan standar maksimal: Gojira dari Perancis. Tapi “Omnivium” ini rupanya termasuk technical yang tidak terlalu berat, agak progresif, cukup enaklah diikuti. Ada sepuluh lagu di album ini, dengan total playing time 59 menit, cukup lama untuk ukuran death metal. Saya rasa semua lagu ini membawa konsep yang sama, hanya disisipi beberapa ‘pembeda’ di masing-masing lagu. Banyaknya bagian akustik dan solo guitar yang cukup panjang setidaknya memberi kesan ‘manis’ pada album ini.
.
ENTITY ORIGIN 2011 Dede Hate Masih sama dengan yang sudah sudah, “Entity” adalah Origin yang sejak dulu begitu; cepat, brutal, dengan ciri utama pukulan drum yang sangat cepat, seperti kereta api super cepat, melindas apa saja yang ada di depannya. Saya mengikuti Origin sejak “Echoes of Decimation” (2005), dan hantaman yang kuping saya rasakan di “Entity”, masih sama, sama sekali belum berkurang, dan malah bertambah variatif dengan banyaknya porsi untuk Paul Ryan (gitar) dan Mike Flores (bass) untuk bermain-main dengan instrumen mereka, menciptakan sound teknikal yang lebih banyak dibandingkan di album-album sebelumnya. Mereka berdua juga terlibat lebih banyak dalam
urusan mengisi vokal di album ini sepeninggal James Lee yang keluar setelah “Antithesis”. Inilah kemudian yang menjadi menarik dan banyak ditunggu para pengagum Origin, apakah vokalis baru (entah siapa namanya) mampu beradaptasi dengan rombongan kereta laju super cepat ini? We’ll see. Tapi, menurut saya, selama masih ada John Longstreth di belakang dan tetap setia menyiksa drum set-nya, Origin di masa depan masih sama dengan yang kita dengar hari ini.
.
REBORN IN DEFIANCE BIOHAZARD 2012 Dede Hate Tujuh tahun setelah album studio terakhir, “Means to an End” pada 2005, dan tiga tahun setelah reuni formasi ideal Biohazard, “Reborn in Defiance” hadir hanya untuk menyaksikan perpisahan yang entah keberapa kalinya. Yup, setelah berpisah cukup lama, Evan Seinfeld, Billy Graziadei, Danny Schuler dan Bobby Hambel memutuskan untuk berkumpul kembali dan melakukan tur pada 2008, merekam album ini pada 2011, dan adalah Evan Seinfeld yang lagi-lagi meninggalkan teman-teman lamanya setelah menyelesaikan rekaman. Sepertinya Evan benar-benar ingin fokus ke hardcore jenis lain, yang dikerjakan bersama mantan istrinya. Dirilis awal tahun ini, “Reborn in Defiance” menawarkan seperti apa harusnya jika formasi paling ideal Biohazard bersenang-senang lagi. Masih banyak trek-trek cepat, macho, mematahkan leher, sangat hardcore (seperti yang kita dengar di “Urban Discipline” dan album-album lain) seperti “Vengeance Is Mine”, “Skullcrusher”, “Come Alive” dan “Never Give In”. Ada juga trek-trek ‘melodis’ seperti “You Were Wrong” dan “Season in the Sky” yang meskipun masih diisi vokal serak berat dari Evan, seperti mendengar Three Doors Down merger dengan Five Finger Death Punch. Ada juga yang unik sendiri, trek di mana kita sekali lagi bisa mendengar Evan ngerap, “Vows of Redemption”. Ada tiga belas lagu di album ini, merangkum semua yang mampu dilakukan Biohazard dengan formasi inti mereka di usia yang semakin senja. Mari kita nikmati saja, karena mungkin ini terakhir kalinya mereka merekam album bersama. Favorit saya adalah trek kedua, “Vengeance Is Mine”, dengarkan saja dan Anda akan langsung tahu sebabnya.
.
REVIEW
JASTA JAMEY JASTA 2011 Dede Hate Entah apa lagi yang dicari orang ini. Lebih banyak uang, pengakuan, aktualisasi diri atau menyalurkan ego? Sebenarnya Jamey Jasta tidak perlu membuat album solo untuk menyalurkan cita rasa pribadinya, di Hatebreed dia bisa melakukan itu, karena Jamey Jasta adalah Hatebreed, otak dan denyut nadinya. Pun demikian, setelah keleluasaan bereksprimen dengan sludge metal bersama Kirk Windstein di Kingdom of Sorrow, dan jauh sebelumnya dengan sedikit hip hop di Icepick, dia masih saja merasa membutuhkan sesuatu yang baru untuk aktualisasi diri. Karena memang, tidak ada yang bisa membatasi seorang superstar di skena hardcore dan metal untuk melakukan apapun yang dia mau. “Jasta” ini adalah proyek terbarunya, bisa dibilang solo, meskipun mengajak Bellmore bersaudara sebagai pengisi tetap untuk gitar, bass, drum dan perkusi. Album ini tepat juga disebut sebagai ajang kumpulkumpul para bintang masa kini, karena Jamey juga mengajak beberapa nama baru yang cukup bertalenta menjadi guest stars untuk mengisi vokal atau gitar seperti Phil Labonte, Randy Blythe, Tim Lambesis, Zakk Wylde atau Mark Morton. Untuk sound-nya, kalau Anda mengharapkan sesuatu yang baru-baru amat, well, sepertinya tidak ada yang barubaru amat di sini. Empat belas lagu (dua bonus track) di album ini sedikit banyak hampir sama dengan rilisan-rilisan terkini dari Hatebreed plus beberapa lagu dari Kingdom of Sorrow, karena Jamey hampir tidak bisa melepaskan karakter vokalnya yang khas. Di beberapa lagu memang terdengar Jamey berusaha ‘bernyanyi’, dengan melodic clean singing, tapi saya justru merasa aneh mendengarnya. Jangan tertipu dengan dengan trek pembuka “Walk That Path Alone” yang masih sangat Hatebreed, hardcore yang cepat, karena apa yang datang setelahnya begitu bervariasi, kadang lambat, kadang cepat, dan dengan banyaknya gitaris tamu, akan sering terdengar lengkingan solo yang lumayan panjang. Ciri khas lain Jamey yang tidak bisa dilepaskan dari tahun-tahun yang dijalaninya bersama Hatebreed adalah gaya penulisan liriknya, masih terus menyemangati pengikutnya. Pada akhirnya saya harus bersyukur Jamey Jasta membuat album solo demi menuntaskan egonya, karena kalau
.
dia melakukannya di Hatebreed, saya takut quintet hardcore Connecticut tersebut akan semakin jauh menyimpang dari root-nya. KEMBALI MERAPAT RETORIKA 2010 Dede Hate Jangan sarungkan dulu golok yang sudah dihunus, buka kembali blueprint revolusi jalanan yang sempat digelar Morgue Vanguard. Mari mendekat, merapat kembali, karena Retorika sedang mencoba mengambil alih komando, oh mudah-mudahan saja mereka tidak cuma beretorika. Dan marilah kita menyimak apa yang mereka tawarkan di album debut mereka ini, sanggupkah untuk memancing kita untuk sekali lagi berpikir tentang pembangkangan? Karena sesungguhnya apa yang mereka bawa lewat “Kembali Merapat” ini sudah pernah, kalau tidak mau disebut selalu, dirapal Ucok dkk di Homicide dulu. Hip hop berhaluan kiri bawah dengan semburan rima yang meracau tentang politik pencitraan, negeri yang tergadai, pemanasan global, kerusakan lingkungan, si kaya dan si miskin, dan sentimen-sentimen sosial politik seksi lainnya. Terlebih lagi setelah mencermati lirik lagu “Ketetapan”, meskipun tidak sevulgar “Puritan”, mereka rasa-rasanya mencoba mengikuti, atau mungkin juga berusaha menyampaikan versi mereka sendiri, atau mungkin juga ingin membangkitkan kembali kisah kasih Ucok versus Thufail di masa lalu. Iya, kritik dalam rima mereka terlalu general. Jangan kecewa dulu kamerad, ini hanya pendapat subyektif saya yang mungkin saja disebabkan oleh standar saya yang terlalu tinggi untuk hip hop seperti ini: Homicide. Salah saya sendiri sebenarnya, haha. Dengan standar seperti itu, saya telah mengekang kuping dan jiwa saya untuk menerima apapun yang datang setelah Homicide. Padahal, Retorika dari Tegal ini, juga menawarkan sesuatu yang segar, terutama di sound-nya: bebunyian sampling yang kaya, tidak cuma scracth, distorsi dan dentuman boombox, seperti atmosfir orkestra di “Strata Vertikal”. Yang unik adalah di lagu “Ketetapan” tadi, entah bagaimana caranya, menurut kuping saya hampir ada kesamaan beat dengan salah satu lagu Thufail yang dirapal bareng Barat Hijau Indonesia (saya lupa judulnya). Entah sengaja atau kebetulan, atau saya saja yang terlalu kreatif mencari-cari sesuatu yang mudah disulut?
Haha, saya adalah seorang oportunis dan karenanya saya berdiri di kedua kubu bung! Lagu yang menjadi favorit saya adalah “Janji Masa Pemilihan”, audio clip bercita rasa metalcore dari Down for Life di intro-nya menjadi pembuka yang tepat untuk distorsi gahar yang datang kemudian, dengan cadas mengiringi lirik yang tidak kalah pedas tentang apa yang menjadi tontonan kita beberapa tahun belakangan ini lewat deretan senyum palsu dan frase-frase banal yang merusak batang-batang pohon di jalan-jalan kita (berhentiko pakui pohon taila*o!). Kesimpulan saya, Retorika tidak cuma beretorika. Bagi saya sendiri, mereka setidaknya telah mengisi kekosongan yang ditinggalkan Homicide setelah memutuskan melepaskan tunik untuk selamanya, atau Trigger Mortis yang kelihatannya mulai kehabisan pelumas, atau D’Army yang belum menghentak lagi, atau Udan Watu yang cuma ‘panas-panas tahi ayam’ (kok Ucok semua? Haha). Setidaknya, Herry Sutresna alias Morgue Vanguard alias Ucok Homicide ikut terlibat dalam desain lyric sheet dan artwork album ini.
.
ABZU ABSU 2011 Dede Hate Pentolanpentolan black metal Norwegia menyebut grupgrup black metal dari Amerika adalah gimmick semata, palsu dan hanya ikutikutan. Tapi Absu ini adalah pengecualian. Mereka sudah ada di Texas bahkan sebelum Count Grishnackh membunuh Euronymous. Untuk aksi-aksi kontroversial, mereka memang kalah tenar dari Norwegian Black Metal Inner Circle, tapi soal musikalitas, bolehlah diadu. “Abzu” ini adalah bagian kedua dari Abyssic Trilogy, setelah “Absu” pada 2009 dan sebelum “Apsu” yang akan menyusul. Hanya berisi enam lagu, album ini menjadi tour de force, setidaknya bagi saya, untuk sound black metal kekinian. Memang tidak lagi fully berfidelitas rendah seperti album-album dulu, tapi masih dengan pakem sound black metal yang raw, tanpa banyak eksperimen, dan tetap cepat menghunjam. Di lagu terakhir, “A Song for Ea”, mereka membaginya menjadi enam bagian terpisah tapi kemudian menyatu kembali dengan nuansa yang sama, menjadikan lagu ini berdurasi cukup panjang: sekitar 15 menit. Jarang-jarang saya bisa menikmati album black metal seperti ini.
.
THE DISCOVERY BORN OF OSIRIS 2011 Dede Hate
sound di album ini terpengaruh ‘djent’, apa lagi itu? Bingung kan? Sama. Well, dengarkan sajalah sendiri, karena kabarnya album ini menuai banyak pujian.
Terakhir saya mendengarkan apa yang disebut deathcore adalah Job For A Cowboy dan As Blood Runs Black, beberapa tahun lalu. Dan sejak awal saya memang tidak pernah mengikuti The Black Dahlia Murder. Ini perlu saya tegaskan, karena saya adalah metalhead paling metal, tidak mendengarkan kecuali yang ortodoks, murni, bukan hibrida semacam deathcore ini, camkan itu ya! Haha. Beberapa tahun lalu gerombolan yang memainkan jenis musik seperti ini memang membanjir, membuat kalangan ‘metal sejati’ sempat merasa waswas. Iya, band-band seperti Job For A Cowboy, As Blood Runs Black, The Black Dahlia Murder, Suicide Silence dan tentu saja Bring Her Head to Athena, eh sorry Bring Me the Horizon maksud saya. Kenapa saya menyinggung deathcore? Well, karena Born of Osiris ini termasuk salah satu gerombolan itu, hihi. Sejak kemunculan genre ini beberapa waktu lalu, yang diiringi caci maki, dari analisis dangkal saya, dari apa yang saya lihat dan dengar, beberapa pionir kemudian mencoba untuk ‘merubah’ sound mereka. Job For A Cowboy dan The Black Dahlia Murder kemudian mengumandangkan death metal. Ada juga sih yang keukeuh dengan style asli mereka seperti Suicide Silence dan Bring Me the Horizon. Nah, Born of Osiris menurut saya juga mencoba variasi lain, “The Discovery” ini adalah deathcore yang bercengkerama dengan musik elektronik. Kalau di album pertama “A Higher Place” mereka seperti baru ‘mencoba-coba’, di album kedua ini mereka sepertinya telah menemukan kenikmatan dengan style mereka. Saya masih bingung bagaimana mendeskripsikan apa yang saya dengar di album ini. Dengan masifnya bebunyian elektronik atau sampling dari keyboard dan synthesizers, yang mendominasi hampir semua lagu, dan teknikalitas dari duo gitaris yang serta bass line yang mendikte dan mengawal tempo, serta jual beli growl dan scream dari dua jenis vokal, serta ketukan drum yang mengikuti semuanya itu, membuat saya mesti menyimak lagu-lagu di album ini dengan hati-hati. Saya tidak lagi mendengarkan deathcore, atau electronic deathcore semata, tapi juga death metal yang teknikal, progresif atau metalcore yang dipenuhi banyak breakdown, hasil dari pola heavy slow heavy slow. Beberapa orang juga menyebut
MY LIFE MY WAY AGNOSTIC FRONT 2011 Dede Hate
.
Tidak ada lagi yang perlu dibuktikan oleh sebuah band yang telah menjadi ‘pendiri’ dari skena hardcore paling terkenal di dunia, atau sebuah band yang telah menjadi ‘orang tua’ dari band-band yang muncul kemudian seperti Breakdown, Subzero, (bahkan) Sick of It All dan lain-lain. Juga, tidak ada lagi yang perlu saya jelaskan tentang Agnostic Front, bahkan jika merilis album baru lagi. Karena kita semua sudah paham, seperti apapun perkembangan skena hardcore saat ini, mereka tetap dengan pola mereka yang simpel, tidak bertele-tele dan to the point. Yeah, hardcore yang sungguh-sungguh, cepat, brutal, gang shoutings, trashy riffs, positive themes, dan tentu saja vokal om Roger Miret yang khas. Tidak usahlah saya sebut satu persatu tiga belas lagu di album ini, karena memang semua polanya sama, haha. Yang jelas, bagi saya, dari sedikit hardcore heavy weight atau rookie yang merilis album baru tahun lalu, ini termasuk yang terbaik.
.
THE POWER WITHIN DRAGONFORCE 2012 Andria Sonhedi Mendengarkan separuh album DragonForce yang baru membuat saya merasa tidak sedang mendengarkan DragonForce yang saya kenal dulu, yang pernah membuat saya membuka pintu untuk grup power/speed metal generasi baru. Saya seperti mendengar grup power metal Jerman, sebut saja Freedom Call atau semacamnya, bahkan ada yang mengingatkan saya pada nuansa lagu cepat di album industrial metal Buck Satan & the 666 Shooters. Bukannya gitar ngebut Herman Li dan Sam Totman tak ada, namun kali ini mereka banyak membatasi diri, entah karena merasa ‘lebih dewasa’, namun semo-
ga jangan kehabisan ide saja. Seandainya vokalis lama, JP Theart, masih ada, pasti dia bersyukur karena bisa menyanyi tanpa perlu menguras tenaga untuk menyanyikan lagu-lagu DragonForce di album “The Power Within” ini.
.
THE DWARVES ARE BORN AGAIN DWARVES 2011 Dede Hate Kalau ada The Misfits yang ‘menemukan’ dan terus melestarikan horror punk, maka ada juga Dwarves, yang sejak puluhan tahun lalu tetap mengkampanyekan sex punk (ini istilah saya sendiri). Saya berlebihan? Mungkin saja, tapi saya hanya mendasarinya dari apa yang saya dengar, baca di lyric sheet atau lihat di artwork album mereka. Sebenarnya mereka memang membawa tema-tema dan attitude yang kontroversial semisal drug dan sex di panggung, belum lagi kalau mereka memutuskan berkelahi dengan penonton atau security atau malah polisi di atas panggung. Gitaris mereka yang selalu memakai topeng itu juga kabarnya lebih senang bertelanjang bulat ketika tampil live! “The Dwarves are Born Again” adalah full length ke-delapan mereka, terbaru setelah terakhir “The Dwarves Must Die” pada 2004. Masih dengan formula ikonik dari album-album terdahulu tapi dengan progresi sound yang lebih baik. Seperti terlahir kembali setelah mati cukup lama, dan tetap tidak mau dewasa. Album ini, pada beberapa titik mengingatkan saya pada album Fucked Up, “David Comes to Life”. Selain fakta bahwa jumlah lagunya sama-sama 18 trek (meskipun total playing time yang ini jauh lebih singkat, hanya sekitar 32 menit), juga bahwa album ini adalah album punk yang begitu variatif. Mungkin tipikal sound dari segala macam subgenre punk bisa didengar disini: garage, surf, skate, pop sampai hardcore. Belum lagi bahwa lagu-lagu di album ini ditulis dengan lirik yang konyol, jenaka dan semau gw, membuat album ini semakin tidak membosankan. Coba cek lirik narsistik di lagu “The Dwarves are Still the Best Band Ever”, atau lirik setengah patriotik (juga masih narsistik) di lagu “The Band that Wouldn’t Die”. Atau lirik di lagu “Working Class Hole” yang ‘menertawakan’ John Lennon: “I’m just a working class asshole…” haha, lagu ini adalah soundtrack terbaru saya.
.
REVIEW
MALAIKATMU NYMPHEA 2008 Dede Hate Lagi-lagi dari Bali. Kenapa sih band-band bagus itu kebanyakan muncul dari Bali, bukan dari Makassar? Mungkinkah karena pemuda-pemudi di sini lebih suka menunjukkan kreatifitas mereka di jalan, bukan di studio? Saya belum tahu, apakah Nymphea ini adalah ‘asuhan’ Rudolf Dethu juga, tapi mereka jelas-jelas bukan band sembarangan. Nymphea adalah tiga orang pemuda dan seorang pemudi yang bermain musik untuk bersenang-senang dan menjadikan AFI, Foo Fighters dan bandband sejenis sebagai influence utama. Garis utama dalam musik mereka adalah alternartive rock. Kehadiran mereka setidaknya menyegarkan skena musik alternative rock di Indonesia. Ketika Kotak semakin laris, Nymphea dengan vokalis cewenya yang enerjik mampu menarik saya untuk bernostalgia lagi dengan alternative rock. “Malaikatmu” ini adalah full length pertama mereka, dirilis pada 2008. Sorry saya telat tahu. Berisi dua belas trek rock yang menggema, dengan beberapa eksprimen ciamik dari genre lain seperti punk. Intro-nya, “Nymphtro”, langsung mengingatkan saya pada lagu-lagu Three Doors Down. Eksperimen dengan punk yang saya maksud tadi terdengar di lagu “I Quit” dan “1 2 3 4”, lengkap dengan gang shoutings. Ada juga trek semi akustik yang manis seperti “Aku Bulan dan Bintang”, “Malaikatmu” dan “Mungkin”. Lagu-lagu yang kentara menunjukkan sound rock yang gahar serta kekuatan karakter dari vokalis cewe yang jarang terdengar belakangan ini ada di lagu “Heart Break”, “Minor” dan “Used to Be”.
.
DARKER HANDCRAFT TRAP THEM 2011 Dede Hate Terakhir saya mendengarkan yang hampir mirip seperti ini adalah “Unsilent Death” dari Nails, tahun lalu. Hardcore yang dibawa masuk lebih dalam ke dalam crust/grind/metal. Pukulan d-beat pada drum sangat kentara hampir di semua
lagu, dan bunyi gitar yang kasar dan bass yang down tuned membuat album ini terdengar agresif, gelap, berat, memang kadang lambat, tapi kebanyakan sangat cepat. Setelah menyimak keseluruhan album, saya kemudian menarik kesimpulan, bahwa secara global, kita akan mendengarkan dua jenis sound di sini. Satu yang sangat cepat, grind minded dengan d-beat-nya, satu lagi yang lambat merayap, sangat kentara Swedish-nya. Terakhir saya baru sadar, kalau beberapa lagu di album ini mempunyai pola yang hampir sama dengan yang dipakai Kvelertak.
.
THE BLACK CROWN SUICIDE SILENCE 2011 Mustafid Amna Mungkin Anda sering mendengar band ini banyak dicemooh, banyak yang menyebut mereka gay, homo, omong kosong dan sebagainya. Kita semua menyadari bagaimana orang membenci Suicide Silence dan deathcore pada umumnya, entah karena fashion style (tato yang lebay mubazir) yang tidak bisa diterima kalangan metalheads atau juga karena fusion death metal dan metalcore dengan scream-nya yang dianggap tidak pas dan merusak tatanan style metal itu sendiri. Namun suka atau tidak, yang jelas band asal California, Amerika ini telah menjadi band besar. Debut album mereka, “The Cleansing”, hanyalah album deathcore biasa saja. Kemudian album kedua mereka “No Time To Bleed”, menunjukkan mereka adalah sebuah band yang sedang berkembang, di mana mereka melakukan beberapa eksperimen dengan menambah samplesample elektronik. Sekarang kita memiliki “The Black Crown”, yang merupakan bukti bahwa Suicide Silence tidak berniat untuk berhenti. “Slaves to Substance”, sebuah trek pembuka yang sangat manis, lengkingan scream khas Mitch Lucker sang vokalis dan riff-riff grind gitar Christpher Garza benarbenar akan membuat Anda bakal bangun dari tempat tidur dan ingin menghujamkan kepala ke tembok. Trek kedua, “O.C.D”, kuping Anda kembali dimanjakan dengan kebisingan yang indah ala Suicide Silence. Agak sedikit groovy namun kental dengan riff death metal. Lanjut trek ketiga, “Human Violance”, makin brutal dengan tempo dan beat-beat yang cepat namun dengan breakdown yang enak. Gebukan drum dan riff grind banyak kita jumpai di lagu ini. “You
Only Live Once”, trek ke-empat, yang juga bisa kita lihat video klipnya. Kental dengan deathcore breakdown dibumbui riff dan solo gitar yang cathcy dan easy listening. Sepertinya lagu ini mewakili deathcore di album “The Black Crown”. “Persetan Semuanya”, seakan menunjukan betapa tidak pedulinya mereka kepada penentangpenentang mereka. Sebuah lagu yang agak emosional. Lanjut trek berikutnya “March to the Black Crown”, seperti trek pendinginan, sound-nya mengingatkan saya akan Korn. “Witness the Addiction”, dan betul sepertinya trek sebelumnya ingin memberitahukan bahwa di lagu ini mereka telah berkolaborasi dengan Jonathan Davis. Dua vokalis dengan background metal yang berbeda berhasil disatukan di trek ini. Suicide Silence memang telah berulang kali mengatakan bahwa Korn selalu menjadi inspirasi mereka dalam bermusik, dan mimpi terwujud di lagu ini. Kolaborasi lain dapat dilihat di trek “Smashed” yang menghadirkan suara Frank Mullen dari Suffocation. Yang cool dari album ini adalah Anda akan menemukan sesuatu yang menarik, karena masing-masing trek memiliki sesuatu yang fresh untuk ditawarkan. Sebelumnya saya tidak begitu peduli dengan death/metal core dengan screamnya, namun album “The Black Crown” ini benar-benar telah membuka saya. Riff-riff gitar, solo, drum, serta suara vokal yang khas dari seorang Mitch Lucker, saya begitu sangat menyukainya. Bahkan kadangkadang di beberapa bagian lagu sempat terpikir kemiripan suaranya dengan Randy Blythe Lamb of God. Bagi Anda penggemar deathcore, death metal, atau sesuatu yang lebih berat wajib dengarkan album ini. Bagi Anda yang sudah terlanjur under estimate dengan genre deathcore saya sarankan untuk mencoba ini.
.
THE PARALLAX HYPERSLEEP DIALOGUES BETWEEN THE BURIED AND ME 2011 Dede Hate Quintet ini termasuk band yang kebanyakan waktu luang untuk bereksperimen dengan suara-suara aneh, hampir setipe dengan The Dillinger Escape Plan. Ini adalah ep mereka yang dirilis April 2011 lalu. Memang cuma berisi 3 lagu, tapi durasi totalnya adalah setengah jam. Setengah jam yang dihamburkan untuk berimprovisasi dengan banyak sound aneh dan tempo yang tidak teratur.
.
SELAMAT PAGI TERANG CLOSEHEAD 2011 Dede Hate Sudah cukup lama beredar, tapi saya baru mengenal mereka beberapa waktu lalu lewat “Berdiri Teman” yang enerjik. Closehead telah membuka wawasan saya tentang skena pop punk lokal yang sepertinya terhimpit di antara hype metal, hardcore dan indie music lainnya (atau saya yang kurang informasi?). Iya, saya memang tidak banyak tahu tentang band-band dari genre ini yang masih eksis. Ini adalah album baru mereka, berisi tiga belas lagu berirama melodic pop punk yang bersemangat. Setelah dibuat kecewa dengan “Neighborhoods”-nya Blink 182, di mana masa penantian saya akan album itu dipenuhi nostalgia indah masamasa smp menjelang sma dengan lagu-lagu bersemangat yang cocok bagi anak remaja yang sedang beranjak dewasa, saya cukup terhibur dengan “Selamat Pagi Terang” ini. Meskipun memang tidak persis dengan “Take off Your Pants and Jacket” yang saya harapkan dari “Neighborhoods”, lagu-lagu di album ini mampu membuat saya sekali lagi mencoba menikmati masa muda dan mengingatkan: hidup ini baik-baik saja kawan. Untuk mereka yang menganggap Blink 182 atau Green Day atau band-band sejenis adalah ‘punk abal-abal’, Closehead ini pasti tidak diterima. Tapi bagi saya yang memang menyukai ‘punk abal-abal’, Closehead ini sangat keren, apalagi lirik mereka tidak hedonis sama sekali, lebih banyak tentang persahabatan dan motivasi. Satu hal lagi, untuk tataran lokal, saya selalu punya setidaknya satu band favorit dari setiap genre, dan untuk pop punk, sekarang saya punya Closehead.
