TUCZINE MAJALAH SETAHUN SEKALI JANUARI 2014 ISSUE #8
KONFORMIS
GAMBAR BESAR
HIT THE LIGHTS DEADSQUAD AT
JAVA ROCKIN’ LAND 2013 FOTO OLEH DIDIK YANDIAWAN
hitung kembali kawan yang pernah menjanjikan kepalan bangunkan kawan yang tersisa dan terlelap menenggak lipan kabarkan, setiap lini kehidupan adalah front terdepan kembalikan amunisi hasrat dan mimpi ke dalam barisan warisan kesumat yang membutuhkan lebih banyak lagi kanon lebih banyak lagi pembangkang sipil sebelum waktu yang banal jumud berkanal kawan, mana kepalan kalian? - Homicide BASA-BASI REDAKSI Menjejak lima tahun dan menuju penghabisan, dari samping neraka kami kembali hadir dengan konten usang, cerita basi dan banyak sekali racauan kosong. Terlahir sungsang dari rahim yang mulai melemah tereduksi naluri bertahan hidup dan akibat birahi yang berat sebelah, edisi kedelapan ini adalah sekaligus kado ulang tahun untuk kami. Sedikit lebih tebal, meski belum tentu lebih berisi, dan tentu saja jauh lebih lama dari sebelumnya. Sebagai sebuah majalah yang bermodalkan hasrat, keras kepala dan sepenuhnya menggantungkan hidup dari kontribusi pembacanya, kami mengucapkan terima kasih kepada kalian semua yang terus kami ganggu dari waktu ke waktu. Dan untuk kali ini, kami perlu menyebutkan Didik Yandiawan, yang telah menyelamatkan edisi ini. Terima kasih. Di tengah kondisi hidup yang terus menggerus dan pekerjaan dengan garis komando satu arah yang tidak boleh dibantah apalagi dilawan, kami berubah menjadi konformis sejak bertahuntahun lalu, seperti kalian. Sekumpulan penjanji insureksi yang lupa bangun dari mimpinya, serupa butir-butir pasir yang berniat merusakkan keseluruhan mesin namun tersapu atau malah ikut melebur. Tapi setidaknya, kami dan semoga juga kalian, lewat majalah sialan ini, masih bisa membuktikan bahwa kita masihlah tuhan atas waktu dan diri kita sendiri: tanda vital terakhir dari manusia merdeka. Selamat ulang tahun dan panjang umur para pembangkang-penggerutu-konformis sialan!
ISSUE #8 KONFORMIS COVER
TALENT LOLITA PHOTO TUKANG FOTO WISUDA KELILING DESIGN KANTORKU NERAKAKU ADV
BACKSOUND
“EXPERIENCE PROJECT” BY DURAN PROJECT SOUNDCLOUD.COM/DURANPROJECT
COLLABORATORS IN THIS ISSUE
DIDIK YANDIAWAN. AJAR REDINDRA ISLAMI. ANDRIA SONHEDI. MEIDIAWAN CESARIAN SYAH. NEVI EARTH. ARIEF HIDAYAT ADAM. DERRY MARSELANO. LISTRA MINDO. MUSTAFID AMNA. FEBY ANGGIANY. RUSNANI ANWAR. MARAHA SUFITRA. SAPTO SUPRIYANTO. AJI REBEL. HERWIN SIREGAR. ULY UGLY. MARDHANI MACHFUD RAMLI. TITI YULIANA. MOCH SYAICHUDIN. CHRESNO DAROE WARSONO. MOH HIJRAH LESMANA. OLAP LINDEI DAMANIK. M SYARIF MANSYUR. POLTAK OKTAVIANUS SIMANJUNTAK. GIGIH SANTRA WIRAWAN. NOUVAL RANTUNG.RADEN ANDRIANA. SURYA ISNAWAN. FADLI MORON. GALIH WIBOWO NUSANTO. ACHMAD SOFYAN RASYID. AKBAR SAPUTRA. RIDWAN FREDIAWAN. INDAH PUJIATI. MUHAMMAD FAHMI. I PUTU RYAN DESSAPTASOMA. ACENG SUNARYA. NIKO PRAYOGA. ANNASZ GHAZALI. ABRAM MARTIN. DEDE HATE. BOBBY DURJANA. PALLAWA RUKKA. JONI ISKANDAR. MASBOI MADE USING THE ROTTEN BADASS BLACK BENQ JOYBOOK S41 WITH 1.0 WINDOWS EXPERIENCE INDEX RATING FROM LEFT SIDE OF HELL
ROTTEN BADASS RULES FIVE YEARS MINCING THE ZINE
GAMBAR BESAR 2 BASA-BASI REDAKSI 4 CONTENTS 5 WELCOME TO OUR CROWD TAX UNDERGROUND CONFORMISTS 8 ISSUE EKS(TAX)SE 9 INTERVIEW HARLAN BOER 10 NATASHA ABIGAIL 13 WENDI PUTRANTO 14 EVENT BANTEN SCIENCE DAY 22 CASSETTE STORE DAY JAKARTA 24 OUR MUSIC HORRORCORE: ANOTHER TUNNEL IN THE UNDERGROUND 26 SPLAT PACK IN THE SCENE 29 CHICK MILA KARMILA 30 FEBY ANGGIANY 32 SENTILAN DI KALA SENGGANG PENGELUH BANGSAT 34 BERBAHAYA BLOODLINES 35 MIND DEER 36 UP CLOSE DIDIK YANDIAWAN 38 SCENE REPORT INDONESIAN FRENGERS 40 MUSICIAN UNITED 43 PARANTI BABAUNG 44 SOAD FANS INDONESIA COMMUNITY 45 SILENT SCREAM 46 MANADO BAY HARDCORE 47
PENADAH LUDAH BEBASKAN SELERAMU 48 SO LONG ROMANCE 50 SEBELAH MATA: SEJAUH MANA KITA MENGHARGAI LIRIK BERBAHASA INDONESIA 51 PERANAN PAJAK BAGI PERTUMBUHAN INDUSTRI MUSIK DI INDONESIA 52 RECORD STORE DAY DAN MOMENTUM PENYEMPURNAAN REGULASI PPN ATAS PENYERAHAN MEDIA REKAMAN SUARA 54 SERBA-SERBI KASET 56 (MUSIK DALAM FORMAT) KASET: DI ANTARA ROMANTISME DAN KENYATAAN 58 KEJUTAN DI MALAM TERAKHIR AQUARIUS MAHAKAM 59 CURHAT SEORANG METALHEAD 60 MENADAH LUDAH TIKET KONSER, A STAIRWAY TO HEAVEN 61 POINT OF VIEW PERAYAAN RILISAN FISIK 64 AKAN MENJADI BARANG KENANGAN 67 MY LIST 30 TOP COVER SONGS 68 HOUSES OF THE RISING SUN 70 INSIDE TUC MUSIM KAWIN DAN KUMPUL JOGJA 73 GIG REPORT ROCK IN CELEBES 2013 74 KONSER 30 TAHUN SLANK: NGGAK ADA MATINYA 78 METALLICA HITAMKAN JAKARTA 80
AND METALLICA FOR ALL 82 EUFORIA MENYERUAK 83 METALLICA IN JAKARTA: 1993 VS 2013 84 STEVE VAI LIVE IN JAKARTA 85 JAVA ROCKIN’ LAND 2013 86 BANDUNG BERISIK MMXIII: VERSUS THE WORLD 90 PAS PUKAU SCHOUWBURG 92 POGO-POGO DI SEMARANG 93 REVIEW BEST OF 2013 94 BOOK 128 MOVIE NEW FRENCH EXTREMITY 132 8 FILM HOROR PERANCIS YANG KETERLALUAN 136 MUSIC CLINIC MEMBUAT EFEK GITAR SENDIRI 140 GALERI PEREMPUAN-PEREMPUAN SENDU 142 KESAL SANG PENYAIR MUDA 148 MEET THE TAXMAN 151 WTF NYANYIKAN LAGU PERANG 154 TAXMAN MR. THIEF 160 FREE ROAR CATATAN SANG SENGKUNI 162 BUTUH ATAU INGIN 163 EPIGONISME DAN PLAGIARISME: FENOMENA MISKIN IDENTITAS 164 ANDRIA’S NOTES YOU KNOW YOU’RE RIGHT 166 HALAMAN BELAKANG 168
KAMI MENJEJAK LIMA TAHU DAN MENUJU PENGHABIS
UN
SAN image taken from youritlist.com
WELCOME TO OUR CROWD
TAX UNDER GROUND CO NFORMISTS MELAMBAT, MENUA, MELEMPEM, MENOLAK MATI OLEH AJAR REDINDRA ISLAMI
A
khirnya terbit juga majalah kebanggaan kita ini sampai edisi kedelapan (meskipun harus hiatus selama 2013 lalu), akhirnya berkumpul juga kita di Jogja tempo hari meskipun dengan peserta yang sedikit, dan akhirnya tidak selesai-selesai juga album kompilasi yang entah sampai mana perkembangannya saya tidak tahu. Oh well, harus kita akui hal-hal semacam ini adalah sebuah kemunduran. Apa yang kita capai dalam beberapa tahun belakangan ini memang lebih lambat dibanding saat awal-awal TUC berdiri. Berbagai kesibukan lain yang harus dihadapi oleh teman-teman seperti pekerjaan kantor, keluarga, cicilan utang, kegiatan sosial, kuliah, urusan asmara, atau bahkan game online adalah sebuah kepastian yang tentunya kita, sebagai masing-masing individu, hadapi. Satu hal yang menjadi pikiran saya adalah kenyataan bahwa setiap tahun, terutama beberapa tahun belakangan ini, institusi kita terus melakukan penerimaan pegawai secara masif, baik dari jalur sarjana atau STAN, yang entah kenapa tidak dibarengi dengan bertambahnya jumlah anggota TUC. Dengan banyaknya anggota senior produktif yang menikah (entah demi mengejar status sosial atau sekedar pembuktian orientasi seksual) belakangan ini, saya rasa TUC sangat membutuhkan suntikan tenaga dari generasi-generasi baru DJP. Saya tidak tahu bagaimana cara komunikasi kita dengan teman-teman DJP 8 I TUCZINE.TUMBLR.COM
lainnya sekarang ini dan apa masalahnya, mengingat saya sendiri sedang tugas belajar. Apakah Pojok TUC masih ada? Apakah pak Andria masih rajin bagi-bagi lagu? Atau mungkin memang tidak ada yang sudi bergabung dengan kita, mengingat memang makin menyedihkannya selera musik anak muda sekarang? Saya sendiri yakin akan selalu ada sebagian individu yang anomali di setiap populasi. Pasti ada yang selera musiknya tidak lazim di antara para pegawai baru itu, setidak lazim komunitas kita ini. Namun tidak berarti juga apa yang sudah kita punya sekarang tidak cukup untuk memutar roda mesin TUC ini. Apalah artinya darah baru kalau tidak produktif, militan dan punya sense of belonging pada keluarga besar ini. Di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang mengeluh dan mogok kerja karena ingin profesinya dihargai, nyatanya majalah kita tetap terbit (di sela kesibukan kantor kita masing-masing, meskipun pemimpin redaksinya hanya dibayar dengan pujian ‘keren’), gathering tetap seru, dan album kompilasi tetap dalam progres. Menua dan melambat adalah sebuah keniscayaan, tapi TUC tidak akan berhenti. Tambahan darah segar akan sangat berarti, tapi tanpa itu pun kita akan tetap menolak untuk mati. Dan asal kalian tahu saja, pada saat kalian membaca tulisan tidak jelas ini, puang Dede sudah menyiapkan bahan untuk edisi kesembilan yang entah terbitnya kapan. Tunggu saja! Panjang umur para konformis!
.
ISSUE
EKS(TAX)E
“
OLEH MEIDIAWAN CESARIAN SYAH
E
kstase adalah nomina dalam Bahasa Indonesia yang berarti keadaan di luar kesadaran diri, seperti (contohnya) orang sedang bersemadi. Jika diulik dari sisi lain, ketika manusia mengalami ekstase, mereka berada pada satu titik kebahagiaan saat sekresi endorphin membanjiri otak. Kalau Syekh Siti Jenar menyebutnya: “manunggaling kawulo gusti”. Sengaja saya menyisipkan kata pajak (tax) di tengah-tengah kata ini sembari menyoroti fenomena masyarakat Indonesia. Latar belakangnya adalah orkestrasi keengganan membayar pajak yang makin lantang dimainkan di mana-mana. Entah dari mana mereka mendapatkan partitur-partitur bernada sama: “buat apa bayar pajak? Toh akhirnya dikorupsi”. Ditinjau dari aspek psikologis, sikap masyarakat ini tentulah wajar. Toh, wacana pemerintahan bersih juga masih jauh panggang dari api. Hingga sekarang, pemerintah masih bergulat dengan dosa lama: bocornya anggaran. Maka orasi klausa tadi, ”pajak yang akhirnya dikorupsi”, juga tidak selamanya salah. Argumen ini juga menjadi titik kritis yang akan selalu disorot, muaranya pastilah semakin menguatkan sikap minor dalam kepatuhan perpajakan. Meskipun demikian, nyatanya hampir di seluruh sudut dunia, tidak ada orang yang ikhlas membayar pajak. Warga negara Amerika yang kesadaran pajaknya tinggi pun berteriak protes ketika pajak yang mereka bayarkan malah dihamburkan untuk agresi militer ke Irak dan menganggap alokasi itu salah prioritas. Prototip ini tentu saja menang kelas dibandingkan sikap kritis masyarakat kita yang baru berkutat pada ketidakpercayaan pada institusi pengelola anggaran negara. Persoalan mendasar ini tentu saja membuat kita kembali pada solusi awal: membangun kepercayaan pada institusi, baik pada institusi penghimpun maupun insitusi pengguna dana pajak. Maka, sudah sepantasnya kita ini bersolek dan narsis. Aparat institusi hendaknya sadar atas perhatian publik, serta mempersembahkan kinerjanya bukan atas nama nilai semata melainkan juga sebagai sebuah pose. Pose terbaik di hadapan sorotan mata publik. Jadi, kritik yang dilayangkan seyogyanya ditanggapi dengan parade pose-pose tadi
yang telah direkam kacamata masyarakat, seperti prestasi yang baik menurut survey KPK dan pendapat dukungan integritas dari berbagai pihak. Jikalau kita kembali menilik pada sisi psikologis tentang keengganan membayar pajak tadi, maka perlu sebuah awakening shock yang menyatakan bahwa sebenarnya pajak itu hal yang sangat dekat dengan keseharian kita. Agaknya, pajak dibenci karena masih terasa jauh dari masyarakat, tak kenal maka tak sayang. Saya sendiri sedikit menyayangkan berkurangnya tayangan edukasi perpajakan melalui media paling dekat yang menyentuh sebagian besar rakyat, yakni televisi. Iklan Direktorat Jenderal Pajak hampir tidak lagi tampil, kalah dengan kampanye calon pemimpin yang maju di pemilukada beberapa daerah. Padahal, eksistensi pariwara ini, jika dikemas dengan baik, mampu menarik simpati bahkan menyampaikan doktrin hingga menembus layar. Narasi lucu seperti kartun atau ikut menyusupkan edukasi pajak ke acara anak-anak juga bisa dibuat sebagai fokus kita terhadap future taxpayer. Istilahnya dalam pop culture yang cukup terkenal adalah tax for dummies. Tentunya acara tadi dibungkus dengan sifat ramah. Perlu diingat, melakukan branding bukanlah sebuah dosa dan bukan sebuah masalah walaupun sudah pasti branding terhebat adalah melalui attitude pegawai pajak itu sendiri. Yang perlu digarisbawahi, segala upaya narsistik ini harus dilakukan secara persuasif dengan mengetengahkan wajib pajak sebagai obyek. Bukan memberikan dogma sanksi atau penganggapan bahwa pengemplang pajak adalah makhluk asosial. Citra yang dipertaruhkan terlalu mahal untuk poin seperti itu. Biarlah pelaku tax evasion ini cukup kita saja yang tahu mengenai pelaksanaan sanksi pidana dan penindakan hukumnya. Orang-orang saja masih apatis jika dihadapkan pada definisi pajak yang sederhana, apalagi dihidangkan aneka tindakan yang sifatnya sudah masuk ranah represif. Tidak ada salahnya juga kalau kita kembali menyentuh melalui penggugahan sifat dasar manusia, yang cenderung senang berbagi. Dengan masyarakat sebagai obyek, secara otomatis nantinya segi narsis ini juga akan berkutat pada sisi pewartaan manfaat pajak secara keseluruhan. Nihil
Branding bukanlah sebuah dosa, walaupun sudah pasti branding terhebat adalah melalui attitude pegawai pajak itu sendiri. hasilnya bilamana ini dikerjakan tanpa pemantauan institusi pengguna dana pajak. Membangun negeri juga tidak bisa dilakukan secara parsial, bagus di satu sisi namun mengorbankan sisi yang lain. Ibaratnya adalah bagai sebuah keluarga yang disharmonis. Sikap pretensi terhadap penggunaan dana pajak hendaknya mulai kita singkirkan jauh-jauh. Jika penggunaan dana pajak salah, kita bisa ikut menggugat. Bukankah kita bisa menggugat dengan memposisikan diri sebagai wajib pajak? Kalau dibiarkan, apatisme tidak sadar ini juga mengakibatkan energi keburukan yang sudah terlanjur menjalar akan semakin luas. Sekali lagi, bukankah menegakkan kebaikan itu adalah kewajiban setiap orang? Aposisi yang diceritakan tadi memiliki destinasi yaitu mampu menggugah kesadaran manusia untuk berbagi dalam perannya sebagai wajib pajak. Apabila penggunaan dana pajak sudah terasa sangat nyata, maka akumulasi sikap minor ini akan terkikis perlahan. Fenomena aktivitas membayar pajak sebenarnya mampu menjadi representasi wajah manusia selaku filantropis, orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dengan berbagi. Bukan tidak mungkin gejala sebagian orang kaya di Amerika Serikat yang meminta dirinya dipajaki lebih besar dapat timbul di Indonesia. Eks(tax)e saya menyebutnya, berada dalam keadaan khusyu saat berbahagia melakukan pembayaran pajak. Sebuah perasaan yang abnormal sekarang, namun siapa tahu? Toh, hal yang pasti di dunia ini hanya ketidakpastian.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 9
4gambar dipinjam dari www.musicbandung.com
HARLAN BOER MELAKUKAN REKAMAN LIVE DAN MENJUAL HASILNYA DI TEMPAT PADA CASSETTE STORE DAY (CSD) DI JAKARTA BEBERAPA WAKTU LALU. BAGAIMANA PROSESNYA? SIMAK WAWANCARA KONTRIBUTOR KITA, DIDIK YANDIAWAN, DENGAN SALAH SATU FIGUR YANG PERLU DISEGANI DI SKENA MUSIK INDIE NASIONAL TERSEBUT.
Bisa diceritakan latar belakang keikutsertaan Harlan di acara CSD? Sebenarnya ide ini merekam live lalu hasilnya langsung dijual di tempat. Waktu itu pas Record Store Day (RSD) sebenarnya, di Aksara. Waktu itu ada kerjaan sehingga belum sempat merealisasikan ide ini. Ketika CSD mau dibikin sama Pasangan Baru, Abigail dan Dimas, waktu itu Dimas tahu ide yang gue di Aksara itu. Dimas ngajakin, “ide itu dibikin di sini deh, di CSD”. Akhirnya kami sediakan beberapa kaset kosong, rekam live pake tascam, kaset. Kemaren di acara itu ngisi lima lagu… Enam lagu, tapi yang satu lagu lama. Bagaimana feel waktu acara itu? Ketika
mulai show, mainkan lagu, merekam? Ini kan sesuatu yang baru buat gue, merekam di depan audience, tetapi bukan rekaman pertunjukan live biasa. Karena sebenarnya merekam demo. Malah tadinya sebelum ide merekam dengan tascam, ide pertama malah tape deck beneran. Jadi gue nyender ke tape deck gitu (sambil memeragakan air guitar). Tapi kemungkinan kedua adalah tascam. Sebetulnya alat-alat itu adalah yang secara tradisi, alat itu yang sering digunakan untuk membuat demo. Jadi bagaimanapun ini hal baru, dan gue mencoba untuk senatural mungkin bahwa ini adalah demo, bahwa gue lagi merekam demo. Jadi, beberapa lagu memang baru gue sempurnakan ketika menjelang acara itu. Lalu gue sengaja menggunakan gitar
INTERVIEW
“
HARLAN BOER ADA HAL-HAL YANG TAK TERGANTIKAN: MEMBURU RILISAN FISIK DAN MENGOLEKSINYA, DATANG UNTUK MEMBELINYA, LALU INTERAKSI BERIKUTNYA
nilon biasa, dan memang gitar itu yang gue gunakan untuk menciptakan beberapa lagu. Itu gitar kantor sebenarnya gua pinjem. Jadi kadang-kadang kalo gue lagi break di kantor, suka ngarang lagu gue pake gitar itu. Jadi gue berusaha membuat situasi senyata mungkin. Tadinya sih malah pengen dipinjemin gitar. Gitarnya bagus. Tapi gue pengen ngerekam demo. Jadi tetep ada ide untuk mencari sound yang bagus. Tetapi tetap sebenarnya itu bukan sound ideal. Sound demo. Karena gitar nilon yang gue pake itu sangat low, jadi cari low-nya. Dan menurut gue acara kemarin sangat menarik, jadi penonton boleh ngomong apa nggak. Menyenangkan sih. Itu menarik. Dan ternyata hal yang tidak diinginkan terjadi, tapi itulah merekam demo. Contohnya gue lupa lagunya, kalo lo denger hasilnya nanti pasti tidak ideal, karena itulah demo. Dan bisa aja nanti hasil akhirnya berubah, apakah itu aransemen, atau lirik bisa saja terjadi. Dari enam lagu yang ada di demo ini, proses kreatifnya bisa diceritakan? Lagu yang paling unik dan paling berkesan ketika dibuat? Di sini ada lagu “Kopi Kaleng”. Ini salah satu lagu yang pertama gue tulis untuk proyek Harlan. Saya bikinnya di kantor Cobra pake gitarnya Feri, teman kantor. Sampai gue mau rilis ep pertama, gue tetep nggak bisa menyelesaikan lagu tersebut. Susah. Karena gue nggak pengen pake drum, dan ada part yang belum gue temukan. Dan akhirnya part itu baru gue temukan belum lama ini, makanya gue masukin ke sini. Lagu “Kopi Kaleng” bercerita tentang apa? “Kopi Kaleng” itu cerita tentang keseharian pekerja di Jakarta. Jadi gue pernah ada
di posisi kerja sendiri, gue nggak ngantor. Terus suka kalo jalan pagi-pagi ngeliat, gila macet banget ya jalanan, orang-orang pada ngantor, dan kemudian akhirnya gue ngantor juga, dan ngerasain “oh, gini rasanya ngantor”. Jadi gabungan antara apa yang gue amati dulu, dan apa yang gue alami saat ngantor. Dan waktu itu ada lelah dengan jalanan yang macet, lalu keinginan akan kebebasan dan segala macam, dan kalau kopi kaleng sendiri emang, eh, intinya orang butuh minuman hiburan untuk santai. Dan minuman hiburan terbaru masa kini adalah kopi kaleng. Itu kalo pekerja kantoran 2000-an ke bawah nggak kenal. Kebetulan gue juga mengonsumsi itu. Gue lagi pusing, gue cari kopi kaleng. Ini juga penanda jaman dari sisi produk. Terus demo live ini total dirilis berapa copy? Jadi gini, skenarionya kemaren adalah setelah gue main, orang daftar, lalu yang paling cepat dia yang dapat. Tapi ternyata, terjadi kesalahan teknis. Alat-alat yang dipakai untuk menggandakan hasil rekaman itu plus SDM-nya, ternyata harus digunakan untuk acara berikutnya, untuk talkshow dst. Jadi otomatis nggak bisa. Kenapa gue main jam segitu ada alasan-alasannya. Supaya orang nggak nunggu lama, bisa nonton band lain dulu baru ngambil kasetnya. Seperti itu skenarionya, tapi ternyata gagal. Kemudian, ya udah, gue akan utamakan mereka yang secara personal meminta kasetnya ketika acara itu berlangsung. Tapi bagaimanapun, gua akhirnya harus ngobrol sama Abigail dan Dimas untuk memfasilitasi teman-teman yang datang ke acara itu tapi lupa memesan. Tidak berlebihan seperti dirilis secara massal, tetapi cuma mengakomodasi hal itu. Sedang dipikirkan. Sejauh ini ada tiga proyek ep solo
album: “Sakit Generik”, “Jajan Rock” dan “Sentuhan Minimal”. Bisa diceritakan konsep tiga album itu apakah dirancang dirilis secara berdekatan waktunya? Dengan mengusung tema satu benang merah di setiap album atau bagaimana? Jadi, awalnya gue mau bikin single series. Jadi selain gue suka rekaman-rekaman album, gue juga suka rekaman-rekaman single. Album series dan single series memang menarik, tetapi mungkin akan lebih menarik kalau ep series saja. Akhirnya gue bikin beberapa ep itu. Tapi karena gue juga suka mengoleksi itu, jadi gue suka mengoleksi hal-hal seperti itu jadi gue bikin gitu aja. Secara musik sebenarnya lebih karena keadaan gue sekarang. Gue harus membagi waktu antara kantor, keluarga, apa gitu. Nah, terus dari sisi SDM temen-temen band gue yang biasa ngebantuin gue sekarang udah dengan kesibukan masing-masing. Jadi gue mau bikin band lagi itu nggak tau mau mulainya dari mana, dan akan menjadi sesuatu yang terlalu lama buat gue. Sementara ide menulis lagu terus ada, dan itu menjawab segalanya. Kenapa gue berangkat dari pola-pola sederhana? Karena gue harus menyelesaikan itu sebelum ada ide baru. Jadi kalo gue mau membuatnya lebih berseni yang gue takutkan adalah stok ide lainnya nanti gimana? Tapi gue tetep berusaha membuatnya dengan tekun, rekam di studio. Tapi ya jadinya tetap akan lebih sederhana. Dan itu jadi tantangan juga, membuat lagu yang kasarnya kita cuman nyanyi doang itu lagu udah enak. Itu PR juga. Itu yang kenapa “Kopi Kaleng” itu gue rekam di awal karena gue nggak tau ini gitar sama lirik bisa jalan. Walaupun ketika rekaman gue ada tambahan instrumen kayak biola, tapi pada intinya itu.4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 11
4gambar dipinjam dari wastedrockers.wordpress.com
Kemudian RSD dan CSD, kira-kira bisa ada impact-nya buat penjualan fisik musik yang lagi seret-seretnya? Ibaratnya kalo di Indonesia lagi tanggung. Mau ke digital susah, mau ke fisik susah. Bener banget. Gue rasa ini kan sesuatu yang dari luar. RSD dan CSD bukan kita yang menciptakan. Jadi akhirnya, menurut gue ini kegelisahan global jangan-jangan. Jadi urusannya menurut gue bukan cuma masalah infrastruktur. Contoh infrastruktur kayak paypal belum banyak yang punya. Tapi di luar negeri banyak yang megang paypal tapi tetep aja bikin RSD. Artinya menurut gue ada hal-hal yang tidak tergantikan. Bikin kangen. Ada hal-hal yang tidak tergantikan kayak memburu rilisan fisik dan mengoleksinya, datang untuk membelinya, lalu interaksi berikutnya, gathering. Menurut gue itu nggak akan bisa tergantikan. Jadi walaupun kayak gimana, ini tetap akan ada. Tapi supaya ada itu sampe dibikin-bikin acaranya. Artinya beberapa kelompok atau golongan masih ada yang setia berangkat ke toko, beli, pinjam-meminjam, tukertukeran, misalnya kalo ketemu band favorit ngejar tanda tangannya sampai hal-hal nggak bisa dilakukan oleh digital. Ternyata praktis tidak menjawab semuanya. Karena praktis itu menghilangkan sebagian besar nilai lainnya gitu. Menurut gue beda antara music sheet, rekaman musik fisik, dengan rekaman musik digital. Kalo music sheet ke rekaman musik fisik, ya itu jelas. Tadinya lu nggak bisa denger, lu cuma bisa baca, lu nggak bisa denger, musiknya lu bisa mainin, tapi sound-nya lu nggak bisa nikmatin, semua ambience-nya. Tapi ketika fisik ke digital, akan banyak yang hilang. Oke sama-sama lagu, tapi sisanya ilang. Kayak, memegangnya, menyimpannya, dsb, kunjungan fisiknya, itu ilang. Nggak bisa digantikan dengan digital. Praktis tetep praktis. Artinya gua rasa digital jalan, tapi fisik gua rasa nggak akan pernah mati ketika digital 12 I TUCZINE.TUMBLR.COM
jalan. Sangat berbeda ketika rilisan fisik ada menggantikan music sheet. Dan fisik nggak sedrastis itu karena ada digital. Kalo untuk Indonesia, kira-kira formulanya gimana? Challenge-nya adalah harga terlalu mahal menurut gue. Beda di era kaset. Misalnya lu mau beli The Beatles, harganya 145 ribu, kita cuma bisa beli itu sekali-sekali mungkin. Sedangkan sebelum era seperti ini, lu bisa beli kaset The Beatles seharga 25 ribu. Jauh banget price-nya. Price itu matters. Jadi orang bisa beli atau nggak karena harga. Kedua karena katalog. Apa yang terjadi saat ini, musik mainstream yang dilahirkan hari ini tidak menarik untuk dibeli. Kasarnya begitu. Beberapa aja. Jujur deh banyak yang nggak menarik untuk dibeli. Gue bukan cuma ngomong hanya musik seperti ini ya. Tapi maksudnya lu bayangin kalo sekarang lu jadi ibu-ibu lagunya seperti apa, anakanak lagunya seperti apa, dsb. Menurut gue tidak terfasilitasi. Itu dari sudut pandang mereka, apalagi untuk anak-anak muda yang cutting edge, wah gue merasa udah nggak terfasilitasi banget. Jadi, toko jadi nggak ada yang beli karena perpaduan keduanya itu, satu karena katalognya nggak seru, kedua karena harganya mahal. Ya udah, amsyonglah. Sekarang lu bayangain aja piringan hitam, harga semahal itu dibeli! Berarti kan emang, apalagi kalo semuanya beres. Sebenernya nggak ada perubahan kok. Yang bikin berubah itu sebenarnya katalognya yang berubah, bukan digitalnya. Dan ternyata setelah menjadi digital pun, yang perform sales-nya lagi-lagi yang katalognya bagus. Kalo katalognya jelek, ya digitalnya jeblok juga. Gitu. Jadi artinya sebenernya masalahnya masalah di produksi. Seandainya industri selalu bisa memproduksi musik yang menarik dalam jumlah yang besar, katalognya banyak yang bagus, harganya terjangkau, pasti nggak akan ada apa-apa.
Bisa diceritain sejarah majalah Cobra ke teman-teman? Sebenarnya ini sih hal natural banget aja. Hal natural yang pasti gue bikin. Karena dari kecil gue sangat terbiasa dengan menikmati media sendiri. Jadi, dulu yang popular waktu gue kecil adalah orang dulu bikin humor, kartun dibikin di kertas A4. Jadilah kartun. Tapi tidak diperbanyak. Jadi pindah-pindah tangan aja. Sampai ketika gue remaja, smp, gue mulai merasakan ketidakpuasan dengan apa yang ada. Walaupun gue tidak melakukakan action yang terlalu apa, karena skill-nya nggak ada. Tapi pada kenyataannya gue selalu puas. Waktu itu gue nggak puas sama radio. Waktu kecil gitu gue suka bikin acara radio sendiri. Dari senin, selasa dan seterusnya gue bikin programnya, gue tulis-tulis sendiri gitu. Walaupun eksekusi nggak ada. Menurut gue itu main-mainan yang cukup umum. Misalnya lu nggak puas sama tim sepakbola, terus lu bikin tim sepakbola impian lu sendiri. Dan itu sebenarnya sama aja. Berangkat dari ide yang sama. Ternyata, sampe sekarangpun masih kayak begitu. Emang nggak bisa puas dengan apa yang ada. Ya udah, waktu itu gua udah jadi manajer Efek Rumah Kaca. Dan waktu itu posisi udah cukup jalanlah, mapan. Tanpa kehadiran fisik album gue, manajer dsb masih punya waktu buat ngelakuin sesuatu. Nah gue pikir buat zine. Karena gue hobi itu, bikin majalah. Terus gue ketemu Lintang dari production. Ya gue tawarin, buat yang murah meriah. Pada waktu itu gue lagi sering nongkrong sama Anggun Priambodo. Gue ajak dia juga. Sebelumnya gue sering ngobrol sama Zeke (Khaseli) juga. Intinya itu terlalu deketlah buat gue itu fanzine. Ya udah akhirnya bikin. Terus diskusi, kita maunya kayak gimana sih? Nah gue menurut gue yang konten lokal. Kita pengen banget mem-promote apa yang kita suka ke teman-teman kita. Ya temen-temen kita juga targetnya sebenernya. Nah interest-nya, gue deket ke musik, Anggun punya background seni rupa dan suka film juga. Nah waktu itu harapannya yang suka film jadi tau musik, yang suka musik jadi baca film, seni rupanya. Ya udah kita bikin itu, bikin beberapa edisi. Lalu gue mulai ngantor lagi di mana gue susah nih buat nyetaknya. Akhirnya gue cuman bisa nyelesaiin beberapa edisi yang cetak, kita run website aja dulu. Berarti edisi cetak yang sekarang dipending dulu dan aksesnya pindah ke website? Jadi pada awalnya mendesain dulu tidak terpikir untuk kontennya seperti itu. Kita lebih kayak etalase. Akhirnya karena keterbatasan waktu, akhirnya ke web itu aja nampungnya.
.
INTERVIEW
NATASHA ABIGAIL
KONTRIBUTOR KITA, DIDIK YANDIAWAN, MELAKUKAN WAWANCARA SINGKAT DENGAN SEPARUH DARI PASANGAN BARU, NATASHA ABIGAIL, PADA PERAYAAN CASSETTE STORE DAY DI JAKARTA BEBERAPA WAKTU LALU. MENGAPA KASET PERLU DIRAYAKAN?
“
MENIKMATI KASET ITU HARUS UTUH
Bisa menjelaskan latar belakang Cassette Store Day? Sebetulnya awalnya itu Record Store Day, dirayakan di seluruh dunia sejak 2008. Cassette Store Day ini perdana dilakukan di seluruh dunia. Kenapa kita bikin di Jakarta, karena kita dengar di Amerika bikin. Dan tidak hanya di Amerika, Eropa dan Asia juga merayakannya, Jerman dan Jepang. Di Indonesia sendiri ada tiga kota: Jakarta, Malang dan Bandung. Akhirnya, berangkat dari kecintaan gue dan Dimas terhadap kaset (dari kecil dengerinnya kaset, karena sudah mulai bergeser ke digital. Masa kecil dipenuhi memori memutar kaset dengan pensil dan sebagainya), akhirnya kami bikin ajang ini. Awal ada info Cassette Store Day tiga bulan lalu. Bagaimana persiapan penyelenggaraan yang di Jakarta? Sebenarnya persiapannya dua bulan. Kita didukung oleh Sampoerna. Mereka mendukung ide dan visi kami. Dengan visi misi yang sama akhirnya acara ini terselenggara. Talkshow, rilis dan performance didukung oleh rekan-rekan yang telah kami kenal sebelumnya, sehingga approach-nya mudah. Ajang dari teman ke teman saja. Yang rilis hari ini bagaimana menghubunginya? Ya, kami menghubungi semuanya. Dimas dan saya menghubungi The Sastro, Sawi Lieu, Bin Harlan, Danger Dope. Terus kita juga kontak Bin Idris, Pandai Besi. Dan untuk
talkshow, kami juga dibantu Asra, Yurai dkk. Sebenarnya teman-teman sendiri yang membantu sehingga acara ini terselenggara. The Sastro, saya suka album pertama mereka. Bagaimana caranya dapat The Sastro? Sebenarnya The Sastro adalah salah satu band yang mayoritas orang kangen dan kami percaya mereka sebagai musisi juga kangen pengen main band. Awalnya, kami tahu mereka pernah merilis album dalam format kaset, dan albumnya lumayan hype pada waktu itu, akhirnya kami nawarin. Kami tahu juga mereka punya rilisan-rilisan yang versi digital, dan kami menawarkan “mau nggak main, dan kami rilisin 100 kaset?�. Rilisan khusus dalam format kaset atas lagu-lagu unreleased mereka, dan spesial dirilis 100 keping hari ini saja. Selain hari ini tidak dijual lagi di hari lain? Sejauh ini Pasangan Baru hanya merilis 100 copy untuk hari ini saja. Bila habis, syukur alhamdulillah, puji tuhanlah gitu. Ke depannya, bisa jadi Cassette Store Day dirayakan reguler setiap tahun. Kira-kira tahun depan akan ada acara serupa? Sebetulnya kami berharap. Nggak harus kami, Pasangan Baru, yang bikin. Siapapun bisa bikin karena ini perayaan bersama. Yang pasti Sampoerna mendukung acaraacara seperti ini karena mereka member-
dayakan talenta-talenta muda yang ada. Semoga di kesempatan lain juga masih mendapat dukungan. Mereka mendukung acara-acara yang berhubungan dengan musik, misalnya Soundrenaline. Mudah-mudahan acara ini bisa ada terus. Ke depannya mungkin siapa saja bisa buat acara serupa. Apakah kalian optimis adanya Record Store Day dan Cassette Store Day bisa mendorong label membuat rilisanrilisan dalam format selain cd? Mungkin yang paling dekat saja kami optimis, kami mengundang penjual kaset di Blok M Square. Mungkin dengan mengenal mereka, penjualan kaset bisa meningkat, tapi di luar itu kita berharap juga. Saya salah satu orang yang menghargai sekali format fisik karena kita bisa menikmati cover-nya. Menikmati kaset itu ketika kita mendengar sealbum penuh harus utuh, penuh dan butuh effort tersendri, misalnya untuk majuin atau mundurin. Beda dengan format sekarang yang tinggal pencet next untuk ganti track. Kita nggak sejauh itu, ngomongin mikir sampai tingkat penjualan atau apa, tapi dengan adanya perayaan Cassette Store Day, kita sudah senang bahwa ada orang-orang yang masih ingat sama kaset. Jadi nggak sejauh itu sih.
.
Oke, terima kasih ya. Terima kasih.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 13
INTERVIEW
WENDI PUTRANTO
“
YANG PALING PENTING DARI AKTIVITAS JURNALISME ITU MENYERAP DULU
KONTRIBUTOR KITA, DIDIK YANDIAWAN, BERKESEMPATAN UNTUK MEWAWANCARAI SALAH SEORANG JURNALIS MUSIK YANG SUDAH MALANG MELINTANG DI DUNIA JURNALISME MUSIK SELAMA LEBIH DARI SATU DEKADE. WENDI PUTRANTO ALIAS WENZ RAWK ADALAH EDITOR MAJALAH ROLLING STONE INDONESIA YANG TELAH MELIPUT PERISTIWA MUSIK INDONESIA DAN MANCANEGARA SEJAK 1996, SERTA MENGAWAL RUBRIK “MUSIC BIZ” DI MAJALAH ROLLING STONE INDONESIA SEJAK 2007. SEBUAH BUKU BERJUDUL “MUSIC BIZ - MANUAL CERDAS MENGUASAI BISNIS MUSIK INDONESIA” MENJADI SEBUAH ANTOLOGI ARTIKEL BERHARGA YANG MEMBUKUKAN TULISANNYA DI RUBRIK “MUSIC BIZ” SELAMA TAHUN 2007-2009. OKE, PUTAR MATIUS III:II, SEDUH KOPI, SIAPKAN BANYAK-BANYAK ROKOK, LALU MARI MENYIMAK.
S
enin (23/12), saya berkesempatan mengunjungi Rolling Stone Head Quarter yang beralamat di Jl. Ampera Raya No. 16, Jakarta. Saya hadir seperempat jam sebelum maghrib, sesuai jadwal yang telah kami sepakati melalui komunikasi di surat elektronik dan twitter. Wendi Putranto baru saja turun dari lantai dua ruang kerjanya. Wenz rawk berkacamata bingkai hitam, bertopi Suicidal Tendencies, dan mengenakan kaos Brutal Truth berbalut jaket hitam. Dengan hangat Wenz Rawk mempersilahkan saya menuju beranda belakang Rolling Stone Head Quarter. Berhadap-hadapan dengan panggung utama Rolling Stone Indonesia dan bersebelahan dengan Rolling Stone Cafe. Suasana hangat ini dibuka dengan beberapa obrolan ringan tentang beberapa hal. Wawancara dengan Wenz Rawk mengulas hal-hal baru tentang jurnalisme musik, sepak terjang Wenz Rawk sebagai jurnalis, dan opininya mengenai fenomena industri musik dunia dan Indonesia. Hasilnya, transkrip wawancara terpanjang dalam sejarah Tuczine, mengisahkan fakta dan opini yang bisa jadi belum diketahui sebelumnya, dan akhirnya hadir di hadapan Anda. BAGIAN 1: WENZ RAWK DAN JURNALISME MUSIK Bagaimana kabarnya Mas Wendi? Baik, baik. Alhamdulillah baik. 14 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Seperti apa sebenarnya jurnalisme musik itu? Apa pembeda antara jurnalisme di media mainstream dengan media sejenis zine? Kalo jurnalisme musik sih, basicly aktivitas jurnalistik juga. Jadi kalo kita tau, jurnalistik adalah pemaparan berita maupun peristiwa yang disampaikan melalui media massa, cetak, elektronik dan online/multimedia. Kalau di jurnalisme musik, otomatis aktivitas jurnalistiknya itu berfokus pada materi bersifat musik. Dalam hal ini, menurut saya musik dibagi menjadi dua mazhab. Populer dan kontemporer. Musik kontemporer ini sifatnya lebih ke musik-musik untuk menggali estetika, mengeksplorasi bentuk- bentuk baru dari bermusik. Kadang-kadang memang yang keluar adalah bentuk-bentuk perenungan dan hasil eksperimentasi bermusik yangg sifatnya avant-garde. Jadi bisa dibilang musik-musik kontemporer adalah formatformat tidak populer. Misalnya kita dengar musik Slamet Abdul Sjukur, Franky Raden, dan beberapa musisi yang memang tidak mainstream dan tidak underground juga. Mereka itu memang bermain di wilayah kontemporer. Kontemporer ini adalah sesuatu yang kekinian, sesuatu yang sifatnya avantgarde. Buat masyarakat umum, memang sulit mengapresiasi musik sejenis itu, karena bentuk-bentuknya tidak lazim. Harry Roesli termasuk salah satu pelopor di bidang itu. Nah, kalau yang satu lagi, musik populer.
Musik populer adalah sebuah genre musik yang memang besar di dunia barat, Amerika dan Eropa. Musik populer ini masuk ke Indonesia sejak awal abad ke-20. Proses dari musik itu sendiri berkembang menjadi populer otomatis dari namanya sudah kita tahu. Musik populer memayungi banyak genre musik di dalamnya. Dari mulai jazz, blues, rock, dangdut, metal, punk, sampai ke jenis musik EDM sekarang itu termasuk dalam wilayah musik populer. Jurnalisme musik yang dibahas ini menurut saya lebih tepat untuk diklasifikasikan dalam jurnalisme musik populer. Jadi kalau ada jurnalisme musik kontemporer, itu ada. Jurnalisme musik kontemporer sifatnya menganalisis, memberitakan, atau melakukan penafsiran terhadap musik-musik yang diciptakan oleh para seniman tersebut. Tapi tujuannya bukan untuk dikonsumsi masyarakat luas. Dikomoditaskan. Bukan. Kalau musik populer saya melihatnya sebagai satu pola yang dikembangkan oleh industri musik. Industri musik dulu terjadi awalnya musik diciptakan sebelum ditemukannya alat rekaman. Sebelum gramophone, piringan hitam, turntables itu sudah teknologi yang modern. Sebelum itu, musik hanya dijual dan didengarkan hanya di tempat-tempat khusus. Berbicara musik klasik, jaman dulu belum ditemukan pengeras suara. Belum ada amplifier, speaker, microphone. Jadi dia memerlukan hall, atau konservatorium untuk bisa menampilkan musik itu. Jadi belum portable karena belum bisa direkam. Karena
belum direkam, otomatis orang-orang bisa mengapresiasi musik melalui sheet music. Itu di jaman abad ke-17-18. Nah di era abad ke-20, sudah ditemukan piringan hitam, kaset, cd, dan musik digital dalam berbagai format (mp3, mpeg, dan sebagainya). Wilayah jurnalisme musik ini berkembang. Dan tujuan kita otomatis untuk mempromosikan. Yang pasti, kita mendukung musik-musik yang bagus menurut jurnalis tersebut. Musik yang bagus menurut jurnalis, biasanya memang kebanyakan mewakili kemauan orang banyak. Jadi bisa dibilang, apa yang kita tulis, wawancara, dengar, dan sampaikan ke pembaca kita tujuan utamanya untuk mempromosikan musik tersebut. Entah itu lagunya, artisnya, karya-karya mereka, penampilan, film, atau video. Makanya, dalam liputan yang sifatnya jurnalisme musik ada resensi, album review, live review, wawancara, atau feature. Jadi basicly memang media tersebut memberitakan musik dengan segala macam gaya hidup serta aktivitas musisinya selain dari liriknya, albumnya, dan performance-nya. Tujuannya untuk mempromosikan dan membagikannya ke khalayak luas. Melalui
majalah, koran, tabloid, atau buku. Formatnya banyak. Sekarang yang termutakhir melalui internet, misalnya melalui webzine, dan medium sejenisnya. Oke, kita sudah dapat perbedaan klasifikasi jurnalisme. Kami ingin menggali apa bedanya jurnalisme masa lalu dengan masa kini? Adakah gaya, metode atau terobosan baru yang berkembang dalam jurnalisme di era sekarang? Ya, Kebetulan saya sendiri ngalamin. Saya berada di masa-masa transisi antara media cetak berkembang menjadi media online. Menurut saya perkembangan yang paling signifikan dari jurnalisme di abad ke-21 adalah semakin dijauhinya kertas. Jadi, orang lebih senang sekarang ini di dunia digital, online atau di dunia maya. Saya sendiri ngalamin ketika tahun ‘90-an awal di Indonesia, saya aktif di mading (majalah dinding) sekolah (smp). Tetap yang menjadi minat saya waktu itu musik. Karena musik benar-benar merasuki hidup saya sejak kecil dulu. Jadi ketika passion-nya terbentuk di musik, dan saya suka menulis dan membaca, hal itu kemudian berkembang menjadi
sebuah aktivitas yang sifatnya memberitakan. Saya juga lupa dapat ide dari mana, tiba-tiba terbetik keinginan untuk membuat majalah musik. Pada waktu itu setelah aktivitas mading di smp-sma. Pada waktu kuliah saya masuk fakultas jurnalistik di Universitas Moestopo. Dan saya bikin majalah. Tadinya sebagai sarana praktek untuk mata kuliah saya. Saya waktu itu masih menggunakan teknologi yang masih primitif. Belum dicetak majalahnya. Teksnya masih diketik di Windows 31 tahun ‘93. Printer Dotmatrix. Ketika itu belum ada Photoshop. Belum ada alat-alat desktop publishing. Jadi bener-bener saya menggunakan cutter, lem power glue. Potong-tempel. Setelah jadi, masternya saya fotokopi untuk memperbanyak. Fotokopian itu saya jual sekitar harga 2500 perak, 24 halaman. Tapi orang yang nerima banyak yang kaget, “wuih, gila nih! Ada juga majalah kayak gini!� (tertawa). Majalah yang ketika itu bisa dibilang embrio dari majalah-majalah underground lain dari majalah fanzine sejenis di Jakarta. Karena fanzine yang saya buat itu pertama di Jakarta.4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 15
4gambar dipinjam dari begubornginspletesh.blogspot.com
Brainwashed? Bisa diceritakan sejarahnya? Iya. Brainwashed. Di Bandung udah ada duluan. Malang udah ada duluan. Jadi di Indonesia, mungkin yang ketiga. Waktu itu kita belum memanfaatkan, bahkan menggunakan, teknologi internet. Kalo boleh saya bilang, perbedaannya justru pada teknologinya. Di era ‘90-an masih konvensional. Bikin media cetak dan tidak di-publish di dunia maya. Cetak ya cetak aja. Di jaman sekarang, nggak butuh kertas, cutter, printer dotmatrix, mesin fotokopi. Semua bisa dilaporkan melalui online. Entah itu lewat blog atau webzine. Materi tetap sama, proses pemberitaan tetap sama. Kita wawancara, bikin transkrip, submit di engine-nya, lalu kita submit. Sekarang lebih ringkas, ekonomis, dan praktis. Dulu bener-bener manual. Tengah malam ngerjain itu sambil dengerin musik. Diliatin orang tua. Sekarang tinggal ketik naskah, publish. Foto tinggal di-resize. Naik. Jebret! Jadi, menurut saya yang sangat membedakan adalah pada perkembangan teknologi itu sendiri yang kemudian membuat proses untuk menjadikan karya jurnalistik musik lebih mudah. Lebih accessible untuk banyak orang. Kalo dulu nggak semua orang bisa punya akses. Tapi sekarang semua orang bisa menjadi jurnalis musik. Semua orang bisa punya media. Semua orang bisa mengembangkan sendiri kemampuan jurnalistiknya. Dulu pada jaman itu sangat susah. Orang nggak mau ribet. “ah, lu ribet kayaknya bikin majalah. Malam malam begadang. Belum lagi difotokopi...�. Bisa dibilang prosesnya sangat sub-kultural. Karena saya waktu itu ngerjainnya sendiri, setelah majalahnya jadi, setelah difotokopi, tugas berikutnya adalah jualan sendiri (tertawa). Karena kalo kita sendiri yang menikmati, 16 I TUCZINE.TUMBLR.COM
jatuh-jatuhnya sama aja kayak onani. Mending kita jual ke orang. Dan mempromosikannya melalui flyer. Flyer-nya difotokopi. Kalo ada yang mail order, saya kirimkan flyer-nya.
banget. Sekarang, dari seluruh dunia bahkan bisa baca kalo mereka memahami bahasa yang kita punya. Dulu dapat surat dari luar kota kayaknya seneng banget. Padahal kita nyebarinnya dari teman-teman sekitar aja.
Saya sering ke kantor pos. Kantor pos dan tukang fotokopi jadi langganan saya. Karena ada orang ngirim pake pos, beli majalah. Uangnya dimasukin di dalam kertas karbon. Saya ngalamin banget hal-hal itu. Sampe suratnya sekarung. Yang paling jauh suratnya datang dari Tenggarong, dari Timika. Sampai akhirnya ketika itu Timika Underground sempat saya beritakan di majalah Brainwashed. Karena menurut saya unik. Di tempat sejauh Papua ada scene underground.
Di Indonesia, potensi dan bibit-bibit jurnalis yang keren di masa depan cukup banyak. Ada tips atau pola buat calon jurnalis, bagaimana seorang jurnalis bisa menunjukkan karakternya, bisa eksis melalui tulisan tanpa mencari sensasi apa-apa kecuali tulisan? Kalo menurut saya yang paling penting dari aktivitas jurnalisme itu adalah menyerap dulu. Kita meng-absorb. Entah itu musik, penampilan live, wawancara, analisa, penafsiran, review, dan semacamnya. Jadi intinya penulis yang baik pasti adalah pembaca yang baik juga, atau pendengar yang baik. Saya sih yakin bahwa penulis yang baik adalah gabungan dari semua itu. Karena kalau tidak mendengar, tidak membaca, dan tidak menulis, pasti wawasannya tidak akan berkembang. Nggak akan mendapat inspirasi. Tapi kalo diimbangi dengan update selalu dengan perkembangan musik terkini. Kemudian diapresiasi dengan cara mendengar. Mendengar dengan cara menyimak. Karena kalo sekedar mendengar sekedar lewat, sepintas. Tapi kalo menyimak, ada unsur merenungkan di situ. Membaca dan menghayati. Buka aja panca indera sebebas-bebasnya. Apa yang lu rasakan dari musik yang lu dengar. Apa yang lu rasakan dari lirik yang lu baca. Apa yang lu rasakan dari penampilan band yang lu liat. Lu maksimalkan dari situ untuk bisa berargumentasi melalui tulisan.
Yang ngembangin anak asli sana? Bukan. Anak-anak dari Freeport. Mungkin karena mereka punya akses. Tapi menurut saya tetep aja gila. Karena majalah itu fotokopian berantai. Fotokopi difotokopi lagi. Nyebar. Jadi saya bikin edisi pertama cuman sedikit. Bertahan tujuh edisi. Dari bulanan, jadi dua bulanan, jadi tiga bulanan, sampai akhirnya jadi enam bulanan. Edisi pertama difotokopi sekitar seratus. Master dan copy majalahnya masih nyimpen? Master-nya udah nggak nyimpen (tertawa). Kalo copy-annya masih ada. Tapi masternya nggak. Jadi sekarang orang tinggal akses ke blogspot, wordpress. Tinggal konsep aja. Dulu fotopun seperti itu. Foto master difotokopi, baru ditempel di majalah. Hasilnya difotokopi lagi. Makanya gambarnya kadang-kadang kurang jelas. Tergantung mesin fotokopinya apa. Dulu saya paling seneng mesin fotokopi Xerox. Kalo Minolta suka buram? Ya kayak gitulah. Itulah aktivitas yang saya lakukan setiap hari. Karena waktu itu udah punya pelanggan akhirnya kepikiran untuk kerja. Umur Mas Wendi ketika itu? 18 tahun. Tingkat I. Tahun ‘96. Tapi kalo di bidang tulis menulis sih dari smp. Tahun ‘92. Itu sih bedanya menurut saya. Apakah gaya jurnalistiknya masih tetap sama? Gaya masih sama. Itu tergantung dari penulis, bagaimana cara dia menangkap semua stimulus yang masuk. Musik, lirik, penampilan. Semua itu akan diproses di otak kita. ketemu dengan nilai-nilai, selera, dan apresiasi yang kita miliki. Referensi yang kita punya. Kemudian kita tumpahkan menjadi tulisan. Yang beda teknologi aja. Ketika ada blogspot, wordpress dan sejenisnya semua berubah. Kita sendiri melihat hal itu menjadi romantik. Gila, dulu bikin majalah susah
Jadi, contohnya ketika melihat konser Metallica. Ketika kita melihat Metallica, tentunya kita punya referensi sebelumnya tentang lagu-lagu Metallica. Kita coba menganalisa penampilan live-nya. Antara apa yang didengar di cd, kaset, atau piringan hitam dibandingkan dengan penampilan live-nya. Jadi benar-benar menganalisis. Jadi konsep yang menurut saya bagus, adalah ketika seorang jurnalis musik itu benar-benar membuka panca inderanya lebar-lebar terhadap segala perkembangan musik. Suka atau tidak suka, harus dengar. Tetapi nanti dengan sendirinya terseleksi alam sendiri. Karena jurnalis musik bukan berarti bebas nilai, bukan berarti bebas selera. Antara jurnalis satu dengan yang lain bisa berbeda. Perbedaan latar belakang, kemampuan menganalisa, dan perbedaan yang sangat krusial adalah referensi. Jadi nggak semuanya bisa sama. Jadi referensi yang kita punya dengan referensi yang dimiliki Denny Sakrie, misalnya, pasti berbeda. Dan itu berhubungan dengan pengalaman, persepsi, koleksi, umur. Latar belakang suku nggak terlalu berperan. Jadi yang paling penting adalah harus bisa menerjemahkan
bahasa musik menjadi tulisan. Kriteria tulisan musik yang bagus adalah tulisan yang menggerakkan. Ketika orang membaca tulisan itu orang itu terinspirasi atau tergerak untuk berbuat sesuatu. “Wah gila. Ini keren nih!” Katakanlah seperti Velvet Underground ketika muncul di pertengahan tahun ‘60-an. Sampai hari ini Velvet Underground bukanlah sebuah band yang laris, komersial, laku, atau kaya. Tapi ketika orang menonton Velvet Underground, Lou Reed dan kawan-kawan berhasil menginspirasi datangnya band-band baru. Semua yang mendengarkan Velvet Underground, akhirnya membentuk band. Itu yang menurut saya menginspirasi. Jadi tulisan yang bagus itu sama seperti kondisi Lou Reed dan Velvet Underground dulu. Ketika seseorang membaca artikelmu tentang band, “anjing, enak ya jadi anak band! Gua mau jadi anak band.” Jadi menginspirasi orang. Dan contoh tulisan yang menggerakkan nggak sebatas imajinasi. Tapi menjadi action. Misalnya setelah membaca tulisan jurnalis, seseorang tergerak untuk membuat band. Atau membuat zine. Itu juga termasuk tulisan yang baik. Bagaimana cara seorang jurnalis yang profesional untuk memagari subjektivitas ketika dia menulis sesuatu? Anggaplah kita meniadakan peran editor/ medianya. Self editing. Saya setuju dengan hal itu. Yang perlu diingat adalah jurnalisme musik itu berbeda dengan jurnalisme pada umumnya. Jurnalisme musik sangat mengandalkan subjektivitas. Karena musik itu bukan sesuatu yang kongkrit, tangible, bukan materi yang bisa dipegang. Jadi karena sifatnya intangible, hanya bisa didengar, maka di situ berlaku penafsiran. Kita nggak akan bisa menafsirkan sesuatu secara objektif. Yang namanya penafsiran pasti akan tetap subjektif. Contohnya resensi atau opini. Cuman yang perlu kita batasi adalah bagaimana ketika kita beropini tentang sebuah lagu, album atau performance sebuah band, kita benar-benar memiliki referensi yang cukup. Dalam arti, ada argumentasi yang logis. Tidak mengada-ada. Saya mengizinkan jurnalis musik itu bermain-main di wilayah penafsiran atau opini di wilayah live review, album review, atau hal yang sifatnya bukan berita. Kalau feature perlu subjektivitas. Dan ini berdasarkan pola pandang masing-masing jurnalis. Misalnya kita melihat Beyonce, otomatis kita harus bercerita tentang Beyonce. Sesuatu yang objektif itu apa yang kita olah melalui panca indera. Itu sifatnya objektif. Namun ketika bertemu logika, semua itu kita proses di otak dan kita tumpahkan melalui tulisan itu subjektif. Jadi menurut saya subjektivitas yang perlu dipagari adalah subjektivitas
yang terkontrol. Objektivitas kadang terlalu rigid, terlalu kering, terlalu kaku. Jadi nggak luwes. Misalnya kita reportase dengan gaya 5W+1H banget, jurnalistik banget, gaya news, piramida terbalik kadang nggak enak dibaca. Itu kan news, harus 5W+1H. Piramida terbalik. Tapi kalo feature, kita harus subjektif. Beropini dengan perasaan kita. Apa yang kita lihat, dengar, rasakan. Ketika ditulis harus memikat perhatian pembaca. Dalam hal itu kita boleh bersubjektif ria, tapi harus dikontrol. Karena kalo kita bablasin aja, jeleknya subjektivitas adalah ketika pembaca menganggap subjektivitas itu adalah sesuatu yang absolut. Padahal jelas-jelas misalnya menurut kita konser Metallica konsernya baik, tapi menurut mereka konsernya jelek. Misalnya ada yang berpendapat Trujillo, atau Ulrich mainnya jelek, padahal menurut mereka bagus. Sampai kapanpun perbedaan pendapat itu dibahas, nggak akan ketemu.
tulisan Mas Wendi di edisi cetak banyak yang behind the scene, hal-hal yang jarang dilirik oleh jurnalis musik lain. Contohnya dalam konser Metallica. Saya melihatnya ini adalah konser yang ditunggutunggu selama 20 tahun. Dua dekade. Setelah tahun ‘93 mereka baru main lagi tahun 2013. Hampir semua komentar dan berbagai macam ekspresi di media sosial sangat-sangat menanti konser mereka. Mungkin generasi sekarang hanya mendengar mitos konser ‘93. Metallica rusuh dan sebagainya. Dari 20 tahun lalu sudah tercipta generasi mereka. Mereka suka karyanya, mereka pengen nonton. Dari sekian banyak yang meliput Metallica, pasti wartawan juga banyak. Mungkin ada ribuan media yang hadir. Karena memang banyak yang mengajukan liputan kepada promotor. Terlepas dari wartawan atau bukan, tv, radio, media cetak semua meliput.
Hebatnya atau enaknya penulis yang punya integritas, kredibilitas, dan reputasi, adalah omongan mereka didengar. Karena itu, tulisan mereka memiliki otoritas. Memiliki power. Bukan mendengar suara-suara riuh dari fans dengan bermacam-macam opini. Jurnalis itu seperti halnya komentator bola. Bedanya mereka lewat oral, kita lewat naskah tulisan, teks. Nggak ada bedanya, sebenarnya. Kita liat aja ulasan-ulasan para komentator bola seperti itu. Jadi nggak masalah menjadi subjektif. Asalkan terkontrol. Dalam artian, jangan salah pada fakta-fakta yang basic. Misalnya nama, tanggal lahir nggak boleh salah. Unsur-unsur dalam jurnalisme musik juga tetap berlandaskan pada fakta-fakta jurnalistik. Judul lagu, album, film nggak boleh salah ejaannya, harus benar. Yang boleh adalah penafsirannya. Misalnya mengaitkan penampilan Metallica dengan Anthrax, atau membandingkan penampilan Beyonce dengan Dewi Persik. Jadi hal-hal yang bersifat faktual tidak boleh salah. Dilarang keras. Kecuali opini masing-masing, masih dibolehkan. Enaknya, karena ini musik, karena ini intangible, bisa ditafsirkan secara luas. Subjektivitas dalam artikel musik itu penting. Itu yang menambah daya pikat pembacanya. Menggiring pembaca untuk berimajinasi. Itu sah-sah aja. Cuma, biasanya unsur jurnalisme musik tetap ada unsur cool. Jadi ketika kita membaca artikel tentang Metallica, walaupun kita nggak nonton, kita serasa berada di dalam konser itu. Menurut saya, tulisan yang bagus seperti itu. Jadi subjektivitas itu perlu. Tapi tetap tidak ada toleransi pada kesalahan faktual. Etika apa yang perlu dibawa jurnalis ketika meliput? Apa kaitannya dengan cara jurnalis menggali fakta tertentu? Misalnya saja ketika saya membaca
4gambar dipinjam dari images.detik.com
Saya selalu berpikir bahwa saya membawa nama besar Rolling Stone. Media yang sudah dikenal advance di bidang musik sejak tahun ’60-an di Amerika. Kita harus bisa menampilkan berita yang berbeda dari semua media di Indonesia. Apalagi media non musik. Bisa dibilang, ini adalah domain kami. Ini adalah expertise kami. Kami tahu Metallica lebih banyak dibanding mereka. Dan kami menyajikan berita yang tidak bisa kalian baca dari media lain. Sebelumnya ada unsur niat yang lebih dalam untuk mencari angle, berita, menemukan situasi yang kebanyakan orang tidak tahu atau tidak membaca. Kebetulan kami jadi media partner. Awalnya kami minta jadwal ke promotor untuk wawancara atau nempel Metallica di Jakarta. Tapi ternyata tidak bisa, di luar dugaan mereka sangat untouchable. Beda dengan tahun ’93. Mereka banyak wawancara dengan media. Kali ini, jadwal mereka padat, nggak sampe 24 jam dari show di Singapura. Jadi sangat terburu-buru.4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 17
3Akhirnya saya mencoba mencari cara untuk menembus ke belakang panggung. Dan menembus ke belakang panggung itu sebenarnya bukan wilayah wartawan. Jadi waktu itu menyusuplah, sebenarnya. Walaupun kami media partner dengan promotornya, namun ada area-area yang restricted area. Pas Metallica ini, saya menyusup bareng dengan Seringai. Waktu itu saya ikut Raisa dan Eben, menyusul Seringai yang sudah di dalam. Saya mengikuti mereka di belakang menuju backstage. Waktu itu dicegat. Entah kenapa, di gate itu cuman dilihat saya make kalung ID. Mereka nggak meriksa ID saya, kurang teliti. Padahal di saat bersamaan Metallica sedang press conference. Saya ditelepon untuk ikut press con. Tetapi saya memutuskan tetap di dalam bersama anak-anak Seringai. Jadi saya bisa liat kondisinya. Benar-benar eksklusif. Nggak ada wartawan yang berada di posisi saya ketika itu. Semua saya rekam, saya catat. Jadi bener-bener memotret. Karena semua media berkumpul di press con, dan nggak ada yang terlintas untuk menyusup seperti saya. Walaupun ada satu wartawan yang coba menyusup ke meet ‘n greet, padahal bukan pemenang meet ‘n greet. Tetapi sensasinya tetap berbeda. Semua hal saya tanyakan ke promotor untuk menyusun artikel 50 fakta yang berhubungan dengan Metallica. Contohnya insiden handphone Trujillo tertinggal, calon pembuka Metallica. Semua dapat dari promotor dan orang-orang di lingkaran konser. Saya ingin berbagi ini dengan pembaca Rolling Stone. Jadi basicly, harus passionate. Harus berbeda dengan yang lain. Kalo sekedar liputan konser, semua punya liputan konser. Tapi mereka nggak punya materi-materi di belakang panggung. Jadi harus punya stand point. Kita tahu semua wartawan datang, sehingga kita harus merencanakan perencanaan dan riset untuk pemberitaan. Nggak bisa mendadak pas hari-H baru kepikiran untuk melakukan semua itu. Riset ke promotor, cari kenalan ke orang sound system. Pokoknya harus pinter nerobos-nerobos. Jadi, bukan berarti dengan nama besar Rolling Stone saya bisa mendapat semua ini. Jadi kalo dibaca terkesan saya bisa masuk dengan gampangnya karena mereka nggak tau cerita yang sebenarnya. Cerita sebenarnya ya seperti ini. Ketika itu anak-anak Seringai kaget, “lah, kok elo bisa masuk?” saya jawab “biasalah..” (tertawa). Jadi gini nih, intinya press con belok kiri, backstage belok kanan. Anak-anak wartawan pada heran liat saya belok ke kanan. Kalo saya dicegat saat itu, nggak akan ada artikel itu. Sebagai wartawan memang harus memiliki kecerdikan. Harus memiliki kejelian. Harus cepat berpikir dan memutuskan, “ini angle yang akan diambil!” 18 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Tanggapan promotor setelah artikel ini keluar? Nggak ada sih. Mereka appreciate. Tapi sebelumnya saya konfirmasi dulu ke promotor, mana yang off the record, mana yang boleh di-share. Harus ditanyakan ke pihak promotor. Sesuatu yang on the record atau off the record harus kita kasih tahu ke narasumber. Kita harus menjaga kepercayaan narasumber. Apa etikanya? Menghormati narasumber kita dalam hal hanya berbagi informasi hanya yang diperbolehkan narasumber. Hanya yang boleh dibaca khalayak. Jadi ketika narasumber bilang off the record, kita hentikan segala aktivitas alat perekam. Jangan lupa konfirmasi apakah pembicaraan off the record sudah boleh on the record, dalam hal menggunakan media perekam. Jangan sampai kita memberitakan hal yang off the record menjadi on the record. Kalo kita melanggar itu, kita nggak akan dipercaya lagi oleh narasumber. Itu artinya kita udah mengkhianati narasumber kita. Tidak profesional? Ya. Ketika kita melanggar etika tersebut, otomatis kita nggak profesional. BAGIAN 2: KARIR JURNALISTIK WENDI PUTRANTO Mengenai karir sebagai jurnalis. Sebagian besar udah diceritain di depan. Kami ingin tahu karir jurnalistik profesional Mas Wendi. Kalo yang profesional terhitung sejak tahun 2000. Karir jurnalistik benar-benar dimulai di smp di mading. Ketika di kampus saya menulis di Media Publica. Ketika benerbener ekstra kurikuler menjadi kerja, saya ditawari kerja di portal gaya hidup di rileks. com. Saya masih bekerja sebagai ketua senat di FIKOM Moestopo. Ngantornya malam. Selepas pulang kuliah, orang-orang pulang kantor, saya masuk kantor. Di rileks. com saya ditawarkan sebagai editor musik underground. Nama sub domain itu bisik. com yang membahas tentang kehidupan mahasiswa dan gaya hidupnya. Di dalam bisik.com ada kanal lagi, kanal musik underground. Di bisik.com ini, bener-bener live review, berita, ada semua di situ. Saya menulis semuanya sendiri. Pekerjaan pertama saya berhubungan dengan media online, bukan media cetak. Ketika itu dotcom lagi jaya-jayanya. Saya kerja di situ sejak Juni 2000, keluar 10 bulan kemudian. Pokoknya nggak nyampe setahun. Bulan ke sepuluh ada pengumuman dari manajemen, perusahaan mengalami kolaps. Karena di bisnis dotcom waktu itu bussiness modelnya belum jelas. Akhirnya terjadi efisiensi pegawai. Saya salah satu yang kena. Dari situ, saya ditawari bekerja di musikita.com. Saya masuk tahun 2001 di sana sampai
4gambar dipinjam dari perpustakaan.depkeu.go.id
2003. Portal musik ini punya Emil Abeng, anak Tanri Abeng. Dari portal itu, saya ditawari masuk di Tabloid Rock. Waktu itu ada lowongan. Punya Log Zhelebour. Waktu itu Log Zhelebour sedang merilis album terbaru Jamrud. Album “Sidney 090102” yang direkam di Australia. Tabloid Rock itu media promosi Jamrud. Album “Sidney…” dipatok target penjualannya 2-3 juta kopi. Untuk mencapai target penjualan itu, mereka harus punya media untuk bisa memberitakan pemberitaan Jamrud. Selama 36 kali terbit, cover terbanyak adalah Jamrud dan artis Log Zhelebour lainnya. Yang berhubungan dengan Log Zhelebour masuk ke sana. Pada waktu itu juga nggak bertahan lama lagi. Tabloid Rock tidak punya AE dan marketing, nggak dapat iklan. Akhirnya bubar. Setahun setelah saya masuk. 36 edisi. Akhirnya saya bikin EO yang namanya Razel Enterprise atau Brainwashed Entertainment. Saya bawa artis dari Swedia, International Noise Conspiracy. Main di Soundrenaline tour enam kota di Indonesia. Selama itu jadi manajer The Upstairs, Desember 2003. Berbarengan dengan EO yang saya buat. Lumayan pencapaiannya, jadi raja pensi, menang award. Lumayan kenceng manggungnya. Sampai masuk Rolling Stone saya masih jadi manajer The Upstairs. Terakhir di “Magnet, Magnet”. Tahun 2005 setelah bawa International Noise Conspiracy, saya ditawari Adib Hidayat untuk bergabung dengan Rolling Stone. Bagaimana perkenalan Mas Wendi dengan Mas Adib Hidayat? Sudah kenal lama. Teman. Sejak di Gadis, Trax. Kenal cukup lama sejak awal 2000an. Waktu itu RS masuk Indonesia dan ada rekrutmen. Saya ditawari. Saya mengajukan klausul bisa tetap menjadi manajer. Karena waktu itu The Upstairs baru sign kontrak dengan Warner. Jadi nggak mungkin ditinggal. Nggak masalah. Jadi saya kerja full time. The Upstairs saya lepas tahun 2010. Karena memang passion-nya jurnalis musik.
Manajer artis itu sebenarnya kecemplung. Eh, ternyata band-nya jadi. Nggak ada unsur-unsur kesengajaan. Jadi untuk jadi manajer lagi, nantilah. Kalo udah nggak jadi wartawan. Di RS tahun 2014 nanti sudah masuk tahun kesembilan. Rubrik “Music Biz”, saya menganggap ini edukasi Rolling Stone. Boleh tahu dari mana ide “Music Biz” yang bisa besar selama bertahun-tahun? “Music Biz” hadir karena sebuah kegelisahan. Saya banyak mendengar selama jadi manajer, wartawan, promotor. Saya banyak dengar cerita nggak enak dari musisi Indonesia. Mereka seakan-akan tidak dihargai hak-haknya. Dalam arti, orang yang bekerja full time di musik, tapi ternyata tidak mendapat kesejahteraan seperti orang-orang di luar musik. Pencipta lagu itu profesi, kita hidup ditemani lagu-lagu favorit yang kita dengar. Dan musisi-musisi ini kenapa di hari tuanya tidak sejahtera, alias miskin. Bahkan punya utang. Nggak punya rumah. Sementara lagu mereka, musik mereka sudah membahagiakan jutaan orang di Indonesia. Diputar sepanjang masa. Koes Plus, God Bless, Iwan Fals, Chrisye mengapa mereka merana. Chrisye ketika dia sakit harus dibikinkan malam amal. Padahal Chrisye adalah salah satu artis yang albumnya laris. Kalo Chrisye aja ketika sakit dibikinin malam dana, agak aneh. Karena malam dana harusnya bukan untuk artis sekaliber Chrisye. Kalibernya mungkin artis yang cuma satu lagu dua lagu. Harusnya dia mau sakit berobat di Singapura, Amerika, dia bisa. Berarti ada yang salah dengan industri. Setelah saya pelajari, musisi jaman dulu banyak dibohongi oleh produser, manajemen, label rekaman, kontrak yang tidak adil, mereka tidak paham bagaimana industri musik bekerja. Saya jadi mikir, ada yang salah nih. Orang-orang sekaliber mereka dengan nama besar mereka bahkan masih belum mengerti dengan music publishing, performance royalty, mechanical rights, dan sebagainya. Kayaknya memang diperlukan adanya artikel yang mengedukasi musisi dan pembaca tentang itu Akhirnya kita bikin aja rubrik yang bersifat edukatif yang membahas bisnis musik. Karena ini majalah musik, kalo ada materi “Music Biz” akan sangat membantu. Jadi bisa saya bilang bahwa “Music Biz” itu terinspirasi dari kejadian-kejadian yang kita dengar dan kita alami setiap hari. Musisi jangan hanya memikirkan cara menciptakan lagu, atau perform di atas panggung. Musisi harus paham bagaimana bisnis ini bekerja, berjalan, dan pemenuhan hak-haknya. Jadi tujuannya itu sebenarnya. Sudah bukan jamannya lagi musisi nggak ngerti. Ini profesi lo. Kalo di profesi lo sendiri nggak ngerti hak-hak lo, gimana cara lo bisa nyelamatin hak-hak lo? Sampai kapan lo dibodohi industri yang
cuma menjadikan musisi sebagai sapi perah. Begitu rilis, banyak tanggapan di tiap edisinya. Ternyata bener dugaan saya, banyak musisi atau band yang belum paham. Setelah berjalan 2 tahun dari 2007-2009. Saya pikir sudah lumayan lengkap, Dari nama band sampai rekaman, jadi ada ide dibukukan saja. Jadi untuk membaca itu semua, orang nggak perlu sampe ngumpulin semua edisi Rolling Stone yang mengulas “Music Biz”. Cetak ulang hingga 9.000 copy. Saya bikin dialog tur dari kampus ke kampus. Responnya selalu meriah. Bukan cuma karena kami bawa Glenn Fredly. Bener-bener berguna buat gua. Sebenernya pengen menginspirasi untuk anak muda menjadi musisi juga. Karena musisi ini profesi yang masih menjanjikan di masa depan. Pengalaman paling berkesan yang nggak bakal paling dilupakan selama menjadi jurnalis? Pengalaman paling berkesan yang nggak terlupakan adalah ketika pertama kalinya saya meliput artis internasional di Medan. Tahun 2001, waktu itu Megadeth. Setelah nonton konser Metallica tahun 1993, belum ada lagi konser metal di Indonesia. Dicekal, dan baru ada lagi di tahun 2001. Tadinya konser itu di Jakarta. Karena Jakarta kacau balau jelang dilengserkannya Gus Dur, akhirnya dipindah ke Medan. Tujuan awal pemindahan konser, agar lebih dekat ke Singapura dan Malaysia. Agar penonton dari sana bisa datang juga. Lebih aman. Akhirnya saya bilang ke bos buat ngeliput Megadeth. Proses nontonnya nggak ada masalah, tapi menuju Medannya itu yang sulit. Belum ada penerbangan low cost budget. 2001, pesawat ke Medan termurah 2 jutaan. Pulang pergi bisa 4 juta sampai 6 juta. Akhirnya ok, saya diberangkatkan dengan bujet naik kapal laut. Naik bis nggak berani. Terlalu ngeri. Selama 3 hari tiga malam. Pertama kalinya ke Sumatera? Pernah ke Palembang. Pertama kali ke Medan naik kapal laut. Bareng istri orang, lagi. Ndaru Trashline. Istrinya penggemar berat Megadeth. Sebagai pemenang kuis. Kami berdua naik kapal laut Pelni KM Sinabung. Naik kapal laut 3 hari. Tidur di dek, harga tiket 250. Suasananya gila, udah kayak di mes. Gerah, berisik, bau minyak angin. Akhirnya kami pindah ke lantai atas, di dekat kafetaria. Gantian jaga tas. Tiap makan pake kuali gede buat masak nasi, ngambilnya pake dayung sekoci. Buset, gila nggak ada yang bisa dimakan. Untungnya bawa teri kacang buatan ibu. Nggak mandi juga karena nggak enak. Makanannya ng-
gak ada rasanya. Nasinya lembek, sayurnya item. Sesampainya di Medan, saya ngajuin wawancara ke promotor. Tommy Pratama, Original Production. Nggak dapet, karena medianya nggak jelas. Jadi pendaftaran sebagai media partner-nya baru ketika sampai di sana? Iya. Ada teman saya dari Tabloid Mumu, dapat kesempatan karena media cetak. Sementara ketika itu media online belum bisa. Itu pengalaman pertama saya bertemu artis. Idola juga. Jadi deg-degan. Saya membajak press conference. Jadi pas press conference saya udah nyiapin 15 pertanyaan. Saya susun di perjalanan. Saya duduk di barisan depan. Saya melihat wartawan-wartawan di Medan nggak menyentuh Megadeth sama sekali. Lebih fokus ke pertanyaan seperti, “kenapa Djarum mensponsori konser rock, karena biasanya Djarum mensponsori sepakbola?” Nah, pertanyaan seperti itulah
4gambar dipinjam dari wenzrawk1.blogspot.com
yang beredar. Setelah semua bertanya, akhirnya giliran saya bertanya. Saya bertanya sebanyak lima pertanyaan. Pas pertanyaan keenam si Dave Mustaine ngomong ke moderator, “kasih tau ke anak itu kalau ini press conference, bukan wawancara eksklusif. Suruh dia berhenti karena terus bertanya.” Saya berhenti dulu. Sampai akhirnya moderator mempersilahkan wartawan lain bertanya. Sayangnya karena tidak ada lagi yang bertanya, saya lanjut bertanya. Akhirnya dikasih sekitar 10 pertanyaan, nggak sampai 15. Dari 10 pertanyaan itu, wartawan-wartawan lain terselamatkan. Semua personel menjawab pertanyaan saya. Habis press conference kelar, saya samperin Dave Mustaine. Saya tepuk pundaknya, “hey Dave, are you ready for tonight?” Dave Mustaine menjawab, “no, that’s wrong question! Are you ready for Megadeth?!” (tertawa terbahak-bahak). Waduh. Skak mat. Jadi karena digertak, merasa salah ngomong. Udah tau orangnya arogan, tapi baik sih. Minta foto dan tanda tangan. Itu menurut saya yang paling berkesan. Untuk bertemu idola harus mengarungi lautan beribu-ribu kilometer. 4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 19
Yak, kita loncat ke industri musik Indonesia saat ini. Industri musik kita lagi seru-serunya. Banyak band-band bagus, ada terobosan baru, transisi musik fisik ke digital. Dinamika industri musik, apakah sudah mengarah ke industri musik yang sehat? Kita ngomonginnya ke konten atau format? Konten dulu... Kalo konten, di tingkat mainstream sebenernya lagi lesu. Bisa dibilang lagi sekarat. Karena sekarang artis-artis lagi bingung. Mau menjual musik bagaimana caranya. Karena terbukti pendengar musik meningkat, tapi jualannya lesu. Sekarang tidak relevan lagi membahas cd bajakan. Karena mereka bahkan nggak beli itu semua. Sekarang yang menjadi momok adalah download ilegal. Orang men-download musik tidak membayar. Tetapi dari website musik ilegal. Itu sebenarnya yang menjadi concern. Karena penjualan cd tidak terselamatkan. Salah satu contoh kongkritnya adalah dengan mau tutupnya Aquarius Mahakam. Itu sudah menjadi salah satu indikasi ada yang nggak beres dengan industri musik di Indonesia. Aquarius Mahakam kan salah satu simbol, bisa dibilang salah satu icon dari industri rekaman Indonesia. Kalo itu tutup, berarti ada yang salah dengan industri musik kita. Tetapi, format fisik sendiri memang menurun penjualannya. Dari sisi mainstream kita melihat artisartis yang ada sekarang ini sifatnya instan. Nggak terlalu menarik. Jadi boleh dibilang setelah RBT rontok, nggak ada musik yang bisa terjual banyak kecuali di KFC. Entah kenapa metode berjualan musik dengan ayam goreng bisa sukses di Indonesia. Saya juga agak bingung. Agak lucu, tapi itu menjadi sesuatu yang wajar sekarang. Bagaimana caranya bertahan di situasi yang sulit. Kalo menurut saya sih memang dari segi konten di mainstream nggak menarik saat ini. Tapi dari segi konten di musisi indie, itu lagi bagus-bagusnya. Kota-kota di Indonesia di luar Jakarta dan Bandung, misalnya di Jogja, Malang, Makassar, Tenggarong scene musiknya lagi bergejolak. Semangat banget untuk memproduksi dan memperkenalkan band lokal mereka ke pentas nasional. Jadi banyak banget band-band baru bermunculan. Rilisan album, kalo mau dilihat dalam sebulan bisa lebih dari sepuluh album yang dirilis. Bisa dicek ke Demajors. Mereka salah satu distributor musik independen terbesar di Indonesia. Karena nggak ada yang rutin merilis album semasif itu. Kalo cd, penjualan di non-mainstream masih bagus. Karena fans-fans musik indie pembeli cd. Mereka nggak sekedar download, tapi membeli cd-nya juga. Merchandise-nya juga seperti itu. Nah yang di mainstream ini yang kebingungan. Karena terbukti musik digital 20 I TUCZINE.TUMBLR.COM
yang men-download berbayar masih belum menjadi pilihan utama. iTunes baru dibuka setahun lalu. Karena pake credit card juga masih sedikit. Jadi masih sangat terbatas penjualannya. Tapi format yang paling ideal ke depannya kayaknya iTunes. Karena semua musik ada di sana. Katalog internasional. Katalog lokal belum banyak. Tapi ke depannya ini potensial bisa punya pasar yang bagus. Bedanya nggak bisa dipegang. Perlu waktu sekitar lima tahun lagi untuk orang Indonesia ramai berbelanja di iTunes. Tapi kalo dari sisi band-band pendatang baru justru yang paling menarik justru dari scene independen. Musiknya variatif, penampilannya menarik, liriknya bagus. Tapi kalo band mainstream rata-rata nggak bener lah. Mewakili selera pasar. Tapi bukan pasar yang bagus, sih. Pasar yang menyemenye. Ada sisi baik dan ada sisi buruknya juga di industri musik. Era seperti sekarang ini belum pernah ditemukan di era sebelumnya dalam sejarah industri musik Indonesia. Bahkan seorang Bens Leo sendiri bingung, “saya nggak ngerti, era apa sekarang ini yang ada di industri musik Indonesia.” Karena menurut dia, era ini anomali. Karena semua produk yang ditawarkan ke pasaran sangat sedikit yang laku terjual. Jadi memang ada yang salah. Tapi kalo dari segi konten sih oke. Banyak label-label yang putar otak buat bertahan. Banyak yang mengurangi pegawai. Jadi nggak cuma bertahan dari penjualan aja, tetapi bertahan dari kebangkrutan. BAGIAN 3: WENZ RAWK BERSABDA Kami meminta pendapat Mas Wendi mengenai Record Store Day dan Cassette Store Day. Menurut Mas Wendi apakah perayaan Record Store Day dan Cassette Store Day selama beberapa tahun ini akan mengembalikan kejayaan rilisan fisik? Sayangnya nggak ya kalo menurut saya. Kenapa? Karena memang pola konsumsi musik di masyarakat sudah berubah. Pola konsumsi orang mendengarkan musik sudah berubah drastis. Orang sudah tidak mendengar musik lagi melalui cassette player, cd player. Orang tidak mendengar musik lagi secara massal melalui piringan hitam. Sekarang ini orang mobile. iPod, mobile phone, laptop, iPad digunakan untuk mendengarkan musik. Jadi, terjadinya perubahan medium untuk mengkonsumsi musik juga berpengaruh pada perilaku penggemar musik. Kita berbicara pada masyarakat luas. Karena itu lebih fleksibel, lebih gampang, lebih simpel. iPod bisa dianalogikan bisa menyimpan 10.000 album. Bagaimana caranya 10.000 lagu bisa masuk ke dalam iPod. Itu kan hebat.
Tapi kalau beromantika dengan cd, piringan hitam, kaset, hal itu coba dirayakan kembali dengan cara-cara semacam Record Store Day. Sebenarnya itu sebuah gerakan yang dimulai oleh para penggemar musik yang die hard. Bukan dimulai oleh penggemar musik yang kebanyakan. Mereka penggemar musik yang hidup matinya bersama musik. Nah, die hard fans musik ini mungkin tidak sebanyak orang-orang penggemar musik yang ada seluruh dunia. Jadi kalau mau dipilah-pilah, ada pendengar musik yang hanya membeli lagu, hanya membeli album, hanya mengkonsumsi digital, dan hanya mengkonsumsi fisikal juga. Nah, yang fisikal ini yang sekarang jumlahnya berkurang. Karena orang lebih mementingkan konten (musik)nya, bukan bentuk fisiknya. Jadi adanya gerakan seperti itu untuk mengingatkan orang aja sih sebenarnya. Bahwa, “eh, pergi ke toko kaset atau pergi ke toko rekaman itu sesuatu yang kita lakukan dulu, ketika industri belum seperti sekarang”. Sebuah ritual mungkin. Sebuah upaya untuk mencari musik baru dengan passion yang menggebu-gebu. Kita ngubek-ubek rak rekaman, kemudian melihat tumpukan cd atau tumpukan kaset. Kita menimang-nimang, beli atau tidak. Atau kita mendengarkan musik itu di toko terlebih dahulu. Pengalaman itu kan sudah tidak ada. Sudah hilang sekarang. Inilah yang coba dibangkitkan lagi oleh Record Store Day. Tapi kalau untuk mengembalikan kejayaan rilisan fisik, saya kira nggak. Karena memang perkembangan jaman menyatakan bahwa era digital lebih disukai sekarang ini oleh kebanyakan orang. Yang menyelamatkan era fisik sekarang ini jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan mereka yang menggemari musik digital. Jadi menurut saya Cassette Store Day atau Record Store Day adalah untuk penggemar musik yang akut. Die hard. Karena menurut mereka, “only physical record are real”. Jadi kalo cuma dengar musik secara mp3 saja, kualitasnya jelek. Audiophile akan sangat benci mp3. Mereka sangat menyu-
banyak mendengar sesuatu yang mirip Beatles dari album itu, karena produsernya ada tiga orang. Salah satunya anak George Martin. Album keempat itu albumnya Death Angel. Saya lupa judulnya, nanti bisa dicek ya. Entah kenapa Death Angel di tiga album terakhir ini bagus-bagus terus. Jadi mulai dari mereka reuni sampai tiga album yang mereka rilis ini menurut saya ini album yang punya karakter thrash metal modern dengan hook-hook berbahaya. Tetap liar, mereka terbentuk tahun 1984, tapi tetap seganas seperti mereka merilis album dulu. Mereka sepertinya tidak pernah tua. Album kelima... saking banyaknya jadi lupa..
kai bunyi dari piringan hitam. Jadi, hal-hal yang sifatnya romantis. Tapi untuk membuat orang menoleh ke cd atau ke piringan hitam lagi... (isyarat menggelengkan kepala). Piringan hitam memang menjadi sesuatu yang kembali hip. Tapi sejauh ini masih sebatas tren. Tren membeli piringan hitam di Amerika memang besar sekarang. Tapi tetap saja, angka penjualannya masih tidak se-signifikan penjualan cd dulu. Katakanlah perbandingannya sekitar 30 atau 20 persen dari penjualan. Penjualan digital menguasai 80%, fisik tersisa 15%, nah sisanya 5% ini penjualan piringan hitam. Toko kaset di Indonesia malah sudah nggak ada. Karena pabrik yang memproduksi pita kaset sekarang hanya tinggal satu. Yang lain, dulu sekitar puluhan, sudah tutup semua. Otomatis demand orang akan medium kaset juga tidak ada. Nah ini yang coba dibangkitkan oleh orang-orang yang menginisiasi Record Store Day dan Cassette Store Day. Jadi mereka lebih ke nostalgia lah. Ada dampaknya, tapi dampaknya tidak terlalu banyak. Dan itu memang kenyataannya. Sayangnya, kalo di Amerika pendengarnya beralih dari pembeli fisik ke pembeli musik digital. Kalo di Indonesia tidak. Kita belum mengalami masa booming cd juga sebenarnya. Dari kaset, kita lompat ke mp3 dulu. Ketika cd mulai laku, mp3 sudah terbang, nggak terkejar lagi. Jadi sekarang yang beredar mungkin banyak musik yang ilegal. Karena penghargaan terhadap karya cipta masih rendah di Indonesia. Kalo di sana (Amerika), mereka nggak beli cd bajakan dan download ilegal. Karena kalo mendownload ilegal bisa dipenjara. Pertanyaan terakhir. Sebutkan lima rilisan terbaik Indonesia dan Internasional tahun ini menurut Mas Wendi! Internasional dulu ya. Pertama, Black Sabbath album “13”. Itu album yang keren banget. Kedua album Davied Bowie, “The Next Day” dengan cover “Heroes” yang direproduksi. Terus album ketiga, Paul McCartney, “New”. Itu keren banget juga. Saya
Carcass? Nah, itu dia! “Surgical Steel”. Ya, setuju saya. Setelah 17 tahun nggak mendengar rilisan terbaru setelah “Swan Song” kalo nggak salah, saya baru mendengar Carcass yang baru lagi. Dan itu album keren abis. Harusnya sih lebih dari lima album. Tapi menurut saya yang lima itu cukup menonjol di 2013. Album lokal? Nomor satu menurut saya itu albumnya The S.I.G.I.T, “Detourn”. Nomor dua... mmm, ((AUMAN)) “Suar Marabahaya”. Nomor tiga, ini juga tricky... “Sorealist” dari Sore. Keempat, ini jangan-jangan ada yang ketinggalan lagi, ngeselin juga nih. Ada album barunya Yacko. Keren banget tuh, “The Experiment”. Menurut saya itu album hip-hop terbaik. Nggak cuma tahun ini, tapi lima atau sepuluh tahun terakhir. Karena dia keluar dari pakem. Beda dengan album Yacko terdahulu? Beda. Dia keluar dari gaya bermusik dia. Ada 13 lagu. Dia berkolaborasi dengan 13 songwriter dengan 13 produser. Akhirnya albumnya bernama “The Experiment” yang menampilkan eksperimen musik dengan drum and base, dubstep, dubyouth, dubreggae, jungle, techno.. Itu ada semua di album itu. Album kelima? Ini kalo kayak gini suka lupa nih. Coba saya bantu. Tigapagi? Tigapagi bagus, tapi bukan selera saya. Superglad? Superglad “Berandalan Ibukota” belum denger malahan. Itu baru banget keluar. Keren banget itu album... Oh, ya? Dibanding “Cinta dan Nafsu”? Lebih keren, karena berkolaborasi dengan beberapa musisi keren. Terutama dengan Roy Jeconiah. Terus apa lagi ya? Zorv? Itu juga bagus.
Maliq ‘N D’Essentials? “Sriwedari”. Tapi saya bukan pendengar Maliq, tapi katanya emang bagus banget itu albumnya. SSSLOTHHH? Oke, tapi sayangnya saya nggak suka vokalnya. Banyak banget ya... Iya, kita harus berada di depan komputer. Down For Life? Lumayan. Tapi kurang maksimal. Apa lagi ya? Coba saya liat di majalah (sambil membolak-balik majalah Rolling Stone Indonesia sampul Metallica Jakarta). Adrian Adioetomo? Karat dan Arang? Bagus. Tapi itu lebih dari lima nanti. Gawat. Pandai Besi? Kurang suka. Saya lebih suka Efek Rumah Kaca. Coba kita cari musisi Bandung, siapa ya? Oh, itu tuh, album Rock ‘N Roll Mafia. Itu tahun berapa? “Prodigal”? Itu rilis tahun 2012. Keren itu album. ((AUMAN)) jangan-jangan 2012 ya? Produksi 2012, tapi rilis awal 2013. Coba kita sisir Demajors dulu. Wah banyak banget Demajors rilisannya. Gila! Inlander... Nah, “Ultimatum”! Inlander “Ultimatum” saya suka! Keren. Inlander nomor lima. Dikunci ya. Lima terbaik Indonesia versi Wendi. Eh, ada Navicula juga! “Love Bomb”. Navicula itu keren lho. Saya suka! Mampus, nih. Tuker Sore, deh. Karena Sore itu selain kompilasi, itu beberapa lagu ada yang rekam ulang. Bukan karya baru. Diganti Navicula “Love Bomb”. Oke. Terima kasih Mas Wendi. Sama-sama. Pertanyaannya keren-keren. Kabarin ya kalo zine udah rilis.
Di sesi terakhir ini, saya menyodorkan buku “Music Biz - Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik”, tulisan Wendi Putranto, dan Rolling Stone Indonesia cover story Metallica Jakarta 2013 untuk ditandatangani. Wendi Putranto membubuhkan tanda tangannya. Sempurna.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 21
EVENT
BANTEN SCIENCE DAY VILLA BADUY, ANYER 14-15 DESEMBER 2013
BERSENANG-SENANG DENGAN SAINS DI
BANTEN SCIENCE DAY OLEH ARIEF HIDAYAT ADAM
A
cara ini tadinya hanyalah sebuah ide. Gagasannya adalah bagaimana mempertunjukkan kemegahan meteor shower Geminids ke khalayak ramai. Tapi kemudian setelah melalui proses diskusi dengan forum Semestarian, yang merupakan kumpulan dari beberapa komunitas, lembaga atapun individu yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial, kami memunculkan gagasan lain: bagaimana kalau acaranya dibuat lebih besar lagi, dengan komposisi materi yang lengkap, dan semuanya bertemakan sains? Waktu pelaksanaanya kemudian ditentukan, yaitu pada hari sabtu dan minggu, tanggal 14 dan 15 Desember 2013, dan berlokasi di Villa Baduy, Anyer. Pada H-60, kami namakan acara ini “Banten
Science Day”, mengusung kata ‘Banten’ dengan harapan kelak kabar dari acara ini akan muncul beriringan dengan kabar-kabar lain mengenai Banten yang lebih banyak memuat perkembangan kasus korupsi sang Ratu dan kecoa-kecoanya. Tema “Have Fun with Science” kami pilih dengan pandangan bahwa belajar sains tidak melulu harus serius dan text book. Belajar sains akan lebih efektif lagi melalui aplikasi eksperimen langsung dan dengan kemasan yang menyenangkan. Setelah melalui beberapa kali diskusi, materi yang disuguhkan ditetapkan menjadi lima jenis. Ini juga yang menjadi kebanggan kami, bahwa untuk Banten Science Day 2013 ini materi kegiatan semuanya disuguhkan oleh pemateri asal Banten. Berikut runutan kegiatannya:
Sainstrik Inisiatornya adalah salah satu mahasiswa UNTIRTA yang memiliki ide menarik tentang bagaimana cara memperkenalkan unsurunsur kimia dengan percobaan main-main. Dia memulai hari itu dengan eksperimen kimia sederhana tentang elastisitas balon, dan melakukan percobaan reaksi bahanbahan kimia sehingga menimbulkan efek yang menarik. Kreamur Kreamur berasal dari Kelompok Mahasiswa Teknik UNTIRTA yang membawa materi keren tentang pembuatan roket berbahan luncur air dan aero modelling. Peserta diajak untuk membuat roket air sendiri untuk kemudian diuji coba dan dilombakan. Pengenalan Hewan Reptil Materi ini dibawakan oleh Komunitas Pecinta Reptil (REAL) melalui interaksi langsung dan paparan tentang hewan yang mereka pelihara. Dalam materi ini banyak peserta yang antusias untuk berfoto bersama dan bermain dengan beberapa hewan yang dibawa. Ufologi Benarkah hanya di bumi saja tempat mahluk cerdas menghuni? Ufonesia dengan materi ufologinya mengajak kita berdiskusi lebih dalam tentang kemungkinan adanya UFO dan alien. Acara dibuat dengan konsep sharing session berupa diskusi dan pemaparan materi singkat tentang bukti keberadaan mahluk cerdas lain selain manusia.
Astronomi Materi terakhir adalah astronomi yang dibawakan oleh Adam & Sun berupa perkenalan dasar dengan astronomi, dimulai dari sejarah hingga aplikasi membaca peta bintang. Sayangnya cuaca kurang mendukung sehingga praktek langsung mengamati benda langit menggunakan teleskop urung dilakukan. Pengamatan meteor shower juga mengalami nasib yang sama. Langit Anyer malam itu terlihat sangat gelap terselimuti awan hitam. Sebagian peserta ada yang beranjak tidur, dan sebagian lainnya menikmati udara laut sambil berjaga bersama panitia bila saja langit membaik, sehingga pengamatan meteor shower bisa dilakukan. Minggu pagi hari, sekitar jam 8 kami berkumpul untuk melakukan sharing session, dokumentasi dan penutupan. Seorang tokoh bangsa pendiri negara ini pernah mengungkapkan harapan untuk masa depan perkembangan sains di Indonesia. Dalam salah satu pidatonya dengan lantang beliau berkata; “Saya berharap agar bangsa Indonesia sedikit demi sedikit mengenal berbagai benda langit dan berbagai peristiwa di luar angkasa”. Harapan ini membuktikan bahwa sains memegang peranan penting dalam keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Bagaimana tidak, karena hampir seluruh aspek kehidupan akan bersinggungan dengan sains, baik di bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan lain sebagainya. Melalui acara yang kelak akan kami adakan rutin tiap tahun ini, kami berharap bahwa para peserta, khususnya yang
terdiri dari (akademisi) siswa, mahasiswa, pengajar serta umum, pulang membawa ide bahwa belajar sains itu sangat penting demi kemajuan pemikiran personal hingga global. Bahwa belajar sains juga tidaklah harus rumit dan text book. Kita bahkan bisa belajar sambil bersenang-senang. Karena kami yakin pemahaman terbaik untuk belajar sains adalah aplikasi dan penerapannya secara langsung. Ada sebuah kutipan menarik yang mengatakan bahwa “Tuhan bekerja melalui sains” atau pun seorang Einstein pernah berujar; “Tuhan tidak sedang bermain dadu”. Kalimat-kalimat tadi memperlihatkan hubungan erat sains dengan kebesaran Tuhan. Maka besar harapan kami melalui acara ini akan timbul ketertarikan lebih terhadap sains sebagai bentuk rasa keimanan terhadap kebesaran Tuhan. Hari-hari berikutnya harapan kami mulai terjawab, beberapa media lokal dan nasional mengangkat kegiatan kami. Beragam reaksi positif pun datang dan berharap Banten Science Day ini akan terus diadakan dari tahun ke tahun. Sekarang tampaknya kami layak untuk berseloroh: f*ck you, we are from Banten!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 23
EVENT
CASSETTE STORE DAY JAKARTA SAFFRON BISTRO KEMANG, JAKARTA 7 SEPTEMBER 2013
SUGUHAN KOMPLIT MOMEN RECORD, PLAY, REWIND, FAST FORWARD, STOP DAN PAUSE DARI
KEPING-KEPING KASET OLEH DIDIK YANDIAWAN
S
ebuah perayaan pembangkit memori akan kejayaan kaset bernama Cassette Store Day (CSD) 2013 diselenggarakan untuk pertama kalinya di dunia. Sama halnya dengan perayaan Record Store Day, CSD 2013 juga berlangsung di beberapa kota di Indonesia, di antaranya Jakarta, Bandung, Malang dan Makassar. Di Jakarta, acara CSD 2013 diprakarsai dan dikemas oleh Pasangan Baru. Dimas Ario dan Nastasha Abigail adalah pasangan asmara di dunia nyata yang memiliki ketertarikan khusus terhadap kaset. Umur kejayaan kaset sebagai media rekaman musik pilihan masyarakat Indonesia yang panjang menjadi salah satu latar belakang penyelenggaraannya. Di Indonesia, era kejayaan penjualan kaset masih terjadi hingga tahun 2006, sebelum booming Ring Back Tone (RBT) dan cd mengambil alih 24 I TUCZINE.TUMBLR.COM
pasar. CSD 2013 Jakarta diselenggarakan di Saffron Bistro Kemang pada tanggal 7 September 2013. Penyelenggaraan CSD 2013 melibatkan penampilan dari Pandai Besi, Harlan, Sawi Lieu, Bin Idris, Dangerdope dan The Sastro. Turut hadir Fariz RM, Imran Amir (Prambors), Jimi Multhazam (The Upstairs, Morfem) dan Koseng (Spills Record) dalam sesi talkshow yang dimoderatori oleh Indra Ameng. CSD 2013 menampung para pedagang kaset dari Blok M Square, Taman Puring dan KPMI. Ratusan pengunjung dari berbagai rentang usia antusias menyisir satu persatu lapak kaset yang tersedia. Selain itu, beberapa musisi menghadirkan rilisan spesial album dalam format kaset. Efek Rumah Kaca, Sawi Lieu, Roman Catholic Skulls, Harlan, L’Alphalpha dan The Sastro merilis album mereka pada hari itu. Hasilnya
beberapa album yang dirilis terbatas dari musisi tertentu ludes tak bersisa. Hujan sempat menjadi selingan perayaan CSD 2013. Namun hal itu tidak menghalangi penyelenggaraan acara. Justru pengunjung semakin merapat ke dalam Saffron Bistro untuk menyimak galeri eksebisi dan talkshow menarik dari para narasumber. Penampilan utama di rooftop Safron Bistro berlangsung jelang pukul 22.00 WIB. The Sastro yang sempat lama menghilang, hadir kembali di acara ini. Mereka membawakan lagu-lagu hebat seperti “Rasuna”, “Telefiksi”, “Plazamaya”, “Hantu TV” dan “Lari 100”. Perayaan CSD 2013 Jakarta berjalan sukses. Sehari bersama pedagang dan penggemar kaset akar rumput sukses membangkitkan gairah para kolektor untuk semakin mencintai media rekaman musik. Kaset memang usang, namun klasik.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 55
OUR MUSIC
HORRO ANOTHER TUNNEL IN THE UNDERGROUND OLEH AJAR REDINDRA ISLAMI
BUKAN TENTANG PERHIASAN, GENG, NASIONALISME ATAU PROTES. SEPERTI DALAM DEATH METAL, DI HIPHOP ADA YANG MEMUJA KENGERIAN
H
orrorcore, apa itu? menurut kamus, ini adalah istilah yang dipakai untuk menyebut sebuah subgenre dari hiphop yang bertema horor, supernatural, pembunuhan berantai, gangguan jiwa dan hal-hal semacam itu. Saya sebut istilah kamus karena masing-masing artis pelakunya memiliki istilah sendiri untuk menyebut musik mereka, mulai dari acid rap, gothic hiphop, death rap atau wicked shit, dan kemudian kata horrorcore dipakai untuk menyeragamkan istilah-istilah tersebut. Horrorcore lahir dari eksperimen para pelakunya yang jenuh dengan dunia hiphop yang bertema kriminalitas dan kehidupan jalanan dan mencoba membahas hal-hal tabu yang sudah lebih dulu dibahas di musik death metal. Secara umum DJ-ing, sampling dan rapping masih menjadi unsur utama horrorcore. Hal yang unik adalah pemilihan sound untuk beat-nya yang setara dengan suara musik pengiring adegan seram di filmfilm horror. Dan tergantung dari artis dan tema lagu yang bersangkutan, suara-suara gitar listrik, organ bahkan harmonika dapat ditemukan. Selain lirik dan pemilihan beat, hal lain yang khas dari horrorcore adalah penggunaan image dan tema tertentu oleh beberapa artis dan penampilan yang disesuaikan dengan image tersebut. Insane Clown
Cikal bakal Jika kita menengok ke belakang, banyak yang menganggap Michael Jackson dan hits “Thriller”-nya di tahun 1982 adalah cikal bakal dari horrorcore. Namun tidak ada lagu hiphop yang benarbenar memulai tren ini hingga Geto Boys dengan track “Assassin” mereka tahun 1988 yang secara gamblang menjabarkan tentang pembunuhan sadis secara detil, satu hal yang tidak lazim pada masa itu karena lirik gangsta rap pada umumnya berhenti pada kalimat “I shot ya” atau “I kill ya”. Mungkin rapper pertama yang benar-benar mengadopsi subgenre ini adalah Esham. Memulai debut dengan album “Boomin’ Words From Hell” di tahun 1989, dan menyebut musiknya kala itu dengan istilah acid rap, rapper detroit ini mengangkat tema satanisme dan menyebut dirinya ‘The Unholy’, sebuah kejutan besar untuk para pendengar hiphop. Dimulai dari Esham, artis-artis horrorcore lain mulai bermunculan: Ganksta N-I-P dengan “South Park Psycho”, Insane Poetry dengan “Grim Reality”, Brotha Lynch Hung dengan “24 Deep”, dan tentu saja horrorcore superstar ICP dengan “Carnival of Carnage”.
4gambar-gambar dipinjam dari craptasticfanzine.blogspot.com dan musicbloodline.info
Getting bigger Skena horrorcore berkembang hampir sepenuhnya secara underground, meskipun diakui atau tidak, beberapa artis hiphop mainstream juga terpengaruh dan
film “Halloween”; juga Eminem dengan lagulagunya seperti “97 Bonnie And Clyde”, “Kill You”, “Scary Movie” dan banyak lagi, yang tentu saja tampak horrorcore-nya karena memang dia tumbuh dan berkembang di Detroit, pusat skena horrorcore. Satu momen lain di mana horrorcore mendapat sorotan dunia luar adalah penampilan ICP di Woodstock 1999. Sebagai sebuah grup yang mewakili sebuah subgenre yang kurang populer di industri mainstream, dan harus bersaing mendapatkan hati crowd karena jadwal manggung yang bersamaan dengan Korn di panggung lain, mereka sebetulnya cukup tahu diri dan tidak berharap banyak, namun para penonton yang terus meneriakkan “ICP!... ICP!... ICP!” bahkan sebelum mereka mencapai panggung jelas adalah sebuah pertanda: hororcore is getting bigger! Hari ini horrorcore sudah menyebar cukup luas. Saya pernah menemukan beberapa artis horrorcore dengan lagu berbahasa Rusia seperti Nuttkase dan
sesekali memasukkan unsur horrorcore dalam karya mereka. Dr. Dre dan Icecube pernah merilis single “Natural Born Killaz”; Snoop Dogg dengan “Murder was the Case”, yang keduanya kental bernuansa horrorcore dan menjadi soundtrack film “Murder Was the Case” tahun 1994; grup Three Six Mafia punya beberapa track dengan pengaruh horrorcore misalnya “Lolli Lolli” yang mengambil potongan sound dari
Naveh, ada juga Kid Crusher dari Australia. Sayangnya, saya belum pernah menemukan apapun dari Asia. Namun skena paling ramainya sendiri masih di sekitaran Amerika Serikat dan Kanada, dengan Detroit sebagai pusatnya, karena memang banyak artis horrorcore yang muncul dari kota itu, juga karena diselenggarakannya even horrorcore tahunan seperti Gathering of the Juggalo atau Hallowicked di sana.4
ORCORE Posse (ICP) misalnya, selalu tampil dengan make up badut gila dan konsisten ngerap tentang pembunuhan berantai, Brotha Lynch Hung sang kanibal, si zombie Blaze Ya Dead Homie dan lain sebagainya. Penggunaan facepaint, lensa kontak, darah palsu atau aksesoris-aksesoris lain, baik di kalangan artis maupun fans membuat crowd horrorcore mudah dikenali dan dibedakan dari dunia hiphop kebanyakan.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 27
Insane Clown Posse, The Dark Carnival dan Juggalo World Oke, jika bisa saya gambarkan keseluruhan skena horrorcore hari ini sebagai sebuah sistem tata surya, maka ICP adalah matahari di sistem ini, dengan artis-artis lain sebagai planet yang meskipun cukup besar pada kenyataannya, hanya mengorbit di jalurnya masing-masing di sekitaran pusat tata surya, dan para Juggalo adalah gaya gravitasi yang menjaga sistem tetap berurutan teratur sesuai hierarki tersebut. Kesuksesan ICP tidak terlepas dari keahlian mereka memainkan dan mempertahankan tema dan image dalam musik sebagai sepasang badut gila pembunuh berantai yang menyampaikan pesan-pesan moral terselubung dari The Dark Carnival. The Dark Carnival sendiri adalah sebuah entitas abstrak dengan kekuatan tak terbatas yang menjelma dalam berbagai bentuk berbeda, menghukum manusia atas perbuatannya. Masing-masing penjelmaan ini disebut Joker Cards. Joker Cards ini berwujud album-album ICP dari waktu ke waktu, mulai dari “Carnival of Carnage” (1992), “The Ringmaster” (1994), “Riddle Box” (1995), “The Great Milenko” (1997), “The Amazing Jeckel Brothers” (1999) sampai “The Wraith” (2002-2004) yang disebut The Original Six, karena kemudian mereka memutuskan mengeluarkan seri joker cards baru setelahnya. Di track terakhir album “The Wraith”, “Shangrila” pada akhirnya mereka menyatakan The Dark Carnival ini adalah Tuhan itu sendiri. Dan jika para pendengar mencermati semua orang yang ‘dibunuh’ oleh mereka sepanjang lagu-lagu sebelumnya adalah mereka dengan moral hazard yang memang pantas untuk mati. Beberapa pendengar waktu itu pasti tiba-tiba berpikir “oh wait, jadi selama ini kita mendengarkan sebuah grup relijius yang menyampaikan pesan moral positif dalam lagu bertema pembunuhan dan bahasa fu*k this and bitch that?” Yeah, sebuah plot twist. Daya tarik The Dark Carnival, dan tentunya kemampuan bermusik Violent J dan Shaggy 2 Dope yang secara jenius membuat racikan yang tepat dari hiphop, horror dan selera humor aneh bagaikan magnet yang menarik ribuan fans, bagai sebuah ajaran sekte yang menarik para pengikut yang disebut Juggalo (dan Juggalette untuk wanita). Juggalo adalah fanbase yang luar biasa fanatik dan kompak. Mereka mengembangkan tradisi-tradisi, kode etik, bahasa slang dan istilah tertentu yang hanya berlaku di antara mereka. Mereka juga terkenal brutal pada dunia luar, melempari sampah, botol, batu bahkan kotoran manusia pada artis yang sepanggung dengan ICP tetapi dengan musik yang tidak cocok dengan selera. Itu adalah kelakuan lazim para Juggalo. Hampir semua 28 I TUCZINE.TUMBLR.COM
konsumen horrorcore adalah Juggalo, tetapi tidak semua Juggalo mendengarkan artis horrorcore lain selain ICP, kurang lebih seperti itulah gambaran ‘tata surya’ yang saya sebut di atas. Reputasi yang buruk tentang kebrutalan Juggalo dalam konser ataupun di kehidupan sosial mereka (termasuk di internet, di mana mereka sering disebut ‘the worst species on earth’) menurut saya pribadi adalah bentuk ‘balas dendam’ pada dunia luar yang sebelumnya menganggap aneh dan menolak mereka. Banyak dari Juggalo adalah kutu buku, anakanak pendiam,
4gambar dipinjam dari huffingtonpost.com
penggemar Dungeon and Dragon dan orang-orang aneh lainnya yang menemukan kenyamanan dalam komunitas Juggalo yang sering mereka sebut Family, yang lantas kemudian menjadi berani melawan balik setelah sadar bahwa mereka tidak sendirian. Singkat kata, they’re just a bunch of bullied kids fight back, that’s all.
.
OUR MUSIC
SPLAT PACK IN THE SCENE OLEH AJAR REDINDRA ISLAMI TWIZTID Berasal dari Detroit pula, dan disebut ‘clone of the the clowns’. Duo Madrox dan Monoxide Child memiliki sejarah awal karir, rivalitas dan persahabatan yang lama dengan ICP, namun untuk menjadi sebesar sekarang ini tentunya secara musikal mereka tidak sekedar copy paste dari badut-badut itu. Twiztid memiliki lebih banyak unsur rock dalam musik mereka dan secara lirik lebih banyak bicara tentang gangguan jiwa, suara-suara di kepala, paranoia atau rasa haus darah dari sudut pandang sang psikopat. Kritikus bilang jika Jason Vorhess dan Michael Myers bisa ngerap maka lagu mereka akan terdengar seperti milik Twiztid. BOONDOX Boondox membawakan lagu berlirik tentang menebar teror di daerah country, menyeret mayat ke tengah ladang jagung, atau membunuh dengan alat-alat pertanian. Dengan aksen redneck khas daerah selatan Amerika Serikat dengan sesekali diiringi harmonika atau gitar country, album-album Boondox the Scarecrow adalah Texas Chainsaw Massacre dan Jeepers Creepers versi musik hiphop. Boondox adalah rapper termuda dalam list ini, jadi saya rasa dia masih punya masa depan yang panjang dan salah satu yang paling saya tunggu karya berikutnya, meskipun tampaknya sedang vakum selama beberapa tahun terakhir ini setelah keluar dari label Psychopathic milik ICP. TECH N9NE Tech N9ne adalah salah satu musisi dengan skill ngerap tercepat di scene ini, skill yang dia sebut chopper style. Sepertinya dia adalah rapper horrorcore dengan mainstream audience yang paling banyak karena seringnya menjadi sorotan MTV, dan banyaknya kolaborasi yang dia lakukan dengan musisi mainstream seperti Lil Wayne, Yellawolf, T-Pain, Busta Rhymes, Twista bahkan terakhir dengan Serj Tankian. Beberapa lagunya muncul di berbagai film, serial tv dan video game, sementara dia sendiri juga pernah muncul di iklan tv. KUNG FU VAMPIRE Daya tarik KFV bagi saya bukanlah lirik mereka yang memang sangat jauh dari lazimnya artis genre ini yang mengeksploitasi sadisme. Eksperimen bertahun-tahun
4gambar dipinjam dari tribes.tribe.net
menggabungkan hiphop, goth, funk dan techno membuat musik KFV terasa unik dan segar di telinga saya ketika pertama kali mendengarkan album “Dead Sexy” yang sarat dengan gaya yang mereka sebut gothic hiphop. Image vampire sang vokalis yang juga bernama Kung Fu Vampire adalah salah satu yang paling misterius di scene horrorcore selama beberapa tahun hingga akhirnya mereka membuka diri pada fans di akhir dekade 2000an. Oh ya, dan mungkin perlu saya sebutkan kalau vampir satu ini meskipun tidak hangus terbakar tetapi tidak juga berkilauan di bawah sinar matahari, lol. NECRO Mulai bermusik saat remaja dengan membentuk band death metal bernama Injustice bersama kakaknya Ill Bill yang sekarang bergabung dengan pecahan House of Pain membentuk La Coka Nostra. Hari ini Necro ngerap dengan sangat vulgar tentang
kekerasan, sex dan drugs dengan kombinasi beat gabungan dari hiphop dan death metal. Di bawah label bentukannya sendiri Psycho-logical Records, Necro menguasai scene horrorcore di New York yang memang sangat sepi karena sangat dominannya hiphop mainstream di sana. BROTHA LYNCH HUNG Salah satu pemain tertua di subgenre ini. Ketika Lynch pertama kali ngerap tentang ‘eat people’ di tahun ’80-an, sebetulnya waktu itu kata ‘makan’ yang dia maksudkan berkonotasi ‘menghabisi’ lawan-lawannya secara skill dalam pertandingan freestyle atau MC battle. Lambat laun dia benarbenar menjiwai image seorang kanibal dan benar-benar ngerap tentang pembunuhan berantai dan kanibalisme hingga sekarang. Hari ini dia adalah salah satu rapper horrorcore paling dihormati dan bergabung dalam label Strange Music Inc milik Tech N9ne.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 29
“ CHICK
Saya jatuh cinta pada kegiatan outdoor karena itu keren dan memerlukan kepercayaan diri yang tinggi. Mila Karmila, 20 tahun, Blora. Vokalis, model, mayoret dan adrenaline junkie.
MILA
KARMILA
T
eman kita satu ini sedikit agak tidak biasa. Seorang photo model, vokalis dan mayoret, yang juga menggemari kegiatan outdoor ekstrim seperti motorcross, road race, trail adventure dan climbing. Feminin sekaligus maskulin, bukan? “Pada dasarnya saya suka tantangan yang memacu adrenalin. Berdiam diri di rumah itu rasanya membosankan. Itu juga merupakan kesempatan untuk mempunyai banyak teman, mengisi waktu dengan kegiatan positif. Jadi, saya jatuh cinta pada kegiatan outdoor karena semua itu keren dan memerlukan kepercayaan diri yang tinggi,” jelas Mila tentang hobinya yang bisa membuat sebagian lelaki merasa terkebiri. Mila yang kuliah di Universitas Diponegoro jurusan perpajakan ini mengaku mulai tertarik dengan dunia lelaki, khususnya otomotif, sejak tahun pertama di sekolah menengah atas. Ketertarikannya ini ditularkan oleh kakaknya. Sejak kuliah, dia mulai melakukan kegiatan-kegiatan
menantang, dan berlanjut ketagihan sampai sekarang. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika mendaki Gunung Lawu yang terjal dan berbatu dalam cuaca hujan lebat dan gelap. Terus bagaimana tanggapan orang tua dan orang terdekat? “Orang tua tidak terlalu membatasi apa saja kegiatan saya selama itu positif. Tidak mengekang untuk mencari pengalaman. Ya, rasa khawatir tetap ada tapi selalu saya yakinkan bahwa saya berhati-hati dan dilindungi oleh Allah. Sementara orang terdekat, tanggapannya pedas, hehe. Pada dasarnya sama, takut terjadi apa yang tidak diinginkan. Tapi ya, saya tetap meyakinkan, seperti saya meyakinkan orang tua,” jawabnya sedikit tersipu. Mungkin orang terdekatnya itu menanggapi pedas karena merasa terintimidasi ya? Meski menggemari kegiatan-kegiatan yang sangat maskulin, Mila tetaplah seorang wanita yang feminin. Selain menjadi mayoret dalam kegiatan drum band, dia
juga sering diajak jadi model hunting photo session, dan pernah mengikuti ajang Mbak Duta Wisata di kotanya, Blora, meski belum menang. Sedang olah suara, dia sudah sering juara sejak di sekolah dasar. “Music is my life,” katanya. Di sekolah menengah pertama, dia mendirikan band, yang berlanjut sampai sekarang, memainkan musik pop rock seperti Kotak. Bersama band-nya, dia sering tampil mengisi acara dan ikut beberapa festival di dalam maupun luar kota. Meski belum memainkan, mbak yang tidak gemar membaca ini mengaku suka mendengarkan lagu-lagu underground, yang sepertinya memang cocok untuk menjadi backsound kegiatankegiatan outdoor-nya. Kembali ditanya mengenai hobi ekstrimnya, apa hal tergila yang ingin dilakukan? “Saya ingin melakukan flying fox dari Puncak ke bawah, soalnya turun gunungnya malas. Atau, naik gunung menggunakan motor trail,” jawabnya lugas. Sinting ya?
.
CHICK
FEBY
ANGGIANY
F
eby Anggiany, adalah pelukis dan penggambar manga, headbanger juga, dan belum lama menyelesaikan kuliahnya di Unpad jurusan hubungan internasional. Feby yang senang menggambar sedari kecil ini lahir dari keluarga, yang bisa dibilang, pecinta seni. Bersama kakaknya, dia mewarisi bakat tersebut dari Papa yang seorang pelukis. Didasari kegemarannya akan manga, dia mulai menggambar komik asli Jepang itu sejak di sekolah menengah pertama. Meski saat ini senang menggambar manga, tapi cewek yang bercita-cita melanjutkan sekolah ke Jepang ini tidak menutup kemungkinan akan merubah style gambarnya di masa depan. “Sekarang sibuk cari kerja, melukis dan mengerjakan pesanan-pesanan gambar. Biasanya cuma dari teman-teman saja sih. Kalau bikin ilustrasi cover album, itu memang cita-cita,” jawabnya ketika ditanya kesibukan akhir-akhir ini. Belum lama ini dia menyelesaikan ilustrasi untuk sebuah novel, meski belum terbit. Honornya besar dong, neng? “Biasanya dapat, tapi saya tidak pernah pasang harga kalau yang pesan teman sendiri. Bingung sih, hehe. Jadi ya terserah mereka mau bayar berapa atau dengan apa.” Sip, berarti nanti kita pesan ilustrasi untuk kalender bisa bayar pakai doa ya? Di antara banyak pilihan hobi, kenapa jatuh di lukis-gambar? “Asyik. Menggambar itu berarti jalan-jalan di dunia imajinasi sendiri. Bikin tenang kalau sedang stres atau panik, dan sebagai pemulihan. Dan teman kalau sedang sendirian.” Makanya mungkin, kalau diperhatikan, gambar-gambarnya kebanyakan perempuan-perempuan sendu ya? “Haha, tidak juga. Tapi memang, saya lebih bisa menggambar perempuan daripada laki-laki. Makanya sekarang
32 I TUCZINE.TUMBLR.COM
masih terus belajar. Kalau nuansa sendu, banyak yang menilai, itu salah satu ciri khas gambar-gambar saya. Perempuanperempuan sendu. Jarang ceria. Suasana hati memang mempengaruhi sih. Tapi saya selalu tertarik memang sama yang sendusendu, bukan yang mendayu-dayu juga tapi ya. Kadang saya menggambar dari lagu-lagu yang sendu juga. Misalnya yang baru saya gambar itu dari lagunya Touche Amore, “Condolences”, atau “Loneliness Shall Burn”-nya Heaven Fall, atau “Coral Blue”-nya Converge.” Selain dari lagu, menurutnya inspirasi menggambar bisa datang dari mana saja. Bisa dari buku, film dan hal-hal terjadi di sekelilingnya. Sekarang tentang musik. Kalau kuliahnya di jurusan hubungan internasional dengan hobi menggambar hampir tidak ada sangkut pautnya, maka dengan kegemarannya akan musik metal masih ada. Setidaknya, skripsi yang dibuatnya adalah tentang band death metal Jasad dan kesundaannya. “Karena saya suka lagu-lagu semacam itu. Dan saya bikin skripsi berdasarkan sesuatu yang saya minati. Jadi ada tiga judul yang saya ajukan: musik, manga dan lingkungan. Yang terpilih musik. Kebetulan, saat itu Jasad sedang menggalakkan kesundaan yang dipadu dengan musik death metal.” Dan demi skripsinya tersebut, dia menghadiri Bandung Berisik tahun lalu, mewawancarai Kang Man dan bergumul dengan Karinding Attack selama beberapa waktu. Sayang sekali, kita belum boleh melihat isi skripsinya. Pengagum Matt Heafy dan Jacob Bannon ini mengaku suka metal sejak di sekolah menengah atas, akibat, salah
“
Seperti menggambar, musik juga salah satu sumber pemulihan dan ketenangan. Hanya kebetulan, musik yang saya dengarkan sama sekali tidak tenang bagi orang lain. Feby Anggiany, 23 tahun, Bandung. Pelukis, manga artist dan headbanger. Karya-karyanya bisa dilihat di meowlfunction.tumblr.com
satunya, pengaruh teman-teman. Kenapa metal? Biar keren? “Tidak pernah terpikir saya akan jadi keren kalau suka metal, hahaha. Menurut saya, karena metal seperti menyuarakan kebebasan melalui teriakan (meskipun tidak harus teriakteriak) dan lirik. Favorit saya adalah mendengar double pedal secara live. Seperti menggambar, musik juga salah satu sumber pemulihan dan ketenangan. Hanya kebetulan, musik yang saya dengarkan sama sekali tidak tenang bagi orang lain.” Dan itu bermula setelah dia pertama kali diperkenalkan dengan Trivium, kemudian juga menikmati Converge, Norma Jean, Between the Buried and Me, The Chariot, Touche Amore, The Pretty Reckless dan lain-lain. Sebagai lulusan hubungan internasional, boleh dong kita minta pendapatnya mengenai, ya, hal-hal di negeri ini, termasuk juga pegawai pajak. “Negeri kita itu kaya budaya dan sumber daya alam, semua orang tahu itu. Sayangnya, pelestarian keduanya sangat minim. Semua hal seolah dipolitisasi. Jadinya malah berantakan. Saya suka sama negara saya, hanya pemerintahnya seringkali bikin gerah. Itu menurut saya loh ya. Saya ini lulusan hubungan internasional yang malas bicara politik, haha. Sementara, pegawai pajak itu salah satu pengemban tugas berat. Harus jujur, teliti dan bertanggung jawab. Sayangnya, tidak banyak yang begitu di sini. Apa yang membuat mereka seperti itu salah satunya karena hukum kita yang cenderung longgar karena bisa dibayar.” Ketika dimintai pendapatnya mengenai majalah sialan yang ternyata dibuat oleh pegawai pajak ini, Feby sedikit kaget dan setengah tidak percaya, dan kami harus meyakinkannya. “Tuczine desainnya
minimalis dan keren. Banyak orang setelah bekerja, apalagi sebagai pegawai negeri sipil, lalu kemudian seperti menjadi orang yang terkungkung, bahkan menyerahkan mimpi-mimpinya begitu saja. Menurutku kalau memang benar, keren juga. Menyuarakan berbagai macam melalui media yang kreatif dengan bebas itu keren, apalagi oleh orang seserius pegawai pajak. Asal jangan korupsi.” Siap pasti, dan terima kasih sudah menganggap kita keren. Benar sekali, banyak yang melacurkan idealismenya setelah hidup mapan. Dan tentang hidup mapan dari idealisme dan hobi, Feby realistis. Saat ini dia mengaku belum bisa menggantungkan hidupnya dari hobi lukis-gambar. “Kalau kerja buat sekarang belum bisa yang sesuai dengan gambar menggambar. Jadi, rencana saya kerja dulu apa saja di bidang yang saya minati selain menggambar seperti airline atau lingkungan, menabung buat les ilustrasi dan mengembangkan usaha mandiri sebagai sampingan. Saya sedang berencana bikin kartu pos berseri, karena di Komunitas Card to Post boleh jualan kartu pos desain sendiri. Kalau saya yang tidak kuliah di jurusan seni ini tetap keukeuh untuk kerja di bidang menggambar, mungkin tidak akan ketemu. Makanya harus cari jalan lain supaya saya tidak berhenti menggambar.” Sip, kami doakan, semoga sukses ya. Terakhir, diminta mengambarkan dirinya sendiri, Feby menjawab singkat saja, menyebut dirinya ‘random’. Heh, acak? “Haha, saya ini penyuka kebebasan, macam-macam. Menggambar itu sendiri kalau banyak aturan bisa-bisa saya tidak jadi menggambar. Bebas jadi diri sendiri itu paling asyik, kan?” Betul sekali!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 33
SENTILAN DI KALA SENGGANG
PENGELUH BANGSAT S OLEH MOCH. SYAICHUDIN
ekumpulan manusia dengan barcode plat merah, menderu bak mesin rusak atau sekedar dipanaskan. Tidak bergerak dan tidak pula berjalan, hanya mengeluarkan bising gaduh riuh seolah autobot yang bercinta dengan decepticon tapi kurang oli. Meronta-ronta tiada henti, menjerit sambil mata melihat nanar jauh ke sana. Jauh dan sangat jauh.
Lupa untuk melihat tapak tangan ada garisnya. Bukan mereka yang jauh di sana yang bisa membengkokkannya atau bahkan meluruskannya. Tapi berdoa sudah jadi rutinitas putus asa, karena keyakinan yang merubah nasib adalah sebuah SK. Itu mapping rute pemikirannya. Gurat-gurat kelelahan berpendar peluh dan tangan yang senantiasa menengadah kepada Tuhan, bukan rajin mengeluh menuangkan dalam tulisan. Mengeluh dan mencari jamaah untuk saling meluahkan perasaan. Bapak-bapak yang senantiasa perkasa di depan anak-anaknya berganti dengan monyong lebar ndower penuh nyinyir meratapi nasibnya, nasib manusia yang selalu bekerja keras katanya, tapi digaji tidak dengan semestinya katanya. Nasib kacung yang jadi sandal untuk berjalan kaki-
34 I TUCZINE.TUMBLR.COM
kaki atasan agar tidak lecet, nasib kaos kaki atasan yang selalu bau agar kaki-kaki itu tetap bisa menuju ke arah yang kami biasa dengar dengan kata ‘kebijakan’. Berpendaran menuju masa depan yang dilukiskan dalam bingkai keluarga yang selalu bersama. Berkumpul pada tanah wutah getih yang dimodernkan dengan sebutan ‘homebase’. Menuntut berkeadilan yang sama rata sama rasa. Bukan komunisme kemasan baru, hanya rasa ingin agar yang di sana merasakan juga rasanya menabung untuk pulang kampung, yang dihibur dengan sebutan keren ‘tunjangan kemahalan’. Bukan tanpa alasan kami berkoar, bukan tanpa kisah kami berkesah, bukan tanpa peluh kami mengeluh. Semua menyeruak sesak menyumpal kelopak mata, nyata, dengan berbagai kenyataan yang di luar asa. Gelar lulusan luar negeri, dengan pengalaman meneliti berbagai macam kasus bersumber dari internet, menghasilkan manusia-manusia berpola pikir luar biasa, terbuka, berpola, berskala, berkualitas, berintegritas, bersubstansi, bersignifikan, berargumentasi, berjudgementasisisasisa dan ntah apapapapa yang sama sekali hasilnya tidak semuanya bisa kami terima, tapi wajib kami laksanakan.
Moratorium almamater, tidak diakuinya pendidikan walaupun dengan biaya sendiri, memplot jas tertentu untuk selalu jadi kacung, mengadu domba dengan iming-iming pulang kampung atau tunjangan sepuluh kali lipat dengan sistem yang luar biasa hebatnya dan patut kita banggakan. Sebagian yang lain, harus berperang dengan senjata seadanya, pasokan logistik yang tidak mencukupi, terpuruk diancam dimasukan selembaran Rp. 3000 dengan kolom berjudul surat pembaca. Hamuuuuuuuuuuuuuuuuuuukkk!!!!!!!!! SEMANGSAT!! Semangat Bangsaaaaatttt!!! Tidak akan berubah dunia dengan keluhmu itu!! Dan aku terbangun. Mimpiku sedang mendengarkan orasi seorang pemuda necis berbaju biru muda, duduk di depan Lenovo 17” yang sekan-akan menjadi cermin. Mimpi itu terputus tanpa solusi, selain satu kata yang masih terngiang... SEMANGSAT!! Semangat Bangsat!! Semangat untuk apapun itu, semangat untuk mengeluh, semangat untuk teriak, semangat untuk tidur, semangat untuk tidak melakukan apapun, atau semangatlah bekerja, karena itu bisa bernilai ibadah. Dan sebaik-baiknya teladan adalah dengan bekerja nyata. Sudah terlalu banyak yang bicara, terlalu banyak yang memberitahu, bahkan Mario Teguh pun terasa basi dan hambar karena dia tidak pernah merasakan apa yang kami rasakan.
.
Ah, just do it! Apapun itu! Atau lupakan sekalian!
4gambar dipinjam dari deviantart.com
BERBAHAYA
BLOODLINES REVERBNATION.COM/BLOODLINESHARDCORE
C
ikal bakal Bloodlines dimulai pada 1999. Beberapa anak yang memiliki ketertarikan terhadap punk rock, hardcore dan musik keras lainnya memulai sebuah band bernama Side of Freedom. Mengisi panggung-panggung underground Manado pada 2000-an, memainkan cover dari band-band punk/hardcore favorit. Pada 2003, mereka mulai serius, mengganti nama menjadi Bloodlines dan merekam album debut “Synchronize For the Left Hand”. Selain itu mereka semakin aktif di skena dengan mengisi berbagai gig dan terlibat dalam berbagai kompilasi
lokal. Sayang sekali, dalam rentang 2005-2008 terjadi beberapa pergantian personil. Barulah pada 2009 formasi kembali dimantapkan, dan diisi oleh S. H. Wibowo (gitar), Nouval Rantung (vokal), M. Pioh (bass), R. Ratela (gitar), E. R. Sofyan (vokal) dan M. Lapud (drum). Hasilnya, di tahun berikut mereka mulai mengerjakan album kedua yang diberi judul “Stronger Than Before”. Secara musikal, Bloodlines memainkan hardcore punk yang digabung dengan metal. Mereka banyak terpengaruh oleh band-band hardcore era ’70-‘80-an dan metal era ’80-‘90-an, utamanya dari Amerika dan Eropa, seperti Slayer, Sepultura, Indecision, Arkangel, Morning Again, Earth Crisis, Shutdown dan Strife. Yang berbeda, mereka memakai dua vokalis, demi menambah energi kepada band dan crowd. Secara lirikal, mereka banyak mengangkat
tentang sosial, politik, pengalaman pribadi dan permasalahan sehari-hari. “Bagi kami, hardcore bukan cuma tentang musik. Lebih dari itu. Hardcore adalah musik yang mengandung banyak arti dan persepsi. Ada ideologi, politik, kesadaran sosial dan cara hidup, yang telah menyebar ke seluruh dunia sejak kemunculannya pada ’70-’80-an. Itu sudah cukup untuk menarik orang mengeksplorasi musik ini, selain dari musikalitasnya yang memancarkan banyak energi.” Seperti itu yang mereka pahami tentang hardcore. Dirunut dari sejarahnya, Bloodlines adalah salah satu pionir yang masih bertahan di skena Manado Bay Hardcore yang mulai muncul sejak akhir ’90-an. Hal tersebut perlu diacungi jempol mengingat skena tersebut tidaklah besar, dan masih terus bergeliat dalam usahanya memantapkan diri di sebuah kota kecil yang minim apresiasi terhadap musik keras. Semangat dan maju terus!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 35
BERBAHAYA
Halo Mind Deer, apa kabar? Halo juga Tuczine, kabar kami baik. Apa kesibukan Mind Deer setelah “Come Out of Nowhere” dirilis? Bisa dibilang tidak sibuk sama sekali, hahaha. Kendala kami ada di Nando yang memutuskan untuk keluar setelah pesta peluncuran ep kami Januari tahun lalu karena kesibukan kerja dan kuliah. Setelah itu kami sempat beberapa kali manggung dengan vokalis ‘cabutan’ yang berbedabeda di setiap gig. Oh okelah, let’s say we’re busy seeking for the new vocalist today. Kami ingin tahu sejarah terbentuknya Mind Deer. Kapan dan bagaimana band ini terbentuk? Mengapa kalian memilih nama Mind Deer? Band ini dibentuk di awal tahun 2010 atas 36 I TUCZINE.TUMBLR.COM
MIND DE
prakarsa beberapa anak komunitas Indonesian Frengers (penggemar MEW) yang awalnya cuma ingin jamming membawakan lagu-lagu band favorit kita itu. Waktu itu baru punya satu lagu sendiri, “Your Heart isn’t Mine But I’m Fine”, yang pada akhirnya jadi jagoan kita kalau lagi manggung selain masih meng-cover lagu-lagu band lain. Nama Mind Deer didapat secara tiba-tiba pas kita lagi mikirin mau mlesetin kata ‘minder’. Selain memang kita orangnya minderan banget semuanya, hehehe. Musik Mind Deer terpengaruh dari mana/siapa? Apa genre yang tepat untuk mendefinisikan musik yang kalian mainkan? Kita mainin pop sih. Awalnya sudah pasti terpengaruh dari Mew karena kita memang merasa ‘dipersatukan’ sama band itu. Tapi
pas bikin lagu kita sih merasa output-nya malah tidak kayak Mew. Bisa dibilang memang pengaruh musiknya berasal dari band-band Eropa, female vocalists, sama musik-musik Indonesia ‘80-an. Bagaimana proses rekaman “Come Out of Nowhere”? Siapa saja yang terlibat di dalamnya? Proses rekamannya dibagi dua, karena awalnya ep ini kan dirilis secara digital dulu sebelum dirilis fisiknya oleh Paviliun Records. Pertama itu tahun 2011, tepatnya di Vortex Studio di daerah Kemang asuhan Jonathan Vanco sama Venendar Komenk. Proses rekaman ep pertama yang terdiri dari empat lagu itu diproduseri sama Dhendy Mawardi yang juga merupakan vokalis dan gitaris Little Space Donkey (LSD). Selain produser, Dhendy juga membantu vokal
EER MINDDEER.COM
SEPAK TERJANG BAND YANG BERANGGOTAKAN EMPAT FANS MEW DENGAN BERBAGAI ACUAN BERMUSIK BERBEDA INI PATUT DIPERHITUNGKAN. SEBAGAI LANGKAH AWAL, TAHUN LALU MEREKA MERILIS EP “COME OUT OF NOWHERE”. APA SELANJUTNYA? SIMAK WAWANCARA KONTRIBUTOR KITA, DIDIK YANDIAWAN, DENGAN MIND DEER. Apakah kalian puas dengan pencapaian Mind Deer saat ini? Belum. Kalau dirunut lagi ke belakang, kami belum ada apa-apanya, apalagi dibanding band lain yang memang seangkatan sama Mind Deer yang lebih produktif. Ada pengalaman seru, menarik dan berkesan bagi Mind Deer? Pengalaman paling seru itu pas perayaan Mewphoria, Tribute to Mew di Bandung tahun 2011. Tempatnya enak, sound-nya pas dan yang paling asyik crowd-nya juga intim. Itu juga yang mempengaruhi kami buat tampil all out saat itu. Apalagi pas memainkan lagu “Like Chaser” di akhir set. Kami main sudah kayak kesetanan. Si Ico kacamatanya sampai lepas, apalagi si Dhika tuh, gebuk drum-nya gila-gilaan (entah memang jago dan cari perhatian sama pacarnya waktu itu), hahaha. Apa rahasia terbesar Mind Deer yang belum kami ketahui? Mind Deer pernah diundang main di New Zealand lho. Biarpun entah wacana saja atau sungguhan, yang pasti kami senang. Sayangnya saat itu kami belum siap untuk menerima tawaran itu karena satu dan lain hal.
latar dan part gitar di beberapa lagu. Nah, baru di pertengahan 2012 kami merekam dua lagu tambahan untuk melengkapi “Come Out of Nowhere” yang mau dirilis fisik secara live di ALS Studio. Nah, di ALS Studio kita dibantu sama Haerul dan Evan yang mengurus segala proses rekaman sampai mixing-nya. Bagaimana tanggapan kalian setelah berhasil masuk sebagai salah satu nominator di ICEMA? Kaget. Soalnya kita pikir kiprah kita di dunia musik belum seberapa dibanding nominator lain yang masuk ICEMA. Waktu itu rilisan fisik “Come Out of Nowhere” belum keluar, terus manggung juga jarang, jadi ya terkejut dan senang juga sih sudah bisa dapat kehormatan jadi nominator ICEMA.
Perihal Nando, bagaimana status keanggotaannya? Sudahkah Mind Deer menemukan penggantinya? Nando sudah resmi resign dari Mind Deer karena harus membagi waktu antara pekerjaan dan kuliahnya. Ya, seperti kita sudah jelaskan di atas, kita lagi sibuk mencari vokalis baru nih. Sudah ada beberapa orang yang berminat dan mengirim sampel suaranya, tapi masih belum cocok di beberapa hal. Apa rencana Mind Deer selanjutnya? Apakah akan merilis full album dengan materi baru? Tetap bersama Paviliun? Yang pasti setelah nanti dapat vokalis baru, kami berencana merekam beberapa materi baru yang memang sudah beberapa kali dimainkan di beberapa gig terakhir. Belum tahu apakah akan merilis full album atau ep lagi. Kerjasama dengan Paviliun juga diharapkan akan masih terus berlangsung sih ke depannya, tapi kami belum tahu juga. Masa depan kami ditentukan dari dapat tidaknya vokalis baru untuk menggantikan Nando, hehe
Apakah kalian punya proyek musik lain di luar Mind Deer? Kebetulan Ico sama Dhendy dari LSD punya proyek pop akustik bernama Penculik Senja. Ico sama Idham juga ada proyek sama personel LSD yang lain, Amy bernama Levure, memainkan musik psikedelik. Terus Idham sama Amy juga punya proyek lain lagi bersama gitaris Don’t Bully Esna, Irvan yang masih belum bernama. Wah, banyak dan saling berkaitan ya! Pertanyaan lain di luar band, kalau bisa pendapat pribadi masing-masing personil. Apa pendapat teman-teman tentang perayaan Record Store Day dan Cassette Store Day? Mampukah mengembalikan kejayaan rilisan fisik? Record Store Day sangat bagus sekali diadakan rutin setiap tahun demi melestarikan keberadaan rilisan-rilisan fisik seperti kaset, cd dan vinyl ke depannya. Tetapi bicara tentang kejayaan rilisan fisik di era digital sekarang ini rasanya sulit, kecuali mungkin bagi ‘anak-anak lama’ yang ingin kembali bernostalgia ke jaman kaset, cd dan vinyl. Generasi sekarang sudah sedikit yang mengerti esensi rilisan fisik karena sesuatu yang praktis dan downloadable lebih dipilih sekarang. Record Store Day bisa jadi harapan, tapi jangan terlalu banyak berharap bisa mengembalikan kejayaan rilisan fisik. Terakhir, setelah menyimak zine kami yang dapat diunduh di taxundergoundcommunity.com, apa pendapat kalian tentang TUC? Terima kasih. Ya, kami pikir adalah sesuatu yang selalu keren kalau mengetahui ada orang-orang yang mendengarkan musik ‘agak tidak biasa’ di antara sekumpulan orang atau masyarakat yang seringkali terasa membosankan ini. Membaca orang-orang pajak membahas Black Sabbath, Deftones, Metallica, Deafheaven sampai mengangkat talenta-talenta lokal yang mungkin belum begitu banyak diangkat di media arus utama, rasanya seperti sebuah kejutan yang menyenangkan. Kami selalu mengapresiasi zine, apapun itu jenis dan bahasannya, dan Tuczine mampu menyalurkan dahaga membaca kami lewat gaya tulisan yang khas, matang, dewasa dan kosakata yang ciamik tanpa harus membuat bingung para pembacanya. Salut buat anak-anak pajak yang terlibat di dalamnya, dan sukses terus Tuczine!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 37
“
Saya pernah makan mie instan selama seminggu gara-gara memborong kaset. Waktu itu prinsipnya mending makan pas-pasan daripada tidak beli kaset.
P
engantin baru kita, Didik Yandiawan, tidak bisa berlama-lama berbulan madu, memadu kasih dan melepas rindu, demi menulis ulasan-ulasan dan artikel-artikel, melakukan wawancara, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan sekedarnya dari kami yang senantiasa hadir merusak suasana santai kalian. Biasanya kami memuat bagian ini dalam bentuk narasi deskriptif, tapi saat ini kami terlalu malas untuk itu. Jadi, kami muat saja hasil wawancara seutuhnya. Lagipula, dengan begini mungkin bisa lebih lengkap dan melegakan. Mari. Halo Om Didik, apa kabar? Lagi sibuk apa? Alhamdulillah, sehat. Sekarang lagi sibuk menyelesaikan pekerjaan di kantor dan skripsi yang masih tertunda. Bagaimana rasanya setelah menikah? Istri juga suka musik ya? Setelah menikah, hidup lebih terarah dan teratur. Bangun lebih pagi, manajemen uang dan waktu ada yang mengendalikan. Lebih menyenangkan, karena kami menikmati hari demi hari dengan hal-hal yang menyenangkan. Istri saya suka musik dan bekerja di toko retail musik. Istri saya suka dengan budaya Jepang, terutama kultur dan musiknya. Istri saya fans berat L’Arc~en~Ciel dan vokalisnya, Hyde. Om Didik orangnya seperti apa? Hanya Tuhan dan orang-orang tertentu yang tahu. Silakan nilai saya dari hobi saya. (Oke, kalau begitu, kita kutip dari istri terkasihnya saja ya: “Dia adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. Aku bersyukur telah bertemu dengannya. Kesabaran, cara berpikirnya selalu positif, tenang, tutur katanya sopan, menurut EYD Bahasa Indonesia, but I love it. Apa adanya. Dia telah melengkapi hidupku.�) Bisa ceritakan masa kecilnya? Saya lahir dan besar di Sinjai, Sulawesi Selatan. Dibesarkan oleh orang tua bersuku Jawa dengan latar belakang lingkungan Bugis. Saya rasa, ini hal yang sangat saya syukuri, karena ternyata akar dan ruh adat istiadat Jawa dan Bugis memiliki banyak kemiripan. Kami tinggal di kabupaten agraris yang memungkinkan saya menikmati cita
UP CLOSE
DIDIK YANDIAWAN BEKERJA DI DIREKTORAT TRANSFORMASI PROSES BISNIS DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
rasa makanan yang nikmat tak terkira. Sinjai adalah kampung halaman saya. Saya senang memiliki banyak sahabat dan kerabat yang dekat layaknya saudara. Suka musik sejak kapan? Ngeband? Saya suka musik sejak kecil, khususnya dalam hal mendengarkan dan menikmati. Secara sadar diperkenalkan untuk mendengarkan musik dari kebiasaan bapak dan ibu saya memutar kaset lagu-lagu populer Indonesia dan lagu tradisional di rumah. Kami dibiasakan tampil di depan umum untuk bernyanyi. Akhirnya, sampai remaja dan dewasa, kebiasaan itu melekat. Ngeband hanya sebatas jamming session sebagai vokalis, berhubung keterbatasan memainkan instrumen. Sampai awal bekerja di Kendari (2003-2008), lumayan sering ngeband sama teman kantor. Kami memainkan hitshits Indonesia dan luar negeri beraliran pop dan alternative rock. Pertama dengarnya apa saja? Pertama dengar musik adalah lagu-lagu anak dari Puput Melati, Bondan Prakoso, Eza Yayang dan Fajar Bahari. Selingannya Hetty Koes Endang dan Obbie Messakh dari ibu dan bapak, waktu kecil. Kemudian, awal saya membeli kaset karena mendengarkan lagu hits Indonesia dan internasional di stasiun tv swasta. Itulah tahun di mana saya membeli kaset pertama dari uang saya sendiri, tahun 2001. Kaset Caffeine “Hijau” dan Linkin Park “Hybrid Theory”. Band atau musisi favorit? Band favorit saya sepanjang masa adalah Radiohead, Pink Floyd, The Beatles, Metallica, Nirvana dan Weezer. Mereka mengerjakan album dengan jenius. Makin ke sini, makin banyak lagi daftarnya. Hobi? Dan hal tergila berkenan dengan hobi, apa yang pernah dilakukan? Hobi saya berhubungan dengan olahraga dan koleksi. Olahraga saya sepakbola, futsal, lari dan tenis lapangan. Tujuannya cari teman dan membuang energi negatif. Saya juga menjadi fans berat PSM, AC Milan, Liverpool dan Tim Nasional Jerman sejak 1994-1995. Koleksi saya benda filateli, buku, dan rekaman musik dalam format kaset, cd, dvd, vcd dan piringan hitam. Saya rasa, hobi ini menyenangkan, karena walaupun
habis duit banyak, jejaknya selalu ada dan membekas di jiwa. Jadi, kalau mood lagi berantakan atau mau membangkitkan semangat, tinggal buka lemari atau laci koleksi terus pantengin-baca-dengarkan barangbarang koleksi itu sampai mood kembali normal. Terapi jiwa yang menyenangkan dan murah. Hehehe. Hal tergila adalah ketika salah satu koleksi benda filateli ditawar orang dengan harga tinggi sekali. Jutaan. Tapi enggan dilepas karena sangat jarang. Kalau musik, sepertinya saya pernah makan mie instan selama seminggu gara-gara memborong kaset ketika kuliah. Waktu itu prinsipnya mending makan pas-pasan dari pada tidak beli kaset. Prinsip itu berlaku sampai sekarang. Hehehe. Cita-cita atau mimpi yang masih ingin dikejar? Cita-cita yang masih ingin dikejar adalah menjadi pengusaha di bidang musik, khususnya retailer rekaman musik dan merchandise musik. Semoga bisa terwujud. Tentang Tax Underground Conformists (TUC), tahu dari mana? TUC tahu sejak jaman masih di Kendari, dari salah seorang teman via forum. Saya juga sempat membaca beberapa Tuczine edisi awal sampai sekarang, dan saya pemuja rahasia komunitas ini selama bertahun-tahun. Ini ruang yang menyenangkan dengan anggota yang menyenangkan. Latar belakang dan selera musik, buku, film dan pemikiran yang beraneka ragam. Saya bergabung karena ingin belajar hal-hal yang belum saya ketahui tentang musik dan berusaha ikut berkontribusi di forum ini minimal menulis artikel zine. Pendapat tentang ‘individu-individu merdeka’ yang bekerja di institusi pemerintah yang sangat ketat, atau malah terkenal korup? Apa itu tidak berbenturan dengan semangat ‘idealismenya’ sebagai orang bebas? Harusnya semangat itu yang dibawa ke pekerjaan. Melawan dengan ide, bekerja melebihi ekspektasi dan citra pns pada umumnya. Perubahan tidak selamanya harus dimulai dari luar, atau sekedar berwacana. Jadi, lakukan yang terbaik saja. Kalaupun lingkungan belum mendukung, kita harus
terus berkarya. Pejuang tidak pernah memilih medan perang. Jangan jadi pegawai yang biasa saja. Coba terbuka dengan perubahan, banyak membaca, menulis dan mendengar semua hal yang mendukung pencapaian pribadi dan institusi. Tidak selalu dalam hal yang sehari-hari kita geluti di kantor. Dulu di awal-awal, kita di TUC selalu percaya dengan jargon muluk “sebutir pasir bisa merusak keseluruhan mesin”, dengan maksud: kita bisa ‘memberikan’ sesuatu yang berbeda (dan positif) di DJP, bukan cuma tentang selera musik yang aneh. Sekarang sepertinya tidak begitu, bagaimana? Nah, itu ujian yang sebenarnya. Terus bergerak atau berhenti. Di mana-mana kan yang namanya perubahan itu selalu dari golongan minoritas. Kira-kira, kalau ada, apa yang bisa ‘diberikan’, selain Pojok TUC, zine, kalender, website dan Udin? Kerja maksimal di kantor masing-masing. TUC di masa depan, bagusnya seperti apa? Ada yang kurang? Masa depan TUC sangat cerah, asalkan tetap dengan semangat dan visi-misi yang sama seperti di awal pendirian. Biarlah TUC tetap seperti ini, yang penting pergerakannya ada, zine dan ide segar lainnya harus tetap ada. Saya belum melihat adanya kekurangan di TUC. Ini adalah komunitas yang solid. Anu, untuk Tuczine, ada pesan-pesan? Berhubung ini selalu bisa menjadi edisi terakhir. Pesan saya, mengutip jargon di kaos TUC dari lagu Judast Priest “Revolution”: “If you think it’s over, better think again.”. Tentunya ini juga berlaku untuk zine yang selalu merasa berada di kilometer terakhir. Haha. Haha. Oke, terima kasih Om Didik atas waktunya. Sebenarnya masih banyak yang ingin kami tanyakan, tapi kami dibatasi oleh durasi dan durabilitas. Untuk berkenalan lebih jauh, kawan-kawan bisa berkunjung ke kompasiana.com/didikyandiawan, atau bisa mengikuti ke @didikyandiawan, atau tunggui saja dia di toko musik terdekat di kotamu. Tabe’, mariki’ di.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 39
SCENE REPORT
DARI JUDUL ALBUM KETIGA MEW, “FRENGERS”, YANG MERUPAKAN PENGGABUNGAN KATA-KATA ‘FRIEND’ DAN ‘STRANGER’, FANS SETIA TRIO ROCK ALTERNATIF ASAL DENMARK ITU KEMUDIAN MENGIDENTIFIKASI DIRI MEREKA. DI INDONESIA, FANS MEREKA TERMASUK YANG TERBESAR DAN TERFANATIK. SIMAK WAWANCARA KONTRIBUTOR KITA, DIDIK YANDIAWAN, DENGAN INDONESIAN FRENGERS YANG DIWAKILI DEVA, DITA P DAN DITAR.
Halo Indonesian Frengers, apa kabar? Halo Tuczine, feeling special karena pasca kedatangan Mew, dan terima kasih atas kesempatannya berbagi tentang Indofrengers. Bagaimana suasana hati kalian? Masih menolak ‘Mewve’ on pasca kunjungan mereka ke Jakarta? Hahaha. Sejujurnya iya. Kita semua kayaknya masih ‘mewnolak’ move on deh setelah kunjungan Mew dengan pesan dan kesan mendalam Oktober kemarin . Kami ingin tahu latar belakang terbentuknya komunitas ini. Boleh cerita banyak tentang sejarah terbentuknya Indonesian Frengers? Apakah komunitas ini terbentuk jauh sebelum konser Mew di Jakarta tahun 2009? DEVA: Jauh sebelum 16 April 2009 di mana official facebook group Indonesian Frengers baru dibentuk oleh founder-nya (Dita Purwitasari). Mundur ke belakang, di saat friendster masih berjaya, mungkin di tahun 2006, Rifan Oktavianus mengajak diskusi aktif sesama frenger di grup friendster saat itu. DITA P: Waktu itu saya masih aktif di Mewsite forum. Dan dari selentingan kabar di situ saya dengar bahwa Mew tidak mau tampil
di Indonesia karena setahu mereka frengers di sini itu sedikit. Padahal saya yakin kalau yang menggemari Mew di Indonesia itu banyak. Dari situlah saya memutuskan untuk membuat wadah penggemar Mew (frengers) agar Mew tahu bahwa frengers di Indonesia itu banyak dan ingin Mew menggelar konser di sini. Indonesian Frengers resmi berdiri pada 16 April 2009 dan pada saat itu semua aktifitas kegiatan difokuskan di facebook karena memang sedang ‘booming’ dan Mew juga cukup aktif di situ sehingga bisa tahu seberapa banyak antusiasme frengers. Dan akhirnya Mew ke Indonesia dan menggelar konser di Java Rockin’ Land pada Agustus 2009. Siapa orang-orang yang menjadi pencetus ide pembentukan Indonesian Frengers? DITAR: Mungkin saya bisa bilang sekarang adalah orang-orang yang ada di balik komunitas ini kali yah, Dik. Karena ide pembentukannya jawaban pertanyaan di atas itu. Ada berapa chapter yang sudah terbentuk? DITAR: Yang pasti sih sampai saat ini Jabodetabek, Bandung, Malang, Surabaya dan
INDONESIAN
FRENGERS KUMPULAN PENGGEMAR MEW PALING FANATIK Yogyakarta. Tidak menutup kemungkinan regional lain, jadi jika mau bertemu dengan sesama frengers di wilayah kalian masingmasing, mention kita aja di facebook, twitter, line group dan lainnya. Nanti kita bantu buat melacak jejak frengers di sana. Wacana sekarang yang bergulir adalah kita lagi melacak jejak frengers yang tinggal di Tangerang dan mau bikin gathering frengers Tangerang. Kita lihat nanti deh kelanjutannya. Apa saja kegiatan yang dilakukan Indonesian Frengers, terkait dengan Mew maupun komunitas? DEVA: Tentu gathering. Ajang bertukar informasi, berbagi koleksi lagu, bersenda gurau apapun baik tentang Mew ataupun bukan. Semua regional pernah dan sering mengadakan gathering. Supaya tidak monoton, gathering Indonesian Frengers selalu bervariasi, seperti membahas seluk-beluk Mew dan musiknya (Mewsicology), membahas Frengers Comic, akustikan sambil menonton video-video Mew, pergi wisata, menggambar dan membuat papercraft Mew, membatik tentang Mew, bertukar kado sesama frenger, buka puasa bersama, bermain futsal, makan-makan diselingi dengan games dan kuis. Selain gathering, Indonesian Frengers telah membuat beberapa acara. Pertama, Tribute to Mew, berisikan band-band indie yang meng-cover lagu-lagu Mew secara langsung. Pada tanggal 18 Desember 2010 di Jakarta, bertajuk Mewphoria: Fear Me, December, lalu dilanjutkan dengan Tribute to Mew: Half the World is Watching Us di Bandung pada tanggal 15 Oktober 2011. Berikutnya yaitu Covering Sounds: Our Voice Beyond Your Ears pada 16 April - 10 Oktober 2013, sebuah ajang kompetisi meng-cover dan merubah aransemen lagu-lagu asli Mew
yang dapat diikuti oleh semua frenger di Indonesia. Kompetisi itu dijurikan oleh Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Anggung ‘Angkuy’ Suherman (Bottlesmoker), Idhar Resmadi (penulis ‘Based On a True Story’, biografi band Pure Saturday) dan Mochamad Abdul Manan Rasudi (Primitif Zine) sebagai juri Indonesia, serta bertindak sebagai juri internasional, yakni Mew sendiri. Terkait dengan Mew? Ada. Saat Mew akan konser di Java Rockin’ Land 2009, Indonesian Frengers membuat video untuk Mew di pelataran Monas dan membuat dua buah bendera yang dicat bersama, akhirnya satu bendera dibawa pulang oleh Mew dan satu lagi dibubuhi tanda tangan mereka. Lalu, ketika Mew menggelar konser di Surabaya tanggal 12 Desember 2010 (Coca-Cola SoundBurst Festival), Indonesian Frengers kompak membuat topeng bergambar cover album “Eggs Are Funny” yang dipakai serentak saat Mew tampil. Terakhir, pada acara Guinness Arthur’s Day tanggal 26 Oktober 2013 yang lalu, Indonesian Frengers bersama-sama meniupkan balon sabun saat encore lagu “Comforting Sounds” dimainkan untuk mengejutkan Mew, dan ya, itu berhasil. Selama tiga kali Mew datang ke Indonesia, Indonesian Frengers selalu membuat official tees untuk dipakai bersama-sama dan Mew menyimpan dengan baik kaos yang kami berikan. Sampai saat ini berapa jumlah anggota Indonesian Frengers? Di mana kami bisa bergabung dan mengetahui info mengenai Indonesian Frengers? DITAR: Hmm, untuk banyaknya belum bisa tersensus dengan baik, jadi jujur saya sendiri belum tahu jumlah pastinya. Untuk fanpage Indonesian Frengers sendiri di-like lebih dari 1500 orang, begitu juga twitter. Untuk frengers yang hadir di konser Mew (yang
terakhir) di Guinness Arthur’s Day, 26 Oktober 2013 itu terlacak sekitar 6000 orang. Tapi yang saya yakini sih frengers Indonesia itu berjumlah 156 ribu juta jiwa, haha. Ada pengalaman seru, menarik dan berkesan dengan Mew di konser maupun selain konser? DITAR: Yang paling seru dan berkesan sekarang sih event yang akhir-akhir ini baru saja kita selesaikan, yaitu Covering Sounds. Covering Sounds adalah kompetisi online yang kita buat untuk meng-cover lagu-lagu Mew dengan format audio. Event sebelum Covering Sounds yang kita suka adakan selalu didukung oleh Mew. Bahkan Mew secara khusus mengucapkan terima kasih untuk dukungan Indonesian Frengers selama ini dan mengungkapkan kesenangan mereka untuk semua event yang sudah kita gelar. Kenapa Covering Sounds? Karena ini adalah event pertama kali bagi Indonesian Frengers yang melibatkan Mew secara langsung sebagai juri final. Untuk pengalaman pribadi saya sendiri yang paling berkesan dan merupakan suatu pencapaian prestasi di akhir tahun ini adalah kegilaan saya untuk mengikuti mereka tur empat negara. Diawali Jakarta pada tanggal 26 Oktober, saya diundang untuk hadir press conference Mew sehari sebelum konser dan diperkenalkan ke member Mew lainnya oleh Jonas Bjerre (vokalis). Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan katakata, tapi akan saya ingat selalu karena mereka dengan sangat ramah menyapa saya. Esoknya Mew mengagendakan untuk bertemu pemenang Covering Sounds, Pewee in the Garage, sehingga lagi-lagi saya berkesempatan bertemu di backstage setelah konser sekaligus menyerahkan trofi Covering Sounds dan bingkisan spesial dari Indonesian Frengers.4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 41
3Ide gila untuk mengikuti mereka tur sudah terbersit di benak saya sekitar dua bulan sebelumnya, tapi saya baru mempersiapkan semua akomodasi sehari sebelumnya untuk tiga negara tersebut (Malaysia, Singapura, Hong Kong). Iya memang nekat karena tadinya saya pikir akan batal karena hanya sendiri, tapi sejak Mew tahu rencana gila saya mereka suka dan mendukung. Mereka menyadari kehadiran saya di Malaysia dan terutama Singapura, Jonas melambai ke arah saya dan menyenandungkan “Comforting Sounds” tepat di depan saya, yang kebetulan saat itu berdiri di baris depan. Setelah konser Mew di Hong Kong, mereka mengadakan fan-signing. Di sana saya bersenda gurau dan berbincang ke semua member Mew bahkan dengan additional player Nick Watts dan Bastian Juel. Saya sempat meminta Mew untuk mengadakan konser tunggal di Indonesia dan mereka berharap hal yang sama juga. Di akhir pertemuan mereka memeluk saya dan Jonas sempat membisikan “see you next year!”
kebanyakan mempunyai band sendiri agar bisa mengapresiasikan lagu-lagu Mew dengan cover versi mereka yang dikemas dalam sebuah acara tribute. Rencana Tribute to Mew ini dicetuskan beberapa bulan sebelum kami tahu Mew akan datang lagi di akhir 2010. Mendengar kabar tersebut, euforia kami semakin besar, maka judul acara menjadi “Mewphoria: Fear Me, December.” Mengusung konsep AMV (Art Music Video), banyak frenger yang mengirimkan karya seni dan videonya untuk dipajang selama acara, bahkan sampai frenger di luar Indonesia pun ikut serta. Band-band yang main saat itu adalah Hey!Down, L’Alphalpha, Sarin, Seralola, Vibrick, Simetri Lipat, Kezia, Panda, Weekend with Radio dan Mind Recorder.
Personil dan album Mew terfavorit di kalangan anggota Indonesian Frengers? Bagaimana pendapat kalian tentang album baru mereka? DITAR: Di Indonesian Frengers banyak yang suka sama Jonas, Bo, Silas (semuanya hahaha). Album favorit kebanyakan memilih “Frengers”, “And the Glass Handed Kites” dan “No More Stories” (hahaha hampir semua juga). Untuk album baru kita semua tidak sabar, bocoran satu lagu yang ada di aplikasi Sensory Spaces sih bagus sekali kalau menurut saya pribadi. Detail musiknya keren dan katanya di album ini mereka juga bereksperimen dengan drumbeat African style, gamelan. Yah kita tunggu saja bagaimana hasilnya.
Saat Mew konser di Surabaya, Indonesian Frengers memberikan poster acara Mewphoria, topeng “Eggs Are Funny” dan kaos “Fear Me, December” untuk mereka, dan ya, mereka simpan baik-baik. Bisa dibilang ini adalah acara tersukses Indonesian Frengers. Ide awal acara ini datang dari Pry S (frengers Bandung). Melihat antusiasme yang cukup besar maka kita coba selenggarakan. Mew bertindak sebagai juri internasional yang memiliki hak menentukan siapa ketiga juara Covering Sounds. Semenjak Covering Sounds, Mew sering merespon update news kami. Itu sangat berharga. Puncaknya yaitu saat Guinness Arthur’s Day lalu. Di atas panggung, Jonas beberapa kali menyebut “Indonesian Frengers”, dan mendedikasikan lagu “Apocalypso” untuk Juara I Covering Sounds, Pewee in the Garage. Seusai acara, Pewee in the Garage dan dua orang dari kami menemui Mew di backstage. Berbincang seputar Covering Sounds, Indonesian Frengers dan lainnya. Alhasil, bendera yang dahulu hanya ada tiga tanda tangan Mew, sekarang lengkap bersama tanda tangan para kru Mew. Mew
Tentang project Mewphoria dan Covering Sounds, bagaimana cara mewujudkannya? Bagaimana tanggapan Mew tentang proyek Indonesian Frengers ini? DEVA: Saat itu, kami sedang bersemangat untuk membuat sesuatu yang berbeda seputar musik dan seni tentang Mew. Setidaknya, kami bisa memberikan medium untuk teman-teman frenger kami yang 42 I TUCZINE.TUMBLR.COM
juga menerima kenang-kenangan dari kami berupa kaos official bertuliskan “Why don’t we share our solitude”, cd kompilasi Covering Sounds, trofi Covering Sounds dan lainnya. Sebuah momen yang langka. Apa rahasia terbesar yang Indonesian Frengers temukan dari Mew yang belum kami ketahui? DEVA: Ini bukan rahasia lagi tentunya, tapi Mew cinta mati sama Indonesian Frengers!!! Apa rencana Indonesian Frengers berikutnya? DITAR: Ada beberapa rencana yang kita bicarakan, tapi kita belum bisa kasih detil. Doakan dan dukung terus Indonesian Frengers agar rencana ini lancar sesuai dengan harapan.
.
MUSICIAN UNITED A
pa yang Anda bayangkan ketika musisi-musisi amatir dari berbagai daerah di Indonesia bersatu dan berkolaborasi menyanyikan lagu-lagu nasional dan diunggah ke jejaring sosial youtube? Sekelompok musisi-musisi muda (dan beberapa masuk dalam golongan ‘tua’ atau ‘relik’) yang menamakan diri Musician United telah mewujudkannya sejak Februari 2013 lalu. Musician United adalah sebuah proyek inisiatif musisi dan pecinta musik Indonesia untuk kembali memperkenalkan budaya sendiri yang hampir dilupakan di tengah gencarnya pengaruh budaya asing. Gerakan tersebut berawal dari ide Yogi Natakusuma, seorang sound engineer yang waktu itu bertukar pikiran dengan Maldi untuk membuat sebuah tantangan di jejaring sosial twitter. Ide sederhana itulah yang pada akhirnya diwujudkan melalui kolaborasi Musician United, di mana siapapun yang mampu memainkan alat musik atau bernyanyi, dari manapun asalnya, berkolaborasi menyanyikan lagu nasional dan karya mereka tersebut disebarkan melalui jejaring sosial. Idenya sendiri terinspirasi dari gerakan “Playing 4 Change” di youtube, yaitu musisi-musisi dari berbagai daerah merekam sendiri-sendiri instrumen mereka lalu kemudian digabungkan dalam satu video sehingga menghasilkan sebuah kolaborasi yang apik. Sebagai langkah pertama, Musician United berkolaborasi membawakan lagu “Tanah Air” dengan irama reggae dan diberi tagar #RumahKita sebagai wujud kebanggaan berbangsa dan bertanah air.
SCENE REPORT
MENCINTAI BANGSA LEWAT KOLABORASI NADA OLEH MARDHANI MACHFUD RAMLI
Video pertama ini cukup sukses menarik banyak perhatian dengan meraih sekira 6000 view di youtube. Imbasnya adalah semakin banyak partisipan di proyek berikutnya, yaitu kolaborasi membawakan lagu “Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki yang kali ini lebih berwarna jika dibandingkan video pertama. Unsur musik tradisional Jawa, pop, swing hingga aksi shredding guitar dan ditutup oleh musik orchestra, membuktikan bahwa proyek ini bukanlah sekedar proyek iseng-iseng, tapi digarap cukup serius. Video kolaborasi yang diberi tagar #PusakaKita itu adalah sebagai bentuk kepedulian Musician United terhadap pusaka, potensi dan kebudayaan bangsa yang saat ini mulai terlupakan dan terabaikan. Menyambut Hari Anak Nasional, Musician United pun turut merayakan dengan meluncurkan video kolaborasi medley lagu anak dengan tema “Biarkan Mereka Memiliki Dunianya” yang berkonsep lebih bebas. Bahkan beberapa partisipan mengajak keluarganya untuk tampil di video ini. Membawakan lima lagu anak-anak secara medley, video ini sangat enerjik dengan irama keroncong yang disambung country di awal lagu, kemudian bereksplorasi dengan musik ska dan rock n roll, ditutup lagu “Kasih Ibu” yang membuat mata meleleh. Selain membawakan lagu nasional, Musician United juga tidak melupakan salah satu unsur kekayaan bangsa Indonesia, yaitu lagu daerah. Tema kolaborasi keempat adalah #KitaIndonesia yang merupakan bentuk kepedulian terhadap lagu daerah yang sudah dilupakan seiring dengan derasnya pengaruh budaya asing yang. Musician
United mewujudkan rasa kepedulian itu dengan membawakan delapan lagu daerah secara medley. Proyek keempat ini tampak digarap lebih matang dengan unsur musik yang lebih kaya dari proyek-proyek sebelumnya, dari rock, metal, funk, melayu hingga blues. Proyek terbaru ini adalah yang paling sedikit mendapatkan partisipan. Tidak heran karena salah satu lagu yang dibawakan yakni “Genjer-Genjer” masih terkesan ‘haram’ bagi sebagian masyarakat Indonesia. Musician United sengaja membawakan lagu yang pernah dilarang di jaman Orba itu dengan tujuan mengembalikan seni musik pada khittahnya, bukan sebagai alat politisasi suatu golongan saja: musik sebagai pemersatu, bukan pemecah-belah. Harmonisasi suara yang apik membuat proyek yang satu ini berbeda dengan yang sebelumnya. Kesan gelap dengan membawakan “Rayuan Pulau Kelapa” dalam nada minor disambut oleh kolaborasi gitar yang apik pada interlude dan ditutup lagu “Genjer-Genjer” yang diberi nuansa gloomy. Tidak hanya di dunia maya, Musician United juga membuktikan eksistensi dengan tampil secara live di beberapa event dan kolaborasi dengan komunitas lain. Salah satunya adalah tampil di event Socmedfest bulan Oktober lalu dan berkolaborasi dengan #MalamPuisi. Proyek berikutnya yang masih dalam tahap kickstart adalah Musician United 6 yang membawakan lagu “Sabda Alam” karya Ismail Marzuki. Bagi yang berminat, Musician United secara terbuka menerima partisipan. Anda bisa berkunjung ke musicianunited. blogspot.com untuk keterangan lebih lanjut.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 43
SCENE REPORT
I
p, Babaung cobain siaran ya minggu depan, siapin materinya,” tantang salah seorang dari Paranti FM, satu radio yang perlu disegani di Banten. Dan ini artinya satu mimpi saya menjadi nyata: siaran di radio. Jatah waktu yang diberi adalah 3 jam, tiap hari jum’at, mulai pukul 21.00 sampai mampus. Ketika berpikir harus membuat nama yang mewakili program, nama “Babaung” terlontar begitu saja. Pertama karena terilhami oleh mang Maman (vokalis Kaguhira) yang suka menyebut dirinya sendiri “Maman Babaung”, dan itu terdengar keren. Sedikit jalang, ya. Iya saya suka yang jalang-jalang begitu. Babaung dalam Bahasa Indonesia berarti “anjing malam”, selaras dengan tema program radio yang kelak dibawakan: malam hari, distorsi, berisik, mangprang. 8 Maret 2013, Babaung mulai mengudara di Radio Paranti FM 105,6 Pandeglang. Dalam perjalanannya kemudian banyak ide terbentuk, kami pun akhirnya mempunyai beberapa program spesial: , Babaung Show Dua minggu sekali kami mengundang talenta lokal yang sudah memiliki demo track beserta artwork-nya untuk bermain secara live accoustic, sambil membahas sejarah band serta genre yang mereka usung. Sebelumnya, kami mewajibkan mereka untuk membuat flyer sendiri, bertema bebas dengan kreatifitas masing-masing, 44 I TUCZINE.TUMBLR.COM
PARANTI BABAUNG TENGAH MALAM, MELOLONG, BERISIK, MANGPRANG! OLEH ARIEF HIDAYAT ADAM guna mempromosikan band mereka. Hal ini diwajibkan untuk tetap mempertahankan semangat do it yourself. Mangprang Chart Mangprang berasal dari Bahasa Sunda yang artinya semacam “hell yeah” begitu. Ini adalah program tangga lagu dengan materi dari demo band-band lokal, dengan tujuh urutan berdasarkan musikalitas dan permintaan dari pendengar melalui sms dan twitter. Legend Night Program spesial ini tidak kami adakan reguler, tapi berdasarkan momen-momen tertentu. Misal pada Agustus ketika Metallica menyambangi Indonesia, kita buat satu malam dengan tema musik dari Metallica. Kami putarkan spesial seluruhnya lagu-lagu Metallica beserta pembahasan sejarah band. Nama programnya kami pakaikan imbuhan
dan pengulangan yang biasanya dipakai dengan artian bermain dalam Bahasa Sunda: “Me-metalica-an”, atau pada Oktober kami adakan “In Utero Night” guna mengingat 20 tahun album Nirvana tersebut. Banten, khususnya Pandeglang dan Rangkasbitung, ternyata menyimpan banyak potensi band-band berbahaya, ya. Walaupun belum sebesar di kota-kota lain, tapi kita ada dalam proses berjalan. Harapannya sih semoga semangat underground di kota-kota ini akan terus bisa dipertahankan kelak. Semakin banyak band dengan genre baru, semakin riuh gigs, semakin banyak ide-ide perlawanan, semakin banyak teman seperjuangan, dan itulah yang akan membuat Babaung tetap mengudara. Untuk mendengarkan bisa via streaming di www. parantifm.com atau mengikuti ke @parantibabaung. Video can’t kill the radio star!
.
SCENE REPORT
SEDIKIT SEKALI TENTANG
SOAD FANS INDONESIA COMMUNITY
M
eski sudah vakum sejak lama, System of A Down (SOAD), band rock terbesar sejak menjelang pergantian milenium belum benar-benar kehilangan penggemar fanatik. Malah bisa dibilang, sejak vakum itulah, para penggemar semakin diuji militansinya. Di Indonesia, beberapa penggemar mendirikan wadah komunikasi bernama SOAD Fans Indonesia Community, disingkat SFIC. Wadah ini adalah tempat berkumpulnya para penggemar fanatik yang seperti tidak peduli dengan perkembangan SOAD yang semakin tidak jelas, dan tanpa pamrih menunjukkan kecintaan mereka kepada band asal California tersebut. SFIC mulanya hanyalah sebuah fanpage di facebook yang digagas beberapa orang sejak 2011. Setelah anggotanya semakin banyak, para penggagas pun berniat untuk membuat grup ini semakin solid dengan mengadakan gathering. Pada gathering pertama, yang diadakan di Kota Tua, Jakarta, pada 2 Januari 2011 disepakati bahwa grup ini akan diseriusi dan dibentuk menjadi sebuah wadah bagi para penggemar SOAD yang berbentuk komunitas. Tujuannya adalah merangkul semua penggemar SOAD di Indonesia dan menyatukan visi untuk, siapa tahu masih bisa, mengundang SOAD datang ke Indonesia. “SOAD Fans Indonesia Community adalah tentang bagaimana kita menunjukkan eksistensi kita kepada masyarakat dengan cara yang positif, menunjukkan bahwa kita ini ada, sebagai generasi yang berpikir maju, bukan generasi cengeng yang kebanyakan omong kosong. Mungkin di satu sisi kita hanya sebuah perkumpulan penggemar sebuah grup musik, tapi dengan adanya tujuan dan kerja nyata yang jelas maka orang lain pun lama-kelamaan akan tahu. Dimulai dari diri sendiri, kemudian orang lain, selanjutnya masyarakat luas akan mengakui bahwa SOAD Fans Indonesia Community itu
OLEH GIGIH SANTRA WIRAWAN ada, dan bukan sekedar kumpulan bocahbocah yang mengatasnamakan grup musik untuk pembenaran akan beberapa hal yang bersifat pembodohan,” begitu penjelasan penuh harap dari bang Navie, salah seorang penggagas. Kegiatan komunitas ini antara lain diskusi, sharing dan mengadakan kuis di facebook, lalu berkembang ke pembuatan merchandise, gathering rutin dan mengadakan acara-acara sosial serta konser tribut yang diadakan beberapa waktu lalu. Anggotanya kebanyakan masih muda, beberapa sudah tua meski belum bangkotan. Seperti sang ketua, Sarom Mahdi yang, baru saja terpilih lagi untuk periode 2013 sampai waktu yang susah ditentukan. Sarom adalah salah satu dari beberapa penggagas komunitas ini, sementara dua penggagas lain akhirnya memutuskan untuk menikah dan sekarang hampir punya anak. Karena status SOAD saat ini sedang tidak jelas, belakangan grup ini juga seperti kehilangan semangat. Apalagi setelah didera konflik awal 2013 lalu, sesuatu yang sangat disayangkan untuk sebuah komunitas yang baru terbentuk. Meski demikian, SOAD Fans Indonesia Community akan tetap militan mendukung Serj Tankian dan kawan-kawan, sebab, seperti dalam eulogi sang ketua; “bagiku, mereka bukan sekedar band atau empat lelaki beringas yang gemar bersumpah serapah. Lebih dari itu, mereka adalah pembentuk pola pikir, penumbuh budaya kritis dan yang terpenting, penunjuk jalan bagi jutaan inspirasi yang akhirnya menemukanku.” Komunitas ini juga membahas side project para personel SOAD seperti Scars on Broadway, solo project Serj Tankian dan lain-lain. Kalau kawan-kawan ada niat bergabung, bisa mengikuti ke @soadfansid.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 45
SCENE REPORT
SILENT
SCREAM SAMPIT LENGANG SEBELUM BERISIK OLEH RUSNANI ANWAR
N
ama acara ini tuh apa ya? Saya tak sengaja melontarkan pertanyaan ini kepada salah seorang pembesut kegiatan, Mas Edy, saat acara setengah berjalan. Pasalnya, saya mendapat rantaian pesan singkat yang menyebut Sampit Berisik namun kemudian menemukan backdrop panggung berbunyi Silent Scream. Beliau tertawa dan bilang kalau ini (belum) Sampit Berisik, namanya Silent Scream. Gig kecil sebelum nanti digelar Sampit Berisik yang lebih besar. Dan konon akan mengundang nama besar dalam skena black metal Indonesia. Ihiy. Maka begitulah, sebuah gig yang diprakarsai Mas Agus (yang resmi membuka Bloodshine Merch malam itu), Mas Edi, Padung Hitam dan komunitas metalcore Sampit berlangsung sejak pukul setengah delapan malam di halaman gedung KNPI. Saya datang bersama kru dari zine Late for School yang mengemban tugas mulia: untuk membagikan sekurangnya 50 pcs zine laknat itu kepada kawan-kawan luar daerah, yang kemudian habis dalam hitungan menit. Soalnya sedikit. Hahahaha. Panggung dijejak pertama kali oleh Brutu Fuck yang membawakan dua nomor pembuka. Band asal Palangkaraya ini sukses mengencerkan dahak yang serak dari crowd yang kemudian mulai bergerumul dan membentuk shaf rapih di lini depan panggung. Penampil kedua adalah Dread Out, band Sampit yang malam itu sukses menarik massa untuk terus maju dan memulai ibadah headbang. “Redemption” dan “Redneck” dari Lamb of God dibawakan dengan apik hingga tanpa terasa kaki saya mulai pegal lantaran terlalu lama berdiri. Sempat disinggung bahwa crowd 46 I TUCZINE.TUMBLR.COM
tak terlalu bersemangat malam itu. Sebab jika dikomparasi dengan Boneka Tanah #2 dan #3 yang digelar nyaris setahun lalu, massa terlihat lesu. Bisa jadi lantaran berbedanya genre yang diusung, atau semata lantaran kekurangan teknis seperti sound yang kurang menggelegar. Tapi, untuk skala gig independen yang diselenggarakan berkat dana kolektif, Silent Scream ini tergolong sukses sebab ia berhasil menunaikan fungsi utamanya: sebagai wadah berkumpul dan bersenang-senang. Oke sip, lanjut. Yang digadanggadang menaiki panggung dan melancarkan nomor-nomor pamungkasnya, black metal dari Sampit, Padung Hitam membawakan lagu mereka sendiri “Dunia Hitam”, “Sakaratul Maut”, “Kematian”, “Siksa Akherat” dan satu lagu Dimmu Borgir, “Moarning Palace”. Setelah puas dengan aura mencekam di atas panggung, kita-kita penonton kece inipun disuguhkan BLFF yang membawakan beberapa lagu Asking Alexandria. Penampilan mereka cukup untuk melemaskan segala yang tegang setelah berbaku hantam dengan empat band sebelumnya. Brutu Fuck kembali tampil. Kali ini dengan format orkes keliling mereka membawakan sekurangnya sepuluh lagu. Dengan
durasi masing-masing lagu semacam “Beca Tiguling”-nya Mesin Tempur yang dipepatkan dalam satu gebukan drum. Penutup, Battle Death tampil dengan berbeda sebab mereka satu-satunya penampil dengan suara jernih yang bernyanyi. Menjadikannya semakin menarik sebab lagu merekalah yang diperlukan untuk menuntaskan klimaks yang telah dicapai. Tsah. Silent Scream, Sampit Berisik atau apalah namanya acara ini, saya rasa sudah lebih dari cukup untuk menegaskan perihal skena independen Sampit, terutama genre metalcore. Terima kasih atas penyelenggara yang telah menyuguhkan sebuah panggung apik untuk kami. Semoga kelak bertemu lagi gig kece semacam ini.
.
Silent Scream, digagas oleh para pelaku skena bawah tanah Sampit pada 11 Mei 2013, adalah pemanasan menuju hajatan yang lebih besar: Sampit Berisik. Maju terus!