.
NEUTRALIZE THE THREAT EARTH CRISIS 2011 Dede Hate Ini adalah kelanjutan dari “To the Death”. Saya rasa mereka cukup produktif setelah reuni pada tahun 2007. Selain “To the Death” (2009) tadi dan album terbaru ini, mereka juga sempat merilis ep “Forced to Kill” pada tahun
2009. “Neutralize the Threat” ini memang sedikit banyak sama dengan apa yang saya dengar di “To the Death”. Untuk sebuah band yang sudah lama beredar, saya pikir sudah bukan saatnya lagi untuk ‘menjudge’ apa yang mereka tawarkan. Memang, entah karena pengaruh usia, atau teknologi, atau apa saya tidak tahu, Earth Crisis masa kini cukup berbeda dari apa yang kita dengar di album-album terdahulu, setidaknya di album terakhir sebelum mereka bubar dulu, “Last of the Sane” (2001). Mungkin juga yang membuat mereka kini terdengar ‘biasa-biasa saja’ adalah karena banyaknya band-band yang memainkan musik hampir setipe. Untuk mereka yang baru mengetahui Earth Crisis di album ini mungkin akan menganggap mereka ‘band rata-rata’, seperti apa apa yang kita dengar dari menjamurnya band-band metalcore saat ini. Karena itu saya mungkin harus bersyukur mengetahui mereka bukan di saat booming metalcore seperti saat ini, dan olehnya saya tahu bahwa band ini adalah mutiara. Iya, musik mereka mungkin mengalami perubahan, tapi tidak dengan militansi mereka mengkampanyekan dan mengaplikasikan gaya hidup straight edge dan veganisme. Untuk album ini, bagi saya sendiri (karena Earth Crisis mempunyai tempat yang sama di hati saya seperti halnya Hatebreed, atau Shai Hulud, atau Unearth, sehingga apapun yang mereka rilis akan selalu saya hargai), tetap mantap, ganas dan beringas. Untuk glorifikasi, saya menganggap “Neutrialize the Threat” ini seperti ketika Merauder merilis “God is I” pada tahun 2009 lalu, itu adalah di mana para legenda turun gunung mengajari anak-anak masa kini memainkan metalcore dengan baik dan benar.
.
DARK ADRENALINE LACUNA COIL 2012 Dede Hate Saya sempat ‘ogah’ menyimak album ini. Saya takut kecewa lagi setelah “Shallow Life” dulu. Apalagi setelah tahu orang di belakang produksi album ini masih Don Gilmore. Tapi syukurlah pintu hati saya terketuk dan ternyata album ini lebih bagus dari “Shallow Life”. Masih alternative metal yang dibalut atmosfir gothic yang kental. Lagu-lagunya lebih padat, berisi dan lebih menghentak dari album sebelumnya. Saya kembali merasakan perpaduan yang serasi vokal beauty and the beast antara Scabbia
dan Ferro, dan riff serta solo guitar yang mengiris dari Migilore dan Biazzi di lagu-lagu seperti “The Army Inside”, “Against You” dan “Kill the Light”. Ada juga lagu yang mengeksplorasi kekuatan vokal Scabbia dan Ferro jauh dari biasanya ketika instrumen tidak terlalu banyak mengambil peran seperti di lagu “My Spirit” dan “End of Time”. Di sini Scabbia dan kawan-kawan juga melakukan sesuatu yang sangat beresiko ketika meng-cover lagu R.E.M. “Losing My Religion”, untungnya mereka melakukannya dengan cukup baik dengan versi mereka sendiri tanpa keluar sepenuhnya dari bayang-bayang penyanyi aslinya. Kalau disuruh memilih satu lagu favorit di album ini, mungkin saya akan memilih “Intoxicated”, saya suka bagian “aaaaaaaaaa”, haha. Secara keseluruhan, ini seperti Lacuna Coil ingin kembali mengulang masamasa indah dulu, tapi tetap ingin menunjukkan sisi modern mereka. Atau kembali ke masa-masa sebelum “Karmacode” dan “Comalies” tanpa meninggalkan semua yang mereka lakukan di “Shallow Life”. Atau, usaha menggaet kembali pendengar lama tanpa melupakan fans baru? Haha. Bagi saya, ini memang belum sebaik albumalbum awal mereka, tapi jauh lebih baik dari “Shallow Life”.
.
BILATERAL LEPROUS 2011 Dede Hate Mastodon, kemudian Kylesa dan Intronaut, sedikit banyak telah membawa saya lebih jauh menikmati dan meresapi keindahan dalam musik progresif. Sebelumnya, band progresif menurut saya hanyalah sekumpulan orang yang memainkan musik yang seaneh mungkin, selama mungkin. Dulu sekali, saya sempat tertidur ketika seseorang mencoba memperdengarkan saya Dream Theater, hihi. Sepertinya referensi saya tentang sound progresif yang bagus bertambah lagi dengan Leprous asal Norwegia ini. Memang tidak sama dengan band-band tadi, tapi “Bilateral” ini adalah rekaman yang sempurna menyuguhkan semua hal yang dibutuhkan suatu rilisan bermuatan progresif yang tidak membosankan. Bagaikan suatu perjalanan dengan banyak warna dan alur; kadang landai, kadang datar, kadang menurun, sekali-kali meninggi, banyak tikungan, dan kita tidak tahu ada apa setelah tikungan berikutnya. Album yang sangat kaya, orisinil, menyegarkan dan menambah wawasan.
.
REVIEW
NUNC EST BIBENDUM ONKEL TOM ANGELRIPPER 2011 Andria Sonhedi Onkel Tom Angelripper adalah proyek sampingan dari Tom Angelripper, pemain bass, vokalis sekaligus pendiri Sodom, pionir thrash metal dari Jerman. Onkel Tom sudah eksis sejak 1996 dengan spesialisasi lagu punk, hard rock dan thrash metal ringan untuk menemani minum di bar dan semua dalam bahasa Jerman. “Nunc Est Bibendum”, yang berarti now it’s time to drink, adalah album terbaru Onkel Tom setelah 10 tahun vakum. Bila Anda pernah mendengar musik dia sebelumnya memang tak ada yang baru di sini kecuali ada beberapa lagu ciptaannya yang serius macam “1516” dan “Format C”. Ada juga persembahan Tom untuk Lemmy Killmister (Motorhead) dalam “Lemmy Macht Mir Mut” dan kenangan Tom saat nonton konser AC/DC saat dia muda dalam lagu “Bon Scott Hab Ich Noch Live Gesehen”. “Ein Heller und Ein Batzen” adalah lagu anak-anak yang diubah menjadi lagu berirama cepat dan ada lagu bernuansa punk untuk dinyanyikan beramairamai seperti “In Junkers Kneipe”. Hiburan penutup adalah parodi cover album “Abbey Road”-nya The Beatles; lima orang bergandengan menenteng empat krat bir sedang menyeberangi zebra cross.
.
BIKERS WELCOME LADIES DRINK FREE BUCK SATAN AND THE 666 SHOOTERS 2011 Andria Sonhedi Mendengarkan lagu-lagu di album Buck Satan and the 666 Shooters ini membuat saya mendadak jadi menyukai lagu country. Tapi jangan lalu menganggap lagu-lagu yang diketengahkan Buck Satan alias Al Jourgensen, pentolan industrial metal Ministry, adalah lagu country murni. Sebut saja country flavoured industrial metal. Tak ada drum beneran kecuali drum machine yang monoton industrial khas Ministry. Dibantu Mike Scaccia (Rigor Mortis) pada gitar, Tony Campos (Static-X) pada bass , Drum Programming, Engineer oleh Sammy D’Ambruoso, serta Rick Nielsen
gitaris Cheap Trick sebagai bintang tamu ditambah dua orang yang memainkan cello dan biola pas sudah disebut Hellbilly. Lebih aneh lagi karena para pendukung band banyak yang baru pertama memainkan musik country. Setiap trek lagu sangat terasa wall of sound-nya. “Quicker Than Liquor”, “Down the Drain”, “What’s Wrong With Me?”, “Friend of the Devil” (cover Grateful Dead) dan “Drug Store Truck Driving Man” membuat kita serasa berada di bar bernuansa country. Atau ada juga lagu-lagu berjudul lucu seperti “The Only Time I’m Sober Is When You’re Gone” dan “I Hate Every Bone In Your Body Except Mine” (sepertinya cover dari Poison). Setelah 11 lagu berirama cepat album ini ditutup dengan lagu “Take Me Away” yang agak slow. Seperti tertulis di atas bahwa album ini bukan murni country sehingga para penggemar fanatik musik country bakal tak senang, tapi bagi yang belum terbiasa mendengar musik country (seperti saya) album ini cukup menghibur.
.
DON’T FORGET YOUR ROOTS H2O 2011 Dede Hate Ada kalanya sebuah band yang sudah cukup lama berkarya, dan cukup sukses, kemudian melihat ke belakang dan ingat pada band-band yang telah mempengaruhi mereka, membuat satu album tribute kepada band-band tersebut sebagai rasa syukur atau paling tidak sebagai upaya untuk tidak melupakan asal mereka. Itu pula yang dilakukan band asal NYHC yang awet dan jarang gonta-ganti personil ini. H2O meluapkan rasa syukur mereka dengan membuat tribute album kepada 14 band yang telah ‘menunjukkan jalan’ kepada mereka: Bad Brains, 7 Seconds, Madball, Descendents, Embrace, Ramones, Gorilla Biscuits, Mighty Mighty Bosstones, Rancid, Dag Nasty, Social Distortion, Sick Of It All, The Clash dan Warzone. Ini sekalian menunjukkan ‘kerendahan hati’ Toby Morse dan kawan-kawan, karena sebenarnya mereka sendiri sudah bisa dianggap legenda, mereka sudah ada di New York sejak 1995. Hal yang selalu menarik tentang tribute album (atau tribute song) adalah membandingkannya dengan versi aslinya. Meskipun saya pribadi belum pernah mendengar semua lagu aslinya, saya rasa jatuhnya tidak akan jauh-jauh amat, karena semua band yang di-cover itu masih dalam skena dan tipe sound yang sama dengan H2O: hardcore dan punk. Favorit saya
.
adalah trek ke-dua, cover 7 Seconds “Satyagraha”, ringan, riang dan bersemangat. SENTENCED TO LIFE BLACK BREATH 2012 Dede Hate
Black Breath adalah band yang lumayan baru, tapi sudah mengejutkan semua orang lewat debut mereka “Heavy Breathing” dua tahun lalu, dan dengan sambutan meriah itu, kini mereka makin menggila lewat “Sentenced to Life” ini. Mudah-mudahan mereka tidak cuma kencang di awal, dan masih menyimpan tenaga untuk album berikutnya. Karena di album ini mereka benar-benar semakin mahir memainkan musik mereka, seperti mengeluarkan semua kemampuan untuk barisan lagu brilian di album ini. Di “Heavy Breathing” dulu saya seperti masih meraba-raba jenis apa yang mereka coba mainkan, karena hardcore-nya sangat terasa, begitu juga trash/black metal dan tentu saja ada sedikit punk-nya. Di sini, sepertinya saya sudah mengerti jalur mana yang mereka ambil. Masih dengan garis utama hardcore seperti di debut itu, tapi semakin jelas mengikuti arah Nails, Trap Them dan yang sejenis (ada juga sih yang bilang Entombed, tapi saya belum pernah dengar Entombed). Pukulan drum semakin kentara bunyi d-beatnya, bass yang disetem rendah serta raungan gitar yang kotor. Dan saya merasa ada palet thrash era 80-an yang sangat kentara di lagu “Of Flesh”. Ini adalah album yang agresif, raw dan melenakan.
.
QUADRASONIC JARLE H. OLSEN 2011 Dede Hate Saya lupa alasannya kenapa saya bisa berakhir menyimak album ini. Mungkin karena banyak pujian kali ya? Well, untuk Anda para gitaris dan penyuka musik progresif, ini adalah album yang wajib. Gitaris virtuoso Norwegia ini memamerkan segenap skill-nya: shredding, tapping dll yang saya tidak tahu istilahnya di album instrumental yang panjang, membuai dan bikin saya ngantuk ini, hehe.
.
THE GREAT MASS SEPTIC FLESH 2011 I Putu Ryan Dessaptasoma Ada yang pernah menggambarkan musik Dimmu Borgir sebagai black metal termegah, dengan itu ia merujuk pada unsur orkestra atau simfoni pada musik mereka. Jika saat itu saya sudah mengenal Septic Flesh mungkin saya seketika sudah bisa memberikan padanan death metal yang tidak kurang megahnya dan dengan trek yang jauh lebih nyantol di telinga saya. Kenyataannya memang, album “The Great Mass” dapat saya gambarkan dengan Cradle of Filth era “Damnation and a Day”, dengan vokal ala Vader alih-alih Dani Filth, dan meminjam atmosfir Rotting Christ era “A Dead Poem”. Kesan gothic/horor langsung terasa di trek pembuka, “The Vampire from Nazareth”, di mana telinga kita dibuai orkestra sebelum akhirnya menjelma menjadi melodic death yang menghentak kencang. Tak henti di sini, telinga kita masih digempur oleh trek-trek menawan seperti “Pyramid God”, “Oceans of Gray” dan “Rising”. Beberapa trek juga diiringi dengan clean backing vocal dan chant-chant yang menambah suasana creepy album ini. Album ini adalah perkenalan saya dengan Septic Flesh, cukup menarik saya untuk mencari diskografi band asal Yunani ini. Saya kemudian mencoba dua album lain; “Communion”, yang sama mengagumkannya dengan “The Great Mass”, saya rekomendasikan jika anda menikmati album ini; dan “Sumerian Daemons”, yang entah mengapa tidak begitu memorable di telinga.
.
AMAZING IN BED AMAZING IN BED 2008 Dede Hate Mereka liar. Mereka binal. Mereka bisa saja menjadi sangat mengerikan. Mereka memberontak. Mereka memikirkan nasib para perempuan ibukota yang semakin terpinggirkan oleh para pria ibukota. Mereka mencintai Jakarta, memanggilnya lovely city. Mereka adalah para perusuh. Mereka memancing huru-hara, yang tadinya
adalah hura-hura. Mereka jatuh cinta pada seorang punk rock star. Mereka mengacakacak meja pesta, berdansa di atasnya, meliuk-liuk, menggelinjang. Mereka hedonis. Mereka adalah barisan yang berteriak ‘fuck love!’ dan mensubtitusi romantis dengan romansick. Yeah, they’re sick, but not sucks. Mereka memainkan garage indie punk rock yang berputar-putar seperti tidak ingin berhenti, dan mereka terlihat menikmatinya. Atau seperti sedang main game dan tidak bisa berhenti, mereka menikmatinya. Mereka luar biasa di tempat tidur.
.
UNIVERSAL PULSE 311 2011 Dede Hate Seperti halnya mencampur vodka, whisky, wine dan bir murahan, mencampur rock, funk, rap dan reggae mestinya akan sangat memabukkan, kalau tidak memuakkan. Meskipun popularitas mereka mulai menurun, musik mereka tetap enak, memabukkan dan masih sama dengan yang dulu-dulu, setidaknya bagi saya. Saya mulai menyukai 311 sejak “Don’t Thread on Me” pada 2005, sempat terputus karena tidak update dengan “Uplifter” pada 2009, saya kembali terpesona dengan Hextum dkk di “Universal Pulse” ini. Kita langsung dibuat siaga dengan intro ketukan satu dua dari drum, layaknya bom waktu yang siap meledak di lagu pembuka “Time Bomb”. Berlanjut ke “Wild Nights” yang bersemangat, liar, cocok juga diputar di malam hari? Berikutnya ada “Sunset in July”, single pertama dari album ini, yeah mari kita bergoyang santai dengan reggae yang membuai dengan distorsi di sana-sini. Hampir sama dengan pola riffage di “Sunset in July”, “Trouble” yang datang setelahnya juga membawa irama reggae meskipun kali ini lebih lambat dan dengan vokal yang pedih, penuh kesedihan. Saya jadi berpikir, mungkinkah lagu ini dibuat untuk saya? Soalnya di liriknya ada kalimat; “… trouble always follow me”, haha. Trek kelima, “Count Me in”, menjadi favorit saya. Yah, karena lagu ini, musik dan liriknya, menyuarakan semangat dan bahwa hidup ini untuk dinikmati saja, tidak usah dipikirkan, think less weed more, haha. Berikutnya ada “Rock on” yang paling banyak menggunakan vokal nge-rap di album ini. Setelah itu ada “Weightless”, favorit saya lainnya, lebih banyak dengan vokal bersih dan lead guitar yang asoi. Terakhir, “And A Ways to Go”, lagu paling lambat dan cukup sedih bagi saya. Saya sering menyimak lagu ini ketika tinggal send-
irian di kantor di malam hari sambil terus memikirkan ada banyak cara untuk pergi dari tempat terkutuk ini. Lagu ini, dengan segala kehebatannya, sedikit banyak agak mirip dengan “Whisky and Wine” di “Don’t Thread on Me”. Bedanya, meskipun awalnya pelan dan sedih, lagu ini ditutup dengan penuh semangat, plus lirik yang memotivasi untuk segera berangkat, ke manapun tujuan kita; “come on yeah it’ll be alright and we’re gonna take a ride / I don’t know if we’ll come back.”
.
LES VOYAGES DE L’ÂME ALCEST 2012 Dede Hate Ini adalah kejutan awal tahun yang bagus buat saya. Dirilis pada 6 Januari 2012, “Les Voyages de l’Âme” (The Journeys of the Soul) bisa saja menjadi soundtrack yang kelam bagi perjalanan jiwa saya sepanjang tahun ini. Sebenarnya cukup kaget juga waktu tahu Neige dkk merilis album studio lagi setelah “Écailles de Lune” yang terasa masih baru, tahun 2010 lalu. Karena menurut pengalaman saya, seperti halnya Tuczine yang keren ini, album-album terbaik dari band-band terbaik sangat jarang dirilis dalam rentang waktu yang lumayan singkat. Di album ini ada delapan lagu, yang masih seperti di album sebelumnya, meneruskan segala fantasi Neige tentang post-black shoegaze yang dingin, sepi, kelam tapi terus saja berhasil menarik kita untuk masuk lebih dalam dan mulai tenggelam. Karena tidak mengikuti Alcest dari awal, saya tidak bisa membuktikan pendapat yang mengatakan bahwa delapan lagu ini, dengan sound-nya masing-masing telah mewakili semua pencapaian Neige sebagai musisi, baik di Alcest maupun di proyek lain. Yang saya tahu setelah menyimak keseluruhan album, memang lagu-lagu ini, meskipun sepintas terdengar menggunakan pola yang sama (wall of sound yang dibangun dari petikan gitar yang lembut, distorsi ringan untuk membentuk riff, suara vokal lemah dan bisa menjadi teriakan tertahan ketika di bagian yang butuh penekanan, atau ketukan drum pelan yang bisa saja menjadi blast beat dll) mempunyai feel-nya sendiri-sendiri. Lagu yang paling sering saya replay adalah yang terakhir, ”Summer’s Glory”. Empat menit terakhir dari lagu itu, entah bagaimana caranya, telah membawa saya trance sambil berfantasi tentang masa depan saya yang kelihatannya akan suram.
.
REVIEW
MENUJU MEGA NUSANTARA KSATRIA NOESANTARA 2011 Dede Hate Sungguh hebat pengaruh teknologi hari ini bagi kreatifitas. Saya tidak kenal dengan orang di belakang moniker Ksatria Noesantara dari Lampung ini, tapi saya cukup yakin, mungkin beliau ini tidak bisa memainkan instrumen atau tidak punya teman yang sepaham untuk bikin sebuah band konvensional, tapi itu tidak lantas mematikan kreatifitasnya demi menunjukkan kecintaannya pada black metal dan budaya nusantara. Seperti yang saya baca di profilnya, Ksatria Noesantara ini adalah semacam one man band (kalau bisa disebut demikian) yang melalui kepiawaiannya mengutakatik tune-tune di software pengolah suara semacam Fruity Loops atau Nuendo lahirlah sebuah album elektronik dengan nuansa black metal. Jangan membayangkan black metal tradisional, karena “Menuju Mega Nusantara” ini sepertinya 100 % adalah hasil olahan komputer. Meski demikian, sound-sound yang mencirikan black metal masih bisa dirasakan seperti misalnya suara ‘gitar’ yang raw atau atmosfir gelap dan mencekam di sepanjang album. Kalau melihat judul lagu-lagu, sound dan artwork-nya, ini bisa dimasukkan dalam golongan NSBM. Tapi, jangan samakan dengan gerakan NSBM di Eropa yang terlalu ke kanan, mengarah ke rasisme, karena apa yang coba disampaikan Ksatria Noesantara adalah murni semangat nasionalisme dalam bentuk pelestarian alam, budaya, fantasi dan legenda nusantara. Dan, itu semua bukan cuma jargon kosong, karena di album ini kita bisa mendengar bunyi alat-alat musik tradisional seperti gamelan Jawa dan Bali, perkusi dari adat Lampung, serta string lagu daerah Sumatera Selatan yang berjudul “Ribu-ribu”, dan ditambah juga ada panduan Aksara Lampung di booklet-nya. “Menuju Mega Nusantara” ini berisi 14 lagu, diproduksi oleh Noesantara Raja Artworks dan didistribusikan via jaringan media maya secara gratis. Satu hal yang kurang menurut saya, semua lagu tidak ada liriknya, instrumental. Dengan tema positif yang dibawanya, itu menjadi nilai minus, karena kadang-kadang pendengar butuh lirik untuk bisa memahami maksud dari si musisi. Tapi apapun, ini adalah rilisan yang bagus, memperkaya khasanah dan nuansa ruang dengar kita, dan menjadi satu lagi bukti bahwa kreatifitas itu seperti air:
.
tidak bisa dikekang dan selalu menemukan jalannya. TALES OF WANDERINGS OLD SILVER KEY 2011 Dede Hate Sejak Alcest, saya semakin banyak mengikuti perkembangan post black metal berbalut shoegaze. Saya juga sudah menelusuri beberapa karya Neige lainnya di Amesoeurs, Lantlôs serta Peste Noire dan kemudian berkesimpulan cukuplah bagi saya Alcest. Saya kurang paham mengenai Old Silver Key ini, ada yang bilang Neige terlibat di sini, ada juga informasi yang menyebutkan cuma namanya saja yang dipinjam untuk melariskan “Tales of Wanderings” ini, dunno. Tujuh lagu di album ini memang tidak membawa sesuatu yang segar, hampir mirip dengan Amesours, atau beberapa lagu post rock, dan karenanya sedikit membosankan. Banyak yang ngeri masa depan post black metal akan seperti yang digambarkan di album ini. Bagi saya sih, tidak masalah, Old Silver Key ini lumayan, asal jangan keseringan bikin album. Terlalu banyak shoegazed black metal juga kurang baik bagi kuping, hehe.
.
THE HUNTER MASTODON 2011 Dede Hate Aksi modern progressive paling ditunggu, Mastodon, kembali lagi dengan album ke-limanya. Dengan fanbase yang makin meluas dan beragam sejak “Crack the Skye”, album ini menjadi most anticipated. Apalagi jika menyadari bahwa kuartet ini selalu konsisten dalam ketidak konsistenan mereka, kejutan apa lagi yang mereka sajikan kali ini? Saya kurang mengerti apakah “The Hunter” ini masih sebuah album konsep seperti halnya tiga album pertama. Saya pribadi merasakan ada sedikit ‘perbedaan’ dari album-album awal, tapi kemudian saya menyadari itu bukanlah perubahan fundamental dalam fondasi musik mereka, tidak lebih sebagai bagian dari eksperimen. Saya tidak mau ikut berpolemik mengenai
tuduhan ‘terlalu mainstream’ yang dilemparkan beberapa pendengar lama, haha. Tapi bagi saya, apa lagi sih yang perlu dibuktikan Mastodon? Bukankan itu sudah menjadi signature mereka: tidak bisa ditebak dari album ke album? Ok, “The Hunter” ini berisi 13 lagu dengan sound bervariasi dan penuh eksperimen tanpa meninggalkan karakter asli Mastodon. Mereka sendiri menyatakan bahwa album ini lebih seperti sebuah mixtape dari lagu-lagu Mastodon di empat album pertama. Menurut saya, sound dari album-album awal masih bisa kita dengarkan di “Black Tongue” di mana ketukan-ketukan khas Brann Dailor masih rancak, begitu juga di lagu “Thickening”. Nuansa yang agak sedikit baru mungkin ada di lagu “Stargasm” dan “Creature Lives”. Di album ini Mastodon juga telah menciptakan lagu mereka yang paling catchy, dari semua album yang telah mereka rilis, itu adalah lagu “Curl of the Burl” yang enak dan gampang diikuti. Masih ada juga lagu-lagu yang cepat seperti “Spectrelight” dan “Bedazzled Fingernails”. Ada juga trek semi instrumental “The Sparrow”, yang menurut saya masih kalah keren dari “Elephant Man”. Dari 13 lagu di album ini, yang menjadi favorit saya adalah semuanya, haha. Well, album ini masih sangat Mastodon, yang dengan segala kompleksitas sound dan inkonsistensi materinya, masih merupakan album progresif yang ringan, enak dan tidak bikin saya mengantuk. Saya tidak berharap lebih dari itu.
.
FEAR OF INFINITY WHILE HEAVEN WEPT 2011 Dede Hate Saya belum pernah mendengar band ini sebelumnya. Meskipun tidak termasuk dalam selera saya, tujuh lagu di album ini tetaplah enak, and yeah not bad at all. Kalau saya dengar, ini mungkin termasuk power metal. Yang bagus mengenai album ini adalah vokalnya tidak terlalu melengking. Selain itu permainan gitarnya juga lebih banyak ritem meraung-raung dan solo guitar-nya tidak terlalu panjang. Saya suka terutama pukulan drum-nya yang cepat, rapat dan bertalu-talu di dua lagu pertama “Hour of Reprisal” dan “Destroyer of Solace”. Sementara lima lagu lainnya, bermain dan berputar-putar dalam tempo sedang cenderung lambat, tapi tetap terasa manis dengan beberapa bagian akustik.
.