SCENE REPORT
SEPENGGAL CERITA DARI
MANADO BAY
HARDC RE OLEH NOUVAL RANTUNG
S
kena hardcore di Manado tidak dapat dipisahkan dari awal gerakan punk pada akhir tahun ’90-an, tepatnya sekitar tahun 1999. Semuanya dimulai oleh sekelompok anak muda yang suka mendengarkan musik punk, hardcore dan metal, di antaranya beberapa orang dalam komunitas punk (saat itu sudah terbentuk) dan para skateboarder lokal. Karena saling mengenal dan sering nongkrong bersama, anak-anak muda ini mulai bertukar informasi mengenai apa saja, terutama rekaman-rekaman hardcore pada waktu itu. Inilah kemudian yang menjadi embrio kelahiran komunitas hardcore: Manado Bay Hardcore. Di awal tahun 2000, gig-gig hardcore dan punk mulai diadakan, menampilkan band-band seperti Side of Freedom (kemudian dikenal sebagai Bloodlines), 2122, Pure Impact (rip), Hierrust (rip) dan Bullet Proof (rip). Pada saat itu sebagian besar band sudah mulai menulis, memainkan, dan merekam lagu-lagu mereka sendiri, serta berpartisipasi dalam kompilasi rekaman independen di luar Manado, dalam dan luar negeri. Dalam rentang tahun 2000-2004, skena hardcore Manado terus berkembang dengan lahirnya beberapa band dan mulai intensifnya gig-gig lokal. Sayangnya, pada pertengahan 2005 banyak dari band-band tersebut yang bubar. Hanya beberapa yang bertahan dan sempat merilis album. Saat ini skena hardcore Manado, meski perlahan, mulai bangkit lagi dengan lahirnya generasi baru ataupun muka-muka lama yang kembali membentuk band. Maka, lahirlah band-band berbahaya seperti Emergency Revenge, Before Five Minutes, Armada 13, Speedy Gonzales, Satu Hati, Barol dan band yang masih bertahan sejak
era awal: Bloodlines. Ditambah lagi munculnya label-label rekaman independen, di antaranya Lastblood Record (rekaman, merch dan distribusi) yang didirikan pada 2011. Label ini sempat merilis “We are the Warrior”, album pertama band hardcore Gorontalo, Polahi. Sementara skena punk Manado juga memiliki label rekaman sendiri, Tjap Tikus Record. Selain itu, ada juga sebuah studio rekaman rumahan legendaris bernama Goedang Sendjata yang kemudian menjadi record label independen dengan nama Goedang Sendjata Records dan sempat merilis album perdana dari unit punk rock/oi lokal Spesialis Tendangan Bebas, “Work Hard, Play Loud, Stand Proud” dan dua volume album kompilasi “Young & Restless” yang dirilis secara terbatas. Skena hardcore Manado memang masih sangat kecil jika dibandingkan dengan beberapa kota besar di Indonesia. Masalah utama di sini adalah minimnya sarana dan ruang untuk mengadakan gig. Mulai dari mahalnya sewa tempat dan masih sulitnya venue (cafe/ruang serba guna) yang bisa mengakomodir musik seperti ini. Meski demikian, keterbatasan itu tidak menghalangi para penggiat skena untuk terus berkembang. Satu hal yang membuat
skena Manado begitu istimewa adalah solidaritas lintas generasi lintas genre, yang bisa disaksikan dalam gig-gig yang kadang menggabungkan musik hardcore, punk dan metal dalam satu panggung. Skena hardcore Manado tak diragukan lagi sedang berjuang dan tetap bertahan. Saat ini, beberapa band sedang berancana untuk merekam dan merilis album dalam waktu dekat. Perkembangan skena hardcore di Manado memang tidak sepesat perkembangan komunitas metal, tapi tetap bergeliat, dan orang-orang di dalamnya (tua maupun muda) masih tetap semangat membangun komunitas ini dengan penuh passion. Apa yang saya tulis di sini mungkin tidak mewakili skena kota Manado secara keseluruhan, atau mengambarkan secara lengkap sejarahnya. Saya hanya menulis berdasar apa yang saya tahu dan beberapa informasi dari teman-teman. Kiranya ingin berkomunikasi, bisa menghubungi lewat ophallardo@yahoo.com. Atau bisa juga mencari banyak informasi mengenai band-band lokal Manado di sulawesiwarrior.blogspot.com. Maju terus Manado Bay Hardcore!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 47
PENADAH LUDAH
BEBASKAN K SELERAMU OLEH TITI YULIANA DAN MOCH. SYAICHUDIN
4gambar dipinjam dari astaga.com
alau berbicara musik, rasanya tidak akan ada habisnya. Satu kata akan sambung menyambung dengan kata-kata yang lain, ibarat lirik lagu membentuk untaian nada. Sebagai manusia normal, saya melewati dan sempat menikmati lagu-lagu sesuai dengan usia saya. Ketika masih duduk di sekolah dasar, saya tidak pernah absen mengikuti perkembangan musik anak-anak, mulai dari Si LumbaLumba Bondan Prakoso, “Dudidam�-nya Enno Lerian, Trio Kwek Kwek, Saskia dan Geofanny, Maisy, Cindy Cenora, sampai Joshua Suherman. Sedangkan di jaman sekarang anak-anak dipaksa puber sebelum waktunya: Koboi Junior laknatunnas yang lebih mengajarkan mengagumi keindahan lawan jenis daripada mengenal biji-bijian ala lagu jaman dahulu. Jaman sudah berubah, atau saya yang terlalu kolot? Pergerakan usia membuat selera musik saya juga mengalami perubahan. Di usia remaja, saat itu sedang meledak boyband sejenis Boyzone, Backstreet Boys dan yang paling sensasional, Westlife. Naluri keremajaan yang cenderung ikut-ikutan tren dan ingin menyamakan diri dengan temanteman, membuat saya bahkan mampu menghapal hampir semua lirik lagu dan
mengoleksi cd boyband semacam mereka, yang ironisnya, sekarang tak pernah saya sentuh sama sekali. Pada saat itu saya juga sudah mulai rajin menonton berbagai macam acara musik di MTV, terutama musik mancanegara. Saya mulai mengakrabi musisi seperti Jewel, Eric Clapton, Craig David, Sting, U2, Celine Dion, The Corrs dan masih banyak lagi. Kalau dari musisi dalam negeri, ada Sheila on 7, Dewa 19, The Fly, TIC Band, Reza, Titi DJ dan Jikustik. Saya menyerap berbagai jenis musik. Pokoknya tidak ada yang namanya selera spesifik. Kalau ada lagu yang sedang meledak, maka saya akan berusaha untuk turut menikmati, karena yang paling penting saat itu bukanlah karakter, tapi menjadi bagian yang sama dari berbagai kelompok yang berbeda. Dan musik inilah yang menyatukan kami. Pada saat memasuki bangku kuliah, selera musik saya mulai berubah. Saya sudah mulai bosan dengan band-band dalam negeri yang musiknya mulai mengalami sindrom similaritas mendadak. Ketika satu band meledak dengan lagu dan genre andalannya, maka yang lain pun bermunculan, dengan jenis lagu yang kesamaannya seperti berteriak lantang di telinga. Similaritas ini bukan hanya soal pilihan nada, tapi dimulai dari tema lagu, bahkan gaya
dan aksi panggung. Kalau soal tema, sudah pasti paling banyak berbicara soal cinta. Lebih spesifiknya lagi, dalam tahun-tahun tertentu, berpuluh lagu membahas tentang (indahnya?) perselingkuhan, yang dalam lirik diperhalus istilahnya menjadi ‘mendua’. Aduh. Sebagai mahasiswa yang ke manamana naik angkutan umum, rasanya saya mau berteriak sama sopir angkot ataupun bus, yang tidak pernah absen memutar lagu sejenis ini (selain genre disko pastinya) supaya mematikan musik, dan menikmati hening dalam perjalanan. Seperti itulah gambaran tingkat kejenuhan saya waktu itu. Walaupun saya bukan penikmat musik yang idealis, tapi setidaknya, musik selain menyenangkan untuk didengar, juga harus memperhatikan komposisi lirik. Kalau hanya sekedar memilih kata dengan tema default, saya rasa, anak smp yang baru puber juga bisa. Itulah ekspektasi saya terhadap musisi waktu itu, dan saya merasa sedikit kecewa. Akhirnya saya pun mulai rajin browsing, mencari lagu-lagu yang saya rasa berbeda dan asyik di telinga, mau dari dalam ataupun luar negeri. Alhamdulillah, akses internet bertebaran di mana-mana. Sayangnya, saya bukan penikmat musik yang baik, karena saya selalu mengunduh lagu-lagu mereka secara ilegal, hahaha. Alasan ekonomis pastinya. Menyesuaikan dengan kondisi kantong. Pada saat inilah saya mulai mengenal musisi dalam negeri yang sebelumnya tidak pernah terdengar namanya di telinga, seperti Efek Rumah Kaca, Sore dan The Trees and the Wild. Seperti halnya penikmat musik awam, saya akui kalau saya memang terlambat mengenal musisi seperti mereka. Mungkin karena pengaruh domisili dan lingkup pergaulan juga. Tapi perkenalan ini membuat saya kembali yakin, bahwa ternyata kita masih punya banyak musisi dengan kapabilitas bermusik yang luar biasa, bukan sekedar mengikuti arus dan selera pasar. Saya mengagumi kepiawaian mereka dalam menjelajahi berbagai macam nada, yang disempurnakan dengan lirik yang kadang indah, kadang suram, kadang penuh cinta, kadang penuh dengan kebencian dan amarah. Pokoknya, terasa berbeda. Itu saja. Rajin menjelajahi situs-situs musik dan berbagai saluran di youtube juga membuat saya mengenal berbagai lagu dan musisi berbakat. Apalagi sejak melanjutkan pendidikan, dengan asrama yang difasilitasi akses wifi berkecepatan yahud, hobi browsing saya semakin tersalurkan. Berbagai macam jenis musik saya akrabi, yang kadang hanya terdengar beberapa bait kata saja di telinga, baik itu dari soundtrack film, ataupun saat berjalan-jalan di pusat pertokoan. Potongan liriknya saya hafal, kemudian browsing di internet untuk tahu pasti lagunya dan siapa penyanyinya, hahaha. Situs music streaming semacam last.fm dan
8tracks.com juga jadi langganan sehari-hari, saat bekerja ataupun belajar. Buat saya musik itu jadi semacam jeda, untuk menghilangkan kebosanan akan rutinitas kerja. Pilihan genre pun tidak terlalu saya ributkan, tergantung mood dan suasana saja. Kadang pilihan jatuh pada musik trip hop, dance, electronic, kadang pada music dream pop, acoustic, instrumental dan sebagainya. Saya tidak pernah fanatik pada satu genre musik, apalagi musisi tertentu. Tapi ada beberapa lagu dan musisi yang selalu jadi all-time favourites untuk saya. Dengan kata lain, saya tidak pernah merasa bosan untuk berulang kali mendengarkan musik mereka, dari dulu sampai sekarang. Salah satu lagu yang sangat lekat dalam ingatan saya adalah “Animal Instinct”-nya The Cranberries. Salah satu single dalam album “Bury the Hatchet” ini memang sangat saya suka, bahkan boleh dibilang, pertama kali mendengar saya sudah jatuh cinta pada lagu ini. Mungkin saat itu dipengaruhi oleh faktor video klipnya juga, yang mengisahkan perjuangan seorang ibu untuk bisa selalu berkumpul bersama dengan anak-anaknya. Yang jelas, menurut saya lagu ini maknanya sangat dalam, tentang insting seorang wanita, sebagai ibu, yang akan melakukan berbagai macam cara untuk melindungi anak-anaknya. Quite touchy, right? Lagu lainnya yang saya favoritkan adalah lagu dari The Cardigans, “Communication”, salah satu band favorit yang sudah tidak eksis lagi. Kalau dibuat dalam bentuk mixtape, daftar berikut ini bisa jadi merepresentasikan lagu-lagu favorit saya sepanjang jaman: “The Moment I Said It” - Imogen Heap, “Communication” - The Cardigans, “Helena Beat” - Foster the People, “Crave You” - Flight Facilities, “Quiet” - Rachael Yamagata, “Terrible Love” - Birdy, “Animal Instinct” - The Cranberries, “Dull Life” - Yeah Yeah Yeah, “Desember” - Efek Rumah Kaca, “Kata” - The Trees and the Wild, “Must Get Out” - Maroon 5, “Little White Doves” - Dirty Vegas, “Lagu Cinta” - Dewa 19, dan lagulagu lainnya, hahaha. Satu yang bisa saya simpulkan, saya hanyalah penikmat musik, dan saya merasa bebas, untuk menikmati musik apa saja, tanpa dibatasi oleh genre-genre tertentu. Karena toh pada akhirnya, musik itu adalah untuk dinikmati, untuk dihayati, untuk membebaskan imajinasi dan pikiran kita dari penat. Jika untuk melepaskan diri dari kepenatan saja kita sudah membatasi diri, bagaimana kita mau mengharapkan relaksasi sempurna? Pokoknya, nikmati saja!! Selamat menikmati musikmu, dan berimajinasilah!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 49
PENADAH LUDAH
SO LONG ROMANCE 4gambar dipinjam dari 3news.co.nz
OLEH NEVI EARTH
I
t is not a band, it is an idea”, kata Gerard Way, sang vokalis saat mengklarifikasi bahwa My Chemical Romance (MCR) sudah habis. MCR bubar setelah 12 tahun berkibar? Sayang sekali. Apalagi mereka sudah mengeluarkan lima album. Untungnya, para penggemar di Indonesia sudah pernah disuguhi konser mereka pada tahun 2008. MCR sendiri tak mau dikategorikan sebagai band emo. Sejak dibentuk tahun 2001, band asal New Jersey ini lebih suka dikelompokkan ke genre rock alternatif. Lagu-lagu mereka sering saya pilih sebagai selingan saat sedang jenuh dengan growl-growl di musik metal. Saya pertama kenal lagu-lagu mereka di album kedua, “Three Cheers for Sweet Revenge” (2004), album yang mendapat penghargaan platinum kurang dari setahun sejak dirilis. Lagulagu “Helena” yang sangat terkenal, yang sering diputar baik di radio maupun televisi, “I’m Not Okay”, “You Know What They Do to Guys Like Us in Prison” (panjang sekali judulnya, jadi tertarik buat mendengarkan) dan “Cemetery Drive”. Sejak itu saya mulai tertarik untuk mencari beberapa lagu MCR di album-album selanjutnya. Sedang untuk lagu-lagu di album pertama, “I Brought You My Bullets, You Brought Me Your Love” (2002) sayangnya tak satupun yang sempat saya dengarkan. Mungkin lain waktu. “The Black Parade” And then, akhirnya saya mendapat kesempatan menyimak sealbum penuh di “The Black Parade” (2006). Truly, the third album was a good one. Di album ketiga ini masuk drummer baru, Bob Bryar menggantikan Matt Pelissier. Di single “Welcome 50 I TUCZINE.TUMBLR.COM
to the Black Parade”, mereka menyertakan marching band. Dalam beberapa tampilan, para fans memakai kostum hitam-hitam untuk lagu ini. Bahkan sampai sekarangpun, lagu itu tetap asyik buat didengarkan. Beberapa single di album ketiga ini banyak mendapat penghargaan: “Welcome to the Black Parade”, “I Don’t Love You” dan “Teenagers”. Beberapa lagu sangat sendu, seperti lagu “Cancer”. Saya jamin album mereka tak akan membosankan, setidaknya sebagai selingan dari lagu-lagu metal. Hampir keseluruhan dari album ketiga ini sangat direkomendasikan. Tak salah kalau dinobatkan sebagai salah satu dari The 20th Best Album of the Year. Sedangkan untuk album “Danger Days: The True Lives of the Fabulous Killjoys” (2010), lagu “Na Na Na” dipilih sebagai teaser dan dipublikasikan pertama kali ke media, sebelum albumnya resmi dirilis pada November 2010. Di album itu sang drummer Bryar keluar lagi. “Conventional Weapon”, lalu bubar Maret 2013, media sudah mulai gencar memberitakan tentang bubarnya MCR, tepat setelah lagu-lagu di album terakhir selesai diluncurkan (mulai dari Oktober 2012 sampai Februari 2013). Album kelima tersebut adalah sebuah kompilasi berisi 10 lagu berjudul “Conventional Weapon”. Sungguh beruntung saya mendapat kiriman sealbum penuh dari Pak Yahudi (terima kasih). Siapa yang menyangka mereka akan bubar setelah meluncurkan album itu? Penutup yang manis. Kompilasi ini sendiri lumayan keren dan tak akan mengecewakan. Bahkan kepala saya tak berhenti bergoyang mengikuti musik cepat sejak lagu pembuka “Boy
Division” yang disambung dengan “Tomorrow’s Money”. Lagu-lagu ketiga sampai kelima: “Ambulance”, “Gun” dan “The World Is Ugly” lebih lembut. Kita akan langsung mengenali ciri khas MCR di sana. Setelahnya, lagu-lagu terakhir akan kembali beritme cepat: “Kiss the Ring”, “Make Room!!!!” dan “Surrender the Night”. Album ini ditutup dengan “Burn Bright”. Setelah itu album ini bisa diulang beberapa kali lagi. Sudah pasti lagu-lagu MCR bisa membangkitkan semangat karena ritme dan nadanya. Easy listening. Khusus untuk lagu keenam “The Light Behind Your Eyes”, bisa jadi itu adalah lagu perpisahan. Simak saja liriknya; Be strong and hold my hand / Time becomes for us, you’ll understand / We’ll say goodbye today / And we’re sorry how it ends this way / If you promise not to cry / Then I’ll tell you just what I would say / If I could be with you tonight / I would sing you to sleep / Never let them take the light behind your eyes / I’ll fail and lose this fight / Never fade in the dark / Just remember you will always burn as bright. Apakah sebenarnya mereka sudah merencanakan untuk bubar? Entahlah. Yang jelas, they have done. Paling tidak MCR telah memberi warna dalam dunia musik. Tidak terlalu mengecewakan mengenal mereka melalui lima album keren selama ini. Well, bye bye My Chemical Romance. So long. You will always be our chemical.
.
PENADAH LUDAH
SEBELAH MATA:
SEJAUH MANA KITA MENGHARGAI LIRIK BERBAHASA INDONESIA? OLEH MARDHANI MACHFUD RAMLI
S
etelah santap sahur di suatu pagi di bulan Ramadhan beberapa waktu lalu, mata saya sama sekali tidak bisa tertutup. Saya menyalakan itunes dengan volume minim dan sayup-sayup terdengar alunan lagu dari Efek Rumah Kaca yang berjudul “Sebelah Mata”. Jujur, setiap mendengar lagu itu, saat itu pula saya langsung memuji kehebatan Cholil sebagai pencipta lagu dan seniman lirik yang jenius. Saya langsung teringat tulisan saya yang pernah dimuat di Tuczine #2 (agak narsis nih ceritanya) dengan judul “Efek Rumah Kaca: Efek Kejeniusan dalam Balutan Lirik Penuh Kritik”. Tidak salah memang jika saya melemparkan pujian setinggi-tingginya kepada Cholil dkk dalam tulisan tersebut. Satu hal yang paling saya kagumi dari Cholil sebagai seniman lirik adalah kemampuannya untuk menggubah sebuah lagu dengan lirik berbahasa Indonesia, saya ulangi, berbahasa Indonesia tanpa meninggalkan kesan lirik tersebut terdengar cheesy dan ringan, atau malah terlalu berat dan susah dicerna. Karena jujur saja, kebanyakan pencipta lagu mengalami kesulitan dalam membuat lirik berbahasa Indonesia tanpa terjebak dengan kesan cheesy atau malah terlalu berat. “I am fall into you” lebih cenderung dipilih dibandingkan “aku mencintaimu”. Dan sayangnya, penggunaan lirik berbahasa asing tersebut seakan menjadi tren. Silakan lihat band-band indie yang berjamuran. Sebagian besar dari mereka lebih nyaman menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia. Ditambah dengan para pendengarnya yang tak mau dianggap melayu, ‘dangdut’ atau norak karena menyukai atau menyanyikan lagu
yang berbahasa Indonesia. Bahkan saya kadang salah duga jika mendengarkan lagu dari band-band indie karena telah kehilangan ke-Indonesiaan-nya, dari nama band, judul lagu, judul album hingga stage act yang sudah mengadopsi budaya asing. Tapi hal-hal tersebut di atas tidak berlaku sama sekali bagi tiga orang musisi yang menamakan diri mereka Efek Rumah Kaca. Lirik tajam berbahasa Indonesia yang dibalut kritik sama sekali mengikis paradigma ‘lirik berbahasa Indonesia adalah murahan’ dan berhasil dibuktikan dengan karya-karya yang selalu membuat saya kagum dengan gaya penulisan liriknya. Sebut saja gema teriakan yang menggambarkan suara perjuangan pahlawan HAM, Munir yang terbunuh di atas pesawat dalam lagu “Di Udara”; Aku sering diancam / Juga teror mencekam / Kerap ku disingkirkan / Sampai di mana kapan? / Ku bisa tenggelam di lautan / Aku bisa diracun di udara / Aku bisa terbunuh di trotoar jalan / Tapi aku tak pernah mati / Tak akan berhenti.. / Aku bisa dibuat menderita / Aku bisa dibuat tak bernyawa / Dikursilistrikkan ataupun ditikam. Atau sebuah lagu kontroversial yang menceritakan hubungan sesama jenis tanpa membuat kita bergidik jijik dalam lagu “Bukan Lawan Jenis”; Aku bertemu kamu dalam gelap / Aku menuntunmu menuju terang / Menuju terang dari gelap malam / Kamu simpan gambarku dalam hati / Dalam mimpi, dan di dalam hati / Dalam mimpi, dan di dalam hati / Aku takut kamu suka pada diriku / Karena memang aku bukan lawan jenismu / Maafkan aku karena mengisi relung hatimu / Karena memang aku bukan lawan jenismu / Kita bertemu
4gambar dipinjam dari autizinside.wordpress.com
muka lagi / Hanya menatap tanpa bahasa / Tanpa isyarat memendam tanya / Masihkah ku di dalam mimpimu? Dan sebuah lagu yang telah saya sebutkan tadi, “Sebelah Mata” yang menggambarkan pengalaman penderita diabetes. Cholil bahkan menggunakan kata ‘diabetes’ yang notabene adalah istilah kedokteran yang mungkin sangat aneh jika digunakan dalam sebuah lagu melankolis. Namun Cholil berhasil menepis keanehan tersebut dan menjadikannya sebuah lagu yang sampai sekarang membuat saya tercengang jika membayangkan proses penciptaannya; Sebelah mataku yang mampu melihat / Bercak adalah sebuah warna warna mempesona / Membaur dengan suara dibawanya kegetiran / Begitu asing terdengar / Sebelah mataku yang mempelajari / Gelombang kan mengisi seluruh ruang tubuhku / Terbentuk dari sel akut / Dan diabetes adalah sebuah proses yang alami / Tapi sebelah mataku yang lain menyadari / Gelap adalah teman setia / Dari waktu waktu yang hilang. Efek Rumah Kaca telah membuktikan bahwa tidak harus menggunakan lirik berbahasa asing untuk sekedar terdengar megah di tengah terpaan tren musik kebarat-baratan yang membuat musik Indonesia nyaris kehilangan identitasnya, selain cobaan di dunia musik tanah air dari ‘band-band pop Melayu’ dengan musik ringan dan lirik pembodohan yang malah mendiskreditkan kesakralan dan kemegahan lirik berbahasa Indonesia itu sendiri. Pertanyaannya, kapankah musisi dan penikmat musik Indonesia bisa menghargai lirik berbahasa Indonesia?
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 51
PENADAH LUDAH
PERANAN PAJAK
BAGI PERTUMBUHAN INDUSTRI MUSIK DI INDONESIA OLEH DIDIK YANDIAWAN
P
ada tahun 2008, Departemen Perdagangan Republik Indonesia (kini Kementerian Perdagangan) merilis dokumen “Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif Indonesia 2009-2015” yang merupakan bagian integral dari “Program Pengembangan Industri Kreatif Menuju Visi Indonesia Kreatif 2015” dan “Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025”. Rendahnya pertumbuhan ekonomi pasca krisis (rata-rata hanya 4,5% per tahun), masih tingginya pengangguran (9-10%), tingginya tingkat kemiskinan (16-17%) dan rendahnya daya saing industri di Indonesia menjadi latar belakang pencanangan program “Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025”. Program ini merupakan wujud optimisme serta luapan aspirasi jangka panjang pemerintah untuk mewujudkan visi Indonesia menjadi negara yang maju, sejahtera dan kreatif di tahun 2025. Seberapa penting peranan pajak di dalam mendukung upaya tersebut? Peta perkembangan industri musik Indonesia Subsektor industri kreatif Indonesia terdiri dari 14 (empat belas) subsektor, di antaranya: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan. Hasil kajian terhadap setiap subsektor memiliki karakteristik dan keunggulan yang bervariasi. Hal ini berdampak pada perbedaan penentuan sasaran, arah 52 I TUCZINE.TUMBLR.COM
dan peta jalan pengembangan masingmasing subsektor industri kreatif. Sasaran yang rasional, arah pengembangan yang fleksibel, ditentukan berdasarkan kondisi yang ditemukan saat ini di setiap subsektor. Sasaran dan arah yang berbeda berdampak pada perbedaan pilihan dan sekuensi strategi, yang membentuk setiap peta jalan pengembangan (roadmap). Industri kreatif subsektor musik adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi, pertunjukan musik, reproduksi dan distribusi dari rekaman suara. Seiring dengan perkembangan industri musik yang mengalami pertumbuhan pesat, Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia 2009 (KBLI) yang telah mengakomodasi pemisahan lapangan usaha distribusi reproduksi media rekaman, manajemen-representasipromosi (agensi) musik, jasa komposer, jasa pencipta lagu dan jasa penyanyi menjadi suatu kelompok lapangan usaha sendiri. Hal ini sejalan dengan keterkaitan setiap proses pada aktivitas utama di industri musik. Rantai nilai dari industri musik dan industri yang terkait dalam setiap rantai nilai tersebut didukung oleh empat unsur utama, yaitu kreasi, produksi, komersialisasi dan distribusi. Jenis pekerjaan inti dalam industri musik ini dapat dikategorikan sebagai musisi. Musisi dapat didefinisikan sebagai orang yang memainkan atau menulis musik. Musisi ini dapat dikategorikan berdasarkan perannya dalam menciptakan ataupun dalam pertunjukan musik, di antaranya instrumentalist, singer/vocalist, composer, arranger, songwriter, improviser, orchestra-
tor dan conductor. Faktor utama yang mempengaruhi struktur industri musik Indonesia saat ini adalah kebangkitan industri rekaman independen (indie label) dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang semakin pesat. Fenomena kebangkitan label indie mulai muncul pada awal 2000an, di mana pasar musik Indonesia membutuhkan penyegaran baru yang belum dapat diakomodasi seluruhnya oleh label besar (major label). Di saat yang sama, terjadi peningkatan jumlah musisi dan karya musik dari beragam genre yang dihasilkan ketika itu. Beberapa label indie mencicipi kue sukses, di antaranya Fast Forward, Aksara Records, Sinjitos, Demajors dan Ivy Music League. Sementara itu, perkembangan musik digital di Indonesia mulai bergerak positif di tahun 2006. Diversifikasi produk dan konten musik yang didistribusikan tidak lagi sebatas format fisik (kaset audio, cd dan dvd), tetapi juga dalam bentuk digital seperti Ring Back Tone (RBT), bundling produk musik dan unduh digital melalui situs musik. Di tengah pesatnya pertumbuhan musisi dan karyanya, terdapat beberapa hal yang menjadi ‘duri dalam daging’ bagi industri musik Indonesia. Tingkat pembajakan yang meningkat, ketimpangan rantai distribusi, regulasi yang belum harmonis, rendahnya kualitas penghargaan musisi serta sarana dan prasarana pertunjukan yang tidak memadai adalah fakta yang menghantui industri musik Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), rasio produk musik legal
4gambar dipinjam dari press.uchicago.edu
dengan produk bajakan yang beredar pada tahun 2000 s.d. 2007 adalah 279.577.604 berbanding 2.770.431.068 unit atau 1:10. Ketimpangan angka tersebut diperparah dengan rendahnya tingkat konsumsi terhadap karya musik dalam negeri dari segi pembelian konten musik maupun tiket pertunjukan musik dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan lainnya. Dalam situasi seperti ini, pelaku industri musik yang juga berkontribusi bagi penerimaan negara membutuhkan perlindungan negara. Maka hal yang wajar apabila musisi dan pelaku industri musik berujar miris, “di manakah keberadaan negara ketika pelaku industri musik membutuhkannya?� Peranan pajak bagi peningkatan pertumbuhan industri musik Indonesia Pajak memiliki beberapa fungsi penting di dalam pembangunan, di antaranya fungsi anggaran, regulasi, stabilitas dan redistribusi pendapatan. Selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, pajak berperan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi, proteksi produk dalam negeri dan pemerataan pendapatan. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri musik Indonesia, penerapan pajak yang berlaku saat ini diupayakan untuk mendukung hal tersebut. Persoalan mendasar adalah cara untuk memastikan bahwa pelaku industri musik Indonesia mendapatkan apa yang dibutuhkan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberlakuan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan usaha terhadap
pelaku industri musik yang dilaksanakan melalui Pemotongan PPh Pasal 21/26 maupun PPh Pasal 25. Produk hasil rekaman musik juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui mekanisme stiker lunas PPN. Adapun mengenai pajak hiburan, tontonan maupun bea perizinan lainnya, merupakan wilayah pemungutan pemerintah daerah dalam skema Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ada beberapa hal yang perlu mendapat kajian khusus pemerintah, khususnya DJP, dalam rangka meningkatkan pertumbuhan industri musik Indonesia, di antaranya: pertama, dari sisi regulasi perpajakan, pemerintah pusat dan daerah harus merumuskan harmonisasi kebijakan yang adil terhadap pelaku industri musik. Penerapan tarif dan pemberian insentif pajak terhadap industri musik yang berorientasi pada pengembangan kebudayaan Indonesia harus diprioritaskan. Selain itu, untuk menumbuhkan daya saing produk musik dalam negeri, perlu diterapkan subsidi dan penerapan tarif pajak yang proporsional, khususnya pajak hiburan. Kedua, dari sisi redistribusi perpajakan, pemerintah pusat dan daerah melalui kementerian dan lembaga yang berwenang harus membangun dan mengelola infrastruktur yang representatif sebagai tempat pertunjukan bagi musisi. Musisi dan promotor pagelaran musik dapat memanfaatkan arena pertunjukan yang representatif dan terjangkau dalam hal biaya produksi. Ketiga, dari sisi penegakan hukum, pemerintah harus memaksimalkan rencana aksi pemberantasan pembajakan atas
hasil karya cipta musisi yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-undang (UU) Hak Cipta dan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Pelaku pembajakan harus diproses secara hukum agar menimbulkan efek jera, sekaligus melindungi konsumen dan musisi dari penyalahgunaan produk ilegal. Keempat, dari sisi peningkatan kepedulian masyarakat, DJP harus memberikan pembinaan bagi kepada Wajib Pajak (WP) pelaku industri musik yang baru berkecimpung di dalamnya. Selain itu, DJP wajib memberikan apresiasi berupa penghargaan tahunan terhadap WP pelaku industri musik yang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya secara patuh dan taat, serta mampu menjadi corong dan role model bagi masyarakat di dalam upaya memasyarakatkan kepatuhan di dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Kesimpulan Reformasi birokrasi perpajakan yang telah mencapai masa satu dekade sudah sepatutnya memberikan hal baru bagi pengembangan industri kreatif Indonesia, khususnya industri musik. Tidak hanya sisi pemungutan pajak yang harus menjadi fokus utama. Aspek redistribusi pajak yang berkeadilan, tepat sasaran dan sesuai kebutuhan adalah harapan besar bagi segenap pelaku industri musik dan seluruh rakyat Indonesia.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 53
PENADAH LUDAH
RECORD STORE DAY
4gambar-gambar dipinjam dari glidemagazine.com dan thehelplessdancer.wordpress.com
DAN MOMENTUM PENYEMPURNAAN REGULASI PPN ATAS PENYERAHAN MEDIA REKAMAN SUARA OLEH DIDIK YANDIAWAN
R
ecord stores keep the human social contact alive. It brings people together. Without the independent record stores, the community breaks down with everyone sitting in front of their computers,� kata Ziggy Marley. Geliat Record Store Day Ziggy Marley adalah satu dari sekian banyak musisi yang sangat menghargai keberadaan toko retail musik. Pernyataan bersahaja itu diungkapkannya pada sebuah momen yang diselenggarakan secara rutin setiap hari sabtu pada minggu ketiga bulan April setiap tahunnya. Pada hari itu, seluruh dunia memperingatinya sebagai Record Store Day. Record Store Day adalah sebuah hari di mana seluruh 54 I TUCZINE.TUMBLR.COM
record store (toko kaset/cd/piringan hitam) menjadi ajang berkumpul bagi seluruh insan musik dari label, musisi, fans dan kolektor musik untuk merayakan ‘the art of music’. Di tengah peralihan gaya konsumsi musik di era digital, Record Store Day memiliki misi untuk mengembalikan kejayaan rilisan fisik sekaligus menjadikannya perayaan budaya yang unik melalui perilisan piringan hitam dan cd dalam kemasan spesial pada hari tersebut. Pada tahun 2007, tercatat lebih dari 700 toko musik independen di Amerika Serikat dan ratusan toko serupa di dunia memperingati Record Store Day. Ratusan musisi dan band mengadakan penampilan spesialnya di hari ini, dari showcase, meet and greet, sesi tanda tangan dan sebagainya. Pada tahun 2013, Record Store Day
diselenggarakan serentak di seluruh dunia pada tanggal 20 April 2013. Antusiasme terhadap Record Store Day meningkat dari tahun ke tahun. Bagi pecinta dan kolektor musik, rilisan fisik tak dapat tergantikan oleh rilisan digital. Perusahaan rekaman menangkap gejala ini sebagai peluang emas dengan merilis album musik dalam format klasik, piringan hitam maupun kemasan khusus (boxset). Di Indonesia, beberapa musisi turut merilis piringan hitam serta boxset, meskipun dalam jumlah terbatas. Bagi beberapa perusahaan rekaman dan musisi, diferensiasi produk rekaman adalah pembeda utama dalam menembus ketatnya persaingan di tengah ketidakpastian pasar industri musik Indonesia saat ini.
Regulasi PPN atas penyerahan media rekaman suara Media rekaman suara dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak (BKP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebagaimana telah diubah terakhir dengan (s.t.d.t.d.) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang, penyerahan BKP berupa media rekaman suara di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha digolongkan sebagai penyerahan yang terutang PPN. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010, penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan BKP berupa media rekaman suara ditetapkan menggunakan Nilai Lain. Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Berdasarkan PMK tersebut, Nilai Lain untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata, di mana ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (Kepdirjen) Nomor KEP-81/PJ./2004 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Suara s.t.d.t.d. Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-4/PJ/2008. Peraturan tersebut mengatur mekanisme pemungutan PPN atas media rekaman suara di Indonesia melalui penebusan dan penempelan Stiker Lunas PPN pada produk rekaman berupa kaset, cd, vcd, ld, dvd dan media rekaman lain. Selain itu, ketentuan tersebut mengatur hal-hal teknis seperti konten dan jenis media rekaman suara, harga jual rata-rata berbagai produk rekaman suara, spesifikasi Stiker Lunas PPN, tata cara penatausahaan dan penebusan Stiker Lunas PPN dan asosiasi pengusaha rekaman suara yang ditunjuk sebagai pemberi rekomendasi dalam penebusan Stiker Lunas PPN. Meskipun telah diatur sedemikian rupa, masih terdapat beberapa hambatan yang terjadi di dalam pelaksanaan pemungutan PPN atas produk rekaman suara. Pertama, perusahaan rekaman independen dan lokal (label) belum terdaftar secara resmi sebagai anggota asosiasi pengusaha rekaman suara, sehingga label mengalami kesulitan dalam penebusan Stiker Lunas PPN. Akibatnya, sering dijumpai produk rekaman suara diperjualbelikan tanpa disertai stiker lunas PPN. Kedua, perusahaan rekaman independen dan lokal (label) telah terdaftar secara resmi sebagai anggota asosiasi pengusaha rekaman suara, akan tetapi
tidak menyertakan Stiker Lunas PPN dalam produk rekaman suara yang diperjualbelikan. Ketiga, peraturan pelaksanaan berupa Perdirjen yang menginduk pada PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak belum diterbitkan. Akibatnya, jika mengacu pada Kepdirjen Nomor KEP-81/PJ./2004 s.t.d.t.d. Perdirjen Nomor PER-4/PJ/2008 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Suara terdapat beberapa hal yang berpengaruh terhadap penerimaan negara dari sektor produk rekaman suara yang diakibatkan beberapa hal. Pertama, konten dan jenis media rekaman suara ditafsirkan berbeda oleh pengusaha rekaman. Contoh: musisi Indonesia yang menciptakan lagu dengan lirik bahasa asing atau menggunakan lisensi untuk menyanyikan lagu musisi luar negeri, seharusnya dibubuhi stiker kaset kategori B atau cd jenis CD.2, tetapi dibubuhi stiker untuk kaset kategori A maupun cd jenis CD.1. Kedua, harga jual rata-rata berbagai produk rekaman suara di tingkat toko retail telah mengalami penyesuaian harga. Contoh: harga jual rata-rata CD.2 (cd berbahasa asing yang diproduksi di Indonesia) yang berlaku adalah Rp. 48.000, sementara harga jual rata-rata berkisar antara Rp. 50.000 s.d. Rp. 150.000. Ketiga, asosiasi perusahaan rekaman suara yang ditunjuk untuk memberikan rekomendasi yang diperlukan dalam rangka penebusan stiker lunas PPN telah mengalami perubahan (ada yang kepengurusannya non-aktif maupun baru). Keempat, terdapat media rekaman suara yang belum diatur mekanisme pembubuhan Stiker Lunas PPN-nya. Contoh: piringan hitam dan file digital yang dikemas dalam produk rekaman berupa flash disk atau bentuk lain yang belum lazim. Sehingga, apabila beredar, produk tersebut dikenai PPN dengan mekanisme pemungutan PPN tanpa Stiker Lunas PPN. Momentum penyempurnaan regulasi PPN atas penyerahan media rekaman suara Perubahan adalah sebuah keniscayaan menuju kesempurnaan. Menelaah hal-hal tersebut di atas, terdapat beberapa langkah penting dan strategis yang dapat ditempuh oleh Ditjen Pajak, di antaranya, pertama, penyempurnaan regulasi PPN atas penyerahan media rekaman suara melalui penerbitan Perdirjen yang menginduk pada PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Kedua, pelaksanaan pertemuan khusus (rapat dengar pendapat, diskusi panel, workshop dsb) dengan para pelaku industri rekaman suara, yang meliputi perusahaan rekaman, asosiasi pengusaha rekaman, musisi, media massa dan kolektor musik dalam rangka merumuskan kebijakan
perpajakan atas penyerahan media rekaman suara yang berkeadilan dan menjamin kepastian hukum antara pemerintah dan pelaku industri rekaman suara. Ketiga, peningkatan pembinaan dan pengawasan terhadap celah penyimpangan maupun penyalahgunaan penggunaan Stiker Lunas PPN dengan memaksimalkan penyuluhan, penyadartahuan, himbauan maupun penegakan hukum. Keempat, pemberian fasilitas perpajakan bagi pelaku industri rekaman suara dari hulu ke hilir melalui penyederhanaan penatausahaan dan penebusan Stiker Lunas PPN maupun kebijakan lain yang bersifat strategis. Kesimpulan Korelasi antara Record Store Day dengan kebangkitan industri musik dunia tidak terpisahkan. Setidaknya, kegairahan pecinta musik melalui kehadiran rilisan fisik telah mendaur ulang selera dan cara menikmati musik. Hal terpenting yang harus disadari bersama adalah perlunya kerjasama yang erat antara pemerintah dengan pelaku industri rekaman suara di Indonesia. Iklim usaha industri rekaman suara yang kondusif ditopang oleh kepatuhan pelaku industri rekaman suara terhadap peraturan perpajakan yang mempunyai kepastian hukum yang dapat diandalkan dan tidak multi tafsir. Mari bersinergi demi kebangkitan industri musik Indonesia.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 55
PENADAH LUDAH
SERBA SERBI KASET OLEH CHRESNO DAROE WARSONO
S
ebagai kolektor yang telah puluhan tahun bergaul dengan kaset, bolehlah kiranya senior kita, bapak Chresno Daroe Warsono, berbagi sedikit ‘hal-hal remeh’ tentang medium musik yang pernah jaya tersebut. Kiranya bisa menambah wawasan bagi yang hanya sebentar, atau malah tidak, mengalami era perkasetan. Ya, kita yang muda-muda dan wangi. Badan kaset Seingat saya, dulu badan kaset kebanyakan berwarna putih keabu-abuan. Ini saya lihat di kaset-kaset lama milik orang tua saya. Saat sudah suka kaset, saya masih mengalami yang berwarna putih itu. Produksi Aquarius dan Yess pada awalnya berwarna putih. Di masa berikutnya lebih dominan berwarna hitam. Yess pun berganti hitam sekaligus berganti design/logo di 56 I TUCZINE.TUMBLR.COM
4gambar dipinjam dari jamesriverfilm.wordpress.com
badan kaset. Setelah masuk era lisensi, pada awalnya, seingat saya, ada dua produsen yang bermain: Aquarius yang memegang lisensi Warner, Electra, Atlantic, Emi dan lain-lain, serta King’s Record yang memegang lisensi Mercury, Polidor, Polygram, Vertigo dan Columbia. Kemudian muncul juga Musica yang memegang lisensi BMG dan RCA. Beberapa waktu kemudian muncul Suara Sentral Sejati dan Indo Semar Sakti yang memegang lisensi label-label yang sebelumnya dipegang King’s Record (dalam hal ini saya tidak tahu apakah King’s Record berubah nama atau bagaimana) plus lisensi dari beberapa label lain seperti Roadrunner, Sony, Epic dan lain-lain. Pada awal era lisensi ini, badan kaset berwarna putih, biru dan hitam. Produksi Aquarius tampilannya bagus, dengan nama artis, judul album dan susunan
lagu tercetak di badan kaset. Sedangkan produksi Musica lumayanlah, ada nama artis dan judul album. Sementara produk King’s Record dan Suara Sentral Sejati sangat buruk, tidak ada cetakan nama artis dan judul albumnya. Makanya terpaksa saya bikin sendiri labelnya. Repotnya, dua produsen tersebut memegang lisensi bandband yang saya suka: Metallica, Bon Jovi, Yngwie Malmsteen, Europe, L.A. Guns, Anthrax dan lain-lain. Jadi saat itu mau tidak mau, ya saya koleksi. Selain badan kaset jelek begitu, sampulnya pun tidak bagus, cetakan dan kertasnya. Kertasnya kadang terlalu tipis sehingga gampang sobek dan kadang terlalu tebal sehingga kalau dilipat memenuhi kotaknya. Setelah kenal ebay, koleksi saya yang produksi King’s Record dan Suara Sentral Sejati sedikit demi sedikit saya jual dan menggantinya dengan kaset impor atau sekalian saya ganti cd.
Badan kaset berwarna tersebut tidak berlangsung lama. Kemudian muncul badan kaset yang transparan, dan sepertinya semua produsen kaset memakai kaset jenis ini. Sama seperti sebelumnya, pada produksi Suara Sentral Sejati tetap tidak ada cetakan nama artis dan sebagainya. Sebetulnya produsen lokal, pada tahun ‘70-an pernah memproduksi kaset yang bagus. Di badannya sudah tercetak nama band dan judul album, meski pakai stiker, bukan tercetak langsung. Kotak dan sampul Pada awal saya kenal kaset, sampulnya sudah dalam bentuk cetakan berwarna, tidak jauh berbeda dengan sampul jaman sekarang. Kecuali satu produsen, Yess, yang bertahan dengan sampul dengan foto yang ditempel. Sempat juga saya punya kaset produksi Aquarius yang pakai foto seperti itu, tapi kaset itu saya beli dalam keadaan bekas, jadi kemungkinan itu produksi tahun ‘70-an. Sayang kasetnya sudah hilang. Sementara kotak kaset tidak banyak berubah, kecuali bagian belakang. Kaset-kaset lama kebanyakan tutupnya (bagian belakang) berwarna hitam. Kalau sekarang bening seperti bagian depan. Pernah juga populer sampul kaset dari kardus yang menyelubungi kotak kaset, tapi model seperti ini kebanyakan yang C-90, album-album ‘the very best’. Kebetulan saya masih punya beberapa, produksi Team dan Aquarius. Produksi Team lebih bagus, sampulnya sampai bagian dalam, ada foto dan cerita tentang band. Sementara produksi Aquarius sampulnya hanya bagian depan, di dalamnya tidak ada apa-apa. Ada juga beberapa kaset yang sampulnya dibungkus plastik dan ditempel menyelubungi kotak kaset. Yang banyak muncul di akhir masa kaset non-lisensi dan di awal era lisensi adalah kotak atau sampul dari plastik tebal. Di bagian luar kotak plastik ini ada lapisan plastik bening yang melindungi sampul kertasnya. Sampul kertas ini bisa diambil/ ditarik keluar. Kadang sampul ini bisa dibuka lebar berupa poster dan ada lirik di dalamnya. Kotak seperti ini sebetulnya lumayan bagus, anti pecah, tapi saya kurang suka. Soalnya kalau ditaruh di rak kaset memakan
banyak tempat. Pada awal era lisensi, produk King’s Record banyak yang memakai kotak seperti ini, tapi sayang koleksi saya yang seperti itu sudah tidak tersisa, sudah saya jual semua dan diganti yang cetakan impor. Yang tersisa cuma kaset Nourma Yunita dan beberapa kaset artis Indonesia, karena tidak ada impornya. Merk pita dan durasi Tulisan BASF Maxell TDK (merek pita kaset) dan C-45 C-60 C-90 (durasi kaset dalam menit) seingat saya hanya muncul di jaman kaset lama, sebelum era lisensi, kecuali untuk kaset kosong. Saya sendiri tidak tahu kenapa pada masa itu merk pita kaset ditampilkan oleh produsen. Kadang-kadang logonya malah dicantumkan juga di sampul kasetnya. Sedangkan durasi yang paling popular di Indonesia saat itu adalah C-60, yang bisa memuat satu album plus beberapa lagu tambahan. Seringkali lagu-lagu tambahan ini yang mempengaruhi keputusan kita untuk membeli kaset produksi siapa. Misalnya, saat itu Deep Purple merilis “Perfect Stranger”, saya memilih produksi Billboard (King’s Record) karena lagu-lagu tambahannya adalah lagu-lagu dari karir solo para personilnya, sementara produksi lain lagu-lagu tambahannya adalah lagulagu Deep Purple dari album lama yang sudah saya miliki. Beberapa waktu kemudian barulah populer durasi C-90. Dengan durasi itu, banyak dirilis kaset 2 in 1. Satu kaset memuat dua album, side a dan side b dari album yang berbeda. Dan juga muncul banyak kaset ‘the very best’, tentu dengan jumlah lagu yang lebih banyak dari albumalbum ‘the best’ (C-60). Ketika masuk era lisensi, merek pita kaset sudah tidak pernah kelihatan dan durasi kaset sama persis dengan durasi album aslinya dalam piringan hitam. Write protection tab Di bagian bawah kaset (kalau lubang pita kita anggap atas), ada tab di kiri kanan, ini semacam write protection tab kalau di disket. Kalau tab ini kita patahkan, kaset tidak bisa buat merekam. Soalnya, kalau kita tekan tombol [rec] di player, di bagian bawah tray kaset akan muncul semacam jarum tumpul yang akan menekan bagian tab tersebut. Kalau jarum itu tertahan, proses merekam akan berjalan, tapi kalau jarumnya tidak tertahan (karena tab-nya sudah tidak ada) proses merekam tidak bisa jalan. Pada kaset-kaset produksi Amerika atau Eropa, tab tersebut sudah tidak ada. Jadi kalau mau merekam di kaset impor tersebut, lubang tab-nya harus ditutup selotip.
Harga Kaset pertama saya beli saat masih kelas 1 smp, sekitar tahun 1982/83, berjudul “Best Hard Rock I, 19701980” produksi Billboard. Saat itu saya beli seharga Rp. 1.500. Kalau tidak salah ingat, harga kaset terakhir sebelum masuk era lisensi adalah Rp. 1.750 untuk C-60 dan Rp. 2.250 untuk C-90. Mungkin Mas Andria yang segenerasi bisa mengoreksi. Pada awal era lisensi, harga kaset berkisar di Rp. 4.000, terus naik Rp. 5.000, dan terakhir saya beli sekitar Rp. 6.000. Setelah itu saya tidak mengikuti lagi hargaharga kaset. Berhenti mengoleksi kaset Menjelang dan awal ’90-an adalah jaman keemasan kaset di Indonesia. Yang saya ingat, tahun 1988 produsen kaset mulai menggunakan lisensi, dan awalnya agak jarang mencetak album baru. Memasuki tahun 1989, produksi kaset mulai meledak. Hampir tiap minggu selalu ada kaset baru, baik album baru maupun lama yang dicetak ulang dengan lisensi. Jaman itu produksi kaset kita lumayan cepat. Yang saya ingat album Guns ‘N Roses “Use Your Illusion” yang tanggal rilisnya di sini hampir bersamaan dengan jadwal rilis internasional. Jadi saat media membahas album tersebut, kasetnya sudah di tangan. Masa-masa itu saya masih kuliah D3 tingkat II, sudah berpenghasilan, sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk melewatkan kesempatan mengoleksi kaset sebanyak-banyaknya. Alhasil, saat lulus saya tidak punya tabungan. Saya berhenti mengoleksi kaset pada 1994, ketika wabah alternative rock merajalela. Saat itu, album-album baru yang sebagian besar bergenre alternative rock tidak menarik lagi bagi saya. Kayaknya lagu yang paling pas untuk mengiringi kisah saya saat itu adalah “Where Have All the Good Times Gone!”nya Van Halen.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 57
PENADAH LUDAH
(MUSIK DALAM FORMAT) KASET,
DI ANTARA ROMANTISME DAN KENYATAAN OLEH MOH. HIJRAH LESMANA
I
jinkan saya mengenang dan beramahtamah dengan jaman musik berformat kaset (pita) lewat tulisan singkat ini. Mari kembali ke lima belas tahunan yang lalu. Saya mengenal musik dari sebuah benda yang dinamakan kaset, diputar di sebuah alat yang bernama tape compo atau walkman dan diperdengarkan ketika hendak tidur atau lagi ngumpul bareng. Benda dan alat ini bersinergi sebegitu bagusnya sehingga seringkali mampu membuat saya ternyenyak dalam tidur ketika mendengarkan alunan suaranya. Kaset jualah yang membuat sebuah nama band berkibar di seantero negeri karena penjualan kasetnya mencapai jutaan kopi. Hasil penjualan kaset itu adalah indikator kuat bahwa band tersebut sangat digemari oleh penikmat musik. Sebab di jaman keemasan kaset itu, sebuah band dengan lagu-lagu bagus lazim menjual albumnya jutaan kopi. Mari kita sebut semisal Sheila on 7, Padi atau Dewa. Band yang mampu menjual jutaan kopi adalah band papan atas, yang menjual ratusan ribu kopi adalah band papan tengah, dan seterusnya. Itu kalau mau dibikin perumpamaan. Hasil penjualan kaset itu adalah sektor pendapatan terbesar dari sebuah band selain dari konser. Pendapatan dari album dibagi dua, yaitu kontrak tetap, dan kontrak mengikuti hasil penjualan. Kontrak tetap berpijak pada berapapun hasil penjualan, sebuah band hanya mendapatkan sesuai nilai di kontrak awal. Sedangkan jika sesuai penjualan, penghasilan band didapat dari seluruh penjualan album, semakin tinggi penjualan, semakin besar penghasilan, dikurangi biaya rekaman, promosi dan bagi hasil dengan perusahaan rekaman. Tentu, keduanya memiliki nilai untung-rugi yang berbeda-beda. Itu sebabnya, kala itu band pasti menggantungkan diri kepada album yang bagus dan konser keliling/tur, selain merchandise dan sponsor berupa brand ambassador. Romantisme itu... Kaset bisa berubah fungsi dari hanya sekadar sebuah benda yang bisa menghibur lewat nyanyian, tetapi juga sarana berinteraksi antar persona. Sebagai contoh, jaman ketika smu, kaset seringkali dijadikan kado atau kenang-kenangan 58 I TUCZINE.TUMBLR.COM
4gambar dipinjam dari otmblog.com
kepada teman, sahabat, kekasih atau gadis yang disukai. Kaset bisa menjadi kado yang cukup mahal untuk ukuran waktu itu, selain nonton bioskop atau mentraktir di sebuah cafe. Ketika memberikannya ke seseorang, tak lupa di dalamnya ditulisi “tulisanmu bagus, aku pinjam buku catatanmu lagi ya...”, atau, “semoga kaset ini mengingatkan persahabatan kita yang tak lekang oleh waktu”. Ada juga yang menulis, “jika rindu aku, cukup dengarkan lagu di kaset ini”. Ahh.... Di dalam kaset juga ada kertas lux yang bergambar cover album, lirik, nama/ biodata personil/band dan ucapan terima kasih (thanks to...). Cover album bisa jadi ikonik dan tak lekang oleh waktu. Lirik membuat pendengar menjadi memahami makna lagu dan ungkapan hati penulisnya. Dengan begitu, tercipta kedekatan emosional antara band dengan penggemarnya. Sementara ucapan thanks to membuat penggemar tahu latar belakang pembuatan album, siapa saja yang berperan di dalamnya, bagaimana prosesnya dan yang lebih penting, tak satupun band/penyanyi bisa bekerja sendiri. Satu lagi, bau kaset baru sangat khas, saya suka menciumi bau kertasnya serta menyimpan kertas cukainya. Kesukaan saya membaui kertas kaset yang baru ini juga berlaku pada koran atau majalah yang baru dibeli, seringkali masih hangat. Bagi saya, itu adalah ritual yang sakral. Berdamai dengan kenyataan Konon, perubahan itu adalah sesuatu hal yang pasti, karena pada dasarnya manusia selalu berinovasi, bosan menikmati sesuatu yang lama dan selalu bersemangat menanti sesuatu yang baru. Meskipun, tentu saja, ada yang tidak ingin berubah dan merubah diri. Itu hanya soal persepsi. Dalam dunia kaset pun begitu, di mana kemudian muncul lagu dalam format mp3, di mana alasan kelahirannya adalah lebih efisien (tidak berupa fisik dan memakan tempat), mudah didapat (tidak seperti kaset yang seringkali harus menunggu distribusi sampai ke toko kaset atau unduh dari internet), murah (sekeping cd mp3 bisa berisi ratusan lagu, bandingkan dengan kaset yang biasanya hanya 10-15 lagu) dan tahan lama (bisa diputar-putar ulang asalkan punya player, bandingkan dengan kaset yang bisa rusak,
pitanya putus atau tergulung dan suaranya bisa menurun kualitasnya seiring waktu). Saya menduga kemunculan lagu dalam format digital (mp3) seiring dengan booming-nya penggunaan internet di awal 2000-an. Orang mulai mengenal email, download, gadget (handphone, mp3 player) dan lain sebagainya. Dengan alasan di atas, orang tidak lagi menunggu kaset dikirim atau bolak-balik ke toko kaset untuk menanyakan apakah album band anu sudah ada atau belum. Orang tidak lagi membelanjakan sebaian besar uang jajannya untuk membeli kaset, meski sebagian orang, termasuk saya, sangat menikmati penantian itu dan selalu menyenangkan ketika pergi ke toko kaset, membeli, membuka bungkus, menulis tanggal pembelian di cover kaset dan memutarnya ketika butuh teman untuk pengantar tidur. Sekali lagi, bagi saya, itu adalah ritual yang sakral. Bagaimanapun, Anda bisa bersikap dengan 2 hal, tetap pada pendirian dengan tidak terbawa arus perubahan, atau mengikuti perubahan. Faktanya, perubahan tidaklah dapat dilawan, ia hanya dapat diajak berdamai dengan asumsi bahwa segala sesuatu itu ada masanya, perubahan tinggal menunggu waktu. Saya termasuk yang terbawa arus perubahan, membeli cd mp3 bajakan, menikmati lagu dari gadget dan meninggalkan semua kenangan tentang kaset di belakang. Puluhan kaset saya hibahkan ke teman, poster bonus dari kaset saya lepas dari tembok kamar dan tape compo masih tertinggal di rumah mantan pacar (padahal saya hanya meminjamkan, bukan memberikannya). Tapi saya masih mencintai kaset. Sungguh. Kaset adalah inspirasi dalam berbagi hal. Menulis lagu, menulis surat cinta atau pencarian jati diri masa remaja. Saya tidak anti-perubahan, tetapi lebih memilih berdamai dengan kenyataan. Saya masih menyimpan koleksi kaset lawas, meski tak lagi punya tape compo atau walkman. Bukan sebagai hiasan atau pamer, tetapi untuk memaknai perjalanan kehidupan remaja saya, bagaimana cinta pertama saya pada musik metal dan tentu saja, perjalanan kaset itu sendiri.
.
PENADAH LUDAH
KEJUTAN DI MALAM TERAKHIR
AQUARIUS MAHAKAM OLEH DIDIK YANDIAWAN
S
ebagai salah satu pengunjung reguler toko rekaman musik, berakhirnya operasi Aquarius Mahakam menjadi perhatian khusus. Jauh sebelum pemberitaan di berbagai media massa, cetak dan elektronik, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke toko ini. Bahkan sebelum rencana penutupan toko diberitakan, saya lebih intens berkunjung ke sana. Daya tariknya adalah diskon dan promo untuk item tertentu, termasuk diskon 10% album rilisan terbaru. Hingga frekuensinya semakin meningkat di pertengahan s.d. akhir Desember 2013: seminggu tiga kali. Aquarius Mahakam seperti tempat bertamasya audio visual. Seperti toko retail album musik lainnya, ritual menjelajahi rak cd dan dvd musik di Aquarius Mahakam adalah terapi. Ada energi dan daya tarik besar yang menghisap saya ketika memandangi artwork sampul album yang terpajang di rak. Di Aquarius Mahakam, saya selalu mengunjungi rak favorit saya: rak rilisan album terbaru dan album terlaris setiap minggu. Dari kedua rak itu, saya memantau album musik apa saja yang telah dirilis dan laris terjual. 31 Desember 2013 menjadi hari terakhir beroperasinya Aquarius Mahakam. Sejam sebelum ditutup, saya sudah berada di sana untuk membeli album-album yang masih tersisa. Ini hal sulit, mengingat pada kunjungan-kunjungan sebelumnya, beberapa album telah terbeli. Kesulitan lainnya adalah koleksi album yang dipajang semakin menyusut. Kondisi yang ada mempersempit pilihan, namun tidak menyurutkan niat untuk membeli cd di Aquarius Mahakam untuk terakhir kalinya. Suasana Aquarius Mahakam menjelang penutupan nampak menyedihkan. Hanya tersisa empat deret rak pajangan yang terisi penuh. Satu deret rak untuk rilisan baru, berhadapan dengan satu
deret rak berisi cd musik internasional yang tersisa. Dua deret rak lainnya masing-masing diisi dengan kaset dan campuran cd dan dvd musik Indonesia dan Asia Timur. Rilisan baru masih diberi fasilitas diskon 10%, sedangkan rilisan lainnya didiskon sebesar 70%. Segenap kru Aquarius Mahakam hadir untuk melayani beberapa pengunjung toko. Pak Alyaw tampak melayani sesi wawancara dengan salah satu jurnalis media cetak dengan ramah. Karyawan dan karyawati masih menjalankan tugasnya. Mulai dari mengecek ketersediaan barang, melayani pertanyaan konsumen, hingga melayani transaksi. Pengunjung toko yang hadir mengabadikan beberapa momen dan sudut penting di dalam toko. Saya baru saja menyelesaikan transaksi pembelian cd. Malam itu, saya membeli cd Samsons - “Perihal Besar” (2013), kaset Glenn Fredly - “Lovevolution” (2010), cd Robert Plant - “Manic Nirvana” (1990), dan cd Kids In Glass Houses - “In Gold Blood” (2012). Beberapa rilisan baru telah terbeli pada kunjungan sebelumnya. Setelah membayar saya tidak segera pulang, saya memotret beberapa sudut-sudut rak favorit saya. Rak yang kosong sukses memerangkap kenangan saya di sana. Di antara hiruk pikuk kru Aquarius Mahakam melaksanakan tugasnya, jelang pukul 21.00 Pak Alyaw selaku manajer toko menghampiri saya dan beberapa pembeli. “Teman-teman, jangan pulang dulu. Tunggu sebentar, kami ada kejutan malam ini,” ujar beliau dengan nada yang antusias. Kamipun turut antusias. Beberapa pembeli tengah menyelesaikan transaksinya. Sekitar lima pembeli. Tepat pukul 21.10, kami berkumpul di ruang tengah untuk mendengarkan pernyataan resmi dari Pak Alyaw. Kami membentuk lingkaran kecil. Suasana mendadak penuh kecamuk aura haru dan
sedih. “Terima kasih kami ucapkan kepada teman-teman semua yang telah menemani perjalanan Aquarius Mahakam sampai saat ini. Yang jelas kami sudah berusaha.” Pak Alyaw membuka sambutan terakhirnya dengan lantang dan menyandarkan tubuhnya pada meja kasir. Dengan tatapan nanar dan gerakan mengusap dahi sebelah kirinya, Pak Alyaw melanjutkan sambutannya. “Semua yang kita jalani adalah proses. Sekali lagi saya say thank you kepada kalian yang telah melakukan semua yang terbaik,” ujar beliau. Sebelum menutup sambutan terakhirnya, Pak Alyaw mempersembahkan kejutan kepada lima pengunjung terakhir yang masih berada di toko. Setiap pengunjung berhak memilih sendiri tiga cd promo secara cuma-cuma. “Silahkan pilih, gift dari kami sebagai kenang-kenangan,” kata beliau sambil tersenyum kepada kami. Tepuk tangan mengakhiri sambutan terakhir dari Pak Alyaw. Kamipun bergegas memilih beberapa cd. Beruntung, saya mendapat tiga, yaitu Bette Midler - “Bette”, Wendy Matthews - “The Essential”, dan Livingston Taylor – “Carolina Day”. Jika harus membayar, ketiga cd tersebut memiliki harga di atas Rp. 300.000 pada harga normal. Setelah mengambil kenang-kenangan, kami dipersilahkan untuk berfoto bersama Pak Alyaw dan kru Aquarius Mahakam. Foto bersama itu menutup perjumpaan saya dengan Aquarius Mahakam. Sepenggal diskusi penutup mengenai latar belakang penutupan toko, kondisi industri musik terkini, hingga rencana toko retail Aquarius di masa depan menjadi momen penutup. Gerbang dan tirai telah ditutup. Poster raksasa bergambar promo album Luciano Pavarotti, Katy Perry dan Neonomora di sisi toko menjadi saksi terakhir perjalanan Aquarius Mahakam di malam pergantian tahun baru. Selamat jalan, Aquarius Mahakam.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 59
PENADAH LUDAH
CURHAT SEORANG METALHEAD OLEH OLAP LINDEI DAMANIK
A
da yang menanyakan, “mungkinkah kejayaan musik (metal) dalam bentuk kaset bisa kembali?” Pertanyaannya adalah, untuk apa? Sering sekali ketika pada saatsaat tertentu terjebak diskusi soal musik, banyak yang bilang musik (metal) itu mengalami kemunduran, tidak sehebat dulu lagi. “Sekarang murahan nggak berkualitas”, kata mereka. Sekarang untuk menjadi sebuah band itu gampang. “Gampang kalipun”, kata si Ucok kawanku minum tuak di sebuah lapo di pinggiran kota yang scene metalnya sedikit menggeliat akhir-akhir ini. Semua ada masanya Aku cuma ingin bilang: kenapa harus membanding-bandingkan semua itu? Nggak harus kan? Biarin ajalah. Bagi yang memegang nostalgia musik beberapa dekade lalu, ya nikmati saja dan kalian berbahagia dengan itu. Sama seperti saya, musik dari masa lalu juga sering menyalakan obor kebahagiaan di sudut hatiku. Hahahaha. Tapi sejujurnya, itu tidak sebesar ketika sejak era nu metal pada 2000-an yang menggelitik indera pendengaranku. Beda! Ketika Limp Bizkit, Korn, Creed, American Head Charge dan Slipknot begitu intens menjadi song list di Radio Metal Medan (Bonsita FM), yah merekalah yang punya andil menyuntikkan energi yang hebat bagiku dalam menjalani hidup yang pada saat itu sedikit tidak mudah. Maka biarkanlah berjalan apa adanya. Semua ada masanya, dan masingmasing punya massanya sendiri. Membanding-bandingkan tidak akan menghasilkan kesepakatan yang valid tentang itu, karena pasti akan sangat banyak cara pandang, cara mendengar, bahkan cara mengek60 I TUCZINE.TUMBLR.COM
spresikan rambutnya. Misalnya dengan hair spray. Bahkan ada lho temanku dulu menata rambutnya dengan bantuan pasta gigi. Cukup berhasil juga sih. Rambutnya jadi patuh mau dibuat berdiri sekokoh Mona juga oke, bahkan semiring menara Pisa di negara asal band power metal Secret Sphere. Temanku Fuas Rebel menyebutnya “Se-Croot Sphere”. Band keren ini coy. Perubahan dan metal Hidup ini terus berjalan kan? Semakin hari semakin tua saja. Berbanding lurus dengan perubahan-perubahan yang terjadi, bahkan semakin lama semakin cepat saja. Tapi apa itu membuat esensi dari metal tergerus? Yang kulihat sih tidak. Justru kalau menurut analisa saya yang tidak pernah berhasil menganalisa preview pertandingan bola, metal justru berkembang dengan sangat bagus. Kini kita dengan sangat mudah bisa mendengar karya-karya musisi metal dari seluruh jagat. Bahkan berinteraksi langsung dengan mereka. Semuanya kembali ke diri kita sendiri yang memilih mana yang paling kita sukai. Itu saja. Tak peduli meskipun dicap bukan metal atau tidak terlalu metal, biarkan saja. Kenapa rupanya? Toh ini soal pilihan! Pilihan coy! Jangan golput ya di pemilu April nanti. Jangan tiru saya, lha e-ktp-ku aja udah difoto tahun 2012 sampai sekarang belum kelihatan bangkenya kalaupun sudah tewas. Bahkan jika YKS yang kau sukai lalu kau mengaku metal, sukakmulah itu! Tapi maaf aku tak setuju ya, jangan marah kau! Lebih baik Dahsyat, kadang yang bening-bening di sana ‘dahsyat’. Mereka itu aliran deathsyatcore. Curahan hati seorang metalhead Beberapa bulan terakhir aku harus
ketinggalan banyak gig metal. Contohnya Hammersonic. Di Hammersonic 2012 aku pertama kali bertemu dengan si Bobby Durjahanam yang kali ini kembali menodong sebuah tulisan, entah apapun itu, pokoknya harus!! Udah kaya bupati berkumis saja dia ini, tapi sudahlah. Nah, apakah kini aku sudah bukan metalhead lagi? Ya masihlah, sampai mati aku metalhead. Tapi mau dinilai tidak juga nggak apa-apa, terserah saja. Terus, apakah aku kecewa ketinggalan gig-gig metal yang dulu bahkan sampai ke tempat yang jauh pun kurambah? Kecewa sih, tapi sedikit saja. Karena di suatu malam kudengar congornya Mario Ngeluh berkata, “hidup ini bukan tentang apa yang kuinginkan tapi tentang apa yang kubutuhkan.” So, aku baik-baik saja sejauh ini, berbahagia, masih tidak terlalu disukai atasan. Nah aku masih orang yang sama bukan? Hanya saja kini seorang wanita telah menjadi istriku. Terjebak oleh romantisme termetal yang kupersembahkan padanya. Dia hebat! Pernah ikut nonton sebuah gig metal lokal tanpa sedikitpun paksaan. Tidak terlalu lama memang, tapi aku pastikan aku telah memilih wanita yang tepat. Semua omong kosong di atas hanya untuk menguatkan keegoisanku yang begitu percaya perubahan. Semuanya berubah! Dan metal juga harus siap mengikuti perubahan itu tanpa kehilangan jiwa sejati dari metal itu sendiri. Medianya berubah, warnanya berubah, tantangannya tentu saja akan semakin kompleks. Tapi pendengarnya akan tetap sama: pemilik telinga yang sanggup mendengar raungan distorsi sebagai sebuah keindahan.
.
MENADAH LUDAH
TIKET KONSER, A STAIRWAY TO HEAVEN OLEH M. SYARIF MANSUR
4gambar dipinjam dari pojokjendela.wordpress.com
P
ada pertengahan abad 15 masehi, gereja katolik Roma pernah menawarkan konsep indulgensi, yakni penghapusan siksa dosa, dengan cara yang praktis, surat pengampunan dosa. Umat gereja ditawarkan lembaran kertas dengan nilai tertentu yang ditebus dengan uang untuk menghapus dosa-dosa tertentu. Pemikiran awal pihak gereja tentu saja tidak sesederhana itu. Dana dan uang yang diterima untuk bantuan gereja akan dianggap sebagai amalan baik yang dapat menambah kekudusan umat tersebut. Polemik mulai muncul ketika isu korupsi di kalangan gereja terdengar. Kejadian ini membuat pihak gereja menerima banyak penentangan sehingga kebijakan surat pengampunan dosa ditarik pelaksanaannya. Pemikiran yang sangat unik, bahwa dengan suatu bukti formalitas sederhana, seseorang yang ingin beramal dapat dimediasi. Mengenai apakah niat baik orang tersebut kemudian dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, adalah persoalan yang lain. Kemudian, bagaimana bila niat amal seseorang bisa dapat diterima dan dirasakan tidak menanti datangnya hari pengadilan akhir, melainkan seketika? Banyak proses kreatif yang bisa melibatkan hiburan, estetika dan aktifitas amal sekaligus. Pameran karya seni maupun pertunjukan konser musik dengan tambahan tema ‘charity’ adalah salah satu jawabannya. Sementara konser musik, adalah fenomena hiburan praktis yang paling dekat dengan masyarakat Indonesia saat ini. Sejak permulaan tahun 2009, Indonesia sudah mulai mendapatkan kepercayaan musisi internasional untuk dipilih sebagai salah satu negara lokasi perhelatan rangkaian tur konser dunia. Nama-nama musisi papan atas dunia yang memorable di senandung masyarakat Indonesia dari
berbagai genre dan segmen, sudah dapat dinikmati pertunjukannya secara langsung dan lebih dekat. Beyonce, Katty Perry, Dream Theater dan New Kids on the Block, adalah sedikit nama musisi yang berhasil melakukan pertunjukan di tanah air dengan tingkat antusias yang tinggi. Harga tiket yang tergolong premium, tidak mengurungkan niat pecinta musik untuk membeli tiket pertunjukan yang hanya berdurasi satu atau dua jam. Berapa pun harganya, tetap terbeli. Fenomena yang unik di tanah air adalah pada ketika rencana penyesuaian harga bahan bakar minyak yang akan mengalami kenaikan seribu lima ratus rupiah, di akhir Maret 2012, menjadi hal yang sangat tidak populer dan ditentang oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang mengkalim dirinya sebagai negara miskin. Tepat seminggu setelah aksi penolakan yang berupa demonstrasi dan vandalisme tersebut, 12.000 tiket konser boyband populer asal korea, Super Junior (SUJU), dengan rentang harga Rp. 500.000 hingga Rp. 2.000.000, habis terjual kurang dari 3 jam. Beberapa konser musisi internasional di tanah air, berapa pun harganya, tiket pertunjukan itu selalu sold out. Konser Andrea Bocelli di Hotel Ritz Carlton Jakarta di pertengahan tahun 2011 termasuk salah satunya. Harga tiket paling murah dibanderol dengan harga 2,5 juta rupiah, dengan varian kelas lain di harga 5 juta, 7,5 juta, 11 juta, 20 juta dan 25 juta rupiah . Pada awal penjualan tiket tersebut, 2 kelas tiket terbawah tersebut diklaim telah habis terjual. Mengapa barang tersebut itu bisa habis terjual, apakah karena harganya memang murah diukur dari manfaatnya? Worth it? Suatu barang dapat digolongkan premium ketika harga yang dibeli tidak semenda dengan manfaat yang diterima. Misalkan saja, 350 ribu rupiah, sebuah harga untuk pertunjukan konser musik berdurasi 1 hingga
2 jam. Di sebuah desa di Kabupaten Pacitan di Jawa Timur, terdapat sebuah profesi pemecah batu, dengan upah bulanan yang sama dengan harga tiket konser satu jam tersebut. Bila dipikirkan secara hikmat, tiket ini sudah seharusnya digolongkan menjadi barang mewah. Berdasarkan perundang-undangan perpajakan, dalam golongan barang tertentu, yakni barang mewah, harga atas barang tersebut selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Tiket konser pertunjukan musik dengan tingat harga yang premium, sudah saatnya dilirik untuk menjadi bagian dari kategori barang mewah untuk mendapatkan perlakuan khusus di dalam perpajakan di Indonesia. Harga tiket tentu saja mendapat tambahan beban harga. Apakah pecinta musik akan mendera protes? Fenomena telah menjawab, bahwa di tingkat harga berapa pun, tiket konser tetap menjadi incaran dan akan selalu habis terjual. Masyarakat juga sudah saatnya diberikan pemahaman tentang empati bermasyarakat. Hal ini bisa ditempuh dengan cara sederhana. Bahwa dengan membeli tiket dengan harga yang sudah mengandung unsur PPN dan PPnBM tidak hanya bisa memberikan hiburan bagi dirinya, namun juga kepada orang lain secara khusus dan kepada negara pada umumnya. Masyarakat pecinta musik dapat membantu negara dengan cara yang menyenangkan. Bukankah membantu negara menciptakan infrastruktur bermanfaat yang dinikmati banyak orang adalah pahala amalan yang luar biasa?
.
Penulis adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja. TUCZINE.TUMBLR.COM I 61
space for your ass
POINT OF VIEW
PERAYAAN RILISAN FISIK
Beberapa tahun terakhir, pecinta medium musik lawas berkumpul dan merayakan kenangan mereka, mewujud dalam Record Store Day dan Cassette Store Day. Dua hari di mana, bersama-sama penjual, kolektor, musisi dan pecinta piringan hitam serta kaset berinteraksi: berdagang, bertukar koleksi, melakukan rekaman, melakukan pertunjukan atau sekedar bernostalgia. Perayaan ini sedikit banyak memercikkan harapan akan kembalinya (atau setidaknya mengingatkan akan) kejayaan rilisan fisik. Mampukah? Bagaimana pendapat teman-teman TUC?
SURYA ISNAWAN “Susah. Karena memang penikmat musik jaman sekarang sudah terlanjur jatuh cinta dengan unduhan, terutama yang gratisan (walaupun tetap tidak mau rugi unduh yang flac). Rilisan fisik sekarang sudah mulai bergeser menjadi barang koleksi antik. Sekarang hanya kolektor atau yang benarbenar suka yang mau beli. Mungkin seru kali ya kalau rilisan fisik bentuknya semacam memory card begitu. Terus ada smartphone yang dilengkapi slot memory card khusus buat memutar. File memory card-nya juga tidak bisa disalin atau dihapus.” MARAHA SUFITRA “Hanya sebagai perayaan saja. Tidak mungkin mengembalikan kejayaan rilisan fisik.” NEVI EARTH “Susah. Kalaupun bisa, usaha yang dilakukan oleh penyelenggara Record Store Day harus ekstra besar. Karena jamannya sudah beda. Apalagi banyak yang sudah tak punya alat untuk memutar kaset. Kalaupun ada uang, mereka akan cenderung beli mini compo atau apalah namanya yang bisa memutar cd. Belum lagi banyak tautan di internet untuk rilisan album baru. Tinggal klik, unduh dan simpan, tak perlu beli kaset.” DERRY MARSELANO “Susah. Jaman sudah berubah. Apalagi kaset, pemutarnya pun sudah jarang. Jaman dulu informasi susah, saya sama temanteman dulu kalau beli kaset di seputaran Blok M itu tebak-tebakan. Jadi, misal ada lima orang beli lima kaset yang berbeda yang masih belum tahu itu musiknya seperti apa, terus bisa tukaran. Atau sekalian beli kaset kosong, terus direkam dan cover-nya di-copy berwarna. Maklum duit terbatas.” GIGIH SANTRA WIRAWAN “Sulit. Karena jamannya sudah berubah. Orang lebih mudah berbagi mp3 atau unduh dari internet ketimbang membeli kaset atau cd. Bahkan anak-anak underground pun sedikit yang mau meluangkan uang dan waktu untuk membeli cd asli.” ANDRIA SONHEDI “Kejayaan rilisan fisik tak bisa kembali. Sekarang orang suka yang digital. Orang lebih suka beli kaos bola daripada beli cd.” SAPTO SUPRIYANTO “Soal rilisan fisik, ada teknologi baru. Yang merilis Linkin Park, bentuknya seperti kubus, ada isinya file lagu yang bisa langsung diputar kalau kubus itu dicolokin ke smartphone. Tapi belum gali lagi, teknologinya macam apa. Mungkin itu suatu saat akan jadi pengganti rilisan fisik. Soalnya orangorang saat ini sudah susah lepas dari smartphone sebagai pemutar lagu. Menurut saya karena faktor mobilitas itu. Ribet juga kalau
“
Sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan kembali ‘tangible music’. Hanya masalahnya sosialisasi soal event ini sempit sekali, hanya ramai di lingkaran ‘hipster’.
beli cd padahal untuk diputar di perjalanan pulang-pergi kantor. Sekarangpun semakin banyak speaker portabel dengan bentuk hanya berupa satu kotak saja yang dipakai buat pasangan smartphone atau mp3 player. Itu membuktikan bahwa jaman sekarang mendengarkan musik itu mayoritas adalah secara mobile, tidak nongkrong di pojokan kamar sambil melihat-lihat artwork atau sampul seperti jamannya Pak Ketua. Tambahan, kalau tidak salah di amazon. com saja, kalau beli cd, dikirimkan juga file digital-nya.”
bisa jadi titik balik kebangkitan dan kejayaan jaman kaset dan sejenisnya, sehingga ada yang bisa kita wariskan nantinya, atau setidaknya untuk sekedar bernostalgia. Hidup mp3 gratisan!”
ARIEF HIDAYAT ADAM “Bagus. Mampu suatu hari nanti.”
AKBAR SAPUTRA “Susah, karena sudah populernya format yang ditemukan Karlheinz Brandenburg: mp3. Dari sini, industri kaset sudah mulai lemah, apalagi sekarang didukung oleh internet berkecepatan cahaya. Padahal saya suka kaset. Selain seperti suvenir, juga bisa diraba, bisa dirasa, dan sampulnya bahkan punya nilai tambah tersendiri. Pokoknya, hidup kaset. Bahkan pembajak kaset pun modal membajaknya lebih bonafit dibanding yang jual cd bajakan.”
POLTAK OCTAVIANUS SIMANJUNTAK “Record/Cassette Store Day sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan kembali ‘tangible music’. Hanya masalahnya sosialisasi soal event ini sempit sekali, tak menjangkau penikmat musik mainstream dan hanya ramai di lingkaran ‘hipster’. Padahal untuk membangkitkan ‘tangible music’ diperlukan permintaan dari massa yang besar, yaitu penikmat musik mainstream yang awam.” FADLI MORON “Menurut saya tidak bisa. Karena tidak seperti fashion, di mana suatu tren bisa berjalan mundur dan balik ke beberapa dekade yang lalu. Penggunaan kaset atau rilisan fisik menurut saya tidak akan kembali. Kecuali rilisan fisik bisa membuat suatu terobosan yang mengikuti perkembangan tekhnologi di era yang serba digital ini. Sekarang orang lebih butuh sesuatu yang simpel, tinggal klik maka apa yang diinginkan akan disajikan. Sekian dari saya. Salam ganteng.” GALIH WIBOWO NUSANTO “Walau sebenarnya saya jarang sekali beli kaset, namun tak bisa dipungkiri pada jaman kita bisa menikmati musik dari kaset yang benar-benar ada fisiknya (sampul, kemasan dst) adalah suatu keunggulan dibanding jaman sekarang. Memang sekarang kita mudah menemukan lagu tanpa harus bawa atau berkunjung ke toko dan pulang membawa fisik kasetnya. Tapi ketika suatu era membutuhkan sejarah, pasti yang minim rilisan fisik lebih cepat terlupakan. Jadi, semoga momen Record Store Day ini
ACHMAD SOFYAN RASYID “Efek kemajuan teknologi. Kita tidak bisa membendungnya. Walau ada sebagian orang masih menyukai bentuk pita maupun piringan hitam. Sama seperti kamera, dengan adanya digital, rol film jarang digunakan, tetapi masih dijual.”
RIDWAN FREDIAWAN “Definitely maybe. Setidaknya menjadi pemberitahuan bahwa masih ada penikmat musik yang menginginkan rilisan fisik, yang bagi pelaku industri musik harus ditimbang masak-masak biaya besar yang dikeluarkan untuk itu.” INDAH PUJIATI “Hari Belanja Online saja ada, sah-sah saja ada Record Store Day. Saya pernah mengalami berburu lagu-lagu Indra Lesmana karena ingin mendengarkan lagi, seperti dulu saat masih remaja. Hasilnya kutemukan dalam bentuk kaset, aku beli padahal tidak punya pemutarnya. Ya aku bela-belain beli walkman, walau untuk itu aku harus berburu lagi karena sudah tidak ada di pasaran. Bagaimana pun, kaset tetap ada peminat. Untuk berjaya kembali, hanya masalah waktu.” MUHAMMAD FAHMI “Tidak bisa. Jaman sudah berubah. Generasi instan dan tidak mau repot. Tinggal unduh. Record Store Day dan Cassette Store Day hanya sebagai pengingat bahwa pernah bersinar jaman rilisan fisik.”4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 65
“
Saya tidak mau terlalu ortodoks. Bentuk fisik cd dan kaset itu kan cuma badannya, jiwa dari musik itu ya lagu yang direkam di media itu, dan itu yang lebih penting. AJI REBEL “Kalau sekedar untuk nostalgia para penggemar kaset mungkin bagus-bagus saja. Tapi kalau mengharapkan event ini jadi momentum kebangkitan kaset kayaknya terlalu jauh. Apalagi belakangan ini semakin banyak website yang membagikan mp3 gratisan. Bahkan sebelum dirilis resmi pun kita sudah bisa menemukan mp3-nya. Salah satu toko kaset lawas di Blok M (Twin) juga kabarnya tutup karena mungkin sudah mulai berkurang yang mengoleksi kaset.” I PUTU RYAN DESSAPTASOMA “Terakhir saya beli kaset itu tahun 2007, album “Thornography”-nya Cradle of Filth. Sekarang semua kaset sudah digudangkan, entah mungkin ada yang sudah berjamur. Apakah kejayaan rilisan fisik bisa kembali? Tidak kayaknya. Kecuali ada bencana, terus jaringan internet sedunia mati dan tidak pulih, mungkin.” MOH. HIJRAH LESMANA “Perubahan adalah sesuatu hal yang pasti. Dalam dunia kaset pun begitu, di mana kemudian muncul lagu dalam format mp3, di mana alasan kelahirannya adalah lebih efisien, mudah didapat, murah dan tahan lama. Saya termasuk yang terbawa arus perubahan, membeli cd mp3 bajakan, menikmati lagu dari gadget dan meninggalkan semua kenangan tentang kaset di belakang. Tapi saya masih mencintai kaset. Sungguh. Kaset adalah inspirasi dalam berbagi hal. Menulis lagu, menulis surat cinta atau pencarian jati diri masa remaja. Saya tidak anti-perubahan, tetapi lebih memilih berdamai dengan kenyataan. Saya masih menyimpan koleksi kaset lawas, meski tak lagi punya tape compo atau walkman. Bukan sebagai hiasan atau pamer, tetapi untuk memaknai perjalanan kehidupan remaja saya, bagaimana cinta pertama saya pada musik metal dan tentu saja, perjalanan kaset itu sendiri.” 66 I TUCZINE.TUMBLR.COM
MOCH. SYAICHUDIN “Menurut saya, kayaknya tidak bisa. Jaman sekarang kebanyakan dari kita lebih suka yang efisien, baik penyimpanan maupun pemutaran, belum lagi perawatan pemutarnya. Kita butuh lagunya, bukan wadahnya. Ketika lagu bisa kita simpan pada suatu wadah yang efisien, maka kita pasti melakukannya, apalagi bila hal itu tidak mengurangi kualitas dari musik itu sendiri saat didengarkan.” ACENG SUNARYA “Jaman sekarang, rilisan fisik itu seperti porno. Enaknya dinikmati sendiri dan secara diam-diam. Kejayaan hanyalah milik penguasa pasar.” MASBOI “Hari Toko Rekaman/Kaset itu bagus. Karena sekarang adalah jaman perayaan. Apa-apa dirayakan. Terlihat klasik itu berkelas. Hal paling bagus dari itu adalah interaksi dengan orang-orang yang masih teguh berdagang rilisan fisik di tengah kondisi yang menyerupai penjara yang kehilangan sipir. Salut kepada mereka. Saya membayangkan, mengingat jaman sekarang orang-orang kota lebih giat belanja online, beberapa tahun lagi akan ada perayaan Hari Toko Kelontong. Hari di mana kita bisa berinteraksi sepenuhnya, bercanda, menggoda atau bertengkar dengan penjaga warung demi membeli keperluan mandi junub. Sekian. Salam wangi.” NIKO PRAYOGA “Tentang Record Store Day dan Cassette Store Day: f*ck it! Nobody cares. Sekarang serba digital, bung. Mp3 minimal 320 kbps, enough said.” ULY UGLY “Sebenarnya kami, terutama sih bang Herwin, masih penikmat dan pemburu kaset juga, tapi khusus untuk album-album lawas. Biasanya kami cari di Jl. Dipati Ukur No. 68 Bandung. Kalau untuk album baru biasanya kami beli dalam bentuk cd. Kami sangat jarang unduh dari internet atau copy file dari manapun. Mungkin untuk sekedar referensi, iya, tapi kalau suka pasti beli cd-nya. Karena memang, buat kami, selain menghargai hasil karya musisi dan kualitas suaranya, fisik album itu punya kesan, cerita dan pesan tersendiri dari pembuatnya. Entah sampul, gambar-gambar di dalamnya, ucapan terima kasih, bahkan bentuk fontnya. Tapi apakah fisik kaset bisa menggantikan yang sekarang? Buat aku pribadi, kalau bicara fisiknya saja mungkin agak berat ya, karena pemutarnya sendiri sudah jarang dan kurang portabel. Tapi kalau dari kualitas suara, analog lebih baik dari digital, jadi mungkin masih banyak yang mencari. Nah, kalau buat mereka yang cukup senang dengan file musiknya dari hasil unduh atau copy saja bagaimana? Jangan-jangan, mereka
tidak peduli dengan kebangkitan kembali bentuk fisik ini.” ANNASZ GHAZALI “Rilisan fisik itu sudah jauh dari masa kejayaannya. Sekarang, lihat saja bagaimana toko-toko cd dan kaset sepi. Orang beralih ke digital karena kemudahannya, kepraktisannya, ditambah media-media pendukung rilisan fisik juga sudah mulai jadi benda sejarah. Coba lihat tape recorder atau walkman. Tapi, jangan khawatir, namanya orang pasti masih ada saja yang dicari. Penggemar kaset dan cd juga masih banyak, walaupun tahu kalau mereka akan susah mendapatkan yang mereka mau. Saya sendiri bukan orang seperti itu, tapi selalu kagum sama orang yang punya koleksi ratusan kaset atau cd. Kualitas yang dihasilkan dari pita analog memang beda ya sepertinya, lebih nikmat. Yah, semoga keduanya bisa sejalan, jadi kita pendengar juga bisa memilih, mau mendengarkan versi yang mana. Realitanya sih susah, tapi kalau maunya sudah tidak mainstream, mau dibilang apa?” AJAR REDINDRA ISLAMI “Saya rasa susah. Tapi menurut saya pribadi, tidak masalah. Saya tidak mau terlalu ortodoks. Bentuk fisik cd dan kaset itu kan cuma badannya, jiwa dari musik itu ya lagu yang direkam di media itu, dan itu yang lebih penting.” RADEN ANDRIANA “Mungkin bagus ya buat membangkitkan kesadaran anti-pembajakan, tapi gw ragu bisa membangkitkan kembali kejayaan record store. Era digital memang lebih praktis dengan format file seperti mp3 atau aac. Tapi gw pribadi memang menyayangkan tutupnya record store seperti Aquarius yang legendaris itu. Sedikit banyak, ya dulu kenal musik kan lewat toko seperti itu. Walaupun format digital lebih praktis tapi tetap nggak bisa menghilangkan sensasi ada kemasan kayak kaset dan cd.” DIDIK YANDIAWAN “Record Store Day dan Cassette Store Day adalah gagasan yang bagus untuk industri musik. Setahun sekali, menghadirkan rilisan khusus, dan dirayakan di beberapa kota besar di dunia. Ini semacam terapi untuk pemuja format konvensional dan kolektor album fisik. Tak tergantikan dengan cara lain, karena kolektor selalu melihat produk rekaman sebagai satu kesatuan utuh (musik dan artwork), selain interaksi langsung dengan toko rekaman dan orang-orang yang ada di dalamnya. Era kejayaan rilisan fisik bisa terulang kembali, walaupun tidak dalam waktu dekat, dalam format lain yang belum terpikirkan. Pencapaian itu tetap bersandar pada pola konsumsi, selera pasar, kualitas album, promosi dan penetapan harga produk rekaman.”
.
POINT OF VIEW
CHRESNO DAROE WARSONO:
AKAN MENJADI BARANG KENANGAN
D
alam hal ini, mungkin perlu dipisah antara piringan hitam (record) dan kaset, karena pengaruh dari perayaan itu yang nampak di lapangan sangat berbeda. Sejak 2010 saya di Surabaya, di toko Mega Disc (sepertinya satu-satunya toko cd ‘beneran’ di kota ini) mulai banyak tersedia album-album piringan hitam baru, dan semakin banyak saja setiap kali saya ke sana. Dan kalau buka situs amazon.com, beberapa band juga mulai kembali merilis album dalam format piringan hitam, sesuatu yang jarang terjadi 3-5 tahun yang lalu.