SPACE SHANTY KHAN 1972 Chresno Daroe Warsono Tulisan berikut ini secara teknis tidak bisa dianggap sebagai review album, hanya sekedar curahan hati berkaitan dengan album ini. Mungkin tidak banyak penggemar music rock, terutama generasi kini, yang mengenal band ini. Maklum band ini hanya muncul sesaat dan bikin satu album bagus kemudian bubar. Dan mungkin juga tidak banyak yang tahu kalau nama band ini terinspirasi dari seorang Indonesia. Ceritanya begini, tahun 1970, Steve Hillage sedang dalam perjalanan dari Australia mau mudik ke Inggris, saat itu pesawatnya harus transit di Bandara Kemayoran Jakarta (saat itu masih menjadi Bandara Internasional). Ketika dia sedang melamun di ruang tunggu bandara, tiba-tiba seseorang (yang ternyata seorang wartawan dan penggemar Steve Hillage) menyapa dengan nada suara macam orang terkejut; “Hey, ini Steve Hillage khan? betul khan?”. Si Steve pun bengong dan segera si wartawan menyadari kesalahan berbahasanya (maklum kaget, karena tidak menyangka akan ketemu orang yang diidolakannya) dan men-switch bahasanya ke English. Akhirnya mereka berdua larut dalam perbincangan seru. Namun sayang, tulisan si wartawan tentang pertemuan dengan Steve Hillage itu tidak pernah dimuat di majalah tempat dia bekerja, karena menurut sang redaktur sosok Steve Hillage tidak populer di mata masyarakat Indonesia saat itu. Kembali ke Steve Hillage, sesampainya di Inggris dia ketemu sama temantemannya: Nick Greenwood (bass & gitar), Dick Henningham (organ, yang kemudian diganti Dave Stewart) dan Pip Pyle (perkusi, yang kemudian diganti Eric Peachey), dan mereka sepakat bikin band. Konsep musik sudah terbentuk, beberapa komposisi juga sudah tercipta hanya tinggal nama band yang belum ada. Si Steve yang ingat pertemuan dengan wartawan di Kemayoran itu mengusulkan nama ‘Khan’. Sampai saat itu Steve merasa bahwa imbuhan ‘khan’ yang diucapkan wartawan itu artinya sama dengan ‘san’ dalam bahasa Jepang. Nick Greenwood pun bertanya; “Apa artinya brur?”, “Gak tahu ya, tapi feeling gua ada nuansa kehormatan atau keagungan di kata itu man,” jawab Steve. Merekapun akhirnya setuju dengan nama itu. Hallo!! serius amat boss, I’m just kidding hehehe. Aslinya akupun tidak tahu sejarah nama band ini, itu
tadi cuma ngelantur tidak karuan, maklum otakku agak goyang sedikit pagi ini. “Space Shanty” ini adalah salah satu album yang butuh penantian dua dekade bagiku untuk memilikinya. Lebih dari 20 tahun yang lalu aku pernah menyimak album ini dari kaset milik teman, produksi Monalisa atau Apple, lupa. Yang pasti saat itu aku sangat terkesan dengan musiknya yang indah membuai kalbu. Setelah itu, setiap ada kesempatan aku coba cari kaset atau cd-nya di berbagai tempat, tapi hasilnya nihil. Kalaupun ada di internet, harganya sangat tidak bersahabat. Sampai akhirnya beberapa bulan lalu ada seorang anggota milis m-claro yang menjual cd album ini dalam kondisi baru dan harganya juga sangat membumi. Langsung aku kontak beliau, alhamdulillah barang masih free, langsung deal dan aku segera ke bank buat transfer. Dua hari kemudian, cd Khan “Space Shanty” dalam kondisi masih tersegel rapi sudah ada di tanganku, sungguh penantian yang cukup lama. “Space Shanty” ini musiknya sangat nuansatik tahun 70-an, apalagi jika kita simak dalam ruangan remang cenderung gelap dengan mata terpejam, maka alunan gitar Steve dan organ Dave yang sangat indah akan menghempaskan memori Anda ke ruang-ruang ingatan tahun 70-an. Tidak mustahil di depan Anda akan terbentuk image sebuat tv hitam putih sedang menayangkan gambar Pak Harto yang masih kelihatan muda dan segar bugar sedang meresmikan proyek ini itu atau gambar Ateng dan Ishak sedang kejar-kejaran kocak. Atau silakan Anda pilih image 70-an sesuai selera, pasti cocok dengan suara musik Khan yang sedang terdengar, dijamin! Nah, betul kan yang aku tulis di awal, tulisan ini sama sekali bukan review yang memadai untuk album ini, jadi mohon maaf bagi Anda yang sudah kadung membacanya dan tidak memperoleh review yang diharapkan.
.
DECODE EXILIA 2012 Dede Hate Saya masih ingat, beberapa tahun lalu Uchi pernah mencoba mengenalkan saya pada band Italia ini. Sayangnya waktu itu saya belum sempat menyimak musiknya. Ok, secara sederhana saya menggambarkan album ini termasuk nu metal, atau alternative metal. Dan dengan vokalis wanita, entah kenapa saya mencoba membandingkan mereka dengan kompatriot
mereka, Lacuna Coil. Pada beberapa titik, bisa didengar kesamaan antara keduanya, meskipun memang ada bagian yang khas mencirikan masing-masing. Album ini sendiri cukup cadas dengan variasi vokal melodic clean dan scream, riff-riff bertenaga, groovy parts dan efek-efek elektronik yang menegaskan rasa nu metal-nya. Sayangnya, semua lagu sepertinya berbunyi sama, tidak ada yang spesial. Satu-satunya lagu yang beda adalah trek penutup, “In My Veins” yang terasa syahdu dengan iringan piano, tanpa instrumen lain, dan mengingatkan saya pada lagu-lagu Evanescence.
.
THE GREAT FIRE BLEEDING THROUGH 2012 Dede Hate Beberapa tahun lalu, Bleeding Through termasuk dalam jajaran band yang saya sukai di barisan depan metalcore, bersama dengan Unearth, Killswitch Engage atau Walls of Jericho. “This is Love, This is Murderous” waktu itu adalah album metalcore yang berisi, cadas sekaligus nyaman dengan banyak breakdown, dan dengan elemen keyboard menjadikannya khas dibanding album sejamannya. Sekitar dua tahun belakangan saya mengalami kebosanan dengan metalcore, dan tidak begitu mengikuti lagi perkembangannya, termasuk juga dengan album-album Bleeding Through setelah “This is Love, This is Murderous”. Nah, betapa kagetnya saya ketika pertama mendengar album terbaru mereka ini. Saya hampir tidak mengenali mereka kalau saja bukan karena tipe vokal Brandan yang tipikal. Ternyata banyak hal yang berubah, atau berkembang di album-album antara “This is Love, This is Murderous” dan yang ini. Selain vokal Brandan tadi, bagian lain terasa baru: komposisi, struktur dan tempo lagu. Kali ini hampir tanpa breakdown, cepat, terutama pukulan drum-nya. Pengaruh melodic death metal sangat terasa, dan terutama nuansa mencekam dari bunyi keyboard Marta yang sangat dominan, mengingatkan pada lagu-lagu Cradle of Filth. Tapi, mereka tidak serta merta meninggalkan root hardcore, karena masih ada gang shoutings yang justru terdengar ganjil, dan tidak pada tempatnya. Anyhow, ini adalah album yang cadas, tidak buruk, tapi juga tidak istimewa. Ah, tiba-tiba saya kangen ingin mendengarkan “This is Love, This is Murderous”.
.
REVIEW
PHANTOM ANTICHRIST KREATOR 2012 Anak Agung Ngurah Goya Yamadagni Terakhir kali saya mendengarkan Kreator yaitu saat album “Coma of Soul” (1990), jadi hampir 22 tahun saya tidak mengikuti albumalbum mereka. Sampai akhirnya saya lihat album ini, album terbaru mereka yang rilis awal Juni tahun ini. Tergelitik juga untuk tahu bagaimana album terbaru ini, jadi untuk review kali ini mungkin saya akan banyak membandingkan dengan album-album Kreator era “Extreme Agression” dan “Coma of Soul”. Titel albumnya cukup kontroversial buat saya, “Phantom Antichrist”, entah apa artinya saya juga tidak tahu. Formasi Kreator di album ini masih diperkuat Millie Petrozza dan Ventor Reil yang merupakan personil asli Kreator yang tersisa. Sedangkan gitaris kedua diisi Yli Sirnio dan sektor bass diisi Speesy Giesler. Oke, mari kita kupas album “Phantom Antichrist” ini satu persatu. Diawali dengan trek instrumental “Mars Mantra”. Sesuai judulnya, ini semacam mars pengantar menuju trek ke-2. Kalau saya dengarkan sih trek ini seperti intro dari trek ke-2 yang dipenggal dan dijadikan trek tersendiri. Masuk ke trek ke-2, “Phantom Antichrist”, trek yang dijadikan titte album. Di trek ini Kreator masih menggunakan formula lama mereka dengan rasa thrash metal yang begitu kental. Trek ini menurut saya datar-datar saja. Aransemennya lempeng saja dengen pengulangan bar yang begitu-begitu saja, little bit boring. Lanjut ke trek ke-3, “Death to the World”, ada warna segar di aransemennya, tidak sekencang trek ke-2 tapi perubahan dinamikanya asyik. Duet gitar Millie Petrozza dan Yli Sirnio di trek ini cukup enak. Serasa mendengarkan Megadeth era Marty Friedman. Trek ke-4, “From Flood Into Fire”, dibuka dengan intro lead guitar yang mengingatkan saya pada lagunya Guns ‘n Roses, “Sweet Child O’ Mine”. Trek dengan tempo sedang ini diselingi koor ala Manowar. Yup, lagu ini sedikit beraroma Manowar. Perubahan tempo di lagu ini juga cukup enak. Kreator terdengar jauh lebih dewasa di lagu ini. Lanjut lagi ke trek ke-5, “Civilisation Collapse”, diawali dengan tabuhan drum Ventor Reil. Intro tabuhan drum-nya mirip dengan trek “Indian”-nya Anthrax. Trek ini agak datar, hampir sama dengan trek pertama, boring. Lanjut ah, trek ke-6, “United Hate”, petikan guitar accoustic mengawali trek ini dengan cukup syahdu,
kemudian langsung dibuyarkan dengan riff gitar yang menghentak. Tidak tahu kenapa ada part-part di lagu ini yang membuat saya serasa mendengarkan Millie Petrozza bernyanyi diiringi sama personil-personil Megadeth, hehe. Lanjut, trek ke-7 dan ke-8, “The Few, the Proud, the Broken” dan “Your Heaven My Hell”. Kenapa langsung dua trek? Yup, karena dua lagu ini mengentalkan apa yang saya rasakan di trek ke-6. Aransemen ala Megadeth begitu kental, riff-riff guitar ala Dave Mustaine begitu kental di trek-trek ini. Sebenernya menurut saya hal ini malah membuat warna baru untuk musik Kreator. Jadi cukup segar dan tidak membosankan untuk didengar. Lanjut ke trek ke-9, “Victory Will Come”, nah di trek ini Kreator balik lagi ke formula aransemen lama mereka, boring lagi. Lanjut aja ke trek terakhir, trek ke-10, “Until Our Paths Cross Again”, mungkin ini trek yang paling indah di album ini. Perpindahan tempo dari lambat, sedang ke tempo cepat dan balik lagi ke tempo sedang disajikan dengan indah. Secara keseluruhan album ini cukup asyik untuk didengarkan. Mungkin juga album ini akan mengukuhkan kembali Kreator sebagai band thrash metal papan atas dunia, dan sebagai band thrash metal nomor satu di Jerman, who knows.
.
SEPARATE REALITIES TRIOSCAPES 2012 Anak Agung Ngurah Goya Yamadagni Ini adalah album dari band proyek Dan Briggs, bassist-nya Between the Buried and Me, didukung Matt Lynch (drum) dan Walter Fancourt (saxophone). Konsep band ini menurut saya cukup unik, cuma melibatkan drum, bass dan saxophone. Album yang berisi enam trek instrumental ini cukup asyik untuk didengarkan karena mencampurkan jazz dan metal, bisalah disebut progressive metal jazz, hehe. Rasa metalnya lebih terasa dari beat-beat drum yang dimainkan oleh Matt Lynch. Permainan Dan Briggs sendiri lebih cenderung nge-jazz. Permainannya di trek “Balst Off” sedikit mengingatkan saya pada permainan mendiang Cliff Burton (Metallica) di trek “Anesthesia” (“Pulling Teeth”). Sedangkan Walter Fancourt lebih banyak mengisi bagian lead, mungkin saxophone di sini difungsikan untuk menggantikan posisi gitar pada format band normal. Secara keseluruhan album ini layak untuk dimiliki, minimal untuk menambah referensi genre musik baru.
.
MURDERED LOVE P.O.D. 2012 Dede Hate Album studio ke-8 orang-orang dari suburban San Diego ini bagi saya adalah album ‘back to basic’. Ini adalah P.O.D. yang dulu saya kenal lewat “The Fundamental Elements of Southtown” (1999) dan tentu saja, “Satellite” (2001). Salah satu grup yang ikut dalam gelombang nu metal dalam kurun akhir 1990-an sampai awal 2000-an. Sayangnya, waktu itu mereka sedikit tenggelam oleh Linkin Park, padahal unsur-unsur unik dalam musik mereka jauh lebih kaya. Saya tidak mengikuti mereka di “When Angels & Serpents Dance” (2008), tapi kata orang-orang pintar, album itu, dan dua album sebelumnya, seperti menunjukkan P.O.D. yang kehilangan gairah. Di album ini, dengan formasi lengkap dari masa-masa awal mereka, apa yang saya dengar adalah musik dari jaman dulu itu, ketika mereka masih muda dan bergairah. Ada beberapa lagu yang perlu saya sebut, di trek pertama, “Eyez”, saya seperti mengenali satu suara di sana, dan benar saja, itu adalah teriakan Jamey Jasta, seorang kawan lama. Bersama trek kedua, “Murdered Love”, “Eyez” menjadi dua trek pembuka yang heavy, mengingatkan saya pada “Southtown” yang asyik untuk bodybang itu. Trek ke-5, “West Coast Rock Steady” adalah cita rasa terkini dari “Rock the Party (Off the Hook)” yang berisi funk, rap dan sedikit disko. Ada juga balada lembut yang manis dan sedikit sedih (oh perasaan sentimentil saya selalu datang jika mendengar yang seperti ini) dalam trek ke-6, “Beautiful”. Sementara trek ke-10, “Panic & Run” adalah reggae yang dinamis, sedikit mengingatkan akan asal muasal mereka. Lagu penutup, “I Am”, kembali keras, seperti di dua lagu pembuka, dan dengan demikian menunjukkan salah satu ciri khas P.O.D. Memang, tidak ada lagu hit seperti yang banyak kita temukan di “Satellite”, tapi “Murdered Love” adalah salah satu karya Sonny dkk yang paling jujur, mengangkat kembali hal-hal yang pernah mereka mulai. Perpaduan rap, reggae, metal, punk dan funk masih tetap enak untuk saat ini, dan mereka sekali lagi menawarkannya dengan apik. Kenyataannya, mereka tidak terlalu jauh melenceng dari akar mereka, tidak seperti misalnya Linkin Park yang sungguh berbeda dari yang dulu.
.
KHAOS LEGIONS ARCH ENEMY 2011 Olap Lindei Damanik Arch Enemy dalam dua belas tahun terakhir identik dengan suara dan gaya dari Angela Gossow yang ternyata adalah mantan wartawan amatir merangkap vokalis dari band death metal di Jerman. Ya, Arch Enemy adalah band melodic death metal dengan konsep dan komposisi musik yang besar dan kompleks. Metal yang indah untuk dirasakan. Dan ini adalah album terbaru mereka. “Khaos Legion” berisikan materi baru setelah terakhir kali album “Rise of the Tyrant” (2007) diluncurkan, meskipun dalam rentang waktu tersebut Arch Enemy juga membuat album “The Root of All Evil” (2009). Album “The Root of All Evil” sendiri berisikan materi lama yang dirilis sebagai bentuk bantahan atas banyaknya protes fans dengan membandingkan Arch Enemy pra dan pasca Angela Gossow (maaf kalau salah), sehingga album ini dinantikan oleh banyak fans di seluruh dunia. Seperti biasa, buat saya Angela Gossow adalah poin penting, di mana suara yang keluar dari kerongkongannya selalu menakutkan dan tentu saja luar biasa. Sejak pertama kali mendengar lagu “Nemesis” di album “Doomsday Machine” beberapa tahun lalu, saya selalu merasa bahwa dunia metal harus bersyukur memiliki wanita ini, sebab dia menunjukkan bahwa vokalis wanita juga bisa memiliki vokal yang memenuhi ekspektasi para metalheads, khususnya melodic death metal, dengan growl khas ala Angela. Dia juga membuktikan bahwa dia tak harus mengumbar keseksian dan kecantikan untuk menjadi vokalis yang berpengaruh. Ya, sebab Angela Gossow sama sekali tidak seksi apalagi cantik di mata saya, hahaha. Tapi tentunya Michael Ammott masih menjadi motor terbesar dengan musikalitasnya yang luar biasa. Meskipun di album ini sulit menemukan hal baru dari seorang Michael Ammott. Lebih dari separuh album ini tidak jauh-jauh dari album sebelumnya. Bahkan sepertinya dia bermain seadanya atau mungkin saja dia telah mulai kehilangan hasrat, gairah dan nafsu, haha. Tidak buruk sebenarnya, tapi dengan kualitasnya seharusnya dia bisa membuat perbedaan yang lebih baik. Setelah empat tahun loh, empat tahun!! Tapi okelah, saya melihat dari sudut pandang saya sendiri, seorang penikmat musik death metal yang sederhana.
Saya hanya menginginkan musik yang bisa menghentak darah saya tanpa harus saya sadari. Dan pastinya itu bisa dipastikan dapat ditemukan di album ini, layaknya album death metal yang lain. Terutama di trek ke-3, “Bloodstained Cross”, saya menikmati betul sebuah lagu melodic death metal yang meskipun terasa ‘lembut’ tapi sungguh saya sukai, mengingatkan saya akan lagu mereka “We Will Rise”. Jadi, jika Anda berharap menemukan sesuatu yang fenomenal di album ini, rasanya Anda harus siap-siap kecewa. Namun jika Anda hanya ingin menikmati sebuah album metal, setidaknya album ini menjadi salah satu album yang bisa Anda dengarkan atau untuk menambah koleksi. Karena bagaimanapun, ini Arch Enemy!
.
DAYS GO BY THE OFFSPRING 2012 Dede Hate Saya tidak begitu mengikuti The Offspring setelah “Splinter” (2003). “Rise and Fall, Rage and Grace” (2008) hanya berlalu sebentar di playlist saya. Sejak “Conspiracy of One”, The Offspring memang tidak pernah menghentak kembali. Meski penjualan album mereka cukup baik, tidak ada yang benar-benar mendapat perhatian berlebih. Tidak seperti Green Day yang sempat membuat geger kembali dengan “American Idiot”. Banyak yang bilang “Days Go By” ini masih kelanjutan dari “Rise and Fall, Rage and Grace”, yang menunjukkan sedikit perubahan musik mereka ke arah radio friendly rock. Meski memang lagu-lagu seperti “The Future Is Now”, “Days Go By”, “Turning Into You”, dan “I Wanna Secret Family (With You)” terdengar agak seperti Foo Fighters, atau “Cruising California (Bumpin’ In My Trunk)” dan “OC Guns” yang terlalu dipaksa mengikuti formula “Pretty Fly (For A White Guy)”, masih ada “Secrets from the Underground”, “Hurting as One”, “Dividing By Zero” dan “Slim Pickens Does the Right Thing and Rides the Bomb to Hell” yang cepat, menunjukkan ciri khas alami The Offspring. Ditambah lagi dengan remake “Dirty Magic” yang epik itu. Lepas dari itu semua, saya justru paling suka dengan lagu yang paling pelan, “All I Have Left Is You”. Musik dan liriknya sangat telak menghunjam sisi sentimentil saya. Entah kenapa, terasa sangat pas dengan keadaan saya saat ini: semua orang meninggalkan saya, yang saya punya tinggallah diri saya sendiri, haha.
.
DARKNESS IN THE LIGHT UNEARTH 2011 Dede Hate Ini akan menjadi sangat subyektif, karena sejak dulu saya telah memprolamirkan diri: saya adalah FBU, fan berat Unearth, hehe. Sehingga apapun yang mereka tawarkan, akan selalu saya suka. Kenyataannya, kalau di album-album band-band sejenis dan sejaman, sebutlah “The End of Heartache” (Killswitch Engage), “This Darkened Heart” (All That Remains) atau bahkan “Frail Words Collapse” (As I Lay Dying), saya kadang masih menemukan kekurangan, maka di album-album Unearth, setidaknya sampai dengan “III: In the Eyes of Fire” (2006), saya merasakan kesempurnaan. Album-album Unearth berhasil memenuhi ekspektasi tertinggi saya tentang sound metalcore. Lagu-lagu seperti “The Great Dividers” dan “Black Hearts Now Reign” adalah definisi genre ini. Karenanya, menurut saya, Unearth tidak ada celanya. Saya sempat jeda dengan “The March” (2008), karena merasakan di situ mereka sedikit menurunkan tempo. Satusatunya lagu di situ yang sempat bertahan cukup lama di daftar saya hanyalah “We Are Not Anonymous”. Nah, karena itu, saya sempat agak takut menyimak album terbaru mereka ini, takut kecewa. Iya, “Darkness in the Light” sepertinya masih kelanjutan dari “The March”, dengan porsi yang bertambah banyak bagi dua gitaris petakilan, Ken dan Buz untuk menampilkan solo-solo panjang. Struktur dan tempo yang mereka bangun tetap heavy dan cepat, meski di beberapa lagu ada bagian yang terlalu melodius dengan backing vocal bersih. Bagian yang paling rentan dari formasi Unearth, drum (kali ini diisi Justin Foley dari Killswitch Engage), tetap gahar dengan permainan yang cepat. Begitu juga dengan vokal Trevor yang masih prima dan mengintimidasi. Sebelas lagu yang ada di album ini masih cukup untuk menunjukkan kekuatan utama Unearth. Cepat, cadas, kadang lambat untuk menyesuaikan tempo atau memulai breakdown dan tetap powerfull di semua sisi. Yang kurang dari “Darkness In the Light” ini, tidak seperti “The Oncoming Storm” dan dua album sebelumnya, hanyalah part-part breakdown yang semakin minim. Sialnya, justru bagian ini yang paling saya senangi.
.
REVIEW
UTILITARIAN NAPALM DEATH 2012 Dede Hate Semua bisa berargumen, album ini bisa ditebak arahnya ke mana, atau akan seperti apa. Napalm Death sudah sangat identik dengan permainan ini. Di tengah banyaknya anak-anak muda yang mencoba mengikuti dan mengembangkan gaya mereka, Napalm Death belum bisa digeser. Tidak seperti band seumuran, Terrorizer, yang tinggal menyisakan nama besar di balik musik mereka yang selalu begitu, haha. Masalahnya, Anda tidak akan bisa menebak isi rilisan Napalm Death sebelum menyimaknya. Selalu ada kejutan kecil di sana. Coba simak trek “Everyday Pox” yang menyelipkan permainan saks yang kesurupan dari John Zorn. Lagu itu sendiri kemudian menjadi sangat nyaman dengan bridge yang familiar beberapa tahun terakhir. “The Wolf I Feed” juga menawarkan sesuatu yang lain, dengan ritme yang cepat, semi-clean vocal dan chant yang menggema, membuat saya berpikir mereka sedang berkolaborasi dengan Killing Joke. Hal itu juga saya rasakan di “Blank Look, About Face” dan “Leper Colony”, kali ini malah lebih kentara dari sebelumnya. Mereka bahkan memasukkan sedikit breakdown di “A Gag Reflex”. Lagu-lagu yang masih menampilkan grind yang cepat dan nyaman, dan seperti saya sebut tadi, sangat familiar adalah “Errors in the Signals”, “Protection Racket” dan “Collision Course”. Album ini menunjukkan bahwa Napalm Death masih ada, cepat dan tidak cuma mengandalkan nama besar mereka. Dan, sejujurnya, ini adalah album mereka yang paling saya nikmati.
.
TORTURE CANNIBAL CORPSE 2012 Dede Hate Banyak yang menyebut Cannibal Corpse membosankan. Musik mereka repetitif. Menurut saya, seharusnya brutal death metal memang seperti itu, repetitif. Saya justru menemukan asyiknya genre ini di situ. Biarlah ‘bagian-bagian yang tidak bisa ditebak’ menjadi urusan mereka yang memain-
kan technical death metal. Seperti yang sudah diduga, trek pembuka, “Demented Aggression” langsung menghunjam cepat, brutal dan kepala George yang terus berayun tiada henti. “Sacrophagic Frenzy” masih brutal, tapi sedikit lambat dengan riff yang tetap gahar. Nah, “Scourge Of Iron” adalah favorit saya. Lambat dan berat dengan riffage stagnan tapi nyaman. Ini mungkin bagian breakdown menurut mereka, dan tentu saja akan menjadi satu lagi anthem yang cocok bagi para pecinta moshpit. Selain itu, 12 lagu lain (tiga di antaranya adalah live bonus track), masih sama dengan yang sudah-sudah. Yah tahu sendirilah seperti apa Cannibal Corpse. Selalu cepat dan brutal dari awal sampai akhir, kecuali seperti yang disebutkan di atas. Satu hal lain, kali ini mereka kembali menggunakan cover album yang menggugah selera makan, setelah terakhir di “The Wretched Spawn”. Dua album sebelum ini terlalu halus untuk standar seni mereka yang tinggi. Terakhir, album ini bisa menjadi pemanasan yang bagus sebelum melihat aksi mereka di Jakarta tahun ini.
.
END TIME BRUTAL TRUTH 2011 Dede Hate Brutal Truth menikmati kebangkitan mereka sejak 2006 dan terus produktif. “End Time” mencoba mengikuti “Evolution Through Revolution” (2009) yang keren, mungkin berhasil menyamai, atau melampaui, tapi saya melihatnya masih di belakang album ke-5 mereka itu. Musically masih sama, ketukan drum Rick Hoak yang terus membebani pikiran, riffage dari permainan gitar Burke yang hampir stagnan, bass Lilker yang tenggelam, dan vokal Kevin Sharp yang menghantui, serta musik grindcore yang mencerminkan perasaan teraduk-aduk dan masa depan suram. Saya tidak menemukan satu lagu yang bisa saya anggap memorable, kecuali mungkin “Malice” sebagai trek pembuka, atau “Trash” yang berdurasi hanya 5 detik, atau justru trek penutup “Control Room” yang sangat panjang, lebih dari 15 menit, dengan kebisingan, hanya kebisingan sepanjang lagu. Well, dengan 23 lagu, seharusnya ini cukup untuk dikenang, tapi “End Time” belum menggeser “Evolution Through Revolution” dari memori saya untuk album terbaik Brutal Truth setelah “Extreme Conditions Demand Extreme Responses” dan “Sounds of the Animal Kingdom”.
.