Lain halnya dengan kaset. Belakangan ini makin jarang saja barang ini muncul di pasaran, di pasar online sekalipun, misalnya di ebay.com. Belum lama ini saya coba buka lagi ebay.com dan mencari kasetkaset rock, hasilnya sangat sedikit yang ada di sana, dan beberapa penjual yang dulu jadi langganan saya sudah tutup tautannya. Ini berbeda sekali dengan kondisi pada 20052011 ketika saya masih senang berburu kaset-kaset rock langka. Meskipun piringan hitam mulai meriah belakangan ini, saya tidak yakin hal ini bisa mengembalikan kejayaan rilisan fisik. Piringan hitam dan kaset, bahkan cd, akan menjadi barang kenangan. Hanya orangorang yang suka dan peduli dengan artwork di sampul album saja yang akan tetap mencarinya. Selebihnya, malah mungkin sebagian besar penikmat musik, sudah cukup puas menikmati musiknya semata. Sudah cukup dengan hasil unduh, baik legal maupun ilegal. Tahun 2010, beberapa bulan sebelum Aquarius Pondok Indah ditutup, saya sempat ke sana. Pas bayar, si kasir bilang kalau mereka mau tutup sambil membagikan stiker alamat toko online mereka. Waktu itu saya tanya kenapa bukan yang di Mahakam saja yang ditutup. Soalnya yang
di Mahakam kan sempit, susunan koleksinya amburadul dan kalau malam susah cari tempat parkir, sementara di Pondok Indah tempatnya lebih nyaman, luas dan susunan koleksinya lebih rapi. Si mbak kasir cuma jawab kalau Mahakam lebih ramai pengunjung. Mungkin dia mengitung jumlah pengunjung permeter persegi luas toko. Ya tentu saja karena lebih sempit maka hasil hitungannya lebih besar. Terus terang saya selalu merasa sedih jika ada kabar toko kaset/cd yang tutup karena bangkrut. Bagi saya sejak dulu, toko kaset adalah tempat paling nyaman di muka bumi ini, di mana saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam tanpa terasa. Tahun 1988-1991 saat kuliah di Jakarta, Aquarius Mahakam (yang sebelumnya di Gedung Aldiron, sekarang Blok M Plaza) menjadi tempat kunjungan saya hampir setiap hari sabtu. Kemudian tahun 19941997 saat kuliah D4 giliran Aquarius Pondok Indah yang rutin saya kunjungi, karena lebih dekat dari Jurang Mangu. Ketika dibangun kembali pasca kerusuhan memang saya sudah jarang ke sana, tapi masih beberapa kali dalam setahun. Sepertinya di masa datang, tidak bisa diharapkan akan ada lagi toko kaset/cd yang seperti dulu.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 67
30
MY LIST
OLEH MARDHANI MACHFUD RAMLI
P
ernahkah Anda mendengarkan lagu “Big Yellow Taxi” yang dibawakan oleh band dari California yang bernama Counting Crows? Mungkin ada di antara Anda yang belum tahu bahwa lagu itu telah dibuat 30 tahun sebelumnya oleh Joni Mitchell. Atau mungkin Anda pernah mendengar lagu “Crossroads” yang disisipkan oleh John Mayer di album terakhirnya “Battle Studies” dan tak menyangka kalau lagu tersebut telah direkam pada tahun 1937 oleh Robert Johnson dengan judul asli “Crossroad Blues”. Dan mungkin masih membekas di ingatan kita fenomena Inul Daratista yang membawakan lagu “Final Countdown” sambil mengebor panggung. Lagu tersebut adalah milik grup band asal Swedia: Europe. Yap, jelas bahwa Counting Crows, John Mayer dan Inul Daratista menyanyikan apa yang kita sebut sebagai 68 I TUCZINE.TUMBLR.COM
‘cover version’. Sayangnya dalam hal ini Inul Daratista adalah contoh yang buruk. Cover version atau membawakan lagu orang lain dengan aransemen sendiri sering dilakukan oleh musisi/penyanyi sebagai sebuah tribut atau penghormatan kepada artis yang lagunya di-cover tersebut, atau bisa juga untuk mendomplang popularitas semata. Contohnya banyak di Indonesia ketika penyanyi yang baru diorbitkan membawakan lagu yang pernah ngetop biar namanya ikutan melejit, tanpa ada unsur tribut atau penghormatan. Beberapa waktu lalu saya isengiseng membuat list 30 lagu cover version terbaik menurut saya dan teman-teman di twitter dengan hastag #Top30Cover. Walaupun setelah rampung saya merasa masih ada yang kurang, ada yang hilang, oh ternyata memang sedang lupa pakai celana dalam! Well, here we go!
30
4gambar dipinjam dari alternavox.net
“Oh Pretty Woman” - Van Halen (Roy Orbinson). Versi hard rock dari soundtrack “Pretty Woman” ini terdengar lebih segar, lebih liar.
29
“Rollin n tumblin’” - Cream (Muddy Waters). Petikan gitar Eric Clapton membawa lagu blues klasik ini ke ranah psikedelik rock.
28
“To Love Somebody” - Dara Puspita (Bee Gees). Overdriven version dari srikandi-srikandi musik Indonesia yang telah lama terlupakan. Simply cool.
27
“If I Fell” - Maroon 5 (The Beatles). Suara seksi Adam Levine dengan aransemen yang lebih lembut. Nice song.
0
TOP COVER SONGS 8
“Love in Vain” – The Rolling Stones (Robert Johnson). Ini salah satu alasan kenapa saya selalu bilang britrock itu milik orang kulit hitam!
26
17
7
25
“Bold as Love” - John Mayer (Jimi Hendrix). John telah meperkenalkan siapa dia sebenarnya kepada dunia lewat lagu ini. Lagu sentimentil dari sang dewa gitar dalam kemasan pop modern.
16
6
24
15
5
23
14
4
22
“Come Together” - Aerosmith (The Beatles). Steven Tyler berhasil membawakan lagu dari band ‘anak baik-baik′ ini ke wilayah yang lebih liar. Anggap saja ini lagu milik The Rolling Stones.
13
3
21
12
“Two of Us” - Aimee Mann/Michael Penn (The Beatles). Sebuah lagu dari album cover version terbaik dari The Beatles. Soundtrack dari “I Am Sam”.
20
11
“Easy” - Faith No More (The Commodores). Saya suka part solo guitarnya. Versi yang ini lebih ear catching.
“You Really Got Me” - Van Halen (The Kinks). Lagu ini mencuatkan nama Van Halen pada tahun 1978 dengan sound khasnya yang ‘basah’. “Hush” - Deep Purple (Billie Joe Royal). Versi yang lebih ngerock. Lagu ini juga pernah di-cover oleh Kula Shaker.
“Only Love Can Break Your Heart” - The S.I.G.I.T (Neil Young). Lagu manis yang dibawakan dengan apik oleh band post-rock n’ roll asal Bandung. “Love Song” - 311 (The Cure). Versi ini lebih slow. Pop nuansa pantai dengan aransemen yang lebih ciamik.
19
“Wind Cries Mary” - Jamie Cullum (Jimi Hendrix). Well, Hendrix adalah musisi lintas jaman, lintas genre. Lagu ini buktinya.
18
“How Deep Is Your Love” - Take That (Bee Gees). Saya kenal Bee Gees dari lagu ini, versi Take That dengan klipnya yang fenomenal.
“I Gotta Feeling” - Beck (The Beatles). Lagu ini merupakan original soundtrack anime Beck. Band fiktif tapi cover version-nya sangat keren. “The First Cut Is the Deepest” Sheryl Crow (Cat Steven). Kalau “Sweet Child O Mine” versi Sheryl Crow kacau, yang ini kebalikannya. “Hey Joe” - Jimi Hendrix (The Leaves). Dengan raungan gitarnya, Hendrix telah mengisi jiwanya di lagu ini. Versi aslinya malah kurang populer. “School Days” - AC/DC (Chuck Berry). Angus Young membawa lagu klasik Chuck Berry ini ke era overdrive yang menghentak. “While My Guitar Gently Weeps” - Santana (The Beatles). Simply soulful. Si opa Santana ini sangat keren.
“Crossroads” - John Mayer (Robert Johnson). Lagu blues sakral yang dibawakan apik oleh sang popstar. Riffagenya lebih ke versi Cream sih sebenarnya.
10
“Crossroads” - Cream (Robert Johnson). Sekali lagi Eric Clapton mengangkat blues klasik nan sakral ini dalam kemasan psikedelik.
9
“I’m Only Sleeping” - The Vines (The Beatles). Lagu alternative rock 90an ini sebenarnya adalah lagu era 60-an. Percaya atau tidak, John memang jenius.
“Live and Let Die” – Guns ‘n Roses (Wings). Versi epik dari lagu Mc Cartney yang juga jadi original soundtrack film yang berjudul sama. “Last Kiss” - Pearl Jam (Wayne Cochran). Lagu mistis yang dibawakan dengan manis oleh Eddie Vedder dkk. Konon kabarnya lagu ini punya kutukan. “I Will Survive” - Cake (Gloria Gaynor). Lagu yang membuat Cake terkenal. Masih ingat bassline-nya yang khas itu kan? “Fire” - Red Hot Chili Peppers (Jimi Hendrix). Keberadaan Frusciante sebagai reinkarnasi langsung Hendrix membuat lagu ini lebih hidup. Bukti lain kejeniusan lintas jaman sang dewa gitar. “Big Yellow Taxi” - Counting Crows (Joni Mitchell). Lagu ini juga pernah dibawakan ulang oleh Bob Dylan, tapi saya lebih suka versi yang ini.
2
“All Along the Watchtower” - Jimi Hendrix (Bob Dylan). Intro lagu ini merupakan salah satu guitar-work paling berpengaruh di jamannya. Lagu ini telah mengangkat Hendrix sebagai pahlawan gitar paling berpengaruh saat itu.
1
“Little Wing” – Stevie Ray Vaughan (Jimi Hendrix). Bermodalkan soul dan skill dalam satu kemasan, SRV berhasil membawa lagu epik ini ke ranah virtuosoic. Sekian Top 30 Cover Songs terbaik versi saya dan teman-teman saya yang metal-metal itu. Kalau beda dengan versi Anda, ya maaf. Akhir kata, sekian dan terima kasih.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 69
MY LIST
T
4gambar dipinjam dari northendwaterfront.com
idak semua lagu berakhir hanya sebagai pengisi kekosongan dengaran. Lebih dari sekedar sekumpulan rima berlagu dan bersusun nada. Beberapa lagu terlahir untuk abadi menemani perjalanan manusia selama berabad-abad. Berevolusi bersama tempat dan waktu. Maka jika seni suara adalah salah satu tolak ukur dari suatu peradaban dan kebudayaan, lagu berikut adalah penanda sahihnya: “The House of the Rising Sun” telah, secara tradisi dan tanpa terpasung hak cipta, menjadi lagu rakyat paling banyak disenandungkan. Pada 1964, band Inggris, The Animals dalam debut self-titled Amerika mereka, merekam dan merilis apa yang kemudian menjadi versi paling populer dari ratusan versi lagu ini. Single tadi menjadi tembang nomor satu di Inggris Raya, Amerika Serikat, Swedia, Finlandia dan 70 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Kanada saat itu. Membuka memori kolektif orang-orang yang sempat tenggelam akan eksistensi lagu ini. Dua tahun sebelumnya Bob Dylan juga memasukkan lagu ini album debutnya, tapi kurang populer. Dia malah sempat dituduh menjiplak The Animals. Seperti semua lagu dan cerita rakyat yang berawal dari tradisi oral, pencipta dan sejarah rinci lagu ini tidak pernah lebih dari ‘kabarnya’. Beberapa menyebut lagu ini berasal dari warga pedesaan New Orleans abad 18. Alan Price dari The Animals bahkan menyebut kalau lagu ini berawal sebagai lagu rakyat Inggris abad 16 yang dibawa ke Amerika oleh para imigran generasi awal. Versi paling awal yang pernah direkam, diketahui adalah oleh pemain banjo dan gitar Clarence Ashley bersama kawannya Gwen Forest pada 1933 dengan judul “Risin’ Sun Blues”. Clarence, yang mengetahui lagu ini dari kakeknya me-
mainkannya secara lambat dengan nuansa blues folk klasik yang sangat menawan. Dari sinilah kemudian struktur lagu ini dikenal dan diikuti sekarang. Mungkin dari situ pula, selain karena akar historisnya yang lekat dengan masyarakat kelas bawah, lagu ini kemudian banyak dinyanyikan ulang oleh para penyanyi dan musisi blues. Lagu ini sendiri, dalam versi tradisionalnya, adalah tentang kegetiran dan penyesalan seorang wanita, yang bersama pujaan hatinya, seorang penjudi-cum-pemabuk, menghabiskan waktu dan terpenjara di ‘house of the rising sun’, yang kemudian oleh sebagian musikologis ditafsirkan sebagai rumah plesir pria dewasa. Dalam lirik nanar, tersirat sang wanita berpesan agar apa yang dialaminya menjadi pelajaran bagi yang lainnya. Oleh The Animals, subyek penceritanya diubah ke sudut pandang seorang pria.
HOUSES OF
THE RISING SUN 30 COVER TERBAIK “THE HOUSE OF THE RISING SUN” OLEH BOBBY DURJANA Kemudian, lagu ini telah dinyanyikan dan digubah ulang entah berapa kali oleh entah berapa penyanyi dan musisi, terkenal dan tidak terkenal, dalam berbagai macam genre, aransemen dan bunyi, baik direkam dan dirilis secara resmi sebagai single, dalam album atau sekedar homage di atas panggung. Belum lagi versi The Animals yang dijadikan sampling oleh entah berapa musisi hip-hop (untuk ini saja saya bisa membuat daftar lain). Lagu ini, dari masa ke masa, telah seringkali mengalami berbagai macam interpretasi dan penyesuaian lirik tapi struktur dasar notasi dan pesan moralnya tidak pernah berubah. Selain yang disebutkan sebelumnya, tercatat Nina Simone, Frijid Pink, Jimi Hendrix, Lead Belly, Sinéad O’Connor, The Doors, The Adolescents, Toto, Muse sampai Walls of Jericho dan banyak lainnya pernah meng-cover lagu ini. Sebagai koleksi audio digital, saat ini saya memiliki kurang lebih 300 versi. Dan inilah yang saya coba lakukan: memilih 30 terbaik. Apakah saya telah mendengar semuanya? Setidaknya sekali, iya. Berikut adalah yang paling sering saya putar di daftar main, dan menurut saya, agak lebih enak didengar dari yang lainnya. Karena judul lagunya sama semua, saya cuma menulis nama artis, judul rilisan dan tahun rilis, kalau infonya dapat.
30
22
29
21
Declan Galbraith - “Thank You” (2006). Awalnya saya sungguh mengira suara vokal sengau di lagu ini adalah milik seorang wanita. Declan Galbraith ternyata seorang penyanyi remaja pria! Nina Simone - “Nina at the Village Gate” (1962). Sebuah nomor jazz yang bikin mengantuk dari penyanyi, pianis, penulis lagu sekaligus aktivis hak asasi manusia kulit hitam paling populer.
28
Jody Miller - “House of the Rising Sun” (1974). Tembang country pop ‘70-an yang pelan dan syahdu.
27
Toto - “Through the Looking Glass” (2002). Toto memainkan lagu ini dalam album yang berisi lagu-lagu cover dari musisi-musisi yang berpengaruh terhadap mereka.
26
The Be Good Tanyas - “Chinatown” (2003). Versi lembut dan sedikit country dari grup folk Kanada. Hampir tanpa karakteristik intro gitar yang terkenal itu.
25
Siobhan Magnus dan Haley Reinhart (2010 & 2011). Dua penyanyi wanita dari dua musim berbeda, tapi samasama keren saat membawakan lagu ini di panggung American Idol.
24
Leslie West - “The Great Fatsby” (1975). Ada banyak alasan memasukkan versi ini ke daftar. Salah satunya karena sound yang kaya instrumen dan vokal hebat.
23
Harlequin. Satu lagi band rock Kanada memainkan lagu ini dengan keren.
Harold Morton - “Old And New” (2006). Berawal dari musik tradisional, lagu ini memang paling pas dimainkan dengan irama folk dan country. Willie Logan - “House of the Rising Sun Blues” (2004). Salah satu versi blues rock yang keren.
20
Joan Baez - “Joan Baez” (1960). Sama seperti Bob Dylan, queen of folk ini merilis “House of the Rising Sun” di debutnya. Bedanya, Joan Baez lebih awal empat tahun dari The Animals. Sebuah versi gloomy hadir dari wanita yang sepertinya benar-benar menjiwai latar cerita dari lagu ini.
19
Brand New Sin - “Tequila” (2006). Awal yang pelan, vokal berat dan gitar yang meraung-raung di bagian akhir menjadikan versi ini cadas sekaligus sentimentil.
18
Flower Travellin’ Band - “Anywhere” (1970). Band psikedelik Jepang memainkan lagu ini dengan gaya mereka: akustik, pelan, sangat tenang dan tentu saja dengan vokal beraksen khas.
17
Muse - “NME in Association with War Child Presents 1 Love” (2002). Matthew Bellamy dkk menyumbangkan lagu ini dalam album amal untuk anak-anak korban perang. Termasuk salah satu dari tidak banyak lagu-lagu Muse yang saya suka.
16
The Midnight Sun Band - “From the Box” (2003). Satu lagi versi hard rock. Tapi ini lebih keren dan cadas dengan solo guitar panjang melengking. TUCZINE.TUMBLR.COM I 71
15
Woody Guthrie dan Roscoe Holcomb (1941 & 1961?). Meski lahir di tahun yang sama, dua musisi dan penyanyi ini merekam versi mereka di jaman yang berbeda. Hasilnya sama: lagu-lagu folk minimalis dengan vokal cempreng yang berdampak sangat besar di kemudian hari.
14
Scum - “Mother Nature” (1994). Saya penasaran bagaimana jika lagu abadi ini dimainkan dalam irama death metal, and there you go. Blast beat dan growl vocal tidak membuat lagu ini lebih buruk.
13
Zola Moon - “Tales of Love and Desperation” (2003). Damn, suara tante ini keren sekali. Another great blues rock with great vocal.
12
Nixer - “The House of the Rising Sun” (2003). Sedikit mabuk, banyak distorsi. Punk rock Austria dengan cara mereka. Agak lebih menghentak dari versi The Adolescents.
11
Lauren O’Connell - “Covers” (2012). Kalau versi Joan Baez gloomy, yang ini eery. Tidak salah jika kemudian dimasukkan dalam video promo serial American Horror Story musim ketiga.
10
Gregory Isaacs - “House of the Rising Sun” (1993). Yoo man, sebuah versi reggae yang nyaman untuk bergoyang.
9
Frijid Pink - “Frijid Pink” (1970). Banyak yang salah mengira versi ini adalah lagu Pink Floyd. Well, kalau definisi resmi rock psikedelik adalah seperti ini, maka saya suka rock psikedelik.
8
The Tony Rice Unit - “Unit of Measure” (2000). Saya lebih suka versi guitar instrumental seperti ini ketimbang versi Jimi Hendrix (maaf Kaka Dhani).
7
EverEve - “Regret” (2007). Vokal bariton the beast, riff gahar dan sedikit atmosfir opera dari keyboard. Versi gothic metal yang keren dari sebuah band Jerman. 72 I TUCZINE.TUMBLR.COM
4gambar dipinjam dari blogs.lib.unc.edu
6
Fescue - “Now And Again” (2001?). Versi bluegrass country yang melenakan. Serasa kembali ke jaman koboi dan masuk ke dunia Red Dead Redemption.
5
Clarence Ashley dan Gwen Foster (1933). Rekaman pertama yang diketahui. Saya membayangkannya disenandungkan sebagai penghiburan di jaman Depresi Besar. A traditional folk song at it’s best. What else to say?
4
BTO - “Trial by Fire: Greatest & Latest” (1996). BTO atau Bachman-Turner Overdrive memainkan lagu ini lebih maskulin. Grup hard rock Kanada ini menjadikannya favorit di konser-konser mereka.
3
Sinéad O’Connor - “Fire on Babylon” (1994). Sebuah versi kelam dan menghantui. Lebih gelap dari versi Joan Baez dan Lauren O’Connel.
2
Walls of Jericho - “Redemption” (2008). Tanpa saya sadari sebelumnya, ini mungkin saja versi “The House of the Rising Sun” paling pertama saya dengar. Saya cukup kaget waktu pertama mendengar lagu dan keseluruhan ep ini. Walls of Jericho
yang cadas, bersama Corey Taylor tiba-tiba bermain akustik dengan manis. Candace Kucsulain ternyata bisa bernyanyi, tidak hanya berteriak dan merengut.
1
The Animals - “The Animals” (1964). Saya begitu dalam masuk ke lagu ini saat pertama kali mendengarnya dalam scoring di film Italia, “La Meglio Gioventù” (2003). Intronya begitu memorable, dan saya mungkin akan terus mengingatnya meskipun suatu hari nanti terkena alzheimer. Versi The Animals ini ada di peringkat #123 dalam daftar 500 lagu-lagu terbaik sepanjang masa majalah Rolling Stone. Bagi saya, memang seperti inilah seharusnya lagu ini dimainkan. Tidak begitu mudah memilih 30 (sebenarnya 32) lagu-lagu ini. Karena setengah dari sekitar 300 itu keren, sisanya: sangat keren. Setidaknya menurut saya. Beberapa versi keren lainnya di-cover oleh Lewis & Lewis, LiliAna Rose, Mallu Magalhães, Ryan Sinn, Severe Overload, Stacks Edwards Blues Band, 50 Million Blues Band, Basement Rockers, Funky Junction, The Walkabouts, Lester Norton, Brian Robertson, The Adolescents, Eric Burdon Band dan Edward Simoni. Jadi, bagaimana dengan daftar kawan-kawan?
.
INSIDE TUC
MUSIM KAWIN DAN KUMPUL JOGJA
T
ahun 2013 bagi Tax Underground Community adalah musim kawin. Sepanjang tahun ini, setahu kami, setidaknya enam kamerad melepas masa jalang mereka, tidak termasuk yang menikah siri. Niko Prayoga yang menikah dengan Rafina Meydicyntia mengawali pada 13 April, dan dihadiri cukup banyak kamerad dari sekitar Jakarta, serta om Joni yang menyempatkan diri menghadiri hajatan tersebut sebelum bertolak menuju Bandung Berisik MMXIII, hari itu juga. Pada Januari 2014 ini putri pertama mereka lahir, selamat ya. Bang Olap yang tidak mau kalah akhirnya menikah juga pada 2 Mei, dengan Eliza Silviana Purba di Simalungun. Selamat, Bang! Enaklah kau. Mardhani Machfud Ramli menikah untuk kedua kalinya. Setelah bertahun-tahun sebelumnya menikah dengan blues, pada 7 Juni di Surabaya, dia menikah lagi dengan Alvita Eka Fatmawati. Kontributor kita, Didik Yandiawan, menemukan jodohnya di tempat yang rutin dikun-
junginya: toko retailer musik, dan menikahi Rini Puji Lestari pada 20 Oktober. Keduanya mengerti musik, jadi komplitlah. Bulan Desember mengantakan kita dua lagi kamerad yang menikah. Mustafid Amna pada awal bulan, dan Aditya Arad Wicaksono di akhirnya. Satu lagi kamerad yang menikah pada 2013 adalah Meidiawan Cesarian Syah. Sementara 2014 sedang dimulai, kabar gembira datang lagi setelah Bang Poltak mengumumkan akan menikah pada tanggal keramat 14 Februari di Jogja. Selamat ya kepada semua kamerad-kamerad. Semoga rukun dan langgeng. Until light takes us. Sementara untuk urusan kumpulkumpul, tahun 2013 boleh dibilang sepi. Makanya, pada awal 2014 ini, beberapa kamerad menginisiasi gathering di Jogja pada 25-26 Januari lalu. Pada gathering kali ini ibu Nevi Earth berlaku sebagai tuan rumah, dibantu oleh pak ketua, Andria Sonhedi. Berbeda dengan kumpul-kumpul sebelumnya, tidak ada pertunjukan musik
dan sebagainya. Lebih merupakan liburan akhir pekan yang menyenangkan bersama beberapa kamerad. Selain dua tuan rumah beserta keluarga, gath ini dihadiri oleh om Sap dan Igor, Gigih dan Chafalera, om Rebel dan nyonya, juga Annasz, dan Udin yang merupakan kamerad dengan asal daerah terjauh (Pekanbaru), serta Ajar dan kejombloannya. Berhubung ini adalah family gathering, kegiatan utamanya adalah bercengkrama sembari menikmati suasana malam dan kuliner khas Jogja, plus kegiatan cukup ekstrim, tur off road ke Merapi keesokan harinya. Meski dihadiri tidak banyak kamerad, kumpul-kumpul ini setidaknya menunjukkan kekompakan dalam keluarga berantakan TUC masih ada. Semoga berikutnya bisa lebih besar, lebih ramai dan dihadiri 666 kamerad dari seluruh Indonesia, dan diadakan di Makassar. Until black clouds gather us.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 73
GIG REPORT
PAKKURU’ SUMANGE’
DI AKHIR TAHUN YANG SEPI ROCK IN CELEBES 2013 CELEBES CONVENTION CENTER, MAKASSAR 12-15 DESEMBER 2013
HAJATAN TERBESAR INDONESIA TIMUR MEMASUKI EDISI KEEMPAT. SEKARANG MENGGANDENG FASHION SEBAGAI WUJUD EKSISTENSI SUBKULTUR ANAK MUDA MAKASSAR, SETIDAKNYA DALAM SEPULUH TAHUN TERAKHIR. OLEH PALLAWA RUKKA
S
aya baru mendengar berita gelaran Rock In Celebes keempat ini kira-kira sebulan sebelum berlangsung, dan langsung antusias. Bagaimana tidak, ini mungkin pertama kalinya saya menghadiri, seperti yang digempitakan, festival musik terbesar di Indonesia Timur tersebut. Saya selalu kecewa terhadap diri saya yang tidak pernah bisa menyempatkan diri menghadiri tiga gelaran sebelumnya. Bagaimana bisa, jauh-jauh saya sempat mendatangi Hammersonic dan Bandung Berisik, sementara yang di kampung sendiri belum pernah? Karena itulah saya antusias. Ditambah lagi, di tahun keempatnya ini, Rock In Celebes disandingkan dengan edisi perdana Celebes Clothing Fest, sebagai kesatuan dari perayaan 10 tahun Chambers, empunya hajatan, dan berlangsung maraton selama empat hari, menampilkan 40 band-band keren dari berbagai genre. Mulai band luar seperti Dashboard Confessional, band-band nasional hebat seperti Down For Life, C.U.T.S, Zorv, Inlander, Kapital, Suri, Navicula, The S.I.G.I.T, Seringai dan Burgerkill, serta produk asli tanah Sulawesi dan Makassar seperti The Box, Galarasta, Critical Defacement, The Gameover, Unremains, Frontside, Debluesfresh dan lain-lain. Menghitung di awal Satu yang sempat merisaukan, adalah acara ini digelar di tempat tertutup, hal yang menurut saya kurang sahih untuk festival musik besar. Sebagai seorang yang mendatangi acara serupa bukan cuma untuk sekedar melihat live performance band-band idola, tapi juga untuk merasakan langsung atmosfir festival yang dihadiri banyak orang yang memiliki attitude serupa dan kemudian bernyanyi bersama di tempat terbuka, indoor venue terasa, seperti tadi, kurang sahih. Padahal, saya sudah membayangkan, sekali lagi akan melihat banyak sekali kawan-kawan Makassar tumpah berbaur di satu tempat, seperti ketika terakhir kali melihat ribuan orang di Soundrenaline tahun 2006, di tempat yang tidak jauh dari tempat hajatan Rock In Celebes kali ini berlangsung. Satu pemakluman kemudian,
adalah acara ini diadakan di bulan Desember, yang berarti musim hujan sudah tiba, dan indoor venue adalah logis. Daripada becek tidak ada ojek, ya kan? Siplah. Terkutuklah yang mengeluarkan instruksi larangan cuti akhir tahun bagi pegawai yang tidak punya urusan mendesak. Karena beliau, saya kehilangan momen dua hari pertama yang jatuh pada kamis dan jumat. Syukurnya, aksi yang paling ingin saya saksikan, Navicula, dan sedikit kejutan kecil kemudian, Zorv, bermain di hari keempat dan ketiga. Setidaknya, saya bisa menyaksikan mereka. Bukan bermaksud tidak respek pada yang lain, saya mengangggap diri apes karena melewatkan C.U.T.S. di hari pertama dan Frontside serta The Box di hari kedua. Saya mendengar kabar ada kekecawaan penonton di hari pertama. Perihalnya adalah ‘penampilan’ Dashboard Confessional. Berbeda dengan edisi-edisi sebelumnya, sebagai satu-satunya headliner internasional, mereka ini pastilah sangat ditunggu, dan dengan musik mereka yang tergolong milik banyak kalangan, tentu saja yang hadir lebih banyak. Harga tiket hari pertama pun dibandrol dengan harga lumayan tinggi, dua kali lipat dibanding harga di hari-hari berikutnya. Yang memicu kekecawaan sebagian penonton adalah malam itu Dashboard Confessional tidak tampil utuh, hanya menyisakan Chris Carabba, vokalis, yang tampil akustik. Beberapa penonton keluar, dan bahkan menganggap ini sebagai pembohongan publik. Soalnya di semua media publikasi yang disebarkan pihak penyelenggara, yang disebut adalah Dashboard Confessional, bukan Chris Carabba. Untunglah, saya memang tidak menunggu mereka. Day #3 Oke, pada hari ketiga, dengan antusias tinggi takut telat saya menuju venue, dan tiba di sana sekira pukul 4 sore. Saya berpikir sudah melewatkan beberapa aksi setelah melihat rundown yang semestinya dimulai pukul 2 siang, dan ternyata baru Easy Going saja yang luput. Di dalam, saya mendapati Rock and Jamaica sedang tampil. Awalnya saya sungguh mengira mer-
eka ini sedang sound check saja, melihat jumlah penonton di depan panggung yang masih sangat sedikit. Itupun mungkin sebagiannya adalah panitia. But hell, acaranya ternyata memang sudah dimulai. Beberapa kawan menyahut, keadaannya memang seperti ini di dua hari sebelumnya, dan baru mulai ramai setelah break maghrib. Ini mungkin hal tidak nyaman yang musti dihadapi band-band yang tampil siang. Padahal kebanyakan mereka adalah band-band lokal Makassar yang bertalenta. Demikian, Rock and Jamaica yang saya dapati pertama kali itu tetap bermain enerjik. Mereka memainkan, seperti bisa kita tebak dari namanya, musik rock berpadu reggae yang asyik buat bergoyang. Hari itu mereka sempat membawakan satu lagu Bob Marley, kalau tidak salah “Get Up Stand Up”. Padahal saya berharap mereka memainkan “Lively Up Yourself”. Setelahnya saya sempat keluar venue mencari makan, dan melewatkan Obscenity, pasukan metal lumayan muda. Kembali ke depan panggung, Shibuya sedang tampil memainkan Japanese rock. Meski tidak tahu satupun lagu L-Arc-En-Ciel, saya berani bertaruh mereka memainkan setidaknya satu di antaranya. Kemudian ada unit death metal Critical Defacement. Barulah saat penampilan mereka ini area depan panggung menjadi lumayan ramai dan moshpit mulai terbentuk. Tidak perlu heran, Critical Defacement adalah salah satu pentolan dari kolektif Makassar Metal Syndicate yang tentu saja memiliki massa fanatik. Saya sendiri merapat dan merasakan dari dekat gempuran blastbeat bergemuruh. Selanjutnya ada The Gameover, unit punk lumayan lama di Makassar. Jeleknya, area depan panggung kembali sepi. Apa serunya menyaksikan band punk beraksi tanpa punkers yang pogoing di depan panggung? Padahal, sebenarnya komunitas punk di Makassar lumayan besar, bisa dilihat di acara-acara lain yang lebih proletar. Mungkin harga tiket yang lumayan mahal penyebabnya? Penampilan band yang baru merilis album ini sendiri mantap. Musik mereka enak buat sing-a-long. Saya sempat ikut meneriakkan “polisi dunia tai, polisi dunia tai, polisi dunia tai”.4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 75
3Ada jeda sebentar sebelum Zorv muncul di atas panggung. Sejujurnya saya deg-degan, haha. Salah satu band yang paling saya tunggu setelah bermingguminggu sebelumnya dibuat ter-grunch-kan kembali dengan album pertama mereka, “Savage”. Dan tanpa banyak basi-basi, mereka langsung menghajar dengan “Believe”, favorit saya. Dilanjutkan beberapa lagu lain seperti “Wealth” dan “Lore” yang sempat saya videokan. Untuk memancing crowd yang sebagian besar mungkin masih buta dengan lagu-lagu mereka, Danishwara dan kawan-kawan juga memainkan satu cover Nirvana, “School”. Jatah sekira setengah jam sebelum break maghrib dimanfaatkan betul oleh mereka. Aksi panggung anakanak muda asal Surabaya ini enerjik dan aktraktif, apalagi setelah Ragyl, pemain bass, melepas kaosnya. Di jeda antar lagu, beberapa kali mereka mengajak penonton berinteraksi, memperkenalkan diri, membagi cd, mengumumkan akan vakum dan mengomentari sepinya penonton. Yap, sayang sekali, penampilan sekeren mereka disaksikan sedikit saja penonton. Sayang sekali. Celebes Clothing Fest dan lainnya Saat jeda, saya menyempatkan diri ke bagian A venue, tempat Celebes Clothing Fest diadakan. Dari flyer, saya melihat ada sekira 50-an booth yang menjajakan berbagai macam merek yang akan membuat kita terlihat keren kalau memakainya. Karena ingin terlihat keren, saya membeli beberapa merch berupa kaos, cd dan buku. Mirisnya, suasana pengunjung di bagian ini lebih ramai ketimbang bagian B, tempat pertunjukan Rock In Celebes digelar. Beberapa orang mungkin beranggapan terlihat keren itu diukur dari fashion saja, sedang musik yang didengarkan tidak termasuk. Atau bisa juga ini disebabkan oleh harga tiket. Untuk masuk ke bagian A ini, kita cuma perlu membayar Rp. 10.000, sedang untuk masuk sampai ke bagian B, kita harus membayar Rp. 75.000. Ternyata terlihat keren karena selera musik itu, lagilagi berbenturan dengan masalah ekonomi. Selain pertunjukan musik keren dan fashion keren, ada juga acara sekunder lain yang tidak kalah keren. Ada pameran foto oleh fotografer-fotografer Makassar, 76 I TUCZINE.TUMBLR.COM
utamanya dari Stage ID Makassar. Melihat deretan foto-foto keren yang dipajang semakin menguatkan niat saya untuk tidak membeli kamera mahal dan mulai menggeluti fotografi panggung. Buat apa lagi coba? Di luar sana sudah banyak sekali fotografer panggung yang hebat. Selain pameran foto, acara sekunder lainnya adalah talkshow keren, dengan tema yang berbeda-beda setiap harinya. Melihat jadwal, seharusnya pada hari pertama dan kedua ada Erick dari Endang Soekamti membahas tentang kemandirian dalam berkarya dan Reza Utama dari Gee Eight Clothing membahas tentang menjalankan bisnis fashion. Pada hari ketiga ini temanya jurnalisme musik, dan diisi oleh salah satunya, siapa lagi kalau bukan, Wendi Putranto yang keren itu. Saya sempat melihatnya berbagi pengalaman dan kiat-kiat kepada para pemirsanya. Seharusnya, saya mengikuti talkshow ini sampai tuntas jika ingin menjadi jurnalis musik yang keren seperti Wendi, sayangnya Tuhan memanggil saya. Shalat maghrib dulu, coy. Saya hampir lupa, cara lain untuk terlihat keren itu adalah shalat maghrib tepat waktu. Kelar break, area depan panggung mulai ramai. Inlander datang dan menjajah panggung. Penampilan mereka merupakan salah satu yang paling mencolok di Rock In Celebes kali ini. Salah satu alasannya adalah sang vokalis yang mengenakan topeng, mirip dengan yang digunakan sang jagal dalam film “The Collector”, serta membawa megaphone bersamanya. Selain itu, well, mereka memang keren dengan musik cadas berirama gabungan metal, punk dan sirine. Selaras dengan tema lagu-lagu dari album terbaru mereka, “Ultimatum”, sang vokalis tak hentinya berorasi tentang konspirasi, penindasan dan pembalasan. Aksi apik mereka dibalas serupa oleh crowd yang lumayan liar membentuk moshpit di depan panggung, termasuk tiga anak kecil yang entah muncul dari mana, menaiki pagar barikade dan menjadi yang paling metal di antara kami malam itu. Saya belum pernah mendengar Inlander sebelumnya, tapi sejak
malam itu, saya adalah ekstrimis. Kelar Inlander muncul Suri, salah satu headliner yang membuat saya penasaran: seperti apa jadinya jika musik stoner dimainkan secara live di atas panggung? Benar saja, crowd yang tadinya sangat bersemangat di penampilan Inlander menjadi tenang dan dingin, alias bengong saja. Raungan musik berat dan lambat dari Suri memang tidak bisa memancing circle pit. Cukup dinikmati dengan duduk santai atau kalau ingin terlihat keren, dengan kamera. Saya sendiri, setelah mendengar tiga lagu, salah satunya dari ep “Kisah Kasih Lokalisasi”, mungkin karena capek, atau mengantuk, memutuskan pulang. Saya tidak sempat lagi menunggui headliner terakhir, yang paling ditunggu di hari ketiga ini, Seringai, dengan berbagai pembenaran. Salah satunya, saya bosan melihat Arian atau aksi mereka yang sudah dijamin beringas, dengan crowd yang juga padat beringas. Saya pikir saya tidak akan melewatkan sesuatu yang luar biasa, kecuali jika Arian tiba-tiba bermasturbasi di atas panggung malam itu. Day #4 Tidak begitu antusias dan sengaja datang agak sore, saya melewatkan nama-nama lokal keren: Black Light Phenomena, Tabasco, Accidental Killing, The WR, Necropsy dan Sick Stupid pada hari keempat ini. Satu-satunya aksi sebelum break maghrib yang tidak luput adalah Debluesfresh, blues rock binal asli Makassar. Seperti hari sebelumnya, penonton di area main stage belum ramai, tapi itu tidak menurunkan semangat band yang merilis
album kedua mereka tahun 2013 lalu itu. Saya cukup menikmati penampilan mereka, terutama si vokalis yang pecicilan-petakilanngehe-okkots-keren-bang agak mirip Jimi Multhazam, bergoyang berayun menimpali musik sedikit ngerock banyak ngeblues yang asoylah pokoknya. Sejujurnya, saya lebih bisa menikmati aksi live mereka ini ketimbang menyimak cd mereka di playlist. Aksi aktraktif vokalis tersebut ternyata pembedanya. Jeda break di hari terakhir ini benar-benar panjang. Aksi berikut yang semestinya pukul 7 petang sudah dimulai, molor sampai lebih dari satu setengah jam, yang di dalamnya diisi Kapital dan Navicula bergantian sound check. Entah molor entah disengaja molor untuk menunggu lebih banyak crowd yang datang, itu berhasil. Lebih banyak yang datang, dan semua yang sudah menunggu lama menumpahkan kekesalan mereka di setlist Kapital kemudian. Kalau memang Rock In Celebes 2013 harus pecah, maka malam inilah kesempatan terakhirnya, dan dimulai di sini. Semuanya kemudian memang pecah ketika Kapital akhirnya muncul dan memulai aksi mereka. Band metal asli Tenggarong yang mengangkat nama secara nasional lewat penyelenggaran festival metal skala internasional di belantara Kalimantan ini tahu benar bagaimana berkuasa di atas panggung, serta mendominasi dan membakar massa untuk terus berteriak, menganggukkan kepala, mengayunkan kepalan, melarutkan diri dalam pusaran circle pit tiada habis yang kemudian terasa sangat singkat dalam jatah sejam yang diberikan. Oh sungguh cepat berakhir. Kenyataan bahwa mereka, seperti juga kami, adalah anakanak kampung, hanya menambah kepuasan dalam salah satu aksi paling memorable dari Rock In Celebes 2013: Kapital. Well done, lads!!! Menghitung mundur Panggung kemudian beralih ke Navicula yang memulai dengan berhitung mundur: “Menghitung Mundur” dari album “Salto” mengawali aksi mereka malam itu. Kini bibir panggung dipadati rombongan ber-jeans belel berkemeja flanel lusuh (termasuk saya yang saat itu ber-jeans tidak
belel berkemeja batik bersih harum sekali), sedikit menggantikan barisan metalhead yang tadi tumpah di penampilan Kapital, yang sepertinya menyimpan tenaga untuk Burgerkill di penghujung malam. Beberapa lagu lain yang dibawakan Green Grunge Gentlemen malam itu di antaranya dari album terbaru, semisal track anthemic baru “Bubur Kayu” dan “Tom Cat”, serta deretan lagu-lagu lawas populer: “Aku Bukan Mesin”, “Refuse to Forget”, “Everyone Goes to Heaven”, “Mafia Hukum” dan “Metropolutan”. Dalam interlude, Robi seorang diri sempat pula memainkan satu nomor lama dari ’90an, yang sayangnya saya kurang familiar. Bagi saya, ini adalah momen paling dinantikan. Akhirnya saya bisa menyaksikan mereka, langsung di depan mata, di kampung sendiri pula. Saya kemudian merasa sejodoh dengan mereka setelah mendengar apologi Robi yang malam itu berbusana layaknya seorang magician; bahwa sebenarnya mereka sudah menjadwalkan untuk tampil di tiga gelaran Rock In Celebes sebelumnya namun selalu urung. Klop kan dengan kisah saya? Perasaan puas setelah melihat aksi panggung yang powerfull, lewat belasan lagu yang dimainkan dalam sejam lebih, bertambah komplit dengan cd album terbaru “Love Bomb” yang berhasil saya dapatkan malam itu. Menyaksikan Navicula menyelesaikan setlist mereka menjadi partisipasi terakhir saya di Rock In Celebes 2013. Seperti malam sebelumnya, saya juga tidak menunggu headliner terakhir dan penutup, Burgerkill, yang saja jamin pasti membuat metalhead Makassar dan crowd yang hadir benar-benar menggila. Apa lacur, saya sudah melihat penampilan live terhebat Burgerkill tahun 2013 lalu di Bandung Berisik. Sementara rombongan begundal berbondong-bondong masuk, riuh dan buas, saya menelusup keluar, meninggalkan venue, berpeluh dan puas. Menghitung ulang Keseluruhan, Rock In Celebes 2013 berlangsung sukses dan tertib tanpa gangguan berarti. Padahal bagian keamanan sudah sangat longgar. Selama dua hari saya bolak-balik keluar masuk gate, jangankan body check, pemeriksaan tas
saja tidak ada. Saya baru melihatnya saat keluar menjelang penampilan Burgerkill. Ini membuktikan anak-anak muda Makassar semakin tertib, tidak rusuh seperti yang selama ini diberitakan di luar negeri. Satu hal yang disayangkan, harusnya penjagaan di gate tidak meloloskan bayi masuk ke area main stage. Saya ngeri melihat seorang ibu goblok membawa masuk bayinya yang berumur baru beberapa bulan, lengkap dengan keretanya. Tentang jumlah penonton, saya tidak berani menerka, karena saya cuma menyaksikan dua hari, itupun tidak utuh. Penyelenggara sendiri belum mengeluarkan rilis resmi jumlah penonton selama total empat hari gelaran berlangsung. Secara jelas memang terlihat sepi di siang hari. Ini mungkin disebabkan di antaranya oleh durasi gelaran yang empat hari, sehingga konsentrasi keramaian terpecah. Ditambah lagi harga tiket yang bisa dibilang lumayan mahal, yang pasti membuat berpikir jika mau menghadiri semuanya. Mungkin berikutnya dipepatkan kembali dalam sehari atau dua hari saja, dan diadakan di tempat terbuka. Satu mimpi liar yang muncul kemudian, berhubung ini menyebut ‘celebes’ di namanya, alangkah serunya kalau di tahun-tahun selanjutnya diadakan bergiliran di kota-kota lain di Sulawesi: Manado, Palu, Gorontalo, Kendari, Mamuju atau Bantaeng sekalian, haha. Di balik beberapa kekurangannya, bagaimanapun juga, Rock In Celebes tetaplah salah satu festival musik (kali ini juga fashion) terbesar di Indonesia, dan di bagian tengah dan timur negeri ini dialah yang terbesar. Secara nyata menunjukkan progresi subkultur bawah tanah independen kota Makassar bersama skena musik dan komunitas kreatif yang terus berkembang dan mulai menjajarkan diri dengan fenomena serupa yang sudah lebih dulu tumbuh dan berkembang di kota-kota lain di Indonesia. Untuk itu, Chambers (termasuk segala cabangnya), sebagai salah satu katalis di Makassar, patut diapresiasi karena telah ambil bagian. Salut untuk mereka, dan terima kasih sudah membuat kami terlihat keren selama sepuluh tahun terakhir. Sampai ketemu di Rock In Celebes berikutnya. Kuru’ sumange’!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 77
GIG REPORT
KONSER 30 TAHUN SLANK - NGGAK ADA MATINYA GELORA BUNG KARNO, JAKARTA 13 DESEMBER 2013
MEMANG, SLANK NGGAK ADA MATINYA! OLEH DIDIK YANDIAWAN
30 TAHUN BERKARYA. 20 ALBUM STUDIO. JUTAAN SLANKERS.
P
otret mini Slank terpampang dalam satu persembahan kolosal di akhir tahun: Konser 30 Tahun Slank - Nggak Ada Matinya. Persembahan terbesar dari Slank untuk Indonesia ini berlangsung di Gelora Bung Karno, 13 Desember 2013. Jalan panjang menuju ulang tahun ke-30 Cikal bakal berdirinya Slank bermula dari sebuah grup bernama Cikini Stones Complex (CSC) yang dibentuk oleh Bimbim dkk pada tahun 1980. Band ini memainkan lagu-lagu The Rolling Stones. Kejenuhanlah yang mengantar Bimbim untuk meneruskan embrio bermusiknya ini dengan menggaet saudaranya, Denny dan Erwan untuk membentuk Red Evil, yang kemudian berganti nama menjadi Slank. 78 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Slank adalah nama yang berasal dari celoteh warga yang menganggap mereka selenge’an. Kata tersebut akhirnya dipelintir dengan mengambil aksen dan ejaan dari istilah “selenge’an” tersebut menjadi “Slank”. Sebuah momen di bulan Desember 1983 itulah yang kelak akan mengubah nasib Slank untuk selama-lamanya. Dikenal dengan sebutan “Formasi 13″, Slank dengan formasi Kaka, Indra, Pay, Bongki dan Bimbim menggebrak industri musik Indonesia dengan album perdana mereka, “Suit… Suit.. He… He… (Gadis Sexy)”. Album yang dirilis pada tahun 1990 tersebut berhasil mendulang sukses dan memutar mesin kreativitas mereka di album-album legendaris berikutnya: “Kampungan” (1991), “Piss!” (1993), “Generasi Biru” (1994) dan “Minoritas” (1995). Diselingi kesedihan akibat adiksi narkotika dan perpisahan personil, Slank menjalani tahun 1996 dalam era tergelap. “Lagi Sedih” (1996) menjadi album yang menunjukkan bahwa frustasi berkepanjangan dapat dihentikan oleh sebuah ‘aksi
penyelamatan’ seorang Slankers yang mengancam akan membunuh Bimbim apabila membubarkan Slank. Tak tanggungtanggung, surat bernada ancaman itu ditulis dengan darah! Album “Lagi Sedih” menjadi transisi menuju album “Tujuh” (1997) dan “Mata Hati Reformasi” (1998). Reynold yang menjadi additional player di album “Lagi Sedih” digantikan oleh kehadiran Abdee dan Ridho sebagai gitaris. Ivanka yang sudah berperan sebagai pemain bass di album tersebut meneruskan kerjasamanya dengan Slank. Kerjasama tersebut berlangsung tahun demi tahun. Bergulir seolah tanpa lelah, menuai satu demi satu album studio yang mengantarkan Slank menuju ke posisi yang lebih tinggi di industri musik Indonesia, dengan semangat yang lebih kuat. Jargon “Piss” hingga “Slank Nggak Ada Matinya” Bercermin dari masa lalu, Slank berhasil mempertahankan misi pendirian band. Salah satu misi Slank adalah men-
gangkat lirik dan lagu bertema sosial yang mengabarkan pesan perdamaian, kritik sosial dan solidaritas. Slank berhasil memasyarakatkan jargon “Piss” yang kemudian bermetamorfosis menjadi “Peace, Love, Unity and Respect” atau “PLUR” yang diperkenalkan pada album yang berjudul sama di tahun 2004. Selanjutnya, perlahan tapi pasti Slank memperkenalkan “Slankissme” di album berjudul sama yang dirilis pada tahun 2006. “Slankissme” mengandung tiga muatan makna: sebagai paham (“Slankisme”), wujud cinta kasih (“Slank Kiss Me”) dan jalan hidup (“Slank Is Me”). Makna itu disarikan dalam pedoman untuk Slankers yang bernama “13 Ajaran Nggak Sempurna Slank”: 1. Kita harus kritis; 2. Berjiwa sosial; 3. Penuh solidaritas; 4. Saling setia; 5. Selalu merdeka; 6. Hidup sederhana; 7. Mencintai alam; 8. Manusiawi; 9. Berani untuk beda; 10. Menjunjung persahabatan; 11. Punya angan/mimpi yang tinggi; 12. Menjadi diri sendiri; dan 13. Membuka otak dan mata hati kita. Slank menggenapi jargon tersebut dengan rilisan album ke-18 mereka, “Jurus Tandur” (2010). “Jurus Tandur” adalah akronim dari “Maju Terus Pantang Mundur”. Slank meyakini, bahwa yang perlu ditumbuhkembangkan di dalam pemikiran dan perilaku Slankers bukan hanya idealisme semata, melainkan semangat untuk maju dan bergerak, bekerja dan berkarya. Lagu-lagu yang menyemangati Slankers memang banyak muncul di era 2000-an. Tercatat ada lagu “Mars Slankers”, “Lo Harus Grak”, “Jurus Tandur” atau “SBY (Sosial Betawi Yoi)” yang berisi lirik penyemangat untuk Slankers. Pendek kata, stigma buruk yang melekat tentang Slank dan Slankers terbantahkan dengan semangat yang dijaga bersama oleh Slank dan Slankers. Film-film tentang Slank juga berhasil digarap dengan baik oleh Garin Nugroho, Dosy Omar dan Fajar Bustomi. Film-film tersebut masing-masing berjudul “Generasi Biru” (2009), “Metamorfoblus” (2010) dan “Slank Nggak Ada Matinya” (2013). Ketiga film tersebut mengisahkan perjalanan Slank
dari sisi lain yang jarang ditangkap oleh musisi Indonesia. Unsur seni diketengahkan pada karya Garin, dokumenter pada karya Dosy, dan biopic pada karya Fajar. Penggarapan film dilakukan dengan ketelitian dan riset sesuai era yang dipilih sebagai setting cerita. Konser 30 tahun Slank: Nggak Ada Matinya Jumat, 13 Desember 2013, Gelora Bung Karno menjadi saksi sejarah bagi Slank dan Slankers. Untuk pertama kalinya, Slank dan Slankers dipersatukan dalam stadion raksasa Indonesia dalam momen konser tunggal. Jauh-jauh hari, promotor konser, Megapro Communication dan sponsor utama konser, Clavo Premio menyatakan kesiapan bersama Slank untuk menggelar konser akbar tersebut. Konser dalam rangka perayaan ulang tahun Slank Ke-30, bertajuk “Slank Nggak Ada Matinya” tersebut menunjukkan eksistensi Slank di jagad industri musik Indonesia yang semakin tak terbantahkan. Pada hari bersejarah itu, The Painkillers dan Kotak didaulat sebagai pembuka konser. Kedua band tersebut tampil atraktif dengan membawakan lagu-lagu yang enerjik dari album sendiri maupun cover lagu Slank dan Metallica. MC Nirina Zubir dan Ronald Surapradja hadir menjembatani setiap perguliran acara dengan mulus. Sesekali mereka berinteraksi dengan Slankers yang hadir. Bernostalgia dengan potongan lirik dari lagu Slank, dinyanyikan bersama. Bunda Iffet Sidharta membuka jalannya konser dengan memberi wejangan kepada Slankers untuk menjaga ketertiban demi kelancaran acara. Ustadz Yusuf Mansyur juga membacakan doa untuk kelancaran acara. Setelah lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan massal oleh Slankers di bawah komando Roy Suryo, flare merah muncul dari sisi kiri panggung. Para personel Slank yang berada di ujung belalai ekskavator melambaikan tangan ke arah Slankers. “Tong Kosong” pun membuka jalannya konser dengan setlist 40 lagu tersebut. Aneka gimmick dipertontonkan.
Mulai dari visual pada layar latar panggung hingga aksi panggung dan tata suara yang memanjakan Slankers. Bintang tamu semakin menghidupkan euforia. Pada setlist bagian pertama yang berdurasi dua jam, Vava Imanez hadir pada lagu “Yo Man” dan “Bangsat”; Gita Wirjawan hadir pada lagu “Maafkan”, “Ku Tak Bisa”, “7 Mantra” dan “Bagimu Negeri”; dan Reynold hadir pada lagu “Koepoe Liarkoe”. Setlist bagian kedua diisi oleh Joko Widodo pada speech “13 Ajaran Nggak Sempurna Slank”; Ian Antono pada lagu “Bang Bang Tut”; Wel Welly, Indra Qadarsih dan Pay Burman tampil pada lagu “Anyer 10 Maret”, “Kalah”, “Feodalisme”, “Birokrasi Complex”, “Gadis Sexy” dan “PISS”. Hujan yang lebat di sepanjang konser tak menyurutkan Slankers untuk berhenti menyanyikan lagu bersama. Bendera Slank dari berbagai daerah silih berganti dibentangkan tingi-tinggi dengan tangan, tanpa tiang. Selepas lagu “PISS”, kue raksasa dihadirkan ke tengah panggung. Slank bersama seluruh pendukung acara turut merayakannya secara simbolis. Tiupan lilin mengakhiri momen tersebut dan serbuan seluruh artis pendukung di lagu “Terlalu Manis” dan “Pulau Biru” menyudahi setlist bagian kedua. “Kamu Harus Pulang” adalah lagu pamungkas di setiap konser Slank. Pada lagu ini, nyaris seluruh barikade di sekitar panggung tertutupi oleh Slankers yang menyelimuti panggung dengan bentangan bendera. Kaka bahkan menyempatkan diri untuk menyebutkan nama wilayah asal Slankers berdasarkan bendera yang mereka bentangkan. Slankers dari seluruh Indonesia tumpah ruah menjadi satu dalam titik puncak perjalan Slank selama tiga dekade ini. Malam itu, Slank dan Slankers menyatu dalam lindungan Tuhan berwujud hujan. Kisah yang sangat monumental berjalan apa adanya, serupa balada di lagu populer Slank, “terlalu manis untuk dilupakan…”.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 79
METALLICA GIG REPORT
HITAMKAN JAKARTA METALLICA ASIA TOUR 2013 - LIVE IN JAKARTA GELORA BUNG KARNO, JAKARTA - 25 AGUSTUS 2013
OLEH DIDIK YANDIAWAN
K
icauan akun twitter resmi Metallica, @Metallica, memupus dahaga penantian fans Metallica di Indonesia. Kicauan yang dirilis tanggal 5 Juli 2013 itu berbunyi, “Jakarta! It’s been 20 long years, we will see you again on August 25!“. Kicauan tersebut menegaskan press release konser Metallica di Jakarta yang telah diumumkan di website resmi mereka pada tanggal 4 Juli 2013. Luapan euforia di mana-mana. Tidak hanya di Jakarta, fans dari semua daerah mendadak terseret pusaran yang mempertemukan derasnya arus nostalgia dan romantisme Metallica. Selaku promotor, Blackrock Entertainment menjanjikan kesiapan ekstra untuk menggelar konser kuartet thrash metal asal Los Angeles tersebut di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Terhitung sejak tanggal tanggal 8 Juli 2013, Blackrock Entertainment telah membuka penjualan tiket dalam beberapa kategori dan harga. Fenomena hashtag #DemiMetallica dan akun twitter @DemiMetallica yang digagas oleh Adityo Pratomo a.k.a. @kotakmakan menjadi salah satu bahasan teraktual selama hitung mundur konser Metallica. Aksi spontan ini dilatarbelakangi oleh kisah para metalheads yang rela melakukan apa saja untuk menyaksikan konser Metallica di Jakarta 20 tahun silam. Berkaca dari pengalaman itu, #DemiMetallica berperan sebagai kanal penghubung antar fans melalui jual-beli barang. Fans yang ingin menyaksikan Metallica rela berkorban dengan menjual barang kesayangannya demi sebuah hasrat dalam wujud selembar tiket konser Metallica. Gerakan ini sukses menjadi gerakan edukatif bagi penikmat konser di Indonesia, dan bisa menjadi pemicu gerakan serupa di konser berikutnya. Sepanjang tahun 2013, Metallica telah menggelar konser di beberapa negara dan festival besar. Tercatat ada empat festival musik besar yang menampilkan Metallica sebagai salah satu penampil utama, yaitu 80 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Soundwave (Australia) pada bulan Maret, Orion Music and More (Amerika Serikat) pada bulan Juni, Roskilde (Denmark) pada bulan Juli dan Summer Sonic (Jepang) pada bulan Agustus. Khusus untuk Asia Tenggara, Metallica tampil di tiga negara, yaitu Malaysia, Singapura dan Indonesia. Untuk penampilan di Jakarta, Metallica membawa sepuluh kontainer seberat 60 ton yang dikirim dari Korea. Dalam beberapa kesempatan, gambar persiapan panggung dan area Gelora Bung Karno diunggah ke media sosial oleh pihak-pihak yang memiliki akses selama penyiapan lokasi berlangsung. Decak kagum dan apresiasi bermunculan dan segera melesatkan histeria di sebuah hari bersejarah bagi para metalheads Indonesia di Gelora Bung Karno. This Is Metallica! Penonton berkaos hitam hadir dari segala penjuru. Tak hanya penonton yang berdomisili di Jakarta, penonton dari kota-kota lain turut berbaur dalam barisan. Selangkah demi selangkah mengikuti antrian dengan teratur di setiap area pintu masuk. Pintu masuk terbagi sesuai kategori berdasarkan kelas dan harga tiket. Usia penonton beragam, antara belasan hingga lima puluhan. Fans generasi album “Kill ‘Em All” (1983) - “...And Justice For All” (1987), hingga fans generasi album s/t alias “Black Album” (1990) - “Death Magnetic” (2007) dipertemukan dalam konser Metallica ke-22 selama tahun 2013. Keriuhan membahana segera setelah pintu masuk stadion dibuka. Semua berlari sekencang-kencangnya demi mendapatkan posisi favorit di depan panggung. Lapangan rumput tertutup oleh blok-blok vinyl putih dan dibagi menjadi tiga lapis kelas festival. Sementara di sisi yang lebih jauh, separuh lingkaran tribun digunakan untuk menampung kelas penonton non-festival. Nyaris tidak ada celah untuk melihat warna lain kecuali hitam. Separuh awal malam berlalu dengan obrolan sesama penonton diiringi deru musik latar dari band
DUA PULUH TAHUN LEBIH TUA, STAMINA TIDAK BANYAK BERUBAH. BAND METAL TERBESAR SEKALI LAGI MENGHITAMKAN JAKARTA. KALI INI TANPA KERUSUHAN. rock, punk dan metal dari berbagai generasi. Panggung, tata cahaya dan tata suara tak memendam sedikitpun rahasia. Sejak petang hingga jelang penampilan Seringai, kekaguman terhadap kombinasi ketiganya tidak terputus. Set yang lebar dan bertingkat berlatar belakang layar raksasa sangat memanjakan mata. Apa lagi yang perlu dipertanyakan bila melihat luas panggung 60 x 8 meter dengan tinggi 20 meter terhampar di depan mata? Tata cahaya meliuk, berkedip dan berpendar mempermainkan suasana hati. Tata suara 200.000 watt penghasil 100-130 desibel benar-benar menginvasi telinga, menghujam jantung dan menggetarkan dada. Inilah (persembahan) Metallica, band raksasa dengan karya raksasa tampil di panggung raksasa. “Indonesia Raya”, lagu nasional membahana pada pukul 19.00 WIB. Raisa Andriana, didaulat oleh Seringai untuk memimpin dan menyanyikan lagu bersama seluruh penonton. Tak lama berselang, kuartet rock yang berbasis di Jakarta tersebut membuka konser dengan “Program Party Seringai”. Sebuah anthem bersenangsenang yang diciptakan untuk para Serigala Militia, fans Seringai. Berturut-turut Arian dkk memanaskan suasana dengan lagu “Tragedi”, “Akselerasi Maksimum”, “Serigala Militia”, “Dilarang di Bandung” dan “Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)”. Pada dua lagu dalam repertoarnya, Seringai berkolaborasi dengan beberapa musisi, seperti Eben (Burgerkill), Stevie (Deadsquad/ Andra and the Backbone) dan Aji (Down for Life). Setelah sebelumnya memancing koor penonton dengan memainkan lagu dengan riff hebat, “Iron Man” dari Black Sabbath, aksi mereka tergenapi dengan medley hits Motorhead, “Ace of Spades”. Jeda panjang nan mendebarkan saat menantikan penampilan pamungkas Metallica dihentikan oleh gubahan “The Ecstasy of Gold” karya Ennio Morricone. Layar yang berada di kanan dan kiri panggung mengetengahkan potongan adegan legendaris dari film yang disutradarai oleh Clint Eastwood: “The Good, the Bad, and the Ugly”. Tuco, tokoh The Ugly yang mewakili karakter serakah dengan keliaran tak terkendali, terobsesi pada harta karun emas yang terkubur di bawah nisan di tengah terik matahari di Pemakaman Dustbowl. Ia berlari dengan hasrat bak serigala kelaparan, mengenyahkan martabatnya demi tujuannya menemukan nisan bertanda “Arch Stanton” yang ditengarai bisa mengubah jalan hidup penemunya untuk selama-lamanya. Persetubuhan manis
antara scoring dan adegan ini membawa penonton terpaku pada layar, bergumam mengikuti nada dengan mata berbinar-binar. Setidaknya selama tiga menit. Tak lama berselang, Kirk Hammet, Lars Ulrich, James Hetfield dan Robert Trujillo menginvasi panggung dengan lagu perdana yang ditulis dan direkam Metallica, “Hit the Lights”. Lagu ini terdapat pada album kompilasi “Metal Massacre” (1981) dan album Kill ‘Em All (1983). “Master of Puppets”, “Fuel”, “Ride the Lightning” dan “Fade to Black” memanaskan suasana. The sign of the horns yang dipopulerkan oleh Ronnie James Dio menjadi pemandangan populer di setiap akhir lagu. Salah satu kutipan sapaan James Hetfield yang paling membekas pada malam itu adalah ketika “Fade to Black” tengah dibawakan. Saat Hammet memainkan potongan “Darth Vader’s Theme” dalam film Star Wars, Hetfield menyapa, “Jakarta, do you feel it? I know you see it, I know you hear it. But do you feel it?”. Dengan antusias pekikan “yeah!” terdengar satu suara. Aksipun berlanjut dengan penampilan “Cyanide”, “Welcome Home (Sanitarium)” dan “Sad But True”. Duet aransemen “Orion” dan “One” datang seperti badai yang menghempas sekaligus melenakan jiwa. “Orion” ibarat intro panjang menuju pergolakan dan kecamuk menuju chaos. Sepatah kata untuk mengenang kematian Cliff Burton mengawali sunyi sebuah lagu balada yang terinspirasi dari novel “Johnny Got His Gun” karya Dalton Trumbo (1933). Tak bertahan lama, dentuman artileri sahutmenyahut, deru helikopter terbang rendah dan serangkaian efek mencekam datang mencengkeram. Hingga akhirnya permainan intro jernih dari gitar Hetfield dan Hammet, bassline dan ketukan ganjil Trujillo dan Ulrich mengantar koor penonton yang hadir seketika menyanyikan lirik demi lirik yang dimulai dari kalimat “I can’t remember anything / can’t tell if this is true or dream / deep down inside I feel to scream / this terrible silence stops me...”. Ujungnya adalah ketika bait-bait mencekam yang terinspirasi dari kisah prajurit yang terluka, koma dan kehilangan anggota tubuhnya seperti dikisahkan pada novel tersebut. Penonton merapalkan lirik dengan berseru bersama Hetfield seolah tiada lagi hari esok bersama Metallica, “landmine has taken my sight / taken my speech / taken my hearing / taken my arms / taken my legs / taken my soul / left me with life in hell..!” Sumringah Metal Militia Indonesia Pesta belum berakhir. Meskipun
hits-hits pamungkas, yang memancing koor massal yang semakin keras dari lagu ke lagu, seperti “From Whom the Bell Tolls”, “Blackened”, “Nothing Else Matters” dan “Enter Sandman” telah dimainkan, encore selalu menjadi sajian penutup. Memeragakan gestur penuh canda, Hetfield menampakkan sisi manusianya sebagai punggawa metal dengan memancing riuh rendah tawa dan emosi penonton. Sukses yang terbentuk melalui kerasnya tempaan godam metal selama lebih dari 30 tahun bermusik terasa dari teriakan permintaan encore. “Creeping Death”, “Fight Fire with Fire” dan “Seek and Destroy” sekali lagi menciptakan manuver gelombang headbang di seisi stadion, khususnya di kelas festival. Balon hitam dengan tulisan logo “Metallica” ditingkahi sorot lampu dengan berkas cahaya membiru yang kemudian berpendar menjadi merah menyorot penonton dan seisi stadion. Sangat jelas tak ada perbedaan cahaya yang tersorot ke arah panggung dan ke arah penonton. Semua menikmati pertunjukan hingga usai. Bahkan hingga saat lagu “Seek and Destroy” selesai dimainkan, salam perpisahan dari para personel Metallica tetap mendapat tempat di hati para Metal Militia Indonesia. Bentangan Bendera Merah Putih bertuliskan “Metallica. Solo-Indonesia” yang dibawa oleh rombongan metalheads asal Solo bersama band Down for Life menutupi sepertiga tubuh para personel Metallica. Mereka menggenggam sisi atas bendera dan mengangkatnya hingga separuh badan. Tidak ada yang benar-benar meninggalkan area di depan panggung, hingga puluhan pick gitar dan bas Hetfield, Hammet dan Trujillo, serta stik drum Ulrich mengayun ke arah penonton. Padam lampu berangsur-angsur mendorong keletihan yang mengemuka, tersungkur menuju titik terdalam perenungan. Seakan masih tak percaya, bahwa performa Metallica yang dipersembahkan untuk Indonesia dua puluh tahun silam masih tetap sama hebatnya dengan penampilan mereka sesaat sebelumnya. Sejarah bisa berulang, tetapi momen tidak sama sekali. Berbahagialah karena Metallica merangkul Indonesia sebagai salah satu dari keluarga besarnya di seluruh dunia. Sejarah dicatat oleh para pemenang. Malam itu, Metal Militia Indonesia dan Metallica merayakan kemenangannya bersama-sama. Dan seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, rekor-rekor yang tercipta dari konser Metallica-pun mengalir untuk kita semua.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 81
GIG REPORT
AND... METALLICA FOR ALL OLEH SAPTO SUPRIYANTO
P
ertama mendengar mereka mau konser lagi di Jakarta rasanya tidak percaya, setelah dapat info dari sana-sini saya akhirnya yakin kalau itu benar. Masalahnya justru tidak yakin mau nonton apa tidak, dengan pertimbangan harga tiket yang lumayan bikin lumanyun itu. Keputusan untuk membeli tiket akhirnya diambil seminggu menjelang acara. Itu dipicu oleh pesan singkat dari seorang teman semasa sma dulu yang mengajak nonton bareng. Belakangan, sepertinya dia sendiri akhirnya malah tidak jadi nonton, so sad. Nah, teman inilah yang dulu memperkenalkan musik metal ke saya dengan meminjamkan kaset White Lion album pertama, “Pride”. Dia juga yang mengenalkan saya ke Metallica via album “Kill ‘Em All”, yang kasetnya saya gandakan pakai double deck tape recorder dan sampul albumnya saya fotokopi. Iya, saat itu teknologi digital belum dikenal secara umum. Mp3 belum diciptakan dan cd audio pun masih tergolong barang mewah. Selain karena pesan singkat dari teman tadi, hal lain yang mendorong keputusan untuk membeli tiket adalah adanya dukungan moril (jiah) dari kawan-kawan TUC, dan setelah menengok saldo di atm ternyata ada cukup dana. Akhirnya, dibelilah itu tiket di salah satu gerai resto junk food yang terkenal di kalangan abg. Lalu kemudian, timbullah suatu kecemasan, teringat kejadian puluhan tahun lalu: akankah terjadi kerusuhan lagi? Jadi, pada waktu Bung Besar masih berkuasa, mereka ini pernah konser di sini. Dan saya gagal nonton karena di area sekitar tempat konser terjadi kerusuhan 82 I TUCZINE.TUMBLR.COM
sehingga kami tidak bisa mendekat. Bukannya menikmati konser, malah ikut olahraga malam dikejar-kejar aparat keamanan yang terprovokasi lemparan batu bata dari kerumunan massa, sampai harus sembunyi di balik pagar halaman sebuah rumah. Waktu itu, rasanya mustahil untuk berpikir bahwa mereka akan datang lagi ke Jakarta di masa mendatang. Tapi yah, akhirnya terbukti mereka datang lagi ke Jakarta dan konser berjalan aman, tenteram dan damai. Suasana konser sendiri, pasti sudah banyaklah yang menulis. Tidak usah diceritakan di sini. Yang jelas, lagu demi lagu membuat saya serasa terbang ke awan, jiah. Sejak awal udah digeber dengan “Hit the Lights” yang dilanjut dengan “Master of Puppets”. Masih terpesona dengan “Ride the Lightning” langsung terdengar intro “Fade to Black”, wooow. Bisa ikut koor menyanyikan ini lagu bareng mbah Hetfield dan ribuan metalhead lainnya, rasanya sudah khatam mendengarkan metal. Setengah tidak percaya saat “One” yang dilanjut dengan “For Whom the Bell Tolls” juga dibawakan di konser ini. Dan dilanjut lagu-lagu berikutnya, saya tidak berhenti ikut koor, yang ditutup dengan “Seek and Destroy”. Istirahat ikut menyanyi hanya di satu dua lagu, karena tidak tahu lagunya. Soalnya itu lagu dari era setelah “Black Album”. Terus terang, bagi saya, Metallica berhenti setelah “Black Album”. Memang sempat juga beli cd “Load” dan mengunduh “St. Anger” dan “Death Magnetic” tapi rasanya tidak bisa dinikmati lagi. Mereka sendiri sepertinya merasakan hal itu. Terbukti lagu-lagu yang dibawakan dalam konser-konser mereka mayoritas dari empat album awal yang merupakan master-
piece thrash metal, ditambah satu dua lagu dari “Black Album”. Jadi, secara keseluruhan sangatlah puas bisa ikut hadir dalam hajatan terbesar metalhead sepanjang masa di Indonesia ini. Lebay. Dan satu hal lagi, terbukti konser metal adalah acara yang paling aman dan nyaman. Saya datang dan pulang hanya sendiri saja (teman saya tadi tidak ada kabar beritanya sama sekali) dan tidak ada gangguan keamanan sama sekali. Sangat berbeda waktu di Lebak Bulus puluhan tahun lalu. Yah, rasa aman ini juga yang saya rasakan waktu nonton Hammersonic dua tahun lalu di Senayan. Ada kejadian unik yang mungkin tidak akan terjadi lagi. Waktu sholat ashar di mesjid dekat venue, terlihat jamaah sholat yang imamnya seorang perwira polisi dengan seragam lengkapnya sementara makmumnya mayoritas berkaos hitam dengan bermacam-macam logo Metallica. Cool. Sepertinya saat ini Metallica memang telah menjadi ikon metal terbesar. Pada saat konser di Jakarta ini, lagu-lagu mereka bahkan sampai diputar di radioradio mainstream yang biasanya hanya memutar lagu-lagu pop saja. Terlepas dari kelakuan minus mereka yang tidak mendapat simpati dari para metalhead karena dianggap terlalu komersial, misalnya dukungan mereka dalam menutup Napster. Yah, dan euforia menghadiri konser mereka di Gelora Bung Karno tanggal 25 Agustus 2013 itu semakin lengkap dengan menyaksikan film “Through the Never” di jaringan Studio 21 sehari sebelum tulisan ini saya selesaikan. Yeah, Metallica for all.
.
GIG REPORT
EUFORIA MENYERUAK BEBERAPA KAWAN TENTANG “THE GREATEST CONCERT EVER”
“ “
MUHAMMAD FAHMI Kesannya, cuma satu kata: merinding!!! Sudah bertahun-tahun tidak moshing tapi secara sempurna saya dua jam lebih berdiri dan lompat-lompatan di moshpit. Pas terdengar intro “Hit the Lights” badan langsung merinding, bulu kuduk berdiri dan otomatis tanpa dikomando langsung gila-gilaan.” ABRAM MARTIN Tak bisa diungkapkan dengan katakata. Semuanya perfect. Sebenarnya nyaris gak jadi nonton. Untung terbangun jam 7 malem, langsung ngebut ke GBK. Jadi gak sempat melihat Seringai dan Raisa. Sampai festival GBK jam setengah 9, masih desak-desakan cari tempat, tahu-tahu sudah diputar klip “The Good, the Bad and the Ugly”. And then the magic happen. Tapi ada yang kurang, gak ada minuman coy! Nonton Metallica dalam keadaan sadar ting-ting.”
“
ULY UGLY The greatest concert ever! Di stadion GBK, lengkap dengan big screen, LCD terbesar dengan resolusi sangat tinggi yang pernah gw lihat. Didukung dengan kualitas sound yang super bersih sampai pas ada intro gitarnya Hammet sendirian, gw deg-degan sambil tahan nafas takut merusak suara musik yang terdengar. Kalau 1 not saja si Hammet salah pencet, pasti terdengar jelas. Setlist yang dimainkan juga cukup lengkap, dari album-album lama sampai yang terbaru. Lagu-lagu yang dulu jadi andalan juga dimainkan. Hetfield sampai bilang: “Ayo, kalian mau minta lagu apa? Kalian datang ke sini pasti sudah ada di pikiran ‘Metallica harus mainkan lagu ini’”, setelah itu intro lagu “Sad But True” langsung menggema, dan otomatis semua kepala yang ada di sana kompak ber-headbanging mengikuti. Selanjutnya sudah bisa ditebak, seluruh penjuru stadion dipenuhi dengan lagu itu. Itu hanya sebagian kecil dari keseruan konser Metallica. Yang pasti, gw sangat puas sudah nonton langsung live concert mereka. Ibaratnya, seperti para metalhead bilang; belum haji kalau belum nonton Metallica live. Semoga haji metal gw mabrur. Jujur, buat gw pribadi, dari semua konser yang pernah gw datangi, baru ini yang kesannya masih terasa lama, walaupun konsernya sudah
berlalu lumayan lama juga. Sepertinya gw masih bisa melihat dan mendengar dengan jelas performance mereka saat itu.”
“
ANNASZ GHAZALI Metallica itu awesome. Gak heran kalau mereka itu legend. Gak heran kalau sampe ada hastag #DemiMetallica. Sebelah gue, ada bapak-bapak umur sekitar 40 tahunan memaki-maki Seringai, cuma karena gak sabar menunggu Metallica main. Sepertinya dia menyimpan tenaganya buat mereka. Gue sendiri merinding pas lagu “Fade to Black” dimainkan. Edan, feel-nya kuat banget. Overall, puas banget dengan live perform mereka, mengingat sehari sebelumnya mereka sudah perform di Singapura, dan di Jakarta tetep all out. Hammet sepanjang konser basah semua itu badannya, sampai mengucur. Sayang “The Day That Never Comes” gak dimainkan. Untung gairah penonton dirasakan juga sama mereka. Can you feel it? can you hear it? oh god, mereka bersemangat sekali! Untuk 20 tahun masa tunggu, gue yakin semua penonton puas, Metallica puas. Metallica loves Indonesia. Mudah-mudahan mereka bisa balik lagi dalam waktu gak terlalu lama. Saya menolak move on untuk hal ini hahaha.”
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 83
GIG REPORT
4gambar dipinjam dari www.tempo.co
OLEH AJI REBEL
METALLICA
IN JAKARTA:
1993 2013 VS
M
ungkin sudah ada ratusan review atau liputan atau tulisan atau apalah namanya yang membahas bagaimana sukses dan megahnya konser Metallica baru-baru ini. Saya lebih tertarik untuk membandingkan konser yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) tanggal 25 Agustus 2013 lalu itu dengan konser mereka di Stadion Lebak Bulus tahun 1993. Kebetulan, saya termasuk salah satu yang beruntung bisa menyaksikan kedua konser itu. Suasana konser di GBK benar-benar berbalik 180 derajat dari konser tahun 1993. Hal ini sebenarnya yang membuat saya penasaran untuk sedikit menganalisa dan membandingkan keduanya. Memang, terdengar sedikit kurang pas kalau membandingkan antara konser satu dengan yang lainnya, karena banyak sekali faktor yang bisa mempengaruhi aman dan lancar atau tidaknya suatu konser. Tapi, setidaknya dengan membandingkan faktorfaktor ini kita bisa mencari tahu kenapa konser tahun 1993 berakhir rusuh, sementara konser tahun 2013 berakhir dengan sukses. Venue, harga tiket, keamanan dan penonton adalah beberapa dari sekian banyak faktor yang bisa menjadi kunci sukses dan berjalan lancarnya suatu pertunjukan. 84 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Venue dan harga tiket Saya coba mundur ke tahun 1993. Diprakarsai oleh Setiawan Djody melalui AIRO Production, konser bertajuk Metallica In Concerts itu diadakan di Stadion Lebak Bulus. Kalau dilihat dari lokasi, Stadion Lebak Bulus memang kurang pas untuk dijadikan venue konser band sekelas Metallica. Apalagi, saat itu mereka sedang booming di kalangan metalhead setelah sukses merilis “Black Album� yang terjual sebanyak 650 ribu copy di minggu pertama untuk penjualan di Amerika saja. Stadion Lebak Bulus berbatasan langsung dengan Jl. Lebak Bulus Raya dengan satu pintu masuk utama. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan konsentrasi massa terpusat di sepanjang Jl. Lebak Bulus Raya. Saya ingat waktu itu, ketika sampai di perempatan Jl. Lebak Bulus Raya, para metalhead sudah memenuhi jalan. Hampir sepanjang jalan, dari depan Carrefour sampai ke perempatan Pasar Jumat dipenuhi anak muda berkostum hitam. Para metalhead benar-benar hanya terkonsentrasi di satu titik. Berbeda dengan yang terjadi di Stadion GBK, konsentrasi para metalhead terpecah. Ini disebabkan oleh, selain karena luasnya stadion, banyaknya pintu masuk ke arah venue serta pemisahan gate body checking untuk penonton kelas tribun dan festival. Untuk tiket konser tahun 1993 yang dijadwalkan berlangsung dua hari tersebut, tanggal 10-11 April, harga dibanderol Rp. 45.000 untuk kelas festival, yang kalau dikurskan kira-kira senilai USD21 (USD1 = Rp. 2.100). Sedangkan tiket kelas festival konser tahun 2013 dibanderol seharga Rp. 750.000, atau sekitar USD75 (USD1 = Rp. 10.000), yang berarti jauh lebih mahal dari tiket tahun 1993. Keamanan Di sisi pengamanan, kedua konser ini sama-sama melibatkan aparat gabungan Polri dan TNI. Bedanya, untuk konser tahun 1993, aparat gabungan ini dilibatkan langsung pada saat body checking di pintu masuk utama menuju area Stadion Lebak Bulus. Saya merasakan sendiri bagaimana harus mengelak dan lari menghindari pukulan botol Mansion House dari salah satu
oknum aparat yang mendapati botol itu di kantong belakang celana saya saat body checking. Saat itu, hampir semua barang bawaan disita, termasuk korek, rokok dan gesper. Sikap aparat yang represif ini sangat berbeda dengan suasana pengamanan konser tahun 2013. Walaupun melibatkan pengamanan dari aparat gabungan dengan jumlah yang cukup besar (sekitar 5000 personel), kehadiran mereka tidak begitu saya rasakan waktu memasuki area Stadion GBK. Body checking pun tidak melibatkan aparat gabungan ini. Panitia hanya menggunakan petugas intern mereka untuk tugas ini, itu pun saya perhatikan sikap mereka cenderung cukup ramah. Di sini, hanya rokok dan korek yang tidak diperbolehkan masuk ke area venue. Penonton Faktor terakhir yang saya coba analisa adalah usia penonton. Dari pengamatan saya, penonton konser tahun 2013 ini sebagian besar adalah penonton yang berusia antara 35 sampai 40 tahun, yang rata-rata sudah jadi pekerja dan berkeluarga. Bahkan ada yang datang dengan anak atau keponakan. Mereka ini adalah penonton dan calon penonton konser tahun 1993 yang kini sudah dewasa, mapan dan berumur. Bandingkan dengan 20 tahun lalu saat mereka masih berusia 15 atau 20 tahun. Walaupun harga tiket saat itu, kalau dibandingkan dengan harga tahun 2013 terhitung masih lebih murah, tetapi daya beli mereka saat itu mungkin tidak mendukung. Hal itulah yang menyebabkan banyak penonton yang tidak memegang tiket juga berusaha untuk bisa masuk ke venue demi melihat pertunjukan idola mereka. Dari perbandingan di atas, mungkin kita bisa simpulkan bahwa pemilihan venue yang tidak tepat, sikap aparat yang cenderung represif serta kedewasaan penonton menjadi faktor utama terjadinya kerusuhan konser tahun 1993. Dan saya rasa, Blackrock Entertaintment sebagai promotor konser tahun 2013 sudah belajar dari apa yang terjadi di Lebak Bulus 20 tahun lalu. Great job and great show guys. Thank you for the greatest concert ever.
.
GIG REPORT
THE TRULY MONSTER OF ROCK GUITAR STEVE VAI LIVE IN JAKARTA TENNIS INDOOR SENAYAN, JAKARTA - 22 JULI 2013
OLEH HERWIN SIREGAR
P
ada tanggal 22 Juli 2013 lalu Java Musikindo menggelar konser gitaris rock Steve Vai di Tennis Indoor Senayan, Jakarta. Buat saya dan tentunya para pemuja guitar hero lainnya, ini adalah momen sangat spesial yang tidak boleh dilewatkan. It’s a must! Siapa Steve Vai? Apa hubungannya dengan kita di TUC? Buat teman-teman TUC yang belum tahu atau begitu kenal mari kita lihat sekilas sepak terjangnya. Saya pertama mendengar Steve Vai sekitar akhir ’80-an, sewaktu dia masih di band hard rock Alcatrazz. Band ini tidak terlalu legedaris sebenarnya sebagai band, tapi buat para gitaris rock, band ini sangat spesial karena Steve Vai waktu itu sudah memainkan hard rock guitar dengan cara yang berbeda dari kebanyakan, dan karena di situ dia menggantikan gitaris sebelumnya yang dikenal sebagai the founding father of shredding guitar, Yngwie J. Malmsteen. Kemudian saya juga sangat terkesan dengan permainannya di David Lee Roth Band (setelah keluar dari Van Halen), Whitesnake dan beberapa album solonya. Steve Vai juga pernah main film dengan Ralph Machio di “Crossroads”. Di situ dia jadi Jack Buttler, gitaris rock yang di akhir cerita berduel gitar dengan Ralph yang gitaris blues. Sesi duel solo guitar mereka di film itu dikomposisi oleh Steve Vai sendiri dan menjadi salah satu sesi solo yang sangat hebat dan coba dimainkan oleh banyak gitaris rock waktu itu. Buat temanteman TUC yang tertarik dengan permainan gitar bisa lihat penggalannya di youtube. Oh ya, jangan lupa juga mendengar gitar tertawa di lagu “Yankee Rose” (David Lee Roth Band) dan gitar suara kucing di lagu “Kitten Got Claw” (Whitesnake). Selain itu, yang legendaris dari Steve Vai adalah gitarnya: Ibanez Steve Vai Signature Series, yaitu JEM (6 senar) dan Universe (7 senar). JEM adalah salah satu gitar yang banyak dimainkan oleh para gitaris rock di seluruh dunia, serta banyak diimpikan oleh yang lainnya yang tidak sanggup memilikinya. Ciri khas utama gitar ini adalah adanya monkey grip atau coakan di body gitar bagian atas untuk mengangkat gitar tersebut. Di Indonesia salah satu penggear JEM adalah gitarisnya Wali. Ian Antono (God Bless) dan Pay Siburian (Slank dan BIP) juga kerap terlihat memakai gitar
4gambar dipinjam dari youtube.com
tersebut. Singkat cerita, Steve Vai adalah salah satu rock guitar hero yang berkarakter kuat sampai saat ini. Inovasi dan kesempurnaan mungkin dua kata yang cocok dengan karakternya. Kembali ke venue. Melihat ke promotor acara, Java Musikindo, sudah dapat diperkirakan bahwa konser ini adalah pertunjukan yang berkualitas. Di luar gedung, panitia mengadakan acara lomba gitar dengan tema Steve Vai, jadi para gitaris peserta diadu memainkan lagu-lagu Steve Vai. Saya berpendapat acara pelengkap seperti ini sangat menarik dan menambah kualitas acara keseluruhan, apalagi mayoritas penonton adalah gitaris. Salah satu hal saya sesalkan dari panitia adalah ketidakjelasan dalam mengatur rute untuk antrian masuk ke gedung, sehingga banyak jalur-jalur tambahan baru di mulut pintu masuk yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau panitia tegas mengatur dari mana harusnya pengujung terakhir datang mulai mengantri. Ini membuat crowd di pintu masuk jadi berdesakan dan yang baru datang bisa masuk lebih dulu dari yang sudah mengantri lama. Indonesia banget ini, tidak seperti teman-teman TUC yang keras dan pembangkang tapi tetap memegang etika kerumunan. Acara konsernya cukup bagus. Jadwal tepat, sound quality-nya terjaga,
terutama clarity dari gitarnya Steve Vai, serta efek visual bagus dan menarik. Sedikit kekecewaan, lagu favorit saya “Liberty” tidak dibawakan, tapi lagu legendaris lainnya seperti “For the Love of God” tetap keluar. Selain piawai memainkan nada-nada, Steve Vai juga adalah figur yang enak dilihat di panggung. Goyangan tangan, pinggang dan pinggul silih berganti bermain. Ayunan kaki juga bergerak sangat enak mengikuti dinamika lick-lick yang dimainkan. Pada salah satu lagu dia memasang banyak lampu dari kepala sampai kaki, wow, spektakuler!!! Satu lagi, baru Steve Vai dan mungkin satu-satunya yang mengucapkan ‘assalamu alaikum’ dari yang pernah saya lihat selama ini. Teknik oke, sound oke, visual oke, lengkaplah kesempurnaan acara tersebut. Tidak heran kalau kita melihat banyak gitaris top Indonesia yang hadir dan tetap melongo sepanjang acara seperti Gugun dari Gugun Blues Shelter dan John Paul Ivan, eks Boomerang, yang sempat terlihat oleh saya. Mungkin musik Steve Vai bukan menu utama buat para teman-teman TUC, tapi ide-ide permainan gitarnya pasti telah banyak mengilhami para gitaris, termasuk gitaris-gitaris underground dalam mengembangkan pola permainannya. Jadi tidak salah jika teman-teman TUC sesekali mencicipi musik Steve Vai, the truly monster of rock guitar. Rock On!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 85
GIG REPORT
JAVA ROCKIN’ LAND 2013 PANTAI KARNAVAL ANCOL, JAKARTA 22-23 JUNI 2013
ETALASE MUSIK LINTAS GENERASI OLEH DIDIK YANDIAWAN
PESTA ROCK TERBESAR DI INDONESIA HADIR KEMBALI SETELAH MENGALAMI KEVAKUMAN SELAMA SETAHUN. PENANTIAN TELAH USAI.
86 I TUCZINE.TUMBLR.COM
J
ava Rockin’ Land (JRL) 2013 berlangsung selama dua hari, 22 dan 23 Juni, di Pantai Karnaval Ancol. Tujuh stage menghadirkan line-up musisi Indonesia dan mancanegara. Ekspektasi penonton terhadap JRL edisi keempat senada dengan press release dari promotor, Java Festival Production pada situs resmi JRL: “So, lets rock harder than
you ever think you can...” Indosat IM3 menjadi sponsor utama JRL 2013. Pada booklet JRL 2013 juga tertera sponsor utama seperti Garuda Indonesia, Tebs, Prim-a, dan Chevrolet. Enam stage tersebar mengelilingi stage utama, Indosat IM3 Stage. Keenam stage tersebut adalah, Tebs Stage, Dome Stage, Rockin’ Land Stage, Camden Juice MVRCK
Deadsquad, Jasad, Navicula, Koil dan Konspirasi. Dari luar negeri, Suicidal Tendencies, Steelheart, Collective Soul, Sugar Ray, Sixpence None the Richer dan Gossip merupakan beberapa band yang mengisi slot penampil utama di JRL 2013. Band lain tak kalah seru. Rumahsakit, Sore, Efek Rumah Kaca, Karnatra, Musikimia, Cherry Bombshell, Superglad, Morfem, Gribs dan Andra and the Backbone merupakan beberapa musisi memukau dari Indonesia. Ditambah lagi kehadiran tiga musisi asal Taiwan, Utopia, Go Chic dan 88balaz (88 Guava Seedz) yang turut memanaskan panggung JRL 2013.
Stage, Chevrolet Stage (Segarra) dan Propaganda Stage. Penataan layout seperti penyelenggaraan JRL edisi sebelumnya, rapi dan mudah diakses. JRL 2013 menghadirkan musisi besar dari Indonesia dan mancanegara. Dari Indonesia, ada beberapa nama besar yang tampil, yaitu Edane, GIGI, Pas Band, / rif, Roxx, Siksa Kubur, Gugun Blues Shelter,
Hari I Karena tiba di lokasi sekitar pukul 18.00 WIB, banyak band bagus yang penampilannya terlewatkan. Siksa Kubur, Gugun Blues Shelter, Gigantor dan XShibuya gagal menjadi opsi tontonan. Tujuan pertama saya tetap stage utama: musholla. Hingar bingar konser musik tidak mengganggu jalannya ibadah shalat maghrib. Setelah selesai, saya berjalan melintasi booth dan panggung yang menampilkan produk musik dan non-musik. Berikut ini ulasan pandangan mata mengenai penampilan musisi pengisi acara di hari pertama. Skor penampilan menyertai nama musisi, terburuk hingga terbaik tercermin dari skor antara skala 1 s.d. 10. Edane (7) membawakan hits-hits lama dan baru di dalam daftar lagu panggungnya. Keperkasaan Eet Sjahranie dkk Melibas lagu rock bertempo kencang cukup memancing penonton di area depan untuk berjingkrak-jingkrak mengikuti dentuman drum bertenaga Fajar. Keunggulan di panggung Indosat IM3 Stage adalah tata cahaya, suara dan panggung yang memungkinkan Edane menggali dan menampilkan performa terbaik untuk fans. Inilah yang diamini oleh beberapa fans Edane yang menggemari Edane sejak “The Beast” (1992) hingga “Edan” (2010). “Edane, gila bener!” teriak salah seorang fans pria berusia 40-an yang berada di samping saya setelah penampilan mereka berakhir. Selepas penampilan Edane, saya bergegas menuju Dome Stage. Sore (8)
memulai penampilannya dengan tiga lagu dari album “Centralismo” (2005). “Bebas”, “Mata Berdebu” dan “Somos Libres” melemparkan penonton menuju perangkap mesin waktu di tahun 2005. Koor massal tercipta dari fans Sore yang didominasi pemuda-pemudi yang antusias menyanyikan lirik lagu dengan fasih. Dalam konser ini, Sore membawakan dua lagu dari album kumpulan terbaik mereka yang dirilis tahun 2013, “Sorealist”. Dua lagu tersebut berjudul “Musim Ujan” dan “Sssst...”. Kedua lagu tersebut sukses menenggelamkan penonton ke dalam daftar panjang lagu dalam konser mereka. Waktu menunjukkan pukul 20.20, ketika saya harus berlari mengejar penampilan Navicula (7), Green Grunge Gentlemen asal Pulau Dewata di Tebs Stage. Lagu “Busur Hujan” dan “Refuse To Forget” mereka tampilkan dengan pendekatan grunge yang intim. Penonton ikut berteriak sembari mengepalkan tangan ke udara. “Televishit” dan “Metropolutan” membakar histeria massa yang berteriak parau dengan kompak, “Hey, aku ada di sini, kota metropolutan!”. Sayangnya, lagu-lagu di awal penampilan mereka yang dahsyat seperti “Kali Mati”, “Orang Utan” dan “Menghitung Mundur” tak sempat saya saksikan. Penampilan band beraliran crossover trash dan hardcore punk asal California, Suicidal Tendencies (9) menjadi aksi yang dinantikan oleh mayoritas pengunjung JRL 2013. Area bibir panggung Indosat IM3 Stage telah dipenuhi para fans yang bertahun-tahun menantikan penampilan mereka. Salah seorang fans asal Australia yang sempat saya temui bahkan menyatakan bahwa kunjungannya dari Melbourne menuju Jakarta adalah untuk menyaksikan Suicidal Tendencies. Ia berpakaian ala Mike Muirs. Bandana, topi, celana, sepatu hingga tato yang dikenakannya tak lepas dari elemen beraroma Suicidal Tendencies. Benar saja, ketika Mike Muir dan formasi teranyar Suicidal Tendencies memandu penonton untuk mempuat circle pit raksasa di depan panggung dan di sisi panggung. Lagu “You Can”t Bring Me Down”, “Institutionalized” dan “Subliminal” membawa penonton kepada keganasan arena yang menyenangkan.4 TUCZINE.TUMBLR.COM I 87
3 Mike Muir tak pernah kehabisan tenaga dari awal hingga akhir. Di antara penampilannya, Mike sempat mengajak Arian 13 untuk membangkitkan semangat penonton. “Cyco Vision”, “Mommy” dan “Smash It” menghipnotis penonton untuk tetap mengerahkan staminanya di sepanjang lagu. Hingga pada puncak penampilannya, Suicidal Tendencies mengajak penonton berbagi panggung dengan mereka. Tentu saja, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini untuk merangsek ke panggung, merangkul Mike Muir, dan meneriakkan lirik lagu “Slam City” bersama para fans di atas panggung. Persembahan bersejarah Suicidal Tendencies yang menguras stamina membuat saya menepikan diri untuk beristirahat dan melihat Sixpence None the Richer (6) dari kejauhan. Tak banyak yang bisa dinikmati dari penampilan mereka, kecuali hendak bernostalgia dengan lagu hits mereka seperti “Kiss Me”, “Don”t Dream It”s Over” dan sebuah lagu cover version dari The La’s, “There She Goes”. Dan pilihan saya untuk duduk di atas rumput beralaskan koran sembari menyantap makanan dan minuman menjadi pilihan yang tepat. Collective Soul (8) menjadi band yang saya nantikan selanjutnya. Berbekal energi yang terisi kembali, saya bergabung dengan penonton di baris tengah. Penampilan Ed Roland dkk masih bertenaga seperti dulu. Kharisma Ed masih menjadi magnet bagi fans perempuan untuk berani memandangnya dari dekat, mendekat ke bibir panggung. Sembilan album studio dengan 22 lagu yang memiliki video klip cukup untuk menghangatkan malam di Pantai Karnaval, Ancol. Alhasil ketika lagu-lagu alternative rock semacam “Run”, “The World I Know” dan “Precious Declaration” dinyanyikan, panel raksasa yang menampilkan baris live tweet dari penonton berganti dengan cepat, menampung kicauan penonton yang antusias. Ed dkk tahu benar bagaimana cara memuaskan dahaga fans yang sekian lama menanti penampilan langsung mereka. Koor massal penonton di encore lagu “Counting the Days” dan “Shine” sukses menutup penampilan mereka yang penuh kehangatan. Ujung malam telah tiba ketika saya menyaksikan penampilan Koil (6) yang anti-klimaks. Ditempatkan di Tebs Stage, dengan tampil di jam yang sangat larut, Koil memainkan lagu-lagu andalan mereka. Sayang sekali, beberapa kali Otong mengeluhkan tata suara dan menghentikan satu lagu karena hal tersebut. Seorang fans 88 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Koil, remaja perempuan, ekspatriat berteriak kala Koil jeda. “Othonn (begitu pelafalannya terhadap Otong), ayo gerak!” teriak fans itu mengomentari performa Otong yang berada pada mood yang kurang baik karena permasalahan pita suara, aksi panggung dan tata suara. Sayangnya, hal ini kurang mendongkrak penampilan Koil di lagu-lagu menghentak seperti “Mendekati Surga” dan “Semoga Kau Sembuh Part II”. Harapan ada di “Kenyataan Dalam Dunia Fantasi”, dan sayangnya baru di akhir lagu ini penonton menikmati penampilan Koil yang sedikit terlambat memanaskan suasana di ujung perhelatan di hari pertama JRL 2013. Hari II Belajar dari pengalaman di hari pertama, saya mencoba datang lebih ‘pagi di hari kedua gelaran JRL 2013. Suasana panggung masih lapang dan sepi ketika saya masuk ke arena pertunjukan. Saya sempat bertemu dengan Che dan Marcell, personel Konspirasi. Kami berbicara satu sama lain, membahas album Konsirasi, “Teori Konspirasi” dan album Marcell “Platinum Playlist”. Setelah itu, saya mencari panggung utama, musholla untuk menunaikan shalat ashar dan merapel jam tidur saya yang terenggut akibat larut dalam pesta bersama JRL dan kelelahan karena mengikuti event lari 10 km yang digelar Pemprov DKI Jakarta pada pagi harinya. Hasilnya, saya melewatkan seluruh penampilan Aftercoma di Dome Stage dan sebagian penampilan Konspirasi (7) di Tebs Stage. Sayang sekali, Konspirasi ditempatkan di jam awal festival. Padahal dengan lagu grunge pekat seperti “Melacak Jejak Purba”, “Melawan Rotasi” dan “Libidinal” terlalu besar untuk dinikmati oleh segelintir penonton yang hadir sore itu. Lagu “Dilema”, “Koruptor” dan “Stigma” menutup penampilan prima Konspirasi yang seolah tak peduli berapa jumlah penonton yang menyaksikan penampilan mereka sore itu. PAS Band (8) menunjukkan kelasnya. Rockin’ Land Stage menjadi saksi bisunya. Penonton menjadi saksi hidupnya. Kuartet asal Bandung mampu membuai penonton dengan lagu “Kembali”, “Bocah”, “Kesepian Kita”, “Jengah” dan “Sejuta Harapan”. Penampilan PAS Band turut didukung oleh Iday dan Andi Slash di sejumlah lagu seperti “Gladiator”. Melibatkan salah seorang Paser di lagu “Impresi”, penonton semakin terperangkap suasana yang dibangun oleh Yukie cs hingga PAS Band menuntaskan penampilannya.
Penampilan pamungkas PAS Band belum menyurutkan stamina saya untuk menyaksikan penampilan dari band Indonesia favorit saya, GIGI (8). Armand cs membuka penampilan mereka dengan lagu “Tanah Airku”. Lagu “Ku Ingin”, “Damainya Cinta” dan “Terbang” menjadi hits seru yang menerbangkan nostalgia penonton ke era ‘90-an. Belum lagi kehadiran lagu “Janji” dan “Nirwana (Yang T’lah Berlalu)” menjadikan sore hari menjadi momen yang romatis untuk menggenggam erat jemari kekasih kita. Pemilihan repertoire yang klasik dan detail menjadi kunci sukses penampilan GIGI. Perkusi dan alat musik petik akustik yang dimainkan oleh GIGI pada lagu “Bumi Meringis” bisa dibilang menjadi titik terbaik di persembahan mereka. Pemandangan langit senja yang jingga merestui penampilan GIGI. Lagu menghentak seperti “Jomblo”, “Ya... Ya... Ya...” dan “Nakal” menguras tenaga, namun mendadak terbasuh dengan lembutnya petikan gitar Dewa Budjana di lagu “11 Januari”. Selepas maghrib, Roxx (7) menjadi band pertama yang saya saksikan. Pilihan ini mengorbankan penampilan lain yang tak kalah serunya dari /rif, J-Rocks dan The Triangle. Panutan rock terkemuka asal Jakarta ini menghadirkan 10 lagu yang hebat. “Toa Maut”, “5 cm”, “Penguasa” dan “Gontai” menghadirkan penampilan maksimal dari Jaya cs. Rock menderu dengan seru di lagu terakhir, setelah sebelumnya didahului oleh “Beraninya di Belakang” dan “Jauh dari Tuhan”. Lagu sejuta umat rock Indonesia, “Rock Bergema” dibawakan Roxx dengan energi tinggi seolah lagu itu tak pernah diputar sama seperti sebelumnya. Tak lengkap bila saya tidak menyaksikan penampilan band indie pop/indie rock legendaris asal Jakarta, Rumahsakit (7). Kekhasan vokal Andri ‘Lemes’ Ashari yang lemes dalam arti sebenarnya menjadi daya tarik. Membawakan lagu lama dengan interpretasi baru dilakukan Rumahsakit. “Petir, Kilat dan Halilintar”, “Anomali”, “Mati Suri” dan “Manuver Gelombang Pasang” adalah deretan lagu yang mengajak penonton bernyanyi bersama tanpa harus menunggu lagu “Bernyanyi Menunggu” dimainkan. Puncaknya adalah ketiga penampilan Rumahsakit di tiga lagu terakhir menuntaskan dahaga fans terhadap kiprah mereka. “Kuning”, “Pop Kinetik” dan “Hilang” menjadi nyanyian peredam rasa sakit yang menjelma menjadi terapi kegelisahan yang tepat. Bagaimana tidak tergetar jika seluruh penonton kompak merapat di
Dome Stage sembari mengumandangkan lirik jenius tentang penerjemahan filosofi legendaris “ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, sakti tanpo aji-aji, sugih tanpo bondho” dengan syair ini: “Bunuh, bunuhlah aku! Kalau kau bisa, silahkan saja!” dan “Akhirnya baru kau mengerti, kalau ku bukan (memang ku bukan) manusia biasa...” Gossip (8) membuktikan bahwa aliran dance rock dipadu indie rock dan garage rock masih menjadi formula yang memabukkan. Sekumpulan penonton menikmati irama dari musik Gossip, trio asal Washington DC, seolah malam itu malam terakhir mereka menyaksikan Gossip. Di atas panggung Indosat IM3 Stage, Beth Ditto meluapkan keluh kesahnya betapa gerahnya udara malam Jakarta dengan celotehan dan gestur yang kerap mengundang tawa penonton. Terlepas dari itu, Beth menunjukkan bahwa musik Gossip bisa dinikmati siapa saja. Belum lagi lagu-lagu berirama dance dari ketukan drum Hannah Billie dan petikan enam dawai dari Nathan Howdeshell memanjakan tubuh untuk ikut bergoyang. Lagu yang mewakili lima album sesekali ditingkahi dengan potongan gubahan lagu “War Pigs” dari Black Sabbath. Cukup mengejutkan ketika di penghujung lagu, Beth Ditto dengan lincah melepaskan sepatunya dan menghampiri penonton di lapangan untuk bernyanyi dan berdansa bersama. Epic! Hipnotis Gossip menyebabkan sisa waktu untuk menyimak Deadsquad (7) menjadi 20 menit saja. Tak mengapa, sebab “Anatomy Of Sin”, “Sermon Of Deception” dan Temple Of Profane Existence” cukup membakar untuk didekati. Saya melewatkan “Pasukan Mati”, Dimensi Keterasingan” dan “Patriot Moral Prematur”. Tapi saya tak kehilangan gairah ketika “Manufaktur Replika Baptis” dibawakan dengan gegap gempita.
Poin lain yang menjadi gimmick Deadsquad adalah penampilan bassis Deadsquad, Bonnie Siddharta, yang mengenakan sepatu boot tinggi dan hot pants berbahan jeans. Sisi gilanya selalu ada. Musikimia (6) tampil di Dome Stage membawakan sebagian besar lagu musisi lain. Praktis hanya dua lagu milik sendiri yang mereka bawakan, yaitu “Merdeka Sampai Mati” dan “Apakah Harus Seperti Ini”. Fadli cs hendak memunculkan sisi lain dari aransemen lagu “Kolam Susu” dari Koes Plus dan “Begini Begitu” dari Benjamin S. Sayangnya, setlist seolah tanpa benang merah yang unik, kecuali meneguhkan bahwa beberapa personel Padi selain Piyu masih memiliki karya. Ketidaknyamanan pada repertoire Musikimia itu tertolong dengan gubahan Led Zeppelin berjudul “Rock ‘N Roll” yang mereka hadirkan di penghujung penampilan. Sugar Ray (7) bermain aman dengan menampilkan lagu-lagu hits mereka. Seperti diketahui, beberapa judul lagu mereka juga mengawali lirik di sejumlah lagu mereka. “When It”s Over”, Someday” dan “Every Morning” bisa menjadi contoh populer dari lagu itu. Mark McGrath dan Rodney Sheppard adalah dua pendiri yang masih bertahan bersama Sugar Ray. Sejumlah penonton dengan fasih mengikuti tuntunan lirik Mark di beberapa lagu. “Mean Machine”, “Speed Home California” atau encore “Fly” menjadi suguhan penuh nostalgia dari Sugar Ray. Selera humor Sugar Ray juga tergambar saat Mark mengomentari derasnya gempuran brutal death metal dari jasad di Tebs Stage. “Apakah mereka Slayer?” tanya Mark penuh takjub. Steelheart (8) berhasil menuntaskan dahaga penggemarnya. Milijenko Matijevic cs tampil prima membawakan 11 lagu, meskipun sempat mengalami kendala
teknis di dua lagu awal. Kru Steelheart juga hilir mudik panggung di beberapa kesempatan untuk memastikan gitar yang dimainkan Matijevic dalam kondisi prima. Lagu “We All Die Young”, “I’ll Never Let You Go”, “Mama Don’t You Cry” dan cover version “Black Dog” dari Led Zeppelin dibawakan dengan enerjik dan penuh improvisasi. Usia bukan penghambat. Penampilan Steelheart di penghujung acara ditutup dengan encore lagu hits mereka, “She’s Gone”. Matijevic menghampiri kerumunan penonton sambil bertelanjang dada. Dengan memukau, Matijevic menghipnotis seluruh penonton yang mengelilinginya untuk bernyanyi bersama, khususnya di reff lagu. Riuh tepuk tangan dan kembang api menutup penampilan Steelheart dan JRL 2013. Steelheart menutupnya dengan spirit rock yang masih menggebu, tak ubahnya totalitas bermusik mereka di dua dekade yang lalu. Secara keseluruhan, JRL 2013 sukses menggelar festival dengan ciri khasnya: profesional. Dua hari mungkin waktu yang sempit untuk sebuah festival rock besar di Asia Tenggara. Namun, jargon “Stand up, we’ll all sing along together ain’t nothin’ as strong” sebagaimana tertera pada booklet festival menunjukkan bahwa JRL berhasil bangkit dari mati suri yang berlangsung setahun lamanya.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 89
GIG REPORT
DARI BANDUNG
MENANTANG DUNIA BANDUNG BERISIK MMXIII VERSUS THE WORLD STADION SILIWANGI, BANDUNG 19 APRIL 2013
OLEH JONI ISKANDAR ADA EKSPEKTASI BESAR DI BALIK JARGON “VERSUS THE WORLD� YANG DIKUMANDANGKAN ATAP PROMOTIONS SELAKU PENYELENGGARA BANDUNG BERISIK MMXIII.
D
i tengah kecenderungan beberapa metal fest yang lahir lebih belakangan untuk berlomba menghadirkan sebanyak mungkin nama-nama besar mancanegara, Bandung Berisik sebagai pesta rakyat underground paling tua berusaha menentang kecenderungan itu dengan tetap memegang teguh tradisi menghadirkan band-band lokal untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, beriring harapan: justru band-band kampung itulah yang akan menaklukkan dunia. Bukan tanpa alasan jika kemudian pengisi line up, utamanya yang tampil di main stage adalah mereka yang telah menjejal panggung festival-festival besar di luar negeri. Setidaknya ada Burgerkill yang telah merasakan Big Day Out di Australia, dan Noxa di Tuska Open Air, Finlandia. Tidak lebih besar dari ekspektasi saya ketika memutuskan menghadiri hajatan ini, setelah setahun sebelumnya dibuat dengki dengan kisah kawan-kawan yang dua hari bermain lumpur di Lanud Sulaiman. Dengan kesadaran penuh tidak akan bisa menyaksikan semua band di line up, saya kemudian menetapkan rencana, fokus 90 I TUCZINE.TUMBLR.COM
kepada beberapa nama yang memang menarik saya: ((AUMAN)), Sigmun, Devadata dan Burgerkill. Untuk dua nama pertama, itu karena mereka adalah dua nama baru yang cukup sering disebut setahun belakangan. Devadata adalah legenda hardcore Surabaya yang selalu saya hormati. Sedang Burgerkill, well, saya sudah cukup sering melihat Burgerkill, baik saat bersama Ivan maupun setelah Viki, di Makassar, Jakarta, Makassar lagi. Saya mau melihat bagaimana mereka bermain di kandang sendiri. Jikapun sempat menyaksikan selain yang empat tadi, itu adalah bonus. Di luar itu, saya cuma mau merasakan secara langsung, setidaknya sekali dalam hidup, atmosfer festival metal terbesar dan paling tradisional di negeri ini, yang gemanya sudah sampai ke ruang-ruang kantor sebuah majalah musik metal yang sama tradisionalnya di Inggris sana. Kesialan-kesialan kecil Pada hari yang telah ditakdirkan, saya bersama seorang kawan, menjejak halaman depan Stadion Siliwangi yang hari itu tidak dipenuhi manusia beratribut biru seperti biasanya, tapi hitam, di mana-mana. Saya tiba sekira pukul 4 sore. Agak telat, setelah beberapa jam sebelumnya menghadiri pernikahan seorang kawan lama di Jakarta. Tuhan berbeda pendapat dengan saya hari itu, ketika rencana-rencana yang sudah diatur tidak berjalan semestinya, berganti kesialan-kesialan kecil yang cukup mengganggu: seorang kawan lama yang sejak sehari sebelumnya telah berjanji
bertemu di lokasi festival tak kunjung tiba setelah ditunggui kurang lebih sejam; tiket yang saya beli dari seseorang yang baik hati menawarkan ternyata palsu; penjaga di pintu masuk mengambil Rotring kesayangan, berikut sebuah suvenir pernikahan berupa gelas mungil unyu-unyu, sampai botol plastik air mineral yang saya tenteng; dan yang terburuk, melewatkan ((AUMAN)), Sigmun dan Devadata. Di dalam, saya langsung menuju area depan Versus Stage, dan mendapati panggung sedang kosong menyusul break ashar. Mengacu pada rundown, seharusnya puluhan ribu orang sudah memadati lapangan ini sejak pukul 10 pagi, dan sejak siang menyaksikan Revenge the Fate, A.L.I.C.E, Devadata, Extreme Decay dan Rocket Rockers berjibaku dengan terik matahari, debu dan masalah-masalah teknis dalam usaha mereka menjadi yang paling berisik. Kelar break, Noxa mengisi kekosongan, memainkan serangkain musik bising ratusan desibel pencuci gendang telinga, merubah suasana sore berawan yang sempat adem ayem itu menjadi kembali beringas. Unit hardcore power groove Outright melanjutkan pembukaan Noxa, melanjutkan keriuhan di depan panggung, setidaknya dengan musik yang memperhatikan jeda breakdown untuk memberi kepada crowd, dan terutama kepada mereka sendiri, waktu untuk menarik nafas sebelum kembali bergumul. Siksa Kubur tampil berikutnya. Setelah basa-basi dari Andre dan kawankawan, mereka langsung menghajar crowd dengan nomor-nomor andalan, menegas-
4gambar dipinjam dari cacimaki666.blogspot.com
kan kuasa mereka ketika mengambil alih pangung. Tapi mereka tidak bisa menentang alam semesta yang seketika memperlihatkan anomalinya. Terik matahari sejak siang, berganti awan teduh, berubah menjadi kelabu lalu gelap dan mulai menumpahkan air di sisa sore, berlanjut sampai petang. Membuat beberapa pengecut seperti saya mengalah, lalu berlari mencari tempat bernaung. Dari kejauhan, sambil mencoba menikmati nasi goreng setengah basi di booth makanan, saya masih sempat melihat Siksa Kubur melanjutkan aksi mereka, tidak peduli. Setidak peduli segerombolan pemberani di depan panggung yang setia berteriak, berjingrak, meninju, menendang, melempar, berputar-putar di bawah hujan. Lalu gelap. Break maghrib. Banyak titik hitam Ada keheningan yang menyelimuti ketika lampu-lampu mulai dinyalakan, menyorot sampai ke area belakang. Jeda berakhir. Hujan mulai reda, menyisakan becek dan lumpur. Panggung kembali hidup. Semua siaga. Tanpa aba-aba semua merapat ke depan. Ketika Viki menyampaikan euloginya, Stadion Siliwangi tiba-tiba pecah. Band metal terbesar Indonesia, sebentar lagi beraksi di festival metal terbesar Indonesia, di kota metal terbesar Indonesia, kampung halaman mereka sendiri. “Darah Hitam Kebencian” sekali lagi mengawali repertoar mereka. Disusul “Under the Scars”, “Anjing Tanah” dan “House of Greed”, membakar crowd yang tak lelah menimpali dengan kekacauan masif, dan mengamini apapun
yang diracaukan Viki dan kawan-kawan dari atas panggung, serupa berhala dan pemujanya. Ada perkenalan sebelum “Shadow of Sorrow” digeber. Dom Lawson, jurnalis majalah Metal Hammer sengaja datang dari Inggris untuk menyaksikan festival ini secara langsung. Dia kemudian didaulat oleh Viki untuk ikut bernyanyi di lagu tersebut. Di balik badannya yang subur, suaranya pelan saja. Kehadirannya bisa juga bertujuan untuk menilai kebesaran Burgerkill yang saat itu masuk nominasi dalam Metal Hammer Golden Gods Award untuk kategori Metal As F*ck. Dua bulan kemudian Burgerkill memenangi penghargaan tersebut, menyisihkan Newsted, Pussy Riot, Nergal dan Sea Shepherd. Sebuah bukti nyata dari jargon ‘versus the world’. Dengan probabilitas yang tidak begitu besar, untuk mengisi setlist yang tidak lebih dari sepuluh lagu, mereka memilih “Tiga Titik Hitam” di antaranya, dari puluhan lagu yang mereka miliki. Seingat saya, saya belum pernah mendengar lagu itu di konser-konser mereka yang saya hadiri sebelumnya. Ajaib, karena itu adalah lagu mereka yang paling saya sukai. Untuk sesaat, saya merasa tidak terlalu sial-sial amat hari itu. Selepas sedikit elegi untuk Ivan, bait-bait pedih dengan iringan musik sentimentil pun mengalun. Tidak perlu Fadli untuk bagian melodic clean singing, 30 ribuan orang, secara bersamaan, bergemuruh dan emosional menyanyikan bagian itu, teruntuk seorang begundal di sana, entah di surga, entah di neraka. Ini adalah momen puncak bagi saya di Bandung Berisik hari
itu. Inilah alasan saya datang. Setelah ditenangkan dengan “Tiga Titik Hitam”, crowd kembali mengamuk ketika Burgerkill menutup setlist mereka dengan anthem pemberontakan yang tidak pernah basi: “Atur Aku”. Ribuan badan-badan yang kuyup, akibat keringat, hujan dan air seni, tak henti dihentakkan, ke segala arah dalam lautan manusia yang tak lagi memikirkan esok hari, seperti ribuan ulat menggerogoti bangkai busuk. Burgerkill sekali lagi membuktikan kebesaran mereka, di sini, di depan para begundal yang sudah belasan tahun mengikuti mereka. Apa lagi yang saya pertaruhkan untuk tinggal lebih lama setelah aksi Burgerkill kelar? Bukannya tidak menyukai Jasad dan Jeruji yang tampil kemudian, juga Seringai yang akan menutup festival ini, tapi ekspektasi saya sudah terpenuhi. Hajat saya sudah tunai. Dengan suara latar sound check dari Jasad, saya meninggalkan lapangan, menuju pintu keluar, diliputi kepuasan sambil terus mencoba menepis penyesalan yang kembali mendera atas kesialan-kesialan sore tadi. Di luar, saya akhirnya menemukan kawan lama yang jamnya terbuat dari karet asli itu. Sampai ketemu di Bandung Berisik berikutnya.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 91
GIG REPORT
PAS PUKAU SCHOUWBURG FESTIVAL MUSIK “THE UNPLUGGED” GEDUNG KESENIAN JAKARTA, JAKARTA 6 DESEMBER 2012 OLEH DIDIK YANDIAWAN
K
amis (6/12), Gedung Kesenian Jakarta menggelar acara bertajuk Festival Musik Gedung Kesenian Jakarta “The Unplugged” dengan PAS Band sebagai penampil utama. Acara ini digelar khusus antara tanggal 6-14 Desember, sebagai satu rangkaian penuh perayaan 25 tahun Gedung Kesenian Jakarta yang tepat dirayakan pada tahun 2012. Melalui festival ini, Gedung Kesenian Jakarta ingin mempersembahkan kematangan karya musisi inspiratif dari berbagai latar belakang genre musik kepada khalayak penikmat musik. Jejak musik PAS Band Dalam konteks bermusik, PAS Band merupakan salah satu band terpenting dalam sejarah musik Indonesia. PAS Band telah menghasilkan delapan album studio dan satu kumpulan terbaik dalam kurun waktu dua dekade. “Four Through The Sap” (1994), “In (No) Sensation” (1995), “IndieVduality” (1997), “Psycho I.D.” (1998), “Ketika” (2001), “2.0” (2003), “Stairway To Seventh” (2004), “Romantic, Lies & Bleeding” (2008) dan album kumpulan terbaik “The Beast of PAS” (2006) adalah deretan katalog musik persembahan PAS Band kepada segenap Paser (fans PAS Band) serta pencinta musik Indonesia. Di awal kemunculannya, PAS Band diperkuat oleh Yukie (vokal), Bengbeng (gitar), Trisnoize (bas), dan Richard (drum). Namun, setelah menghasilkan album keempat, peran Richard digantikan oleh Sandy. Meski demikian, PAS Band tetap konsisten menghasilkan karya musik berkualitas dalam aransemen dan lirik. Tema sosial adalah garis tegas yang dijalani oleh PAS Band dalam berkarya. Terbukti, tema tersebut selalu relevan dalam keseharian hidup kita. Suka-duka, senang-susah, pagi-malam, terang-gelap. Semuanya dapat dengan mudah ditemui dalam lagu-lagu PAS Band. Segmen 1 dan 2 PAS Band - “The Unplugged”: Momen Sandy dan Richard Pada festival musik kali ini, PAS Band menghadirkan sesuatu yang berbeda. 92 I TUCZINE.TUMBLR.COM
Kolaborasi lagu dan musik dalam kemasan akustik bersama sejumlah musisi pendukung menjadi pilihan dalam sajian utama. PAS Band menyiapkan kejutan dalam repertoar konsernya kali ini. Kejutan di dalam lima segmen, di mana penonton baru menyadarinya setelah konser usai. Tepuk tangan membahana dari penonton bergemuruh, menyambut kehadiran PAS Band yang membuka penampilan mereka dengan lagu “Sejuta Harapan” . Pada segmen ini, Yukie mengungkapkan kebahagiaannya kepada segenap Paser yang hadir. Lagu “Kemarau”, “Menyambut Pagi”, dan “Malam Tetaplah Malam” melengkapi segmen pertama “The Unplugged” dengan tajuk “PAS Band drummer Sandy”. Setelah lagu “Malam Tetaplah Malam”, set drum di kanan panggung akhirnya diisi oleh Richard Mutter. Segmen kedua ini bertajuk “PAS Band drummer Richard”. Sebelum membawakan lagu-lagunya, Yukie dan Trisnoize mengajak Richard membicarakan hal-hal sederhana, mulai dari penampilan Richard yang mengenakan jas, hingga penantian kelahiran putri Richard. Setelah itu, PAS Band membawakan lagu pertama yang diciptakan PAS Band di awal karir mereka, “Gangster of Love”. Dua lagu berikutnya adalah “Never Be Lonely” dan “Red Light Shooter”. Lagu “Red Light Shooter” didedikasikan kepada Samuel Marudut (rip), manajer sekaligus orang pertama yang menemukan dan memercayai talenta dan bakat besar PAS Band. Suasana haru dan emosional seketika menyelimuti auditorium dan panggung, seolah Samuel Marudut turut hadir memberkati penampilan PAS Band malam itu. Lagu terakhir dari segmen ini adalah “Regulasi”. Lagu yang jarang dibawakan, tetapi memiliki lirik dan bebunyian yang khas dalam proses rekaman. Lagu ini menceritakan kemarahan dan ekspresi yang terpendam karena regulasi penguasa yang memendam kebebasan di eranya. Geraman Yukie menggambarkan lirik “tak ada yang sembunyi / kita di bawah satu matahari” dengan benderang.
Segmen 3 dan 4 PAS Band - “The Unplugged” : Kolaborasi Intim Bengbeng dan Trisnoize PAS Band mendapat segmen khusus untuk berduet di segmen ketiga, “No Drums”. Di panggung, Trisnoize dan Bengbeng membawakan lagu “Schiebung Des Madchen” dan “Friendship”. Pada lagu ini, suara gitar Bengbeng dipelankan, dan memberi ruang pada penonton untuk fokus kepada bassline Trisnoize. Paser dengan khusyuk menikmati kesempurnaan efek akustik auditorium Gedung Kesenian Jakarta yang nyaris tanpa cela. Berikutnya, giliran Yukie dan Nora “Juwita” (piano) yang berduet di atas panggung. Nora menjadi pembeda, karena tak hanya kecantikannya yang memukau Paser. Permainan pianonya di lagu “Aku”, mampu mengiringi performa vokal Yukie dengan elegan. “Fountain” menjadi lagu penutup segmen ketiga yang dibawakan dengan formasi Yukie-Bengbeng-Andy “Slash”. Yukie mengungkapkan kekagumannya pada lirik lagu “Fountain” sebagai karya terhebat Samuel Marudut (RIP) yang memiliki makna mendalam baginya. Segmen keempat bertajuk “PAS Band drummer Sandy” dibumbui kolaborasi antara PAS Band dengan Iday dan Munkee “7 Kurcaci” (backing vocal) serta Andy “Slash” (gitar). Segmen ini berisi candaan di antara para personel yang mengundang gelak tawa Paser. Pada sesi ini, PAS Band mengisahkan serunya kolaborasi mereka dengan sejumlah artis seperti tERe, Reza Artamevia dan Bunga Citra Lestari ketika sesi rekaman berlangsung. Seperti diketahui, tERe dan Bunga Citra Lestari melejit sebagai penyanyi solo wanita yang diperhitungkan di masanya setelah berkontribusi pada lagu-lagu PAS Band. “Kesepian Kita”, “Kumerindu” dan “Getir” pun dibawakan dengan iringan koor massal Paser. Lagu penuh nostalgia dan mengangkat derajat PAS Band ke tempat yang lebih tinggi di dunia musik Indonesia. Pengakuan jujur dari Yukie ini diamini oleh Paser, melihat kenyataan yang ada berbicara lebih jujur dari pernyataan Yukie.
GIG REPORT
OLEH DERRY MARSELANO
4gambar oleh @ayajenggot, dipinjam dari www.pasband.info
“Gladiator” dan “Matahati” menjadi lagu berikutnya yang diisi oleh kolaborasi vokal Iday dan Munkee “7 Kurcaci” yang memukau. Iday mengisi bagian lantunan lirik berbahasa Arab di lagu “Gladiator”, sedangkan Munkee mengisi bagian rap di lagu “Matahati”. Segmen 5 PAS Band - “The Unplugged”: Unifikasi PAS Band Bersatunya seluruh personel dalam satu panggung akhirnya mengakhiri penantian Paser pada malam itu. Set drum panggung sebelah kiri penonton telah diisi oleh Sandy, di bagian kanan penonton telah diisi oleh Richard. PAS Band kembali melanjutkan percakapan ringan antar personel yang lebih terbuka dan cair. “Pasers”, sebuah lagu yang didedikasikan untuk para Paser, dibawakan sebagai lagu ke-18 konser ini. Koor “we want PAS!” sahutmenyahut di beberapa momen dalam lagu ini. Hadirnya lagu “Impresi” sebagai lagu berikutnya membangkitkan gairah penonton untuk bernyanyi bersama PAS Band. Lagu terbesar PAS Band ini tetap sama energinya ketika pertama kali diperdengarkan ke publik di pertengahan 90-an. Berikutnya, lagu “Kembali” dan “Jengah” menjadi dua lagu sing-a-long penutup. Keduanya merupakan hits lain PAS Band yang selalu menghangatkan suasana konser. Tak hanya liriknya yang membakar, musiknya juga. Selepas aksi drum bersahutsahutan dari Sandy dan Richard, PAS Band mengakhiri penampilan mereka di Gedung Kesenian Jakarta dengan mengapresiasi kehadiran segenap penonton. Mereka berangkulan, membungkukkan badan ke tiga penjuru. Sayup-sayup chant “we want PAS!” kembali diteriakkan, mengantar kebahagiaan personel PAS Band larut bersama kebahagiaan para Paser yang mengabadikan konser PAS Band malam itu sebagai salah satu konser terhebat mereka sejauh ini.
.
POGO POGO DI SEMARANG SEMARANG SKA FESTIVAL 2012 TAMAN BUDAYA RADEN SALEH, SEMARANG 17 NOVEMBER 2012
P
ertengahan Juli tahun lalu saya dikagetkan oleh selebaran acara konser musik ska setelah kurang lebih tiga tahun tidak menghadiri gig semacam itu. Yup, terakhir kali saya datang ke gig ska itu pada April 2009 dalam acara “Rudeboys Outta Jail”, konser reuni The Artificial Life yang sangat spektakuler. Waktu itu saya sempat khawatir Submarine Café tempat acara itu berlangsung bisa roboh saking padat dan liarnya penonton yang hadir berdansa. Judul acara di selebaran itu adalah “Semarang Ska Festival” dengan bintang tamu Mr. T-Bone (Italia) dan Chris Murray (Amerika Serikat), dan saat itu juga saya memutuskan harus menghadirinya. Tapi begitu melihat tanggalnya, ternyata masih lima bulan ke depan dan hasrat berdansa kembali saya pendam. Lima bulan kemudian, saya sudah hadir di Taman Budaya Raden Saleh, tempat acara berlangsung. Saat masuk ke dalam venue, Aimee! dari Semarang sedang perform. Kalau tidak salah, dulu band ini pernah tampil di Radio Show. Vokalisnya cewek, mirip The Paper Pots. Cuma sempat dengar satu lagu utuh dari Aimee! ini. Mereka mengaransemen ulang lagu yang biasa diputar di Stasiun Tawang, kalau tidak salah judulnya “Gambang Semarang”. Band-band selanjutnya berasal dari seputaran Jawa Tengah. Di antaranya The Yanto Brothers (Wonogiri), Ibaratskata (Kudus), The Mobster (Solo), Banana Steady Beat (Blitar) dll. Yang sempat mencuri perhatian saya adalah One Step Beyond. Dari band asal Purwokerto ini terdengar alunan trad ska, rocksteady beat dan sedikit sentuhan 2tone. Vokalisnya begitu atraktif, unik dan karismatik. Selain One Step Beyond ada juga Gang Holiday
4gambar dipinjam dari remaja.suaramerdeka.com
asal Malang yang menyajikan alunan musik ska dengan sentuhan dub. Yup, musik mereka terdengar lain dari yang lain malam itu. Akhirnya yang ditunggu-tunggu, Mr. T-Bone naik ke atas panggung dengan setelan jas lengkap, tidak lupa menyertakan sebuah handuk sedang untuk menyeka keringat yang bercucuran. Luigi De Gaspari, nama asli dari Mr. T-Bone ini langsung memukau penonton dengan solo trombonenya yang diiringi oleh The Authentics. Dokter Sinyo di sebelah saya terlihat ragu antara mau berdansa atau memperhatikan teknik meniup trombone ala Luigi yang staminanya harus diacungi jempol itu. Hampir tanpa jeda, tiupan dan lantunan lagu bergantian dia alunkan. Di sela-sela pergantian lagu, Mr. T-Bone menceritakan bagaimana dia bisa tertarik untuk datang dan bermain di Indonesia. Semuanya berawal dari melihat video The Authentics di youtube, dia tertarik dan akhirnya memutuskan untuk datang ke Semarang Ska Festival ini. Kelar bercerita, tembang yang di-cover oleh The Authentics, “I Mean” pun mengalun dan kembali mengajak berdansa. Setelah itu ada lagu “Banana”, disusul beberapa tembang lain yang menghidupkan suasana malam itu, sebelum akhirnya lagu “Me, Myself and I” menutup acara ini. Secara keseluruhan festival ini keren, tidak rusuh. Sound yang keluar juga lumayan walaupun kadang suara vokal tertutup sama brass section-nya. Suasananya minimalis underground, crowd-nya juga oke, bahkan ada penonton internasionalnya: tiga orang wanita bule yang pogo-nya lebih hot dari yang lainnya malam itu. Suara brass section yang memekakkan telinga, dansa ala trad ska, bau alkohol, asap mariyuana dan keringat membuat sakit pinggang saya sejenak terlupakan malam itu.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 93
REVIEW
BEST OF 2013 RILISAN-RILISAN 2013 PALING SERING DISIMAK Sebenarnya, di awal tahun ini kami ingin membuat daftar album terbaik menurut Tuczine, seperti di majalah-majalah musik yang keren itu, tapi sekali lagi kami tidak punya cukup sumber daya dan referensi yang bisa diandalkan. Jadilah kami meminta dari kamerad sekalian untuk menyebutkan daftar rilisan (bisa album penuh, live album, mini album, kompilasi, dll) terbaik 2013 menurut penilain masing-masing. Beberapa kamerad merespon kami, dan inilah hasilnya. Anggap saja semacam ‘editors’ picks’ begitu ya.
OLD MAN’S GLORY CHRESNO DAROE WARSONO 6
PEOPLE, HELL AND ANGELS JIMI HENDRIX
ini Jimi Hendrix, titik.
Alasan saya mungkin sangat singkat: saya suka dan beli album ini karena
5
NOW WHAT?! DEEP PURPLE Semula saya tidak tertarik pada album ini, mengingat musik Deep Purple (masa kini) yang bisa saya nikmati cuma sampai album “Purpendicular” (1996). Album-album setelahnya (“Abandon”, “Bananas” dan “Rapture of the Deep”) tidak bisa masuk di telinga saya. Setelah ramai dibicarakan di milis m-claro, barulah saya cari unduhannya, ternyata lumayan bagus. Mudah dicerna tapi tidak membosankan dan nyaman dinikmati dalam perjalanan. Jadilah saya beli juga album ini (produk lokal) dan beberapa kali saya putar di perjalanan rumah-kantor. 94 I TUCZINE.TUMBLR.COM
4
SWEET SUMMER SUN HYDE PARK LIVE THE ROLLING STONES Yang ini sama persis dengan alasan untuk album Black Sabbath, “Live... Gathered In Their Masses” di bawah. The Rolling Stones bagi saya memang tidak ada matinya dan tidak akan pernah mati.
3
LIVE... GATHERED IN THEIR MASSES BLACK SABBATH Saya suka album ini setelah menikmati videonya. Meski sudah kelihatan tua-tua tetapi penampilan mereka di konser itu bagi saya merupakan tontonan yang menarik. Mereka masih enerjik dan lagu-lagu yang dibawakan sangat akrab di telinga. Setelahnya, ketika saya menikmati audionya masih terbayang konser mereka itu, jadi asyik saja.
2
PERFECT STRANGERS LIVE DEEP PURPLE Sebetulnya saya membeli album ini karena tertarik videonya (album ini terdiri dari 2 cd dan dvd), mengingat sejak 30 tahun lalu ketika Deep Purple
merilis album “Perfect Strangers” belum pernah ada dokumentasi live mereka masa itu yang beredar. Saat itu (jaman video beta) yang ada hanya video konser-konser era ‘70-an. Musik yang dikemas dalam album ini terasa sangat segar dan menikmatkan.
1
13 BLACK SABBATH Bagi sebagian besar penggemar Black Sabbath era Ozzy (termasuk saya), ini bisa jadi album yang ditunggu-tunggu selama lebih dari 30 tahun. Album ini benar-benar menghadirkan suasana yang sama dengan suasana ketika saya pertama kali menyimak album-album Sabbath era Ozzy di awal ‘80-an dulu. Suasana ancient heavy metal yang saya kenal dulu. Rupanya Sabbath benar-benar ingin menghadirkan masa lalu dalam album ini. Simak saja gambar di permukaan cd-nya yang merupakan motif khas label piringan hitam produksi Vertigo dan durasinya yang 54 menit (standar piringan hitam) untuk 8 lagu. Sedangkan edisi deluxe ada tambahan 3 lagu yang ditaruh di cd kedua. Meskipun sebetulnya kalau digabung, 11 lagu itu muat dalam satu keping cd. Catatan: sebelum pesan, edisi deluxe album ini saya unduh dan masukkan ke dalam satu cd. Secara keseluruhan, lagu-lagu di album ini bagi saya sangat menyenangkan dan sangat Black Sabbath. Yang menarik, di penghujung lagu terakhir terdengar bunyi hujan, petir dan lonceng gereja di kejauhan, persis seperti pembuka lagu pertama mereka di album debut tahun 1970. Apakah ini pertanda sebagai album terakhir, mengingat kanker yang diderita Iommi? Entahlah.
.
REVIEW
TO POGO LIST DERRY MARSELANO
6
AM ARCTIC MONKEYS Entah kenapa di player saya lagu pertama yang terputar justru “I Wanna Be Yours” yang gelap. Wah ini tidak sama dengan “Favourite Worst Nightmare”. Siap kecewa, ternyata tidak. Malah lagu tadi selalu membuat kepala bergoyang.
5
STOMP & STROLL BIG D AND THE KIDS TABLE Kadang sebuah band ska ingin memainkan musik ska punk ala 3rd wave, kadang juga ska trad, dub, atau reggae sound. Band kampret ini memainkan keduanya, terus bikin dua album.
THE GRIMY LIST AJAR REDINDRA ISLAMI
2
4
THE HANDS THAT THIEVE STREETLIGHT MANIFESTO
PARADISE VALLEY JOHN MAYER Sebelumnya saya melakukan kesalahan dengan menganggap “Born and Raised” tidak bagus-bagus amat. Saya tidak mau mengulangi kesalahan. “Paradise Valley” ini asyik benar buat didengar sembari melihat pemandangan di Gunung Kidul.
Walaupun tidak sekeren “Somewhere In the Between” tapi lumayanlah buat pogo-pogo sendiri. Rilisnya lama juga dari album sebelumya.
1
RETURN OF THE ROOTBOIS #2 VARIOUS ARTISTS
3
KARNATRA KARNATRA Asyik. Senang melihat band yang dulu sering main bareng akhirnya bisa sukses. Lagunya berasa The Smiths. Liriknya juga simpel tapi tidak murahan. Susah bikin lagu berbahasa Indonesia yang berkelas.
Keren. Beraneka genre dan style jadi satu. Ada jazz, ska, keroncong. Saya mengira si Aime memasukkan “Gambang Semarang”, ternyata lagu yang lain. Tapi enak juga sih. Saya masih ingat Yanto Brothers waktu live. Geblek benar on stage performance-nya.
.
4
SIGNED AND SEALED IN BLOOD DROPKICK MURPHYS Lagu-lagu Dropkick Murphys kebanyakan terdengar seperti nyanyian sekelompok orang Amerika beretnis Irlandia dari kelas pekerja yang ketemu teman lama, lalu mabuk-mabukan, menyanyi bersama, kemudian bikin onar. Tidak terkecuali di album ini.
2
THE BOSTON PROJECT SLAINE Slaine bekerja sama dengan para musisi top hiphop dari Boston untuk mengerjakan album tribut untuk kota kelahirannya ini. Terasa sedikit lebih personal, namun tidak lebih lembek dari album solo rekan segrupnya di La Coka Nostra, Ill Bill.
1
3 5
SEE THE LIGHT LESS THAN JAKE
trompetnya easy listening.
Sama kayak album-album mereka sebelumnya: cepat, bertenaga dan
THE GRIMY AWARDS ILL BILL
ALL FOR THIS! KEMURI Masih tetap bernuansa positive mental attitude yang jadi ciri khas mereka. Ini adalah karya terbaru setelah pada 2007 lalu mengumumkan bubar. Cocok didengarkan di pagi hari untuk membentuk mood.
Segahar album grupnya, “The Grimy Awards” milik Ill Bill ini berisi track-track cadas dengan guess appearance dan beatbeat bikinan para veteran hiphop seperti DJ Premier, Q-Unique, Ayatollah, Dj Muggs atau Jedi Mind Tricks.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 95
REVIEW
INTERNATIONAL AND LOCAL FAVOURITES DIDIK YANDIAWAN
S
ejauh ini, musik memegang peran penting dalam hidup saya. Sejak mulai membeli album musik di tahun 2001, saya menjelajahi berbagai genre musik, populer dan kontemporer. Tidak hanya menginspirasi, musik juga mengantar saya untuk mengapresiasi rantai kehidupan yang lebih luas. Membeli album musik sama halnya dengan menghidupi musisi dan orang-orang yang ada di rantai industri ini. Berkunjung ke toko retail album musik adalah terapi bagi saya. Di sana, saya mencari album musik terbaru dan terfavorit dari katalog lama. Indonesia dan internasional. Tidak ada yang berubah. Interaksi dengan kaset, cd, dvd, dan piringan hitam sangat menyenangkan. Mulai dari merencanakan album yang akan dibeli, menelusurinya di rak, menemukannya, menyentuhnya, membuka segelnya, dan mendengarkan seluruh isinya dengan alat pemutar khusus dari awal sampai akhir. Interaksi dengan orang-orang di toko retail musik tak tergantikan dengan apapun. Dari sekedar menyapa, berdiskusi, bertransaksi, berteman, bahkan bertemu pasangan hidup. Semua hal itu telah saya alami dari interaksi dengan orang-orang yang bekerja di toko retail musik. Kurang apa lagi? Saya bersyukur atas kesempatan-kesempatan yang berkesan, di mana tidak semua orang bisa mengalami dan menikmatinya. Situasi kurang menggembirakan di industri musik Indonesia dan internasional saat ini, yang ditandai dengan kolapsnya sejumlah toko retail musik, cukup menyedihkan bagi saya. Transisi sedang dimulai, era fisik ke era digital. Saya tetap percaya bahwa lagu dan album berkualitas pasti dicari dan dibeli. Seperti biasa, saya berbagi daftar lagu terfavorit di tahun 2013. Keterbatasan waktu menjadi kendala untuk mendengarkan seluruh album yang bisa jadi bagus menurut orang lain. Album terfavorit ini terpilih karena kekuatan tema album, kualitas lagu, terobosan ide, serta artwork sampul dan kemasan album. Selain itu, meskipun banyak rilisan album kumpulan hits terbaik, 96 I TUCZINE.TUMBLR.COM
reproduksi, dan tribut yang bagus, rilisan tersebut tidak masuk dalam kategori ini.
15 ALBUM INTERNASIONAL FAVORIT
15 MIND CONTROL UNCLE ACID AND
Lagu favorit: “Black Skinhead”, “Bound 2”.
4 RANDOM ACCESS MEMORIES DAFT PUNK Lagu favorit: “Giorgio by Moroder”, “Contact”, “Instant Crush”.
3 TROUBLE WILL FIND ME THE
THE DEADBEATS Lagu favorit: “Mt. Abraxas”, “Poison Apple”.
NATIONAL Lagu favorit: “Pink Rabbits”, “Sea of Love”, “Don’t Swallow the Cap”.
14 OPPOSITES BIFFY CLYRO
2 AM ARCTIC MONKEYS
13 13 BLACK SABBATH
1 REFLEKTOR ARCADE FIRE
Lagu favorit: “Spanish Radio”, “Sounds Like Balloons”, “Biblical”. Lagu favorit: “God Is Dead?”, “Loner”.
12 THE RAVEN THAT REFUSED TO
SING (AND OTHER STORIES) STEVEN WILSON Lagu favorit: “The Raven That Refused to Sing”, “Drive Home”.
11 SUNBATHER DEAFHEAVEN
Lagu favorit: “Dream House”, “Sunbather”.
10 MBV MY BLOODY VALENTINE
Lagu favorit: “New You”, “Only Tomorrow”.
9 AMOK ATOMS FOR PEACE
Lagu favorit: “Before Your Very Eyes...”, “Ingenue”.
8 WE ARE THE 21ST CENTURY
AMBASSADORS OF PEACE AND MAGIC FOXYGEN Lagu favorit: “Shuggie”, “San Francisco”.
7 SEMPITERNAL BRING ME THE
HORIZON Lagu favorit: “And the Snakes Starts To Sing”, “Hospital For Souls”.
6 MODERN VAMPIRES OF THE CITY
VAMPIRE WEEKEND Lagu favorit: “Ya Hey”, “Step”, “Unbelievers”.
5 YEEZUS KANYE WEST
Lagu favorit: “Arabella”, “Fireside”, “I Wanna Be Yours”. Lagu favorit: “Afterlife”, “It’s Never Over (Oh Orpheus)”, “Reflektor”.
15 ALBUM LOKAL FAVORIT
15
KARNATRA KARNATRA Penuturan lirik filosofis dengan gaya bernyanyi Morrissey di era kejayaan The Smiths mewakili persepsi betapa berbahayanya band ini. Lagu favorit: “Heroine”, “Moksa”.
14
VON STUFE ZU STUFE L’ALPHALPHA Enam pemudapemudi pengusung genre postrock menggubah musik yang melaju bak kereta super cepat. Memanjakan telinga dari panggung ke panggung. Lagu favorit: “Gema”, “Futuredays”, “Reverie”.
13
SRIWEDARI MALIQ & D’ESSENTIALS Album taman surga untuk para pecinta. Dikemas dengan musik yang segar, pembangkit aura gembira. Lagu favorit: “Drama Romantika”, “Setapak Sriwedari”.
12
FROM THE DEEPEST GROWL THE EXPERIENCE BROTHERS Kakak beradik yang mendeklarasikan band mereka sebagai pengusung aliran modern psychedelic blues rock duo tampil semakin maskulin. Album yang dieksekusi dengan baik. Lagu favorit: “Lion”.
11
HEY, MAKAN TUH GITAR! MORFEM Lirik jenius dan pengayaan musik eklektik. Menabrakkan gaya bertutur Lou Reed pada dominasi bebunyian gitar yang fuzzy adalah poin plus. Makan tuh Gitar! Lagu favorit: “Hey Tuan Botimen”, “Senjakala Cerita”.
10
HAPPY CODA FRAU Jelmaan Regina Spektor versi Jogjakarta. Piano sebagai instrumen utama menggiring musik Frau tetap muda dan memikat. Lagu favorit: “Water”, “Tarian Sari”.
9
WHISTLER POST WHISTLER POST Shoegaze berbaur dengan indie-rock. Hasil yang manis. Sangat manis. Lagu favorit: “Sebastian Says”.
8
PROFANATIK DEADSQUAD Skuad technical death metal semakin perkasa dengan agenda besar. Rangkum beragam suguhan pemikiran tentang fakta politik dan sosial-budaya dari sudut pandang berbeda. Lagu favorit: “Patriot Moral Prematur”, “Ode Kekekalan Pusara”.
7
BERANDALAN IBUKOTA SUPERGLAD Bersenangsenang di tahun ke-10 dengan kolaborasi intim menghasilkan progres revolusioner. Lagu favorit: “Senjata”, “Hanya Maut Yang Bisa”.
6
LOVE BOMB NAVICULA Dua keping cd grunge dalam satu kemasan. Satu direkam di AS, satu di Indonesia. Penuh eksplorasi. Lagu favorit: “Tomcat”, “Love Bomb”, “Mafia Hukum”.
5
SUNSET DI TANAH ANARKI SUPERMAN IS DEAD Rp. 75.000 terbilang murah untuk album berisi 17 lagu bermutu. Keresahan, perlawanan, hingga perjuangan silih berganti mengisi. Perlawanan tak akan pernah bisa dihentikan. Lagu favorit: “Kita Adalah Belati”, “Sunset di Tanah Anarki”.
4
SUAR MARABAHAYA ((AUMAN)) Hard rock bernas sekaligus ugalugalan. Dipacu kencang dan membakar. Sisi liar berbalut lirik lugas. Lagu favorit: “Suara
Marabahaya”, “Sangkakala Apokalips”, “M.A.C.H.O”.
3
KARAT & ARANG ADRIAN ADIOETOMO Album ganda dari pejuang delta blues Indonesia. Karakter kuat Adrian Adioetomo membuktikan kualitas dan kuantitas lagu di album ini ke puncak sukses. Ambisius nan prestisius. Lagu favorit: “Pantun Nasib”, “Berapa Harganya?”, “Gadis Gerilya”.
2
ROEKMANA’S REPERTOIRE TIGAPAGI Folk kontemporer yang meramu nada diatonik dan pentatonik dengan apik. Jalinan kisah yang memotret Roekmana (musisi) berlatar waktu September 1965 sukses mengantar kerinduan mengikuti lagu dari awal menuju ke akhir, untuk kemudian diputar ulang kembali. Lagu favorit: “AlangAlang”, “Erika”, “Pasir”.
1
DETOURN THE S.I.G.I.T Album ini menunjukkan kematangan dalam segala aspek. Saya suka cara mereka memproduksi dan mengemas album ini. Rock yang dikemas dalam multi-format. Brilian. Lagu favorit: “Tired Eyes”, “Conundrum”, “Gate of 15th”. Album-album lain yang sayang untuk dilewatkan di antaranya “Morning Sugar” oleh Ayushita; “Himne Perang Akhir Pekan” oleh Down For Life; “Jajan Rock” dan “Sentuhan Minimal” oleh Harlan; “Ultimatum” oleh Inlander; “Raya” oleh Iwan Fals; “Between Us” oleh Lala; “Come Out of Nowhere” oleh Mind Deer; “Daur, Baur” oleh Pandai Besi; “Phenomenon” oleh SSSLOTHHH; “Sorealist” oleh Sore; “Menyanyikan Lagu2 Daerah” oleh White Shoes and The Couples Company; “Savage” oleh Zorv, dll.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 97
REVIEW
LOCAL HEROES DEDE HATE
T
idak seperti tahun-tahun sebelumnya, 2013 bisa dibilang tahun sangat sibuk bagi saya. Tahun ini adalah tahun paling banyak saya berburu cd. Semuanya produk lokal. Nahasnya, semuanya berakhir teronggok saja, karena isinya sudah di-rip dan dipindah ke ipod. Biar bisa dinikmati kapan saja, di mana saja. Mencoba menjadi penikmat musik yang baik itu, meski menyisakan kepuasan, ternyata mahal dan melelahkan. Sesibuk apapun saya mencoba mengikuti, tetap saja tidak semua rilisan-rilisan terbaru bisa didapat. Yup, di balik kondisi buruk industri musik tanah air, ternyata skena indie/underground terus bergeliat. Bisa dilihat dari jumlah rilisan selama 2013 yang amat sangat banyak sekali. Baik itu rilisan fisik dalam bentuk cd, kaset, vinyl maupun rilisan digital via netlabel, unduh bebas atau unduh berbayar. Saya mencoba membuat daftar rilisan, katakanlah, terbaik. Kriteria utamanya, simple saja: yang paling lama bertahan di daftar main dan paling sering disimak. Satu kriteria penguat: semua atau hampir semua lagu di dalamnya enak didengar. Saya tidak memasukkan kemasan sebagai salah satu kriteria, karena, well, kita berbicara musik. Untuk itu mungkin nanti ada daftar ‘best packaging’. Saya menggunakan istilah ‘rilisan’, karena belum tentu semuanya full length, bisa jadi ada mini album atau kompilasi. Saya menyebutkan satu lagu untuk setiap rilisan, yang menurut saya cukup mewakili keseluruhan isinya. Ini sekaligus bisa dianggap sebagai lagu-lagu terbaik 2013 versi saya.
16
FINDING MOON MELISMATIS Betapa kagetnya ketika mulai menyimak satu persatu sepuluh lagu yang ditawarkan. Dengan berani dan percaya diri, ensemble asli Makassar ini menabrakkan unsur musik pop, rock, akustik, perkusi dan post-hardcore dengan visualisasi yang berseni serta aksi panggung yang hidup. Mengeksplorasi dan meramu semuanya menjadi satu konsep yang cukup berbeda dari yang sudah ada. Simak: “Sedikit ke Timur”. 98 I TUCZINE.TUMBLR.COM
15
GIANNI PORTO ECHOLIGHT Menggunakan topeng barong sebagai representasi dari karakter fiktif Gianni Porto yang gelisah, depresi, frustasi dan delusional, Echolight menawarkan sesuatu yang berbeda dari sajian post-rock yang jamak belakangan ini. Diperkaya berbagai unsur shoegaze, postpunk, akustik sampai post-metal, komposisi yang disajikan mengaduk emosi yang membuncah berkat pakem tempo yang fluktuatif. Simak: “Traffic Thriller”.
14
ILLMORTALITY EYEFEELSIX Tong sampah terbaru dari Eyefeelsix ini berisi lebih banyak lagi amarah dan kebencian berwujud rima-rima penyembur mikrofon yang lebih terpoles, scratchworks pencabik turtanble yang bertumpang tindih dengan beat dan sampling, serta beragam sumbangan kontribusi dari beberapa kawan, melahirkan sound old school hiphop yang menghadirkan kembali La Coka Nostra, Jedi Mind Tricks, dan lainnya dalam sepaket amunisi protes paling mutakhir. Simak: “Anthem”.
13
KALA SENJA DALAM PROSA Bernuansa ambience berkat efek reverb dan delay yang berdesir-desir, serta vokal yang berteriak-teriak serupa deklamasi puisi dalam struktur lagu yang meledak-ledak, komposisi yang mereka jalin bisa digolongkan ke dalam wilayah screamo dan post-rock sekaligus. Meledak-ledak dan mengawang-awang sekaligus. Sayang sekali, ep ini cuma berisi dua lagu. Simak: “Rona Jingga Murka”.
12
SUAR MARABAHAYA ((AUMAN)) Keseluruhan, meskipun mengaku cuma kumpulan gerobak rock ‘n roll tendang pantat dengan musik yang rusuh, lima personil bermain padu dalam kesatuan, menghasilkan musik rock yang seharusnya, tanpa lupa menunjukkan skill masing-masing di beberapa bagian lagu. Sebelas lagu di album ini tersusun rapi dan terjalin solid. Tidak ada celah untuk mengatakan rekaman ini lemah. Simak: “Suara Marabahaya”.
11
ULTIMATUM INLANDER Beriring musik metal bercampur punk sangat cepat berkat ketukan d-beat yang rapat, distorsi yang meraung-raung dan lead yang menggigit, album ini adalah manifesto perjuangan dari Inlander kepada segenap Ekstrimis, sekaligus ultimatum pemberontakan kepada para penindas. Ambil alih kendali! Simak: “Hologram Ultimatum”.
10
DETOURN THE S.I.G.I.T Penantian selama tujuh tahun, pertaruhan ide akan eksplorasi dan eksperimentasi melahirkan album ini. Saya akan senang-senang saja jika akhirnya The S.I.G.I.T membutuhkan waktu lebih lama untuk album ketiga. Mereka butuh menggali lebih dalam ke lubang kreatifitas lainnya dan sumber referensi baru untuk menyamai kemegahan “Detourn”. Tidak mudah, seperti kata Rekti. Kita semua siap menunggu. Toh, album ini masih akan bergema sampai bertahun-tahun ke depan. Simak: “Conundrum”.
9
PENGHABISAN MATIUS III:II Dari selatan, lima malaikat mengambil alih surga, mengkhotbahkan pembalasan, kutukankutukan biblikal dan ratapan menyambut kiamat dalam dua belas kidung apokalip yang mencekam sekaligus hedon. Anggukangguk, geleng-geleng, cadas bersama dansa-dansi lewat sentuhan industrial metal yang telah lama menjadi dominasi Koil, juga Rammstein dan Fear Factory, pun Ministry. Mari menyimak Matius, yang akan mengantar kita menuju penghabisan. Berdansa menyambut kiamat. Bertobatlah! Simak: “Penghabisan”.
8
DISILLUSIONAL BLURS DEADLY WEAPON Terakhir kali saya mendengar yang sebrutal ini muncul dari Jogja adalah “Vicious Circle” oleh Wicked Suffer pada 2011. Tidak persis seminal powerviolence seperti kompatriot mereka tersebut, Deadly Weapon lebih simpel saja menentukan kiblat, langsung ke Afgrund dan almighty Nasum!! Menggerinda tanpa putus asa selama setengah jam lebih dengan brutal, cepat melindas, dan penuh amarah. Siap memanjakan kuping para metalhead dengan musik cadas yang cepat, singkat nan memuaskan. Simak: “Not A Single F*ck Was Given”.
7
PLAY REWIND ERASE SPACEANDMISSILE Duo Tintus Hermawan dan Ishaq Hari Yogaswara, dengan komposisi nada-nada yang ‘murung’ dan ‘dingin’, mengajak kita mengawang-awang ke angkasa, dengan permainan emosi yang naik-turun: sepi, mengawang, terasing, kadang melankolia, namun tetap berakhir dengan percikan optimisme di ujungnya. “Play Rewind Erase” adalah sajian electronic post-rock yang mampu membawa kita untuk terus memainkan, memutar berulangulang, dan tidak serta-merta menghapusnya. Simak: “Day After Us Part 2”.
6
PHENOMENON SSSLOTHHH Mungkin dilabeli sludge yang terlanjur bersinonim dengan berat, lambat dan malas, tapi dari pengalaman saya, album ini tidaklah demikian. Malah boleh saya bilang easy listening. SSSLOTHHH memainkan subgenre metal yang belum terlalu familiar di skena bawah tanah lokal, namun tetap memperhatikan kenyamanan pendengar potensial. Sederhananya, sludge metal yang mereka mainkan adalah untuk pemula. Ah, cccrothhh!!! Simak: “Oracle”.
5
SAVAGE ZORV Saya bukan bagian dari Generasi X. Saya sekedar tumbuh menyesap harihari terakhir kejayaan grunge. Tapi mendengar lagu-lagu di album ini, membuat saya merasa belasan tahun lebih muda, lebih enerjik dan bersemangat. Yah, saya, sekali lagi ter-grunchkan. Simak: “Believe”.
4
ROEKMANA’S REPERTOIRE TIGAPAGI Nada-nada syahdu dalam gubahan folk kontemporer yang kelabu bersanding bersama suasana kelam hari-hari merah September 1965 menjadi suara dan gambaran latar dari seseorang yang gelisah dan sedang mencari, entah apa, dalam sebuah debut yang sudah ditakdirkan menjadi klasik di hari perilisannya. Simak: “Pasir”.
3
WARKVLT IMPISH Terlepas dari perpecahan yang melanda setelah album ini dirilis, “Warkvlt” berada pada tataran pure and true black metal, membawa semangat kuno Mayhem dalam imagery war black metal dengan sentuhan moder-
nitas. Tidak ada lagi noise dan raw, yang ada rekaman dengan sound mumpuni dan berkualitas. Bersama lirik tentang sisi kelam manusia dan perang yang direpresentasikan oleh hyperblast layaknya machine gun, sembilan lagu di album ini siap memberondong sampai mampus. Cepat, bergelora dan sangat true. Mencuatkan memori lama bahwa black metal pernah, dan sekali lagi, sangat nyaman di kuping. Simak: “Apokalyptikal Battlehym”.
2
FROM MINDLESS SYNDROME TO THE ETERNAL DECAY PROLETAR Di album terbaru ini, Proletar sepertinya tidak lagi menjadikan mincecore sebagai fondasi tunggal. Komposisi yang tersaji terdengar lebih luas, dalam jalinan apik grindcore dan death metal. Menyembur keluar dengan kualitas sound maksimum tanpa banyak noise, memanjakan kuping, memicu eargasm sangat panjang, mengujungkan ekstase. Saya tidak sedang meracau. Simak: “Outsorcing”.
1
BLACK CLOUDS GATHERING VALLENDUSK Membayangkan tempat semeriah Jakarta untuk menghasilkan atmospheric black metal pegunungan yang tenang, damai, dingin dan menghanyutkan seturut Agalloch adalah tidak terbayangkan. Tapi begitulah keadaannya: Vallendusk adalah dari Jakarta, dan yakinlah, mereka lebih baik dari Agalloch. “Black Clouds Gathering” adalah album terbaik yang pernah saya dengar dalam beberapa tahun belakang. Mungkin juga untuk beberapa tahun ke depan. Simak: “Fragments of Light”. Itulah 16 rilisan 2013 terbaik menurut saya. Beberapa rilisan keren lain yang disimak di antaranya “Escape” Endah N Rhesa; “Animus Animalis” Take This Life; “Love Bomb” Navicula; “Andalusia” Restless; “Family Values” Gugat; dan banyak lainnya. Untuk rilisan internasional, well, saya cuma menyimak dua album. Semoga 2014 lebih baik.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 99
REVIEW
13 BLACK SABBATH 2013 CD, LP I VERTIGO, UNIVERSAL I 8.5/10 oleh Didik Yandiawan KETIKA ANGKA 13 BERMAKNA KEBERUNTUNGAN BAGI SANG PENEMU HEAVY METAL Butuh waktu sebanyak 6.548 hari sejak dirilisnya “Forbidden” (1995), album “13” dirilis. Jika dihitung sejak hengkangnya Ozzy Osbourne pasca “Never Say Die!” (1978), album “13” membutuhkan waktu nyaris dua kali lipatnya, yaitu 12.675 hari! Bukti betapa terjalnya perjalanan Black Sabbath dalam menuntaskan ambisi mereka merampungkan album terbaru mereka. Reuni yang diumumkan 19 bulan sebelum ”13” dirilis tidak serta merta memuluskan langkah Black Sabbath untuk menuntaskan album terbaru mereka. Bill Ward (drum) memutuskan berhenti bekerja sama. Vonis lymphomia yang diidap oleh Toni Iommi menjadi berita buruk selanjutnya. Untungnya, Rick Rubin datang di saat yang tepat untuk mengumpulkan energi Black Sabbath di album “13”. Brad Wilk dari Rage Against the Machine mengisi seluruh bagian drum di album ini. Album terkeras pertama Black Sabbath di era 2000-an sukses tersemat. Geezer Buttler (bass) setia menghadirkan tone megah di lagu-lagu pada album “13”. Kekayaan riff yang dipersembahkan Tomy Iommi di lagu “The End of the Beginning”, “God Is Dead?” dan “Loner” melambungkan memori ke era album “Paranoid” (1970) dan “Master of Reality” (1971). Tak berhenti di sana, “Zeitgeist” mengambil template “Planet Caravan” pada album “Paranoid” (1970). Lolongan vokal Ozzy dalam beberapa lagu menyanyikan lirik repetitif. Sedikit mencuci otak dan membumikan paham yang diselipkan Black Sabbath di sejumlah lagu. Lebih dari itu, kualitas Black Sabbath di empat lagu awal turut diimbangi dengan kehadiran “Live Forever”, “Damaged Soul” dan “Dear Father”. Shredding Iommi terasa berat dan 100 I TUCZINE.TUMBLR.COM
membakar. Dentuman bass dan drum Buttler dan Wilk mengiringi lirik khas bertema krisis paruh baya dari gumam Ozzy. “I don’t want to live forever, but I don’t want to die,” sepenggal kalimat yang menceritakan gambaran tentang lagu “Live Forever”. Black Sabbath telah kembali dengan tiga dari empat personel asli mereka. Kendati kritik publik akan kualitas sound di album “13”, yang sedikit memberi ruang bagi telinga untuk bernafas sempat mengemuka, kembalinya Black Sabbath dalam album “13” merupakan kado yang membanggakan bagi publik.Sulit untuk mengulang pencapaian bintang lima di tiga album perdana mereka. Akan tetapi, energi dengan akar heavy metal yang berat, mencekam dan tetap melodius di beberapa track di album “13” mengembalikan produksi metal Black Sabbath ke jalan yang benar. Album “13” sekaligus mencerminkan kelas Black Sabbath yang sesungguhnya di ranah metal dunia. Legenda. Sekali lagi: legenda!
.
SEMPITERNAL BRING ME THE HORIZON 2013 CD, LP I RCA, EPITAPH I 8/10 oleh Didik Yandiawan KEPING DEMI KEPING MENDIRIKAN BANGUNAN KEABADIAN DALAM DIMENSI YANG NYATA Band metalcore terbaik Inggris saat ini. Pemuncak tangga lagu, album dan penjualan nomor satu di Britania Raya. Berlari dalam formasi teranyar menuju kekekalan waktu bersama rilisan teranyar mereka: “Sempiternal”. Suka atau tidak, Bring Me the Horizon telah membuktikannya. Tanpa basa-basi, Bring Me the Horizon menunjukkan progres menjanjikan dalam segala aspek. Dimensi baru metalcore yang mereka rilis seolah tak peduli hina tubuh mereka dihujani skeptisme di album terdahulu, “Count Your Blessing”, “Suicidal Season” dan “There Is a Hell, Believe Me I’ve Seen It. There Is a Heaven, Let’s Keep It a Secret.”. Mereka
mempercayakan produksi “Sempiternal” pada tangan dingin yang memoles “Around the Fur”, “White Pony” dan “Deftones” dari Deftones, serta “Cowboys From Hell” dan “Vulgar Display of Power” dari Pantera menjadi album yang solid: Terry Date. Kehadiran Jordan Fish mengisi bagian keyboard, synthesizer dan programming menutupi kepergian Jona Weinhofen dari sektor gitar sekaligus memperkaya bebunyian di “Sempiternal”. Album dibuka dengan kegundahan yang diteriakkan Oliver Sykes, “Can You Feel My Heart”. Tuangan isi hati mengisi letupan-letupan berikutnya di lagu “The House of Wolves” yang hiperaktif. “Brick-by-brick-by-brick” menjadi koor repetitif peredam dansa resah yang berpotensi tercipta di sepanjang lagu. Ia bersambut dengan track “Empire”. “Sempiternal” dan “Shadow Moses” menjelma menjadi dua single epik yang merajai chart. Mengambil kegilaan Linkin Park era “Hybrid Theory”, karakter Oliver Sykes dalam menggetarkan pita suaranya di lagu ini seperti jelmaan Chester Bennington. Lee Malia tetap tangguh menghadirkan riff provokatif dan tebal dalam selingan sendu “And the Snakes Start to Sing” dan track atmosferik semacam “Hospital For Souls”. Matt Nicholls dan Matt Kean seperti mesin pembunuh yang bersenjatakan drum dan bass yang bahu-membahu menghujani telinga dengan rentetan beat dan groove yang sensasional. Berdiri membelakangi kenyataan sound yang megah. Melihat lirik sejenak, kemudian tanpa sadar kita dijebak dengan kematangan gundah berbungkus kata-kata. Rapalan indah tersebar di sudut-sudut lagu. “And when you die the only kingdom you’ll see is two foot wide and six foot deep” dari “House of Wolves” cukup membuat akal sehat terhenyak. Atau rapalan maut di “Hospital For Souls” yang cukup untuk membuat sepertiga malam terakhir menjadi perenungan yang kontemplatif: “everybody wants to go to heaven, but nobody wants to die. I can’t fear death no longer, I’ve died a thousand times”. Mengenai track paling tendang-bokong-hajar-dagu dari album ini, saya menjatuhkan pilihan pada “Antivist”. Dengan hook penggalan lirik “you can say I’m just a fool that stands for nothing... well to that I say you’re a cunt!” saya merasa kedewasaan saya terperangkap di limbo amarah yang indah untuk sesaat.
.
AM ARCTIC MONKEYS 2013 CD, LP I DOMINO I 9/10 oleh Didik Yandiawan KARYA BRILIAN DENGAN LEVEL KEMATANGAN BERMUSIK YANG TAK TERBANTAHKAN Bersenangsenang dengan produser sembari bereksperimen. Nampaknya hal ini menjadi jejak bermusik yang ditorehkan Arctic Monkeys. Sejak debut “Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not” (2006) hingga “Suck It And See” (2011), kesan manis selalu hadir menampik kritik. Tak berlebihan jika banyak yang beranggapan bahwa tampuk kepemimpinan dan masa depan indie rock masa kini, ada di dalam genggaman band yang terbentuk di Sheffield pada tahun 2002 ini. James Ford sebagai produser menjadi mitra sejati bagi Arctic Monkeys dalam penggarapan album. Kini, di album “AM”, Ford bersama Ross Orton selaku co-producer telah didaulat untuk keempat kalinya secara berturut-turut oleh Arctic Monkeys untuk mengemban misi luar biasa. Misi petualangan musikal dari “Favourite Worst Nightmare” yang seksi, genit dan memukau menuju “AM” yang gelap, misterius dan menghipnotis. Rekaman album berlangsung di Sage & Sound, Los Angeles dan Rancho De La Luna, California. Alex Turner (vokal, gitar), Jamie Cook (gitar), Nick O’Malley (bass, vokal) dan Matt Helders (drum) mengerjakan album yang memadukan sentuhan garage rock, psychedelic rock, hard rock, soul dan R&B dalam satu album. Kepiawaian Alex Turner dalam menyanyikan lirik dengan pendekatan baru di hits “Do I Wanna Know?” yang sesekali hanya diiringi bagian-bagian harmoni repetitif dari Jamie dan Nick, menggugah kagum berkobar selayaknya api. Sejauh album berputar dalam durasi 41 menit 43 detik, perpindahan antar
lagu berlangsung menarik. Bagaimana spirit Led Zeppelin dan Cream tiba-tiba beradu dengan sensualitas Aaliyah dan kegilaan The Smiths bisa dicerna di lagu “One For the Road”, “I Want It All” dan “Mad Sound”. Signature riff “War Pigs” dari Black Sabbath turut mewarnai lagu cinta dengan riff beringas dengan lirik pemujaan wanita pada level superlatif-hiperbolis berjudul “Arabella”. Kemunculan “Why’d You Only Call Me When Your High?”, “Mad Sounds”, “One For the Road” atau “Snap Out of It” sukses memotret kegelisahan masa muda yang memunculkan sisi platonik dalam lirik Arctic Monkeys. Kolaborasi Arctic Monkeys dengan pentolan Queens of the Stone Age, Josh Homme di “One For the Road” dan “Knee Socks” menghadirkan falsetto dan lolongan penuh aksentuasi dengan efek gema yang menghantui. Hingga akhirnya Alex Turner menuntaskan misi menakjubkan di album ini dengan lagu “I Wanna Be Yours”. Alex Turner mendeklamasikan secara utuh seluruh bait puisi seorang penyair punk kenamaan asal Salford, Lancashire, John Cooper Clarke. Musik Arctic Monkeys hadir tanpa mendominasi kekuatan puisi, dan membiarkan bait-bait puisi “I wanna be your vacuum cleaner / Breathing in your dust / I wanna be your Ford Cortina / I will never rust / If you like your coffee hot / let me be your coffee pot / You call the shots babe / I just wanna be yours” menjadi persembahan abadi, seabadi karya penggubahnya.
.
COLORED SANDS GORGUTS 2013 CD, LP I SEASON OF MIST I 8.5/10 oleh Didik Yandiawan PENANTIAN PANJANG TERBAYAR LUNAS DENGAN PRODUKSI YANG DINAMIS, SEIMBANG DAN MENGHANCURKAN Gorguts bangkit dari tidur panjang. Mereka kembali dengan disonansi
bermuatan serbuan aural yang maut. Kematangan teknik tingkat tinggi tipikal death metal sukses diperdengarkan Gorguts dalam “Colored Sands”. Album berdurasi 62 menit 51 detik yang berisi sembilan lagu ini benarbenar menunjukkan kelas Gorguts sebagai salah satu pionir Canadian death metal. “Le Toit du Monde” menunjukkan bagaimana brutalnya Luc Lemay (vokal, gitar), Kevin Hufnagel (gitar), Colin Marston (bass) dan John Longstreth (drum) meracik karya ini. Lagu ini bercerita tentang mistik Tibet sebagai tanah keabadian. Tempat tertinggi dan tersakral bagi manusia untuk berkontemplasi. “An Ocean of Wisdom” melanjutkan sensasi super ekspres yang bercerita tentang sosok ‘Yang Terpilih’, merujuk pada Dalai Lama. Fakta bahwa “Colored Sands” menjadi karya terkaya dan dinamis dari Gorguts berlanjut dengan kehadiran “Forgotten Arrows” dan “Enemies of Compassion”. Keduanya menghantam telak jati diri yang terbutakan pergumulan gelombang kebencian. “Peace won’t be obtained / As veils of ignorance / Hatred retains,” pekik Lemay dalam “Forgotten Arrows”. Oase orkestrasi instrumental pada “The Battle of Chomdo” menjembatani kedukaan dalam komposisi strings yang monumental. Mungkin inilah pergumulan batin Gorguts yang disajikan dengan cerdas. Bisa kita bayangkan, apa yang ada di lembaran manuskrip ide pada “Colored Sands”. Tibet dan segala dinamikanya. Kesakralan yang tersucikan, sekaligus terabaikan. Coba dengarkan dengan seksama tiga lagu terakhir di album ini: “Ember’s Voice”, “Absconders” dan “Reduced to Silence”. Rasakan betapa serentetan tembakan bertenaga dengan kombinasi riff yang gloomy menjadi koherensi yang berjiwa. “In the end, we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends”, sebuah pepatah lama dari Martin Luther King Jr., menggarisbawahi konflik dan sisi lain dari cara pandang dunia tentang Tibet dan sebaliknya, dari perspektif Gorguts. Pepatah itu menutup tirai panggung “Colored Sands” yang berhasil menuntaskan pentas Gorguts di hadapan kita semua yang mau tidak mau serentak memberikan standing ovation atas pencapaian Gorguts yang telah melampaui ekspektasi kita semua.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 101
REVIEW
BERANDALAN IBUKOTA SUPERGLAD 2013 CD I DEMAJORS I 8/10 oleh Didik Yandiawan SEPULUH TAHUN KEBERSAMAAN YANG DIRAYAKAN DENGAN KEMATANGAN SEPULUH LAGU ROCK BERDOSIS TINGGI Jargon “Walk Together Rock Together!!!” diteriakkan Superglad dalam tulisan yang tercetak pada sampul bagian dalam album teranyar mereka, “Berandalan Ibukota”. Bukan sekedar ruang perayaan satu dekade kebersamaan, “Berandalan Ibukota” menjelma menjadi salah satu karya Superglad yang berkualitas dalam segala aspek. Giox (bass), Luks (gitar), Dadi (gitar) dan Akbar (drum) menghadirkan aransemen rock yang segar campur gahar. Album “Berandalan Ibukota” mengetengahkan kolaborasi Superglad dengan beberapa musisi. Delapan dari sepuluh lagu di album ini melibatkan musisi tamu. Farri (The S.I.G.I.T) meningkatkan kualitas single “Berandalan Ibukota” menjadi salah satu single terbaik di akhir tahun dengan cabikan maut khasnya. RAS Muhamad menggemakan lirik “Satu Jiwa & Nyawa” dengan langgam khas reggae. “Anugerah & Petaka” menghadirkan peran Rindra (Padi & Musikimia) memandu lagu ini dengan jejak bassline yang proporsional. Vokalis tamu yang tak kalah hebat adalah Bonita dan Roy Jeconiah (RI-1). Bonita berduet dengan Luks nyaris di sepanjang lagu “Memori”. Kekuatan karakter Bonita yang disokong oleh permainan gitar ciamik dari Andre Harihandoyo, menjadikan lagu ini berpotensi menjadi single Superglad berikutnya. Roy Jeconiah melantunkan vokal jantan nan berat di lagu “Senjata”. Lirik lagu perlawanan sosial ini turut menghadirkan Eben (Burgerkill). Komposisi pas dan menghajar telak untuk sebuah lagu bertema perlawanan. Lagu lain yang sangat memikat ada pada “Hanya Maut Yang Bisa”. Pengaruh folk dan celtic rock hasil kolaborasi dengan Andreas (The Sonic People) dan Hendri (Black Phinisi) tegaskan sisi lain dari kematangan Superglad di album ini. Tak berhenti di sana, lagu berlirik romantis seperti 102 I TUCZINE.TUMBLR.COM
“Semalam Saja”, “Hanya Berkhayal” dan “Tempuh Bahagia” tidak hadir mendayudayu selayaknya lagu ungkapan cinta musisi kelas tiga. Perspektif berbeda dihadirkan oleh Superglad yang semakin telaten membangun fondasi aransemen lagu cinta yang elegan. Jika hendak meyakinkan diri akan kehebatan album garapan Andre Harihandoyo selaku produser album, simak lagu terakhir Superglad di album ini. “You Broke My Heart So I Broke Your Face” cukup mewakili kegarangan Superglad yang ditingkahi genit lirik rap dari Kojek dan sentuhan minimalis No Fire (Beatbox Indo). Semangat untuk memutar album ini dari awal ke akhir segera terbit setelah lagu ini berakhir. Tanpa terduga, “Berandalan Ibukota” mampu berdiri sejajar menandingi kehebatan album “Ketika Hati Bicara” (2005) dan “Cinta dan Nafsu” (2011). Tak berhenti di situ saja, “Berandalan Ibukota” resmi menjadikan Superglad naik kelas. Album berkelas!
.
KARNATRA KARNATRA 2013 CD I DEMAJORS I 7.5/10 oleh Didik Yandiawan BAND WARMROCK PENUH DAYA PIKAT YANG BERSERU BAK FILSUF MUSIK BIJAK Ilustrasi penampang organ telinga kanan mengisahkan beberapa hal yang menarik tentang KarnaTra. Bukan hanya merepresentasikan arti dari nama KarnaTra. KarnaTra terbentuk dari dua kata, yaitu “Karna” dan “Trah”. Dalam bahasa Sansekerta, “Karna” berarti telinga. Sedangkan “Trah” berarti keturunan atau klan. Selain itu, penamaan KarnaTra terilhami dari tokoh bernama Karna dari wiracarita Mahabharata. Raja berkasta ksatriya, pemanah ulung yang dijuluki “Putra Matahari” karena kelahirannya. Arti harfiahnya, KarnaTra berarti keturunan matahari. Arti filosofisnya, KarnaTra berarti sebagai penyampai pesan yang membawakan musik yang dapat menjangkau telinga siapa saja. Setelah berkutat pada karir bermusik yang berliku dengan nama Alter Ego, mereka terlahir kembali pada pertengahan
tahun 2005. Saat ini, KarnaTra beranggotakan Teguh Putra Alliansich (gitar), Ndit Naratama (vokal), Ricky Rahim Putra (bass, vokal latar) dan Brian A. Pangemanan (drum). Kuartet ini mengusung musik yang meramu karakter khas britrock, britpop dan alternative rock ke dalam sebuah persenyawaan musik yang apik. Mereka menamai musik yang mereka mainkan dengan label warm-rock. Butuh waktu sekitar enam tahun untuk meramu enam lagu (dan satu lagu bonus) di mini album selftitled ini. Pengaruh kental The Smiths di sejumlah lagu sangat memikat. Hook provokatif yang dihasilkan dari dawai-dawai gitar Teguh di sana-sini memanjakan telinga. Sentuhan kalimatkalimat penuh makna terlantun hangat dari vokal Ndit, mengingatkan pada gaya bernyanyi Morrissey, penuh kharisma. Bagaimana daya lebur lagu berjudul “Lampu Bersinar Gelap” dan “Heroine” yang mengajak kita menggali harta karun di balik lirik elegan seperti “Lampu bersinar gelap / Lalu membuaimu / Dalam hati kutanya, ‘bisakah kita seperti ini selamanya?’” pada “Lampu Bersinar Gelap”. Atau sanggupkah kita menahan adiksi serupa heroin kala lirik berikut ini terlantun?: “Jatuh begitu keras/ Kau terbitkan senyuman / Seperti heroine / Setara heroine/ Kusaksikan mendung terbelah / Menyusup turunlah sinar terang / Jangan pulang, tinggallah / Menyaksikan tiba fajar”. Tak berhenti di situ saja. “Moksa”, “Satu Waktu”, “The Riffle” dan “No Cure” membuai lebih dalam lagi. Peran Ndit dalam penulisan lirik di lagu-lagu ini layak mendapat apresiasi. Beberapa metafora berhasil menguliti rasa penasaran akan kekayaan kata dan sudut pandang KarnaTra dalam mengeksekusi ide. “Moksa” berupaya menghadirkan penafsiran akan pencapaian tertinggi dalam agama Hindu melalui anjuran “Berserulah kita selamanya / Hilanglah / Melebur menjadi udara (dan tak kan lagi ditemukan)”. “The Riffle” membumikan ajakan cinta dengan memperhadapkan senjata versi tirani versus senjata versi nurani. “Their riffles melted our hearts to the ground / But we’ll make in time / Sing it loud, resolute / Love is our riffle!” Ketika lagu bonus berjudul “Raksasa” hadir di 2 menit 40 detik terakhir, denting dawai gitar yang diiringi dengan bebunyian sederhana dari sendok dan gelas membuktikan betapa racun-racun di album ini begitu berbahaya. Kerinduan untuk memutar ulang album ini segera terbit. Mini album yang sarat pencerahan, di mana lirik dan lagu bersenyawa dengan sempurna.
.
COME OUT OF NOWHERE MIND DEER 2013 CD I PAVILIUN RECORDS I 7/10 oleh Didik Yandiawan PENGGUGAH RASA BERWUJUD EXTENDED PLAY YANG TENANG NAMUN MENGHANYUTKAN Devasari Gemi Nastiti mengisahkan makna dari artwork album mini Mind Deer, “Come Out of Nowhere” yang dikerjakannya. Kawanan ikan paus laksana bahtera Nabi Nuh membawa muatan berisi kehidupan. Berenang mengarungi samudera menuju ke suatu tempat. Senada dengan visi Mind Deer yang hadir membawa kesegaran baru kepada pendengarnya dengan mengusung kebebasan bermusik dalam aneka rupa warna. Daftar panjang musisi yang menjadi inspirator band, bisa menunjukkan keragaman identitas bermusik Mind Deer. “Come Out of Nowhere” dikerjakan bersama oleh Nando Kamilina Ghani (vokal, glockenspiel), Iswantoro Wirawan (gitar, vokal latar), Idham Saputra (bass) dan Dhika Rizki Anbiya (drum, tamborin). Pengerjaan album mini ini turut didukung oleh Dhendy Mawardi (produser, gitar) dan Devasari Gemi Nastiti (glockenspiel). Proses rekaman album ini menghabiskan waktu lebih dari setahun dalam dua fase. Fase pertama terdiri dari empat lagu, fase kedua terdiri dari dua lagu. “Blue Sky Blue” dan “Humming Song” menjadi gubahan khas indie pop berkarakter kuat. Lepas ceria, segera datang muram. “Before Dawn” dan “Your Heart Isn’t Mine But I’m Fine” menjadi jaring raksasa yang memerangkap sendu. Eksekusi post-rock di “Seketika Hujan di Rumah” menjadi komposisi yang menunjukkan sisi lain dari Mind Deer. “Berisik Musik” yang berlirik repetitif mengambil kegilaan bermusik dan pemilihan diksi ala “Repeater Beater” dari Mew. Cukup enam lagu dalam sekeping cakram padat dengan artwork pusaran samudera yang menghisap kawanan paus tenggelam ke dalam palung terdalam. Filosofi yang seolah hendak bercerita bahwa “Come Out of Nowhere” berpotensi menghanyutkan pendengarnya. Entah dalam suka cita, atau duka cita
.
SUNBATHER DEAFHEAVEN 2013 oleh Poltak Oktavianus Simanjuntak DEPRESSED AND DEADLY Saat ini, 2013 tinggal tersisa beberapa hari. Bagaikan kepiting yang hidup di bawah batu di dalam palung Mariana, saya baru menemukan band yang bernama Deafheaven ini dan album terakhir mereka, “Sunbather”. Padahal Deafheaven sendiri sudah berdiri sejak tahun 2010 dan sudah menghasilkan tiga single: “Demo”, “Libertine Dissolves/Daedalus” dan “Deafheaven/ Bosse-de-Nage”; dua album: “Roads to Judah” dan “Sunbather”; serta satu album live: “Live at the Blacktop”. “Sunbather” ini sendiri sudah dirilis sejak Juni 2013 di Amerika Serikat oleh label Deathwish. Album ini terdiri dari tujuh track: “Dream House”, “Irresistible”, “Sunbather”, “Please Remember”, “Vertigo”, “Windows” dan “The Pecan Tree”. Dari judul-judul lagunya, tak akan ada yang menyangka kalau Deafhaven ini adalah beraliran metal. Satu lagi, tak banyak band metal yang menggunakan warna merah muda sebagai warna dominan sampul albumnya. Hanya tulisan ‘SUNBATHER’ dalam ukuran besar dengan latar belakang gradasi warna merah muda. Persis sampul album pop remaja. Sebelum mendengarkan album ini, saya mencari informasi lebih lanjut tentang Deafheaven. Ternyata mereka bukanlah murni band metal. Mereka memadukan post-rock, shoegaze dengan black metal. Sebuah perpaduan yang cukup aneh untuk telinga saya. Dari hasil pendengaran saya, Deafhaven di “Sunbather” ini terdengar seperti seorang introvert yang sedang mengalami depresi namun di saat bersamaan sedang menyalurkan kemarahan. Sang vokalis George Clarke terdengar seperti seorang vampir yang dijebak oleh Van Helsing dalam kerangkeng di tengah lapangan sementara matahari mulai terbit sedikit demi sedikit, membakar tubuhnya sembari ditonton dan ditertawai oleh Van Helsing dan gengnya. Pengalaman mendengarkan Sunbather ini seperti mendengarkan dua band yang terakhir saya dengar sebelum menemukan Deafhaven, yaitu August Burns
Red dan Sigur Ros, lalu ditambah sedikit Mogwai. Deafhaven ini sepertinya cocok untuk orang-orang seperti saya yang selera musiknya ada di garis batas antara metal yang penuh kemarahan dan post-rock yang cenderung suram dan depresif.
.