HORDES OF ZOMBIES TERRORIZER 2012 Dede Hate Pete Sandoval dan Terrorizer kehilangan sentuhannya. Mungkin karena terlalu lama vakum, dan jarak antar album yang terlalu jauh sehingga mereka jadi seperti itu. Kurang adil memang jika membandingkan dengan Napalm Death yang tetap produktif di usia tua mereka, dan terus menelurkan musik yang keren dari waktu ke waktu. Apalagi, jika Anda mempunya satu ‘album of the genre’ di masa lalu, dan kemudian terbebani untuk melewati itu dalam: “World Downfall” (1989) yang sampai hari ini masih dianggap salah satu epik sepanjang sejarah musik grindcore, bahkan mungkin dengan status yang sama dengan “Scum”. Well, dibanding “Darker Days Ahead”, album ini masih tetap cadas, heavy as hell, cepat dan menderu sebagaimana sound death/grind seharusnya. Cuma, jatuhnya terlalu datar, rata, repetitif dan membosankan. Tidak ada kejutan, hook atau bagian yang bisa dikenang. Masalah yang saya lihat adalah bukan karena mereka semakin tua dan lemah, tapi, sepertinya mulai bosan.
.
MMXII KILLING JOKE 2012 Dede Hate Saya mulai suka Killing Joke sejak “Absolute Dissent” dua tahun lalu. Album itu menjadi salah satu favorit saya tahun itu, dan dengan sendirinya membuka wawasan saya tentang post-punk dan semua yang dibawa Killiing Joke bersama mereka. Band tua ini bisa menyitir saya untuk menikmati musik mereka. Bunyi industrial dan futuristik yang menggema hampir sepanjang album tidak terasa menganggu karena dituntun oleh pola ritmis yang teratur, nyaman dan melenakan. Nuansa masa depan yang gloomy, ditunjang artwork yang post-apocalyptic masih menunjukkan inovasi Killing Joke yang terus berlanjut, sejak mereka ‘mengenalkan’ jenis ini puluhan tahun lalu.
.
GEMURUH MUSIK PERTIWI KOMUNAL 2012 I Putu Ryan Dessaptasoma Mereka yang mengharap Komunal kembali dengan sound ala “Hitam Semesta” mungkin akan kecewa dengan album ini, karena “Gemuruh Musik Pertiwi” terasa kurang heavy dibanding “Hitam Semesta”, meskipun tidak dipungkiri tetap kental dengan attitude rock. Sebagai nilai plus, “Gemuruh Musik Pertiwi” kini lebih banyak menyuguhkan solo guitar. Sound album ini cukup unik dan ‘jujur’, karena sebagian besar direkam secara live. Yang konon menurut mereka adalah sound yang dirasakan paling pas dengan musik yang mereka usung selama ini. Meski dengan sound yang agak berbeda, Komunal di sini tetap Komunal dengan lagulagu anthem rock. Satu lagi di sini: “Rock Petir”, mungkin dapat jadi definisi baru tentang musik Komunal. Menurut Komunal, album ini mereka dedikasikan sebagai tribute to Godbless (bahkan ada satu lagu yang meminjam sebaris lirik lagu Godbless) namun sayang saya tidak terlalu kenal lagu-lagu Godbless untuk mendengar influence mereka di album ini. Satu-satunya kekecewaan saya adalah durasi album yang terasa singkat. Namun, jumlah trek yang sedikit dapat dikatakan diimbangi dengan momen yang terjaga di setiap lagu, sehingga membuat saya ketagihan untuk mendengar album ini lagi dan lagi.
.
MOTHOLOGY SURI 2012 I Putu Ryan Dessaptasoma Anda pernah menyimak lagu “Marijunaut” dari Seringai? Lagu yang terasa eksperimental di kumpulan trek menghentak kencang dalam album “Serigala Militia” tersebut sesungguhnya menyajikan sisi psychedelic stoner rock, satu hal yang masih jarang saya dengar dari band lokal. Distorsi, namun merayap pelan. Hingga akhirnya saya mendengar Suri, band lokal yang seakan mengobati dahaga pecinta stoner/psychedelic yang
mungkin belum berhenti berharap akan kemunculan band lokal yang mengusung genre ini. “Mothology” adalah rilisan album pertama, meski Suri telah lebih dahulu merilis beberapa ep. Kebanyakan trek dari “Mothology” memiliki lirik berbahasa Inggris dan liriknya juga tidak tersedia dalam booklet album, sehingga telinga saya yang pas-pasan tidak dapat menangkap kata-kata yang dilantunkan secara keseluruhan. Bisa jadi nilai minus karena terkadang lirik penting bagi kita untuk memahami apa yang ingin disampaikan band dalam lagunya. Namun saya kemudian menyadari kekuatan musik Suri terletak pada riff-nya, dan saya meyakini duet gitar dan bass Suri mengandung ‘candu’ telinga: santai dan cenderung repetitif, tapi musik ini seakan melekat di kepala untuk seterusnya. Sungguh, di masa mendatang Indonesia membutuhkan lebih banyak talenta dengan musik yang seperti ini.
.
TARING SERINGAI 2012 I Putu Ryan Dessaptasoma Kembali menghajar Indonesia dengan album kedua, hanya kali ini saya sudah siap dan tidak melewatkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Dan saya beruntung dapat memiliki deluxe edition yang dicetak terbatas (sold out dalam 2 hari) dengan package khusus berisi cerpen fiksi tentang Indonesia pasca perang dunia ketiga (oleh Soleh Solihun), bonus stiker dan poster. Mengenai albumnya sendiri Seringai banyak mengangkat tema yang ‘tipikal’ Seringai: “Dilarang di Bandung” (tentang imbas tragedi konser Beside beberapa tahun silam), “Taring”, “Tragedi” (trek pertama yang familiar di telinga, sebab telah dirilis sebagai downloadable single beberapa bulan sebelum album ini dirilis), “Serenada Membekukan Api” (mungkin memiliki riff gitar yang paling mengagumkan dari seluruh album), “Program Party Seringai” (lagu seruan untuk body mosh hingga berdarahdarah dengan intro yang dijamin membuat pendengar tersenyum simpul, saya berharap Seringai nantinya menyimpan catatan statistik jumlah fans Seringai yang bakal berdarah-darah ketika lagu ini mereka bawakan), serta “Lagu Lama”. Perlu pula disimak pada lagu “Fett, Sang Pemburu” Seringai mengangkat tema yang tergolong unik: karakter antagonis dari film Star Wars, Boba Fett. Ehm, karakter yang dalam ingatan saya memiliki kostum
keren namun mati konyol setelah jetpacknya malfungsi dan melemparnya ke mulut monster gurun bernama Sarlacc. Tema seperti ini mengingatkan saya akan Anthrax yang menulis lagu dengan inspirasi tokoh komik Judge Dredd di lagu “I Am the Law”. Ada dua cover song di album ini: “Discotheque” dari Duo Kribo, dan “Lissoi” lagu tradisional berbahasa Batak. Sayang pengetahuan saya tentang Duo Kribo hanya terbatas pada lagu “Neraka Jahanam” sehingga ini jadi kali pertama saya mendengar lagu ini. Begitu juga dengan “Lissoi”, di mana di sini dibawakan dengan bernyanyi keroyokan penuh riang gembira dan diiringi gitar akustik. Fun. Belum punya album ini? Jangan sampai menyesal seperti saya yang 5 tahun silam melewatkan kala “Serigala Militia” begitu saja. Buy this.
.
THE ORIGIN OF NON-ENTITY MARCHÉ LA VOID 2012 Dede Hate Wow, pengalaman post-rock pertama saya tidak main-main: sebuah album baru, debut, dari aksi post-rock lokal yang keren, Marché La Void dari Jakarta. Judul albumnya “The Origin Of Non-Entity”, dirilis Maret lalu, dan bisa diunduh gratis di web mereka. Dan seperti yang sudah-sudah: tidak seberat yang saya takutkan. Malah, enam lagu dalam album ini mampu memaksa saya ikut ke dalam pusaran baru musik pelan, minimalis sekaligus kaya dan berkelas. Minusnya vokal menjadi kenikmatan tersendiri, mendengarkan semua instrumen itu bicara sendiri tanpa ‘gangguan’ membuat semua mendapat tempat untuk berekspresi dalam kapasitas maksimal. Fakta bahwa ini hanya album dalam format digital sama sekali tidak mengurangi kejernihan sound yang keluar, karena mereka memang merilisnya dengan kualitas audio terbaik. Satu fakta bahwa album ini, meski gratisan, tidak dikerjakan dengan main-main. Beragam perasaan dan emosi bisa keluar saat menyimak album ini, tergantung yang mendengar akan menangkapnya seperti apa: sedih, sendu, hampa, revelasi atau apa. Karena tanpa lirik, saya bisa berimajinasi luas sekali tentang apa yang dimaksud. Lagu terakhir, “Serenity” menutup rangkaian perjalanan hening (saya) dalam album ini dengan hook yang sangat tepat: potongan sound yang menampilkan irama “Hening Cipta”. Mengheningkan cipta, dimulai…
.
REVIEW
HARDCORE ITU MEMBOSANKAN! oleh Dede Hate
Seorang teman pernah mengatakan kepada saya bahwa musik hardcore itu membosankan. Sound-nya begitu-begitu saja: tanpa intro, hampir tanpa bridge, berteriak, lalu selesai. Pun begitu dengan liriknya yang selalu begitu dari dulu: unity, brotherhood, scene and struggle. Haha, saya cuma bisa ketawa. Ya, musik hardcore memang membosankan karena kesimpelan dan kesederhanaannya, but that what makes me deeply fall in love with this genre in the first place. Dan beruntunglah saya sebagai penikmat hardcore, karena sepanjang tahun 2011 lalu sampai awal tahun ini, beberapa nama di skena lokal merilis album baru. Dan inilah beberapa yang sempat saya dapatkan. Break it down!
PASSION IS THE REASON STRAIGHT ANSWER 2011 Lima belas tahun beredar, Straight Answer belum juga lelah, masih ada, masih berbahaya dan semangat mereka belum berhenti. Dan inilah bukti terbaru dari semangat mereka, album baru dengan musik yang tetap kencang. Tidak usahlah membicarakan musiknya seperti apa, karena kita semua tahu Straight Answer memainkan hardcore jadul yang cepat, lugas, tegas dan tanpa basa-basi. Yang paling bagus dari album ini adalah, dari tujuh lagu, lima di antaranya dengan lirik berbahasa Indonesia, satu perbedaan cukup signifikan dari album sebelumnya. Buat saya yang tidak jago-jago banget English, ini adalah nilai plus. Karena, seperti kita tahu (lagi), Straight Answer bisa dibilang termasuk posi hardcore, yang selalu meneriakkan kalimat-kalimat positif penyemangat jiwa dalam lirik-lirik mereka. Album ini dimulai dengan “Kami Masih Ada”, penegasan akan eksistensi mereka yang tidak pernah berhenti, menyerah atau keluar dari skena. Disusul title track “Passion is the Reason”, yang menjawab lagu pertama tadi, alasan mereka masih beredar dan terus bereproduksi. Trek ketiga, “Bebas Merdeka”, adalah pernyataan perang mereka kepada perkumpulan-perkumpulan yang menjadi tuhan atas orang lain. “Stay Free” adalah seperti lanjutan atas lagu ketiga, tetaplah merasa bebas untuk melakukan apa saja, peduli setan dengan pendapat orang lain. Trek ke-lima dan keenam, “Semangat Ini Belum Berhenti” dan “Kitalah Masa Depan”, kurang lebih sama dengan “Kami Masih Ada” dan “Passion is the Reason”. Ya mereka masih bersemangat dan akan terus seperti itu. Trek terakhir, “130598”, mengetengahkan orasi tentang apa yang terjadi pada masa itu. Ya, sama seperti kalian, kami tak akan lupa dan tak
akan mau lagi dengan pembodohan dan pengekangan dari tirani masa silam. Tujuh anthem terbaru untuk bersenang-senang bersama kawan-kawan dari masa lalu di sebuah ruangan sempit, pengap, berkeringat, berjejalan dan sedikit berasap. Let’s smash the barricades! NESU! SOMETHING WRONG 2010 Pertama-tama, ijinkan saya berapologi, ini bukanlah rilisan 2011, tapi akhir 2010, tepatnya bulan Desember. Tapi, saya masukkan juga di sini karena baru hingar-bingar pada awal 2011, dan yang terpenting, saya baru mendapatkannya tahun lalu. Ah, peduli amat dengan timeline! Ok, mari kita dengarkan saja “NESU!” (Negoro Edan Sengsoro Uripe) yang merangkum segala kemarahan dan kegelisahan orang-orang sederhana ini. Menyimak album ini kemudian memunculkan salah satu penyesalan saya: tidak mengerti bahasa Jawa! Karena semua lirik ditulis dalam bahasa Jawa. Jadinya, saya tidak bisa menangkap secara komprehensif apa yang mereka ‘keluhkan’ dan membuat mereka marah kecuali sedikit, tentunya setelah tanya sana-sini. Perbedaan terbesar album ini dengan “Get Off My Back” (2003) adalah memang di konsep penulisan liriknya. Pemilihan bahasa lokal ini menurut Kucing (vokal) memang disengaja untuk mengenalkan bahasa Jawa ke pendengar luar. Meskipun dalam sebuah wawancara Kucing menjelaskan bahwa kata-kata yang digunakan memang kasar dan penuh umpatan, tapi saya sama sekali tidak merasakannya, haha. Selain bahasa, unsur budaya lokal yang mereka masukkan di album ini adalah dalam bentuk tembang sinden di bagian intro dan outro album yang diambil dari tembang
“Pangkur Ngrinasmara” yang diciptakan Sunan Kalijaga. Isi dari lirik-lirik di album ini masih tentang kritik sosial, hubungan antar manusia, perdamaian dan apa saja yang sedang ramai dibicarakan anak muda Jogja. Musiknya sendiri, ya, tipikal hardcore: cepat, menderu-deru, dengan gitar yang meraung-raung tiada henti disertai part-part untuk moshing dan gang vocals. Adanya featuring dengan Pandu (Brutal Corpse), Heru dan Raymond (Shaggydog) membuat kita akan mendengar beberapa bagian vokal death metal growl, sedikit rap dan bunyi terompet. Di luar itu, saya sendiri merasakannya agak mirip Schizma. Apalagi dengan vokal growl yang merepet lirik dengan artikulasi tidak jelas, semakin terdengar mirip dengan sound old school hardcore dari Polandia itu. Ternyata bahasa Jawa kalau direpet bisa terdengar seperti bahasa Polish, haha. HAIL TO JUSTICE GRIEVANCE 2011 Satu band ‘baru’ yang sangat berpotensi. Bukan baru sih, meskipun sudah menjajal berbagai panggung sejak 2006, tapi karena belum pernah merilis album sebelumnya, maka saya tidak cukup aware dengan kehadiran mereka. Ini adalah debut mereka, dalam format mini album yang berisi lima lagu plus satu intro sebagai interlude. Untuk mereka yang mengikuti sepak terjang Grievance sejak pertama, dan sudah pernah melihat mereka beraksi, album ini adalah jawaban yang menohok. Ok, mungkin cuma berisi lima lagu, tapi, itu sudah cukup menunjukkan betapa seriusnya mereka memainkan hardcore yang cepat, bertenaga, tough dan agresif yang mengingatkan saya (terutama style vokalnya) pada legenda NYHC, Madball.
VICIOUS CIRCLE WICKED SUFFER 2011 Saya baru saja tahu band (dan rilisan) ini dari seorang teman: “kalau kamu suka AK47, harusnya kamu suka ini”, dan berakhirlah saya di blog mereka (wickedsuffer.blogspot.com) karena ep ini bisa diunduh gratis di sana (belakangan saya tahu ep ini tidak dirilis dalam bentuk cd, hanya kaset, dan saya tidak punya pemutar kaset, hihi). Setelah menyimak, well, tidak sama persis dengan AK47. Jika aksi power violence dari Semarang itu mengambil garis mereka langsung dari New York Hardcore dan Swedish Grind, maka anak-anak Jogja ini mengakar lebih jauh ke hardcore 80-an dengan mengikuti garis yang pernah dimulai Infest, Negative FX dan lain-lain. Mereka tidak memainkan power violence yang telah mengalami modifikasi secara turun-temurun, tapi langsung dari akarnya, di mana crossover genre ini berawal. Ok, intinya mereka memainkan hardcore, tapi yang lebih cepat, singkat, brutal, gelap dan penuh kemarahan. Dan tujuh lagu di rilisan ini secara cermat menunjukkan itu semua di tengah ‘stagnasi’ skena hardcore yang ‘begitu-begitu’ saja. Tidak ada lirik tentang glorifikasi skena di sini, yang ada adalah manifestasi nihilisme, energi kebencian dan luapan kemarahan yang terpendam akan isu-isu sederhana yang terjadi di sana-sini, yang diiringi dengan musik yang sama marah dan gelapnya. Oh, saya sangat suka yang seperti ini: singkat, lantang dan penuh kemarahan. THE OPPOSITE OF ORDINARY THINKING STRAIGHT 2011 Waww, mereka masih ada ternyata! Bayangkan, ini adalah album kedua mereka setelah yang pertama “Positive Crew” pada tahun 2001, sepuluh tahun! Setelah beberapa pergantian personil dan masalah pribadi, keluarga dan pekerjaan, Thinking Straight berkumpul lagi dan mengeluarkan “The Opposite of Ordinary”. Bagi yang mengikuti mereka sejak album pertama (saya sendiri pertama menyimak “Positive Crew” baru tiga atau
empat tahun lalu) ini adalah penantian yang panjang dan melelahkan. Tapi, rasa-rasanya semua terbayar lunas setelah menyimak rilisan terbaru ini. Yang pertama dilakukan adalah tentu saja, membandingkannya dengan “Positive Crew”. Dan yeah, semangatnya masih sama, old school hardcore yang menyalak tentang paham straight edge, idelogi yang mereka anut sejak dulu. Membandingkan sound, apalagi kualitas produksinya memang kurang adil mengingat teknologi rekaman hari ini cukup berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Yang pasti, karakter khas Thinking Straight tidak hilang: lead gitar melodius yang sangat kentara mengiringi setiap teriakan serak dan gebukan drum. Di sini, sound gitar dieksplorasi ke wilayah yang lebih luas, mungkin karena sekarang mereka memakai dua gitaris. Saya mendengar ada raungan khas rock dan terutama thrash era 80-an di lagu-lagu seperti “Song #1” dan “Oath That Sets Me Free”. Album ini berisi delapan lagu, satu di antaranya instrumental, title track “The Opposite of Ordinary”. Dan satu lagi, “Never Understand”, merupakan cover dari Chain of Strength. Secara keseluruhan, perbedaan yang bisa dirasakan dari “Positive Crew”, selain kualitas sound-nya yang lebih bersih, adalah durasi lagu-lagu yang sedikit lebih lama. Selain itu, meskipun ada beberapa input dari sound hardcore masa kini, nuansa hardcore akhir 80-an, utamanya Youth of Today, masih mendominasi di album ini. Mari bernyanyi kembali. HATI JIWA PIKIRAN FINAL ATTACK 2012 Untuk sebuah band yang berdiri ‘baru’ pada pertengahan 2000-an, Final Attack boleh dibilang cukup produktif, sangat produktif malah jika kita mempersempit lingkupnya ke hardcore lokal. Ini adalah rilisan ke-empat mereka setelah “Legitimate Threat” (2008/LP), “Length of Time” (2009/EP) dan “Action Speaks Louder” (2010/LP). Mumpung masih ‘muda’ dan masih banyak tenaga. Final Attack sendiri cukup berbeda dengan band-band old school semacam Under 18 atau Thinking Straight. Mungkin karena cukup baru, maka sound hardcore yang mereka mainkan pun termasuk baru, new school mungkin istilahnya? Dunno. Untuk menarik garis simpelnya, mereka memainkan modern hardcore yang banyak dipenuhi part groovy dan vokal berteriak serak, seperti Terror dan yang seangkatan.
“Hati Jiwa Pikiran” ini didekasikan untuk mendiang bassist mereka Joneh yang meninggal tahun 2010 lalu. Berisi delapan lagu yang siap dijadikan pengantar moshpit brutal dan sing-a-long liar di malam yang hangat. Di lagu penutup, “September 12th” mereka mencoba bermain-main dengan sedikit nuansa lain dengan memasukkan melodic clean singing. After all, album ini ganas, beringas dan saya puas. RISE FROM DESTRUCTION INJECTED 2011 Salah satu pelopor hardcore Bandung yang sudah ada sejak era Saparua. Kabarnya mereka sempat vakum beberapa lama karena berbagai masalah internal dan eksternal. Sebelum ini, satu-satunya lagu mereka yang sempat saya dengar adalah “CBGB”, yang tergabung dalam sebuah kompilasi. “Rise From Destruction” menurut saya adalah rekaman hardcore yang top notch, kualitas sound dan produksinya mantap. Musically, masih hardcore, tapi ada beberapa input dari wilayah lain yang membuatnya berbeda dengan album-album lain, membuatnya lebih kaya, berisi dan bertenaga. Drum menderu-deru dengan raungan gitar yang padat serta solo yang panjang, gaya vokal yang cukup beragam dan tak lupa gang vocals yang membuat merinding. Perpaduan hardcore jadul dengan modern hardcore serta aroma metal yang gahar mampu mereka sajikan dengan sempurna di enam lagu yang mengisi album ini. Saya cukup kesulitan untuk mencari perbandingan, karena ini memang sangat khas, apalagi dengan solo gitar yang mengiris. Yang terdekat yang bisa saya jadikan contoh adalah First Blood, atau Hatebreed era dulu. Dengan beberapa bagian yang menyajikan breakdown dan down tempo di tengah-tengah lagu, saya kemudian menyimpulkan mereka juga menawarkan nuansa beatdown hardcore, yang sangat pas dijadikan momen untuk membenturkan kepala, atau menendang bokong teman di depan. Untuk lirik, meskipun cuma enam lagu, tapi cukup bervariasi, dari sentimensentimen yang ada dalam lingkungan skena sampai isu perang global. Yang pasti, semua lagu ini adalah penanda semangat Injected untuk bangkit dan berkiprah kembali setelah masa-masa suram. Salah satu rilisan hardcore terbaik 2011 menurut saya.
REVIEW
LOOK INSIDE B.D.G UNDER 18 2011 Kelanjutan dari “Loyalitas” lima tahun lalu. “Look Inside B.D.G” memperlihatkan konsistensi Under 18 ‘mengawal’ skena hardcore Bandung tetap di akarnya di tengah banyaknya eksperimen baru. Mereka tetap pol-polan dengan old school hardcore ala Warzone dan yang sejenis di album yang dari judulnya saja kita sudah tahu apa isinya. Ya, tentang apa yang terjadi di skena hardcore Bandung, dulu dan kini, lewat lagulagu seperti “Look Inside B.D.G”, “Kini Esok dan Nati”, “Bukan Kompetisi”, “Bandung Hardcore” dan lain-lain. Kenapa saya sebut ‘mengawal’? sedikit berlebihan sih istilah saya, tapi memang sejak album “Loyalitas” mereka banyak mengangkat tentang skena lokal, seperti di lagu “Bandung Brotherhood”. Iya, mereka mengajak para pelaku dan penikmat hardcore untuk tetap di akar, tetap rendah hati, dan bahwa hardcore bukan untuk gaya-gayaan. Persatuan, persamaan dan hardcore untuk semua, termasuk untuk pns! RELEASE THE SEAL BRAVE HEART 2011 Pada suatu hari di tahun 2008 (kalau tidak salah ingat), di sebuah distro, saya membeli cd dengan cover yang didominasi warna ungu, dari sebuah band bernama Struggle Than Before, judulnya “Your Choice Your Freedom”. Saya sebenarnya tidak tahu band apa itu, saya pun membeli cd itu karena ada tulisan “First cd from Larangan Youth”, dan saya mikir ini sepertinya hardcore. Setelah dengar cd-nya, well, they’re not just hardcore, they’re straight edge, dan musiknya, ampun keren banget! Ya, bayangkan saja bagaimana bersemangatnya anak-anak muda youth crew yang memanifestasikan seluruh spirit edge mereka dalam enam lagu di sebuah debut: hardcore yang mengalun liar, cepat, tanpa lelah, singkat, bergaya Swedish, dengan sound raw, terdengar mentah tapi saya suka, benar-benar suka. Pada suatu hari di tahun 2011,
saya membaca profil sebuah band yang baru saja merilis debut full length mereka, Brave Heart, dan ternyata, mereka adalah perwujudan terkini dari Struggle Than Before yang saya kenal tiga tahun sebelumnya. Dan inilah album pertama itu, “Release the Seal”. Seperti apa mereka kini? Tentu saja sound di “Release the Seal” produksinya lebih bersih daripada di “Your Choice Your Freedom” yang memang terdengar mentah. Tapi mungkin itu yang membuat saya akhirnya lebih suka “Your Choice Your Freedom”. Atau mungkin juga karena sekarang musiknya mengalami sedikit perubahan, sedikit lebih slow dan terutama gaya vokalnya yang cukup jauh berbeda. Dulu vokalnya adalah berteriak marah dan terdengar sangat berkarakter, yang sekarang kalau saya simak seperti berteriak ‘kepayahan’ dan karakter marahnya terdengar melemah, haha, dunno. Padahal kalau saya perhatikan, pergantian personil cuma terjadi di posisi gitar dan bass, vokalis tetap yang dulu. Meski demikian rilisan ini tetaplah sebuah album yang baik menunjukkan proses pendewasaan sebuah unit straight edge yang masih setia dengan nilai-nilai yang mereka ikuti sejak dulu. Liriknya masih positif, ajakan dan saling mengingatkan untuk tetap hidup bersih. Album ini berisi 10 lagu dengan dua trek instrumental sebagai intro dan outro. Ada dua lagu dari “Your Choice Your Freedom” yang ikut dimasukkan di sini, “Try Harder in Your Life” dan “Diam Itu Emas”. Favorit saya adalah, sama dengan yang di “Your Choice Your Freedom”, “Diam Itu Emas”. Durasinya memang hanya sekitar setengah menit, dan hanya berisi teriakan ‘diam itu emas’ sebanyak empat kali, tapi itu sudah terdengar sangat dalam dan bermakna. Maju terus Brave Heart! STRONG SURVIVAL INSTINCT PAPER GANGSTER 2011 Saya dulu tahu Paper Gangster bisa dibilang seangkatan dengan Looserz atau Step Forward, dua pasukan hardcore yang disegani di Ibukota. Yang konyol, berbeda dengan dua band yang disebut terakhir, sebelumnya saya tidak pernah dengar satupun lagu Paper Gangster! Makanya, saat mereka tampil membuka konser Hatebreed tahun 2010 lalu saya cuma bisa bengong. “Strong Survival Instinct” ini adalah album kedua mereka, yang menurut beberapa orang lebih beringas dari “Season of Destruct”, album pertama. Saya tidak
bisa membandingkan, karena saya tidak punya album pertama tadi. Album ini berisi sepuluh trek, sembilan di antaranya dengan lirik berbahasa Inggris. Well, meskipun pernah melihat penampilan live Paper Gangster, barulah lewat album ini saya bisa sedikit mencerna sound mereka. Permainan hardcore yang dibalut rapat dengan metal, fusi ciamik dari kedua genre ini, orang kemudian menyebutnya metalcore. Jangan apriori dulu, dan menggeneralisirnya dengan apa yang disebut metalcore dari band-band masa kini yang kebanyakan melodic clean singing pada bagian chorus untuk sing-along berkali-kali yang terlalu berlebihan. Ini adalah fusi hardcore ke dalam metal dalam tingkat murni, seperti ketika dulu Breakdown memulainya, yang kemudian diperjelas lagi oleh band-band yang datang kemudian semacam Earth Crisis atau Vision of Disorder. Yup, album ini langsung mengingatkan saya pada Earth Crisis: cadas, bertenaga, dan tidak cengeng. Apalagi ketika Paper Gangster juga memasukkan cover Black Sabbath, “Paint It Black”, yang oleh Earth Crisis pernah di-cover juga di “Last of the Sane”. Untuk mereka yang menganggap remeh metalcore, atau sangsi pada penggabungan hardcore dan metal, album ini perlu disimak. AGAINST THE STREAM THE FOURTY’S ACCIDENT 2012 Rilisan ini masih segar, baru beberapa minggu. Sebenarnya mereka ini adalah band senior, penggiat scene, sudah lama beredar di Surabaya, baru bangkit dan
merilis album lagi. “Against the Stream” berisi delapan lagu berciri hardcore punk dengan vokal cempreng dan musik to the point, cepat dan lirik yang diteriakkan dengan lantang dan lugas tentang umat, media dan Palestina. Rilisan ini dijual salah satunya dengan paket senilai Rp. 15 ribu yang berisi cd, bonus track sebanyak 4 lagu, Sub Chaos Zine edisi #11, sticker dan buku dzikir pagi dan petang. Karena saya pilih paket hemat, saya cuma mendapat zine-nya, tapi bagusnya, di situ ada penjelasan panjang lebar tentang makna dari lirik dan semua lagu-lagu di album ini, dan membaca itu semua membuat saya mulai kagum dengan mereka ini. Karena ini sedikit berbeda, seperti biasa, saya selalu mencari pelabelan. Dan di salah satu lagu mereka menyebut sendiri: Muslim Hardcore, anyone?