ANTHEMS ANTHRAX 2013 oleh Nevi Earth Ini band lama, yang sekarang masih eksis ternyata. Terakhir yang kunikmati adalah “Worship Music” (2011). Begitu memutar album ini, seakan kembali ke jaman dulu, masa-masa Aerosmith, Iron Maiden, dan band-band metal old school, klasik. Pantas saja karena ternyata ini adalah album cover songs dari beberapa band lama. Bahkan perasaan itu muncul dimulai di lagu pertama, “Anthem” (cover Rush). Not really like it karena sepertinya saya sudah meninggalkan lagu-lagu metal lama. Karena dahulu memang lebih suka ke jaman lagulagunya hair metal macam Skidrow dll. Lebih bersemangat saja, atau mungkin karena vokalisnya yang sungguh cantik bin cakep. Tapi saat menginjak lagu kedua, “T.N.T.” (cover AC/DC), petikan gitarnya sungguh asyik. Kepala jadi bergoyang dan berharap dentuman drum tak berhenti seketika. Tapi lagu ketiga, “Smokin’” (cover Boston) membuatku ilfil lagi, klasiknya terasa sekali, baik vokal Joey maupun ritme musiknya. Well, “Keep on Runnin’” (cover Journey) malah mengingatkanku pada Van Halen. Dan kalian akan disambut dengan gebukan drum di awal lagu kelima, “Big Eyes” (cover Cheap Trick). Intro yang menarik, tapi tak terlalu menarik saat ke tengah lagunya. Tapi keasyikan muncul saat lagu “Jailbreak” (cover Thin Lizzy) sebagai penutup lagu-lagu cover. Di akhir album, ada lagu-lagu asli dari Anthrax, “Crawl” dan “Crawl” yang diremix, yang juga ada di album “Worship Music”, yang katanya itu lagu terakhir karena sang gitaris Rob Caggiano meninggalkan band, walaupun dia baru masuk di tahun 2001. I really like that song. Di lagu itu aku merasa kembali ke masa sekarang. So, guys, kalau kalian ingin bernostalgia ke jaman classic metal, you can choose this album.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 103
REVIEW SUAR MARABAHAYA ((AUMAN)) 2013 oleh Dede Hate Tahun 2013 berawal baik untuk skena musik lokal ketika ((AUMAN)) merilis debut mereka “Suar Marabahaya” pada 13 Januari. Album ini melebihi pengharapan saya ketika pertama mendengar single mereka “City of Ghosts” pada 2011 dulu. Lagu itu membawa aroma doom atau sludge atau stoner metal yang berat dan lambat. Kesimpulan otomatis saya waktu itu: satu lagi aksi stoner lokal akan lahir setelah Komunal dan Suri, yang saya anggap juga bermain di wilayah ini. Well, album ini merubah kesimpulan saya. Tidak cuma stoner yang berat, ada berbagai macam aroma yang memperkaya nuansa gagah dan beringas album ini. Berisi 11 lagu, “Suar Marahabaya” langsung menghantam lewat trek pembuka yang berfungsi sebagai perkenalan akan identitas sekaligus eksistensi mereka: “Intronitroduction - Year of the Tiger”. Rasa-rasanya lagu pembuka ini sudah cukup mewakili semua yang ada di album ini: berat namun cepat, bergelora dan gagah. Penggunaan dwibahasa yang sama sekali tidak janggal di liriknya menjadi jurus jitu lain yang akan banyak didengar di lagu-lagu berikutnya. “Unholy Terror” yang datang kemudian, dan “Sangkakala Apokalips”, trek ke-10, semakin menegaskan kalau aksi kecam-mengecam yang ditujukan kepada ‘kelompok fasis tengah kanan’ bukan lagi spesialisasi Herry Sutresna dan Arian Arifin semata. Dengan musik bergemuruh dan lirik pedas berartikulasi jelas, Riann Pelor dkk juga ingin berpartisipasi dalam rombongan pembaharu yang semakin masif ini. Yeah, jari tengahku di mukamu. “W.K.G.G” dan “Viva Rimau! Rimau!” dan “(We Are) The Sons of the Sun” bersama dengan trek pembuka tadi mungkin membawa niat utama mereka membentuk ((AUMAN)) ini: menghidupkan kembali dan mengkultuskan akar primordial mereka, sisa-sisa kejayaan Sriwijaya, bumi Andalas dan keanggunan Kucing Besar Sumatera yang menuju punah lewat musik rock yang bergemuruh, cepat dan mengintimidasi. Dua lagu pertama berjalan cepat, dalam semangat punk rock yang kentara. Sementara “(We Are) The Sons of the Sun” adalah heavy rock yang sangat pas menjadi anthem penahbisan untuk mereka. “City of Ghosts” yang sempat dija104 I TUCZINE.TUMBLR.COM
dikan single ditaruh di tengah-tengah album. Tempo stoner-nya yang berat dan lambat cocok jadi ruang bermalas-malasan sebelum dilanjutkan tiga lagu bertempo cepat. Semi title track, “Suara Marabahaya” kemudian datang membawa ketukan-ketukan khas hardcore, cepat dan melindas, lengkap dengan aksi gang shoutings. Tidak butuh waktu lama bagi lagu ini untuk menjadi favorit saya. You guys know why. Ditambah lagi, saya menyukai satu frase dari liriknya: “hati adalah suar kami”. “Subsonic Teenage Dream Machine” melanjutkan kecepatan dari lagu sebelumnya. Mengantar para rocker tua yang menolak tua bermain enerjik layaknya anak-anak muda. Dan “BrokenHardRock” adalah tentang patah hati versi rocker yang, musiknya tetap saja kenceng, meskipun liriknya agak generik bagi sebagian orang. Ada bagian screaming yang saya suka di lagu ini. Dan, dengan cara aneh sekaligus brilian mereka menutup album ini dengan menggubah ulang sebuah nomor dangdut lawas milik Vetty Vera: “Macho” yang tentu saja, dengan distorsinya, menjadi lebih gagah, maskulin dan menelanjangi versi aslinya. Keseluruhan, meskipun mengaku cuma kumpulan gerobak rock ‘n roll tendang pantat dengan musik yang rusuh, lima personil bermain padu dalam kesatuan, menghasilkan musik rock yang seharusnya, tanpa lupa menunjukkan skill masing-masing di beberapa bagian lagu. Saya juga suka gaya vokal Riann yang bertenaga dan beraksen gahar. Sebelas lagu di album ini tersusun rapi dan terjalin solid. Tidak ada celah untuk mengatakan rekaman ini lemah. Artwork di sleeve-nya yang didesain oleh mereka sendiri tak kalah keren, kuat membawa pesan yang coba mereka sampaikan. Dominasi warna gelap dengan imagery rimba dan penguasanya, dan sosok-sosok pemuja harimau seakan membawa saya ke sebuah ritual rahasia Abad Tengah: gelap, misterius, mistis dan sangat pagan. Hal positif lainnya, lewat rilisan yang mereka produksi sendiri di bawah label Rimauman Music ini, ((AUMAN)) bekerja sama dengan beberapa organisasi lingkungan hidup seperti WALHI, GREENPEACE dan World Wildlife Fund, menggalang dana dari penjualan boxset edisi terbatas yang berisi cd dan berbagai merchandise untuk kegiatan pelestarian lingkungan dan harimau Sumatera. Sayangnya, saya cuma berhasil mendapat edisi reguler. Selain itu, bagi kita penikmat musik bawah tanah lokal, atau bagi saya sendiri, ini menjadi penanda yang sahih akan dahsyatnya kolaborasi lima pemain lama di skena Palembang yang jarang terdengar. Aksi-aksi musik berbahaya tidak lagi cuma ada di skena-skena tradisional di kota-kota di Jawa. Setelah Bali, Sumatera adalah tempat lain berseminya musik bagus.
Komunal dari rawa-rawa Riau, SemakBelukar yang juga dari Palembang, skena kota Medan yang meskipun tidak pernah terlalu meletup tapi selalu terjaga, dan banyak lainnya. ((AUMAN)) hanya memantik kembali suar marabahaya dari tanah ini. Maju terus! Terakhir, ada pesan dari Riann yang saya kutip dari Provoke; ”Kalau album ini terlalu keras, berarti kamu sudah terlalu tua!”
.
DAUR, BAUR PANDAI BESI 2013 oleh Dede Hate Minus fisik Adrian Yunan Faisal, Cholil Mahmud (vokal, gitar) dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar) bermutasi menjadi delapan entitas dan untuk sejenak Efek Rumah Kaca bertransformasi menjadi Pandai Besi, menempa ulang lagulagu lama Efek Rumah Kaca dari albumalbum “Efek Rumah Kaca” dan “Kamar Gelap” untuk sekali lagi dinikmati dengan aransemen baru dan segar. Mengisi jeda dalam pengerjaan album ketiga yang menunggu kesembuhan Adrian dan menyiasati kejenuhan memainkan lagu-lagu itu melulu, Cholil dan Akbar menawarkan kompromi masuk akal. Tidak ada album baru tanpa Adrian, dan jadilah lagu-lagu lama didaur ulang dengan mengajak kawan-kawan berbaur di Studio Lokananta yang legendaris di Solo. Sembilan lagu: “Hujan Jangan Marah”, “Menjadi Indonesia”, “Debu-Debu Beterbangan”, “Desember”, “Melankolia”, “Laki-Laki Pemalu”, “Jalang”, “Di Udara” dan “Jangan Bakar Buku” dirubah hampir secara menyeluruh, hanya menyisakan lirik yang identik dari versi aslinya, terkomposisi rapi dan terjalin solid dengan tambahan saksofon, piano, keyboard, flute dan choir vokal latar yang menciptakan orkestrasi musik yang elegan, megah dan menghanyutkan. Beberapa lagu bahkan menghadirkan Cholil yang bereksperimen dengan gaya vokalisasi yang berbeda, dan tidak kalah bagus dari sebelumnya. Di sini terbukti bahwa masih banyak yang bisa dilakukan dan digali dari kreatifitas dan imajinasi meski dengan bahan dasar hal-hal usang. Meski demikian, meski terpesona dengan penghilang kejenuhan dan pengisi kekosongan burwujud “Daur, Baur” ini, saya masih haus akan lagu-lagu terbaru Efek Rumah Kaca. Pemenuhan kepuasan ini hanya sementara. Kami menunggu album ketiga. Lekas sembuh Adrian.
.
LOVE BOMB NAVICULA 2013 oleh Dede Hate Satu dari tidak banyak hal baik yang saya dapat dari menghadiri Rock In Celebes beberapa waktu lalu, selain tentu saja, untuk pertama kalinya menyaksikan Navicula live, adalah “Love Bomb”, album terbaru mereka yang masih hangat. Sedikit saja promosi dari Robi di jeda antar lagu di setlist mereka malam itu langsung menyulut saya, mendatangi lapak yang disebutnya, dan mendapati cd terakhir kedua, atau setidaknya yang dipajang saat itu, dan bersyukur lega karena nyaris saja kehabisan, lagi. Terakhir merilis kumpulan ‘the best of’, “Kami No Mori - A Rainforest Compilation” pada 2012, kita memang sudah kangen dengan rilisan album penuh selanjutnya dari Green Grunge Gentlemen ini. Tidak tanggung-tanggung, jawabannya adalah album baru, double disc, berisi total 16 lagu. Cakram pertama berisi lima lagu, yang direkam di Hollywood. Sementara cakram kedua, berisi sebelas lagu yang direkam di kampung halaman mereka sendiri. Kuping saya mungkin awam, tapi memang tidak ada bedanya kok antara dua cakram itu, terdengar sama bagusnya. Selanjutnya, “Love Bomb” menawarkan beberapa lagu baru, seperti biasa anthemic, persuasif mengajak kita peduli pada lingkungan dan sesama namun tetap gahar. Sebutlah misalnya “Bubur Kayu” yang enak, atau “Tom Cat” yang sekali lagi grungy, atau juga “Do It Yourself Is Dead, Now We Do It Together” yang eksploratif. Sementara itu, kalau tidak sedang memprotes atau berkampanye, bentuk lain Navicula yang manis dan sentimentil bisa disimak di title track “Love Bomb”, “Days of War, Nights of Love” atau “Sail On”. Tapi yang paling manis tentu saja ‘remake’ “Ingin Kau Datang”, yang dulu muncul di album “Beatiful Rebel” (2007). Lagu ini lebih gahar dari versi awalnya, tapi tetap lebih sentimentil, dan berhasil mengajak bernostalgia ke masa-masa remaja, saat di mana saya masih mengutip lirik picisan untuk mengungkapkan rindu. Sisanya, lagu-lagu lain di album ini, sudah sering kita simak, lebih dulu hadir berbentuk single dalam kompilasi, sebagai protes, kampanye atau dukungan. Lagulagu seperti “Aku Bukan Mesin”, “Refuse to Forget”, “Harimau! Harimau!”, “Orangutan”, “Metropolutan”, “Di Rimba”, “Mafia Medis” dan yang paling sering ditagih di konser-
konser mereka belakangan, “Mafia Hukum”, tentu saja sudah familiar bukan? Saya hanya heran kenapa “Busur Hujan” tidak dimasukkan. Untuk album selanjutnya mungkin ya? Satu lagu lagi, adalah penghargaan Robi dkk kepada legenda rock Indonesia, God Bless, dengan membawakan ulang lagu legendaris “Semut Hitam” dengan aransemen modern, yang pas untuk kuping anakanak kekinian seperti saya. Dari sisi kemasan, selain “Roekamana’s Repertoire” dari Tigapagi, album ini adalah salah satu yang paling menarik tahun 2013 ini. Hampir sepenuhnya menggunakan bahan-bahan hasil daur ulang, dengan selembar lyric sheet yang sekaligus bisa menjadi poster.
.
INERTIA MONKEY TO MILLIONAIRE 2013 oleh Dede Hate Setelah empat tahun, tanpa banyak promosi, Monkey to Millionaire merilis album keduanya. Berbeda dengan saat “Lantai Merah” dirilis pada 2009, di mana saat itu mereka sedang populer setelah menjadi salah satu pemenang kompetisi band oleh salah satu brand rokok, ”Inertia” ini seperti dirilis secara tiba-tiba saat mereka sedang tenggelam dan hampir tak pernah terdengar. Yang sama, album ini tetap ditunggu, dan tentu saja kemudian akan diperhatikan habis-habisan setelah debut yang sukses dan memang keren itu. Sekeren “Lantai Merah”? Tergantung kita menyimak dan menimbangnya dari sisi mana. Yang pasti, lagu-lagu di album ini memang agak berbeda dari sebelumnya. Belum ada hit yang mendobrak seperti “Fakta dan Citra”, “Satu Nama” atau “Strange is the Song in Our Conversation”. Entah karena pengaruh jeda waktu yang cukup lama, pergantian personil atau proses musikalitas yang terus berubah seiring usia, sound di album ini menyimpang cukup jauh dari yang kita kenal di album pertama. Lebih kasar, raw dan suram. Pengaruh grunge menjadi lebih dominan. Ini sangat kentara tersimak di lagu-lagu “Humiliation”, “Parade”, “M.A.N” dan “Jail on Fire”. Intro “M.A.N” yang dijadikan single pertama malah seperti langsung saja dipinjam dari “Breed”-nya Nirvana. Demikian, beberapa lagu tetap menghentak dengan ciri khasnya sendirisendiri. Ada “Summer Rain” yang catchy, “Anoreksi” yang tidak biasa, “Ruang Rasa” yang sedih (sedikit mengingatkan saya pada
lagu-lagu lama Sheila on 7?) dan penutup “Tanpa Hati” yang liriknya retoris introspektif mengena, mengingatkan bahwa gaya penulisan mereka tidak ikut berubah. Ini memang belum sekeren “Lantai Merah”, tapi perubahan tidak serta merta menjadi lebih jelek. Ini adalah usaha yang harus dihargai. Mungkin perlu waktu yang cukup untuk mendalami album ini. Lagipula, sedikit bunyi grunge untuk saat ini tidak terlalu buruk kan? Di atas semua itu, saya akan selalu menyukai Monkey to Millionaire: mereka tidak memilih untuk berkarya biasabiasa saja dengan menjadi band televisi.
.
FAMILY VALUES GUGAT 2013 oleh Dede Hate Apa gunanya eksistensi dan perjuangan selama lebih dari sepuluh tahun, dari bawah, dari ke panggung ke panggung, jika tidak ditandai dengan cinderamata, setidaknya sebuah rilisan yang bisa mengisi kekosongan kolom diskografi dalam bio? Nah, Gugat akhirnya benar-benar serius, datang dan ‘menggugat’ nilai-nilai keluarga lewat album debut yang sudah terlalu lama dinantikan. Dengan formasi yang mulai dimantapkan kembali sejak 2005, Gugat yang sekarang berisikan Achi (vokal), Okid (vokal), Iman (drum), Oce (gitar), Bayu (bass) dan Doel (gitar) datang dengan cinderamata mereka, mencoba memantapkan posisi sebagai salah satu aksi modern hardcore paling dinanti di skena Bandung saat ini. “Family Values” berisi delapan lagu, menyemburkan kemarahan dan menggugat keadaan melalui geraman dual vocal bergaya the beast and the beast, hardcore groove, riff-riff metal pekat yang mengisyaratkan pengaruh Throwdown dan Pantera sekaligus. Selain lagu-lagu yang sudah sering mengisi setlist mereka sejak dulu seperti “Kelam” atau “Bapakku Seorang Demonstran”, ada beberapa lagu lain yang tidak kurang intens sebagai pengantar moshpit di aksi live mereka nantinya seperti “Kau Adalah Sampah”, “Jelaga Jiwa”, “Dimensi Jiwa” dan cover Dinning Out, “Hitam”. Tidak lupa, mereka mempersembahkan homage kepada skena, kota dan budaya lokal lewat “Bandung Masa Lalu dan Masa Kini” yang menampilkan Gaya dan Elmo dari Eyefeelsix, serta “The Funeral” yang dibuka dengan tiupan alat musik tradisional Sunda. Gugat!!!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 105
REVIEW ANIMUS ANIMALIS TAKE THIS LIFE 2013 oleh Dede Hate Satu lagi band yang banyak menyebut binatang dalam lagu-lagu mereka. Kalau Navicula menyebut orangutan sebagai bentuk dukungan untuk pelestarian, ((AUMAN)) memuja harimau lebih karena urusan primordial-mistis-pagan-budaya, atau Mesin Tempur mengumbar ‘anjing’ lebih sebagai komplimen, maka Take This Life asal Malang ini menjadikannya sebagai metafora, seperti yang mereka kutip dari Aristoteles: manusia adalah secara alami hewan sosial. Nah, dari introduksi sesingkat itu saja kita pantas dibuat penasaran dengan “Animus Animalis”, yang menjabarkan hewan sosial bernama manusia yang tindak-tanduknya kadang bahkan lebih binatang dari binatang dengan kiasan kera, ular, semut, ikan, burung, merpati, harimau, serigala atau singa dalam sebelas lagu (plus satu bonus track) secara jitu tanpa harus terkesan dipaksakan. Mengikuti lagu-lagu di album ini sesuai urutan tracklist yang diberikan, kita seperti diajak masuk ke hutan, ke dunia binatang. Dibuka dengan “Into the Wild” sebagai ajakan, kemudian disambut lagu-lagu yang makna di baliknya bisa dipetik sesuai interpretasi dan imajinasi masing-masing pendengar, bisa damai, liar atau kacau: “This is the Ape Song”, “Bedroom Snakes”, “Jungle of Kurt”, “Antz and Me”, Fly Like A Fish, Dive As A Bird”, “Dove of Peace”, “Tiger = Dragon”, “Wolfgang” dan “Lion Never Eat Its Cub”, kemudian ditutup dengan “Out of the Mess” yang mengajak kita kembali, keluar dari semua kekacauan itu. Ditambah bonus track potongan wawancara Jeffrey Dahmer, pembunuh berantai Amerika yang juga gemar menguliti binatang demi memuaskan naluri binatangnya. Berbicara soal kekacauan di album ini, bukan cuma tentang keadaan sosial yang dijabarkan dalam tema lirikal, tapi memang musik yang mengiringi liar dan kacau. Take This Life yang terbentuk sejak delapan tahun lalu ini memainkan jenis metal yang komposisi, tempo dan ritmenya kacau, tidak teratur, kompleks, membutuhkan eksplorasi luas dan kekompakan mutlak, yang biasanya dipermudah kategorisasinya dengan istilah ‘mathcore’. Untuk yang baru mendengarkan jenis serupa, memang akan susah menikmati. Tapi bagi yang sudah terbiasa dengan The Dillinger Escape Plan, kekacauan yang 106 I TUCZINE.TUMBLR.COM
ada bisa terdengar indah. Bagi saya yang terlanjur menjadikan Greg Puciato dkk sebagai referensi utama untuk subgenre ini, “Animus Animalis” menawarkan lagu-lagu yang apik, meski belum ada benar-benar menonjol sendirian, kecuali “Jungle of Kurt” yang menampilkan sisi grunge. Sepertinya ini semacam tribut buat Cobain. Untuk sound, di beberapa bagian terdengar kurang jernih, sepertinya ini disengaja. Di luar itu, album ini luar biasa. Bukan cuma karena sebuah debut, juga karena Take This Life memainkan jenis yang belum banyak dicoba di skena musik cadas lokal. Salut dan selamat!
.
DETOURN THE S.I.G.IT 2013 oleh Dede Hate Single pertama yang dilempar cuma-cuma ke khalayak, “Let the Right One In” sempat menipu. Saya kira, setelah tujuh tahun, musik The S.I.G.I.T masih akan sama. Tempo rock yang cepat dan menderu di lagu yang terinspirasi dari sebuah film remake dengan judul sama itu tidak banyak melenceng dari “Visible Idea of Perfection” (2007). Damn, ternyata ini hanya titian penghubung antara debut itu dan album kedua ini, dan hampir menjadi satu-satunya sound yang familiar di antara keduanya. “Detourn” adalah pendewasaan setelah proses panjang, yang bahkan mungkin telah dimulai sejak “Visible Idea of Perfection” dirilis. Melalui berbagai macam perubahan, progresi dan takaran idealisme, lahir album yang kemungkinan besar akan sulit diulangi dan ditiru, bahkan oleh mereka sendiri. Saya agak berani memprediksi, akan butuh waktu yang lebih lama lagi untuk mempersiapkan dan merilis album ketiga. Kenapa begitu? Karena album ini adalah klimaks dan menghabiskan hampir semua energi kreatifitas dari proses panjang musikalitas mereka, dan akan butuh waktu untuk me-recharge semua itu. Berlebihan. Ya, berlebihan. The S.I.G.I.T masihlah empat orang laki-laki yang sama, tapi dengan isi kepala yang terus berimajinasi, dan “Detourn” ini memang bagus. Letupan kreasi baru dari serangkaian eksplorasi luas yang akan muncul kemudian langsung tersaji di lagu pembuka, “Detourne”. Bayangkan bunyi saks yang sepertinya salah tempat tapi sangat enak di tengah-tengah lagu. Membuai dan sejenak mengalihkan kita dari apapun yang sedang kita pikirkan. Itu adalah ulah Azis dari Time
Bomb Blues. Bunyi alat musik tiup hampir serupa, kali ini lebih abstrak di balik distorsi akan terdengar lagi di lagu “Cognition”. Selain itu, masih ada lagi peniup flute yang kesurupan di “Gate of 15th”, membuka gerbang ke dunia yang sama sekali berbeda. “Son of Sam” juga menampilkan tetiupan renyah, meski bukan penarik utama di lagu ini. Itu adalah bagian intensnya yang nyaman, mungkin pas didengar saat menunggang kuda. Sementara“Black Summer” terdiri dari dua bagian yang saling bertolak belakang. Tabrakan antara irama pembuka yang catchy dan ending yang sendu. Setelahnya ada “Red Summer” yang bermula sebagai ritus ritmis sebuah suku pedalaman, disusul tabuhan drum bertalutalu sebelum masuk ke inti lagu yang ditandai dengan permainan melodi gitar yang membius, sebelum diakhiri dengan nyanyian ritmis lainnya. Dari sini, dipastikan pengerjaan aransemen dan orkestrasi album ini memang matang. Menyentuh sampai ke detil terkecil. Saya bahkan belum menyebutkan “Tired Eyes”, yang sejak awal didengar langsung menjadi favorit. Dimulai dengan vokal reversed, menuju bagian reff yang bisa dijadikan koor suatu hari nanti di panggung, kemudian ditutup 2 menit terbaik yang mungkin pernah ada di lagu-lagu mereka. Eargasm seharusnya terjadi di sini, ketika mereka semua unjuk skill tanpa beban. Untuk mereka yang butuh lagu sentimentil ada “Owl and Wolf”. Sebuah nomor balada akustik yang pelan dan syahdu, yang sungguh tepat diselipkan di tengahtengah album. Lagu agak pelan lainnya, “Ring of Fire” adalah salah satu favorit saya. Puncak keresahan Rekti yang tersalurkan melalui teriakan parau sungguh mewakili apa yang ada di pikiran kita semua: negeri yang katanya surga ini sialnya justru menjadi supermarket bencana. Karena letak geografis atau memang sudah lama salah urus? Tanyakan pada Arian Arifin. Save the best for the last. “Conundrum” di penghujung album adalah hal terkini yang tepat dengan itu. Bagi yang merasa belum puas dengan sepuluh lagu sebelumnya, seharusnya ini adalah klimaksnya. Penantian selama tujuh tahun, pertaruhan ide akan eksplorasi dan eksperimentasi yang melahirkan album ini mengerucut di lagu pamungkas ini. Tidak cukup dengan digambarkan, coba saja dengarkan sendiri. Maginya yang menghipnotis akan langsung terasa sejak awal. Saya akan senang-senang saja jika akhirnya The S.I.G.I.T butuh waktu lebih lama untuk album ketiga. Mereka perlu menggali lebih dalam ke lubang kreatifitas lainnya dan sumber referensi baru untuk menyamai kemegahan “Detourn”. Tidak mudah, seperti kata Rekti. Kita semua siap menunggu. Toh, album ini masih akan bergema sampai bertahun-tahun ke depan.
.
ERK RMX VARIOUS ARTISTS 2013 oleh Dede Hate Satu lagi bentuk apresiasi kepada kesederhanaan sekaligus kebesaran Efek Rumah Kaca. Sebuah album persembahan 12 musisi berisi daur ulang lagu-lagu dari album pertama bertajuk “Efek Rumah Kaca Remix (ERK RMX)”. Namanya remix, mayoritas, tapi tidak semua, bunyi yang kita dengar di album yang track list-nya disusun terbalik dari versi asli ini adalah hasil montase berbagai sample olahan musik elektronik dengan layer dasar lagu-lagu yang sudah kita akrabi sejak lama. Dengan ini, lagulagu semisal “Sebelah Mata” (LMS X 303), “Cinta Melulu” (Cacat Nada), “Melankolia” (Aghi Narottama), “Efek Rumah Kaca” (Zeke Khaseli), “Di Udara” (Adit Bujbunen Al Buse), “Debu-Debu Beterbangan” (Bottle Smoker), “Belanja Terus Sampai Mati” (Belkastrelka), “Bukan Lawan Jenis” (Lull), “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” (Jay Beathustlers) dan “Jalang” (Bima G) kemudian terdengar berbeda dan unik. Kira-kira seperti saat dulu mendengarkan “Re-animation”. Tanpa mengurasi rasa kagum akan presentasi yang lain, saya langsung suka “Di Udara” oleh Adit Bujbunen Al Buse. Ini adalah scoring yang pas untuk kisah di balik lagu ini. Hampir tanpa lirik, menyertakan part gitar yang identik dari lagu aslinya, dan menjadikannya, bersama dengan ketukan drum, sebagai katalis, kemudian menggabungkan semua itu dengan suara potongan-potongan berita dari channel luar, wawancara dan demonstrasi, yang muncul dalam bentuk fade-in dan fade-out yang konstan. Dingin dan meresap. Lagu-lagu lain yang juga langsung nyangkut di kuping adalah “Jalang” oleh Bima G yang mengajak kita ke lantai disko dan “Desember” oleh Sajama Cut yang menjadi lebih melankolis dan sentimentil. Begitu juga “Insomnia” oleh The Voyagers. Hadir dalam bentuk akustik, dan dengan vokal wanita berkarakter khas, lagu ini berasa nyanyian folk sendu dari beberapa dekade lalu. Bagi saya, 12 lagu berbeda mood dalam album ini adalah penghibur efek jenuh ganda selain “Daur, Baur” dari Pandai Besi. Dalam setahun terakhir, dua album menghadirkan interpretasi berbeda dari lagu-lagu lama ERK untuk mengisi jeda waktu penantian akan album ketiga benarbenar menyegarkan.
Oiya, kompilasi ini dirilis bertepatan dengan Record Store Day tanggal 20 April 2013, dan hanya bisa didapatkan di toko cd langganan saya. Gaul kan, saya?
.
ILLMORTALITY EYEFEELSIX 2013 oleh Dede Hate Dulu saya melewatkan “Pain Per Hate”, makanya ketika teaser yang berwujud dua single “Tak Bisa Dibungkam” dan “Suicide” mulai disebar beberapa bulan sebelumnya, saya sudah berniat tidak boleh kehabisan. Siapa yang rela kehilangan kesempatan paling awal menyimak unit boombox monger subtitusi Homicide paling menusuk liang kuping saat ini? Dan inilah dia: “Illmortality” yang cd-nya baru tiba beberapa waktu lalu. Masih hangat, sehangat feses yang baru tumpah. Meskipun mereka tidak pernah percaya musik dapat mengubah dunia, kritik sosial, protes kepada keadaan plus alienasi jalan terus dan mendominasi sekujur lyrics sheet album ini. Selain “Intro”, “Prelude to Interrogation (Skit)” dan “Tone of Sicxness (Skit)” yang hampir tak berima, sebelas lagu lainnya adalah tentang itu semua. Paling menusuk pertama kali adalah “Suicide”. Interpretasi baru terhadap nomor lama D’Army ini menjadi lebih cadas dengan sumbangan growl dari Hardy Outright dan kocokan gitar dari Andre Jeruji. Andre Jeruji sekali lagi mengocok gitarnya di “Parang dan Tulang Belakang”, lagu D’Army lainnya. Satu lagi lagu D’Army yang dimainkan ulang adalah “What’s Up”. Selain lagu-lagu D’Army, Hardy Outright, Andre Jeruji dan tentu saja Morgue Vanguard yang berlakon sebagai music supervisor, artwork designer, art director dan penyumbang ludah di bonus track “Mimpi Basah Pembangkang Sipil” yang juga muncul di kompilasi ICW, Eyefeelsix mengajak banyak lagi kawan dari skena sidestream Bandung untuk terlibat di album ini. Ada Luke Hellbeyond mengisi part gitar dan bass di “Irama Jiwa”, “Self Destruction” dan “Rise da Fuck Up”, menambah takaran kecadasan terhadap lagu-lagu tersebut. Ada juga Viki Burgerkill yang menyumbang vokal di title track “Illmortality”. Belum lagi “Anthem” yang nyaris membuat saya birahi demi mendengar sebaris emcee-femcee Bandung lintas generasi saling berlomba menjadi yang paling cerewet di dalamnya: Sarkazz, Procezz, Ji$m, Dule, Antzkilla, Junk D, T-Joy, Atrok dan Bucu.
Tong sampah terbaru dari Eyefeelsix ini berisi lebih banyak lagi amarah dan kebencian berwujud rima-rima penyembur mikrofon yang lebih terpoles dari Soulkillaz dan Mindfreeza, scratchworks pencabik turtanble DJ Evil Cuts yang bertumpang tindih dengan beat dan sampling Jay Beathustlers serta beragam sumbangan kontribusi dari beberapa kawan, melahirkan sound old school hiphop yang menghadirkan kembali La Coka Nostra, Jedi Mind Tricks, Cypress Hill dan lainnya dalam sepaket amunisi protes paling mutakhir.
.
GILA,,,!!! THE PAINKILLERS 2013 oleh Dede Hate Apa kabar Tashea? Gitaris cewek yang dulu menghiasi mimpi basah kitakita itu sekarang adalah Feydy Lyvyr. Masih bermain gitar sekaligus mengisi vokal untuk band-nya Painkiller, yang juga ikut berganti nama menjadi The PainKillers, dan beberapa bulan lalu merilis album baru. “GILA,,,!” ini adalah album pertama The PainKillers sejak perubahan itu. Apa yang ikut berubah di musiknya? Saya tidak begitu paham karena dulu hanya memperhatikan si cewek tadi, bukan musiknya, haha. Beberapa mengatakan, lewat album ini, mereka sedikit meninggalkan root metal yang cukup kental dan menggantikannya dengan old school hard rock yang dinamis. Ada sembilan trek di album ini, dengan single “Teriak” dijadikan andalan. Sederhananya, semua lagu menampilkan ciri khas musik rock yang sama: distorsi tebal, selipan-selipan solo guitar serta part refrain yang bisa buat sing-a-long. Bagi saya, belum ada yang bisa untuk dikenang. Tapi lagu-lagu seperti “So Sombong”, “Action 2x” dan “Gila” masih tetap enak kok, setidaknya saat didengarkan dalam mood yang cocok. Abdee Negara dari Slank memproduseri album yang dirilis dibawah label Maleo Music dan YEAR Musikindo Pratama ini, dan didistribusikan melalui jaringan 7.300 toko kelontong di seluruh Indonesia. Saya menemukannya di salah satu toko tersebut. Kita tahu, langkah terkini para musisi dari langit untuk meminimalisir pembajakan adalah dengan menjajakan karya mereka, selain melalui jaringan penjual ayam goreng, adalah lewat toko kelontong tadi. Jadi, selain makan ayam goreng kriuk maknyus dan membeli perlengkapan mandi junub, kita sekalian bisa mendengarkan musik bagus, pintar bukan?
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 107
REVIEW FREKUENSI PERANGKAP TIKUS VARIOUS ARTISTS 2013 oleh Dede Hate “Kami memahami bahwa musik dapat digunakan sebagai sirine tanda bahaya untuk melawan korupsi. Di masa lalu, Iwan Fals melalui “Bongkar” dan “Bento” pernah sangat berhasil membangkitkan semangat perlawanan terhadap korupsi Orde Baru. Meski ini sebuah capaian yang susah dilampaui, namun kami tetap yakin bahwa perjuangan melawan korupsi bisa dijalankan melalui musik. Kami harap, album “Frekuensi Perangkap Tikus” dapat menjangkau lebih banyak orang.” Begitu kata-kata representasi Indonesia Corruption Watch (ICW) gagah tentang kompilasi berisi 10 lagu ini. Yap, di saat bang Iwan sibuk menjual kopi, 10 musisi yang belum sibuk menjual kopi menyumbangkan suara, ide, pengalaman, harapan dan cacian mereka mengenai budaya luhur yang sudah lestari mengakar membumi di negeri yang rakyatnya memakai pakaian yang tidak ditenunnya dan memakan nasi dari padi yang tidak ditanamnya ini: korupsi. Jadi, didasari keprihatinan akan budaya korupsi yang semakin maju itulah “Frekuensi Perang Perangkap Tikus – Kompilasi Musik Anti-Korupsi” ini digagas oleh ICW, untuk memperluas cakupan kampanye “Berani Jujur Hebat” yang mereka galakkan, terutama ke kaum muda dengan menggandeng 10 musisi independen yang sudah membuktikan kualitas dan eksistensi mereka adalah hasil kerja keras, bukan karena korupsi. Sebelum dirilis secara fisik pada Maret 2013, lagu-lagu di album ini telah lebih dulu hadir dalam format audio digital yang bisa diunduh gratis tanpa uang pelicin di beranijujur.net sejak 9 Desember 2012, bertepatan dengan Hari Anti-Korupsi Sedunia. Adrian Yunan Faisal dari Efek Rumah Kaca membuka kompilasi ini dengan “Di Sekolah-Sekolah”, gambaran nyata dari apa yang sejak dulu terjadi di ruang-ruang kelas, meskipun pendidikan gratis selalu jadi jualan primadona semua calon presiden, gubernur, walikota, bupati sampai camat. Kemudian ada Jimi Multazam bersama Morfem yang meludah dan muak dalam irama rock ‘n roll berulang-ulang meneriakkan “Kami Bosan Jadi Negara Dunia Ketiga”. Berturut-turut, selanjutnya ada oldies “Suap-Suap” dari Harlan; balada sarkas pengiring kampanye pemilu tahun depan “Partai Anjing” dari Iksan Skuter; solusi pen108 I TUCZINE.TUMBLR.COM
anganan korupsi yang cepat tepat kepada KPK yang lamban “Subterfuge” dari Risky Summerbee & The Honeythief; rima-rima cadas pedas sepanas Cicadas “Mimpi Basah Pembangkang Sipil” dari Eyefeelsix yang menampilkan Morgue Vanguard merengutkan “persetan ICW! persetan KPK!”; distorsi kasar “Mafia Hukum” dari Navicula yang dulu juga sempat membuat “Mafia Medis” dan semoga akan membuat “Mafia Pajak”; anthem jalanan “Vonis” dari Simponi; modus operandi korupsi bersandi yang ngeri-ngeri sedap “Julius Alpha” dari Zeke Khaseli; dan ditutup renungan introspektif “Kings & Barbarians” dari Sajama Cut. Kompilasi ini menampilkan pergantian mood yang cepat dari trek ke trek tanpa kehilangan intensitas. Membawa tema yang seragam dengan rentang genre musikal yang beragam. Karena itu, mestinya bisa diterima dan disukai sebanyak mungkin pendengar. Menurut saya, hanya koruptor yang tidak menyukai album ini. Kawankawan suka atau tidak? Yeah, katakan tidak pada(hal) korupsi!
.
SAVAGE ZORV 2013 oleh Dede Hate Jimi Multhazam mengira Nirvana membuat album lagi. Saya seketika hampir mempercayainya ketika mulai mendengar “Believe”, trek kedua di debut album tiga anak muda dari Surabaya yang menamai diri mereka Zorv ini. Oke, Jimi tidak berlebihan, saya juga tidak salah, tapi memang, apa yang saya dengar langsung mengantarkan saya ke ruang-ruang memori belasan tahun lalu. Saya bukan bagian dari Generasi X. Saya sekedar tumbuh menyesap hari-hari terakhir kejayaan grunge, di mana kala itu, Nirvana dan tentu saja, Cobain, masih menjadi tuhan, dan kemudian martir. Untuk sebuah band yang baru terbentuk belum terlalu lama, “Savage” adalah debut yang luar biasa. Kematangan sound dan komposisi yang solid seperti menyembunyikan usia para personil yang masih muda. Dua belas lagu di dalamnya seperti lahir dari para kawakan yang sudah berpengalaman. Selain “Savagist” dan “Saudade”, dua nomor akustik yang secara jeli ditempatkan di awal dan menjelang akhir, kita dihadapkan pada lagu-lagu dengan aroma Seattle yang sangat kental: raungan gitar yang seringkali kotor sesekali jelas, bassline kasar, drum tebal dan vokal serak
pecah semaunya, yang kadang-kadang berubah manis, harmonis. Mendengar lagulagu di album ini, lagu-lagu seperti “Believe”, “Wealth”, “Handcuffs”, “Eternalist” dan lainnya, membuat saya merasa belasan tahun lebih muda, lebih enerjik dan bersemangat. Yah, saya, sekali lagi ter-grunch-kan. Dalam perjalanannya kemudian, Zorv secara rendah diri menyebut musik mereka post-grunge saja. Menurut mereka, grunge bukanlah genre musik, tapi momen, dan itu sudah lama berlalu. Mereka mungkin termasuk golongan yang menganggap Cobain membawa grunge mati bersamanya. Ah, peduli setan sama Cobain, Zorv adalah panutan baru kita. Sayang sekali, mereka berencana vakum untuk sementara waktu. Beruntung, saya sempat menyaksikan salah satu penampilan live terakhir mereka, di Rock In Celebes beberapa waktu lalu. Saya tidak banyak mendengarkan album lokal tahun 2013 ini, tapi kalau diminta membuat daftar terbaik, saya pasti memasukkan “Savage” di urutan yang tinggi.
.
HAPPY CODA FRAU 2013 oleh Dede Hate Setelah sempat menghindar cukup lama, biduan dan pianis perempuan sederhana kembang desa Leilani Hermiasih kembali ke pentas dengan “Happy Coda” yang dirilis Yes No Wave pada Agustus tahun lalu. Sejujurnya, dulu saya menyimak “Starlit Carousel” hanya karena penasaran dengan hype Frau, agar tidak ketinggalan tren dan juga mungkin biar dianggap keren. “Mesin Penenun Hujan” adalah satu-satunya lagu dari album tersebut yang tidak membuat kening berkerut akibat otak yang sengkarut tak paham. Ini sedikit berbeda, karena setidaknya saya sudah paham bahwa musik Frau memang bukan untuk dipahami. Cukup dengarkan saja dan biarkan jari-jarinya yang bermain-main di tuts dan vokalnya yang jernih menciptakan nada-nada semaunya, dan lupakan usaha untuk mengerti istilah-istilah asing dalam buku partitur. Dengan begitu, saya kemudian bisa menikmati “Water”, “Tarian Sari”, “Arah” dan “Whispers”. Untuk lagu-lagu lainnya: “Something More”, “Empat Satu”, “Mr. Wolf” dan “Suspens”, saya juga paham bahwa seringkali musik Frau hanya bisa dinikmati di momen yang tepat. Saya belum ketemu momen yang tepat.
.
COTSWOLDS COTSWOLDS 2013 oleh Dede Hate Cotswolds adalah hype terbaru dari Surabaya. Empat pemuda dalam band yang belum lama terbentuk itu menarik perhatian setelah merilis sebuah ep via netlabel Tsefula/Tsefuelha Records yang bisa diunduh percuma di yesnowave.com. Meski konsepnya belum matang, tapi nuansa shoegaze dan terutama post-punk sudah terlanjur melekat di mini album berisi tiga lagu plus satu intro ini. Saya tidak banyak mendengarkan post-punk, belum juga terlalu lama menikmati Killing Joke, tapi Cotswolds langsung terdengar familiar dan akrab. Penuh dengan efek echo dan reverb dalam musik dingin dan kontemplatif yang menjejali kepala dengan rasa kegamangan dan keterasingan yang pelan-pelan merayap. Lagu-lagu “European Ocean”, “Fire” dan “Plasticity” tidak banyak menawarkan asa pada liriknya. Jikapun ada, suara vokal malah terdengar abstrak dan tersembunyi di balik gema. Musik seperti ini memang bertumpu hampir sepenuhnya pada sound-nya yang eklsporatif, bukan pada lirik tematik yang justru kadang membatasi. Nama Cotswolds ditemukan secara acak saja, dan hanya kebetulan belaka jika kemudian ternyata identik dengan nama sebuah kota tujuan wisata di Inggris yang berarti ‘pondok yang tandus’. Dalam bahasa mereka sendiri: ini adalah suara yang memanggil dari kedalaman lautan gelap di dalam kepalamu.
.
UNTIL WE WIN STRAIGHT ANSWER 2013 oleh Dede Hate Unit old school hardcore Jakarta ini terus produktif. Dua tahun setelah “Passion Is the Reason”, mereka kembali lagi dengan merilis “Until We Win” tahun ini. Sama dengan album sebelumnya, ada tujuh trek cepat untuk mengantar kita menuju moshpit liar sesak di ruangan sempit tak berjarak. Hardcore yang benar adalah sep-
erti ini: simpel, tanpa jarak, akrab dan saling menyemangati. Maka tepat sekali jika, seperti yang mereka jalani selama ini, lagu pembuka adalah “Small Show, Great Friends”, tentang kualitas gig kecil dengan keakraban yang lebih erat tak bersekat. Tempat dan saat di mana, bersama kawan-kawan saling meneguhkan dalam janji-janji pasti “These Fists Won’t Run” dan “Sudah Pasti Tidak”, saling menyemangati dalam petuah-petuah bijak “Alone No More” dan “Do Your Best and Don’t Worry”, untuk kemudian kembali dalam sikap mental positif sebagai “Undefeated Kids”. Sedikit perbedaan kecil saja dari album sebelumnya, meski masih bercirikan pola old school hardcore yang sederhana, cepat dan enak buat bernyanyi bersama, adalah sound di album ini lebih banyak memasukkan unsur punk lama. Semakin terasa enak karena mereka menyanyikan ulang sebuah nomor lama milik INA Subs, “Punks United”. Let’s smash the barricades once again!
.
HIMNE PERANG AKHIR PEKAN DOWN FOR LIFE 2013 oleh Dede Hate Lima tahun setelah “Simponi Kebisingan Babi Neraka”, diselingi beberapa Rock In Solo di antaranya, Pasukan Babi Neraka kembali mengeluarkan album baru. Sepaket amunisi serupa tiupan terompet menuju perang dengan nama “Himne Perang Akhir Pekan”. Tidak ada yang benarbenar berubah dari album debut mereka dulu, kecuali takaran kecadasan yang terus bertambah, penulisan lirik yang semakin berani dan seperti terkonsep serta kualitas sound yang semakin baik. Untuk yang terakhir, tidak perlu heran karena kabarnya album ini dikerjakan sampai ke Australia. Selain intro dan outro, “Panes Angelicus” dan “Alleluya” yang tersaji layaknya kidung opera, sepuluh lagu-lagu lain menggunakan formula yang sama: komposisi metal yang bersilang dengan hardcore. Demikian, ada banyak lagu yang berpotensi menjadi anthem, di antaranya “Prosa Kesetaraan” yang sudah dilempar percuma lebih dulu, “Air Udara Tanah Api”, “Pesta Partai Barbar” dan “Pasukan Babi Neraka”. Membicarakan tentang konsep, album ini mengisyaratkan itu dalam artwork di sleevenya dan serangkaian lagu yang disimpulkan dalam “Liturgi Penyesatan”. Ayat Kursi dan Doa Bapa Kami yang dipepatkan bersama
rapalan “pendustaan atas nama Tuhan” dalam raungan distorsi dan semerbak aroma alkohol seharusnya menjadikan lagu itu himne terbaru para pendusta agama.
.
S.A.T.R.V VLAAR 2013 oleh Dede Hate Mvsim panen berakhir. Mvsim kering tiba. Berangkatlah Kvli Arit dan Tvkang Pacvlt ke kota mencari kerja, maka jadilah Vlaar: Svkatanian Agrikvltvral Trve Raw Vgly, wahana bersenang-senang terbarv orkes mvsrik warga desa Svkatani. Dengan ravngan mvsik yang lebih cepat dari Bvrtan, serta sesekali mengajak Pak Kades, dan atas nama metal yang sesvnggvhnya, mereka mempertahankan sovnd raw dan penvlisan lvgas dalam irama thrash bercampvr crvst bercampvr tvak yang cepat dan vgly. Membicarakan kembali svka dvka jvtaan pelamar kerja dan pendaftar cpns lewat delapan lagv kegelapan dengan lirik yang masih tetap jenivs plvs satv cover trve metal Manowar berjvdvl “Metal Warriors”. Jika bang Ben ingin si Dvl menjadi tvkang insinyvr, maka bapak-bapak yang lagi main jvdi ingin mereka ini jadi pegawai negeri setan. Akv mengvtip satv saja lagv yang paling jenivs di sini berjvdvl “Akv Ingin Jadi PNS”: “Bapakkv ingin akv jadi PNS / Ibvkv ingin akv jadi PNS / Savdarakv ingin akv jadi PNS / Pacarkv ingin akv jadi PNS / Calon mertvakv ingin akv jadi PNS / Tetanggakv ingin akv jadi PNS / Mantankv yang nggak pengen akv jadi PNS”. Kenapa lagv ini kemvdian jenivs di balik lirik nyinyirnya yang akv jvga bisa bikin adalah karena setelahnya tiba-tiba mvncvl bvnyi piano melatari sandiwara radio berisi dialog panjang antara Hanggareksa dan Ranvbaya yang bervjvng sebuah konklvsi kritis halvs, yang biasanya menjadi penghibvran diri klise para bakal calon presiden yang kalah: ada banyak cara vntvk mengabdi pada negara. Akv kemvdian mencoba menambah kadar lvcvnya dengan menyambvngkan dengan doa bvrvk mereka di akhir lagv sebelvmnya yang berbvnyi: “semoga Abvrizal Bakrie gak jadi presiden!” Haha lagi. Entah komedi apa lagi yang akan dihasilkan warga Svkatani setelah ini. Sebelvm itu tiba, mari menikmati saja albvm yang saking trve-nya ini, dibagikan secara percvma saja. Satv kvtipan plesetan yang cocok vntvk kita: akvlah karyawan kegelapan, bekerja secara gaib, tidak terlihat di kantor, tapi mesin finger print selalv fvll.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 109
REVIEW PHENOMENON SSSLOTHHH 2013 oleh Dede Hate Entah apa arti di balik nama yang, bagi saya, jika diucapkan secara sengau dengan ujung lidah merapat ke gigi bagian atas plus penekanan pada bagian akhir akan terkesan binal, atau malah serupa tiruan suara kentut yang dilepaskan secara siri ini. Mengetahui album ini banyak dibicarakan tidak serta merta memancing penarasan saya. Label besar ‘sludge metal’ yang disematkan kadung meneror. Langsunglah terbayang Eyehategod, atau yang belum terlalu lama, Kingdom of Sorrow yang lambat, berat dan malas. Saya memang terlalu goblok membayangkan sampai ke Eyehategod, karena setelah memberanikan diri menyimak “Above and Below”, subhanallah, ini tidaklah semalas yang saya takutkan. Malah di lagu pembuka itu mereka langsung bermain ‘cepat’, rapat dan padat sebelum ditutup secara normal seperti biasa, lambat. Juga, gaya vokalnya kok begitu familiar. Ternyata, dulu saya sering mendengar Cory Brandan bernyanyi seperti itu untuk Norma Jean di “O God, the Aftermath”. Kloplah kalau begitu. Tidak berat dan ada yang familiar. Lanjut. Lalu lagu-lagu berikutnya, “Oracle”, “Distance” dan “Sequence”, ternyata juga tidak terlalu berat. Menumpukan kecadasannya pada distorsi kasar dan tebal, kadang menurunkan tempo namun memperhatikan melodic riffage yang asyik. Kemudian “Wooden String” muncul di tengah-tengah, tepat sekali memberi istirahat pada kuping dengan petikan gitar akustik melatari seseorang berpidato. Lalu “Set the Arms Down”, “Thief of Sleep” dan “Panoramic Transition” kembali nge-sludge, tapi masih dalam batas kewajaran, belum mampu membuat saya menyerah. Then, here comes the last, “Cyclic”. Saya sudah membayangkan penutupan yang bombastis, bagian paling berat dan abrasif, alih-alih, saya mendengar kelanjutan “Wooden String”, seseorang yang berpidato tadi. Bedanya, kali ini latarnya bukan lagi akustik, namun musik ambient yang gelap, pas sekali menutup album ini. Sementara lagu terakhir tadi berakhir secara fade out, berakhir pulalah setengah jam paling sludge dalam kuping saya. Label memang seringkali menipu, begitulah. “Phenomenon” mungkin dilabeli sludge yang terlanjur bersinonim dengan be110 I TUCZINE.TUMBLR.COM
rat, lambat dan malas, tapi dari pengalaman saya, album ini tidaklah demikian. Malah boleh saya bilang easy listening. Ini mungkin bentuk lain kerennya SSSLOTHHH asal Bandung ini, memainkan genre metal yang belum terlalu familiar di skena bawah tanah lokal, namun tetap memperhatikan kenyamanan pendengar potensial. Sederhananya, sludge metal yang mereka mainkan adalah untuk pemula. “Phenomenon” bisa dibilang salah satu fenomena di tahun 2013. Ah, cccrothhh!!!
.
NEGERI NERAKA GODLESS SYMPTOMS 2013 oleh Dede Hate Melanjutkan kreasinya saat Balcony belum akan menjejak panggung lagi, Baruz mengangkat Godless Symptoms ke tempat yang hampir sama sakralnya dengan band dulunya tersebut. Sudah sepuluh tahun! Dan tahun-tahun belakang Godless Symptoms sangat produktif, di mana album kedua “Revolusi Demokrasi” dan ketiga, terbaru, “Negeri Neraka” ini hanya berjarak setahun. Secepat jarak antar album tersebut pulalah musik mereka kali ini. Lebih ‘mentah’ namun tetap cepat berkelindan dalam silang saling thrash metal dengan hardcore. Mengawinkan pengaruh Anthax, D.R.I dan Warzone ke dalam sebelas lagu bak kereta laju, yang melaju tanpa hambatan: cepat, deras dan tanpa basabasi. Sejak dibuka intro “Bukan Milik Mereka” sampai track kedelapan “Lawan” mereka tidak sedikitpun menginjak pedal rem, hanya sesekali mengendurkan pijakan. Barulah di bagian konklusi “Inilah Negeri Neraka” mereka mengurangi kecepatan, dalam tempo sedang cenderung sludgy namun tetap gahar. Seperti yang kita harapkan dari musik crossover seperti ini, bagian hardcore-nya sangat terasa di ketukan yang cepat dan gang shoutings, sementara thrash metal-nya diwakili oleh, salah satunya, solo guitar melodik melengking. Sebagai penghormatan, mereka menyertakan dua cover untuk dua legenda Bandung lainnya, Turtles Jr. dan Jeruji lewat “Anjing Goblok Tai Babi” dan “Lawan”. Bagusnya, mereka menancapkan signatur mereka sendiri di dua lagu tersebut sehingga terdengar cukup berbeda dari versi aslinya. Tidak lupa, mereka memberikan bonus berupa dua hidden track “Darah Berjelaga” dan versi panjang “Inilah Negeri Neraka” di ujung album. Lewat album ini, Godless Symp-
toms, seperti di album-album sebelumnya, mengajak pendengarnya menumpahkan kekesalan melihat keadaan serupa neraka di republik tercinta ini ke dalam moshpit dengan pengantar yang membakar. Jangan cuma kesal dan banyak omong, mari kita selesaikan di moshpit, seperti itu kira-kira ya.
.
LOGICALLY UNLOGICAL LOGIC BENIGNO ANTHONY 2013 oleh Dede Hate Entah dari mana mereka menemukan nama yang memorable ini. Siapakah dan apa kisah di balik Benigno Anthony? Saya benar-benar penasaran. Atau mungkin, ini dari dugaan saya saja, mereka ingin bermain ironi seperti dalam nama Endank Soekamti atau Marilyn Manson, tapi kok jadinya so, hmmm, gay? Atau, justru di situlah jeniusnya, ironi paling ironis, antithesis: menamakan band metal yang gahar dengan nama yang not so metal. Hey, metal itu di jiwa, bung!! Bukan dari penampilan, apalagi nama!! Oh, oke bang. Terlepas dari namanya, musik yang mereka mainkan sangat patut dipuji, dan cukup susah untuk didefinisikan secara spesifik karena ramainya elemen dari banyak subgenre metal. Ada thrash, groove, NWOBHM, metalcore, melodic death, symphonic dan gothic metal terasa. Beberapa bahkan menyebutkan nu-metal. Seperti menyuruh Megadeath, In Flames, Chimaira, As I Lay Dying, Iron Maiden, Epica dan Mike Shinoda membuat lagu bersama. Ini mungkin disebabkan oleh latar belakang yang, seperti pengakuan mereka sendiri, cukup baru di musik metal, di mana sebelumnya mereka lebih banyak memainkan rock dan jazz. Terkesan seperti sebuah band muda yang sedang mencari bentuk, Benigno Anthony ingin musik mereka disebut heavy metal saja. Ada sepuluh lagu di album debut ini, termasuk dua track ‘instrumental’, dengan “As Due Forever” dijadikan andalan utama. Satu yang paling menarik perhatian adalah “Bonds” yang sangat ‘berwarna’ dengan kehadiran Lezzano dari grup rap Fade2Black, Sammael dan Lilith dari band black metal Kedjawen, Ricky dari band hardcore TakexOnexStep, serta Acoy dari band rock Rocker Kasarunk. Menarik untuk menunggu kelanjutan dari band ini. Yang pasti, skena Bogor kembali melahirkan satu aksi anak-anak muda bertalenta yang perlu diperhitungkan.
.
PLAY REWIND ERASE SPACEANDMISSILE 2013 oleh Dede Hate
BUKAN BALADA CENGENG DEBLUESFRESH 2013 oleh Dede Hate
Beberapa tahun belakangan skena lokal menyaksikan banyak sekali band-band muda bermunculan memainkan postrock. Di balik namanya yang simpel, post-rock, seperti juga umbrella term lainnya dalam musik, sejatinya memiliki potensi eksplorasi yang sangat luas dan tak terbatas. Sayangnya, kebanyakan langsung ‘meniru’ acuan yang sudah familiar, seperti Mogwai misalnya. Dari yang banyak itu, sedikit saja yang benar-benar berbeda. Saya cuma mengingat Marché La Void dari Jakarta yang merilis “The Origin of NonEntity” yang keren pada 2012. Lewat full-length debut ini, Spaceandmissile asal Bandung bisa mengikuti jejak Marché La Void ke dalam daftar saya, menetap dan memorable di sana untuk waktu yang lama. Secara sederhana dilabeli post-rock, jenis yang mereka mainkan berbeda dari yang sudah-sudah. Tetap mengambil referensi dari post-rock ‘konvensional’, mereka tidak menitik beratkannya pada instrumentasi gitar dan analog semata, tapi juga pada tumpukan layer fill in instrument olahan software pengolah suara dan digital. Malah, di luar suara dua gitar yang saling melapis, komposisi sound digital lebih terasa dan mendominasi ketimbang analog, membuatnya lebih pas sebenarnya jika disebut electronic post-rock. Untuk menggambarkan rilisan ini secara lebih sederhana, dari tidak banyak referensi mengenai musik elektronik, saya hanya bisa menganalogikan: seperti Telefon Tel Aviv yang sedang ingin bermain Explosions In the Sky. Duo Tintus Hermawan dan Ishaq Hari Yogaswara, dengan komposisi nadanada yang ‘murung’ dan ‘dingin’, mengajak kita mengawang-awang ke angkasa, dengan permainan emosi yang fluktuatif: sepi, terasing, kadang melankolia, namun tetap berakhir dengan percikan optimisme. Seperti serangkaian scoring dalam film bertema post-apocalyptic yang ending-nya, meski pahit, tetap menyisakan harapan akan keberlangsungan kemanusiaan. Berisi sebelas lagu, termasuk satu bonus track, plus syair dalam lyric sheet yang menyisakan ruang imajinasi tentang bagaimana menyuarakannya di kepala setiap pendengar, “Play Rewind Erase” adalah sajian post-rock yang berbeda, dan membawa kita untuk terus memainkan, memutar berulang-ulang, dan tidak serta-merta menghapusnya.
Meski mas Dhani sudah memberi wejangan bahwa blues adalah akar dari semua musik setan yang saya gemari, tetap saja, I’m not really into blues. Saya pun baru memutuskan membeli cd ini setelah melihat penampilan aktraktif Debluesfresh, terutama vokalisnya yang petakilan, di Rock In Celebes pada penghujung 2013. Padahal jauh sebelumnya, saya sudah sering melihatnya dipajang di toko yang biasa sambangi. Tak kenal maka tak beli, rite? Maka saya hampir menyesal kemudian, karena enam lagu di album ini cukup nyaman mengalir, tanpa banyak hook yang biasanya tak saya pahami. Jatuh dalam kategori blues kekinian yang tidak banyak mengumbar pamer skill menggitar yang keterlaluan. Yang paling mencolok tentu saja gaya bernyanyi Mathsoul yang soulfull, manja, liar dan menjiwai. Lewat album kedua ini, Debluesfresh menegaskan eksistensi dan konsistensi mereka yang sudah belasan tahun, sekaligus memperkenalkan blues secara lebih luas di skena musik independen Makassar.
.
.
BERJALAN LEBIH JAUH BANDA NEIRA 2013 oleh Dede Hate Satu lagi grup akustik hadir di tengah, bisa dibilang, revival folk/akustik di skena nasional. Kali ini dalam bentuk duet, yang mau tidak mau mengingatkan kita pada Endah N Rhesa, atau malah membandingkannya. Banda Neira berawal dari gejreng-gejreng gitar pelepas penat dua sahabat di Unpar, Ananda dan Rara, yang kemudian berakhir di situs unggahunduh lagu soundcloud. Berkat resepsi yang semarak, serta dukungan dari kawan-kawan, mereka akhirnya serius dan merilis satu album penuh lewat Sorge Records. Sedikit berbeda dari Endah N Rhesa, duet Banda Neira semuanya menyumbang suara. Membuat dual vocal, feminin dan maskulin, terdengar saling men-
gisi. Berbekal dua instrumen semenjana, gitar dan xylophone, serta syair-syair puitis, mereka bersenandung tentang keseharian, mimpi-mimpi, juga sedikit sikap berhaluan kiri, dalam alunan musik akustik sederhana nan sendu. Dalam istilah sendiri, mereka menyebutnya nelangsa pop. Lagu “Mawar” yang menjadi penutup debut berisikan sepuluh lagu ini adalah yang paling menarik perhatian saya. Menunjukkan sikap, mereka ikut menyuarakan “Sajak Suara” milik Wiji Thukul. Mendengar suara merdu milik Rara mendeklamasikan sajak itu menjadi pengalaman berbeda dan baru, setelah selama ini saya cuma familiar dengan suara Bang Ucok yang beringas dan penuh amarah.
.
STOMPING STOMPING ‘99 7 DEADLY SINS 2013 oleh Dede Hate 7 Deadly Sins berkumpul lagi, merilis album kedua dan mengajak kita menjejak lantai dansa lagi. Berisi 13 lagu, “Stomping Stomping ‘99” adalah pembuktian kembalinya Karel dkk setelah sempat down lama sekali akibat meninggalnya pemain bass Ais pada 2006 dengan semangat yang baru, menghadapi kenyataan hidup yang seringkali getir dengan lebih dewasa, dalam personalitas dan musikalitas. Sungguh tepat dengan awalan berketukan cepat ala hardcore di “Back to Reality” yang sebelumnya sudah dilempar sebagai single untuk menandai kembalinya mereka. Bernyanyi dan berdansa bersama kawan-kawan dengan iringan lagu-lagu berketukan cepat selalu menjadi yang cara yang positif untuk kembali merasakan hidup. Irama-irama cepat pemompa semangat lainnya bisa disimak juga di “Black Suit In Volvo”, “Learn to Digest”, “End of the Line”, “Mesias”, “Progress Are Lies”, “Once We Were Friends” dan “Silent Riot”. Tidak melulu cepat, cara lain yang dipilih adalah bermain melodic punk yang easy listening, seperti tersaji dalam “Jhonny & Joan”, “Lonely View” dan “Label Me”. Selain itu, kita bisa juga skanking dalam “Finally” yang menyertakan beat ska, juga sedikit bermalasmalasan lewat “Deemee” yang malas. Dengan referensi yang luas, dari Rancid, Pennywise hingga No Doubt, “Stomping Stomping ‘99” adalah sajian segar yang sangat cocok bagi penikmat semua jenis musik punk dan ska sekaligus. Setelah sekian lama, akhirnya saya mendengar lagi punk rock lokal yang semestinya.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 111
REVIEW DOOM DANCE MATIASU 2013 oleh Dede Hate Iqra Nur Rizky Anggawiria (gitar/ vokal) dan Haris Budi Setyawan (drum) menuhankan Black Sabbath awal, memuja Sleep, menjejak Suri dan menggabungkan semuanya sebagai referensi dalam doom metal versi mereka. Apa yang ditawarkan Matiasu sesungguhnya merupakan salah satu bentuk paling primitif dari heavy metal. Doom metal, seringkali mengalami interkoneksi dengan stoner metal, sudah ada sejak Black Sabbath pertama kali menemukan musik keras turunan rock tersebut. Dan dari sana pula duo asal Jakarta ini melandaskan arah bermusik mereka. Lewat mini album pertama bertajuk “Doom Dance” ini, mereka membangkitkan kembali ingatan lama bahwa Black Sabbath masihlah tuhan, dalam empat lagu yang siap meruntuhkan semangat, membawa nuansa depresi bersamanya. Dengan distorsi yang raw, berat dan abrasif, serta tumbukan drum yang tak berhasrat, empat lagu ini mengalun dalam tempo yang lambat, malas namun menyeramkan, menghantarkan malapetaka pengalaman musikal yang tak terkira bagi yang belum terbiasa, atau justru serupa kidung anthemic bagi pemuja doom/stoner dalam tarian mereka menyambut kiamat.
.
MANDATORY EL ARSHY SAFFAR 2013 oleh Dede Hate Sebagai pergerakan, bisa dibilang Satu Jari sedang tenggelam. Tapi itu tidak mengurangi frekuensi kemunculan band-band yang membawa semangat serupa. Meski tidak mengafiliasikan diri dengan gerakan yang sempat membakar jenggot sebagian kalangan tersebut, berbekal mandat dari langit, Saffar jelas sekali bisa dikelompokkan ke sana. Dengan tema lirikal yang tak jauh dari jihad, sejarah Islam dan lain-lain, Saffar menjadi sedikit berbeda, atau mencolok, 112 I TUCZINE.TUMBLR.COM
dari banyak sekali aksi death metal muda yang muncul dari Bandung. Penuh percaya diri membaurkan istilah-istilah serapan Bahasa Arab dengan Inggris, atau Indonesia dalam larik berima yang seringkali malah membuat saya bingung, Parjo (vokal), Acil (gitar), Ramon (bass) dan Iyenk (drum) perlu diapresiasi berkat langkah tak populer yang mereka jejak. Entah itu sebatas di lirik atau memang mengalir deras dari dalam. Wallahu a’lam. Tentang musiknya, well, ini brutal death metal. Meski tidak banyak menyisipkan part groove yang nyaman sebagaimana lazim, musik yang menyembur keluar tetap kuat untuk membakar moshpit. Membabibuta dan brutal. Satu hal yang sangat mencolok di sini adalah permainan bass agak teknikal yang sesekali menyeruak di tengahtengah gemuruh blastbeat. Untuk menambah variasi di bagian olah suara, beberapa vokalis tamu ikut berpartisipasi. Ada Kinoy dari Undergod di “Novus Ordo Seclorum”, Kimo dari Depravity Savage di “Haykal Abu Jahl”, Addy Gembel dari Forgotten di “Atmospheric Intifadha” serta Ali Utrujjah, yang sering disebut sebagai penerus Thufail Al Ghifari yang sudah pensiun sebagai rapper, di title track “Mandatory El Arshy”.
.
DIALOG UJUNG SUAR THEORY OF DISCOUSTIC 2013 oleh Dede Hate Senang rasanya melihat seorang kawan lama sangat bersemangat meramaikan skena musik independen Makassar yang kembali gegap gempita. Sembari bermain keras dan cepat dalam kugiran death metal dan hardcore, kawan ini sekarang bermain tenang pula dalam kelompok folk akustik. Dan itu bukan sekedar pengisi waktu, karena kelompok folk akustiknya bernama Theory of Discoustic telah merilis mini album pertama bertajuk “Dialog Ujung Suar”, yang disebar percuma di dunia maya. Berbentuk trio, kelompok ini siap memberikan warna berbeda di skena musik Makassar lewat petikan-petikan gitar renyah, suara vokal merdu, nuansa ambience, dengan syair-syair lugas yang sebagiannya direinterpretasi dari lagu-lagu rakyat Sulawesi Selatan dalam empat lagu yang mengalun sederhana namun melenakan. Di tengah revival folk akustik di skena nasional dalam beberapa tahun belakangan, tak berlebihanlah kiranya kalau kami berharap akan ada album penuh seb-
.
agai kelanjutan dari ep ini, untuk kemudian berseru tanpa perlu tersipu: hey, sekarang kami punya Theory of Discoustic! REBIRTH OF JATISUNDA JASAD 2013 oleh Dede Hate Kang Man dan kumpulannya yang terus menunjukkan kedewasaan semakin serius dengan kampanye glokalisasi (satu istilah baru yang saya dapat dari seorang teman) musik metal. Membaurkan produk budaya global (baca: metal) dengan sentuhan lokal (baca: budaya Sunda). Tidak persis sama dengan Karinding Attack, budaya Sunda yang terasa di sini lebih kepada lirik dan artwork. Tapi itu tidak mengurangi nilai positifnya, terutama kalau melihat kecenderungan band-band muda saat ini yang seperti langsung saja menerjemahkan Cannibal Corpse dalam lirik-lirik transgresif mereka tentang kekerasan dan kengerian. Dengan formasi yang tidak pernah berubah dalam 14 tahun terakhir, kecuali masuknya Abaz pada 2011 di posisi drum, Jasad sudah semestinya menjadi role model, seiring dengan status mereka sebagai ‘yang dituakan’ di skena death metal. Hal positif lainnya adalah Jasad akhirnya membuat album penuh lagi setelah hampir delapan tahun sejak “Annihilate the Enemy” (2005). Jeda selama itu sama sekali tidak menggerus semangat dan kemampuan abah-abah ini dalam memainkan musik brutal death metal yang keras dan cepat, serta sesekali menurunkan tempo. Tidak ada yang benar-benar berbeda dengan album sebelumnya. Pun pakem yang digunakan masih sama seperti ketika dulu mereka mulai memainkan musik ala Suffocation. Bagi sebagian orang, sepuluh lagu dengan komposisi hampir serupa dalam album ini mungkin terdengar monoton, tapi brutal death metal memang seperti itu: monoton dan konsisten dengan itu. Kalau ingin yang meliuk-liuk tak tertebak, silakan dengarkan technical death metal. Bersama kampanye glokalisasi tadi, syair-syair sepuluh lagu di album ini datang dalam tiga bahasa: Sunda, Indonesia dan Inggris. Mengenalkan budaya Sunda sebagai satu bagian dari kekayaan budaya nasional Indonesia kepada pendengar luar. Untuk memperluas cakupannya, selain dirilis Extreme Souls Production untuk distribusi lokal, “Rebirth of Jatisunda” juga dirilis oleh label asal Amerika Serikat, Sevared Records untuk distribusi mancanegara.
.
ROEKMANA’S REPERTOIRE TIGAPAGI 2013 oleh Dede Hate Nada-nada syahdu dalam gubahan folk kontemporer yang kelabu bersanding bersama suasana kelam hari-hari merah September 1965 menjadi suara dan gambaran latar dari seseorang yang gelisah dan sedang mencari, entah apa, dalam sebuah debut yang sudah ditakdirkan menjadi klasik di hari perilisannya: “Roekmana’s Repertoire” dari Tigapagi. Sebuah press release panjang yang ditulis Cholil Mahmud dan A. Puri Handayani dalam ejaan dan gaya bahasa lama semakin menguatkan rasa klasik tadi. Sejatinya, Tigapagi, kelompok folk asal Bandung berisi Sigit Agung Pramudita, Eko Sakti Oktavianto dan Primadian Febrianto, sudah ada dan berkelana cukup lama. Namun barulah sekarang mereka merasa siap merilis album, debut, yang digarap dengan seksama. Berisi 14 lagu yang digabung serupa medley dalam satu track panjang berdurasi 65 menit. Memang bukan hal baru, tapi penyajian lagu-lagu lewat model yang menyusahkan cd ripper seperti saya ini perlu dipuji. Meski liriknya tidak saling berhubungan secara tersurat, semua lagu di sini berkaitan satu sama lain, jalin-menjalin menjadi satu kisah utuh tentang pencarian dan kegelisahan Roekmana, sang tokoh misterius yang entah dia berada di sebelah kiri atau kanan saat negeri ini gonjang-ganjing. Hebatnya, perpindahan alunan musik antar lagu begitu halus. Karena memang musik folk berasal dari nyanyian rakyat, maka nuansa Sunda, yang di sini salah satunya direpresentasikan oleh petikan kecapi, terdengar sangat kental. Bersama dengan gitar akustik, piano, flute, string section serta unsur keroncong, dia menciptakan racikan dan komposisi musik yang sederhana sekaligus megah, tradisional sekaligus modern dalam irama muram, kelabu, kadang depresif, namun tidak suicidal. Vokal Sigit yang kadang lirih, berbisik, atau tebal begitu padu menyuarakan lirik-lirik getir yang ditulisnya. Bagian ini menjadi lebih variatif ketika beberapa biduan tamu ikut bersenandung: Firza Achmar Paloh dari Sore dalam “AlangAlang”, Paramitha Sarasvati dari Nada Fiksi yang mengingatkan pada Dolores O’Riordan dalam “Erika”, Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca dalam “Pasir” serta Aji Gergaji dari The Milo dalam “Tertidur”. Menghabiskan lebih dari sejam
menyimak dan mengikuti kisah Roekmana, saya tidak menemukan hal lain kecuali refleksi, atau kontemplasi. Entah itu tentang masa lalu atau yang akan datang, dari diri sendiri atau pengalaman sesama. Gamang. Puncaknya adalah ketika menyimak “Pasir” yang luar biasa indah membius. Kiranya sempat mendengar lagu ini dan tidak tersentuh juga, curigalah, mungkin hati kamerad-kamerad sudah betulan menjadi batu. Bukti lain dari seriusnya penggarapan rilisan ini adalah kemasan yang tidak biasa, dan saya yakin dikerjakan dengan sangat teliti dan tekun. Berbentuk amplop berwarna merah tua berisi lyric sheet dari kertas daur ulang, cakram dalam ziplock, dan foto-foto ‘usang’ bernuansa 1965 yang sebagian diselotip sebagian dibiarkan berserakan. Kalau kebetulan kamerad-kamerad belum punya cd ini, segeralah cari, belilah, dan kalau ternyata tidak suka musiknya, simpanlah baik-baik, siapa tahu di masa mendatang kita bisa punya museum arsip musik Indonesia, karena cd ini mesti ada, dan berada di tempat yang bagus di sana.
.
FINDING MOON MELISMATIS 2013 oleh Dede Hate Sejak dua tahun lalu saya sudah sering mendengar Melismatis dibicarakan harum oleh kawan-kawan Makassar. Tapi prasangka mengalahkan penasaran. Barulah menjelang akhir tahun lalu penasaran mengalahkan prasangka, dan saya punya kesempatan mencari dan menemukan cd “Finding Moon” ini. Sebenarnya album ini adalah versi repackaged dari ep berjudul sama yang dirilis setahun sebelumnya, ditambah dua lagu dan didistribusikan lebih luas. Betapa kagetnya ketika mulai menyimak satu persatu sepuluh lagu yang ditawarkan. Bagaimana awalnya kening mengkerut mendengar berbagai hal bertolak belakang ditabrakkan tapi kemudian berakhir dengan mafhum: oh bisa seperti itu ya? Bagaimana mendengar petikan gitar akustik atau alunan musik pelan mengiringi teriakan putus asa bergaya post-hardcore? Impresi pertama yang muncul: seperti unit post-hardcore yang terlalu lama ngejam atau terlalu sering gonta-ganti personil sehingga gagal menemukan momentum. Tapi Melismatis tidak seperti itu. Setelah dengan (agak) serius, bercampur kaget, heran dan takjub menyimak album
ini, berulang-ulang, serta mencari informasi mengenai mereka, well band ini dikonsep dengan matang dan serius. Berdiri sejak 2006 dengan formasi yang tidak pernah berubah, mereka menemukan keasyikan justru dari selera dan pengaruh beragam enam personilnya. Dengan berani dan percaya diri menabrakkan unsur musik pop, rock, akustik, perkusi dan post-hardcore dengan visualisasi yang berseni serta aksi panggung yang hidup. Mengeksplorasi dan meramu semuanya menjadi satu konsep yang cukup berbeda dari yang sudah ada, yang untuk menyederhanakan, mereka menyebutnya post-rock saja. Salut.
.
IMPERFECTLY PERFECT SARITA FRAYA 2013 oleh Dede Hate Desain sampul dan packaging menarik sekali lagi terbukti menjadi faktor penting dalam mengambil keputusan: apakah akan membeli atau tidak, cd dari musisi yang belum dikenal sebelumnya. Terberkatilah selera artistik saya yang berkelas, juga Wok The Rok yang ternyata berada di belakang desain sketsa kursi sutradara di atas kertas kalkir ini, sebab rupanya “Imperfectly Perfect” dari Sarita Fraya hampir sempurna. Sarita Fraya, penyanyi-pencipta lagu muda kelahiran Semarang, tidak cuma mendapat pengetahuan akademik dari kuliahnya di Jogja. Di sana, dia berkenalan dengan banyak penggiat skena musik indie, yang sekarang membantunya di mini album pertamanya ini. Selain Wok The Rok, ada Risky Summerbee dan kawan-kawannya dari Risky Summerbee & the Honeythief, juga Jasmine Acoustic dll. Persinggungan dengan mereka ini sedikit banyak ikut mempengaruhi karakter dan referensi musikal Sarita yang sebelumnya menyanyi di kafe. “Imperfectly Perfect” secara nyaris sempurna menyajikan enam tembang akustik dan seminal akustik yang manis. Petikan gitar renyah dan vokal Sarita yang variatif mendominasi ruang dengar dengan nuansa sendu, kadang riang, atau malah melankolis. Favorit saya adalah “Twenty Two”. Vokal seksi sedikit serak plus alunan harmonika dan tabuhan cajon bersama bait-bait reflektif terlalu sentimentil untuk tidak diputar berulang-ulang. Sesentimentil Sarita yang menghadiahi dirinya lagu tersebut di hari lahirnya yang ke-22. Anyhow, cari cd-nya, mari menikmati, dan selamat datang Sarita Fraya!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 113
REVIEW KALA SENJA DALAM PROSA 2013 oleh Dede Hate Senja Dalam Prosa tidak terlalu lantang untuk nama sebuah aksi screamo. Tapi itu dulu. Berangkat dari jenis yang sempat sangat bergelora bersama ‘emo’ beberapa tahun lalu, Ajik (vokal), Bagas (gitar), Ayik (bass), Irfan (drum) dan Vega (synth, gitar, piano) mencipta musik dengan cakupan referensi yang jauh lebih luas. Diperkaya nuansa ambience berkat efek reverb dan delay yang berdesir-desir, serta vokal yang berteriak-teriak serupa deklamasi puisi dalam struktur lagu yang meledak-ledak, komposisi yang mereka jalin bisa digolongkan ke dalam wilayah screamo dan post-rock sekaligus. Meledak-ledak dan mengawang-awang sekaligus. Sayangnya, ep ini hanya berisi dua lagu. “Niskala” dan “Rona Jingga Murka” terlalu tanggung dalam memukau, menyisakan kegamangan. Semoga saja ini hanya awal dari quintet asal Solo ini. Satu lagi aksi muda nan menjanjikan yang sekiranya perlu ditunggui kelanjutannya.
.
GIANNI PORTO ECHOLIGHT 2013 oleh Dede Hate Echolight adalah Fariz Halim, Dito Setiasa, Fendy Gustya Suwardana dan Gega Darmawan, sudah terbentuk sejak 2006 di Bandung, dan berawal sebagai kolektif shoegaze. Sejak sering mengisi gig, mereka disebut-sebut sebagai salah satu rock instrumentalis terbaik Kota Kembang, dan memicu penantian akan album debut mereka. “Gianni Porto” yang berisi 11 lagu adalah jawaban sempurna. Menggunakan topeng barong sebagai representasi dari karakter fiktif Gianni Porto yang gelisah, depresi, frustasi dan delusional, Echolight menawarkan sesuatu yang berbeda dari sajian post-rock yang jamak belakangan ini. Memang masih mengambil referensi dari yang sudah-sudah seperti God Is An Astronaut, Explosions In the Sky dan sejenisnya, tapi dengan konsep 114 I TUCZINE.TUMBLR.COM
bertutur seperti di atas membuat “Gianni Porto” perlu mendapat atensi lebih. Diperkaya berbagai unsur shoegaze, post-punk, akustik sampai post-metal dalam materinya, komposisi yang disajikan mengaduk emosi yang membuncah berkat pakem tempo yang fluktuatif: bermula, naik, turun, landai, naik lagi, kemudian klimaks di ujungnya. Seperti yang dibawa hampir semua aksi serupa, nirvokal adalah niscaya. Dengan begitu, musik dingin, sesekali mencekam yang mengalun, semakin tepat menjadi wahana kontemplasi atau apapun yang kita rasakan saat mendengarnya, dalam memproyeksikan sosok Gianni Porto yang bisa juga menjadi refleksi sebagian dari kita: gelisah, depresi, frustasi dan delusional. Tapi, seperti dalam lagu “M.A.D.” (Maturity After Depression), pada akhirnya depresi bisa juga menjadi bagian penting dalam proses pendewasaan.
.
PROFANATIK DEADSQUAD 2013 oleh Dede Hate Tidak seperti “Horror Vision”, album kedua DeadSquad ini bisa saya nikmati deangan mudah. “Profanatik” adalah technical death metal yang berkelindan erat sekali dengan brutal death metal. Demikian, porsi part groove-nya lebih banyak, jadinya semakin enak. Masih dengan komposisi yang menonjolkan perubahan progresi yang tiba-tiba (dan kini terdengar sangat halus), direpresentasikan oleh adu skill Stevie dan Coki yang berlomba menjadi yang paling terampil mengocok gitar, album ini menawarkan kecepatan lebih ketika Andyan Gorust semakin beringas menggasak drum set-nya, juga Bonny yang semakin tebal mencabik bass-nya. Sound yang tercipta semakin variatif dengan tambahan unsur lain dari luar metal. Seperti violin di lagu “Ode Kekekalan Pusara”, atau yang paling menohok, kulikan jazz guitar dari Joppie Item di lagu “Natural Born Nocturnal”. Tentang liriknya, gaya Daniel belum berubah. Masih dengan beberapa judul-judul tiga-kata-susah-dimengerti seperti “Ode Kekekalan Pusara”, “Patriot Moral Prematur” atau “Altar Eksistensi Profan” tentang keadaan negeri yang semakin kacau, kaum fasis dan sebagainya. Atas nama mengakali kejenuhan masuk studio, mereka merekam album ini secara tradisional, analog. Membutuhkan lebih banyak konstrentrasi, menguras lebih
banyak tenaga dan terutama emosi, tapi menyeruakkan lebih banyak kepuasan ketika hasilnya kemudian maksimal, seperti yang kita dengar di sini. Kepuasan terhadap mereka sendiri, dan terutama segenap pasukan mati yang telah lama menanti, termasuk mungkin Jimi Hendrix yang ikut menggelinjang di neraka demi mendengar lagunya, “Fire”, dipermak menjadi death metal di album ini.
.
WARKVLT IMPISH 2013 oleh Dede Hate Salah satu legenda black metal Bandung angkatan Sacrilegious bangkit kembali setelah sekian lama hilang. Berkumpul lagi sejak 2010 setelah beberapa pergantian personil, dan sejak itu merilis dua ep, “Thy Wrath of Fire” dan “The Myst”, serta sebuah split bersama Bvrtan, “Pesta Rakyat Hitam Kegelapan”, Impish hadir dengan debut full length yang sudah sangat lama dinantikan para pemuja kegelapan: “Warkvlt”. Ada antusiasme menyeruak ketika mendengar reformasi mereka. Percikan-percikan kecil yang muncul akibat dua ep dan sebuah split sebelumnya akhirnya benarbenar meledak oleh album ini. Sudah lama sekali tidak mendengar black metal lokal yang sesungguhnya. “Warkvlt” ini berada pada tataran pure and true black metal, membawa semangat kuno Mayhem dalam imagery war black metal dengan sentuhan modernitas. Tidak ada lagi noise dan raw, yang ada rekaman dengan sound mumpuni dan berkualitas. Salut kepada semua yang terlibat di belakangnya. Bersama lirik tentang sisi kelam manusia dan perang yang direpresentasikan oleh hyperblast layaknya machine gun, sembilan lagu di album yang dirilis oleh label Singapura, Blackwinds Production, ini siap memberondong sampai mampus. Cepat, bergelora dan sangat true. Bagi saya, menyimak lagu-lagu seperti “Apokalyptikal Battlehym”, “Revenge of the Unhallowed” dan “Legion Apostate” mencuatkan memori lama bahwa black metal pernah, dan sekali lagi, sangat nyaman di kuping. Sungguh disayangkan, akibat perpecahan dalam skena black metal Bandung, Abah Desecrator dkk harus ‘meninggalkan’ Impish beberapa bulan setelah album ini rilis. Sejak itu, mereka melanjutkan aksi mereka dengan nama Warkvlt dan merilis ulang album ini dengan tambahan empat lagu.
.
ANDALUSIA RESTLESS 2013 oleh Dede Hate Saya tidak banyak mendengarkan gothic metal, tapi tentang yang satu ini, saya takzim. Sejak awal sekali, tidak terpengaruh masalah seringnya gonta ganti personil, Restless masih setia dengan apa yang mereka mulai bertahun-tahun lalu. Di album keempat ini, mereka semakin dewasa dan berkarakter. “Di sini, di sisa umur, saya masih ingin berdakwah. Tidak mulukmuluk, hanya menyampaikan apa yang baik dan pantas disampaikan”, terang Mang Ule, gitaris, tentang lirik-lirik yang ditulisnya di album ini. Delapan lagu di “Andalusia”, selain berisi ajakan untuk merenung, juga merunut sebagian sejarah Islam sejak jaman Nabi sampai Abad Pertengahan. Dibuka dengan “Bentangan Sunyi” yang agung layaknya orkestra, tanpa distorsi, hanya piano, flute, cello dan vokal Sofa Al Marwah yang menghantui. Lalu “Jika Waktuku”, yang merupakan lagu paling menakutkan liriknya. Jika waktumu telah tiba, apa kau sudah siap? Tambahan vokal menggeram dari Bob eks Bleeding Corpse cuma menambah kengeriannya. “Langit Tak Berbatas” adalah tentang bersyukur, dengan bagian chorus yang ikonik dan gampang diingat. “Yarmuk” mengawali pelajaran sejarah. Pertemuan pertama kaum muslim dengan bangsa Romawi, langkah awal menuju penaklukan besar ke Barat berabad-abad kemudian. Komposisi lagu yang bersemangat tepat sekali menangkap atmosfir hari bersejarah itu. Semakin kaya dengan geraman dari Buck yang biasa juga menggeram untuk Mesin Tempur. “Singa Padang Pasir” menceritakan Sang Pembeda, dari seorang penantang paling militan menjadi pembela nomor satu. Irama gambus padang pasir menjadi pembuka yang tepat untuk lagu ini. “Saladin” berawal lambat, sebelum berubah cepat dan menderu dengan geraman Parjo dari Saffar, sekali lagi mengisahkan keagungan musuh sekaligus kawan Richard Hati Singa tersebut di Perang Salib Ketiga. Lalu kita sampai di “Andalusia”, title track yang menjadi lagu paling saya sukai di album ini. Komposisi distorsi, double pedal, keyboard, biola dan vokal yang dinamis memanjakan kuping dengan harmoni dan melodi yang memukau. Masih ingat kan bahwa sebelum Reconquista, Spanyol dan Portugal pernah, selama tujuh abad, bernama Andalusia? Lalu datan-
glah “Sang Penakluk Malam” menuntaskan album ini dengan sempurna. Alunan musik yang bersemangat diselingi interseksi clean part mengingiri lirik mengenai perenungan dalam dan kontemplatif. Apa gunanya mengagungkan masa lalu jika bukan untuk diambil hikmahnya? Restless membuktikan bahwa gothic metal lokal bisa sama berkelasnya dengan jenis serupa dari Eropa. Selain syairsyair yang berisi, komposisi musiknya juga kaya. Perpaduan antara nuansa orkestra yang epik dengan distorsi dan blastbeat yang cadas berada pada takaran yang harmonis. Vokal penuh passion dari Sofa Al Marwah yang bernyanyi dari hati menambah nilai lebihnya. Belum lagi duetnya dalam gaya the beauty and the beast, yang di album ini dipersembahkan tiga penggeram dari band-band death metal, yang saling mengisi dan melengkapi. “Andalusia” menjadi soundtrack yang sempurna bagi saya, yang beberapa waktu belakangan memang mendalami lagi sejarah Islam, utamanya era Penaklukan-Penaklukan Besar, Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah.
.
SIAPA SURUH DATANG JAKARTA TRENDKILL COWBOYS REBELLION 2013 oleh Dede Hate Ke mana saja saya yang bisabisanya melewatkan unit metal yang keren dari Jakarta Timur ini. Gempuran banyak sekali metal kekinian yang hampir serupa berisiknya mau tidak mau membuat saya mumet dan berpikir; ah paling sama lagi. Padahal mereka ini sudah terbentuk sejak 2005, telah merilis debut pada 2011 lalu, dan musiknya tidak seragam. Syukurnya, album kedua mereka ini sempat dipajang di toko cd yang biasa saya datangi, dan beruntunglah saya ketika intuisi tajam berbalas manis: “Siapa Suruh Datang Jakarta” adalah album yang bagus. Menceritakan sedikit latar Trendkill Cowboys Rebellion, mereka adalah anakanak yang besar mendengarkan Pantera dan mengidolakan Phil Anselmo. Meminjam sound dan musikalitas band groove metal terbesar tersebut untuk melatari kisah mereka sendiri tentang apa saja yang terjadi di sekitar, atau untuk album ini, kehidupan keras di ibukota. Sepuluh lagu di album ini, termasuk intro “Doktrin Baru” berwujud deklamasi yang sedikit mengingatkan saya akan gaya bang Ucok, berisi tema-tema familiar tentang Jakarta yang memuakkan sekaligus menjual. Dari kemiskinan, banjir,
gaya hidup individualis, susahnya lapangan kerja, kemacetan, kriminalitas, mimpi-mimpi urban, narkoba, kehidupan malam sampai kampanye-kampanye palsu. Maka dari itu, album ini adalah rangkuman sejarah kontemporer Jakarta yang diceritakan kembali lewat musik metal yang cadas dan enerjik.
.
ESCAPE ENDAH N RHESA 2013 oleh Dede Hate Saya belum mendengar dua album Endah N Rhesa sebelumnya, sehingga sama sekali tidak sadar bahwa “Escape” adalah penutup sebuah trilogi dari ‘dongeng’ cinta getir dan tak berbalas rekaan mereka. “Nowhere to Go” dan “Look What We’ve Found” sebelumnya membuka perjalanan sang tokoh bernama Shane Harden, dan album ketiga ini merupakan konklusinya. Keterkaitan ketiga album dijelaskan lewat lagu-lagu dan desain sampul. Sebenarnya, “Escape” bisa berdiri sendiri dan dinikmati tanpa perlu tahu dua album sebelumnya. Sebagai karya seni yang digarap dengan jujur, sepuluh lagu di dalamnya terlalu menarik untuk dilewatkan. Pasangan suami istri ini tetap dengan karakter khas mereka, saling mengisi, melengkapi, berkolaborasi mencipta musik sederhana dengan ‘modal’ petikan gitar akustik, bass, vokal merdu dan terutama, passion. Selama 2013 saya cukup banyak menyimak yang hampir sejenis, musik akustik/folk sederhana, tapi “Escape” adalah salah satu yang paling lama bertahan di daftar main, bersama “Roekmana’s Repertoire”. Tidak seperti yang lain, komposisi yang digubah di sini mengalir akrab tanpa banyak letupan yang justru kadang menganggu. Namun, alunan sepuluh lagu sama sekali tidak membosankan. Selain “Hypergalaxy Intro” yang sedikit ‘melenceng’ bersama kesan futuristik dari layer-layer musik elektronik, lagu-lagu berikutnya bisa dinikmati dengan ringan, sambil lalu tanpa perlu terlalu serius menyimak, saking enak dan familiarnya. Apalagi kalau sudah tiba ke bagian menjelang dan setengah akhir album. Ada “Just Tonight” yang ceria, “Somewhere In Between” yang ‘meminjam’ sedikit “Lithium”-nya Nirvana, “No Tears From My Eyes” yang cukup ‘cepat’ untuk syairnya yang muram, favorit saya “Alone In the Loneliness” yang emosional, “Gone Forever” yang sendu dan sentimentil, serta “Sun Goes Down” yang kembali bersemangat dan penuh optimisme.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 115
REVIEW KEHIDUVHAN YANG VHANA INI TERAPI URINE 2013 oleh Dede Hate Orkes musik syaithon Terapi Urine akhirnya merilis album pertama berjudul “Kehiduvhan Yang Vhana Ini”, berisi 18 lagu. Beberapa tahun lalu saya pernah melihat video mereka berjudul “Senggol Bacok”, dan apa yang disajikan di album ini jauh lebih sinting dari yang saya lihat di video itu. Menggunakan musik grindcore yang berisik sebagai medium ‘melawak’ memang bukan baru. Sudah ada Mesin Tempur lebih dulu, tapi tetap saja apa yang ditawarkan Terapi Urine tidak garing. Dan apapun yang kameradkamerad bayangkan ketika mendengar judul-judul seperti “Jancuk!”, “Ken666erian Malam Itu”, “Kena Gigi Uang Kembali”, “Dedek-Dedek Urban”, “Bibi” dan “Bosyen Deh Cyiiin!”, percayalah, distorsinya tetap ganas dan meledakkan kuping. Bersama lirik-lirik konyol tentang keseharian, sesekali menyerempet humor dewasa, dipastikanlah album ini juga meledakkan urat ketawa. Maka sekali lagi saya tersenyum-senyum sendiri ketika mendengar lagu grindcore, bukannya meringis. Meski musiknya miring, packaging album ini adalah salah satu yang paling keren selama 2013. Masih tetap konyol, tapi ilustrasi dan lirik masing-masing lagu yang hadir dalam bentuk buku, bergaya komik pinggiran, yang dikerjakan oleh Amenk, Mas Qoi dan Ka’ Endra terlalu artistik untuk tidak dimiliki.
.