.
REVIEW
KETIKA PETANI KESURUPAN oleh Dede Hate
Pak Kades (vokal & lirik), Kvli Arit (gitar & bass) dan Tvkang Pacvl (drum) datang dari sawah kegelapan, kesurupan genderuwo, memuja para elit black metal dan kemudian menertawakan mereka lewat: Bvrtan, the trve kvlt grim vn-gay Svkatanian black metal. Mengganti ‘simbol-simbol satanisme’ dengan pacul dan caping, mengangkat budaya yang sudah mengakar di negeri ini ke level okultisme: agrikultur dalam kegetiran para petani lewat lirik yang nyinyir, satir, dan sangat telak menohok keapatisan kita selama ini. Terbentuk pada 2010, mereka telah merilis 3 ep dan 1 split album. Saat ini mereka sedang mempersiapkan full length pertama, yang akan disusul dengan split album lagi. Inilah tiga ep pertama mereka.
PEMUJA SAWAH TEBU BVRTAN 2011
KOPERASI KEGELAPAN BVRTAN 2011
SARTINEM BVRTAN & TAAKE 2011
Dan inilah awal dari semua keriuhan itu, sebuah ep bertajuk “Pemuja Sawah Tebu”, dirilis dan bisa diunduh gratis via netlabel Yes No Wave, setelah cakram cd produksi Lumbung Angker Records yang sebanyak 66 keping tandas. Berisi lima lagu ‘bertema agraris’ yang dengan produksi minimalis, raw, kotor, dan berfidelitas rendah, saya yakin Darkthrone pun akan langsung mengagumi mereka. Pak Kades, sebagai penulis lirik, pasti sangat menguasai bidangnya. Bagaimana mungkin lirik yang sepintas terlihat konyol dan hanya lucu-lucuan, bisa sangat mengena? Merangkum segala kegelisahan para petani di era di mana pupuk semakin tidak berkualitas, hama wereng yang menganggu, sengketa lahan dengan perusahaan asing, politisi yang menjual petani demi kursi dan kesenangan pemerintah mengimpor beras. Mengikuti lirik-lirik di album ini seakan-akan menyimak siaran radio jaman dulu, atau siaran TVRI tentang kelompencapir, penyuluhan pemakaian pupuk dan pestisida serta ritual panen raya oleh pejabat, tapi dari sudut pandang yang gelap dan nyinyir. Di ep ini mereka juga mulai mengenalkan idiom-idiom konyol tapi masuk akal dan tidak berlebihan tentang pertanian dan kengerian: kebun kegelapan, singkong keramat, pacul pusaka dan lain-lain. Akhirnya, lagu-lagu seperti “Sawah Tebu Terlarang”, “Musnahlah Panen Raya Tahun Ini yang Membuat Kami Tidak Bahagia”, “Ritual Menanam Singkong di dalam Kebun Kegelapan”, “Pacul Pusaka dari Pak Kades” dan “Tengkulak Biadab dari Neraka” dalam mini album ini adalah sesuatu yang segar. Iya, Bvrtan adalah sesuatu yang segar. Dan bagi saya, ep ini setidaknya sedikit merubah cara pandang saya mengenai black metal: tidak mesti dengan salib terbalik, bisa juga dengan pacul, sawah ladang dan hama wereng.
Sesuai judulnya, gambar di cover depannya pun foto hitam putih kantor KUD Svkatani plus logo Bvrtan di bawah logo KUD: pohon beringin dalam apitan padi dan kapas, tapi dalam posisi terbalik vertikal. Gelap, minimalis, ofensif dan tentu saja sangat black metal, haha. Dalam ep ini ada empat lagu, tiga nyanyian getir para petani kegelapan plus satu cover Darkthrone. Untuk musiknya, masih sama dengan yang sebelumnya, tapi saya merasakan ada sedikit bagian yang menyuguhkan groove. Liriknya, juga masih sama dengan yang dulu, tapi dengan objek yang lebih spesifik dan penulisan yang lebih panjang. Entah, genderuwo jenis apa yang merasuki Pak Kades ketika menulis lirik-lirik di ep ini. Di trek pertama, “Koperasi Kegelapan yang Hanya Memonopoli Ekonomi Pedesaan”, dia mungkin bermaksud menulis surat pembaca untuk majalah Swa tentang kerugian yang dialami petani di kampungnya gara-gara kecurangan KUD. Trek kedua, “Kisah Horror di saat Musim Panen Tebu”, kali ini korbannya adalah delapan orang yang tewas mengenaskan oleh arit, parang, golok dan pentungan para petani kegelapaan karena berusaha mencuri tebu di kebun juragan Marduki. Di lagu inilah saya pertama kali mencium aroma darah dan sadisme dalam lirik mereka, tapi akhirnya menjadi konyol juga setelah membaca rangkaian kalimatnya yang menertawakan berita kriminal yang kita baca di koran tiap hari. Di trek berikutnya, ada istilah jadul yang saya caricari sejak ep pertama itu: kelompencapir dalam “Luka Hati Seorang Ketua Kelompencapir”, tentang kepolosan dan keputus asaan seorang ketua kelompencapir yang menjadi korban pemerasan dinas pertanian kabupaten. Terakhir, “Kathaarian Life Code” sebuah cover Darkthrone, dengan versi akustik yang menakutkan, lengkap dengan suara katak sawah di malam hari!
Ep ketiga ini cukup spesial, karena di sini Bvrtan berkolaborasi dengan salah satu idola mereka dari Norwegia, Taake. Saya sendiri bingung menyebut rilisan ini, split atau featuring? Ceritanya, Kvli Arit menghubungi pihak Taake dan mereka kemudian mengirim tiga lagu (tanpa vokal) dan Pak Kadeslah yang kemudian menulis lirik dan mengisi vokal. “Sartinem” berisi empat lagu, tiga di antaranya membentuk kesatuan cerita tentang Sartinem, istri seorang buruh tani di Desa Svkatani yang menjadi TKW. Satu lagu lainnya adalah cover Taake, “Hennes Kalde Skamlepper”. Sekali lagi Bvrtan menunjukkan kejeniusannya, mengangkat isu yang tidak pernah dibayangkan, apalagi di musik black metal: penderitaan seorang TKW di negeri orang. Ketika kita dibanjiri berita televisi tentang penyiksaan TKW, mereka menjadikannya tidak sekedar berita lalu. Terlebih lagi, mereka harus menyesuaikan lirik dan vokal dengan musik yang sudah jadi. Dalam tiga bagian, “Derita Sartinem Istri Bvrvh Tani yang Menjadi TKW part I, II & III” (trek ke-1, 2 dan 3) Pak Kades kembali menunjukkan kemampuannya menulis lirik yang panjang, bercerita dengan sendirinya dan sangat nyata. Tidak heran, karena kabarnya dia menulis lirik dan mengisi vokalnya di Arab, saat menjadi TKI di sana. Sound di ep ini sedikit berbeda dengan yang sebelumnya, terdengar lebih bersih, mungkin karena musiknya langsung dari Taake. Di trek ketiga, mereka juga mampu mengikuti Taake yang bermain pelan, cenderung ke depressive black metal. Patut untuk menunggu cerita apa lagi yang akan disampaikan Bvrtan di rilisan-rilisan berikutnya. Teruslah memacul wahai para petani kegelapan. Semoga panen raya tahun ini sukses!
.
MOVIE
FILM PERANG MINIM PERANG oleh Raden Andriana
S
elain penggemar musik, sebetulnya saya juga adalah penggemar film dan juga military freak. Bahkan koleksi saya (entah itu film, buku, maupun majalah) lebih banyak yang berkaitan dengan sejarah dan kemiliteran. Oleh karena itu tidak heran kalau saya juga menyukai film-film perang. Tidak semua film perang harus dipenuhi dengan adegan pertempuran yang dahsyat seperti “Saving Private Ryan” atau “Black Hawk Down”. Beberapa film perang terbaik bahkan bisa dikatakan minim atau tanpa adegan pertempuran sama sekali. Sekedar berbagi, berikut adalah beberapa film perang yang minim adegan pertempuran, namun merupakan film yang cukup bagus sehingga sayang untuk dilewatkan begitu saja.
MASH (1970) MASH adalah singkatan dari Mobile Army Surgical Hospital atau rumah sakit lapangan Angkatan Darat AS. Film drama komedi ini diangkat dari novel “MASH : A Novel About Three Army Doctors” karya Richard Hooker yang terbit pada tahun 1968. Berlatar belakang Perang Korea, tokoh utama film ini adalah Kapten ‘Hawkeye’ Pierce (Donald Sutherland) dan Kapten ‘Duke’ Forrest (Tom Skerrit). Walaupun berlatar belakang Perang Korea, namun film yang dirilis pada tahun 1970 ini banyak berisi sindiran terhadap Perang Vietnam. Film ini cukup sukses secara kualitas maupun komersial dan memperoleh penghargaan sebagai film terbaik untuk kategori komedi /musikal pada Golden Globe Awards tahun 1971. “MASH” kemudian diadaptasi menjadi serial TV yang berjudul sama dan tidak kalah sukses, disiarkan oleh jaringan CBS dari tahun 1972 sampai dengan tahun 1983. Opening theme dalam film ini adalah lagu berjudul “Suicide Is Painless” yang liriknya ditulis Mike Altman. Mike Altman adalah anak dari sutradara Robert Altman dan baru berusia 14 tahun pada saat menulis lagu tersebut. Lagu tersebut menjadi salah satu hits pada tahun 1980 dan di tahun 1992 “Suicide Is Painless” dirilis ulang sebagai single oleh band rock Manic Street Preachers. NOVEMBER 1828 (1978) Berlatar belakang Perang Diponegoro, “November 1828” adalah salah satu film Indonesia pertama yang dikirim ke beberapa festival film di luar negeri. Disutradai oleh Teguh Karya, para pemain film ini banyak yang berasal dari Teater Populer. “November 1828” dibintangi oleh Slamet Rahardjo, Rachmat Hidayat, El Manik, Yenny Rachman, Maruli Sitompul, dan Sardono W Kusumo. Film ini tidak hanya menceritakan konflik antara rakyat pribumi dengan tentara Belanda saja, namun juga konflik internal yang terjadi di antara rakyat pribumi dan tentara Belanda itu sendiri. Selain tokoh Demang yang justru membantu tentara Belanda, ada juga tokoh Letnan van Anken, seorang perwira indo Belanda yang justru bersimpati terhadap perlawanan rakyat.
“November 1828” banyak memperoleh penghargaan dalam Festival Film Indonesia tahun 1979, termasuk penghargaan untuk sutadara terbaik dan film terbaik. Uniknya, peluncuran hari pertama syuting film ini melibatkan kelompok lawak Warkop DKI dan orkes melayu mahasiswa Universitas Indonesia yang berdandan seperti pasukan Pangeran Diponegoro dan tampil dengan membawa lampu petromaks. Orkes melayu mahasiswa Universitas Indonesia itupun kemudian dikenal dengan nama kelompok PSP alias Pancaran Sinar Petromaks. GOOD MORNING, VIETNAM (1987) “Good Morning, Vietnam” adalah film drama komedi yang diadaptasi dari kisah nyata Adrian Cronauer yang pernah bertugas sebagai penyiar radio Angkatan Udara AS dalam Perang Vietnam. Dalam perang tersebut Cronauer diperankan oleh Robin Williams. Sebagai penyiar radio Angkatan Udara, Cronauer justru memiliki gaya siaran yang rock `n roll dan penuh canda sehingga populer di kalangan personel militer AS di Vietnam. Namun gaya siarannya tersebut tidak disukai oleh atasan Cronauer yang menganggap gaya rock`n roll tersebut tidak sesuai dengan fungsi radio militer sebagai alat propaganda. Judul film ini sendiri diambil dari kata-kata pembuka siaran Cronauer di Vietnam. “Good Morning, Vietnam” cukup sukses secara kualitas serta komersial serta merupakan salah satu film terbaik Robin Williams. BORN ON THE FOURTH OF JULY (1989) “Born on the Fourth of July” adalah buku biografi Ron Kovic, seorang mantan anggota Korps Marinir AS dan veteran Perang Vietnam yang kemudian menjadi aktivis anti perang. Buku tersebut kemudian diangkat menjadi film berjudul sama oleh sutradara Oliver Stone. Stone sendiri pernah bergabung dengan Angkatan Darat AS dan juga merupakan veteran Perang Vietnam. Film ini berkisah tentang Ron Kovic yang penuh dengan idealisme bergabung dengan Korps Marinir AS dan ikut
bertempur dalam Perang Vietnam. Namun di Vietnam ia menemukan kenyataan yang lain sama sekali dan bahkan dalam salah satu pertempuran ia secara tidak sengaja menembak mati salah satu anggota pasukannya sendiri. Ia kemudian tertembak dan menjadi lumpuh. Sebagai veteran perang yang lumpuh, Kovic kemudian menemukan kenyataan pahit tentang pandangan sinis masyarakat AS dan buruknya kondisi pelayanan kesehatan bagi para veteran Perang Vietnam. Hal-hal tersebut kemudian mendorong Kovic untuk menjadi salah satu aktivis anti perang. Dalam film ini Kovic diperankan oleh Tom Cruise yang bermain
bagus. Lewat film ini pula Cruise membuktikan bahwa ia mampu berakting sehingga memperoleh penghargaan Golden Globe Awards sebagai aktor terbaik untuk film drama. NO MAN`S LAND (2001) “No Man`s Land” adalah sebuah film drama tentang perang saudara di Yugoslavia. Film ini disutradai oleh Danis Tanovic, seorang sutradara yang berasal dari Bosnia. Dalam bahasa Bosnia, film ini berjudul “Nicija Zemlja”. Film ini sebetulnya bisa dikatakan merupakan sebuah film komedi getir tentang perang saudara di Yugoslavia dan juga mengkritik ketidakmampuan pasukan perdamaian PBB dalam misinya di negaranegara bekas Yugoslavia. “No Man`s Land” memperoleh penghargaan Best Screenplay dalam festival film Cannes di tahun 2001 serta merupakan film asing terbaik dalam ajang Golden Globe Awards 2001 dan Academy Awards 2002.
MOVIE FULL METAL JACKET (1987) “Full Metal Jacket” adalah film tentang Perang Vietnam yang diadaptasi dari novel “The Short Times” karya Gustav Hasford. Film ini disutradarai oleh Stanley Kubrick dan
merupakan salah satu film Kubrick yang mudah untuk ditonton. Full Metal Jacket sendiri sebetulnya adalah merupakan salah satu tipe peluru yang banyak digunakan oleh senapan infantri. Film ini berkisah tentang sekelompok pasukan Korps Marinir AS, mulai dari awal latihan mereka di Parris Island hingga mereka akhirnya dikirim ke Perang Vietnam. Salah satu adegan legendaris film ini adalah ketika prajurit Lawrence yang gemuk menyeringai di toilet barak sebelum kemudian menembak mati instruktur Sersan Hartman dan akhirnya bunuh diri. Sersan Hartman dalam film ini diperankan oleh Lee Ermey yang aslinya memang merupakan veteran Perang Vietnam dan merupakan pensiunan instruktur Korps Marinir AS. OEROEG (1993) “Oeroeg” adalah film produksi bersama Belanda, Belgia, dan Indonesia. Film ini sendiri diangkat dari novel berjudul sama karya penulis Belanda Hella Haasse yang terbit pertama kali pada tahun 1948. Berlatar belakang perang kemerdekaan Indonesia dan dipenuhi adegan flash back, film ini menceritakan persahabatan antara Johan Ten Berghe dengan Oeroeg. Johan adalah anak seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda dan pemilik perkebunan, sementara Oeroeg adalah anak dari pelayan ayah Johan di perkebunan tersebut. Johan kemudian pergi ke Belanda
untuk melanjutkan kuliah, namun kemudian pecah Perang Dunia II dan Hindia Belanda dikuasai oleh Jepang. Setelah Jepang menyerah, Belanda bermaksud menguasai kembali Hindia Belanda namun pada saat itu Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekannya. Johan yang menjadi salah satu perwira tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia pun kemudian harus berhadapan dengan Oeroeg, sahabat masa kecilnya yang bergabung dengan pasukan pejuang ke-
HEAVEN AND EARTH (1993) “Heaven and Earth” adalah sebuah film drama berlatar belakang Perang Vietnam yang disutradai oleh Oliver Stone. Film ini dibuat berdasarkan buku “When Heaven and Earth Changed Places”, yang terbit pada tahun 1989 dan menceritakan kisah seorang wanita Vietnam bernama Le Ly Hayslip. Le Ly Hayslip adalah contoh kisah getir wanita Vietnam yang menjadi korban perang. Pada umur 14 tahun ia ditahan dan disiksa oleh tentara Vietnam Selatan karena dianggap sebagai simpatisan komunis. Namun ketika ia dibebaskan, Hayslip justru dianggap sebagai informan pemerintah sehingga disiksa dan diperkosa oleh gerilyawan Vietcong. Ia kemudian menikah dengan warga negara AS dan pindah ke Amerika Serikat (dalam versi film dikisahkan menikah dengan seorang tentara AS yang kemudian menderita stres setelah perang dan akhirnya bunuh diri). SCHINDLER’S LIST (1993)
merdekaan. EMPIRE OF THE SUN (1987) “Empire of the Sun” adalah film yang diadaptasi dari novel berjudul sama yang merupakan buku semi-otobiografi dari novelis J.G. Ballard yang pernah menjadi tawanan Jepang dalam Perang Dunia II. Film ini disutradai oleh Steven Spielberg dan walaupun bukan merupakan salah satu karya terbaik Spielberg, film ini masih cukup layak untuk ditonton. Film ini berkisah tentang Jamie ‘Jim’ Graham (diperankan oleh Christian Bale), seorang anak dari keluarga Inggris yang tinggal di Shanghai pada masa menjelang Perang Dunia II. Ketika Jepang menyerbu Cina dan pecah Perang Dunia II, Graham terpisah dari keluarganya dan akhirnya ditawan di sebuah kamp bersama warga negara asing lainnya. “Empire of the Sun” pun kemudian berkisah tentang Graham yang tumbuh menjadi remaja dalam kamp tawanan tersebut, termasuk persahabatannya dengan seorang remaja Jepang yang tinggal di sekitar kamp tawanan tersebut.
Pada tahun 1982 Thomas Keneally menulis buku berjudul “Schindler`s Ark”, kisah nyata seorang pengusaha Jerman bernama Oscar Schindler yang pada saat Perang Dunia II menyelamatkan sekitar 1.200 orang Yahudi dari beberapa kamp tawanan di Polandia dan Jerman. Buku tersebut pada tahun 1993 diadaptasi menjadi film berjudul “Schindler`s List” dengan sutradara Steven Spielberg. Film ini sempat dilarang beredar di Indonesia karena dianggap sebagai propaganda Israel. Namun film ini cukup bagus dan dibuat dalam format hitam putih sehingga mirip film dokumenter. “Schindler`s List” memperoleh tujuh penghargaan Academy Awards, termasuk untuk kategori film terbaik dan sutradara terbaik. Holocaust memang masih menjadi kontroversi. Saya pribadi percaya bahwa memang, Jerman di bawah pemerintahan Adolf Hitler melakukan holocaust, namun jumlah korbannya yang mungkin terlalu dibesar-besarkan dan saya tidak menyukai holocaust dijadikan alasan untuk menduduki tanah Palestina dan pendirian negara Israel.
JARHEAD (2005) “Jarhead” diangkat dari kisah nyata Anthony Swofford, mantan anggota Korps Marinir AS yang pernah ditugaskan dalam Perang Teluk tahun 1991. Swofford menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 2003 dan kemudian dibuat menjadi sebuah film pada tahun 2005. Kata ‘jarhead’ sendiri merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menyebutkan anggota Korps Marinir AS. Film ini menceritakan Swofford yang merupakan sniper di Korps Marinir AS dan kemudian ditugaskan ke Arab Saudi menyusul invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990. Selama berbulan-bulan Swofford dan teman-temannya ditempatkan di perbatasan Arab Saudi dengan Irak. Menunggu dalam kebosanan sehingga mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa. Banyak peristiwa konyol di sini seperti ditinggalkan pasangan mereka di AS, berdebat lebih enak masturbasi dengan tangan kanan atau tangan kiri, bermain football dengan serangan perang kimia, atau bahkan menerima video porno dari AS yang ternyata diperankan oleh istri teman mereka sendiri. Ironisnya, Perang Teluk tahun 1991 lebih banyak didominasi oleh serangan udara dan pertempuran darat yang berlangsung selama kurang lebih 100 jam. Swofford pun kembali dari medan perang tanpa pernah memiliki satu kesempatan pun untuk menembak musuh. DER UNTERGANG (2004) “Der Untergang” (yang kemudian dipasarkan secara internasional dengan judul “Downfall”) adalah sebuah film Jerman dengan sutradara Oliver Hirschbiegel. Film ini menceritakan hari-hari terakhir Adolf Hitler, ketika ia terpaksa tinggal di bunker pertahanan dan Berlin sudah dikepung oleh pasukan Uni Soviet pada masa-masa akhir Perang Dunia II di Eropa. Film ini banyak mengambil data dari biografi Traudl Junge, salah seorang sekertaris pribadi Adolf Hitler yang ikut bertahan di bunker pertahanan tersebut. Selama lebih dari 40 tahun Junge banyak merahasiakan pengalamannya di hari-hari terakhir kehidupan Hitler dan baru pada tahun 1989 ia banyak bercerita tentang
pengalamannya tersebut. Biografi Junge sendiri baru terbit pada tahun 2002 dan di tahun yang sama pula ia meninggal dunia. Untuk sebuah film dari Eropa, film ini cukup sukses secara komersial dan berhasil meraih pendapatan sekitar 95 juta dolar. Film ini juga merupakan salah satu nominasi film asing terbaik dalam Academy Awards tahun 2005. THE BOY IN THE STRIPED PAJAMAS (2008) “The Boy in the Striped Pajamas” (judul aslinya “The Boy in the Striped Pyjamas”) adalah film buatan tahun 2008 karya sutradara asal Inggris, Mark Herman. Film ini sendiri merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya John Boyne yang terbit pada tahun 2006. Film ini menceritakan persahabatan antara Bruno, anak seorang perwira SS dengan Shmuel, seorang anak Yahudi yang ditawan di kamp konsentrasi di mana ayah Bruno bertugas. Persahabatan tersebut berakhir tragis karena keduanya kemudian tewas di kamar gas di kamp konsentrasi tersebut. “The Boy in the Striped Pajamas” memperoleh penghargaan di beberapa festival film seperti British Independent Film Award, Chicago International Film Festival, British Independent Film Award, dan Premio Goya. THE BRIDGE ON THE RIVER KWAI (1957) Memang film lama sih, tapi “The Bridge on the River Kwai” tetap merupakan salah satu film yang bagus tentang Perang Dunia II. Film ini diangkat dari novel berjudul sama karya Pierre Boulle yang pertama kali terbit pada tahun 1954. Film ini menceritakan pasukan Inggris yang ditawan oleh Jepang dan diperintahkan untuk melakukan kerja paksa membangun jembatan di sungai Kwai yang menghubungkan Thailand dengan Burma. Salah satu adegan menarik dalam film ini adalah pasukan Inggris yang tetap bangga dengan korps
mereka sehingga tetap berbaris sambil menyanyikan mars “Colonel Bogey” sewaktu memasuki kamp tawanan. “The Bridge on the River Kwai” mendapat tujuh penghargaan dalam Academy Awards tahun 1957, termasuk penghargaan sebagai film terbaik. Salah satu aktor yang terlibat dalam film ini adalah Sir Alec Guinness, aktor asal Inggris yang pernah bertugas sebagai anggota Angkatan Laut dalam Perang Dunia II dan juga merupakan pemeran Obi Wan Kenobi dalam trilogi “Star Wars” episode IV-VI. THE HURT LOCKER (2009) “The Hurt Locker” adalah sebuah film independen tentang unit penjinak bahan peledak AS dalam perang di Irak. Skenario film ini ditulis oleh Mark Boal, yang pada tahun 2004 pernah melakukan liputan tentang unit penjinak bahak peledak Angkatan Darat AS dalam operasi mereka di Irak. Film ini disutradai oleh Kathryn Bigelow, seorang sutradara wanita yang juga merupakan mantan istri sutradara James Cameron. Sebagai sebuah film berlatar belakang perang, sebetulnya “The Hurt Locker” banyak diprotes oleh kalangan militer AS karena alasan tidak akuratnya seragam dan perlengkapan militer yang digunakan dalam film tersebut. Tetapi “The Hurt Locker” tetap merupakan sebuah film yang cukup bagus dan banyak memperoleh penghargaan di berbagai festival film. Dalam Academy Awards tahun 2009, “The Hurt Locker” memperoleh enam penghargaan, termasuk penghargaan untuk film terbaik dan sutradara terbaik. Kathryn Bigelow pun menjadi wanita pertama yang memperoleh Academy Awards sebagai sutradara terbaik.