HEY, MAKAN TUH GITAR! MORFEM 2013 oleh Dede Hate Judulnya saja sudah ngehe. Apalagi kalau sambil membayangkan muka Jimi yang dulu suka ‘nyampah’ bersama The Upstairs, sulit rasanya untuk tidak tergelitik dan ikut terpapar ngehe ketika mendengar album kedua Morfem ini. Untung saja tidak ada gitar di dekat saya. Seperti sediakala, Jimi masihlah yang paling dajjal dalam urusan menulis 116 I TUCZINE.TUMBLR.COM
lirik. Semaunya, ke mana-mana, bengal, dan tetap jenius di saat bersamaan. Simak saat dia berlagak jadi pria hidung belang sekaligus korbannya, saling menggoda dalam “180 Derajat”: “Hey Cindy kau nampak cling malam ini syuurnya bukan main / Terang saja Jim, aku besar dengan Disney dan kabel TV / Oh sepertinya baru kemarin kusaksikan kau bermain tali / Tapi kini kau saksikan ku hey Jimi-Jimi, bercelana mini”. Atau menjadi seperti Bang Ben dalam “Hujan Kunjungi Kami”: “Langit tiada tertebak, bagai gadis usia belasan / Mendung belum tentu hujan, cerah bisa tidak aman / Namun tetap kuberangkat, berkencan di akhir pekan / Tengah jalan kubalik pulang, ibu menelepon rumah hampir tenggelam”. Dengan gaya bernyanyi selengean atau kepayahan dan sama sekali tidak merdu, jadilah dia semakin ngehe. Bersama unsur utama feedback dan fuzzy guitar work yang distortif, raw dan noisy dari Pandu (dajjalnya untuk urusan efek gitar begituan) di hampir semua lagu, dalam irama musik rock, pop, punk, psikedelik dan banyak lagi pengaruh lainnya, sempurnalah album berisi sebelas lagu ini menjadi sajian rock ‘n’ roll paling dajjal selama 2013. Hey, seka ingusmu!
.
BUBAR THE GAMEOVER 2013 oleh Dede Hate Dari banyak kolektif punk di Makassar, tidak semua produktif dan meninggalkan cinderamata yang bisa dikoleksi. The Gameover adalah pengecualian. Sejak terbentuk pada 2000, salah satu dedengkot punk Makassar ini telah merilis demo “Forever Young Forever Punk” pada 2006, ep “Just Say F*ck Off” pada 2007 dan full-length “Theatre Struggle Paranoia of the Broken Punk” pada 2008. Selain itu, mereka juga beberapa kali terlibat dalam kompilasi, baik lokal Makassar maupun nasional. Pada 2013 lalu mereka merilis album kedua, “Bubar”, lewat John Robin Records dan Chambers Records, serta didistribusikan secara nasional oleh Demajors. Berisi sembilan lagu berirama pop punk yang lumayan menghentak, cepat dan sesekali melodik. Merangkum berbagai hal, dari perkawanan, hegemoni negara adidaya sampai fanatisme penggemar sepakbola. Dengan tema lirikal seperti itu, dan musik menghentak yang menyiapkan bagian sing-a-long, seharusnya aksi live mereka
.
bisa mengundang kita untuk bernyanyi dan berjibaku di moshpit. Semoga. ROCK ASAL-ASALAN BURONAN MERTUA 2013 oleh Dede Hate Karena satu impian, sekaligus nyaman bareng teman-teman, jadinya jarang pulang, orang rumah nyapnyapan, mertuapun ikut-ikutan, akhirnya jadilah Buronan Mertua. Seperti itu introduksi tentang mereka, dan yah, tidak lagi sejak Jamrud mulai lucu, ada yang menawarkan musik rock yang bergelora sekaligus sarat kritik, menyentil dan mudah dicerna seperti ini. Menyebut musik mereka rock asal-asalan, band yang terbentuk pada 2011 ini sebenarnya tidak sedang ngasal. Terdiri dari lima menantu brengsek: Bhabay (vokal), Bison (drum), More (bass), Ribs (gitar) dan Sonata (gitar, harmonika), Buronan Mertua hadir dengan attitude rock yang semestinya, mencoba mengingatkan kembali akan musik yang pernah jaya dan merakyat di era ’80 dan ’90-an, bergelora memacu adrenalin sembari tidak lupa akan fungsinya sebagai musik protes, yang dalam bahasa mereka sendiri: cuma ingin kirim pesan lewat rock asal-asalan tentang pengalaman, kepedulian, hal yang terlewatkan, juga kisah-kisah keseharian, dari tempat persembunyian. Delapan lagu dalam album debut ini berkisah tentang itu semua. “Crowded” tentang kesemrawutan ibukota dan lagu-lagu cengeng. “Cadangan Obsesi”, “Berapi-api” dan “Kejar Setoran” tentang cita-cita, impian tinggi dan kenyataan hidup yang pahit. “New War” dan “Kritik Tanpa Solusi” tentang sistem negara yang rusak dan banyaknya pembual seperti si capres yang muda tingkah laku, padahal usia dan mukanya bangka. Juga dua balada dalam nuansa blues folk kental, “Korban Marketing” tentang konsumerisme, dan “De’wan” yang membawa semangat Iwan Fals sebelum menjual kopi tentang wakil rakyat yang terhormat. Menyiasati kejenuhan akan daftar main metal yang terlalu cadas musiknya, terlalu berat liriknya, atau folk akustik yang terlalu pelan musiknya, terlalu puitis syairnya, “Rock Asal-Asalan” dari Buronan Mertua adalah pilihan yang tepat, terlebih bagi yang kangen musik rock yang semestinya. Salam berapi-api dari tempat persembunyian!! Eh, di mana anakku? Di mana istriku?
.
NOCTURNAL BORN VEHEMENCE STRAIGHTOUT 2013 oleh Dede Hate Perubahan adalah niscaya dalam musik. Bisa karena tren, pendewasaan, pengaruh musikal yang semakin beragam, perubahan formasi atau lainnya. Itu juga yang terjadi dengan unit metal asal Jakarta yang terbentuk sejak 1998 ini. Terakhir saya menyimak album mereka sebelumnya, “Forsaken Upon Nemesis” pada 2007, mereka memainkan, sebut saja, metalcore yang diperkaya bebunyian keyboard, jenis yang juga difamiliarkan oleh Bleeding Through waktu itu. Nah, album ketiga ini sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Tidak ada lagi keyboard dengan personil wanita di belakangnya, “Nocturnal Born Vehemence” ini adalah melodic death metal sepertinya. Berisi delapan lagu cadas bergaya Gothenburg sound dengan paduan riff melodik, kadang cepat, distortif, pukulan drum yang cepat, kadang blastbeat, dengan gaya vokalisasi yang bergantian antara harsh scream dan growl. Sayangnya, kecuali “Koloni Hipokrit” yang terdengar sedikit berbeda, groovy sekaligus intens dengan permainan melodi yang cukup panjang dan gang shoutings, tidak ada lagu yang benar-benar mencolok, karena semua terdengar serupa bunyinya.
.
OMDO ORKES SINTEN REMEN 2013 oleh Dede Hate Wah, pengalaman album keroncong pertama saya datang dari Orkes Sinten Remen, ensembel pimpinan seniman Djaduk Ferianto, lewat album kelima mereka, “OmDo”. Hal paling keroncong yang pernah saya dengar sebelumnya hanyalah “Keroncong Protol” dari Bondan Prakoso & Fade2Black. Sebelumnya, saya mengira lagu kerongcong itu mesti ditembangkan oleh sinden bersuara tinggi dan menakutkan. Ternyata tidak. Di sini, selain vokal om Djaduk yang berat, ada vokal Silir Pujiwati dan Anita Siswanto yang lebih ngepop.
Bersama sepuluh musisi pengiring, terciptalah komposisi musik keroncong dengan sentuhan pop yang enak, tembang-tembang jenaka, syair-syair berisi parodi dan menyentil. Tentang sentil-menyentil, memang tidak bisa dilepaskan dari seniman seperti Djaduk Ferianto. Ditambah lagi, di belakang produksi rilisan ini ada nama Butet Kartaredjasa. Dari sembilan lagu, sebagian menyentil tentang keadaan negeri ini. Misalnya “Om-Do” tentang para pembual yang sering bicara lantang di televisi. Sepertinya lagu ini akan menemukan momentum pada 2014, tahun membual nasional. Atau “Gadis Facebook” yang menyentil media sosial yang telah dijadikan teman, guru, orang tua sekaligus tuhan oleh generasi sekarang. Dua lagu lain yang menarik, berbahasa Belanda: “Geef Mij Maar (Nasi Goreng)” ciptaan legenda keroncong, Wieteke van Dort, dan “We Gaan Naar Zandvoort Aan de Zee”. Sama sekali tidak mengerti syairnya, saya cuma mencoba membayangkan keadaan negeri ini di akhir-akhir jaman kolonial ketika mendengar dua lagu itu. Kamerad-kamerad mungkin sedikit heran, kok saya mendadak keroncong. Well, sekali lagi desain sampul sangat berpengaruh. Dengan sampul bergaya poster-poster propaganda dari era Soviet, bagaimana bisa saya melewatkan cd ini? Dan ternyata, setelah mendengarkan sembilan lagu di dalamnya, well, keroncong itu enak betul ya buat bergoyang. Lagipula, bisa menambah satu lagi referensi musikal saya.
.
MENYANYIKAN LAGU2 DAERAH WHITE SHOES & THE COUPLES COMPANY 2013 oleh Dede Hate Studio Lokananta kembali ramai setelah belakangan beberapa musisi merekam karya di sana. Tak ketinggalan grup pop retro White Shoes & the Couples Company yang merekam empat dari lima lagu untuk mini album “Menyanyikan Lagu2 Daerah”. Entah dengan yang lain, tapi bagi saya, White Shoes & the Couples Company sepertinya yang paling pas dengan kesan studio legendaris di Solo itu: tua, klasik, ditinggalkan, hampir terlupakan, tapi membuat kangen. Seperti juga kesannya dengan lima lagu-lagu daerah yang mereka nyanyikan kembali di sini. Alih-alih mereka ulang lagu-lagu semisal “Ampar-Ampar Pisang” atau “Yamko Rambe Yamko”, mereka memilih lagu-lagu daerah yang tidak terlalu
populer secara nasional dan mulai dilupakan. Tepat sekali dengan niat mengenalkan kembali salah satu ciri kekayaan budaya Indonesia. Dengan aransemen lebih segar dalam irama pop ‘n’ roll ’60-an, lagu-lagu “Tjangkurileung”, “Lembe-Lembe”, “Te O Rendang O” dan “Tam Tam Buku” menjadi lebih riang buat goyang agogo dan bisa cocok dengan kuping masa kini. Satu lagu lainnya, “Jangi Janger”, yang merupakan lagu daerah asal Bali dibuat lebih sederhana tanpa instrumen elektrik. Satu kekurangan rilisan ini, seperti yang banyak ‘dikeluhkan’, adalah isinya yang minim. Seharusnya, White Shoes & the Couples Company menyanyikan ulang lebih banyak lagi lagu-lagu daerah. Lima lagu terlalu tanggung untuk menambah wawasan kami yang lebih mengenal lagu-lagu daerah New York, Gothenburg, Bay Area, Manchester atau London.
.
ULTIMATUM INLANDER 2013 oleh Dede Hate Saya menjadi Ekstrimis sejak mengikuti kampanye Inlander di Rock In Celebes 2013 lalu. Menyimak “Ultimatum” secara utuh kemudian hanya mempertebal keyakinan saya pada mereka: kelompok ini adalah provokator terkini anti penindasan yang mesti diikuti. Ajakan untuk bangkit melawan tirani dan penjajahan baru dalam bentuk pinjaman luar negeri, disinformasi media dan pemimpin-pemimpin lemah terhadap tekanan asing menjadi tema lirikal sentral dalam sebelas lagu dalam album kedua ini. Beriring musik metal bercampur punk sangat cepat berkat ketukan d-beat yang rapat, distorsi yang meraung-raung dan lead yang menggigit, lagu-lagu seperti “Start Your Engines”, “Bangkit Melawan”, “Ekstrimis” atau “Ambil AK” di beberapa momen bahkan terdengar lebih ‘nasionalis’, lebih relevan dengan keadaan sekarang dan lebih membangkitkan semangat ketimbang “Padamu Negeri”. Ditambah penyusunan tracklist yang jenius membangun tensi, desain sampul yang eye-catching, lyric sheet ber-lay out koran lawas lengkap dengan foto-foto dua pemimpin yang memerdekakan dan menggadaikan republik kita, album ini adalah manifesto perjuangan dari Inlander kepada segenap Ekstrimis, sekaligus ultimatum pemberontakan kepada para penindas. Ambil alih kendali!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 117
REVIEW FROM MINDLESS SYNDROME TO THE ETERNAL DECAY PROLETAR 2013 oleh Dede Hate Bah, ini seperti gol kemenangan di masa injury time. “From Mindless Syndrome to the Eternal Decay” dari Proletar yang hadir sangat belakangan bisa-bisa menyeruak ke papan atas daftar album lokal terbaik 2013 menurut saya. Betapa tidak, begitu diputar, kekaguman segera muncul, euforia kemenangan menyergap. Ini yang saya nantikan sejak lama sekali. Padahal, meski mengidolai Bang Ipul dkk sejak dulu, sejujurnya saya tidak pernah sepenuhnya bisa menikmati musik mereka. Ada saja bagian-bagian yang terlalu berat untuk kuping ini. Terakhir menyimak kumpulan lagu-lagu terbaik “Back to Hatevolution” pada 2009, saya merasa mincecore masih merupakan sesuatu yang asing dan mengerikan waktu itu. Nah, perasaan serupa sama sekali tidak muncul saat melahap habis 13 lagu (yang hampir seluruhnya diambil dari beberapa split mereka sebelumnya) di album terbaru ini. Semuanya terasa familiar dan menyenangkan. Entah kuping saya yang beradaptasi dengan baik, atau mereka yang sedikit ‘berubah’. Sejak dibuka dengan “Rotten Conspiration”, album ini langsung menyebarkan agresi, kecepatan dan kesumat. Lalu “Grind For Better Life” yang mencuatkan pesona powerviolence atau thrashcore, “Jargon Sampah Slogan Para Pecundang”, “Di Bawah Penghisapan Negara” yang menyelipkan solo guitar singkat, “Outsorcing” yang menyertakan part groovy nyaman, “Unnormally Mincing the World!”, “Sederet Angka Statistik di atas Meja Berlambang Keuntungan”, “War All the Time”, “Bergerak di Garis Hasrat”, sampai track ke-10 “War Against the New World” sekali lagi menegaskan bahwa agresifitas serta brutalitas grindcore dan protes sosial berjalan beriring. Di Lagu berikutnya, “Damnation”, Proletar rehat sejenak dengan hanya bermain ‘instrumental’ lambat. Tapi tumbukan bertubitubi pada snare menjelang akhir terlalu sayang untuk dilewatkan. Di dua track terakhir, mereka memainkan ulang lagu-lagu lawas milik Carcass dan Morbid Angel: “Reef of Putrefaction” dan “Day of Suffering”. Di album terbaru ini, Proletar sepertinya tidak lagi menjadikan mincecore sebagai fondasi tunggal. Komposisi yang tersaji terdengar lebih luas, dalam jalinan 118 I TUCZINE.TUMBLR.COM
apik grindcore dan death metal. Dengan kualitas sound maksimum tanpa banyak noise, semburan riff yang menggelegar dari Bang Ipul; gemuruh blastbeat dari Levoy; cabikan padat bass dari Ryzki; eerie dual vocal sahut-menyahut dari dua orang terakhir; bagian-bagian yang menyelipkan groove; sesekali slamming, memanjakan kuping, memicu eargasm sangat panjang, mengujungkan ekstase. Saya tidak sedang meracau.
.
BETWEEN US LALA 2013 oleh Dede Hate Begitu besarnya hype tentang “Between Us” mau tidak mau membuat saya luluh juga, dan akhirnya membeli cd album ini. Padahal ya, jauh sebelumnya saya sudah sering melihatnya dipajang di tokotoko, dan sedikitpun tidak tertarik, selain pada sampulnya yang keren. Itu karena saya bukan pendengar pop lokal, apalagi dengan penyanyi wanita. Dengan referensi sebatas Yuna, saya mengaku musiknya ternyata keren. Lala berbeda dari kebanyakan solois perempuan di negeri kita. Album ini berisi delapan lagu, dan memang masih dalam lingkup besar musik pop yang easy listening tapi memasukkan banyak pengaruh lain, menjadikannya tidak membosankan. Liriknya juga kebanyakan masih tentang cinta, tapi tidak murahan dan overused, dalam syair-syair yang hampir semuanya berbahasa Inggris. Ada tiga lagu yang begitu enak di kuping saya, dan bukan kebetulan mungkin kalau semuanya ada di bagian akhir cd. “Selamanya” adalah nyanyian rindu yang pelan. Melankolia yang lamat-lamat muncul kemudian membuncah ketika mendengar suara merdu Lala, yang bernyayi agak lirih. Ah, rasanya saya ingin jatuh cinta lagi. “This Moment” adalah lagu yang nge-beat dengan iringan full band. Dengan tema lagu tentang ‘menikmati saat ini’, musik yang bersemangat terdengar selaras. Lalu favorit saya, “You Got Me Again”, menutup album ini. Tidak ada salahnya mungkin menunjukkan sedikit sisi liar di lagu terakhir. Dengan sebuah kata umpatan, dalam lagu tentang pria brengsek yang bikin kangen, Lala melakukan itu. Alunan musik di lagu ini sedikit mengingatkan saya pada Michelle Branch. Menjadi korban marketing tidak selamanya buruk. Contohlah saya dengan album ini. Lagipula, musik pelan dan vokal merdu bisa menjadi selingan yang baik dari
lagu-lagu bervokal ngorok. Atau setidaknya, foto-foto Lala yang blasteran Indonesia-Filipina di sleeve album ini terlalu sedap untuk dilewatkan.
.
PENGHABISAN MATIUS III:II 2013 oleh Dede Hate Dari selatan, lima malaikat mengambil alih surga, mengkhotbahkan pembalasan, kutukan-kutukan biblikal dan ancaman-ancaman akhir jaman dalam dua belas kidung apokalip yang mencekam sekaligus hedon. Angguk-angguk, geleng-geleng, cadas bersama dansa-dansi lewat sentuhan industrial metal yang telah lama menjadi dominasi Koil, juga Rammstein dan Fear Factory, pun Ministry. Lukas Hambudi (vokal), Gung Jahlo (vokal), Dimas Hendra (gitar, loop, vokal), Reza Adhie (programming, loop) dan Endroyono Trisnojati (drum) adalah lima malaikat pengiring koor sayap kanan, dari Solo menantang tahta langit dan argumentasi basi lewat musik yang berdentum di atas 200 bpm. Jika Down For Life, kompatriot mereka, dalam “Himne Perang Akhir Pekan” membawa Papa Emeritus, Doa Bapa Kami, Ayat Kursi dan liturgi penyesatan, maka Matius III:II sepertinya menjadikan apa yang mereka bawa di album ini lebih dari sekedar gimmick, atau seperti itulah menurut saya. Meski demikian, meski banyak mengambil referensi dari Alkitab, utamanya tentang hari akhir dan neraka, mereka menolak keras disebut band religi. Memang sebenarnya, jika diperhatikan, lirik-lirik yang mereka tulis bisa diartikan lebih luas. Pesanpesan tentang kiamat bisa dimaknai secara global: perang saudara tak berkesudahan, kesenjangan, bumi yang semakin tua dan seterusnya. Atau kalau terlalu malas untuk memikirkan lirik dan pesannya, saya rasa musiknya saja sudah cukup untuk menarik kita. Dua belas lagu dalam album ini, lima di antaranya berupa looping musik elektronik tanpa lirik, terasa sangat pas dengan istilah yang dipopulerkan Rammstein: tanz metal. Cadas sekaligus nyaman, sangat asyik buat moshing dan disko sekaligus. Bagi saya, Matius III:II setidaknya menambah roster industrial metal lokal, setelah sebelumnya hanya mengenal Koil. Mari menyimak khotbah mereka, yang akan mengantar kita menuju penghabisan. Berdansa menyambut kiamat. Maka bertobatlah, sebab kerajaan Allah sudah dekat!
.
SUNSET DI TANAH ANARKI SUPERMAN IS DEAD 2013 oleh Dede Hate Bagi saya sebelumnya, Superman Is Dead berakhir di “Kuta Rock City”. Saya tidak mengikuti albumalbum setelahnya karena beragam alasan, salah duanya: mereka semakin sering muncul di tv, dan Jerinx menjadi asshole. Jadi, progresi antara album major label pertama mereka tadi dengan “Angels And the Outsiders” tidak saya pahami, dan karena itu saya kaget juga dengan album terbaru ini. Ternyata, setelah sekian lama, mereka masih bersemangat meneriakkan perlawanan. Malah semakin dewasa dan berani. Beberapa orang mungkin masih menyesalkan pilihan SID yang dulu sempat diributkan, bergabung dengan label besar. Waktu membuktikan, hal itu sama sekali tidak menggerus attitude punk rock mereka. Malah, pesan mereka bisa menjangkau lebih banyak orang. Terlebih dengan tema besar yang diusung di album terbaru ini: surat cinta kepada penguasa. Maka saya akhirnya harus setuju dengan seorang kawan yang dulu menyebut Jerinx adalah salah satu bangsat tengik paling jenius yang pernah diciptakan Tuhan. Sebagai main lyricist, ide-ide subversifnya yang semakin dewasa dan terarah di balik lagu-lagu SID sekali lagi membuktikan bahwa merekalah yang menunggangi Sony, bukan sebaliknya. Pendewasaan karakter bisa dilihat dari lirik-lirik yang memperlihatkan kematangan, mengajak untuk melihat hidup lebih luas dari sekedar menjajakan hedonisme, mabuk-mabukan dan hamil duluan. Ada ide-ide perlawanan yang coba disulut, untuk menyadarkan bahwa negeri ini tidak baik-baik saja. Penguasa korup, kaum fasis, musik pembodohan, kerusakan alam dan sebagainya sedang mengancam. Pendewasaan yang ditunjukkan tidak berakhir di lirik. Musik yang digubah pun semakin matang, dengan cakupan referensi yang semakin lebar. Hampir semua jenis punk ada. Dari melodik sampai hardcore, ditambah lagi beberapa palet metal, rockabilly, drum n’ bass, balada dan orkestra. Untuk rilisan kebanyakan, 17 lagu dalam sealbum bisa jadi berlebihan. Tapi, dengan besarnya tema dan lebarnya pengaruh musikal, jumlah segitu terasa kurang untuk “Sunset di Tanah Anarki”. Memang, tidak semua lagu di dalamnya gampang dicerna, tapi beberapa akan membekas cukup lama. “Kita Adalah Belati” adalah
yang pertama menghentak saya. Judul yang sudah menegaskan kegarangannya, semakin sempurna dengan iringan musik cepat dan bersemangat yang sedikit mengingatkan saya pada Sum 41 di album “Chuck”, di mana saat itu mereka banyak memasukkan unsur thrash metal. “Forever Love Insane” dan “Fast Cure” adalah dua lagu yang membawa semangat hardcore, cepat dan gagah, menampilkan Eka Rock bernyanyi ala Tim Armstrong. Sekali lagi Eka Rock bernyanyi demikian di “Burn the Night” yang rancak buat dansa dengan drum n’ bass-nya. Lagu lain yang enak menurut saya adalah “Forgivers”. Saya suka irama lagu ini, plus sedikit guitar solo yang berakhir klimaks. Pada akhirnya, “Sunset di Tanah Anarki” bagi saya adalah seperti “American Idiot”. Setelah beberapa album medioker, Green Day menghentak kembali dengan album tersebut. Hal itu juga yang saya rasa terjadi dengan Superman Is Dead lewat album ini.
.
DISILLUSIONAL BLURS DEADLY WEAPON 2013 oleh Dede Hate Terakhir kali saya mendengar yang sebrutal ini muncul dari Jogja adalah “Vicious Circle” oleh Wicked Suffer pada 2011. Tidak persis seminal powerviolence seperti kompatriot mereka tersebut, Deadly Weapon lebih simpel saja menentukan kiblat, langsung ke Afgrund dan almighty Nasum!! Pemuja Nasum mana yang tidak kelojotan menyimak 16 lagu berperisa Swedish grind akut pekat di sana-sini? Menggerinda tanpa putus asa selama setengah jam lebih dengan brutal, cepat melindas, dan penuh amarah. Memang belum ada terobosan dan agak tipikal: bass tebal, blastbeat dan d-beat drumming, angry blunt vocal, powerfull sometimes groovy riffs, sesekali ‘breakdown’, micro songs serta beberapa ramuan wajib Swedish grind lainnya, tapi apa lagi yang diharapkan? Seharusnya grindcore memang seperti ini, bung! Sebagai salah satu yang paling panas di roster Rottrevore saat ini, tidak heran jika album debut yang sudah lama dinantikan ini dieksekusi secara serius. Sound yang menyembur keluar terdengar maksimum. Untuk urusan lirik, selain tema wajib seperti kebobrokan moral, mereka menulis sedikit romansa muram dalam “M.K.D.S (Mati Kau Dikoyak Sepi)” yang berasal dari
salah satu puisi Chairil Anwar, juga kampanye budaya lokal yang lebih dulu marak di skena hip-hop dan hardcore Jogja lewat “Pejah Gesang” yang berbahasa Jawa. Dengan durasi lagu-lagu yang semuanya di bawah 3 menit, kecuali “New Noise” yang merupakan cover Refused, “Disillusional Blurs” adalah salah satu rilisan metal lokal terbaik 2013. Siap memanjakan kuping para metalhead dengan musik cadas yang cepat, singkat nan memuaskan.
.
MORNING SUGAR AYUSHITA 2013 oleh Dede Hate Awalnya hanya mengira terjadi kesamaan nama, tapi setelah melihat fotonya, yeah that’s her: Ayushita yang biasa cengeng dalam sinetron dan centil bersama selebritas lainnya di sebuah vocal supergroup. Usaha dan keberaniannya patut diparesiasi karena memilih berkarya lebih idealis lewat jalur indie yang tidak menjual ketimbang bernyanyi sulih suara tiap pagi di tv yang bisa kembali menjual namanya. Padahal, kalau mau, dia perlu membuat satu dua lagu saja untuk itu. Tapi tidak, dia hadir dengan sealbum penuh lagu-lagu manis dalam irama indie pop yang ringan dan segar hasil karya produser dan penulis-penulis lirik seperti Ramondo Gascaro, Ricky Surya Virgana, Anda, Aprilia Apsari dan Bin Harlan. Keterlibatan orang-orang kawakan di ranah indie seperti mereka ini membuktikan keseriusan Ayushita. Mungkin berkat mereka juga karakter lama Ayu yang sudah identik dengan sinetron seperti berganti baru. Vokalnya yang tidak terlalu istimewa di grup vokalnya dulu sekarang lebih terpoles, meski memang di beberapa bagian terdengar datar saja. Ada delapan lagu di album ini. Favorit saya adalah sebuah ‘remake’ lagu lama milik Potret, “Salah”, dan “Di Dalam Rasa”. Sebagai sebuah debut, ini adalah salam takzim dari Ayushita kepada segenap penikmat musik indie, sekaligus perkenalan terhadap karakter barunya sebagai solois. Selamat datang!
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 119
REVIEW gitar dalam 13 menit yang panjang “Land of the Lurking Twilight”. Epik, klimaks, sempurna. “Black Clouds Gathering” adalah album terbaik yang pernah saya dengar dalam beberapa tahun belakang. Mungkin juga untuk beberapa tahun ke depan.
.
ASISI STAIRWAY TO ZINNA 2012 oleh Dede Hate
BLACK CLOUDS GATHERING VALLENDUSK 2013 oleh Dede Hate Jika tidak melongok ke ‘bagian informasi’, saya tidak akan pernah menyangka “Black Clouds Gathering” ini adalah produk lokal. Membayangkan tempat ‘semeriah’ Jakarta untuk menghasilkan atmospheric black metal pegunungan yang tenang, damai, dingin dan menghanyutkan seturut Agalloch adalah tidak terbayangkan, tapi begitulah keadaannya: Vallendusk adalah dari Jakarta, dan yakinlah, mereka lebih baik dari Agalloch. Tanpa banyak diketahui sebelumnya, mereka tiba-tiba muncul dari gelapnya hutan dinginnya pegunungan, menawarkan rasa baru lewat album debut di skena bawah tanah lokal, dengan subgenre yang bisa dibilang ‘tidak laku’, namun menyegarkan di tengah metal yang itu-itu saja. Hebatnya, mereka lebih dulu meledak di luar ketimbang di negeri sendiri. Pest Production, label mereka asal Tiongkok yang menangani 120 I TUCZINE.TUMBLR.COM
distribusi sampai ke Eropa dan Amerika, jenius memilih dan menjual rilisan yang memang bagus ini. Ulasan-ulasan luar semua memuji. Keluar dari aturan lama black metal ortodoks, sound di album ini rapi, bersih dan berkualitas sangat baik, seperti yang memang seharusnya untuk atmospheric black metal yang mengedepankan kejernihan dan fidelitas. Blastbeat drumming dipertahankan, tapi itu sama sekali tidak menganggu dan malah terdengar sangat sempurna berpadu dengan guitar work luar biasa yang menciptakan melodi aduhai di semua lagu, kekuatan terbesar album ini. Vokal rasp-shriek-nya standar saja, tapi tepat dan tidak berlebihan. Untuk mengakali kejenuhan dan repetisi, sedikit sentuhan post-rock, shoegaze, folk akustik dan ‘breakdown’ diselipkan tepat sekali tanpa dipaksakan dalam tujuh lagu yang semuanya berdurasi di atas 8 menit. Dinamis dan harmonis, sekaligus dingin dan menghanyutkan. Menambah kesempurnaan adalah track listing yang disusun tepat sekali. Dibuka secara epik dengan petikan gitar akustik dan suara aliran sungai yang kemudian bergemuruh bersama blastbeat lewat “Fragments of Light” yang langsung mengajak tenggelam, dan ditutup dengan klimaks nada pentatonik pengiring Tari Kecak sebelum kembali damai lewat petikan
Stiker “Parental Advisory” yang lumayan besar di sampulnya, langsung menarik mata saya, memalingkannya dari cd-cd lain yang ada di rak itu. Tanpa pengetahuan tentang band-nya, jenis musiknya, tanpa ekspektasi apapun selain sedikit rasa penasaran setelah membaca judul lagu-lagunya yang unik, cd “Asisi” kemudian menjadi sesuatu yang baru di kuping saya berminggu-minggu kemudian. Ini blues katanya. Untung saja mereka tidak menuliskannya di sampul. Blues bagi saya masih terlalu berat. Album ini mungkin bisa menarik saya, menjadi jembatan. Sebelas lagu di dalamnya menunjukkan bahwa sesuatu yang biasanya ribet bisa menjadi simpel dan fun. Mengalir ringan tanpa banyak letupan. Tidak ada unjuk skill gitar berlebihan, tapi tetap eksploratif. Bunyi harmonika yang lumayan dominan menambah sedikit rasa country dan folk. Lirikliriknya tentu saja paling menyita perhatian. Gaya penulisan yang berani, sekenanya dan seenak udel, menyerempet-nyerempet ke sana ke mari, membuat Azis MS perlu menaikkan lagi standarnya. Dari sini kemudian stiker tadi memang perlu ditempelkan di sampulnya. Bahaya bagi anak-anak muda kesepian di luar sana. Lagu-lagu semisal “7 KuadratKeliling x7”, “Rekreasi Zakaria”, “TuhanampunidosadosanyadiapikirdiaJohnLennon” tentu saja akan memorable untuk beberapa waktu ke depan. Saya menyukai album ini akibat keunikannya dan apa yang ditawarkannya terasa tidak begitu jauh: blues rock binal yang ringan, tema familiar tapi segar, lagulagu yang mampu memancing senyum, yang enak didengarkan kapan saja, kecuali saat bersama calon mertua. “Asisi” adalah debut dari Stairway to Zinna, enam orang ngeres dari seputaran metropolis Jakarta. Bertemu untuk santaisantai sambil berfantasi liar tentang apa saja yang berhubungan dengan ejakulasi. Kabarnya mereka sedang menyiapkan album kedua. Hey, jangan terlalu seriuslah, kata mereka.
.
EKSISTENSI BUILD DOWN TO ANATHEMA 2012 oleh Dede Hate Mungkin karena terlalu sibuk mencari keluar, saya hampir tidak pernah menengok ke dalam. Selama ini (tiga tahun belakangan), Serigala Malam dari Jogja adalah patron saya ketika beatdown hardcore sedang marak di sini. Anda mencari beatdown hardcore yang mantap, mematahkan leher dan semua legasi nyata dari deru musik hardcore yang keras, Anda sedang mencari Serigala Malam. Kira-kira seperti itu. Dan karena itu pula, pengkultusan terhadap kuartet dari Jogja itu, yang membuat saya tidak sempat peduli dan ngeh, ketika di skena kami, di kota saya sendiri, lima orang kawan sedang sangat bersemangat memainkan beatdown hardcore versi mereka sendiri. Build Down to Anathema adalah serpihan-serpihan dari lima kepala dengan berbagai latar belakang selera dan genre, yang mungkin karena jenuh, atau jengah, atau memang ingin sesuatu yang baru meletup di skena Makassar, akhirnya bergabung dan bermain beatdown hardcore yang kesetanan. Letupan kecil itu akhirnya terjadi juga, ketika pada Maret tahun lalu mereka merilis ep “Eksistensi” yang berisi enam lagu pematah leher dan penendang bokong yang tentu saja, seperti judulnya, berhasil menunjukkan eksistensi mereka di skena Makassar. Diawali satu trek intro sebagai pemanasan, disusul lima anthem hardcore yang cepat dan brutal, ep ini setidaknya menunjukkan progresi skena hardcore Makassar yang ikut terjangkiti demam beatdown, setelah sebelumnya ‘hanya ada hardcore punk dan melodic hardcore’ di kota ini. Yah, sekarang kami punya beatharder yang tidak kalah hebat. Tentang musiknya sendiri, album ini, seperti semua rilisan dari genre ini, berisi semua hal yang dibutuhkan untuk menciptakan sound beatdown hardcore yang powerfull, sing-a-long-bility (maafkan saya untuk istilah ini) yang familiar, down tempo di tengah-tengah lagu, yang disusul breakdown panjang untuk menjaga intensitas dan brutalitas, yang sangat ampuh untuk terus membakar moshpit dan mengiringi kami untuk terus menandukkan kepala dan menendang bokong kawan di depan. “Eksistensi” adalah penanda dari kelahiran eksistensi lima beatharder, dan mungkin saja merupakan letupan awal dari skena
hardcore Makassar itu sendiri. “Eksistensi ini kan berarti. Eulogi untuk stigma yang segera mati. Untuk mereka yang selalu menganggap kami lemah,” seperti itu pernyataan mereka di laman facebook. Jelas dan langsung ke sasaran bukan? Salut dan selamat untuk kawan-kawan Build Down to Anathema, dan skena hardcore Makassar!
.
ENTITY HANDS UPON SALVATION 2012 oleh Dede Hate Saking lamanya menunggu debut full length ini, saya sampai lupa pernah menantikannya. Sejak kepincut dengan ep “Celebrate the New Born” (2004) dan split “The Burden Reflects” (2008) beberapa tahun silam, saya selalu menunggu rilisan album penuh dari orang-orang keras kepala dari Jogja ini. Waktu berlalu, dan barulah pada pertengahan tahun lalu akhirnya album penuh pertama mereka dirilis dengan nama “Entity”, dan saya cukup beruntung belum kehabisan cd-nya yang datang beberapa hari lalu. Penantian yang panjang, tapi semua lagu yang terangkum di sini mampu menuntaskan dahaga saya akan musik Hands Upon Salvation yang dulu saya kenal. Setelah sebuah intro digital dingin “Monolimferium” karya Monolishmetic, sepuluh lagu berikutnya adalah akumulasi dendam lama berwujud metallic hardcore bergaya Eropa yang ganas, agresif dan penuh amarah, sekaligus melodis menikam di bagianbagian tertentu. Kemampuan mereka memadukan kecepatan dan agresifitas hardcore dengan part-part melodik, perubahan dari vokal erangan geram ke bisikan lirih, atau sebaliknya, masih terjaga sepenuhnya. Lagu-lagu lama semisal “A Thousand Crying Eyes”, “This Comforting Alienation” atau favorit saya, dulu dan sekarang, “Better by Daylight” dimasukkan lagi, tanpa dipermak secara ekstrim justru menjadi lebih halus dan matang. Sayang, tidak ada “Breathing by Obscurity”, favorit lama saya lainnya. Sementara lagu-lagu baru yang belum ada di ep atau split seperti “To Inherit the Furity” dan “A New Born Fire” adalah tambahan segar untuk pengantar moshpit di gig-gig mereka nantinya. Saya tidak sabar suatu hari nanti bisa terlibat di situ. Meskipun basisnya adalah hardcore, tema yang diusung di lirik tidak serta merta menjadi tipikal. Ditulis semuanya dalam Bahasa Inggris, yang tersirat adalah refleksi kehidupan manusia, kebebasan,
kepedihan, renungan, dendam, perlawanan dan survival yang terbawa dari keseharian maupun terinsulasi dari film-film: “Der Baader Meinhoff Komplex” (“Envision the Forsaken”) dan “Otoko-tachi No Yamato” (“As Winter Calls”), novel “Norwegian Wood” (“Chapter 2 - Grey”) dan berbagai referensi lain yang menjadikan tema album ini cukup ‘berat’ untuk ukuran hardcore. Setelah tahun-tahun yang dipenuhi split, re-release, split lagi, sampai hajat personal masing-masing personil, setahun terakhir yang dihabiskan untuk mempersiapkan dan mengerjakan album ini menjadi tak ada artinya. Rekaman ini akhirnya menunjukkan bahwa entitas bernama Hands Upon Salvation belum habis dan baru saja memulai lagi. “‘Entity’ bermakna sebagai perwujudan kami sebagai satu format band yang terbentuk atas dasar jalan panjang persahabatan, kekeluargaan dan wujud karya keras kepala kami selama ini, sebuah penegasan singkat; ‘kami masih ada’. Itulah esensi dari ‘Entity”’, jelas Agus, vokal.
.
THE TRIANGLE THE TRIANGLE 2012 oleh Dede Hate Riko, gitaris Mocca yang terkenal itu, tidak bisa tenang setelah band-nya itu vakum dan memilih melanjutkan kreatifitasnya dalam nama The Triangle. Bahkan sebenarnya, jikapun Mocca tidak vakum, guru gitar Sir Dandy Harrington itu mungkin akan tetap membentuk band baru. Pasalnya, dia menganggap beberapa lagu yang belakangan ditulisnya terlalu gloomy untuk Mocca yang riang. Gloomy kemungkinan bukan ajektif yang tepat, sebab meski sendu, lagu-lagu di debut ini tidak suramsuram amat. Sepuluh lagu di dalamnya hadir dalam alunan musik indie rock yang pelan bersama sesi-sesi accoustic guitar yang kadang diselingi tiupan terompet. Lirikliriknya puitis, sebagian seperti surat cinta yang tidak pernah dikirim. Malangnya bagi saya, beberapa lagu di sini, terutama yang awal-awal, tidak bisa terlalu lama terperangkap dalam memori, berlalu begitu saja setelah berakhir. Untungnya bagi saya, menjelang akhir, ada momen-momen yang menyelamatkan dari kebosanan. Dimulai dari trek kedelapan, “How Could You?”, lagu paling sentimentil yang memang merupakan single andalan. Satu lagi lagu buat soundtrack patah hati sepertinya. Lalu ada juga “Afternoon Birds” dan “Tranquility of Solitude”.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 121
REVIEW
THE 2ND LAW MUSE 2012 CD, LP I HELIUM-3, WARNER BROS I 8/10 oleh Didik Yandiawan CERMIN YANG MENYUGUHKAN BAYANGAN NYATA INTERPRETASI MUSE TERHADAP HUKUM KEDUA TERMODINAMIKA Seakan tidak pernah puas dengan umbar hasrat tentang teori konspirasi, suksesi alam semesta, dan ombang-ambing pemikiran, Muse, band progressive rock terbesar dalam sepuluh tahun terakhir, hadir kembali dengan perjalanan musikal yang menggairahkan di album keenam mereka. “The 2nd Law” adalah cermin yang menyuguhkan bayangan nyata tentang interpretasi mereka terhadap Hukum Kedua Termodinamika. Tak banyak musisi yang jeli mentransformasikan hukum fisika dalam karya musik mereka. Muse adalah sebuah pengecualian. Lalu, apa korelasi antara Hukum Kedua Termodinamika terhadap 13 lagu di album dengan artwork simpul rajutan yang terdiri dari rangkaian warna pelangi berbentuk cendawan mekanisme kerja otak manusia? Aransemen berbalut dubstep, brass dan orkestra Dalam kamus Muse, tidak ada album yang mereka hasilkan tanpa konsep yang matang. Kali ini, selepas merilis album bertema era akhir zaman, “The Resistance” (2009), trio Teignmouth ini bereksperimen dalam kemesraan senyawa lirik sains ilmiah dan aransemen berwujud mutan. Pada sebuah kicauan, Matthew Bellamy memberi sinyal kepada para pengikutnya di twitter tentang sound di album terbaru Muse: “christian gangsta rap jazz odyssey, with some ambient rebellious dubstep and face-melting metal flamenco cowboy psychedelia”. Yang menarik perhatian adalah 122 I TUCZINE.TUMBLR.COM
masuknya beberapa jenis musik dalam satu album. Anda bisa membayangkan hasil yang akan dicapai racikan sehebat itu, bukan? Eksperimen, eksperimen dan eksperimen. Keniscayaan itulah yang diyakini oleh penggemar tentang karakter sound di album keenam Muse. Pada Oktober 2011, Muse memulai pengerjaan album. Proses rekaman album dilakukan di dua studio, Air Studios (London) dan EastWest Studios (Los Angeles). Shangri-La Studios (Malibu) dan Capitol Studios (Los Angeles) juga menjadi tempat rekaman beberapa track. Muse menjadi produser album ini dengan melibatkan beberapa nama besar di jajaran penanggung jawab proses rekaman, mixing dan mastering. Tommaso Colliva, Adrian Bushby dan Nero tercatat sebagai asisten produksi rekaman di beberapa lagu utama Muse. Paul Reeve dan David Campbell adalah tokoh sentral yang berperan dalam teknis vokal, aransemen dan komposisi musik latar secara keseluruhan. Untuk sektor mixing, Chris LordAlge dan Rich Costey (keduanya terlibat dalam proses mixing album Deftones, Green Day, Mastodon, Weezer dan beberapa album band besar lainnya) dipercaya untuk menyelesaikan proses ini. Penyelesaian keseluruhan album dalam proses mastering ditangani oleh Ted Jensen (pemenang Grammy Awards 2003 untuk album Norah Jones, “Come Away With Me”) di Sterling Sound. Proses kreatif aransemen Muse dalam pengerjaan “The 2nd Law” melibatkan banyak musisi. Dubstep dapat ditemui pada refrain lagu “Follow Me” dan basic track “The 2nd Law: Unsustainable”. Brass section mendominasi refrain “Panic Station” dan interlude “Supremacy”. Orkestra bersahutan dengan choir di lagu “Survival” dan “The 2nd Law: Unsustainable - Isolated System”. Akar musik rock tetap dipertahankan Muse dengan inspirasi riff dan aksentuasi dari legenda musik dunia sekelas Led Zeppelin, Elton John, David Bowie, Queen, Prince, U2, INXS, Michael Jackson dan Talking Heads. Tak heran jika Paul Reeve (penata vokal) berujar dalam tweet-nya pada sebuah sesi rekaman Muse: “just confirmed dates for recording vocals for the new Muse
album. You will not have heard anything like this from them before“. Terilhami Hukum Termodinamika “All natural and technological processes proceed in such a way that the availability of the remaining energy decreases. In all energy exchanges, if no energy enters or leaves an isolated system, the entropy of that system increases. Energy continuously flows from being concentrated, to becoming dispersed, spread out, wasted and useless. New energy cannot be created and high grade energy is being destroyed. An economy based on endless growth is unsustainable” (lirik verse 1 “The 2nd Law: Unsustainable”) Video klip “The 2nd Law: Unsustainable” terisi oleh aktivitas di lantai bursa Wall Street, silih berganti dengan potongan gambar aktivitas penopang ekonomi dunia. Penyiar berita melafalkan teks verse 1 dengan musik latar orkestra dan choir megah, disusul dengan dentuman bass dan hentakan drum dengan template dubstep. Lagu instrumental yang monumental akhirnya terlahir. Hukum Kedua Termodinamika dalam sudut pandang Dr. Andrew Steele (peneliti asal Oxford University) menyatakan bahwa benda dingin tidak dapat mentransfer panas (kalor) ke objek panas lainnya. “It’s why your tea cools down if left on the side, rather than slurping heat from the tabletop and catching fire”, tegas Dr. Andrew. Dalam konteks tersebut, Muse mengaitkan hukum termodinamika tersebut dengan beberapa teori yang relevan dengan kondisi dunia terkini. Kapitalisme menuntut pertumbuhan konstan dalam semua aspek, sementara alam tidak selamanya mampu menopang keberlangsungannya. Di album “The 2nd Law”, Muse menempatkan dua track instrumental ini sebagai konklusi album dalam duet “Unsustainable” yang meledak-ledak dan “Isolated System” yang muram. Keduanya memiliki kesamaan: mencekam, khususnya bila menyimak lirik di akhir lagu yang mengarah pada isu energi seperti kelangkaan, keterbatasan dan kepunahan yang terisolasi. Peta imajinasi Muse di “The 2nd Law”
Kejenuhan yang dikhawatirkan pada sebagian besar rilisan album seluruh musisi di manapun di dunia ini nampaknya hanya sebatas kekhawatiran. Sebab, Muse mengantisipasi tren itu dengan refleksi diri dan peran personil dalam penciptaan 13 lagu Muse di album ini. Tak heran bila, Chris Wolstenholme (bas) ‘turun gunung’ dan mendobrak pakem dengan menyanyikan vokal utama di lagu-lagu ciptaannya: “Save Me” dan “Liquid State”. Dominic Howard (drum) juga mencurahkan sisi humornya di sesi rekaman dengan mengenakan kostum malaikat berwarna merah dengan sayap hitam ketika merekam track perkusi di lagu “Unsustainable”. Matthew Bellamy (gitar dan vokal) lebih disibukkan dengan produksi denting rhodes di lagu “Animals” dan “Isolated System” serta utak-atik sampling dubstep Skrillex yang diolah dengan instrumen utama Muse pada lagu “Unsustainable”. Bila menilik lagu-lagu lain di album “The 2nd Law”, terlihat bahwa inilah album Muse yang paling ‘berpelangi’. Jika dipetakan dalam warna, setiap lagu memiliki rupa warna yang berbeda. Setelah menyimak artwork pada album, terlihat bahwa Muse mengelaborasi karakter lagu melalui garis horisontal yang memiliki warna berbeda pada booklet album. Saya memetakannya pada patron warna berikut ini: merah, “Survival” dan “Isolated System”; jingga, “Panic Station” dan “Unsustainable”; kuning, “Supremacy” dan “Save Me”; hijau, “Prelude” dan “Liquid State”; biru, “Madness” dan “Big Freeze”; nila, “Animals”; ungu, “Follow Me” dan “Explorers”. Kombinasi lagu yang berpasang-pasangan memiliki karakter yang berbeda. Ibarat yin-yang, lagu tersebut saling melengkapi dalam segala hal. Tema, aransemen dan emosi lagu saling berhubungan satu sama lain. Misalnya, konsep Teori Darwin tentang insting dasar untuk bertahan hidup dapat dihubungkan dengan lirik keterasingan dalam keterbatasan pada lirik lagu “Isolated System”. Atau ketika kita mendengarkan dimensi lain dari adiksi terhadap sesuatu bentuk perasaan yang begitu dipuja-puja, seperti sajian aransemen “Madness” yang mengadopsi kegilaan vokalisasi ala Queen versus aransemen electronica ala Depeche Mode dan “Big Freeze” yang membekukan riff gitar ala U2 yang kemudian meleleh dengan gimmick dan lead gitar yang menyayat pada bridge jelang penghujung lagu. Konklusi Walaupun bukan yang terbaik, setidaknya “The 2nd Law” memberi pencerahan bagi polarisasi rock di tengah serbuan aneka genre musik. Apakah “The 2nd Law” merupakan bagian konsep lain dari kejeniusan dari repihan imajinasi Muse? Angkat tangan, anggukkan kepala, dan katakan ya!
.
KOI NO YOKAN DEFTONES 2012 CD, LP I REPRISE I 8.5/10 oleh Didik Yandiawan ALBUM CETAK BIRU DEFTONES JILID KETIGA Bagi para Deftones Familia, tidak ada satupun album Deftones yang tidak spektakuler. Deftones bersaksi atas nama waktu dengan meredefinisi ulang patron bermusik mereka dalam setiap album. Cetak biru pertama dan kedua mereka terabadikan melalui dua album terbesar mereka hingga saat ini: “Around the Fur” (1997) dan “White Pony” (2000). “Around the Fur” mengukuhkan tonggak awal kejayaan nu-metal di penghujung era ’90-an dengan kemurnian kontennya. Tiga tahun berselang, Deftones dengan jenius memberikan hadiah terbesar untuk kekayaan bebunyian metal melalui album “White Pony”, album multi-platinum yang menaikkan status Deftones ke jajaran elit band metal terbaik di dunia. Sentuhan midas Nick Raskulinecz Nick Raskulinecz mengemban misi pemulihan kepercayaan diri Deftones pasca serentetan kejadian tidak menyenangkan. Jebloknya album “Saturday Night Wrist” (2006) yang diproduseri Bob Ezrin serta kecelakaan hebat yang menyebabkan Chi Cheng (bas) mengalami koma dan absen dari panggung musik hingga detik ini. Berita baik hadir melalui kebangkitan Deftones di album “Diamond Eyes” (2010). Ada penyegaran dalam berbagai sisi yang mendapat tanggapan positif para kritikus musik. Hal ini menjadi pemicu kerjasama Deftones dengan Nick di album yang diberi nama “Koi No Yokan”. Terry Date boleh jadi produser tersukses Deftones sejauh ini. Tak ada yang meragukan kualitas empat album studio pertama Deftones bersama Terry Date. Namun, melihat solidnya keseluruhan konten album “Diamond Eyes” (2010) dan “Koi No Yokan” (2012), sepertinya Nick Raskulinecz akan menjadi sosok terpenting dalam formasi Deftones terkini. Jika dilanjutkan, bisa jadi kerjasama dengan antara Deftones dan Nick akan membuahkan hasil maksimal di album-album selanjutnya. Promise of love “The songs are very different from each other, not heavier or slower, but more dynamic, going towards several directions, it’s heavy, but beautiful.”
Pernyataan frontman Deftones akan karakter lagu di album “Koi No Yokan” (2012) di atas mengingatkan kita kepada pola unik yang terdapat pada “White Pony” (2000). Album ini diprediksi penuh eksplorasi bebunyian dengan perpaduan karakter lagu yang keras dan dinamis, dipadu dengan sudut pandang penulisan lirik yang memukau. Pengerjaan album ini melibatkan Matt Hyde dan Steve Olson sebagai teknisi rekaman di tiga studio berbeda di California: Paramount Studios, Ameraycan Studios dan Encore Studios. Sementara itu, proses mixing dan mastering melibatkan dua nama besar di industri musik: Rich Costey dan Ted Jensen. Ayunan pendulum serasa mengantar perjalanan “Swerve City” sebagai lagu pembuka di album ini menuju ke titik maksimal. Kemudian kejutan berturut-turut hadir di lagu yang menjadi pilar di album ini. “Leathers”, “Tempest” dan “Rosemary” adalah tiga lagu yang rupawan dalam segala aspek. Siapa penulis lirik yang mampu menandingi keperkasaan kalimat Chino Moreno yang terselip di lagu “Leathers” yang dengan provokatif menegaskan rapalan “wear your insides, on the outside. Show your enemy, what you look like” sebagai quotes of the year? Ditambah lagi aransemen epik dan memorable serupa perjalanan batin dari titik terendah menuju klimaks di lagu ”Tempest” dan “Rosemary”, yang layak dinobatkan sebagai salah satu calon single hits Deftones selanjutnya. Sisi lain yang benar-benar menyegarkan dihadirkan Deftones di lagu “Romantic Dreams” dan “Gauze” yang memamerkan kemampuan bermusik Deftones yang belum pernah diperdengarkan di album sebelumnya. Lompatan kuantum aransemen yang dibangun oleh Stephen Carpenter (gitar), Sergio Vega (bas), Frank Delgado (key/sample) dan Abe Cunningham (drum) dari riff berat metal menuju postrock-dream-pop dengan mudah membaur bersama unjuk kemampuan vokal Chino yang menyanyikan lirik yang ditulisnya sarat dengan turbulensi emosi. Begitu pula dengan “Poltergeist”, “Entombed” dan “Graphic Nature” yang menyajikan ruang kosong pendengar untuk merenung lebih dalam dalam kemewahan distorsinya. Jadi, inikah yang didefinisikan sebagai sebuah album yang sempurna? Nyaris. “Koi No Yokan” telah menunjukkan sebuah mahakarya yang mengagumkan. Bagaimana dengan Deftones? Ya, melalui album ini mereka sukses mengukuhkan diri sebagai salah satu skuad metal terkeren di planet ini.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 123
REVIEW
A FLASH FOOD OF COLOUR ENTER SHIKARI 2012 CD, LP I AMBUSH, HOPELESS I 8/10 oleh Didik Yandiawan
Tidak sulit untuk menyatakan bahwa “A Flash Flood of Colour” adalah salah satu album yang patut dikoleksi di tahun 2012. Kuartet pengusung genre post-hardcore dan metalcore asal St. Albans ini telah membuktikan bahwa protes sosial dan kepekaan politik adalah tema pemberontakan yang tak berkesudahan di dunia musik. Mari kita sambut sang pejuang perubahan dengan aksi panggung tereksplosif tahun 2012: Enter Shikari!
co-producer album ketiga adalah keputusan berani. Setidaknya sesi rekaman (berlumur sound dubstep megah di sana-sini) yang berlangsung di Karma Sound Studios (Bangkok) dan The Fortress (London) pada medio 2011 hingga akhir tahun, membuahkan sebuah album yang prima dan monumental. Enter Shikari hadir memotret kemarahan dan reaksi kegusaran akan kondisi yang terjadi di sekeliling mereka dengan lirik yang lugas. Keruntuhan tatanan ekonomi, potret buruk media massa, peperangan dan kerusakan lingkungan mampu disajikan dalam potret yang memikat perhatian dan mampu bercerita dengan bahasa generasi masa kini. Bayangkan, energi dan kepiawaian bertutur Zack De La Rocha dan Serj Tankian terperangkap dalam tubuh seorang pemuda berambut mullet bernama Rou Reynold. Riff gitar Gibson dari Rory Clewlow sangat membumi bahkan mengakar kukuh pada sebagian besar lagu di album ini. Chris Batten (bas) dan Rob Rolfe (drum) menyuguhkan kualitas dalam teknik dan variasi bermusik yang setia pada kaidah posthardcore yang baik dan benar.
Katalog musik eksplosif bernama “A Flash Flood of Colour” Pentas Enter Shikari terdahulu meninggalkan jejak manis pada album “Take to the Skies” (2007) dan “Common Dreads” (2009). Berkali-kali unsur electronica menjadi pemanis di dua album terdahulu. “Mothership”, ”Juggernauts” dan “Destabilise” adalah single yang mengharu-biru yang paling diminati dalam playlist konser mereka. Jika debut mereka di “Take to the Skies” dan “Common Dreads” dapat diibaratkan serupa arus sungai yang mengalir deras menuju hilir, “A Flash Flood of Colour” lebih dari itu: banjir bandang. “A Flash Flood of Colour” mengemas 11 lagu yang seluruhnya berada dalam takaran yang tepat dalam porsi maksimal. Dirilis pada Januari 2012 via label Ambush Reality (UK) dan Hopeless Records (USA), membuat banyak kritikus dan penelaah musik memiliki banyak waktu untuk menyimak progres besar dari Enter Shikari. Menggaet Dan Weller (eks gitaris SikTh) sebagai
Jumawa performa versus selera humor Dengarkan “System...” dan “Meltdown”, dua lagu yang merupakan satu kesatuan utuh. Lagu yang bercerita tentang masa depan dunia, lirik yang penuh kegusaran akan hadirnya era baru. Propaganda provokatif sukses dikumandangkan Reynolds ketika teriakan repetitif “countries are just lines, drawn in the sand..(with the stick!)” dan “fuck all borders and fuck all boundaries / fuck all flags and fuck nationalities” membahana dengan gagah. Potensi headbanging dan moshpit tersaji di lagu “Sssnakepit”, “Gandhi Mate, Gandhi” dan “Arguing with Thermometers” berkat permainan gitar memukau Clewlow dan hujaman dentuman bas dan drum sahut-menyahut dari Batten dan Rolfe. Di lagu “Gandhi Mate, Gandhi”, Enter Shikari menunjukkan bakat untuk menaik-turunkan emosi melalui jeda penting berisi ungkapan kekesalan bermuatan politik di tiap verse lagu, yang dengan cerdasnya selalu diikuti dengan pergantian
KATALOG MUSIK EKSPLOSIF PERSEMBAHAN ENTER SHIKARI
124 I TUCZINE.TUMBLR.COM
mood lagu dan lirik solutif-provokatif di verse berikutnya. Mereka mengetengahkan bijaknya diam dan pengelolaan kemarahan ala Mahatma Gandhi. Anthemic! Sementara itu, “Warm Smiles Do Not Make You Welcome Here” adalah wujud olahrasa humor terorisinil Enter Shikari di album ini. Sedikit sarkas dalam konten, namun cerkas (wit) dalam aransemen. Potensi koor massal terendus pada reff lagu yang memadukan energi metal, punk dan vokalisasi yang sangat kental aksen Britania-nya ini. Performa Enter Shikari terdengar sangat kejam dan membakar di dua lagu berikutnya: “Pack of Thieves” dan “Hello Tyrranosaurus, Meet Tyrannicide”. Khususnya gempuran drum Rolfe yang bertempo sedang dengan cumbu snare yang mengingatkan pada gaya permainan drummer rock klasik. “Don’t be fooled into thinking that a small group of friends cannot change the world!” dan “Empires always fall” adalah dua teriakan Reynolds yang mencuci otak, sedikit berbau propaganda new world order, dan menutup setiap akhir dari dua ballads kontradiktif. Suguhan delapan menit yang memukau ini terbungkus rapi seteleh sebelumnya lagu “Stalemate” mengawali paruh kedua album ini. Lagu ini adalah sudut pandang perang dan agresi militer dari Enter Shikari. Potret Timur Tengah menjadi latar dari lirik lagu yang verse awalnya dinyanyikan dalam iringan gitar akustik itu. Kesimpulan Enter Shikari memiliki tujuan yang jauh lebih besar dari sekedar mendapatkan fans yang loyal menikmati gempuran musik mereka. “A Flash Flood of Colour” fokus pada upaya untuk menempatkan lebih banyak substansi dalam setiap lagu, sembari berharap dapat menginspirasi generasi muda untuk mengambil sikap dan menjadi motor perubahan di tengah kerusakan tatanan hidup di seluruh dunia. Hasilnya, kita berpotensi terseret arus deras air bah yang menakutkan, hingga akhirnya terdampar dalam daratan lapang dengan merapalkan pengharapan sebagaimana lirik lagu “Constellation”: “that I am lost, so lost but your the constellations that guide me...”.
.
ANGKA 8 ENDANK SOEKAMTI 2012 CD, DVD, BUKU I EUFORIA RECORDS I 8/10 oleh Didik Yandiawan ALBUM SIMBOL PERSAHABATAN ABADI HASIL KOLABORASI ANTARA BAND DAN FANS MELALUI MEDIA SOSIAL Fakta menunjukkan bahwa produktivitas Endank Soekamti dalam menghasilkan album sangat tinggi. Buktinya, di akhir tahun 2012, Endank Soekamti berhasil mengeluarkan album terbaru mereka berjudul “Angka 8”. Dirilis di tanggal cantik, 12-12-12, pemilihan judul album teranyar trio pop punk asal Yogyakarta ini tak lepas dari hasil interaksi mereka dengan Kamtis Army di seluruh Indonesia. Saat sesi workshop berlangsung, Endank Soekamti giat menjaring inspirasi dan aspirasi dari Kamtis Army melalui media sosial. Twitter, facebook dan youtube menjadi sarana komunikasi Erix, Dory dan Ari selama proses rekaman berlangsung. Terpilihnya judul “Angka 8” berawal dari pertanyaan personil Endank Soekamti melalui twitter tentang simbol yang mewakili arti persahabatan. Alhasil dijumpai sejumlah mention yang pada akhirnya berujung pada sebuah komentar Kamtis, “persahabatan itu seperti angka 8. Selalu nyambung terus, nggak pernah terputus”. Terciptalah lagu berjudul “Angka 8” yang juga menjadi judul album studio kelima dari Endank Soekamti. Kejenakaan khas ala Endank Soekamti juga hadir di sejumlah lagu. Curahan hati tentang semangat kerja yang menurun pada lagu “Lagi Males Kerja”, atau kisah sendu seseorang yang tidak pulang ke rumah karena berbagai kesibukan di lingkungannya pada lagu “Aku Gak Pulang”. Enam belas lagu, termasuk intro yang berisi refleksi akhir tahun untuk melupakan kejadian kurang menyenangkan yang dialami Kamtis Army di sepanjang tahun. Bekerja keras selama bulan puasa, Endank Soekamti berhasil merampungkan proses rekaman yang berlangsung di Semarang. Tak hanya itu, keseharian mereka selama proses rekaman didokumentasikan dalam rekaman video yang diunggah di youtube. Setiap hari selama sebulan. Hasilnya, rilisan dalam format unduh gratis, bundling biografi dan cd, hingga bundling berisi biografi, cd dan dvd bersertifikat dipersembahkan untuk para Kamtis Army. Cara cerdas memasarkan musik ala Endank Soekamti terbukti menjadi jurus jitu kali ini. Kualitas album secara
keseluruhan menunjukkan progres positif dan maksimal. Pop punk penuh gairah dan semangat ditingkahi lolongan vokal dengan lirik jenaka yang menyisipkan lirih, haru dan rindu bercampur menjadi satu.
.
DARK ROOTS OF EARTH TESTAMENT 2012 CD, LP I NUCLEAR BLAST I 8/10 oleh Didik Yandiawan MAHAKARYA VERSI MODERN PEJUANG THRASH METAL YANG KONSISTEN TANPA KEKURANGAN VARIASI Sembilan lagu yang tersusun teratur menjadikan energi album “Dark Roots of Earth” secara keseluruhan berpotensi menggerogoti kebuntuan di otak. Testament nampaknya tak kehabisan energi untuk memompa denyut jantung lebih cepat dari tempo lagu. Suguhan fantasi fantastis beraroma thrash metal dalam kadar kemurnian yang menjanjikan. Testament mempartisi album ini menjadi tiga sekat. Pertama, lagu thrash bertempo kencang sarat harmoni dihuni hits “Native Blood”, “A Day In the Death”, “Last Stand for Independence” dan ”Man Kills Mankind”. Kedua, epos metal sekelas “Rise Up”, “Dark Roots of Earth”, “True American Hate” dan “Throne of Thorns” yang agresif menggempur di reffrain. Ketiga, balada indah pada “Cold Embrace”. Kematangan bermusik Testament tercermin dari padunya duet Eric Peterson dan Alex Skolnick membenturkan solo dan riff gitar yang menakjubkan. Berat dan membalut ornamen lagu di album ini dengan elegan. Salah satu karya besar mereka di album ini ada di lagu balada berdurasi 07:46, “Cold Embrace”. Jika menyimak “A Day In the Death” dengan jeli, intro bass Greg Kristen memahat kemegahan lagu dengan bassline di sepanjang lagu. Gene Hoglan tampil gagah di sepanjang lagu. Chuck Billy menggugah amarah, dengan vokal yang proporsional. Beginilah cara mereka bekerja. Menyisakan sedikit ruang untuk berleha-leha, dalam kekayaan arpeggio dan riff orisinil khas metal. “Dark Roots..” dapat disimpulkan sebagai lompatan hebat Testament dalam memeluk momentum. Keindahan petualangan musikal “Dark Roots...” terletak pada fakta bahwa sang petualang thrash metal (yang digadang-gadang menjadi anggota tambahan The Big Four klan thrash metal) baru saja kembali meremajakan dirinya dengan rekaman yang tak hanya menggali sisi komersial belaka, melainkan digenapi
.
dengan koherensi sembilan lagu (dan track ekstra di rilisan format lain) sarat kualitas. Beli album ini! L’ENVANT SAUVAGE GOJIRA 2012 CD, LP I ROADRUNNER I 8.5/10 oleh Didik Yandiawan SKUAD METAL IKONIK MENGUSUNG TEMA EKOLOGI DALAM RACIKAN SEDAP BERCITA RASA SENSASIONAL Mainkan lagu demi lagu Gojira di album studio kelima mereka, “L’Envant Sauvage”. Temukan kenyataan bahwa kekuatan Gojira di album teranyar mereka menunjukkan jati diri yang sebenar-benarnya. Ada sosok François Truffaut, sutradara film dokumenter yang mengisahkan seorang anak berkepribadian menyerupai binatang buas, akibat tersesat di hutan. Kejelian Gojira mengangkat tema ekologi di sejumlah lagu, menunjukkan kematangan genggaman palu metal ada di tangan yang tepat. Kuartet asal Prancis yang beranggotakan Joe Dupantlier (vokal dan gitar), Mario Dupantlier (drum), Christian Andreu (gitar) dan Jean-Michel Labandie (bass) menghadirkan sebelas lagu beraliran progressive/ technical death metal. Banyak sisi yang mencabik-cabik dengan kekuatan tone yang emosional. Kerumitan musik yang membumi, mengalun bersama kefasihan lirik lagu yang menggambarkan gagasan bermusik yang maskulin. “Explosia” sukses membuka gerbang album dengan prima. Nada putus asa sarat emosi mengguyur kepala laksana serbuan air terjun. Kehadiran “Liquid Fire”, “The Wild Healer”, maupun “The Axe” seolah menandingi kemurnian hits “L’Envant Sauvage”. Sepi terisolasi secara konseptual dalam sekat-sekat yang ada di dalamnya. Jika menjamah “The Gift of Guilt” dan ”Pain Is A Master”, terasa bahwa keganasan yang terserak di sepanjang derita dan kekacauan adalah sebuah proses yang menyakitkan dari rekonstruksi gairah kemanusiaan. Menarik untuk menyimak pernyataan Joe Dupantlier tentang album “L’Envant Sauvage” di laman gojira-music. com, “When you become a musician, you don’t have a boss telling you what to do so you have to be very responsible.” He goes on to say “With freedom comes responsibility, so I’m asking myself, ‘What is freedom? What does it mean to me?’ “L’Enfant Sauvage” reflects on that. There’s no answer though. There’s just life and questions.”
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 125
BOOK
L’ÉTRANGER: SANG LIYAN ORANG ASING (L’ÉTRANGER) ALBERT CAMUS oleh Meidiawan Cesarian Syah “Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan-cercaan.” Kalimat sangat satir dan menggambarkan destruktivitas sekaligus konstruktivitas sebuah perasaan seorang terpidana mati tergurat lembut di halaman terakhir buku ini. Selarik kalimat tersebut juga menjadi senjata pamungkas yang tepat dalam fitrahnya sebagai representasi novel “Orang Asing” ini secara utuh. Rangkaian kata-kata tersebut nampak asing dan mengemukakan sebuah sikap yang teralienasi dan berada jauh dari tapal batas yang dibentuk oleh persepsi kewajaran. Berdasarkan basis itu pula, Camus mengintisarikan sebuah kisah yang ekletik dengan poros sebuah benda abstrak yang terus dipertanyakan: kebenaran. Camus mengetengahkan seseorang tokoh yang tidak hanya liyan, tetapi betul-betul berusaha menjalani ke-liyan-an yang wajar dalam institusi hidupnya. Penahbisan tokoh 128 I TUCZINE.TUMBLR.COM
utama bernama Meursault dalam gelanggang hidupnya menjadi sentral dan menarik untuk ditelisik lebih dalam, terutama dalam kacamata eksistensialisme. Saya mengutip Jeannyves Guerin dalam pernyataannya bahwa dalam pandangan pendekatan moral-filosofis, Albert Camus “hanya dapat dimaknai secara utuh apabila kita mengetahui eksistensialisme.” Berpijak pada remah frase tersebut, karya monumental Camus ini harus dibaca dengan mengenakan kacamata eksistensialisme. Jika tidak, rangkaian kata yang kita kunyah hanya sebuah kehambaran. Kita hanya akan membaca catatan harian seorang yang aneh dan tragik, tanpa mengetahui hakikat yang berperang di dalamnya. Eksistensialisme memandang manusia sebagai sebuah institusi yang sadar akan dirinya. Ketersadaran itu membuat ia bisa berada di dalam diri sekaligus ada di luar dirinya (terutama dalam kaidah penilaian diri). Pemosisian diri seperti ini membuat manusia seperti makhluk terbatas yang dihamparkan di padang ketidakterbatasan kehidupan. Keterbatasan yang dikepung ini menjadi pangkal dari penafsiran diri menjadi sesuatu yang sia-sia jika dimaknai. Tiap usaha manusia menakrifkan kehakikian hidup digiring menuju ambang kegagalan. Karena batas yang ada pada manusia tidak mampu memenuhi relung ketidakterbatasan nasib kehidupan. Akhirnya yang dirasakan hanya perspektif ketanpaartian, tanpa tujuan, tanpa arah, dan pertanyaan akan hidup yang takkan pernah selesai. Kebenaran, sebagai poros dari jenis pemahaman ini menjadi sebuah hasil
doktrinasi yang didekonsktruksi. Mudahnya, ia dipecah menjadi puing-puing yang lebih bias di mana setiap puing dipertanyakan hakikatnya. Puing tersebut tidak bisa dipaparkan secara hitam putih. Eksistensialisme menolak kebenaran mutlak. Tiada kebenaran yang hakiki yang lahir karena doktrin. Manusia dianggap sadar sehingga mereka mampu menentukan kebenaran hakikinya. Oleh karena itu, Kierkegaard, bapak eksistensialisme, menulis diri manusia sebagai objek sekaligus subjek kehidupan secara kontinu. Kebenaran tidak disimplifikasi dari hasil konsensus masyarakat, namun harus ditemukan dan dijalani. Di salah satu tulisannya, Kierkegaard menulis “the highest and most beautiful things in life are not to be heard about, nor read about, nor seen but, if one will, are to be lived.” Hal paling asasi dari kehidupan lahir jika manusia menjalani hidupnya sendiri. Dalam “Orang Asing”, Meursault digambarkan sebagai manusia antinorma -bahkan di dalam sebuah dialog, ia dicap anti Kristus- yang menjalani hidup wajar (menurut cara pandangnya) namun aneh (jika dihadapkan pada konsensus umum). Pada awal novel, deskripsi tersebut telah hadir dan berbunyi: “Hari ini Ibu meninggal. Atau, mungkin kemarin, aku tidak tahu. Aku menerima telegram dari panti wreda: “Ibu meninggal. Dimakamkan besok. Ikut berduka cita.” Kata-kata itu tidak jelas, mungkin ibu meninggal kemarin.” Aposisi kalimat ini secara liar mempertanyakan kehidupan seorang anak yang seakan melupakan ibunya dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Meursault acuh
4gambar dipinjam dari tageswoche.ch
atas kematian ibunya, dan terlihat tidak peduli akan nasib ibunya hingga persoalan meninggal kemarin atau kemarinnya lagi tidaklah begitu penting. Dalam keberlanjutan kisahnya, Meursault digambarkan lebih liyan. Ia tidak menangis saat pemakaman ibunya, berhubungan dengan kekasihnya tepat sehari setelah pemakaman, dan lebih sibuk mengomentari kecapan-kecapan penghuni panti jompo dibandingkan mengurus jenazah ibunya. Tapi Meursault juga satir dalam kalimatnya, “Aku bahkan mendapati kesan bahwa jenazah itu, yang terbaring di tengah mereka, tidak mempunyai arti apa-apa bagi mereka.” Padahal, dalam ruang duka, Meursault sendiri tidak menangis, yang menyebabkan kita berpikir, jangan-jangan jenazah Ibunya pun tak berarti bagi dirinya. Camus kemudian menggambarkan liku hidup Meursault menjadi rangkaian yang banal: menolak pernikahan sebagai sebuah lembaga dan memandangnya sebagai ritus belaka (Ia mengafirmasinya dengan janji mengatakan “iya” pada siapapun wanita yang mengajaknya menikah), hidup bersisian dengan orang-orang yang sinting (Salamano tua yang sadis pada anjingnya atau Raymond yang seorang germo), serta melakukan pembunuhan sadistik (tetap menembaki orang yang telah dibunuhnya sebanyak empat kali). Protogoras menciptakan istilah ‘homo mensura’, yaitu manusia sebagai tolok ukur. Dalam eksistensialisme absurditas ala Camus, tolok ukur manusia lahir dari kegagalan inheren manusia untuk memahami hidupnya. Akibatnya, hidup dijalani secara absurd sambil menuju pada satu kepastian
mati dan tolok ukur tadi menjadi tidak pasti pula. Melalui bibir Meursault, absurditas ini tergambar jelas ketika ia sendiri menggambarkan kematiannya dengan kata-kata “Pada hakikatnya aku tahu bahwa mati pada umur tiga puluh atau enam puluh tahun tidak begitu penting, karena tentu saja dalam kedua kasus itu laki-laki dan wanita lain akan tetap hidup, dan itu terjadi selama ribuan tahun.” Iya, kematian didefinisikan menjadi variabel tanpa peubah, di mana tidak akan terpengaruh atau mempengaruhi kematian orang lain. Dalam falsafah ini, tolok ukur menjadi bukan hanya tidak pasti melainkan tidak penting. Setiap manusia bisa membuat tolok ukurnya sendiri. Tentu saja benturan laku Meursault dengan kenyataan hidup menjadi akhir yang sempurna dalam novel ini. Kejahatan pembunuhan yang diseret di depan muka persidangan menjadi apik ketika Meursault dalam kesadarannya membantai sikap hidup yang tragik sekaligus nostalgik. Ia merekonstruksi sisa-sisa harapan yang dimiliki menjadi bangunan utuh tempat ia berlindung. Meursault menjadikan dirinya objek yang sanggup menjalani ketidakbiasaan menjadi sebuah kebiasaan. Ia menolak pengakuan dosa dan memilih menikmati waktu yang tersisa sebelum dihukum mati. Meursault dianalogikan sebagai tokoh Sisifus yang mendorong batu ke atas bukit untuk hanya melihatnya menggelinding kembali ke bawah kembali dalam sebuah hukuman yang abadi (hal ini tercermin dalam kumpulan esai “Cerita Sisifus”, juga karya Camus). Hukuman yang merepresentasikan kesia-siaan. Di padang kesia-siaan
yang begitu luas, Camus lewat Meursault mengambil sudut pandang berbeda. Ia menggamangi sebuah harapan, di mana ketika Sisifus turun setelah mendorong batu ke puncak bukit, ada harapan agar batu itu tidak menggelinding kembali ke bawah. Harapan semacam ini yang dieksploitasi oleh Camus lewat penggalan renungan Meursault: “Kita selalu membayangkan secara berlebihan sesuatu yang tidak kita ketahui.” terkait dengan “...aku melihat bahwa yang tidak sempurna pada pisau pemenggal, adalah bahwa tidak ada kesempatan, sama sekali tidak ada.”. Ya, dalam keterperaman luka yang sejati pun manusia masih mencari kesempatan akan adanya harapan. Maka, sejatinya hidup dalam perspektif “L’Étranger” adalah hidup yang liyan: berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Meursault adalah orang yang memandang kehidupan sebagai, mengutip kata-katanya sendiri, sebuah pintu kesengsaraan. Absurditas memandang kematian sebagai sebuah pembebasan. Dalam “Orang Asing”, kematian justru dirayakan sebagai sebuah persiapan untuk hidup kembali. Hidup dari kesengsaraan mati di dunia. Perihal yang menjadi suatu oposisi sempurna dari sebaris sajak Chairil: “Hidup hanya menunda kekalahan”. Mungkin Meursault justru akan mendatangi Chairil dan berucap: “Tidak ada yang kalah dalam hidup, seperti halnya tidak ada yang menang, Ril. Hanya kematian yang sepenuhnya datang menghampiri.”
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 129
BOOK
BERPIKIR DI LUAR KOTAK THE BLACK SWAN: RAHASIA TERJADINYA PERISTIWAPERISTIWA LANGKA YANG TAK TERDUGA NASSIM NICHOLAS TALEB oleh Nevi Earth Kalimat judul di atas sepertinya mudah untuk disetujui, dan kita akan menganggukkan kepala saat diminta seseorang, siapapun itu, yang bilang “kamu kalau melihat sesuatu harus selalu ‘out of the box’ dong!” Dan mungkin kita akan sedikit tak berkenan, saat dinilai orang bahwa kita tidak berpikir ‘out the box’. Apakah demikian? Berpikir keluar dari kotak, adalah cara pandang untuk menilai, melihat sesuatu bukan hanya dari satu sisi, tetapi harus cover both side. Atau mungkin seharusnya bukan hanya dari dua sisi, tapi dari berbagai sisi juga. Menurut hemat saya, ini adalah cara supaya kita tidak terburu-buru dalam memberikan penilaian kita, atas apapun. Dengan demikian, kita harus banyak mencari informasi sebanyak mungkin, belajar tanpa henti, mengamati dan peduli. Sehingga kalimat di atas bisa memberikan banyak arti. Dalam buku ini, Nassim Nicholas Thaleb membahas tentang sebuah teori keacakan yang mungkin, dan bisa terjadi dalam banyak hal di mana orang tidak memprediksi sebelumnya. Sebuah buku yang harus pelan-pelan dibaca demi mencerna maksud si penulis. Kesimpulan saya atas buku ini adalah kita harus berpikir ‘out of the box’. Kenapa saya berkesimpulan demikian? Karena sang penulis menjelaskan tentang adanya Triplet of Opacity (3 hal yang membuat kabur) pada halaman 10: pertama, ilusi pemahaman, atau bagaimana setiap orang mengira tahu yang tengah terjadi di dunia yang lebih rumit atau lebih acak daripada yang disadari; kedua, distorsi retrospektif, atau bagaimana kita dapat menilai masalah hanya sesudah fakta tersedia, seolah-olah itu adalah pemandangan di belakang cermin (sejarah tampak jelas dan lebih tertata dalam buku-buku sejarah dibanding dalam realitas empirik); ketiga, valuasi berlebihan terhadap informasi faktual dan hambatan yang dialami oleh orang-orang yang berwenang dan terpelajar, khususnya ketika mereka menciptakan 130 I TUCZINE.TUMBLR.COM
kategori-kategori. Buku ini menyadarkan bahwa betapa sangat terbatasnya pembelajaran yang kita dapatkan dari pengamatanpengamatan atau pengalaman-pengalaman, serta betapa rapuhnya pengetahuan kita selama ini. Bahwa melihat angsa putih bukan sebuah penegasan bahwa angsa hitam itu tidak ada, dan ini menunjukkan, melihat serangkaian fakta pendukung tidak harus dianggap sebagai bukti, di mana pengetahuan kita tidak bertambah karena serangkaian pengamatan. Dan menurut hemat saya, itu berarti kita harus berpikir di luar kebiasaan kita, di luar kotak pengetahuan kita, karena menurut si penulis tidak boleh ada tunneling atau pengabaian sumber-sumber ketidakpastian di luar rencana. Dunia telah berkembang, sangat berkembang di luar kendali manusia. Mereka-mereka yang merasa mampu memprediksi akan sesuatu, ternyata terjadi hal-hal di luar prediksi. Ilmu Titen yang dianut oleh orang Jawa, yang berarti mencatat atau mengingat apa-apa yang telah terjadi, menjadi tidak relevan lagi di masa sekarang. Kalau dahulu paceklik bisa ditunjukkan oleh rasi bintang tertentu, sekarang tidak lagi. Bencana-bencana alam yang dahulu ditandai dengan sesuatu tanda, sekarang bahkan tahu-tahu terjadi seketika. Itulah kenapa, kita harus mengembangkan semua intuisi, pengetahuan, dan bukan hanya berdasarkan pengamatan atas fakta-fakta. Melihat sesuatu yang bahkan di luar yang kita bayangkan sebelumnya. Mungkin dalam beberapa kasus atau sesuatu hal tertentu, beberapa golongan orang tidak mau keluar dari pandangannya. Mereka terpaku pada suatu kebiasaan. Bahkan jika ada pandangan baru yang mungkin sedikit menyimpang, maka yang berpandangan menyimpang tersebut akan dilabeli dengan ‘radikal’ atau istilah lain yang berkonotasi negatif. Karena, seperti dalam buku ini, manusia terbukti arogan dalam hal yang menurut mereka telah mereka ketahui dan itu mengakibatkan adanya arogansi epistemik, yaitu kebanggaan atau rasa percaya diri berlebih-lebihan terkait dengan batas-batas pengetahuan kita. Tentu saja mereka tahu banyak, tetapi manusia mempunyai kecenderungan bawaan untuk berpikir bahwa mereka tahu sedikit lebih banyak daripada yang sesungguhnya mereka ketahui. Hal yang harus kita lakukan atas kecenderungan arogansi epistemik itu adalah, bagaimana cara kita mengukur arogansi kita dan bagaimana kita melihat implikasi arogansi tersebut. Kecenderungan untuk tidak mengubah pandangan kita ini berkaitan dengan keengganan mengubah
kepercayaan (belief perseverance) atau keengganan untuk tidak mengubah pandangan yang sudah dimiliki dari manusia. Seseorang yang sudah ‘berumur’ kemungkinan akan menjadi bahan pergunjingan saat menjadi anggota dari komunitas yang berisi anak-anak muda. Padahal pasti ada maksud tertentu dengan masuknya orang tersebut ke dalam komunitas itu. Taruhlah, karena orang tersebut ingin selalu tahu perkembangan yang terjadi di kalangan anak muda, apa yang sehari-hari dibicarakan dan diingini para anak muda tersebut karena dia memiliki anak yang menginjak remaja dan pembelajaran tersebut ternyata bermanfaat bagi dirinya. Tetapi orang menilai beda, karena orang hanya melihat sekilas, yaitu orang yang ‘berumur’ tetapi ikut dalam komunitas yang tak seumuran dengannya. Pembelajaran, menurut hemat saya, bisa kita peroleh dari berbagai hal, yang bisa mengubah cara pandang kita. Tidak perlu terlalu ngotot pada suatu hal dan tidak mau menerima masukan, walaupun ide yang disampaikan sangat tidak masuk akal. Peduli merupakan salah satu kunci dari berpikir di luar kotak ini. Hanya orang bodoh yang merasa dirinya pintar. Ungkapan saya ini mungkin akan terdengar kasar bagi beberapa orang, tapi tidak menurut saya. Setiap mereka yang merasa paling pintar, maka itu akan menelurkan jumawa-jumawa yang menulikan dan membutakan rasa kepedulian. Karena yang selama ini harus kita hindarkan adalah adanya arogansi dengan sedikit kompetensi atau bisa jadi arogansi tanpa kompetensi (tong kosong nyaring bunyinya). Mungkin sebenarnya yang kita perlukan dalam berpikir di luar kotak yang mengungkung kita adalah suatu keseimbangan (to balance in our life). Jadi tanda hitam putih dalam Yin dan Yang itu bukannya tanpa makna. Maknanya sangat mendalam. Berpikir di luar kotak dapat kita terapkan dalam semua unsur kehidupan yang kita jalani ini. Menjadikan seimbang antara sisi kiri dan sisi kanan. Terkadang kita harus bersikap skeptik walaupun bukan skeptik yang sempurna. Menjadi beda bukan berarti itu hal yang buruk. Berhati-hati dalam peracunan media entah elektronik entah media cetak atau media-media lainnya, sehingga kita tak hanya terpaku pada pembentukan opini yang mereka tawarkan. Ada kutipan pribadi seorang kawan berkaitan dengan ‘berpikir di luar kotak’ ini yang menurut saya luar biasa: “melihat tidak dengan satu sudut pandang, berjalan tidak dengan satu titik keseimbangan, berpikir tidak dengan satu pola pikir”. Saya sangat berharap saya dapat menerapkannya.
.
BOOK
GELIAT EMBRIO BUDAYA MUDA YANG TERLAHIR DARI PERGERAKAN YANG DIMOTORI IDEALISME DAN CARA PANDANG YANG BERBEDA TERHADAP FASHION DAN MUSIK DARI PARA PENGGAGASNYA CHAMBERS: MAKASSAR URBAN CULTURE IDENTITY ANWAR JIMPE RACHMAN oleh Didik Yandiawan Testimoni padat berisi tentang perjalanan sebuah pergerakan usaha bernama Chambers akhirnya terbit dalam sebuah buku. Terberkatilah Anwar Jimpe Rachman, sang penulis yang memiliki sejumlah portofolio jurnalistik menjanjikan. Ia berhasil merangkum perjalanan Chambers sebagai sebuah entitas bisnis dan pergerakan subkultur dari Makassar. Kerja keras dan militansi pendirinya untuk mendobrak pakem budaya yang populer beredar di kalangan anak muda Makassar di awal tahun 2000an, adalah motor penggeraknya. Dimulai dari prolog “Makassar, Migrasi dan Anak Muda”, Jimpe mengisahkan kultur dan ciri khas penduduk BugisMakassar berikut perkembangan Makassar sebagai salah satu kota dengan peradaban tertua dan termasyhur di kawasan Indonesia Timur. Potret pertumbuhan ekonomi yang pesat di Makassar ditopang oleh kultur dan karakter leluhur yang cakap dalam perniagaan, pola migrasi dan penguasaan maritim. Obrolan ala anak muda tak pernah lepas dari kegelisahan. Jimpe memotret kisah Ardy dan Aby, dua pemuda Bugis berusia 18 tahun yang dipertemukan karena satu hal: baju metal! Kesamaan kiblat pakaian dan musik mereka turut didukung dengan insting mereka untuk mandiri dan tampil beda. Pertemuan dengan sepasang saudari kembar, Irmayanti dan Rismayanti juga dipicu hal yang sama: selera pakaian. Embrio Chambers baru saja tumbuh. Sepak terjang keempat pendirinya mengelola Chambers dimulai dari usaha menjajakan pakaian ‘dari pintu ke pintu’. Filosofi logo dan nama Chambers berbentuk “X” (tanda silang) yang terdiri dari
ilustrasi dua sosok perempuan dan laki-laki menjadi prasasti abadi di awal pendiriannya. Sebuah ruko di kawasan ternama di Makassar, Panakkukang, toko kecil itu memulai segalanya. Dalam perjalanannya, Chambers menjadi alternatif pemuda-pemudi Makassar dan sekitarnya dalam halfashion, musik dan pergerakan budaya. Tak melulu bisnis pakaian, Chambers menjadi garda terdepan di pertengahan era 2000-an bagi perkembangan skena musik. Sejak kemunculan perdana di tahun 2004, Chambers Show telah bergulir hingga 12 edisi. Ditambah lagi Rock In Celebes yang mulai digelar secara rutin sejak tahun 2010. Atau upaya mereka mendukung band-band potensial dari Makassar seperti Debluesfresh, Unremains dan The Gameover. Pada bagian enam buku ini, “Chambers Entertainment & Impresariatnya”, Jimpe mengisahkan pencapaian Chambers dalam mengelola bisnis distro dan musik. Keduanya saling menghidupi dan melengkapi. Pengalaman mengelola sejumlah event berskala raksasa mengantarkan Chambers menuju pada satu titik penting. Getol mempromosikan Makassar sebagai destinasi wisata dan budaya, Chambers turut membesarkan aspek penting dalam jejak peradaban Makassar. Tengok saja kisah Chambers dalam mengorganisasi penyelenggaraan pertandingan klub sepakbola legendaris dari Sulawesi Selatan, PSM Makassar. Panggilan jiwa untuk turut mendukung kiprah klub kesayangan warga Sulawesi Selatan itu melampaui ekspektasi dan cara pandang publik terhadap anak muda Makassar. Tercitra kasar, rusuh dan berantakan? Telan bulat-bulat asupan berita tak bermutu di televisi itu, dan Anda akan segera menyingkirkannya dari pandangan untuk selamanya. Inilah jagat yang layak untuk dieksplorasi. Bukan lagi berselisih paham bagaimana cara memajukan kultur lokal tanpa meninggalkan kearifan lokal. Kisah manis Chambers yang dituturkan melalui sentuhan midas dari tulisan Jimpe menunjukkan bahwa anak muda harus bersatu padu. Kendali untuk mengubah cara pandang dengan jalan positif dan produktif ada di tangan generasi muda. Sekarang atau kelak.
.
THE ROLLING STONES 50 MICK JAGGER, KEITH RICHARDS, CHARLIE WATTS & RONNIE WOOD oleh Didik Yandiawan DIKURATORI, DIPERKENALKAN DAN DIRIWAYATKAN OLEH BAND SENDIRI, “THE ROLLING STONES 50” ADALAH SATU-SATUNYA BUKU RESMI YANG BERWENANG UNTUK MERAYAKAN PENCAPAIAN USIA EMAS THE ROLLING STONES. Pada sebuah sesi foto yang termuat pada buku ini, empat pria yang mendedikasikan dirinya dalam musik selama hampir lima dekade, berpose bersama pada set sofa butut. Mick, Keith, Charlie dan Ronnie adalah empat yang tersisa dari The Rolling Stones. Mereka meneruskan warisan berharga berupa dokumentasi dan sejarah yang melemparkan kita kepada serangkaian perjalanan band dari masa ke masa sejak tahun 1962. Kiprah mereka terabadikan melalui sebuah dokumentasi penampilan mereka di The Marquee Club, London pada 12 Juli 1962. Juga hadir setelahnya photo shoot pertama The Rolling Stones sebagai band. Philip Townsend mendokumentasikan The Rolling Stones dalam formasi berlima. Lebih dari 1.000 ilustrasi berupa foto, poster, pamflet dan lembar dokumentasi memorabilia lain tersaji di dalamnya. Istimewa dan eksklusif. The Rolling Stones dapat kita lihat rekam jejaknya, kala bergembira bersama fans dari panggung kecil hingga festival raksasa. Buku ini adalah bukti sahih yang pas sebagai kado perayaan The Rolling Stones ke-50. Hanya saja, secara luar biasa, kado ini hadir dari band untuk seluruh dunia. Bubuhan tanda tangan cetak bertinta perak dan pernyataan dari band di sampul belakang buku mendeskripsikan segala isi yang memanjakan mata dan kenangan tentang band rock ‘n roll terbesar sampai saat ini. “This is our story of fifty fantastic years. We started out as a blues band playing the clubs and more recently we’ve filled the largest stadiums in the world with the kind of show that none of us could have imagined all those years ago. Curated by us, it features the very best photographs and ephemera from our archives and beyond.” (Mick , Keith , Charlie & Ronnie).
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 131
MOVIE
NEW FR
EXTRE
RENCH OLEH MASBOI
EMITY SEDIKIT SALIN TEMPEL TENTANG FILM-FILM PERANCIS YANG KETERLALUAN
MOVIE
KETIKA, PADA 2004, MENGUNAKAN ISTILAH NEW FRENCH EXTREMITY UNTUK ‘MERENDAHKAN’ SERANGKAIAN FILM-FILM EKSTRIM PERANCIS, JAMES QUANDT BAHKAN BARU MELIHAT SAMPAI “HAUTE TENSION”.