.
BOOK
BERKELIARANLAH DI MUKA BUMI, DAN PERHATIKAN! oleh Dede Hate
S
ambil terus menjaga mimpi, belakangan ini saya banyak menonton film dan membaca buku tentang perjalanan, traveling, backpacking, survival, observasi, esplorasi, penelitian, penjelajahan, petualangan, safari, atau apapun istilahnya. Sambil menunggu Kak Uly berhenti berpikir, menimbang-nimbang dan akhirnya memutuskan untuk mulai menulis bukunya, berikut ada beberapa buku yang telah saya baca, yang ditulis oleh anakanak negeri sendiri. Buku-buku ini berisi kisah dan pengalaman mereka melakukan perjalanan, di dalam dan luar negeri, dengan berbagai cara, dengan berbagai macam tujuan.
image taken from summersdale.com
NORMAN EDWIN: CATATAN SAHABAT SANG ALAM RUDY BADIL (EDITOR) Bagi generasi sebelum saya, mungkin sudah tahu siapa Norman Edwin, tapi bagi saya, orang ini betul-betul ‘baru’. Dan buku ini telah mengenalkan saya pada seorang sahabat alam yang benar-benar hebat di masanya. Lahir pada 16 Januri 1955, Norman tumbuh besar menjadi mahasiswa gempal pecinta alam. Mengenyam pendidikan kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Padjajaran Bandung dan Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI, serta menjadi wartawan di Mutiara dan Kompas, Norman kemudian tidak saja menjadi menjadi sekedar pecinta alam, lebih dari itu, ia adalah seorang peneliti, pengembara ilmiah, pelayar lautan, pendaki gunung, jurnalis budaya dan penulis kisah perjalanan andal yang sudah punya umatnya sendiri. Ini adalah kumpulan 64 tulisan Norman Edwin di majalah Mutiara, Intisari, Suara Alam, harian Kompas dan media lain selama kurun waktu 1980-1991 tentang petualangannya mengakrabi alam yang dikumpulkan dan disusun ulang oleh sahabatnya Rudy Badil. Ke-64 tulisannya di buku ini secara runut menceritakan kepada kita tentang pengembaraan dan petualangannya di alam liar dalam bentuk laporan jurnalistik dan artikel ilmiah yang rapi. Bagusnya,
gaya penulisan jurnalistik dan ilmiah yang biasanya membosankan tidak kita temui dalam gaya bertutur Norman yang mengalir mengasyikkan. Plus, tidak cuma tentang ‘asyiknya traveling’ ke tempat-tempat baru dan misterius, Norman juga mengajak kita untuk lebih mengenali dan mengakrabi tempat-tempat tersebut dengan segala kegetirannya: kedinginan di puncak-puncak tertinggi dunia di McKinley dan Elbrus, kepanasan menuju puncak Kilimanjaro, kehausan di tengah Samudera Hindia di atas pinisi Ammana Gappa, ketakutan dalam kegelapan perut bumi di Luwong Ombo, kengerian di derasnya jeram sungai-sungai Kalimantan dan di hutan-hutan lebat Sulawesi. Norman Edwin adalah salah satu penggagas awal ide ‘pendakian tujuh puncak benua’ di Indonesia. Bersama tim Mapala UI dia merealisasikan ide itu dan dengan gemilang telah menaklukkan empat di antaranya: Carstenz Pyramid (Australasia), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika Utara) dan Elbrus (Eropa). Bersama rekannya Didiek Samsu, Norman akhirnya harus kembali ke alam ketika sedang dalam usaha menaklukkan puncak ke-limanya; Aconcagua (Amerika Selatan). Dia meninggal hanya beberapa meter menjelang puncak tertinggi Amerika Selatan itu pada 21 Maret 1992 karena cuaca buruk. Kini, setelah 20 tahun, lewat buku ini Norman Edwin telah memberi teladan bagi kita, untuk lebih mencintai dan mengakrabi alam. Khusus bagi traveler, pelajaran terpenting dari buku ini adalah bagaimana seharusnya setiap perjalanan itu ditulis dan didokumentasikan dengan baik, supaya bisa menjadi panduan yang bermutu bagi generasi berikutnya.
SELIMUT DEBU AGUSTINUS WIBOWO Afghanistan tidak termasuk negara yang perlu dikunjungi dalam daftar seorang traveler. Tidak ada kemewahan di sana, apalagi jika membandingkannya dengan destinasi utama kebanyakan traveler seperti Maldives atau negara-negara eksotis lainnya. Selama ini, negeri para mullah ini adalah sinonim untuk perang, kematian, bom bunuh diri, perempuan-perempuan yang tersembunyi, keterbelakangan. Tapi tidak bagi Agustinus Wibowo. Afghanistan ada di urutan atas dalam daftarnya. Karena dia bukanlah seorang traveler, melainkan backpacker sekaligus explorer, observer dan mungkin saja, bila membaca buku ini di masa depan, dia juga bisa disebut antropolog. Buku ini adalah hasil perenungan dari perjalanan panjangnya menyusuri ‘jalanan’ Afghanistan yang berdebu. Secara apik dia menceritakan perjuangannya mengenali negara yang telah berabad-abad dihancurkan perang ini dan mencoba berinteraksi secara nyata dengan manusia-manusia di dalamnya. Sendirian, Agustinus menapaki hingga ke sudut-sudut terjauh negeri ini; gurun gersang, gunung salju, padang hijau, lembah kelam, langit biru, danau ajaib dan sungai menggelegak demi menyibak keindahan di balik tanah Afghan yang misterius. Seperti yang disebutkan di pengantar buku ini, berbekal kamera dan duit,
semua orang bisa menjadi traveler. Tapi, tidak semua orang bisa menjadi explorer. Karena semangat yang menggerakkan kaki seorang explorer tidak cuma keindahan, tapi juga kegetiran, kepahitan dan terutama kemanusiaan. Agustinus sendiri sebenarnya lebih suka disebut musafir. Menurutnya istilah ini punya cakupan makna yang lebih luas: karena musafir tidak hanya melakukan perpindahan tempat, tapi juga melakukan perpindahan dalam kehidupan. Lewat buku ini Agustinus disebut-sebut ikut mempelopori travel writing bergaya novel di Indonesia, hal yang kemudian cukup marak kita temui belakangan ini. GARIS BATAS AGUSTINUS WIBOWO Lanjutan kisah perjalanan Agustinus di Asia Tengah setelah perjalanannya menyusuri Afghanistan. Di negeri-negeri yang namanya berakhiran ‘stan’ (Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan), negeri-negeri pecahan Uni Soviet, Agustinus mencoba memahami dan kemudian mengisahkan kepada kita bagaimana di negeri-negeri yang berdekatan ini pola kehidupan manusia bisa sangat berbeda, bagai perjalanan mundur atau maju seratus tahun, hanya karena dibatasi oleh sebuah garis imajiner bernama perbatasan.
Tentang jalanan berbatu yang sempit dan berdebu di Afghanistan, hanya bisa dilalui keledai, yang sangat kontras dengan jalanan di Tajikistan di seberang sungai yang lebar dan beraspal mulus dengan mobil-mobil keluaran terkini seliweran di atasnya. Atau tentang bagaimana rakyat negara-negara yang baru merdeka ini secara berbeda memaknai kebebasan dari Uni Soviet. Orang Kazakhstan menyebutnya berkah karena mereka mempunyai cadangan minyak bumi yang besar, membuat negara mereka segera saja menjadi negara terkaya di kawasan itu. Orang Kirgizstan menyebutnya malapetaka, karena hidup mereka tidak lagi teratur dan susahnya mencari penghidupan. Atau tentang negeri-negeri yang berabad-abad lalu, selama ratusan tahun, menjadi salah satu pusat peradaban agama Islam (Imam Bukhori, lahir dan menulis kitab hadits-nya “Shohih Bukhori” di Bukhara, Uzbekistan), yang kini hampir tidak tampak peninggalan, budaya dan arsitektur, dari masa itu karena masifnya pengaruh propaganda dan intimidasi komunisme yang ‘hanya’ puluhan tahun. Ini adalah sebuah kisah perjalanan dari seorang backpacker yang bukan cuma kisah perjalanan dengan segala kemewahannya di negeri-negeri jauh, lebih dari itu Agustinus Wibowo adalah seorang humanis yang menghabiskan bertahuntahun hidupnya untuk mencoba menyelami kehidupan manusia di negeri-negeri yang berdekatan tapi sekaligus berjauhan karena sebuah garis perbatasan antar negara.
BOOK JALAN JIHAD SANG DOKTER DR. JOSERIZAL JURNALIS & RITA T. BUDIARTI Jika kebanyakan orang memilih mengunjungi tempat-tempat yang indah, dr. Joserizal bersama timnya di MER-C justru ‘melancong’ ke daerah-daerah konflik dan bencana; Ambon, Poso, Aceh, Irak, Afghanistan, Kashmir, Palestina dll. MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) sendiri adalah organisasi non-profit yang didirikan oleh dr. Joserizal bersama beberapa rekan dokter dari berbagai macam spesialisasi, yang selalu siap sedia untuk terjun langsung ke medan konflik dan bencana untuk memberikan layanan medis. Dalam buku ini, dr. Joserizal bersama co-writer Rita T. Budiarti, lebih banyak menceritakan perjuangan sang dokter dan timnya dalam misinya memberikan bantuan kepada rakyat Palestina, khususnya Gaza. Termasuk juga menceritakan usahanya meyakinkan pihak-pihak terkait untuk membangun rumah sakit bagi rakyat Palestina, dan akhirnya, dengan sumbangan rakyat Indonesia melalui MER-C, rumah sakit yang dinamakan Rumah Sakit Indonesia itu kini sedang dalam proses pembangunan di Beit Lahia, Gaza. Kisah relawan MER-C yang turut mengalami paranoia serdadu Israel di kapal Mavi Marmara juga diceritakan di bagian akhir buku ini. Mungkin karena spesialisasi dr. Joserizal adalah di bidang operasi bedah tulang, bukan di tulis-menulis, maka mafhum sajalah kalau kita sering menemui inkonsistensi (loncat-loncat) dalam gaya penulisan beliau. Buku ini mungkin tidak termasuk dalam buku bertema travelogue, tapi karena masih menyinggung kisah ‘perjalanan’, akhirnya tetap saya masukkan ke daftar saya. Lebih dari itu, kisah seorang manusia yang berkeliaran di muka bumi untuk memberi pertolongan kepada sesamanya adalah teladan yang perlu dicontoh. ILLEGAL ALIEN AGUNG SURYAWAN & HARTONO RAKIMAN Sebenarnya saya tidak cukup yakin ini termasuk buku ‘perjalanan’, lebih tepat kalau disebut buku petualangan. Petualangan setengah nekat dari penulisnya, Agung Suryawan, seorang mantan kru kapal pesiar.
Yup, lelah bekerja di kapal pesiar, Agung turun dari kapal dan mencoba peruntungannya di daratan Amerika Serikat. Masalahnya, dia tidak memiliki visa untuk tinggal dan bekerja di sana. Jadinya, secara resmi dia menjadi illegal alien alias imigran gelap. Dengan gaya penulisan yang menurut saya agak bombastis, Agung menceritakan perjuangannya mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik di negeri yang tidak pernah tidur tersebut. Di awal-awal buku, penulis sudah mengingatkan, caracara ilegal yang ditempuhnya bukan untuk memberikan contoh buruk, tapi lebih kepada bahwa kita masih bisa mengakali sistem di Amerika Serikat. Meskipun demikian, menurut saya, dengan gencarnya kampanye war against terrorism saat ini, cukup mustahil untuk menempuh cara-cara yang pernah dilalui Agung. MERABA INDONESIA AHMAD YUNUS Seharusnya, buku ini dijadikan bacaan wajib bagi mereka yang mengaku paling nasionalis, yang paling depan menyemburkan caci maki chauvinis ke negeri tetangga. Apa yang dilakukan dua wartawan setengah gila, Ahmad Yunus dan Farid Gaban, yang dikisahkan dalam buku ini adalah nasionalisme sesungguhnya menurut saya. Selama hampir setahun, mereka berdua, mengendarai sepeda motor Win 100 cc bekas yang dimodifikasi, berkelana, mengunjungi, berinteraksi dan bersentuhan langsung dengan semangat dan kegetiran rakyat di daerah pelosok terluar dan pedalaman terpencil republik ini. Menyusuri Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Bali, mereka berdua merasakan dan merekam semua hal tentang Indonesia dari sisi yang selama ini jarang ditampilkan. Bahwa Indonesia bukan cuma Jawa dan Jakarta yang metropolutan, Indonesia juga adalah jalanan lintas Sumatera yang rusak parah, rakyat daerah perbatasan di Kalimantan yang tetap setia dengan NKRI, atau transportasi laut yang sangat buruk di kawasan timur Indonesia. Bukan cuma kegetiran yang dikisahkan di buku ini. Di sisi lain, kita akan banyak menemui manisnya rasa persaudaraan dari berbagai anak bangsa yang ditemui Ahmad Yunus dan Farid Gaban selama perjalanan. Juga tempat-tempat indah, yang belum sempat tersentuh industri pariwisata, yang jumlahnya ribuan di seluruh nusantara. Lewat buku ini, dengan gaya penulisan jurnalisme sastrawi yang memikat, Ahmad Yunus telah menunjukkan, bahwa tidak perlu jauh-jauh keluar negeri untuk
melihat dan merasakan keindahan sekaligus kegetiran. Semuanya ada di Indonesia. 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA HANUM SALSABIELA RAIS & RANGGA ALMAHENDRA Tidak banyak yang tahu, bahwa Islam dan Eropa pernah sangat dekat. Peradaban Islam yang maju pernah menerangi Eropa di jaman kegelapannya. Buku ini adalah napak tilas sejarah peradaban Islam yang pernah menyentuh Eropa. Selama kurang lebih tiga tahun berinteraksi dengan kehidupan sekuler di Eropa masa kini, Hanum Salsabiela Rais (iya, dia putri Amien Rais) bersama suaminya Rangga Almahendra, justru menemukan dan mengungkap sisa-sisa dan jejak peradaban Islam di bumi Eropa. Lewat penuturan kisah novel yang ringan dan mengalir lancar kita diajak mengikuti langkah Hanum dan Rangga mengunjungi dan menyingkap rahasiarahasia dari tempat-tempat yang memiliki tautan sejarah dengan kehadiran Islam di Eropa; Wina (Austria), Paris (Perancis), Cordoba dan Granada (Spanyol) dan Istanbul (Turki). Sebelumnya saya sudah tahu bahwa imperium Turki Utsmany pernah melakukan ekspansi ke Eropa Barat dan Dinasti Umayyah pernah menguasai Spanyol selama tujuh abad, tapi banyak halhal kecil yang selama ini saya tahu identik dengan Eropa ternyata mempunyai akar sejarah pada kehadiran dua kekhalifahan itu di benua ini pada masa silam. Dari buku ini saya tahu asal-muasal cappuccino, kopi khas Italia itu. Atau sejarah roti croissant. Atau tentang Mezquita di Cordoba dan Hagia Sophia di Istanbul. Beberapa hal yang akan mudah saja mengundang diskusi juga diungkapkan Hanum. Seperti kaligrafi kalimat tauhid di pinggiran hijab Bunda Maria di salah satu lukisan yang dipajang di Museum Louvre. Atau garis Axe Historique yang di atasnya berdiri bangunan-bangunan terkenal kota Paris yang dibangun pada masa Napoleon, yang jika ditarik garis lurus ke timur akan menunjuk ke salah satu tempat di Timur Tengah. Atau tentang Napoleon sendiri. Perjalanan yang dilalui Hanum dan suaminya mungkin tidak sepenuhnya bisa dibilang perjalanan spiritual atau wisata rohani (kalau istilah ini memang ada). Tapi setidaknya, bagi mereka (dan mungkin juga pembaca) bisa membangkitkan romansa masa silam di tengah realitas yang kian sulit, yang karena ulah sebagian orang, Islam dan Eropa pada hari ini berada pada posisi berhadapan.
WIND RIDER JEFFREY POLNAJA 23 April 2006, dari Auto Mall, Senayan, ribuan biker dari berbagai klub motor mengantar Jeffrey Polnaja menuju perjalanan panjangnya melakukan solo riding dengan motor gede melewati separuh bumi, 3 benua, 72 negara, ribuan kota dengan tujuan membuang semua egoisme, mengesampingkan perbedaan, mengedepankan perdamaian sambil mempromosikan Indonesia dalam kampanye Ride for Peace. Pada 30 November 2008, dia tiba kembali di tanah air dengan selamat dan sukses dalam misinya setelah 2 tahun 7 bulan menjelajah. Mungkin ini adalah pertama kalinya ada yang melakukan solo riding mengelilingi separuh bumi, berkendara dengan sepeda motor, benar-benar sendirian. Dan kita mungkin harus bangga bahwa orang itu adalah orang Indonesia. Dan inilah sekelumit kisah Kang Jeje selama perjalanannya itu. Ada harapan dan mimpi yang jadi kenyataan, kebanggaan dan juga pelajaran baru tentang kemanusiaan. Saya mafhum jika di buku ini Kang Jeje bercerita tidak secara kronologis dan hanya singkat saja. Dibutuhkan berapa ribu halaman untuk menceritakan kronologi perjalanan selama itu??!! Yang penting kita bisa mengambil pelajaran dari setiap pengalaman beliau, yang baik, yang buruk atau yang sangat buruk. Dia sempat merasa meregang nyawa, terluka, sendirian di tengah gurun pasir Pakistan dan motornya rusak setelah ditabrak dengan sengaja oleh pengemudi mobil yang cuek saja berlalu. Dirampok habis-habisan di Jalalabad, Afghanistan. Diberondong tembakan bertubi-tubi dari balik bukit, masih di Afghanistan. Atau bermain petak umpet demi menyelamatkan nyawa dengan seekor beruang besar di Bhutan. Tidak semuanya kesialan, ada juga keberuntungan yang dialami Kang Jeje selama perjalanan ini. Keberuntungan yang berawal dari rasa persaudaraan dari warga negara-negara yang dilaluinya di Asia, Afrika dan Eropa. Bagaimana masyarakat Iran begitu menghargainya sebagai tamu kehormatan, atau bagaimana dia sempat menginap semalam di hotel termewah di dunia, Burj Al Arab, secara gratis berkat seorang syekh murah hati di Dubai. Menjadi selebritis dadakan di beberapa televisi dan radio di negara-negara Eropa Timur dan di tempat-tempat lain. Bagusnya lagi, di akhir setiap bab, Kang Jeje memberi tips yang berharga kepada para penjelajah. Tentang bagaimana mempersiapkan diri, berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kebudayaan,
menghadapi petugas perbatasan, atau mengakali binatang liar dan banyak lagi tips lainnya. Ini bukan sembarangan tips, karena diberikan oleh seseorang yang benar-benar telah menerapkannya sendiri. Yang saya sayangkan dari buku ini adalah pengaturan tata letak foto yang terkesan sekenanya, dan terutama kontras foto yang sangat rendah sehingga terlihat gelap dan susah ditangkap mata. Mestinya, untuk foto-foto, dibuatkan halaman sendiri, kalau bisa dicetak berwarna di atas kertas luks (seperti di buku-buku Agustinus Wibowo), supaya kita, pembaca, bisa ikut menikmati hasil jepretan Kang Jeje. Pelajaran terbesar yang saya ambil setelah membaca buku ini adalah, setiap perjalanan panjang membutuhkan persiapan yang matang, tidak cuma sekedar tekad, nyali dan mimpi. Ide untuk melakukan solo riding ini telah muncul di kepala Kang Jeje pada tahun 2001, dan sejak itu beliau melakukan segala persiapan yang dibutuhkan: fisik, stamina, segala macam urusan administrasi, mempelajari kebudayaan dari negara-negara yang akan dilewati, mempersiapkan kendaraan, menetapkan rute, melakukan kontak dan berhubungan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang profesi, di dalam dan luar negeri, dan terutama memantapkan niat dan tujuan, bukan untuk gagah-gagahan, tapi demi persaudaraan dan perdamaian dunia. Mari bermimpi dan mulai berusaha mewujudkannya!! THE NAKED TRAVELER TRINITY Sebenarnya, buku “The Naked Traveler” ini adalah trilogi. Di sini secara singkat saja saya mencoba ‘meresensi’ semuanya. Ini adalah kumpulan travel writings dari seseorang backpacker wanita yang memilih menggunakan nama pena Trinity. Awalnya berupa tulisan-tulisan ringan di blog-nya, tapi karena mendapat respon meriah akhirnya dibukukan ke dalam tiga seri. Ditulis dengan gaya bahasa ringan, spontan, kekinian, dan disusun secara tematis, ibu ini menceritakan kepada kita pengalaman traveling-nya ke berbagai tempat di dunia. Pengalaman-pengalaman seru, kadang mendebarkan, kadang konyol dan lucu, membuat kita ikut menertawakan pengalaman traveling dari seorang ‘karyawan biasa’ yang ingin ikut menikmati berbagai tempat di dunia dengan budget rendah dan tekad kuat. Iya, tidak perlu jadi kaya raya untuk traveling ke berbagai tempat, cukup dengan ‘sedikit modal’, rajin memantau jadwal penerbangan murah, network yang kuat, kenekatan, sedikit improvisasi, banyak-
banyak kesabaran dan muka tebal. Buku ini menyemangati kita, untuk mulai rajin menabung, mengatur rencana, mengambil cuti, then hit the road. EKSPEDISI PHINISI NUSANTARA PIUS CARO Nenek moyangku seorang pelaut. Potongan syair dari masa sekolah dasar itu terus saja terngiang di kepala selama saya membaca buku ini. Ini adalah salah satu buku yang mampu menjelaskan dengan cukup baik mengapa ada syair seperti itu atau mengapa di jaman dulu pelaut-pelaut Indonesia terkenal tangguh dengan semangat bahari dan jiwa maritim yang tinggi. Buku ini ditulis oleh wartawan Kompas, Pius Caro, dari hasil pelayarannya bersama kapal layar tradisional Bugis, pinisi, mengarungi Samudera Pasifik selama 69 hari, dari Ujung Pandang (waktu itu belum bernama Makassar) menuju Vancouver, Kanada. Pelayaran pinisi yang diberi nama Phinisi Nusantara itu ke Vancouver adalah sebagai bagian dari keikutsertaan Indonesia dalam Expo ’86 yang digelar pada 2 Mei sampai dengan 12 Oktober 1986 di sana. Expo ’86 itu sendiri adalah pameran perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang diikuti banyak negara. Secara runut, Pius menceritakan sejarah Phinisi Nusantara, dari ide awal pembuatannya, peletakan lunas pertama di Tanaberu, Bulukumba, pembangunan kapal di Ujung Pandang, pelayaran percobaan dari Ujung Pandang ke Muara Baru, Jakarta, singgah di Bitung, Sulawesi Utara sampai pelayaran utamanya mengarungi Pasifik. Banyak kisah heroik selama pelayaran yang diceritakan; kapal layar tradisional kecil yang mampu melalui ganasnya samudera, ombak tinggi, hujan deras, arus balik, badai atau panas terik. Juga tentang pelaut-pelaut yang tidak cuma membutuhkan tekad baja dan nyali besar, tapi juga keterampilan dan kesabaran. Atau tentang sentimen nasionalisme yang kuat. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1988, dan awal tahun ini diterbitkan lagi dengan penambahan pada bab terakhir yang menceritakan akhir tragis dari Phinisi Nusantara: karam di Karang Ayer Kecil, Kepulauan Seribu pada 15 September 2002.
.
MUSIC CLINIC
GET THE SOUND: DISTORTION (PART 2) DISTORTION FROM THE EFFECT oleh Herwin Siregar
Kalau sebelumnya saya berbagi pengalaman untuk mendapat sound gitar distorsi lewat ampli (amp head unit), maka sekarang adalah pengalaman saya memperoleh sound distorsi lewat efek-efek gitar. Sekali lagi, bahwa yang menjadi pokok pembahasan di sini adalah ‘sumber’ dari sound distorsi itu sendiri. Ini menarik dan sering menjadi topik di forum-forum diskusi gitar karena karakter distorsi yang keluar dari ampli (tulisan terdahulu) sering kali punya karakter yang berbeda dengan yang bersumber dari efek (tulisan ini), dan buat para guitar freak ini menjadi masalah yang krusial.
E
fek yang saya maksud di sini adalah efek-efek untuk aplikasi gitar elektrik dan yang khusus pembangkit suara distorsi. Banyak macam dan ragam efek-efek gitar yang ada sekarang di pasaran, seperti efek keluaran Boss yang paling sering terlihat beredar di panggung-panggung musik. Efek ini bentuknya seperti kotak mirip mobil sedan dan biasanya satu box efek hanya memiliki satu jenis efek di dalamnya. Efek ini sering disebut stompbox atau mobilmobilan. Selain Boss, sekarang juga sudah banyak keluaran brand lain seperti MXR, Digitech, VOX, Rocktron, EH, Ibanez, DOD, RAT dll sampai yang kelas butik yang sangat langka beredar di sini seperti Keely, HBE, Exotic, Fulltone dll. Ada juga efek yang memiliki banyak fitur efek yang disebut multi efek seperti keluaran Korg, Digitech, VOX, Line6, dan tentunya juga Boss. Baik efek mobil-mobilan atau multi efek masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Efek stompbox punya kelebihan pada kedalaman karakter sound-nya, makanya di pedal board (papan efek) para maestro gitar kita bisa lihat efek-efek ini masih diterapkan, antara lain Joe Satriani (Boss Digital Delay), Steve Vai (Boss Distortion), Kirk Hammet (Ibanez TS9), Yngwie Malmsteen (DOD 250), Zakk Wylde (MXR) atau Paul Gilbert (Fulltone OCD, HBE, MXR, dll). Sementara multi efek menang di fleksibilitas manajemen sound, karena dengan sekali pijak beberapa kombinasi efek langsung berubah, yang mana hal tersebut tidak bisa dilakukan pada efek stompbox kecuali menggunakan switching system. Efek-efek gitar selain dikategorikan sebagai single atau multi, dari mesin jeroannya dapat dibedakan dalam analog atau digital. Efek analog memiliki kelebihan dalam kedalaman karakter suara karena sound yang dihasilkan adalah murni hasil pemrosesan sinyal suara gitar yang masuk. Sementara efek digital sound yang dihasilkannya adalah hasil konversi, di mana sinyal masuk dikonversi ke digital, diproses, dan dikonversi kembali menjadi sinyal suara. Keberhasilan sound yang dihasilkan sangat ditentukan oleh tingkat kecanggihan prosesor dari si efek itu. Efek digital punya kelebihan dalam kelengkapan fitur jenis efek dan fleksibilitas manajemen sound. Makanya hampir semua multi efek adalah digital, meskipun ada juga stompbox single efek yang digital seperti Line6. Jaman dulu efek digital dikenal memiliki sound berkarakter mesin (tidak manusiawi) dan kadar soundnya tipis, sehingga kurang disukai, tetapi sekarang dengan semakin berkembangnya
teknologi digital, sound efek digital sudah semakin mendekati sound analog meskipun belum bisa menyamai, sehingga secara umum terminologi analog digital sudah tidak menjadi ‘isu’ lagi saat ini. Oke, di sini yang kita bicarakan adalah efek khusus pembangkit sound distorsi saja, karena efek ini banyak macam dan ragamnya. Meskipun para guitar god tersebut masih menggunakan stompbox dalam rangkaian sound system gitarnya, tetapi hampir semuanya bukan diterapkan sebagai main sound generator distorsi dari gitarnya, tetapi hanya merupakan penyedap saja (penjelasannya pada tulisan sebelumnya). Bagaimana kalau menggunakan efek sebagai pembangkit utamanya? Ya sah-sah saja, tidak ada yang pernah salah, masalahnya sesuai selera apa tidak? Atau apakah sound itu yang benar-benar ingin kita peroleh sebagaimana yang ada di kepala kita? Untuk efek stompbox distorsi, yang paling sering saya lihat dipakai adalah Boss Metal Zone, pasti tahu kan, atau pernah dengar stompbox ini, si kecil hitam yang berbahaya! Saya sendiri belum pernah memakai efek ini, tapi saya pernah memakai saudara tuanya yaitu Boss Heavy Metal. Menurut saya sound dari efek ini cukup low dan padat, sangat cocok buat musik metal sampai underground, karakternya sangat ditentukan dari pengaturan (setting) tomboltombolnya, dan tentunya sekali lagi, ampli yang digunakan. Jika dimainkan dalam setting volume besar, bisa menghasilkan sound harmonis seperti lolongan serigala di malam hari pada ujung setiap note yang dibiarkan berbunyi panjang (ringing). Saya pernah dengar di toko musik ada yang nyoba efek ini pakai ampli tabung head cabinet, saya kira awalnya dia pakai distorsi dari ampli, ternyata amplinya di-set clean dan distorsinya dari si kecil hitam ini. Two thumb up-lah buat efek ini. Oiya, Boss Metal Zone ini juga masuk dalam 100 efek gitar legendaris versi majalah Guitar World. Dari percobaan saya dengan efek-efek stompbox ini, kunci keberhasilan sound-nya ada pada cara kita melakukan setting dan tweaking terhadap system kita. Beberapa faktor penentu adalah: kualitas pick-up atau sepul gitar, kualitas kabel, kualitas ampli, dan settingan di ampli dan efek. Pick-up gitar ada yang punya output low, middle, dan high; jika pakai yang high jelas lebih lantang untuk distorsi. Saya pernah pakai pick-up high output Di Marzio Dual Sound, dan hasilnya sangat jauh kualitas tendangan sound-nya dengan pickup gitar lainnya. Kemudian kualitas kabel
juga memberi pengaruh terutama pada ketebalan sound dan noise. Kabel kurus sound-nya juga kurus dan merana. Settingan pada ampli dan efek punya pengaruh yang sangat besar. Volume gitar harus dimaksimalkan, jangan buka setengah atau kecil waktu dimainkan. Setting untuk efek, biasanya volume di-set pada posisi tengah, atau posisi jam 12, kemudian settingan untuk equalizer seperti hi, low diatur sesuai selera. Untuk kadar distorsi yang bisanya ditulis ‘distortion’, atau ‘gain’ diatur sesuai selera, tapi kalau saya biasanya di-set di posisi jam 3 s.d. jam 5. Untuk amplinya, nah ini dia yang suka tidak diperhatikan, volume dari pre-amp setel pada takaran sebesar mungkin, baru volume dari penguat (ampli) disesuaikan dengan kondisi kekencangan sound yang diinginkan. Mengapa demikian? Karena pembentuk utama sound ada di pre-amp, sementara bagian penguatnya (ampli) tidak memberikan pewarnaan lagi pada suara, hanya menaikkan tingkat kekerasan saja. Saya sudah coba cara ini pada beberapa studio dan di rumah, dan terbukti berhasil mencapai sound terbaik yang bisa dihasilkan. Jadi, buat rekan-rekan TUC yang belum mampu membeli TGA atau tube gain amplifer gitar seperti saya, carilah efek distorsi terbaik! Beberapa efek yang pernah saya coba antara lain Boss Turbo Distortion, Ibanez TS7, MI-Audio Crunch Box DIY, RAT DIY, Revolt! AmpMutator (analog), Zoom, Korg AX1500G, Digitech RP250 dan Line6 Uber Metal (Digital). Untuk efek analog, favorit saya adalah Revolt! AmpMutator buatan Bung Dogie dari Citayam, belum ada efek lain yang bisa menandingi kualitas distorsinya, terutama ketebalan dan kepadatan distorsinya. Bagi yang cari efek distorsi, ini rekomendasi saya nomor satu! Mungkin pada kesempatan lain saya bisa bercerita khusus tentang efek ini. Untuk efek digital, saya pilih Digitech dan Line6 Uber Metal, karena kualitas sound-nya sudah cukup bagus. Tapi kalau sebagai rekomendasi, Line6 Uber Metal adalah nomor dua! Ada beberapa efek yang belum sempat saya coba seperti VOX yang memakai tabung hampa (vacum tube) di dalamnya, Blackstar, Rocktron, MXR yang mungkin juga cukup baik kualitas sound-nya kalau membaca dari review-nya. Untuk efek yang menggunakan tabung di dalamnya, efek Hughess & Kettner Tubeman adalah yang paling sering terlihat dipakai dan sangat direkomendasikan, sayang seribu sayang, harganya tidak bersahabat dengan kita semua. Rock on!!!
.
WTF
ROCK ‘N ROLL MILITARY oleh Raden Andriana
image taken from 2.bp.blogspot.com
S
elain penggemar musik, gw juga sebetulnya penggemar sejarah dan teknologi militer, selain juga suka membaca biografi tokoh-tokoh tertentu. Akhirnya gw pun riset kecil-kecilan, pengen tahu siapa aja sih musisi terkenal yang pernah memiliki sejarah sebagai anggota militer. Berikut ini adalah beberapa musisi terkenal yang pernah bertugas sebagai anggota militer.
Elvis Presley Lahir pada tanggal 8 Januari 1935 dengan nama lengkap Elvis Aaron Presley, Elvis dikenal sebagai “The King of Rock ‘n Roll”. Ia adalah superstar rock ‘n roll dengan setidaknya 70 album dan juga mebintangi setidaknya 33 film. Pada masa kejayaannya sebagai bintang rock ‘n roll, Elvis tidak menolak saat dirinya dikenakan wajib militer oleh pemerintah AS. Pada tahun 1958 ia bergabung dengan Angkatan Darat AS dan ditugaskan di 3rd Armored Division yang pada saat itu ditempatkan di Jerman Barat. Ketika bertugas di Jerman Barat inilah Elvis berkenalan dengan Priscilla Beaulieu yang kemudian ia nikahi pada tahun 1967. Elvis menjadi anggota Angkatan Darat AS sampai dengan tahun 1960. Pengalamannya semasa menjalani wajib militer tersebut kemudian menjadi ide dari album dan film “G.I. Blues”.
Kris Kristofferson Lahir dengan nama lengkap Kristoffer Kristofferson pada tanggal 22 Juni 1936, Kris adalah salah satu musisi rock country yang juga berprofesi sebagai aktor. Ia telah mengeluarkan setidaknya 16 album dan membintangi lebih dari 80 film. Sebagai musisi, Kris pernah bekerja sama dengan nama-nama besar dalam industri musik seperti Ray Stevens, Johnny Cash, dan Janis Joplin. Sebelum menjadi musisi, Kris Kristofferson adalah anggota Angkatan Darat AS. Kris bergabung dengan Angkatan Darat AS pada tahun 1960. Sebagai anggota militer, ia memiliki kualifikasi sebagai anggota pasukan khusus Ranger dan juga sebagai pilot helikopter. Namun ia mengundurkan diri dari dinas milter pada tahun 1965 dan memutuskan untuk berkarier di dunia musik.
James Blunt Mungkin kita hanya mengenal James Blunt dari lagu-lagunya yang mellow seperti “You`re Beautiful” dan “Goodbye My Lover”. Namun sebelum memulai karier musiknya, Blunt adalah seorang perwira Angkatan Darat Kerajaan Inggris. James Blunt sendiri lahir dari keluarga militer dengan ayah seorang Kolonel yang menjadi pilot helikopter Angkatan Darat Kerajaan Inggris. Bahkan Blunt sendiri memperoleh beasiswa dari militer Inggris sehingga setelah lulus kuliah pada tahun 1996. Dia kemudian bergabung dengan Angkatan Darat Kerajaan Inggris dan ditugaskan di pasukan kavaleri. Blunt sempat bertugas bersama pasukan NATO di Kosovo sebelum akhirnya mengundurkan diri dari dinas militer pada tahun 2002.
Bill Wyman Lahir dengan nama asli William Georger Perks pada tanggal 24 Oktober 1936 tetapi lebih dikenal sebagai Bill Wyman, bassist band legendaris The Rolling Stones dari tahun 1962 sampai dengan tahun 1992. Sebelum menjadi musisi rock ‘n roll, Bill Wyman pernah bertugas sebagai anggota Angkatan Udara Inggris dari tahun 1955 sampai dengan tahun 1957. Keni Thomas Sebagai musisi country, nama Keni Thomas yang telah mengeluarkan enam album ini mungkin tidak dikenal di Indonesia. Sebelum menjadi penyanyi country, Thomas adalah anggota Angkatan Darat AS dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1996. Ia memiliki banyak kualifikasi keahlian militer dan merupakan anggota pasukan khusus 75th Ranger Regiment yang ikut bertempur dalam Battle of Mogadishu tahun 1993 (pertempuran itu sendiri kemudian difilmkan menjadi “Black Hawk Down” tahun 2001 di mana Keni menjadi salah satu penasihat teknis. Ia juga menjadi penasihat teknis dalam film “We Were Soldiers” tahun 2002). Wurzel Memiliki nama asli Michael Burston dan lahir pada tanggal 23 Oktober 1949, Wurzel adalah gitaris band metal Motorhead dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1995. Sebelum menjadi gitaris metal, ia adalah anggota Angkatan Darat Inggris dengan pangkat terakhir Kopral. Wurzel meninggal dunia tanggal 9 Juli 2011. Jerry Garcia Jerome John “Jerry” Garcia yang lahir pada tanggal 1 Agustus 1942 ini adalah vokalis sekaligus gitaris band rock Grateful Dead. Sama seperti Jimi Hendrix, Jerry Garcia pernah menjadi anggota Angkatan Darat AS karena terkait kasus kriminal. Pada awal tahun 1960 ia mencuri mobil ibunya sendiri dan untuk menghindari hukuman penjara, Garcia setuju untuk bergabung dengan dinas militer. Namun karena ia sering tidak mentaati perintah maka pada akhir tahun 1960 ia dikeluarkan dari Angkatan Darat AS. Jerry Garcia meninggal dunia karena serangan jantung pada tanggal 9 Agustus 1995. John Fogerty John Fogerty yang lahir pada tanggal 28 Mei 1945 ini adalah vokalis dan gitaris band rock Creedance Clearwater Revival (CCR). Beberapa hits dari CCR antara lain adalah “Fortunate Son”, “Have You Ever Seen The Rain”, “Bad Moon Rising”, dan “Proud Mary”. Pada tahun 1966 Fogerty terkena panggilan wajib militer dan nyaris dikirim ke Perang Vietnam, namun akhirnya ia ditugaskan sebagai anggota pasukan cadangan Angkatan Darat AS dari tahun 1966 sampai dengan tahun 1967.
Johnny Cash Johnny Cash adalah salah satu penyanyi legendaris AS yang terkenal dengan sebutan “The Man in Black”. Beberapa hits dari Cash antara lain adalah “I Walk The Line”, Ring of Fire”, dan “Man in Black”. Salah satu hits terakhir dari Johnny Cash sebelum ia meninggal dalam usia 71 tahun pada tahun 2003 adalah “Hurts” yang aslinya merupakan lagu dari band Nine Inch Nails. Pada tahun 1950 Cash yang masih berusia 18 tahun bergabung dengan Angkatan Udara AS dan ditugaskan sebagai petugas komunikasi intelijen di Jerman Barat. Tugasnya pada waktu itu adalah menyadap komunikasi militer Uni Soviet. Johnny Cash menjadi anggota Angkatan Udara AS sampai dengan tahun 1954.
image taken from blogs.suntimes.com
Jimi Hendrix Lahir dengan nama Johnny Allen Hendrix, pada tanggal 27 November 1942, namun lebih dikenal sebagai Jimi Hendrix. Hendrix sering disebut sebagai gitaris paling hebat dalam sejarah, namun meninggal dunia dalam usia 27 tahun pada tanggal 18 September 1970 karena overdosis obat tidur. Ketika berusia 19 tahun, Hendrix ditangkap polisi karena mengendarai mobil curian. Oleh pengadilan ia diberikan pilihan hukuman penjara selama dua tahun atau menjalani dinas militer. Ia memilih dinas militer dan menjadi anggota Angkatan Darat AS, ditugaskan di 101st Airborne Division. Tetapi Hendrix bukan tentara yang baik karena tidak memiliki bakat menembak, sering tertidur saat bertugas, dan menolak perintah atasan. Oleh karena itu, hanya setahun setelah bertugas, Hendrix pun dibebastugaskan dari dinas militer. Bjorn Ulvaeus Bjorn Kristian Ulvaeus yang lahir pada tanggal 25 April 1945 ini adalah salah satu personel band pop legendaris ABBA. Sebelum berkarier di dunia musik, Bjorn Ulvaeus pernah bertugas sebagai anggota Angkatan Darat Swedia. Wattie Buchan Walter “Wattie” Buchan adalah pendiri sekaligus vokalis band punk The Exploited. Sebelum mendirikan The Exploited pada tahun 1979, Buchan sempat menjadi anggota Angkatan Darat Kerajaan Inggris. Artimus Pyle Thomas Delmer “Artimus” Pyle yang lahir pada tanggal 15 Juli 1948 adalah drummer band southern rock Lynyrd Skynyrd. Ia bergabung dengan band tersebut pada tahun 1974. Sebelum menjadi drummer Lynyrd Skynyrd, Pyle adalah anggota Korps Marinir AS dari tahun 1967 sampai dengan 1971.
Tony Bennett Tony Bennett lahir dengan nama lengkap Anthony Dominick Benedetto pada tanggal 3 Agustus 1926 di New York. Penyanyi pop tradisional dan jazz ini telah memulai kariernya sejak tahun 1950 dan telah merilis setidaknya 70 album serta memperoleh 15 penghargaan Grammy Awards. Sebelum memulai kariernya sebagai penyanyi, Bennett pernah menjalani wajib militer sebagai anggota Angkatan Darat AS di 63rd Infantry Division dan ikut bertempur dalam Perang Dunia II. Bruce Dickinson Bruce Dickinson adalah vokalis band heavy metal Iron Maiden yang juga memiliki lisensi sebagai pilot pesawat komersial. Pada saat baru lulus sekolah menengah, Dickinson pernah menjadi anggota pasukan cadangan Angkatan Darat Inggris selama enam bulan. Fred Durst Fred Durst terkenal sebagai vokalis band nu metal Limp Bizkit dan juga berprofesi sebagai sutradara. Ketika baru lulus sekolah menengah, Furst menjadi anggota Angkatan Laut AS demi membuat pacar dan ayahnya terkesan. Namun ia menyesali keputusannya bergabung dengan Angkatan Laut karena dirasakan penuh tekanan sehingga ia pernah berkomentar “Being in the Navy was like being in prison. I made the biggest mistake of my life.” Konon hal ini disebabkan karena semasa di Angkatan Laut tugas Durst adalah sebagai pembersih toilet di kapal perang. C. J. Ramone Lahir dengan nama Christopher Joseph Ward pada tanggal 8 Oktober 1965, Ward kemudian lebih dikenal sebagai C.J. Ramone. Ia adalah bassist band punk Ramones dari tahun 1989 sampai dengan Ramones membubarkan diri pada tahun 1996. Sebelum bergabung dengan Ramones, ia adalah anggota Korps Marinir AS.
.
GALERI GALERI
BIG LONELY BEAR PHOTO GRAPHY Poltak Oktavianus Simanjuntak suka fotografi sejak 2008. Pertama kali punya kamera DSLR tahun 2009. Dia menyukai keindahan, dan fotografi adalah cara yang paling mudah untuk meng-capture keindahan. Baginya, keindahan tidak terbatas pada pemandangan alam. Wanita dan aksi panggung adalah keindahan juga buatnya. Karenanya, walaupun Indonesia punya banyak sekali keindahan alam, secara umum dia lebih suka memotret manusia dan kesehariannya (karena manusia itu dinamis, penuh ekspresi, dan unik) yang dalam fotografi biasa disebut human interest. Lebih spesifik lagi, saat ini dia menggemari genre fotografi panggung, karena baginya, aksi panggung itu dinamis, penuh energi, dan momen yang terjadi tak bisa diulang. Menurut Bang Poltak, foto yang bagus itu sangat subjektif. Satu yang pasti, foto yang bagus itu enak dilihat. Sedikit trik dan tipsnya buat kita: untuk foto bagus secara umum triknya adalah ambil gambar dengan komposisi yang baik, upayakan pesan yang ada di foto tersampaikan kepada audience. Tipsnya, jangan terbatasi oleh peralatan, maksimalkan apa yang dimiliki dan kuasai alat. Untuk hasil jepretan lainnya, silakan kunjungi biglonelybear.tumblr.com
IMAGES IN THIS GALLERY: So serious Reach for the money Curse of Lamia Kaka Slank Mark Kloeppel of Misery Index Trison Manurung Paul Gilbert of Mr. Big Steffen Kummerer of Obscura A guy from Misery Index
FREE ROAM
LIVE YOUR DREAM! oleh Uly Ugly
I
ngat gak, dulu pernah diberitain bahwa dunia bakal kiamat di tahun 2012? Bahkan sempat dibuat filmnya juga; “2012”. Ada yang ngebahas dari sisi siklus kalender bangsa Maya yang berakhir pada 21 Desember 2012, dan ada juga yang ngebahas dari sisi solar system kita (akan ada badai matahari atau tabrakan dengan planet Nibiru, dll). Sekilas, intinya pada 21122012 nanti bakal ada bencana yang sangat besar menimpa bumi, yang menyerupai kiamat kecil, kalo gak bisa dibilang kiamat. Tapi, kiamat kecil tetaplah kiamat, doomsday, catastrophe, bencana super dahsyat, end of the day, end of my day? Kalo boleh tau, apa yang terlintas pertama kali dalam pikiran kalian pada saat mendengar berita tersebut? Kalo gw… Mid 2009 Gilaaak!!! 2012 bakal kiamat?? Bukan kiamat beneran sih, cuma kiamat kecil!! Tapi kan tetep aja belum tentu gw bisa survive dari bencana besar itu. Iya sih, gw pasti bakal berjuang untuk menyelamatkan diri sampe titik darah penghabisan kaya’ di film-film Hollywood yang bombastis, fantas-
tis dan spektakuler itu, tapi kan, ya ampun, gw belum mewujudkan mimpi-mimpi gw nih, masa’ sih udah harus ke kubur duluan??!! Gw kan pengen ngerasain jadi rocker, gw pengen banget backpacking keliling dunia, arrrgghhhhh. Gilaaak!!! (gw getok kepala gw sendiri), di saat orang harusnya inget tuhan atau inget amal ibadah dan perbuatannya di dunia, atau bahkan berlomba-lomba untuk ngumpulin pahala buat modal ntar ke surga, lah gw kok masih aja malah mimpi pengen macem-macem? Baiklah, urusan rocker kayaknya udah sempat ngerasain walaupun cuma band ecek-ecek di smp dan di kantor dulu. Nah, sekarang backpacking!! Ini spesial banget buat gw, dari dulu gw suka ngebayangin gw dan pasangan gw backpacking keliling dunia kaya’ bule-bule itu, modal kere atau nggembel, yang penting bisa liat banyak tempat bagus di dunia, bisa liat budaya macem-macem negara di dunia, bisa dapet pengalaman banyak selama perjalanan keliling dunia. Pokoknya, gak boleh gak, ini harus jadi beneran!! (kecuali ya kalo tuhan gak ngijinin, hehe). Pokoknya jangan sampe gw
mati sebelum jelajahin itu semua, minimal sebagiannya deh. Masa’ dari lahir sampe mati taunya cuma sekitar Indonesia doang (itu juga gw bersyukur banget selama di Kantor Pusat gw cukup banyak keliling Indonesia sekalian tugas), dunia itu sangat luas kawan! Bukan cuma selebar daun kelor! Dunia ibarat buku, maka mereka yang gak pernah jalan-jalan berarti cuma baru baca satu halaman saja dari buku tersebut. So, siap-siap aja deh semua, gw bakal nyelesein baca this world book, this lonely planet book. So, Europe, Africa, America, Australia, Asia, every place in this world, just prepare for my coming!!! End of 2009 Rencana udah gw susun matang. Gw bakal ngambil hak ‘cuti besar’ gw selama tiga bulan di tahun 2010 untuk backpacking ke Inggris, Eropa, Afrika (Mesir) dan Asia (Nepal) sendirian. Yup! sendirian! Gw nekad (beda jauh ama tekad) bakal solo backpacking alias keleleran nggembel sendirian di negeri orang. Emang sih gak seperti impian gw yang pengen backpacking keliling dunia bersama pasangan, tapi gw cukup mengerti, dan bersyukur wa-
laupun tanpa ditemani pasangan, tapi dia sangat mendukung gw untuk mencapai impian gw ini (love you much, Bay). Oiya, perlu dicatat juga bahwa ini adalah kali pertama gw pergi ke luar negeri, bahkan ke negara tetangga yang paling deket, ke Malaysia atau Singapura aja gw belum pernah. Makanya ini bener-bener pengalaman pertama gw buat segalanya, termasuk ngurus-ngurus paspor, visa (plus tetek-bengek kelengkapannya), surat ijin ke luar negeri, permohonan cuti besar di luar kelaziman (bukan untuk alasan keagamaan ataupun kesehatan), buat itinerary selama tiga bulan, termasuk konfirmasi transportasi dan akomodasi di sana, juga masalah keuangan dan currency dll. Dan gw kasih tau ke kalian semua, bahwa itu semua gak ada yang gampang! Panjang banget kalo gw ceritain semuanya di sini, tapi yang mau gw kasih tau adalah, sebanyak atau seberat apapun hambatan atau tantangannya, jangan pernah menyerah! Jangan putus asa, cari terus jalan lain ke Roma, karena impian itu sangat berharga untuk diperjuangkan. Makanya maju terus pantat mundur, eh pantang mundur!!! Early 2010 Para praktisi bilang; teori tidak selalu sama dengan praktek. Para filsuf bilang; tidak ada nilai yang absolut, karena selalu ada faktor x yang mempengaruhi. Rohaniawan bilang; manusia hanya bisa berencana, tapi tuhan yang menentukan. Orang bijak bilang; taat pajak! Hihihi. Gw bilang; apapun hasilnya, sepanjang kita udah usaha maksimal, maka itulah yang terbaik yang tuhan kasih untuk kita! Demikian juga dengan rencana backpacking gw, walaupun udah gw persiapkan dan perjuangkan sedemikian rupa, tapi gw harus puas dengan hasil yang banyak mengalami perubahan. Gw harus rela mencoret UK dan Mesir dari daftar perjalanan gw, dan itu sempat membuat gw nangis bombay sewaktu tau permohonan visa ke Inggris ditolak setelah sekian lama gak dijawab-jawab. Hayalan gw langsung ke Abbey Road, London, Liverpool dan semua tempat di Skotlandia yang jadi tujuan utama gw di UK (kalo Mesir emang akhirnya gw drop karena gak cukup waktunya). Belum lagi gw harus merubah itenerary termasuk membatalkan sebagian penerbangan dan booking hostel backpacker, juga janji numpang nginep di rumah para backpacker di sana. Kebayang kerugian uang dan repotnya mengurus itu semua. Tapi seperti om Harvey Malaiholo bilang; hidup tiada mungkin tanpa perjuangan, tanpa pengorbanan. So, tetap semangat!!! June - August 2010 Akhirnya, jadi juga gw berangkat!! Gw seperti masuk ke alam mimpi, antara nyata dan tidak, tapi yang jelas jantung gak berhenti berdegup keras, gak tau karena
sangking senengnya atau karena deg-degan plus ketar-ketir juga ngebayangin bakal sendirian wara-wiri di sana, hiiii! Singkat cerita, banyak pengalaman yang gw dapet selama perjalanan ini. Yang pasti ilmu geografi gw jadi nambah, heheh. Tapi yang gw sayangkan, Bahasa Inggris gw gak gitu banyak perkembangan, karena di sana gw mendadak jadi males ngomong dan bicara seperlunya. Kalopun ketemu temen ngobrol yang cocok, itupun dengan grammar yang kaya’nya banyak ngaconya, yang penting komunikasi jalan dan dimengerti, hihihi. Pengalaman berharga lainnya yang bisa gw dapetin antara lain adalah pengalaman untuk menyelesaikan masalah dan berani mengambil keputusan sepaket dengan konsekuensi yang ditimbulkannya, pengalaman berani mengatasi rasa takut dan percaya sepenuhnya pada sang kuasa, pengalaman teknik berkomunikasi dan bertoleransi saling menghargai setiap perbedaan (tanpa harus ikut diklat teori communication skill dari Pusdiklat Pajak atau Keuangan), pengalaman memahami latar belakang terbentuknya suatu kebiasaan, tradisi, budaya dan perilaku yang berbeda tanpa lebih dulu menghakimi atau menilai negatif secara sepihak, pengalaman studi banding tata kota, infrastruktur sarana prasarana kota dan pengelolaannya yang profesional, juga kepariwisataan suatu negara (tanpa harus melalui studi banding yang dibiayai mahal oleh negara, yang notabene adalah uang rakyat), pengalaman belajar menghargai sejarah dan bangunanbangunan tua, pengalaman menghargai lingkungan dan bagaimana memeliharanya, pengalaman menghargai para pejalan kaki dibanding para pemakai kendaraan bermotor, pengalaman membaca peta dan menelusuri jalan-jalan di dalamnya yang sesuai (akurat) dengan skala petanya, pengalaman menikmati keindahan alam ciptaan tuhan yang tersebar di mana-mana, dan banyak lagi pengalaman berharga lainnya yang sadar atau gak sadar, pasti gw dapetin selama perjalanan ini. Mungkin ungkapan ‘pengalaman adalah guru terbaik’ begitu sering kita dengar dan terkesan sangat klise di telinga kita, tapi percayalah, itu akan menambah wawasan dan mempengaruhi sudut pandang kita terhadap sesuatu. Buat gw, lebih baik kita kaya pengalaman daripada kaya harta. Oiya, kalo kalian pengen tau dan liat cerita lengkap perjalanan gw di tiap negara di Eropa dan di Nepal, bisa diliat di blog perjalanan gw yang sampe saat ini belum jadi juga dibuat! Hahaha, sorry (terutama buat my dear husband dan Ayip). Gw emang rada males untuk urusan beginian, tapi janji adalah janji, mudah-mudahan next time gw bisa menepatinya, kan emang gak ditargetin waktu juga kan, hihihi. Tapi untuk sementara ada sebagian foto-foto yang gw sertakan di sini, mudah-mudahan bisa
sedikit menceritakan situasi perjalanan gw. During 2011 Setelah pengalaman bacpacking di tahun 2010, dulu yang selalu gw anggap cuma mimpi, sekarang gw ganti namanya jadi resolusi (cieee, apaan tuh?!). Karena sebenernya gak ada mimpi yang gak bisa dicapai kalo kita bener-bener berusaha memperjuangkannya (Agnes Monika aja bisa go internasional, hehehe), that’s why di tahun 2011 ini gw menetapkan resolusi gw adalah solo backpacking ke titik km nol Indonesia paling barat di Sabang dan titik km nol paling timur di Merauke. Kalo dana memungkinkan bisa juga ke titik-titik lain di antara dua titik km nol tersebut di wilayah Indonesia yang belum pernah gw kunjungin. Seperti juga pengalaman di tahun 2010, ternyata gak semua resolusi gw bisa tercapai, tapi seperti yang biasa para motivator itu bilang (halah!); kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda, so walaupun di tahun ini gw belum bisa mewujudkan ke titik km nol paling timur Indonesia di Merauke dengan alasan dana dan keamanan, tapi buat gw ini hanya masalah waktu, someday gw pasti (kalo tuhan ijinkan) akan kesana! 2012, in the present So, sepanjang ini gw cerita tentang mimpi gw, ternyata konyol banget kan? Ternyata motivasi gw untuk mewujudkan mimpi backpacking keliling dunia itu cuma gara-gara masalah konyol yang belum tentu juga kejadian, yaitu isu tentang kiamat. Tapi justru karena itulah, semakin memperjelas bahwa apapun motivasinya, sekonyol apapun itu, kalo udah kita niatin sungguh-sungguh, dan percaya kita pasti bisa melakukannya, itulah yang akan menjadi semangat buat kita berjuang terus untuk mencapai apa yang kita impikan. Kalo ditanya apakah gw sudah cukup puas dengan mimpi-mimpi gw tadi, jawabannya: tentu tidak! Karena gw kan belum jadi ke Merauke, UK dan Mesir, dan masih banyak lagi tempat-tempat di dunia yang pengen gw ‘baca’ seperti Tanzania, Afrika Selatan, Madagaskar, Peru, Chile, Brazil, New Zealand, Greenland, Japan, India, Rusia, Amerika, pokoknya semua halaman dari buku yang namanya dunia. Tapi, apa nanti bisa tercapai semua? kalo boleh gw pinjem quote-nya mas Dhani Blues, yang mengutip kata-kata bang Jimi Hendrix; i’m the one that has to die when it’s time for me to die, so let me live my life the way i want to. Jadi biarkanlah gw menjalani hidup gw dengan bermimpi, karena dengan mimpi itulah gw bisa hidup! So, selamat bermimpi teman-teman! Dan selamat berjuang untuk meraihnya!
.
FREE ROAM
WHAT’S THIS LIFE FOR? oleh Moh. Hijrah Lesmana
Suatu ketika, saya membuka surat yang sudah usang dari seorang kawan lama. Kami memang sering saling berkirim surat semenjak terpisah jarak dan waktu. Isi suratnya biasa saja, seperti pada umumnya seorang kawan lama yang lama tidak bersua. Dulu, saya dan sahabat saya itu sering bertukar puisi untuk dibahas bersama. Juga sering diskusi tentang permainan masing-masing setelah menjalani pertandingan sepakbola.
Y
ang membuat saya teringatingat dan kemudian berpikir sejenak adalah di akhir kalimat ia mengajukan pertanyaan yang menggelitik nurani saya; “kamu telah bekerja sekian lama, telah bertemu dengan banyak orang dan telah merantau sekian tahun, lalu kira-kira hal apa yang telah kamu dapat selain penghasilan? Benarkah kamu telah memperoleh pelajaran dari hidup? Jika begitu, maka aku harus banyak belajar darimu”. Bukankah kita semua mendapat pelajaran, hanya caranya saja yang berbeda? Entahlah, kawan. Hidup mengajarkan banyak hal, tapi aku tidak dapat membukukannya, atau aku tidak dapat menggunakan pelajaran itu di waktu dan kesempatan yang lain. Semua orang juga begitu. Semua itu berjalan sesuai dengan alurnya, seperti halnya ketika hujan, kemudian panas menerpa sehingga seolah-olah tidak pernah turun hujan sebelumnya. Saya, mungkin juga kebanyakan dari kita, pasti pernah menanyakan (atau mempertanyakan) -seperti halnya sahabat saya itu- apakah yang telah kita capai dalam hidup, sejauh ini? Saya kira itu lebih substansial daripada apa yang kita makan hari ini? Atau, besok mau ngapain ya? Atau juga, apa yang kita bisa beli hari ini?. Tolok ukur keberhasilan pencapaian setiap orang tentu berbeda. Mantan teman smu saya dengan bangganya menunjukkan pangkat kepolisiannya ketika reuni. Seorang teman yang lain, yang tidak lebih pintar dari saya ketika sekolah, menjadi pengusaha yang image taken from followjonathan.wordpress.com
cukup sukses di dunia maya. Seorang teman yang lain, yang selalu mendapat ranking ketika sekolah, sampai kini masih mondarmandir menawarkan curriculum vitae-nya ke berbagai perusahaan. Ada juga yang ketika sekolah ndableg (Jawa: nakal), eh sekarang malah jadi muslim yang taat, kemana-mana berbaju koko dan di setiap kesempatan selalu menghadiri majelis dan tak lupa berfoto bersama ustadz-nya. Sri Sultan, konon belum melaksanakan ibadah haji karena merasa belum menyejahterahkan rakyatnya. Ada ujar-ujar yang populer, life begins at 40. Mungkin, itu karena di usia segitu, orang sudah (kelihatan) mapan. Punya keluarga, pekerjaan tetap dan tabungan cukup. Di saat yang sama, penyakit juga mulai berdatangan (mungkin lebih tepatnya bermunculan). Itu sebabnya, hidup seolaholah dimulai pada usia 40. Padahal kalau mau dirunut tahun-tahun ke belakang, hidup sudah dimulai sejak Anda lahir, dan ‘perjuangan’ Anda secara praktis dimulai sejak Anda baligh, merantau, kuliah atau bekerja dan kehidupan akan berakhir ketika Anda merasa bahwa tidak ada lagi yang ingin Anda capai. Dalam dunia sepakbola, pelatih Manchester United, Sir Alex Ferguson, mungkin merasa ‘belum terlalu tua untuk berhenti’ sehingga di usia 70 ia enggan pensiun, dan memilih untuk bersaing dan bertarung dengan pelatih-pelatih yang masih muda, seperti Andre Villas-Boas (33 Tahun), meski ia telah mencapai banyak hal dari sepakbola. Salah satu pemainnya, Ryan Giggs pun begitu. Jika Anda meli-
hatnya bermain, Anda mungkin tak akan percaya bahwa ia telah berusia 38 tahun, seolah-olah ia mengatakan “saya tak akan berhenti, karena tak ada yang bisa menghentikan saya kecuali diri saya sendiri”. Hidup itu seperti lomba lari, tak ada jalan lain kecuali tetap berlari dengan kekuatan sekencang-kencangnya, jika tak ingin tertinggal dengan ‘kompetitor lain’. Tetapi tentu saja ada kalanya ada titik henti, mengambil nafas, masuk ke pitstop, memikirkan strategi berikutnya dalam beberapa detik atau mempersiapkan rencana B. Dalam perkembangannya, kemenangan tidak hanya ditentukan oleh siapa yang tercepat atau terkuat, tetapi siapa yang mampu meleburkan potensi sekecil apapun dalam diri guna diberdayakan menjadi sesuatu yang berguna bagi dirinya. Bagi saya, pencapaian itu adalah memenangkan gelar mayor dengan melatih klub-klub kecil di gim fantasi Football Manager, menaikkan layang-layang kala angin sepoi-sepoi, memberikan assist kepada kawan dalam permainan futsal atau bisa bangun pagi dan kemudian merasakan ketakjuban keajaibannya. Di sisi lain, tidak mengecewakan instansi, memberikan anak dan istri apa yang mereka lebih dari butuhkan atau ilmu agama yang semakin bertambah, adalah pencapaian dalam dimensi yang lain. Jika hidup adalah sebuah puisi, maka ia takkan pernah habis ditulis, karena kata-katanya telah jatuh di lautan suara.
.
FREE ROAM
ANYER
oleh Indah Pujiati
K
alau Anda penyuka pantai atau laut, datanglah ke Anyer. Eh ada catatan ding, untuk yang bertempat tinggal di seputaran Jabodetabek-lah, kecuali kalau memang Anda penyuka travelling, jarak bukan masalah. Coba deh ke sana, mau jenis pantai yang berbatu karang atau yang berpasir (lumayan) putih, yang ramai atau yang private, semuanya ada, tinggal pilih di mana mau berhenti. Kalau ke sana tidak membawa bekal makanan sendiri, tidak usah khawatir, banyak kedai makanan, sebagian besar menawarkan seafood tentu saja. Hanya saja, siap-siap membaca tagihan yang lebih besar dari perkiraan. Eh ada catatan ding, untuk yang berkantung tebal, tidak ada masalah ya hehe. Kedai makanan ini terse-
bar luas, baik yang langsung menghadap laut, maupun yang menghadap jalan raya. Saya sarankan pilih yang langsung berhadapan dengan laut. Sensasi angin laut yang menerpa kala menyantap makanan tuh ya, alamak sedap nian. Apalagi ketika minum air kelapa muda langsung di tempurung, di atas saung, sambil melihat ombak yang bergulung, seger banget. Kalau ke Anyer pas musim angin kencang, tidak perlu khawatir, malah seru lihat ombak yang tinggi bergulung-gulung. Eh ada catatan ding, untuk yang senang berenang di laut, atau yang suka naik perahu, banana boat atau jet ski, ya mungkin kecewa, kan dilarang oleh petugas melakukan jenis-jenis olahraga tersebut. Percaya deh, lihat ombak tinggi menerpa batu karang atau tanggul tuh fenomena alam yang keren
banget. Apalagi kalau berdiri dekat tepian, lalu kena butiran-butiran air laut yang terpercik, hmm seger. Kalau memang pengin ke Anyer, siap-siap menempuh perjalanan yang kurang nyaman ketika melewati Kawasan Industri Cilegon. Eh ada catatan ding, untuk yang menggunakan mobil atau bis yang nyaman serta dilengkapi fasilitas yang mengakomodir jalan yang kurang bagus, tidak ada masalah kali ya. Selain jalan yang kurang bagus, masalah macet juga sering terjadi, hampir di sepanjang jalan yang menuju ke arah pantai, apalagi di kawasan industri. Ah, tapi kesulitan menuju ke sana akan terbayar lunas dengan suasana dan pemandangan yang mempesonakan kok. Jadi tenang aja. Tunggu apa lagi??!!
.
LIFE BEGINS AT 40 oleh Chresno Daroe Warsono
A
khir tahun 2009 lalu usiaku genap 40 tahun, sudah tua juga ternyata. Setidaknya ada 3 peristiwa kecil pada tahun itu yang membuatku teringat akan ketuaanku ini. Pertama, sekitar bulan Mei, aku sedang mengikuti tugas diklat di Jakarta. Malamnya aku manfaatkan untuk jalan-jalan ke Jl. Sabang dan Sarinah Thamrin, melihatlihat koleksi cd di 2 toko favoritku sewaktu masih tinggal di Jabotabek dulu. Dari Blok M aku naik busway ke arah kota. Ketika aku memasuki bis itu, semua kursi sudah terisi dan dengan santai aku bergerak ke arah belakang, mencari posisi berdiri paling nyaman. Bagiku berdiri di bis bukan masalah, masih kuat kok. Belum sampai halte masjid Al Ashar, ada seorang anak muda yang tadinya duduk di kursi belakang mencolek tanganku dan berkata; “silakan, Bapak duduk saja”. Setengah kaget aku pun mengucapkan terima kasih dan segera menempati kursi yang
dimaksud. Sambil duduk aku jadi berpikir, apa aku sudah nampak sedemikian renta sehingga anak muda itu menganggap aku termasuk kategori yang mendapat prioritas tempat duduk di busway (selain orang cacat dan ibu hamil)? Kedua, sekitar Juli, kejadiannya di kantin kantor. Ketika aku buka dompet buat bayar makan siang, si pelayan kantin yang sempat melihat foto istri dan anakku di dompet berkomentar; “itu anak-anakta?” (‘ta’ kependekan dari kata ‘kita’, dalam dialek Makassar kata ‘kita’ adalah sebutan sopan bagi lawan bicara, meskipun tunggal). Hah?? Apakah tampangku sedemikian tua sehingga pantas jadi bapak buat istriku yang sebetulnya hanya 6 bulan lebih muda dariku? Ketiga, yang ini juga terjadi di Jakarta, ketika ada tugas. Sore itu aku bermaksud ke Aquarius Pondok Indah, dari Blok M naik metro mini 72. Menjelang tempat tujuan aku segera berdiri dan bergerak ke arah pintu belakang. Di pintu, si kenek
menegurku dengan pertanyaan “turun di mana be?” Be maksudnya babe. Bah, padahal kemaren-kemaren para kenek ini masih menyapaku dengan sebutan ‘bang’. Tiga peristiwa kecil itu telah membuatku merenungkan usia yang tidak muda lagi dan mencoba instropeksi diri, aku sedang memasuki dasawarsa ke-lima dalam hidup. Apa yang telah aku capai sampai saat ini? Aku hanya bisa berharap agar semangat hidupku tidak akan pernah surut seiring bertambahnya usia ini. Mungkin benar, dan semoga saja benar, kata orang bahwa life begins at 40. Jadi masih banyak yang akan bisa digapai dan dinikmati di masa yang akan datang, kan ini baru permulaan. Usia boleh bertambah, yang pasti harus tetap keep on rocking and keep on progressing.
.
H8’S NOTES
CUM ON FEEL THE NOIZE Catatan-catatan oleh Andria Sonhedi
Cum On Feel the Noize Saya dengar dari teman grup Sepultura mau konser lagi di Indonesia. Dahulu kala, tahun 1992, Sepultura mampir ke Indonesia dalam rangka tur dunia album “Chaos AD”. Sebenarnya saat itu lagu-lagu mereka termasuk baru di telinga penggemar musik heavy metal. Berbeda dengan Metallica yang mengusung lagu-lagu yang masih bisa diterima kuping, musik Sepultura lebih berisik dengan vokal yang menggeram. Tapi nyatanya, stadionnya penuh, bahkan banyak yang menyelundup masuk untuk nonton. Cukup hebat untuk grup yang baru dikenal (walau di luar negeri album sebelumnya, “Arise”, termasuk dapat pujian majalah Guitar World). Saat ini Sepultura sudah tidak murni dengan formasi yang datang 17 tahun yang lalu, Max Cavalera sudah keluar membuat grup Soulfly. Tentang nama Sepultura, dulu di kalangan pendemo sering diplesetkan menjadi Sepuluh Tuntutan Rakyat. DragRace Saya mengenal DragonForce agak lama sebelum kaset & cd resminya beredar di Indonesia, mungkin sekitar tahun 2004. Kalau nama grupnya saya malah duluan tahu dari internet, cuma saat itu tak tahu corak musiknya. Saat ke Yogya pernah juga ditawari oleh Pak Priyo (penjual kaset seken di Bringharjo) kasetnya, tapi saat itu masih bajakan dalam negeri ilegal. Saat itu saya memang tak pernah beli kaset bajakan, apalagi cd bajakan. Maklum barang-barang itu tak ada harganya kalau dijual lagi dan hanya menuh-menuhi penyimpanan saja. Namun karena saya mulai bosan karena wawasan pendengaran musik saya tidak bertambah terutama karena tak juga dapat
kaset orisinil (saya sangat, sangat jarang beli kaset di toko) yang keluaran baru maka saya mencoba beli cd bajakan. Walau demikian, itupun yang bukan sembarang cd bajakan. Pada awalnya saya beli cd Riot “Thundersteel” dengan alasan pembenar untuk menjaga agar kaset aslinya tak rusak, maklum yang punya kaset aslinya sangat sedikit dan saya belum pernah lihat ada yang pernah memajang di lapak kaset seken. Ini grup heavy metal veteran yang khusus album ini mereka merubah corak mereka menjadi lebih cepat dari yang biasa mereka mainkan. Mungkin mereka termasuk pionir speed metal di Amerika. Lama-kelamaan saya tergiur juga untuk membeli lagi, apalagi kalau melihat deretan cover cd bajakan (yang ini harganya Rp. 10.000) di tempat penjualnya. Akhirnya suatu saat ke Tunjungan Plaza (pusat kulakan cd bajakan di Surabaya) dengan mas Wahid & Sony (teman kantor saya) saya beli cukup banyak cd dari beberapa grup yang gambar cover maupun namanya pernah saya lihat. Salah satunya adalah DragonForce tadi. Seperti yang saya ceritakan di awal tulisan, melihat judul album mereka; “Valley of the Damned”, saya anggap mereka grup death metal bersuara parau namun berkecepatan tinggi (ada kata ‘force’-nya tadi itu). Kali ini saya salah, mereka ternyata beraliran speed metal dengan vokal melengking tinggi dan jernih sehingga saya langsung jatuh hati dengan album ini, apalagi ditunjang permainan gitar berkecepatan tinggi dari Herman Li dan Sam Totman. Ternyata power speed metal belum berakhir walau nu metal dan garage rock sedang merajalela saat itu.
Extreme Aggression Kreator adalah kelompok musik thrash metal yang terkenal dari Essen, Jerman. Mereka mulanya bernama Tormentor. Memulai karir mereka di awal 1980-an, mereka memainkan musik dengan pengaruh dari Slayer dan Venom. Gaya musik mereka mirip dengan kelompok-kelompok musik sejaman lainnya seperti Destruction dan Sodom (biasanya disebut sebagai trinitas band thrash metal Jerman). Mereka berbeda dari Bay Area Thrashers dalam hal brutalitas dan kecepatan. Makanya saat saya pertama kali dengar kaset mereka, “Extreme Aggression”, segera saya kembalikan ke teman saya. Sekitar awal era 90-an memang belum banyak yang bisa segera menerima musik mereka (dan yang sejenisnya). Kreator pernah konser di Indonesia saat mempromosikan album “Enemy of the God” (2006), cukup lama sejak saya mendengar nama maupun musik mereka pertama kali. Sayang sekali mereka tidak konser di Yogya, justru malah di Surabaya (selain di Jakarta) dan bertempat cukup jauh dari kota, di pantai Kenjeran. Sebenarnya saya juga pas ada di dekat Surabaya saat itu namun karena tidak ada yang ngajak ya nggak nonton. Dalam sebuah wawancara, Mille menerangkan bahwa nama Kreator merujuk khusus ke makhluk buas dari hutan. Maskot Kreator adalah makhluk botak bertaring dan bertelinga runcing yang hampir selalu ada dalam cover album mereka. Against the Wind Joe Satriani adalah salah satu pionir instrumentalis gitar di jaman modern ini, mungkin bisa dibilang mirip dengan Johan Sebastian Bach pada zamannya dulu. Bedanya, di jaman dulu musik instrumental sama digemarinya dengan nyanyian, sedang saat ini orang lebih mengutamakan musik yang ada vokalnya. Pada saat itulah Joe muncul, dan seperti biasa para pionir, dia harus berusaha keras agar karyanya dapat diterima sejajar dengan musik umum lainnya. Saat ini sudah banyak video bajakannya bersama G3 di pasaran, bahkan di lapak kaki lima. Joe sendiri sebenarnya pernah ke Indonesia, saat itu sebagai gitaris pengiring konser Mick Jagger. Sebelum terkenal dia sempat mengajar di Guitar Institute of Technology. Kalau tak salah Kirk Hammet (Metallica) dan Steve Vai pernah berguru padanya. Saya sendiri baru mengenal musik Joe setelah membaca artikelnya di sebuah koran lokal, sekitar akhir 80-an, lalu membeli kaset “Surfing with Alien”. Salah satu lagunya, “Always with Me Always with You”, saya minta disetel saat pesta pernikahan saya di Yogya untuk melengkapi kebahagiaan saya.
Dreamworks Nama Dream Theater saat ini sudah lebih familiar di telinga penggemar musik rock/ metal, atau setidaknya kaos berlogo Dream Theater sudah banyak yang memakai. Namun saat album “Images and Words” beredar di Indonesia sekitar tahun 1993 belum banyak yang tertarik dengan adonan musik mereka. Terutama karena saat itu aliran rock alternatif dan post punk sedang merajalela. Tapi pelan-pelan melalui lagu “Pull Me Under” dan terutama “Another Day” separuh balada Dream Theater mulai menjembatani peminat musik easy listening dengan musik mereka yang njelimet. Walau demikian, teman saya dulu bilang kalau ada pengamat musik yang menyebut Dream Theater akan bubar karena terlalu idealis dengan prog metal mereka sementara masyarakat menginginkan musik simpel. Syukurlah analisa pengamat tadi salah, justru makin banyak penggemarnya dari tahun ke tahun. Konser mereka selalu ditunggu, walau jarang sekali mereka mengunjungi Asia Tenggara. Anehnya, walau semua album mereka, dari “Images and Words” sampai dengan “Octavarium” di tahun 2005, tak pernah satupun kaset live-nya beredar di Indonesia. Padahal sejak “Live at Marquee” (1993) yang berisi lagu-lagu dari “Images and Words”, mereka rajin mengeluarkan album yg diikuti dvd live-nya. Terakhir untuk album “Octavarium” diterbitkan live berjudul “Score” (2006). Semenjak ditinggalkan Kevin Moore, pemain keyboard, mereka sudah 2 kali merekrut pemain pengganti yang akhirnya pilihan sebagai keyboardis tetap adalah Jordan Rudes. Sebenarnya, semenjak awal Dream Theater menginginkan Jordan Rudes namun saat itu dia lebih memilih bergabung dengan The Dixie Dregs. Maka sambil menanti Jordan Rudes siap dipakailah Derek Sherinian sebagai pemain tak tetap, dimulai dari promo album “Awake”. Family Tree Yang pernah suka (atau masih suka) thrash metal biasanya tahu para pionir thrash metal Amerika sebagai Big Four. Mereka adalah Metallica, Megadeth, Slayer dan Anthrax. Walau demikian, masih ada dua lagi grup yang dianggap turut andil dalam perkembangan thrash metal di hari-hari awal; Exodus dan Testament. Uniknya, diantara mereka, kecuali Anthrax, ada salah satu anggotanya yang pernah saling mengisi posisi walau cuma sebentar. Kirk Hammet adalah gitaris awal Exodus sebelum diajak gabung Metallica. Dave Mustaine (Megadeth) adalah mantan gitaris Metallica pada periode awal. Kerry King (Slayer) pernah jadi gitaris di Megadeth pada masa awal pendirian. Vokalis
Exodus, Chuck Billy , setelah Paul Baloff, bertukar dengan vokalis Testament, Zetro. Drummer Testament pindah ke Slayer atau sebaliknya (walau ini terjadi di masa sekarang); John Dette, Paul Bostaph, Dave Lombardo. Sebenarnya banyak juga grup thrash saat itu, antara lain Overkill, Flotsam & Jetsam, Whiplash dan Forbidden, namun ke-6 grup di atas itu yang namanya identik dengan thrash metal. Spirit in Black Kebanyakan penggemar heavy metal menganggap formasi Black Sabbath terbaik adalah Tony Iommi, Ozzy Osbourne, Geezer Butler, dan Bill Ward. Namun ada pula yang lebih suka Black Sabbath di era vokalis Ronnie James Dio atau Tony Martin. Jarang ada yang suka album “Born Again” dengan vokalis Ian Gillian (Deep Purple). Lagu pertama Black Sabbath yang saya dengar adalah “Paranoid”. Walau saat itu saya lebih sering mendengar “Queen” yang dianggap masih tidak terlalu berisik, namun lagu “Paranoid” tadi masih di bawah perkiraan saya. Citra Ozzy Osbourne yang liar dan sering berfoto seram kala itu (coba lihat cover album “Bark at the Moon”) awalnya membuat saya berpikir lagu-lagunya bakal seperti yang mungkin sekarang kita kenal sebagai death metal. Nyatanya musik mereka masih ada harmoninya, berterima kasihlah pada Tony Iommi yang memilih nada-nada dan riff yang enak didengar. Ozzy sendiri setelah keluar (dipecat tepatnya) tak mau bergabung lagi, apalagi membuat album baru dengan Sabbath, walau akhirnya di era 2000-an dia mau berkonser reuni dengan teman-teman lamanya itu. Black Sabbath memberi pengaruh banyak, entah terdengar jelas atau tidak, dalam banyak grup-grup heavy metal era 80-an dan 90-an. Walau begitu, cap sebagai pemuja setan lebih sering dilekatkan ke mereka semata-mata karena set panggung yang gelap dan gaya hidup mereka yang berhura-hura. Mereka sendiri menolak keras cap tadi dan menyatakan memilih tematema fantasi (hampir semua ciptaan Geezer Butler sang bassist) semata-mata karena tak menyukai lagu bertema cinta dan bunga-bunga (gaya hippies saat itu). Salah satu album tribute untuk Black Sabbath ada yang masuk ke Indonesia dengan judul “Nativity in Black”. “Nativity in Black” diyakini oleh para penggemar adalah kepanjangan judul lagu “N.I.B.” yang isinya, menurut Ozzy, adalah setan yang jatuh cinta. Tony Iommi menjelaskan di Guitar World bahwa sebenarnya ‘Nib’ adalah panggilan mereka ke sang drummer, Bill Ward.
.
HALAMAN BELAKANG
TUCZINE
TAX UNDERGROUND COMMUNITY MAGAZINE DESIGN & MAINTENANCE BY DEDE HATE, FADLI MORON, ARIEF HIDAYAT ADAM & SAIFUL ANNASZ GHOZALI EMAIL : TUC.ZINE@GMAIL.COM OR VISIT US AT TUCZINE.TUMBLR.COM IMAGES & ARTICLES USED IN THIS MAGAZINE ARE COURTESY OF THEIR RESPECTIVE OWNERS
DON’T WASTE YOUR TIME WAITING FOR ANOTHER #ISSUE tuczine.tumblr.com