J
ames Quandt, seorang kritikus Kanada dalam sebuah esai untuk Artforum, menggunakan istilah New French Extremity untuk menyebut serangkaian film yang diproduksi setidaknya sejak paruh kedua tahun ’90-an oleh sineas-sineas Perancis yang, seperti dalam bahasa para kritikus, mendobrak batas-batas tabu dan norma, mendorong kekerasan, kengerian, penderitaan, kematian, sadisme, mutilasi, kanibalisme, darah dan seks ke arah yang lebih ekstrim lagi, bahkan untuk ukuran Perancis dan Eropa yang liberal dan hedonis dan, seperti tanpa pertimbangan sejauh mana itu semua pantas ditampilkan dalam film, menyajikannya ke dalam layar secara detil, vulgar dan eksplisit, seringkali tanpa filter, menghasilkan sekuen-sekuen visual sinematik yang artistik sekaligus mengerikan, realis sekaligus fantastis, membosankan sekaligus menegangkan, mengasyikkan sekaligus mengganggu, menantang daya tahan fisik, psikis dan terutama moralitas penonton, yang bagi tidak siap, mungkin akan meninggalkan efek merusak yang permanen. Oke, yang terakhir ini berlebihan. Film-film (dan sineas-sineas) yang digolongkan Quandt dalam gelombang ini di antaranya “La Vie de Jésus” (1997), “L’humanité” (1999) dan “Twentynine Palms” (2003) oleh Bruno Dumont, “Seul Contre Tous” (1998) dan “Irréversible” (2002) oleh Gaspar Noé, “Sombre” (1998) dan “La Vie Nouvelle” (2002) oleh Philippe Grandrieux, “Les Amants Criminels” (1999) oleh François Ozon, “Romance” (1999), “Fat Girl” (2001) dan “Anatomie de L’enfer” (2004) oleh Catherine Breillat, “Pola X” (1999) oleh Leos Carax, “Baise-moi” (2000) oleh Virginie Despentes dan Coralie Trinh Thi, “Trouble Every Day” (2001) oleh Claire Denis, “Intimacy” (2001) oleh Patrice Chéreau, “Le Pornographe” (2001) oleh Bertrand Bonello, “La Chatte à Deux Têtes” (2002) oleh Jacques Nolot, “Choses Secrètes” (2002) oleh Jean-Claude Brisseau, “Dans Ma Peau” (2002) oleh Marina de Van 134 I TUCZINE.TUMBLR.COM
dan “Haute Tension” (2003) oleh Alexandre Aja. Film-film ini, meskipun hadir dalam kategorisasi genre yang berbeda-beda, utamanya drama, thriller dan horor, tapi memiliki kesamaan, setidaknya melalui tematema yang generik: keterasingan, dendam, ketakutan terhadap orang, jenis kelamin dan ras lain, ketakutan (sekaligus kecintaan) yang berlebihan terhadap tubuh sendiri, rasa penasaran akan eksistensi dan orientasi seksual dll. Kesamaan lainnya, seperti disebutkan sebelumnya, adalah film-film ini menggambarkan itu semua secara berbeda, provokatif, komprontatif dan inovatif (atau keterlaluan) dalam alur cerita, dialog, scoring, sinematografi dan visualisasi di layar. Gaspar Noé dan Catherine Breillat mungkin dua figur senior paling menonjol di kumpulan ini. Film-film keduanya selalu mengundang kontroversi. “Irréversible”, karya Noé paling populer, mendapat pujian dan cacian di saat bersamaan berkat teknik sinematografi dan storyline yang tidak biasa, juga akibat satu scene panjang sangat mengerikan yang bisa dibilang tidak termaafkan. Sementara Breillat yang semasa muda pernah beradu acting dengan Marlon Brando di film yang juga kontroversial di jamannya, “Last Tango In Paris” (1972), sudah sejak dulu terkenal dengan kesenangannya menggambarkan seks secara aneh, kebanyakan sebagai bentuk lain dari alienasi dan kekerasan. Beberapa filmnya bahkan melibatkan aktor porno profesional Italia, Rocco Siffredi dan menampilkan unsimulated sex scene, hal yang luar biasa untuk film mainstream. Bukan baru Mundur sedikit, sebenarnya apa yang ditawarkan New French Extremity bukanlah hal baru-baru amat. Jauh sebelumnya, sudah banyak film yang mendobrak batas dan mengundang kontroversi di masanya: film-film giallo Italia, slasher horror, exploitation, b-movie dan grindhouse Hollywood, gore-splatter German Underground, pink film Jepang dan lain-lain di era ’70 dan ’80-an. Sineas-sineas Perancis ini hanya meminjam elemen-elemen dari film-film tersebut, menerjemahkan literatur-literatur dan bahkan lukisan-lukisan transgresif dari abad-abad sebelumnya, menggabungkannya dengan gaya art house dan new wave dari pendahulu-pendahulu mereka seperti Godard dan Bresson, kemudian menambahkan sedikit lagi kadar keterlaluannya dalam konteks Perancis masa kini. Meskipun tidak bisa dianggap
sebagai sebuah pergerakan yang terinisiasi dan terstruktur, seperti sangsi Quandt sendiri yang mempertanyakan disparitas tujuan dan motivasi yang berbeda-beda dari para sineas ini, New French Extremity tetaplah gelombang baru di perfilman dunia, unik dan berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Lahir dari sineas-sineas segenerasi (atau setidaknya ada dua: para senior seperti Gaspar Noé dan Catherine Breillat, dan yang lebih muda seperti Marina de Van dan Alexandre Aja), dalam rentang waktu yang berdekatan, dalam wilayah geografi yang sama dan untuk audiens yang lebih luas dari sekedar kalangan pecinta cult film saja. Dari luar, ini terlihat seperti kerja kolektif yang mengangkat ‘gerakan’ ini meruyak, terekspos dan menyebar. Berbeda dengan sineas-sineas ekstrim Eropa sejaman lainnya semisal Michael Haneke (Austria), Lars von Trier (Denmark, oke von Trier punya Dogme 95) atau Michael Winterbottom (Inggris) yang seperti bekerja sendiri-sendiri. Lalu apa, jika ada, nilai-nilai artistik, sosial atau mungkin moral yang ditawarkan film-film ini di balik muatan kekerasan dan ketelanjangan yang lebih dulu sudah ada dalam film-film eksploitasi dan porno hardcore? Atau, apa yang membedakannya dari dua jenis film itu? Film-film ini, meski mungkin berakar dari atau memasukkan unsur-unsur dari dua jenis tadi, jelas-jelas dibuat dengan tujuan, cara dan audiens yang sama sekali berbeda. Banyak kritikus, di antaranya Roger Ebert, dan penonton film kebanyakan menganggap film-film ini seharusnya tidak pernah dibuat dan dipertontonkan. Jujur saja, sebagian dari film-film ini memang buruk. Tapi bagi sebagian orang, di balik sifatnya yang keterlaluan, sebagai karya seni, film-film ini menghadirkan nilainilai artistik dan estetika sinematografi yang patut diapresiasi. Sebagai kritik sosial, film-film ini jenius dan kontekstual memotret keadaan masyarakat Perancis (dan Eropa) yang rusak, dekaden, individualis, apatis. Sebagai sebuah ‘gerakan’, film-film ini menantang borjuisme Hollywood, setidaknya lewat pendanaan minimalis, swadaya dan sumbangan dari lembaga-lembaga film. Sebagai sebuah tontotan dan hiburan (well, memang bukan tontonan dan hiburan untuk semua orang), film-film ini memenuhi ekspektasi para pecinta ‘film sakit’ akan ‘film sakit’ yang artistik. Tidak bisa dipungkiri, nilai-nilai lebih tadi jelas telah tertutupi oleh presentasi yang keterlaluan dan kadang tak termaafkan. Tapi itulah cara yang dipilih para sineas ini untuk menyampaikan pesan.
4gambar-gambar dipinjam dari toutlecine.com
New wave of horror Sejak paruh kedua dekade 2000an, hadir lebih banyak lagi sineas-sineas muda mencincang lebih banyak daging dan menumpahkan lebih banyak darah ke dalam layar. New French Extremity kemudian berkembang lebih jauh ke arah slasher, gore-splatter, post-apocalyptic dan body horror. Seiring naiknya popularitas apa yang disebut torture porn di Hollywood lewat film-film seperti “Saw” dan “Hostel”, sinema horor Perancis, melanjutkan apa yang dimulai oleh Marina de Van dan Alexandre Aja, menghadirkan untuk kita di antaranya “Ils” (2006) oleh David Moreau dan Xavier Palud, “Sheitan” (2006) oleh Kim Chapiron, “Frontière(s)” (2007) oleh Xavier Gens, “À l’intérieur” (2007) oleh Alexandre Bustillo dan Julien Maury, “Martyrs” (2008) oleh Pascal Laugier, “La Horde” (2009) oleh Yannick Dahan dan Benjamin Rocher, “Mutants” (2009) oleh David Morlet, “Vertige” (2009) oleh Abel
Ferry, “Captifs” (2010) oleh Yann Gozlan dan “La Meute” (2010) oleh Frank Richard. Ada juga “Calvaire” (2004) dan “Vinyan” (2008) oleh Fabrice Du Welz, dua film oleh sineas Belgia yang juga diasosiasikan dengan tren ini. Kebanyakan dari film-film ini masih menggunakan formulasi yang sama dengan sebelum-sebelumnya: premis basi dan klise-klise usang dalam bentuk home invasion atau vacation gone bad, tapi bagi penikmat horor, setidaknya menghadirkan darah segar setelah dibuat jenuh dengan remake, sequel dari sequel yang tak berkesudahan dan apa yang disebut torture porn tadi di horor Hollywood, atau setan-setan Asia yang sudah tidak lucu lagi dalam invasi horor Jepang dan Thailand. Beberapa film horor Perancis ini tidak cuma menawarkan darah dan ketakutan di balik ceritanya yang bisa dibilang tipikal. Berbeda dengan kebanyakan produksi Hollywood sejaman yang dangkal dan sekedar menawarkan hiburan, film-film ini menggali lebih dalam, berisi dan mencoba membuat penonton berpikir. Sedikit contoh, “Frontière(s)” lahir dari paranoia Xavier Gens akan kaum sayap kanan radikal yang mendekati kekuasaan, dan menjadikan filmnya itu sebagai kampanye sekaligus propaganda menolak lupa. Atau “Martyrs”, dengan medium torture scene yang sangat mengerikan, Pascal Laugier mencoba mengajak berfilosofi tentang transendensi dari
rasa sakit dan penderitaan yang berujung ekstase. Simpelnya, bersama visualisasi gore atau teror fisik yang berlebihan, film-film ini membekaskan ketakutan secara psikis dan menyisakan pertanyaan-pertanyaan kontemplatif tak berujung, lama setelah filmnya selesai ditonton. Meski terlihat semarak, Pascal Laugier menolak film-film ini disebut sebagai katalisator horror revival di Perancis. Bahkan menurutnya itu tidak ada. Film-film horor Perancis yang jumlahnya tidak sebanyak genre lain itu dibuat dengan dana terbatas, dan ironisnya lebih terkenal dan dihargai di luar negeri. Pernyataannya mungkin benar ketika kita melihat “La Horde” dan “Mutants”, dua horor post-apocalyptic minimalis. Berbeda dengan subgenre horor lain semisal slasher yang bisa dibuat tetap bagus meski dengan dana terbatas, film zombie memang membutuhkan dana besar. Kita penonton terlanjur beranggapan bahwa film zombie mesti menampilkan kota-kota besar yang hancur dan ribuan mayat hidup berkeliaran, hal-hal yang tak ada dalam dua film yang memang terbukti tidak terlalu mencolok atau, bisa dibilang, buruk itu. Melihat lebih luas, atau dari luar, Pascal Laugier tidak benar sepenuhnya. Film-film horor Perancis ini, bersama dengan film-film sejenis dari Inggris, Spanyol dan negara-negara Skandinavia, dalam beberapa tahun belakang menunjukkan tren gelombang horor baru di Eropa yang sedang bangkit. Seskeptis apapun dia melihatnya, film-film ini adalah horor gelombang baru yang masif dan menyegarkan. Menyajikan ketakutan yang sudah familiar dengan cara baru dan tetap meneror. Penikmat horor patut senang, sebab belakangan Hollywood juga menemukan lagi cara untuk menakuti penonton. Memang terlalu dini untuk menyebutnya sebagai kebangkitan, tapi film-film seperti “Insidious”, “The Conjuring” atau “The Cabin in the Woods” dari sutradara-sutradara muda setidaknya memberi harapan. New French Extremity mungkin masih akan berlanjut, mungkin juga sudah berakhir. Apapun, ‘gerakan’ ini, sepaham atau tidak, telah memperdengarkan gaungnya yang, langsung atau tidak, menyebarkan pengaruhnya, dan mungkin sebentar lagi menyisakan legasi dari tujuan yang sudah purna: mengajak penikmat film untuk sekali lagi menoleh ke sinema Perancis. Satu lagi dari sekian banyak arus dalam sinema dunia yang membekas.
.
4gambar dipinjam dari musicstack.com
TUCZINE.TUMBLR.COM I 135
MOVIE
F HOR PERAN KETERLALU 4gambar dipinjam dari toutlecine.com
B
erupa-rupa alasan orang menonton film horor: ingin terlihat keren, ingin merasakan sensasi ketegangan dan ketakutan serta euforia kesenangan setelah semua itu berlalu, bermain-main dengan kematian dan kengerian dari jarak yang aman, menilai tingkat ancaman dari refleksi situasi serupa di kehidupan nyata, menyalurkan naluri kekerasan dengan cara legal, atau hanya demi kesenangan semata. Bagi saya sederhana saja, film horor adalah salah satu wahana eskapis paling menyenangkan dari runyamnya kehidupan sebagai pegawai negeri setan. Kalau kawan-kawan kebetulan sedang punya waktu senggang dan ingin mengisinya dengan menonton film horor, berikut saya rekomendasikan beberapa film horor modern dari Perancis. Film-film menghibur yang oleh para ahli digolongkan dalam ‘gerakan’ New French Extremity. Sebenarnya, ‘gerakan’ itu hanya berisi film-film
136 I TUCZINE.TUMBLR.COM
yang keterlaluan dalam menggambarkan dua hal saja: seks dan darah (horor). Di daftar ini saya cuma merekomendasikan film-film horor, karena pak Pimred menolak tulisan saya tentang jenis yang pertama dengan alasan medianya tidak tepat. Katanya, tulisan itu nanti akan dimuat di Tuczina, majalah baru yang sedang dia persiapkan. Jadi sabar dulu ya, Abram. Kembali ke daftar ini, jadi kalau kawan-kawan benar-benar ingin (dan kebetulan belum pernah) menonton film-film berikut, saya sarankan memulai dengan urutan seperti yang disusun di sini. Bukan dari yang terburuk ke yang terbaik, hanya masalah subyektivitas selera saya saja sih. Jadi, dimulai dengan yang lambat dan tidak terlalu menakutkan, kemudian yang sedangsedang, menuju yang cepat, meneror dan menyenangkan. Sekali lagi, ini menurut saya loh ya. Kalau kawan-kawan tidak akur, ya terserah deh. Bagusnya untuk bu Nev, tidak ada film hantu. Mari.
DANS MA PEAU (2002) MARINA DE VAN Sajian pertama, sebuah debut dari sutradara lumayan muda, Marina de Van yang juga berperan sebagai penulis dan leading role di sini. Esther, seorang wanita kelas pekerja yang sepertinya memiliki karir yang cemerlang mengalami kecelakaan kecil di sebuah pesta. Betisnya sobek oleh entah besi tua entah ranting patah. Tidak ada yang luar biasa sampai rasa penasaran akan lukanya tersebut timbul. Selaras dengan terjemahan
8 FILM ROR NCIS UAN OLEH MASBOI
judul bahasa Inggrisnya, “In My Skin”, Esther larut dalam keingintahuan yang berbahaya: ada apa dengan darah, daging dan tulang di balik kulit tipis pucat yang membungkus tubuh kurusnya? Kalau biasanya kita menyaksikan torture scene yang menampilkan victim dan villain yang diperankan dua orang berbeda, di sini tidak. Esther adalah sekaligus kedua peran itu. Atau bisa jadi, Esther adalah satu dari sedikit sekali penderita satu jenis kelainan mental yang belum banyak diketahui: deliberate self-harm. Kelainan mental di mana penderitanya memiliki kecenderungan melukai diri tanpa tujuan bunuh diri, dan menemukan kepuasan dari tindakannya itu. Di sini mungkin jeniusnya de Van, satu bukti lain betapa berbedanya sinema horor Perancis, mengangkat tema yang ‘unik’, jarang dan sedikit berat dalam sajian body horror yang semenjana. Bagi saya, meski dilabeli horor, film ini sama sekali tidak memunculkan rasa
takut. Saya cuma sesekali bergidik, separuh jijik separuh ngeri separuh heran, menyaksikan Esther ‘mengobservasi’ tubuhnya. Film yang konon ceritanya ditulis de Van dari pengalaman pribadinya ini berjalan lambat, seperti biasa dalam gaya art house yang membosankan. Sebosan saya yang menunggu sampai credit roll tanpa menemukan jawaban pasti tentang: mengapa dia melakukan itu? SHEITAN (2006) KIM CHAPIRON Film debut lain dari seorang sutradara muda, paling muda di daftar ini, Kim Chapiron. Saya awalnya skeptis melihat judulnya yang stereotipikal. Transliterasi francophone sebuah kata bahasa Arab yang kita semua sudah tahu artinya. Tapi, stereotip itu ternyata hanya di judul saja. Film ini berawal seperti biasa. Di sebuah klub malam, sekelompok pemudapemudi multi etnis bingung mau liburan natal ke mana. Kemudian muncul wanita cantik bernama Eve menawari mereka liburan ke rumah orang tuanya di desa. Dan, kita semua sudah menebak apa yang akan terjadi di sana. Tunggu dulu, kalau kawankawan beranggapan akan melihat slasher tradisional dengan formula last woman standing, salah. Film ini memiliki semua unsur slasher, tapi tidak benar-benar mengarah ke sana. Bahkan sebenarnya, tidak ada yang dibunuh di film ini, ups. Meski ada karakter-karakter keluarga misterius dan pemuda-pemudi malang, tidak ada batas jelas antara siapa the good guy, siapa the bad guy. Film dari naskah yang ditulis Chapiron bersaudara ini meninggalkan kesimpulan itu, bersama dengan interpretasi rasional tentang apa yang terjadi, kepada penonton. Meski di awal film ada clue dalam sebaris doa “Lord, do not forgive them for they know what they do”, saya tidak pernah benar-benar yakin, apalagi setelah menyaksikan scene makan malam yang diisi diskursus teologi oleh dua orang ateis, dua orang muslim dan dua orang kristen. Film ini tidak mengandalkan gore untuk menahan penontonnya. Momenmomen watdefak yang aneh bin ajaib cenderung absurd dalam tampilan suspense tanggung, komedi gelap dan sedikit erotisme adalah andalannya. Ditambah karakter ‘sheitan’ yang simpatik, ramah dan protektif meski dengan caranya yang aneh, yang diperankan dengan keren oleh aktor
Perancis idola kita semua, Vincent Cassel. Di sini, Cassel juga bertindak selaku coproducer, serta mengajak istrinya kala itu, Monica Bellucci, untuk ikut tampil sekilas, meski sampai akhir film tidak sekalipun saya melihat wajahnya, penasaran terbesar saya mengenai film ini. HAUTE TENSION (2003) ALEXANDRE AJA “Haute Tension” bisa jadi adalah katalisator gelombang baru sinema horor Perancis. Dirilis pada 2003, film ini seperti memicu kemunculan film-film sejenis yang tak kalah brutal dalam beberapa
tahun berikutnya. Marie dan Alex adalah dua kawan karib, mungkin sepasang kekasih sesama jenis. Seperti biasa, di akhir pekan mereka berlibur ke rumah orang tua Alex di desa. Rencananya sih untuk belajar bersama dengan tenang meskipun sepertinya Marie punya niat lebih dari itu. Di sana Marie dikenalkan ke keluarga Alex yang ramah, bapak, ibu dan seorang adiknya. Ini mungkin akhir pekan yang menyenangkan bagi mereka, terutama Marie yang sangat mendamba Alex, sebelum seorang supir truk misterius datang menyatroni rumah, membantai bapak, ibu dan adik Alex, serta menculik Alex. Marie yang sempat bersembunyi dan selamat, bukannya mencari pertolongan, malah memutuskan mengikuti sang pembunuh untuk menyelamatkan temannya. Seperti judulnya, tensi tinggi mengawal film ini sejak kedatangan sang supir truk, sebelum sebuah twist entah brilian entah goblok menampar intelegensi kita. Alih-alih mengakhirinya dengan sederhana seperti layaknya slasher konvensional, Aja bermain imajinasi terlampau jauh. Sebuah plot hole besar yang membuat banyak kritikus menilai buruk film ini. Tapi hey, ini memang film Perancis kan? Meski ada lubang besar dan sangat tipikal, ini tetaplah slasher horror yang memuaskan. Semua elemen yang saya harapkan di film pembantaian ada: banyak darah, pembunuh yang dingin, cara membunuh yang sadis, heroine yang tangguh dan ketegangan tiada henti. Film yang dirilis di Amerika Utara dengan judul “High Tension” ini mengantar karir Aja ke level tinggi. Dia kemudian berangkat ke Hollywood membuat remake film-film horor klasik semisal “The Hills Have Eyes” (2006), “Piranha 3D” (2010) dan “Maniac” (2012), serta bergabung ke klub elit Splat Pack.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 137
MOVIE MARTYRS (2008) PASCAL LAUGIER “Martyrs” mungkin yang paling sulit saya mengerti di daftar ini. Film horor hanya digunakan sebagai medium oleh Pascal Laugier untuk menyampaikan sesuatu yang lebih jauh dari sekedar rasa takut, penderitaan dan ketahanan tubuh manusia. Lucie, seorang gadis kecil dengan tubuh yang babak belur berlari ketakutan dari yang kelihatannya tempat dia disekap dan disiksa. Dia kemudian ditempatkan di sebuah panti asuhan dan berkawan dekat dengan Anna. Maju belasan tahun kemudian, Lucie dewasa yang masih terus dihantui pengalaman masa kecilnya kemudian mencari orang-orang yang dulu menyiksanya. Ini sepertinya akan menjadi revenge thriller yang menyenangkan ketika Lucie menemukan mereka (satu keluarga) di suatu pagi, dan mulai membantai mereka satu persatu tanpa ampun. Tapi bukannya ini terlalu cepat? Anna yang dihubungi Lucie datang membantu membereskan kekacauan yang dibuat kekasih lesbinya itu, dan kemudian harus menanggung akibat yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Sampai di sini semuanya berjalan cepat dengan tensi tinggi dan berdarah-darah, sebelum masuk ke paruh kedua film yang lambat dan repetitif tapi sangat mengganggu. Orang-orang menyebut “Martyrs” adalah satu lagi torture porn semisal “Hostel”. Tapi, film ini meskipun beberapa bagiannya kalah sadis dari film Eli Roth, tidak segampang itu. Di “Hostel” kita bisa langsung tahu niat orang-orang di perkumpulan rahasia itu menyiksa korbankorbannya. Ada apa dengan orang-orang ini? Kenapa Anna harus mengalami siksaan dan penderitaan seperti itu? Pascal Laugier sebenarnya sudah memberikan clue lewat judulnya. Orang-orang ini, sebuah sekte rahasia, menyiksa korbannya bukan untuk kesenangan fisik. Lebih dari itu, siksaan fisik yang menghadirkan rasa sakit tak terperikan dan penderitaan tiada tara bagi korban menurut keyakinan mereka hanyalah ritus menuju transendensi ke alam yang lebih jauh dan ekstase bagi korban menuju status yang mulia: martir. Sulit dipahami bukan? Sama. “Film ini ditolak studio-studio besar Perancis, juga oleh banyak aktris,” keluh Laugier. Satunya-satunya yang menerima film ini hanya Canal+ yang juga menerima 138 I TUCZINE.TUMBLR.COM
hampir semua film di daftar ini. Dengan kontennya yang berat dan brutal, tidak pelak lagi “Martyrs” adalah salah satu film paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Menuai cacian sebanyak pujian di mana-mana. Kata Om saya, pada pemutaraan perdananya di Festival Film Cannes tahun 2008, banyak penonton dikabarkan meninggalkan ruangan, menangis, muntahmuntah dan pingsan. ILS (2006) DAVID MOREAU, XAVIER PALUD Sejak awal, kita sudah diinformasikan bahwa kisah dalam film ini diangkat dari kejadian yang sungguh terjadi di Rumania. Entah benar atau hanya untuk menambah sensasi mencekam, duo David Moreau dan Xavier Palud terbukti sukses manghadirkan thriller yang menegangkan. Clémentine, seorang guru, bersama pasangannya Lucas, seorang penulis, baru saja pindah ke sebuah kota kecil dan tinggal di rumah tua besar tapi terpencil. Dalam usaha mereka hidup lebih baik, Clémentine mengajar di sekolah lokal sementara Lucas mengisi harinya dengan mencoba menulis. Semuanya bahagia sebelum sekelompok orang-orang misterius datang menganggu dan meneror mereka. Sebuah premis home invasion yang sudah sering kita lihat. Film ini adalah yang paling tidak berdarah-darah di daftar ini. Tapi jangan anggap enteng. Meski hampir tanpa darah, tanpa plot dan hanya bercerita satu malam, “Ils” atau “Them”, judul internasionalnya, mampu membuat kita tegang setengah mati. Suspense yang terus naik sejak awal dan terjaga sampai akhir menjadi semakin terasa karena dipepatkan dalam durasi yang singkat, hanya sekira 70-an menit. Acting yang kuat, visualisasi minimal, ditambah sound yang realistis menjaga atmosfir mencekam sepanjang film. Film ini, seperti juga “Eden Lake” (2008), adalah film yang memang dibuat untuk mengaduk-aduk emosi penonton, dan berhasil. Mengangkat tema bullying, oleh anak-anak kepada orang dewasa, dan memancing simpati kepada korban sambil membuat takut, cemas, gemas dan geram. Apalagi setelah melihat ending-nya yang, seperti “Eden Lake” lagi, membuat frustasi. Salah satu ending film paling menyakitkan yang pernah saya lihat. Oh Lord, do not forgive them for they know what they do.
CALVAIRE (2004) FABRICE DU WELZ Satu lagi film debut dari satu lagi sutradara muda, kali ini seorang Belgia bernama Fabrice du Welz. Kenapa masuk di sini? Well, para kritikus memasukkannya. Selain fakta bahwa ini produksi bersama Belgia-Perancis-Luxemburg, film ini memang ikut terpapar akut pengaruh New French Extremity secara langsung. Ah bodo amat, saya ikut saja dah. Marc Stevens adalah seorang lip sync performer atau, istilah lokalnya, biduan orkes tunggal karaoke keliling, kampung ke kampung. Nafkahnya adalah dari menghibur nenek-nenek kesepian, dari panti jompo ke panti jompo. Dalam salah satu perjalanannya itu, menuju show spesial natal yang sudah ditunggu-tunggu para fans-nya, nenek-nenek kesepian tadi, si Marc mengalami nasib sial. Vannya yang sekaligus berfungsi sebagai rumahnya mogok di tengah hutan, di malam yang gelap dan hujan. Syukur bagi Marc, ada penginapan kecil di desa tidak jauh dari situ. Familiar bukan? Sampai di situ saja saya masih merasa familiar, setelahnya adalah teror mental berkepanjangan yang akhirnya menjawab keheranan saya sejak awal: kenapa si calon victim sekaligus hero kita cuma sendiri? Pria pula. Biasanya kan ada sekelompok pemuda-pemudi, dan mesti ada wanita. Dari situ, du Welz kemudian meminjam sedikit elemen dari thriller klasik “Deliverance”, sedikit saja, tapi yang paling mengganggu. Itu adalah orang-orang hillbilly dengan selera bejat mereka. Damn, film ini adalah interpretasi isu isolasi dan homofobia lewat penggambaran yang paling bikin masygul. Ini adalah psychological horror yang sempurna, memasukkan ketakutan yang dibangun secara perlahan lewat tensi yang dinaikkan sedikit demi sedikit ke dalam mental kita. Kengerian yang dirasakan Marc, yang di awal film secara sepintas dicirikan aseksual, ikut menyergap. Atmosfir gelap dan mencekam beriring selaras dengan visualisasi dan scoring minimalis, dialog-dialog awkward, serta scene-scene sakit yang akan susah hilang dari ingatan. Salah satu yang paling sakit dan terus mengganggu adalah scene ‘pig squeal’ yang, bersama sembilan menit dari “Irréversible”, tidak bisa terhapus dari kepala. Ini mungkin yang dimaksud merusak mental secara permanen. Ini adalah jenis film bagus yang
tidak ingin saya tonton lebih dari sekali. Jenis film yang tidak saya rekomendasikan kepada kawan-kawan yang masih waras dan ingin tetap begitu. So, Niko, I dare you! FRONTIÈRE(S) (2007) XAVIER GENS Jika ada film yang memasukkan unsur politik dalam sajian horor berdarahdarah dengan sangat tepat maka itu adalah “Frontière(s)”. “Ide untuk membuat film ini muncul akibat kejadian-kejadian pada tahun 2002, ketika kami di Perancis sedang ada pemilihan presiden. Ada satu partai sayap kanan ekstrim yang maju sampai putaran kedua. Itu adalah hari paling menakutkan dalam hidupku. Saya ingin berbicara tentang ketakutan itu, tentang mimpi burukku,” jelas Xavier Gens mengenai asal-muasal filmnya ini. Momen itu adalah ketika JeanMarie Le Pen, seorang tokoh sayap kanan radikal, konservatif dan holocaust denier maju mencalonkan diri dan mendapat banyak suara. Dan apa yang lebih pas untuk menggambarkan itu semua selain dengan sekelompok pemuda-pemudi keturunan Arab meninggalkan Paris setelah terlibat demonstrasi dan kerusuhan menolak calon presiden sayap kanan dan justru berakhir di sebuah keluarga Nazi yang bengis? Alex, Tom, Farid, Sami dan Yasmine berencana kabur dari Paris dan menyeberang ke Amsterdam. Rencana tidak berjalan semestinya karena Sami tertembak dan terluka. Kelompok ini kemudian membagi diri, Alex dan Yasmine mengantar Sami, yang akhirnya mati juga, ke rumah sakit. Sementara Tom dan Farid jalan duluan dan menunggu di perbatasan, di sebuah motel kecil. There you go, dari situ ceritanya sudah bisa diprediksi. Apa yang terjadi kemudian adalah tipikal slasher yang sudah ada sejak “The Texas Chainsaw Massacre” (1974). Yang sedikit berbeda, keluarga pemilik hotel di sini bukan cuma orang-orang kanibal terisolir di pedalaman, tapi keluarga kanibal dengan doktrin nazisme kuat yang memang mengisolasi diri dari dan membenci orang-orang asing, terutama yang berbeda keyakinan dan ras. Judul film yang berarti perbatasanperbatasan kemudian melebar dari makna fisiknya saja. Dari perbatasan antar negara ke perbatasan antar keyakinan dan ras manusia yang konsekuensinya bisa sangat mengerikan.
“Frontière(s)” is a slasher horror at it’s best. Saya menganggapnya sebagus karya Tobe Hooper puluhan tahun sebelumnya. Meski selalu ada klise-klise lama, tapi itu tertutupi oleh cerita yang tidak mainmain, acting yang kuat, karakter-karakter
yang masuk akal, suspense yang terjaga, scene berdarah-darah yang memuaskan dan ending yang membuat birahi, ditambah scoring dan musik yang keren dari JeanPierre Taieb, yang menjadi salah satu komposer favorit saya setelah menonton film ini.
À L’INTÉRIEUR (2007) ALEXANDRE BUSTILLO, JULIEN MAURY Save the best for the last. Kecuali supernatural horror, elemenelemen semua subgenre horor tumpah di sini: home invasion thriller, slasher, gore-splatter, body horror, psychological horror bahkan ada sedikit post-apocalyptic horror (baca: zombie) yang aneh. “À l’intérieur” atau “Inside” disebut-sebut sebagai ‘crown jewelry of New French Extremity’. Bloody Disgusting memberinya nilai 5 dari 5. Sarah, seorang fotografer, yang sedang hamil tua, masih tertekan dan trauma akibat tabrakan mobil yang merenggut suaminya empat bulan sebelumnya. Pada malam natal, ia memilih menyendiri di rumahnya yang sepi dan tak terlalu besar. Seperti ibu-ibu hamil lain menjelang kelahiran bayi pertama, Sarah melewatkan malam yang lengang itu dengan gelisah. Tapi itu kemudian terdengar tidak terlalu buruk setelah kedatangan seorang perempuan misterius bergaun hitam yang ingin masuk ke rumah dan lebih buruk, ‘masuk’ ke perutnya mengambil jabang bayi dalam uterusnya. Premis sederhana tapi luar biasa mengerikan. Duet sutradara muda Alexandre Bustillo dan Julien Maury dalam debut mereka ini sangat pandai memanfaatkan premis sederhana, setting sempit dan cast minimalis menjadi sebuah tontonan yang memuaskan para penikmat gore fest, lahir dan batin. Ada banyak sekali darah, kematian-kematian yang seru dan scene-scene gory yang hampir tak ada duanya. Plus, mereka menciptakan karakter villain yang tidak biasa dalam wujud perempuan miste-
rius yang ternyata tidak sekedar psikopat maniak, tapi juga memiliki motif yang logis di balik aksinya. Bagusnya, mereka memilih Béatrice Dalle untuk peran itu. Saya tidak akan melupakan orang ini setelah perannya yang hampir sama gilanya sebagai ‘sex machine cannibal’ di “Trouble Every Day”. Sementara heroine kita yang traumatis, rapuh sekaligus tangguh diperankan dengan baik pula oleh Alysson Paradis. Jadilah film ini pertarungan mati-matian dua ibu-ibu memperebutkan dan mempertahankan milik mereka yang paling berharga, dengan segala cara. Hampir tidak ada cela di plot-nya untuk mengatakan film ini tidak sempurna, kecuali satu kejanggalan yang aneh: pak polisi yang kepalanya sudah separuh bolong ditembak semacam shotgun tiba-tiba bangkit dan mengamuk dalam rupa zombie? Saya menganggapnya, duet sutradara kita sedang ingin melucu dan membuat homage untuk Romero. Di luar itu, film ini adalah salah satu film paling berdarah yang masuk akal dan bagus yang pernah saya tonton. Scene-scene-nya yang luar biasa sadis dijamin akan menantang daya tahan sekaligus sangat menyenangkan. Disarankan untuk ditonton oleh ibu-ibu muda yang sedang hamil tua untuk pertama kalinya. ______ Sebenarnya masih ada beberapa lagi yang bagus, tapi delapan ini untuk pengisi waktu senggang sudah cukup. Baru-baru ini saya menonton satu film yang jauh lebih menakutkan dari semua film di sini, dan semua film horor yang pernah saya tonton: “The Act of Killing”. Ketakutan terbesar kita ternyata datang dari dekat sekali, dari hal-hal nyata yang sungguh terjadi, dari orang-orang yang hidup dan berkuasa di republik preman ini. See you in hell.
.
4gambar dipinjam dari filmmisery.com
MUSIC CLINIC
MEMBUAT EFEK GITAR SENDIRI OLEH HERWIN SIREGAR
MEMBUAT EFEK GITAR SENDIRI MEMUNGKINKAN KITA UNTUK MENGATUR KARAKTER SOUND, MENGATUR KUALITAS KOMPONEN, SERTA MEMODIFIKASI AKSESORIS, JUGA ENCLOSURE ATAU BODY. MESKI TERKESAN MUDAH DAN MURAH, KEGIATAN INI MEMBUTUHKAN MINAT, KETEKUNAN DAN PENGETAHUAN YANG MEMADAI.
H
alo teman-teman TUC semua. Setelah membahas tentang set up sound gitar, kini saya akan membahas mengenai membuat efek gitar sendiri. Sebenarnya topik ini bisa cocok, bisa juga tidak buat para gitaris. Bagi yang hobi tweaking sound dan gemar utak-atik, atau betukang kata orang Medan, ini bisa sangat menarik. Atau sebaliknya, hal ini bisa sangat tidak menarik karena panjangnya perjalanan dan usaha untuk sampai ke sana, plus tingkat keberhasilannya yang masih tanda tanya, dan hasilnya yang tidak penting-penting amat. Do it yourself Oke, mari kita lihat sekilas. Sebenarnya kegiatan membuat sendiri secara umum atau do it yourself adalah kegiatan yang cukup populer. Di luar negeri banyak kelompok-kelompok atau komunitas yang antusias di bidang ini, membuat berbagai jenis barang seperti produk rumah tangga, fashion, elektronik dan lain-lain. Selain itu banyak juga produk yang saat ini dijual sebagai komponen siap rakit untuk diolah sendiri menjadi barang siap pakai. Kalau teman-teman jalan-jalan ke toko Ace Hardware misalnya, coba perhatikan ada barangbarang yang dijual sebagai komponen untuk pembuatan barang tertentu. Kegiatan membuat sendiri ini bila ditekuni dengan baik bukan tidak mungkin malah bisa menghasilkan produk baru yang lebih baik dari produk yang ada dan bisa memberikan penghasilan bagi si pembuat. Beberapa contoh antara lain adalah efek gitar buatan K.S. Aji yang terkenal dengan custom-nya yang bagus. Padahal dia adalah seorang arsitek yang awalnya hanya men140 I TUCZINE.TUMBLR.COM
cari tahu mengapa suatu efek bisa menghasilkan sound yang bagus, sampai akhirnya dia memperoleh informasi yang cukup bahwa ada komponen tertentu yang menjadi ‘kunci rahasia’ dari suatu jenis efek. Ada juga Kuassa Amp Simulator yang dibangun oleh beberapa anak muda dari Bandung yang cukup terkenal sebagai software efek simulasi ampli gitar di komputer. Hebatnya lagi, mereka membangun software tersebut dengan belajar sendiri dan mencari referensi sendiri dari berbagai sumber dan forum komunitas, dan akhirnya menjadi besar dan terkenal serta memiliki commercial brand sendiri. Kenapa membuat sendiri? Efek gitar yang saya bicarakan di sini adalah efek gitar analog, yaitu efek pengolah suara yang dibangun dari suatu rangkaian elektronika. Jadi bukan efek digital di mana sinyal suara melewati proses analog to digital dan digital to analog. Kenapa membuat sendiri? Ada beberapa alasan. Kalau untuk kasus kita, membuat efek gitar sendiri memungkinkan untuk antara lain mengatur karakter sound efek, mengatur kualitas komponen, memodifikasi aksesorisnya dan meng-custom enclosure atau body-nya. Dari beberapa forum yang saya baca (terutama dari luar negeri), daya tarik utamanya adalah memodifikasi sound-nya. Efek X misalnya, beberapa gitaris ada yang merasa frekuensinya kurang lebar, gain-nya kurang besar, noise-nya terlalu besar, kurang respon dengan picking dynamic, atau apa lagi. Nah, di sinilah para ‘tukang oprek’ ini bisa bereksperimen mengatasi kekurangan tersebut, atau malah memodifikasi besarbesaran efek tersebut sehingga menjadi
efek baru yang sama sekali berbeda. Kalau teman-teman perhatikan, kelas efek gitar yang dijual di pasaran saat ini, khususnya efek gitar analog, bisa dibagi dalam efek biasa dan efek butik. Efek gitar biasa adalah yang dibuat massal seperti merek Boss, Ibanez, MXR, Behringer dan lain-lain. Kalau efek butik namanya tentu asing buat kita karena produknya biasanya tidak banyak di pasaran. Efek butik harganya bisa beberapa kali lipat dari harga efek biasa, dan tentunya diikuti juga dengan kualitas sound-nya. Dari beberapa forum yang saya baca, perbedaan kualitas tersebut disebabkan oleh perbedaan material atau komponen (jeroan) yang digunakan. Komponen dengan kualitas yang berbeda memang bisa memiliki harga yang jauh berbeda. Contohnya adalah resistor/tahanan jenis karbon dengan jenis film, dan efek-efek gitar seperti Boss menggunakan komponen karbon yang lebih murah. Contoh lain adalah IC (Integrated Circuit) dari tipe yang sama bisa memiliki kualitas yang berbeda jika berasal dari manufaktur yang berbeda. Dari sini saja, untuk alasan kualitas sound, kita bisa membangun efek yang lebih baik dari Boss atau Ibanez. Lebih murah, lebih asyik Banyak hal menarik yang bisa kita dapatkan dari mengoprek efek gitar ini, terutama bagi yang hobi utak-atik. Saya pernah membuat efek gitar MXR Dist+. Untuk membangun rangkaiannya dengan komponen biasa ternyata ongkosnya tidak lebih dari Rp. 20.000, padahal di MG Music harga utuhnya adalah sekitar Rp. 1 juta. Coba teman-teman bayangkan kalau rangkaian ini hanya dimasukkan ke kaleng
susu bekas punya adik kecil atau kotak kaleng bekas cerutu kakek, plus jek on/off dan lain-lain paling cuma habis Rp. 100.000. Selain itu, kalau kreatif kita bisa memasukkan beberapa efek ke satu kotak atau menambah switch untuk kombinasi sound. Menurut saya, inilah hal yang paling menarik dari membuat efek gitar secara DIY ini. Saat ini banyak sekali sumbersumber informasi yang bisa kita dapat dari internet. Saya sendiri banyak dapat informasi dari forum-forum komunitas, dari web khusus efek gitar DIY dan youtube. Selain itu, saya juga membeli buku elektronika di toko buku Gramedia atau di kios buku loak karena sudah tidak banyak buku praktis elektronika sekarang (lebih banyak buku software dan komputer). Beberapa efek gitar yang pernah saya buat dan alhamdulillah berhasil antara lain cloning-an dari MXR Dist+, Ibanez Tube Screamer TS9, Marshall Gov’nor, Pro Co RAT, Crunch Box, Fuzz, OCD Fulltone, DOD 250 dan beberapa efek simpel lainnya (semuanya adalah efek gitar tipe distorsi/overdrive). Komponennya kebanyakan saya beli di Glodok (terima kasih buat Trans Jakarta yang punya halte di dekatnya). Sementara sebagian lain yang tidak ada di Glodok seperti switch on/off heavy duty khusus efek gitar dan beberapa IC, transistor dan casing (kotak efek) saya beli di toko online. Oke, membuat efek sendiri itu memang asyik, tapi perlu minat, ketekunan dan pembelajaran yang cukup banyak. Kita minimal harus tahu teori elektronika secara umum, plus keterampilan memotong kabel, menyolder, membuat PCB, mengebor dan mengecor (oh ini tidak, maaf). Jadi buat teman-teman gitaris TUC yang ingin mencari hal baru dalam hidupnya yang sudah sangat membosankan karena keseringan mengurus pajak, bolehlah mencoba ini. Tapi jangan lupa, gitaris harus tetap jadi gitaris. Jangan gara-gara keasyikan utak-atik efek, keahlian gitar menurun, malah keahlian menyolder meningkat. Kalau ini penurunan namanya coy! Selamat mencoba. Rock on!
.
YANG DIBUAT SENDIRI
3Rangkaian
telah selesai dirakit, telah dites dan berfungsi, tinggal dimasukkan ke casing.
4Generasi
pertama. Masih pakai casing kotak plastik kue, masih pakai switch biasa, belum ada lampu indikator on/off.
3Next gen.
Sudah pakai switch heavy duty (standar efek gitar), sudah ada lampu on/off, casing masih plastik (efek standar pakai besi).
GALERI
PEREMPUAN PEREMPUAN SENDU GAMBAR DAN LUKISAN OLEH FEBY ANGGIANY “Saya lebih bisa menggambar perempuan daripada laki-laki. Makanya sekarang masih terus belajar. Kalau nuansa sendu, banyak yang menilai, itu salah satu ciri khas gambar-gambar saya. Perempuan-perempuan sendu. Jarang ceria.” Karya-karya lainnya bisa dilihat di meowlfunction.tumblr.com
GALERI GALERI
KESAL SANG PENYAIR MUDA SAJAK-SAJAK OLEH RUSNANI ANWAR
AIR, UDARA, APA KAMI PUNYA? Siang itu panas memanggang Kampungku lengang Udara gerah Lenguh mendesah Gerombol kambing kurus Merumput di lapangan tak terurus Sela menyela, gerutu wanita paruh baya Menatap langit kian biru menganga Panas Tercenung, anak-anak legam berpeluh campur daki Terancam tak mandi lagi hari ini Pun tetap dikejarnya layangan, berdebu, bertelanjang kaki Drum-drum kaleng kosong PDAM mendengus tiap kali dirongrong Mengapa air kami diberangus Dijawab masa tenggang telah hangus Peluh menetes, kemarau masih singgah Drum drum kaleng kosong, menelan ludah Kapan hujan datang? Kami lelah
4gambar dipinjam dari matthewboydart.com
KAMPUNGKU TADI SIANG Bocah itu mengerling pejam pada rentengan susu bubuk sachet di warung kumuh tepian kota Sesekali ditundukkannya kepala ke tanah, menghindari pelotot tak bersahabat milik cil Wati kala pandangan mereka beradu Si bocah tak bergeming, matanya tak lepas pada rentengan susu Rasa vanili, suklat dan kacang hijau, yang terbaru Cil Wati melengus, digedornya triplek penyangga warung Berlari si bocah, terseok meningkahi gerontang botol bekas dalam karung Siang kian panjang, terik memanggang. Cil Wati mengipas sesekali, sambil menguap panjang Terkantuk kantuk ia kala menyambut sang suami pulang Suami buruh sopir truk kernel yang nampaknya tak lagi membawa uang Terlihat dari kikik panjang dan panci yang ditendang Bocah berkarung itu datang lagi Kali ini nekat, dicomotnya rentengan sachet susu, rasa vanili Cil Wati dan suaminya masih beradu Tak ada yang tahu Bocah berkarung melangkah ragu Menit berlalu, bocah berkarung kembali Bergumam-gumam “Bapak tak perbolehkanku mencuri” Dikembalikannya rentengan susu rasa vanili ke warung cil Wati Sayang, sayang, duhai bocah berkarung Cil Wati memergokinya, memekik jerit, tampak berang “maling, maling, maling” Pasi sang bocah, tergagap mencari tempat berpaling Terlambat, suami cil Wati keburu menerjangnya dengan botol beling Pecah, berdarah darah pangkal kaki si bocah berkarung Jerit cil Wati mengundang bangun warga sekampung Si bocah tanggung Tergagap megap mencari ampun Balok kayu, laras besi hingga bata hujaninya siang itu Darah mengucur, suaranya menggema lebur “Adik lapar, ibu mati melahirkannya, ayah.. tak punya uang..” _______________ Literasi lokal Cil : Sebutan untuk tante dalam bahasa Banjar Suklat : Cokelat, terafeksi dalam bahasa lokal Kernel : Biji buah sawit
KEPADA YANG HILANG, Dedy Hamdun HILANG Mei 1997 Ismail HILANG Mei 1997 Hermawan Hendrawan HILANG Maret 1998 Hendra Hambali HILANG Mei 1998 M. Yusuf HILANG Mei 1997 Nova Al Katiri HILANG Mei 1997 Petrus Bima Anugrah HILANG Maret 1998 Sony HILANG April 1997 Suyat HILANG Februari 1998 Ucok Munandar Siahaan HILANG Mei 1998 Yadin Muhidin HILANG Mei 1998 Yani Afri HILANG April 1997 Wiji Thukul HILANG Mei 1998 Kami menunggumu pulang
DERAP KAKI
Sore itu kudengar derap kaki Menjawab dentum dan tatapan ngeri Setiap mata yang menatap nanar Kepada yang seolah dibenarkan untuk bertingkah onar Sore itu kudengar derap kaki Menyeruak masuk dari serambi Ayah mendesakku ke dalam lemari Bersembunyi Aku mendengar popor Aku mendengar jerit Aku mendengar sunyi Sore itu kudengar derap kaki Bersama senja mereka pergi Lalap api kian meninggi
KESAL SANG PENYAIR MUDA Sore itu aku bertandang ke rumah dokter. Pohon akasia menyala di tepi teduh gedung praktiknya. Dokter ini lulusan fakultas psikologi. Entah dokter entah psikolog. Dengan segala keterprofesionalisannya ia bertanya. Mengenai apa yang kukeluhkan akhir-akhir ini. Tergelitik rasanya untuk menunjukkan slip gaji yang angkanya mengecil. Atau menunjukkan segunung kewajiban yang masih harus digenapi. Dokter berkacamata kotak itu lantas menyilakanku berbaring di kursi malas di sudut ruangannya. Aku mulai mengeluh, kubilang aku tidak lagi bisa menulis. “Kenapa Anda merasa demikian?” kejarnya. “Saya adalah penulis sajak penuh penderitaan. Saya menulis apa yang rakyat kecil kebanyakan derita,” termangu-mangu aku menjawab seraya tak bisa lepaskan pandang pada televisi portable di sisi ruang. Ia tersenyum. Kemudian mencoba menebak-nebak tulisan seperti apa yang kuhasilkan. Lantas, entah mengapa, ia menanyakan latar belakang ekonomiku. Ya sudahlah, toh memang pekerjaannya menjajah wilayah pribadi pasien. Kujawab ayahku dulu jendral, ibuku dosen. Keduanya kini hidup bahagia dengan uang pensiun masing-masing. Sedari kecil aku hidup berkecukupan. Namun kemiskinan tetanggaku membuatku tersentuh. Simpati. Aku yang terdorong menjadi penulis, berhenti kuliah, berangkat ke kota asing, mencoba menggali sisi miris rakyat kecil. “Banyak yang memuji tulisan saya. Mereka bilang saya mampu menangkap sisi muram negeri ini. Anehnya tak satupun penerbit menarik saya untuk menjadi penulis mereka, “ “Lantas bagaimana caramu membuat orang lain tahu tentang tulisanmu?” sang dokter seakan memberi pertanyaan retoris. Aku menjelaskan mengenai upayaku bergabung dengan komunitas gratisan untuk bisa menulis dengan upah gratis tentu saja. Dan betapa lelahnya aku memenuhi hidup dengan menjadi penyiar lepas di radio. Dan betapa tulisan itu lantas dibaca banyak orang. Mungkin efek gratisan. “Sekarang saya kesulitan menulis lagi, Dok. Redaktur majalah gratisan terus mencecar tulisan saya yang tak lagi mengiba-iba seperti dulu.” Lalu kujelaskan bahwa sekarang tulisanku penuh kemarahan. Protes bahkan mulai mencerca kemiskinan. Mencerca apa yang menjadi ladang inspirasiku.
4gambar dipinjam dari aphvan.wordpress.com
“Marah?” tanya dokter seraya menaikkan sebelah alisnya. “Ya, Dok. Saya merasa marah pada para miskin yang hanya bisa mengeluh dan mengiba atas nasib mereka. Saya merasa jengkel pada pengemis yang selalu merasa iri pada nasib bermobil yang tiap hari ia ketuk jendelanya,” ungkapku berapi. Aku juga menjelaskan betapa sebalnya aku pada tangisan bayi mendamba susu, loper putus sekolah dan pengemis kereta api. “Ah. Aku tau..” dokter itu lantas mengambil gelas berisi air putih, menjulurkannya padaku. “Anda, dalam hati seakan berontak dan berteriak. ‘Aku juga menderita, aku juga kesulitan. Sulitkah bagi kalian untuk mengerti dan setidaknya bersyukur aku sudah menyuarakan sakit kalian?“ lanjutnya. Hebat, tak percuma aku habiskan tujuh kali berganti angkutan kota untuk mendatanginya. “Saya hanya merasa. Tidak lagi mampu mengerti perasaan mereka. Apa lantaran saya sudah menjadi bagian dari mereka?” Dokter kembali berdiri, mempersilakan saya menuju pintu keluar. “Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan. Anda telah menjadi manusia sepenuhnya.” RUSNANI ANWAR menulis sajak sejak di sekolah dasar. Kehidupan sehari-hari Sampit adalah latarnya. Untuk membaca sajak-sajak lainnya silakan berkunjung ke rusnanianwar.blogspot.com
MEET THE TAX MAN GALERI
TAXTRIP OLEH MARAHA SUFITRA
MARAHA SUFITRA senang menggambar sedari kecil. Menggambar apa saja yang ada di sekitarnnya ke dalam comicstrip yang mudah-mudahan akan menjadi komik panjang pertamanya. Taxtrip lainnya bisa dilihat di marahasufitra.blogspot.com
FISKUS METROSEKSUAL
Pegawai Ditjen Pajak berjumlah lebih dari 30.666 orang. Sebanyak 73,6 % di antaranya adalah pria. Lebih dari setengahnya berada di usia produktif: 20-36 tahun. Lebih dari setengah yang produktif itu merupakan pria-pria urban mandiri dengan gaya hidup kelas menengah perkotaan yang peduli pada penampilan. Setidaknya bisa memberi kesan pertama yang kuat kepada wajib pajak, baik yang bukan atau merupakan lawan jenis. Tentu saja, anak-anak TUC yang berjumlah 66,6 orang, atau kurang lebih 0,26% dari populasi seluruh pegawai tidak termasuk dalam kelompok ini: lha wong dekil semua, kecuali Niko, dia pakai behel.
KEPALA KANTOR
Kepala kantor adalah orang yang paling berpengaruh di kantor pelayanan pajak. Dari 166 kantor pelayanan di seluruh Indonesia, 86,6% dikepalai oleh pria, dengan rentang usia 46-56 tahun. Ciri khas paling generik dari pria-pria ini adalah kantung mata biasanya lebih tebal. Selain karena usia, juga karena memikirkan penerimaan yang semakin tidak bisa ditebak. Belum lagi kalau ada anak buah tidak masuk kerja 6 hari berturut-turut tanpa kabar berita, sementara yang di atas terus menanyakan extra effort yang masih di angka 6%. Semangat Pak!
FISCA SARI
Pegawai Ditjen Pajak berjumlah lebih dari 30.666 orang. Sebanyak 27,6% di antaranya adalah wanita. Kurang lebih seperempatnya berada di usia mekar: 20-26 tahun. Hampir setengahnya masih single. Mungkin karena sudah bisa mandiri, jadi sangat selektif dalam memilih pasangan hidup. Hampir setengah dari yang single tadi judesnya minta ampun, terutama kepada saya.
CATATAN: Di Inggris, Amerika Serikat dan Papua Nugini, pegawai pajak disebut taxman. Di dekat Australia ada Tazmania. Di Indonesia, sebutan keren pegawai pajak untuk dirinya adalah fiskus. Fiskus wanita biasa disebut fisca, atau panjangnya fisca sari. Pegawai pria lebih umum disebut fiskus saja, atau fiskus metroseksual untuk kelompok yang seperti digambarkan tadi, atau fiskus heteroseksual untuk sebagian kecil lainnya. Sementara, masyarakat Indonesia punya sebutan lebih akrab untuk pegawai pajak: gayus. Data, angka dan statistik yang digunakan, sejumlah 96,71%-nya adalah buah imajinasi semata, sisanya adalah hasil pengamatan selama 9 tahun bekerja sebagai pegawai negeri setan. Dilarang tersinggung, tersungging boleh. Sekedar hiburan ringan dari ganasnya Riki.
WTF
NYANYIKAN LAGU PERANG LAGU-LAGU TENTANG PERANG DARI KRIMEA HINGGA IRAK OLEH RADEN ANDRIANA Tidak, saya tidak akan bicara tentang salah satu lagu Koil di sini. Selain penggemar musik, saya juga adalah penggemar sejarah dan seorang military enthusiast. Dari hasil ngobrol-ngobrol, chat dan browsing di internet ternyata tidak sedikit lagu-lagu rock bertemakan militer, perang atau pertempuran bersejarah. Berikut ini adalah beberapa di antaranya. Karena keterbatasan halaman, cukup 25 lagu saja ya.
4gambar dipinjam dari probell.com
“The Trooper” - Iron Maiden “The Trooper” adalah single yang dirilis pada tanggal 20 Juni 1983 dan terdapat dalam album kedua, “Piece of Mind”. Lagu ini terinspirasi dari peristiwa Charge of the Light Brigade dalam Battle of Balaclava yang merupakan salah satu pertempuran dalam Crimean War yang berlangsung dari tahun 1853 sampai dengan tahun 1856. Perang itu terjadi antara Kerajaan Rusia melawan koalisi Kerajaan Perancis, Inggris, Ottoman, Turki dan Sardinia. Battle of Balaclava terjadi pada tanggal 25 Oktober 1854 ketika pasukan koalisi mencoba untuk merebut benteng pasukan Rusia di Sebastovol yang merupakan pangkalan Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam. Dalam pertempuran tersebut terjadi peristiwa Charge of the Light Brigade, di mana pasukan kavaleri Inggris yang dipimpin oleh Lord Cardigan menyerbu kubu artileri pasukan Rusia. “Aces High” - Iron Maiden Masih dari Iron Maiden, “Aces High” adalah salah satu single dari album “Powerslave” yang dirilis pada tahun 1984. Lagu ini menceritakan pertempuran antara Angkatan Udara Inggris melawan Angkatan Udara Jerman dalam Battle of Britain pada 1940. Battle of Britain adalah salah satu pertempuran udara terbesar dalam Perang Dunia II. Berlangsung dari Juli sampai dengan Oktober 1940, Angkatan Udara Jerman melancarkan pengeboman besar-besaran untuk melumpuhkan Inggris, namun menghadapi perlawanan hebat dari Angkatan
Udara Inggris. Battle of Britain berakhir dengan kegagalan Angkatan Udara Jerman yang memaksa Hitler membatalkan rencana untuk melakukan serbuan pasukan darat ke Inggris.
ternyata pasukan Jerman masih mampu bertahan dan Perang Dunia I pun masih berlangsung sampai dengan tahun 1918. Lebih dari 450.000 orang tewas dalam Battle of Paschendaele.
“2 Minutes to Midnight” - Iron Maiden Lagi-lagi dari Iron Maiden, dan juga masih dari album “Poweslave”. “2 Minutes to Midnight” mengacu pada Doomdsday Clock, sebuah jam simbolis yang digunakan oleh Bulletin of the Atomic Scientist dari University of Chicago. Buletin ini memuat berita tentang masalah keamanan global dan politik, terutama yang berkaitan dengan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal. Doomsday Clock ini sendiri merupakan simbol akhir dunia karena senjata nuklir dan senjata pemusnah massal. Pada September 1953 jam tersebut menunjukkan waktu 23.58, waktu yang paling dekat dengan tengah malam. Hal tersebut terjadi ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet secara hampir bersamaan melakukan uji coba senjata nuklir.
“One” - Metallica “One” terdapat dalam album keempat, “… And Justice For All” yang dirilis pada 1989. Lirik lagu ini berdasarkan novel “Johnny Got His Gun” karya Dalton Trumbo yang diterbitkan pada 1939. Novel “Johnny Got His Gun” menceritakan kisah Joe Bonham, seorang tentara muda yang terluka karena tembakan artileri dalam Perang Dunia I. Karena tembakan artileri tersebut Bonham tidak hanya kehilangan kedua tangan dan kaki, mukanya juga ikut hancur sehingga ia kehilangan mata, hidung, telinga, lidah serta giginya. Akibatnya ia bagaikan menjadi tawanan dalam tubuhnya sendiri.
“Paschendale” - Iron Maiden “Paschendale” adalah salah satu lagu dalam “Dance of Death”, album ketiga belas Iron Maiden yang dirilis pada 2003. Lagu ini menceritakan Battle of Passchendaele, salah satu pertempuran dahsyat dalam Perang Dunia I. Battle of Paschendaele terjadi pada 1917, dari 31 Juli sampai dengan 10 November. Pertempuran ini merupakan serangan besar-besaran pasukan Sekutu (Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Kanada, Afrika Selatan dan Belgia) terhadap posisi pasukan Jerman di perbatasan Belanda dan Belgia. Walaupun beberapa kota di Belgia akhirnya berhasil dikuasai pasukan Sekutu, namun
“The Ballad of Ira Hayes” - Johnny Cash “The Ballad of Ira Hayes” ditulis oleh Peter La Farge (1931-1965), seorang musisi folk terkenal yang pernah bekerja sama dengan musisi-musisi legendaris, Johnny Cash dan Bob Dylan. Lagu ini terdapat dalam album Johnny Cash berjudul “Bitters Tears: Ballads of the American Indian” yang dirilis pada 1964, dan juga dalam album “Dylan” dari Bob Dylan yang dirilis pada 1973. Lagu ini menceritakan Ira Hayes, seorang warga Indian Amerika yang bergabung dengan Korps Marinir AS dan bertempur melawan Jepang dalam Perang Dunia II. Ira Hayes menjadi terkenal karena ia merupakan salah satu dari enam personil militer AS yang fotonya saat mengibarkan bendera AS di Gunung Suribachi dalam Battle of Iwo Jima pada 1945 diabadikan oleh fotografer Joe Rosenthal. Foto ‘raising the flag’ ini menjadi salah satu foto paling terkenal dari Perang Dunia II, dan menggambarkan semangat tempur Korps Marinir AS. Kisah ini dapat dilihat dalam film “Flags of Our Fathers” yang dirilis pada 2006. Ira Hayes sempat mendapat sambutan sebagai pahlawan perang, namun ia kesulitan beradaptasi dengan kehidupan sipil setelah perang dan menderita stres. Ia terjebak dalam kecanduan minuman keras dan meninggal dunia pada 1955 dalam usia 32 tahun karena keracunan alkohol.4
malang dan ketika kembali ke AS hidupnya menderita. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menjadi tunawisma dan bahkan kemudian bunuh diri. Sebetulnya saat ini pun banyak veteran Perang Irak dan Afghanistan yang bernasib sama. “Fortunate Son” - Creedance Clearwater Revival (CCR) “Fortunate Son” adalah single dari album “Down on the Corner” yang dirilis pada tahun 1969. Merupakan salah satu lagu rock ‘n roll klasik yang sering muncul dalam beberapa film seperti “Forrest Gump” dan “Live Free or Die Hard” (alias “Die Hard 4”). Lagu ini merupakan kritik terhadap wajib militer AS dalam Perang Vietnam. Dalam Perang Vietnam, sebagian besar personil militer AS bukan merupakan tentara reguler, melainkan mereka yang terkena wajib militer. Pada kenyataannya, tidak semua warga negara AS yang memenuhi syarat, terkena wajib militer, terutama mereka yang berasal dari keluarga kaya atau memiliki hubungan dengan pihak yang berkuasa. Walaupun mereka kemudian juga terkena, namun biasanya tidak dikirim ke medan perang, seperti yang dialami oleh George W. Bush dan Dwight Eisenhower.
4gambar dipinjam dari photosofwar.net
“Sunday Bloody Sunday” - U2 “Sunday Bloody Sunday” adalah single U2 dari album “War” yang dirilis pada 1983. Lagu ini merupakan salah satu lagu U2 yang paling terkenal dan menceritakan peristiwa Bloody Sunday yang terjadi pada 30 Januari 1972 di kota Derry, Irlandia Utara. Pada tanggal 30 Januari 1972 terjadi unjuk rasa masyarakat Katolik di kota Derry, Irlandia Utara. Unjuk rasa yang semula direncanakan berlangsung damai tersebut ternyata dihadapi oleh pemerintah Inggris dengan pasukan lintas udara dan kendaraan lapis baja. Sebanyak 26 orang pengunjuk rasa menjadi korban dalam peristiwa tersebut, 13 orang di antaranya tewas ditembak oleh tentara Inggris. “Zombie” - The Cranberries Sama seperti U2, The Cranberries juga berasal dari Irlandia. Konflik selama bertahun-tahun antara masyarakat Katolik dan Protestan yang melibatkan pemerintah Inggris telah menjadi teror dan konflik berdarah yang bisa dikatakan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Irlandia. Konflik tersebut juga telah melahirkan kelompok bersenjata Provisional Republican Army atau yang lebih dikenal sebagai IRA. “Zombie” adalah single dari album “No Need to Argue” yang dirilis pada 1994. Lagu ini ditulis oleh The Cranberries 156 I TUCZINE.TUMBLR.COM
pada 1993 sebagai protes terhadap konflik berdarah di Irlandia, terutama setelah peristiwa pengeboman IRA di kota Warrington pada tanggal 26 Februari 1993. Peristiwa tersebut menewaskan dua orang anak, Jonathan Ball (3 tahun) dan Tim Parry (12 tahun). Selain dua orang anak yang tewas, 56 orang lainnya juga mengalami luka-luka. “Born In the USA” - Bruce Springsteen Lagu “Born In the USA” terdapat di album ketujuh Bruce Springsteen berjudul sama, dan dirilis pada 1984. Lagu ini sering diartikan sebagai wujud kebanggaan warga negara Amerika Serikat, dan digunakan sebagai slogan kampanye Ronald Reagan dalam kampanye pemilihan presiden pada 1984. Padahal Springsteen sendiri tidak mendukung Reagan yang berasal dari Partai Republik, karena dia adalah seorang liberal dan lebih mendukung Partai Demokrat. “Born In the USA” sebetulnya merupakan kritikan pedas terhadap nasib veteran Perang Vietnam. Dalam lagu tersebut diceritakan bagaimana nasib seorang veteran Perang Vietnam yang merupakan wajib militer dan harus kehilangan temantemannya dalam perang. Ketika kembali ke AS ternyata hidupnya terlunta-lunta dan akhirnya menjadi tunawisma. Pada tahun ‘80-an memang banyak veteran Perang Vietnam yang bernasib
“Buffalo Soldier” - Bob Marley “Buffalo Soldier” adalah salah satu lagu dari legenda musik reggae, Bob Marley. Lagu ini sebetulnya telah direkam oleh Marley pada 1980, namun baru dirilis melalui album “Confrontation” pada 1983, dua tahun setelah kematian Bob Marley. Bob Marley menciptakan lagu ini terinspirasi dari kisah Buffalo Soldier, yang merupakan sebutan bagi resimen kavaleri Angkatan Darat AS yang seluruhnya terdiri dari personil kulit hitam. Resimen kavaleri kulit hitam ini ikut bertempur dalam Indian War, perang AS dengan Meksiko, perang AS dengan Spanyol, dan juga operasi militer AS di Filipina. Sampai dengan tahun berakhirnya Perang Dunia II, militer AS masih menganut kebijakan rasial, di mana personil militer kulit hitam tidak digabungkan dengan personil kulit putih. Kalaupun ada personil kulit putih di unit-unit pasukan kulit hitam, itu hanya merupakan para perwira saja. Kebijakan rasial ini baru dihapus pada saat Perang Korea pada 1951. “Primo Victoria” - Sabaton/Van Canto Sabaton adalah band metal dari Swedia. Lagu-lagu Sabaton banyak yang bertema militer dan perang. Salah satunya adalah “Primo Victoria”, yang diambil dari album kedua berjudul sama dan dirilis pada 2005. Pada 2011, lagu ini kemudian dibawakan ulang oleh Van Canto, band acapella metal asal Jerman dalam album “Break the Silence”.
“Primo Victoria” menceritakan Operation Overlord, pendaratan pasukan Sekutu di Normandia pada tanggal 6 Juni 1944. Operation Overlord bisa dikatakan merupakan operasi pendaratan dan penerjunan pasukan terbesar dalam sejarah pertempuran modern serta merupakan awal dari kekalahan pasukan Jerman dalam Perang Dunia II di front Eropa Barat “Screaming Eagles” - Sabaton Sebetulnya hampir semua lagu-lagu Sabaton bertema militer dan perang, tapi cukup beberapa lagu saja yang dibahas di sini. “Screaming Eagles” merupakan lagu dari “Coat of Arms”, album keenam yang dirilis pada 2010. Screaming Eagles adalah julukan bagi 101st Airborne Division, salah satu divisi pasukan lintas udara AS. Lagu ini secara khusus menceritakan 101st Airborne Division dalam pertempuran di akhir tahun 1944, yaitu Battle of the Bulge. Dalam pertempuran tersebut 101st Airborne Division terkepung di kota Bastogne dan bertahan dari serbuan pasukan Jerman. Jika ingin mengetahui bagaimana 101st Airborne Division dalam Perang Dunia II, coba deh tonton miniseri “Band of Brothers”. “M.I.A.” - Avenged Sevenfold “M.I.A.” adalah salah satu lagu yang terdapat dalam album “City of Evil” yang dirilis pada tahun 2005. M.I.A. adalah singkatan dari Missing In Action alias hilang dalam tugas (bukan judul filmnya Chuck Norris di tahun ‘80-an). Kriteria missing in action sendiri adalah mereka yang dilaporkan hilang dalam tugas militer, baik itu disebabkan desersi, menjadi tawanan perang atau tewas. Tawanan perang di sini adalah mereka yang tidak kembali/dibebaskan dari kamp tawanan dan mereka yang tewas jasadnya tidak bisa diindentifikasi atau kuburannya tidak diketahui. Masalah M.I.A. masih menjadi salah satu perhatian militer AS. Data militer AS memperlihatkan setidaknya 73 ribu personil mereka masih berstatus M.I.A. dalam Perang Dunia II. Angka tersebut masih ditambah sekitar 7 ribu dalam Perang Korea, sekitar 2.200 dalam Perang Vietnam, dan 126 orang selama Perang Dingin.
Eric Waters semula bertugas sebagai sopir ambulans dalam Battle of Britain, namun kemudian ia bergabung dengan pasukan infantri dan bertempur melawan pasukan Jerman di Italia. Pada 1944, pasukan Sekutu melancarkan Operation Shingle, pendaratan pasukan Sekutu di Italia yang kemudian dikenal sebagai Battle of Anzio. Dalam pertempuran tersebut Eric hilang dalam tugas dan kemudian dinyatakan tewas. Saat ayahnya tewas, Roger Waters baru berumur lima bulan. “Uprising” - Sabaton “Uprising” adalah salah satu lagu Sabaton dari album “Coat of Arms” yang dirilis pada 2010. Lagu ini menceritakan pertempuran Warsaw Uprising yang terjadi pada bulan Agustus sampai Oktober 1944. Warsawa adalah ibukota Polandia dan seperti yang sudah diketahui bahwa Perang Dunia II berawal ketika Jerman melancarkan invasi ke Polandia pada bulan September 1939. Walaupun berada di bawah kekuasaan Jerman, Polandia tetap melakukan perlawanan dengan membentuk underground state, lengkap dengan pemerintahan dan kekuatan militer walaupun dengan persenjataan seadanya. Menyusul pendaratan pasukan Sekutu di Normandia pada Juni 1944 dan serbuan pasukan Uni Soviet yang mulai bergerak ke arah Jerman, pihak perlawanan Polandia melancarkan serangan besar-besaran terhadap pasukan Jerman. Walaupun dengan persenjataan seadanya, mereka mampu mengejutkan pasukan Jerman pada masa-masa awal pertempuran dan berhasil
menguasai beberapa kota di Polandia. Menghadapi perlawanan Polandia tersebut Hitler kemudian mengerahkan pasukan SS, lengkap dengan kendaraan lapis baja dan pesawat tempur sehingga akhirnya posisi pasukan perlawanan Polandia terdesak, walaupun mereka masih mampu bertahan. Pada saat yang bersamaan pasukan Uni Soviet mencapai perbatasan Polandia, namun secara kontroversial mereka diperintahkan berhenti oleh Stalin dan tidak diizinkan untuk membantu perlawanan Polandia. Hal ini tidak lepas dari ambisi Stalin untuk menjadikan Polandia sebagai salah satu negara komunis (yang kemudian terjadi setelah Perang Dunia II berakhir) dan ia tidak mau pasukan perlawanan Polandia yang pro negara-negara Barat itu meraih kemenangan melawan pasukan Jerman. Inggris sebetulnya membantu perlawanan Polandia tersebut dengan mengirim bantuan logistik lewat udara namun kemudian terhenti karena Uni Soviet tidak mengizinkan pesawat-pesawat Sekutu dari Eropa Barat beroperasi di Eropa Timur. Terjebak oleh kepungan pasukan Jerman dan kekurangan logistik, akhirnya perlawanan Polandia terhenti secara tragis pada Oktober 1944. Hitler kemudian memerintahkan penghancuran Warsawa secara besar-besaran yang mengakibatkan 85% bangunan di kota tersebut hancur total. Ironisnya, para veteran pertempuran tersebut kemudian justru ditahan oleh pemerintahan komunis Polandia setelah Perang Dunia II berakhir dengan tuduhan bekerja sama dengan Jerman.4 4gambar dipinjam dari en.wikipedia.org
“When the Tigers Broke Free” - Pink Floyd “When the Tigers Broke Free” adalah salah satu lagu Pink Floyd yang terdapat dalam album “Pink Floyd: the Wall (Music From the Film)” yang dirilis pada 1982. Lagu ini menceritakan kematian Eric Fletcher Waters dalam Perang Dunia II. Eric adalah ayah dari Roger Waters, pemain bass sekaligus vokalis Pink Floyd. TUCZINE.TUMBLR.COM I 157
“War Pigs” - Black Sabbath “War Pigs” terdapat dalam album “Paranoid”, album kedua Black Sabbath yang dirilis pada 1970. Lagu ini juga sempat di-recycle oleh Faith No More dalam album “The Real Thing” pada 1989. Lirik “War Pigs” ditulis oleh pemain bass Geezer Betler sebagai protes terhadap Perang Vietnam, di mana ia menyatakan “totally against the Vietnam War, about how these rich politicians and rich people start all the wars for their benefit and get all the poor people to die for them”. Sementara vokalis Ozzy Osbourne menyatakan bahwa lagu ini bukan sekedar protes terhadap Perang Vietnam, tetapi merupakan lagu anti-perang secara keseluruhan. “Angel of Death” - Slayer “Reign of Blood”, album ketiga Slayer yang dirilis pada 1986 diakui sebagai salah satu album metal terbaik dalam sejarah. Lagu pembuka dalam album ini adalah “Angel of Death” yang ditulis oleh gitaris Jeff Hanneman. “Angel of Death” menceritakan tentang Josef Mengele, seorang dokter dan perwira SS yang bertugas di kamp konsentrasi Auschwitz pada Perang Dunia II. Mengele terkenal sadis karena sering melakukan eksperimen medis terhadap para tawanan di kamp tersebut, seringkali tanpa menggunakan obat bius dan mengakibatkan banyak korban. Setelah Perang Dunia II berakhir Mengele ditetapkan sebagai penjahat perang, namun ia berhasil meloloskan diri ke Amerika Selatan dan tidak pernah tertangkap sebelum akhirnya meninggal dunia karena tenggelam saat berenang di Brazil pada 1979. Banyak pihak yang menyatakan Mengele berhasil lolos berkat bantuan ODESSA, suatu organisasi yang berdiri pada 1946 dan terdiri dari para mantan anggota SS. Dipercaya berkat bantuan ODESSA, lebih dari sepuluh ribu mantan perwira Jerman berhasil lolos dari pengadilan penjahat perang dan melarikan diri ke Amerika Selatan atau Timur Tengah. Walaupun diakui sebagai salah satu lagu metal terbaik, “Angel of Death” tidak lepas dari kontroversi. Lagu ini mengakibatkan Slayer sering disebut rasis dan pendukung Nazi, apalagi Jeff Hanneman memang dikenal sebagai salah satu kolektor memoribilia tentara Jerman era Perang Dunia II. “Devils & Dust” - Bruce Springsteen “Devils & Dust” adalah single dari album ketiga belas berjudul sama yang dirilis pada 2005. Jika pada lagu “Born In the USA” Springsteen menceritakan nasib veteran Perang Vietnam, maka pada “Devils & Dust” 158 I TUCZINE.TUMBLR.COM
4gambar dipinjam dari history1900s.about.com
Springsteen menceritakan dilema moral tentara AS yang terlibat dalam invasi ke Irak pada 2003. Invasi ke Irak dilancarkan melalui Operation Iraqi Freedom pada 2003 dengan alasan pemerintah Irak memiliki senjata pemusnah massal dan mendukung terorisme. Saddam Hussein sebagai pemimpin Irak akhirnya ditangkap dan dieksekusi pada 2006, suatu hal yang ironis karena pada Perang Irak-Iran (1980-1988), Amerika Serikat justru memberikan dukungan kepada Saddam Hussein. Pada akhirnya tidak banyak senjata pemusnah massal yang ditemukan dan penguasaan sumber minyak di Irak-lah yang menjadi alasan utama invasi. AS sendiri akhirnya mulai menarik pasukan mereka dari Irak pada 2009 dan penarikan pasukan ini berakhir pada 2011. “Enola Gay” - Orchesteral Manouvers In the Dark (OMD) Ini memang bukan lagu rock, tapi lirik lagu ini sebetulnya merupakan anti-perang dan protes terhadap penggunaan senjata nuklir. OMD adalah salah satu band new wave asal Inggris, dan “Enola Gay” merupakan salah satu lagu dari album “Organisation” yang dirilis pada 1980. “Enola Gay” sering disebut sebagai salah satu lagu pop terbaik Inggris pada era ‘80-an. Karena ada kata “gay” pada lagu ini, banyak pihak yang menyebutkan lagu ini sebagai dukungan OMD terhadap homoseksualitas. Padahal Enola Gay adalah nama pesawat pengebom Boeing B-29 Superfortress milik AS yang digunakan untuk menjatuhkan Little Boy, bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945. Enola Gay sendiri adalah
nama ibu dari Kolonel Paul Tibbets Jr., pilot B-29 yang menjatuhkan bom atom tersebut. “Washington Bullets” - The Clash Ini bukan tentang klub NBA Washington Bullets yang pada 1997 berganti nama menjadi Washington Wizzards. Washington Bullets adalah salah satu lagu yang terdapat dalam album “Sandinista!”, album keempat band punk The Clash yang dirilis pada 1980. “Sandinista!” diakui sebagai salah satu album rock terbaik yang pernah dirilis. Judul album ini diambil dari nama gerakan Sandinista Liberation Front (Frente Sandinista de Liberacion Nacional - FSLN) pimpinan Daniel Ortega yang berhasil menggulingkan kekuasaan diktator Anastasio Somoza Debayle di Nikaragua pada 1979. Setelah Somoza digulingkan, Amerika Serikat melalui CIA membentuk gerilyawan Contra untuk melawan pemerintahan Sandinista. Akibat adanya gerilyawan Contra ini terjadi perang saudara di Nikaragua yang baru berakhir pada 1990. Sementara Somoza sendiri tewas pada 1980 di Paraguay akibat dibunuh oleh tim komando Sandinista. Lagu “Washington Bullets” mengkritik kebijakan pemerintah AS yang banyak ikut bermain di Amerika Selatan (dan Tengah), termasuk invasi ke Teluk Babi pada 1961 dan eksekusi Victor Jara. Invasi ke Teluk Babi dilakukan oleh sukarelawan Kuba dari Brigade 2506 yang dilatih oleh CIA untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro, namun gagal total sehingga memalukan pemerintahan AS yang pada saat itu dipimpin oleh John F. Kennedy. Sementara Victor Jara adalah seorang aktivis politik dan anggota Partai Komunis Chile yang dieksekusi oleh pemerintahan diktator Augusto Pinochet pada 1973.
album yang dirilis pada 2010. Secara khusus album tersebut menceritakan Perang Dunia II di front Pasifik. Operation Z sendiri adalah kode operasi militer Angkatan Laut Jepang yang melakukan serangan ke pangkalan militer AS di Pearl Harbor. Serangan pada tanggal 7 Desember 1941 tersebut kemudian menjadi awal dari Perang Dunia II di front Pasifik, dan akhirnya membawa AS secara resmi terlibat dalam Perang Dunia II. “Search And Destroy” - The Stooges The Stooges merupakan band garage rock legendaris yang juga sering disebut dengan nama Iggy and The Stooges. Vokalisnya memang tidak lain adalah rocker legendaris Iggy Pop. “Search And Destroy” terdapat dalam album “Raw Power” yang dirilis pada 1973. Lagu ini menceritakan Perang Vietnam. Iggy Pop menyatakan bahwa judul lagu ini diambil dari salah satu artikel yang dimuat dalam majalah Time. Menghadapi perlawanan gerilyawan Vietcong, militer AS menerapkan taktik yang disebut Search and Destroy, di mana taktik ini adalah mencari dan menghancurkan posisi pasukan musuh. Berbeda dengan Perang Dunia II di mana kesuksesan suatu operasi militer diukur dari wilayah musuh yang berhasil dikuasai, maka menghadapi gerilyawan dalam Perang Vietnam tidak ada batas wilayah musuh yang jelas, dan kesuksesan suatu operasi militer diukur dari jumlah personil musuh yang menjadi korban.
4gambar dipinjam dari albavolunteer.org
“If You Tolerate This Your Children Will Be Next” - Manic Street Preachers Ini adalah single dari album kelima, “This Is My Truth Tell Me Yours” yang dirilis pada 1998. Manic Street Preachers adalah band rock dari Welsh, dan lagu ini menceritakan sukarelawan yang bergabung dengan Brigade Internasional dan ikut bertempur dalam Perang Saudara Spanyol. Perang Saudara Spanyol terjadi pada 1936 sampai dengan 1939. Dalam perang ini pihak pemerintahan Republik Spanyol (yang biasa disebut sebagai pasukan Republik) bertempur melawan pemberontakan militer yang didukung pihak gereja dan para pemilik pertanian. Pemberontakan militer ini dipimpin Jenderal Fransisco Franco, dan biasa disebut sebagai pasukan Nasionalis. Perang berakhir dengan kemenangan pasukan Nasionalis dan Franco
pun kemudian memimpin Spanyol hingga kematiannya pada tahun 1975. Salah satu hal penting dalam perang saudara Spanyol adalah keterlibatan negara-negara asing, sekaligus ajang uji coba persenjataan baru menjelang pecahnya Perang Dunia II. Pasukan Nasionalis mendapatkan bantuan persenjataan dan pasukan dari Jerman dan Italia, sementara pasukan Republik mendapatkan bantuan persenjataan dari Uni Soviet serta sukarelawan dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. “Operation Z” - Hail of Bullets Hail of Bullets adalah band death metal dari Belanda. Mirip dengan Sabaton, lirik-lirik mereka juga banyak yang bertemakan Perang Dunia II. Salah satunya “Operation Z”, yang terdapat dalam “On Divine Winds”,
“Orange Crush” - R.E.M. Pada 1988 R.E.M. merilis album keenam mereka berjudul “Green”, dan “Orange Crush” adalah salah satu lagu dalam album tersebut. Orange Crush di sini bukan tentang minuman rasa jeruk, tapi bahan kimia Herbicide Orange atau yang sering disebut juga sebagai Agent Orange. Dalam Perang Vietnam, militer AS melancarkan Operation Ranch Hand yang berlangsung pada 1962 sampai dengan 1971. Dalam operasi ini AS menggunakan Agent Orange untuk merontokkan daerah hutan Vietnam. Dengan demikian, AS berharap, gerilyawan Vietcong kehilangan tempat berlindung dan sumber makanan. Lebih dari 20 juta galon bahan kimia digunakan, mengakibatkan lebih dari 20.000 km2 hutan Vietnam mengalami kerusakan. Akibat yang ditimbulkan sangat mengerikan. Selain kerusakan lingkungan, setidaknya 400.000 orang tewas sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari bahan kimia tersebut, dan setengah juta bayi lahir dengan kelainan genetik. Tidak hanya rakyat Vietnam, tentara AS yang terlibat operasi tersebut pun terkena dampaknya. Tidak sedikit veteran Perang Vietnam yang menderita kanker dan gangguan pernapasan.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 159
WTF
TAXMAN MR. THIEF LAGU-LAGU PROTES PAJAK PALING NYARING Ada satu hal yang tidak pernah bisa dipahami seorang jenius Albert Einstein: pajak penghasilan. Dia tidak sendirian. Di Inggris dan Amerika Serikat, beberapa musisi dan penyanyi juga menyatakan keheranan dan bahkan penolakan atas sistem dan terutama, tarif pajak yang menurut mereka tidak masuk akal. Beberapa hanya menerima sambil menggerutu. Sebagian, terutama yang bermasalah langsung dengan pajak, melakukan protes atau setidaknya menyindir, lewat lagu. Berikut beberapa lagu protes pajak yang populer dan cukup nyaring terdengar, seperti dikompilasi dari ihatethemedia.com, about.com, wikipedia. org, songmeanings.net dan newyork.cbslocal.com.
“Sunny Afternoon” - The Kinks (1966) The tax man’s taken all my dough, And left me in my stately home, Lazing on a sunny afternoon And I can’t sail my yacht, He’s taken everything I’ve got, All I’ve got’s this sunny afternoon Ini sebenarnya lebih merupakan sindiran kepada orang-orang berada yang masih saja mengeluh tentang pajak tinggi yang harus mereka setorkan, termasuk mungkin para musisi. Setidaknya, ada empat lagu The Kinks yang menyebut pajak. “No Tax!” - Chaos UK (1989) Can’t pay tax, won’t pay tax, no poll tax Cos we’re all skint, we’re on the dole Cos they don’t care, the future is grim It’s pretty simple, no poll tax Apa lagi yang Anda harapkan dari bandband punk (terutama yang berideologi anarcho-punk) Inggris era ’70-’80-an? Lagu ini, seperti juga “Don’t Pay the Poll Tax”nya The Exploited, cuma berisi satu ajakan: boikot pajak! “After Taxes” - Johnny Cash (1978) I feel so good come payday I think of all the things I’m gonna buy when I pick up my pay Don’t you know, but then they hand me that little brown envelope I peep inside, Lord I lose all hope Musisi country sepanjang masa mengeluh tentang gaji yang baru diterima langsung habis untuk membayar hutang, cicilan dan terutama, pajak. Sangat pas dengan kehidupan kelas pekerja, dulu dan sekarang. “I Paid My Income Tax Today” - Danny Kaye (1942) I paid my income tax today I never cared what Congress spent 160 I TUCZINE.TUMBLR.COM
But now I’ll watch over ev’ry cent Examine ev’ry bill they pay They’ll have to let me have my say I wrote the Treasury to go slow Careful, Mister Henry Junior, that’s my dough I paid my income tax Now you’ve got all the facts I know you’ll pay your taxes too Aslinya, ini bukan protes, malah sebuah lagu pro-tax. Kisahnya, untuk membiayai mesin perang Amerika Serikat di Perang Dunia Kedua, selain menjual obligasi perang, Departemen Keuangan, pada 1942, meminta Irving Berlin, komposer dan penulis lirik, untuk membuat lagu patriotik tentang membayar pajak. Danny Kaye, aktor, penyanyi sekaligus penari kemudian merekam lagu itu. Meski ditujukan untuk kampanye patriotik, Berlin masih sempat memasukkan sedikit sentilan untuk pemerintah. Sayangnya, bagian menyentil itu (seperti dalam kutipan lirik di atas) dipotong dari rekaman dan tidak diperdengarkan ke publik. “Dethharmonic” - Dethklok (2007) In the form of income tax, I’d rather take a f*cking axe to my face Blow up this place with you all in it I’d do it in a minute If I could, I’d write off your murder I’d save all of my receipts, because I’d rather you be dead than lose a tiny shred of what I made this fiscal year Brendon Small menulis lagu ini untuk band parodi Dethklok dari serial animasi Metalocalypse. Statemen penolakan pajak yang cukup keras. Jangan terlalu seriuslah, hanya sebuah humor gelap rasa death metal. “Me And the IRS” - Johnny Paycheck (1978) Well the bites keep getting’ bigger,
And the paycheck keeps getting’ small, You know the IRS, they ain’t gonna rest, Til they think they’ve got it all… Musisi country lain yang bermasalah dengan pajak. Pada 1985, Johnny Paycheck divonis 7 tahun penjara setelah menembak mati seseorang. Pada 1990, dia dinyatakan bangkrut oleh IRS. Pada 2003, dia meninggal dalam keadaan miskin. Tapi lagu ini kekal. Liriknya adalah protes pajak paling menohok. “Taxes Are Stealing” - Corporate Avenger (2007) Well, taxes are stealing and I get the feeling that we’re getting f*cked in the ass They take what they what they want to, whenever they want to And our needs, they always come last Well, judul lagu ini saja sudah menjelaskan apa maksudnya. Tidak ada yang bisa membuat Corporate Avenger puas. Semua lagu-lagu mereka adalah protes, kepada siapa dan apa saja. “Taxman” - The Beatles (1966) If you drive a car, I’ll tax the street, If you try to sit, I’ll tax your seat, If you get too cold, I’ll tax the heat, If you take a walk, I’ll tax your feet Lagu protes pajak paling terkenal sepanjang masa. Ditulis oleh George Harrison sebagai reaksi atas penetapan tarif pajak penghasilan yang mencapai 91.5 % untuk penghasilan di atas 115.000 paun. “”Taxman” was (written) when I first realized that even though we had started earning money, we were actually giving most of it away in taxes,” terangnya mengenai asal-muasal lagu ini. Faktanya: di tahun-tahun awal, The Beatles menyerahkan sekitar 90% penghasilan mereka ke Departemen Keuangan Inggris.
4gambar dipinjam dari news.kron4.com
“Taxman, Mr. Thief” - Cheap Trick (1977) You work hard, you make money ain’t no on in the world who can stop you You work hard, you went hungry Now the Taxman is out to get you Semacam tribut untuk “Taxman”. Di lagu itu, The Beatles menyinggung perdana menteri Edward Heath. Cheap Trick menyinggung orang yang sama di lagu ini, meskipun kenyataannya semua personil mereka adalah orang Amerika Serikat, yang tinggal dan berkarya di sana, dan sama sekali tidak terpengaruh oleh sistem perpajakan Inggris.
And you’ve just been f*cked by the government Steve Vai menunjukkan sisi humornya lewat lagu yang membuat sampul album “Flex-Able Leftovers” harus ditempeli stiker ‘Parental Advisory’ ini. Untuk sekali ini, sang virtuoso muak dengan segala hal yang dilihatnya, termasuk dengan pemerintah dan pajaknya.
Selain menyindir tentang pajak, lagu ini juga menyebut berbagai hal yang mengacaukan Amerika Serikat di tahun ’70-an, seperti Perang Vietnam, rasisme, narkotika dan pengangguran. Lagu protes yang masif dari grup vokal kulit hitam paling berpengaruh. “Movin’ Out” - Billy Joel (1977) You can pay Uncle Sam with overtime Is that all you get for your money?
“Tired” - Willie Nelson (1992) Only missed six days and nights of twenty years of working Money went to taxes and these bills I’ve paid on time Raise I got six months ago don’t meet the cost of living
Tidak secara eksplisit memprotes pajak. Billy Joel hanya mengekspresikan keheranannya terhadap etos kerja keras para imigran di New York, dan mencoba mengingatkan mereka: semakin kamu bekerja keras, semakin banyak duit yang kamu kumpulkan, semakin besar pajak yang harus kamu bayar. “Success Story” - The Who (1975) Away for the weekend I’ve gotta play some one-night stands Six for the tax man, and one for the band
Toh Kay atau Tomas Kalnoky dari Streetlight Manifesto, Bandits of the Acoustic Revolution dan sebelumnya Catch 22, figur yang cukup penting di skena ska-punk New Jersey, tidak ketinggalan menyampaikan pendapatnya tentang pajak.
Satu lagi musisi country yang bermasalah dengan pajak. Pada 1990, IRS menyita sebagian besar aset Willie Nelson karena menunggak pajak sampai jutaan dolar. Asetaset tadi kemudian dilelang, dan sebagian dibeli oleh teman-teman dan para penggemar untuk dikembalikan kepada sang pemilik. Belakangan diketahui, tunggakan besar itu disebabkan oleh akuntannya yang tidak menyetor pajak selama bertahuntahun. Pada 1992, masih dalam dalam rangka mengumpulkan duit untuk mencicil utang pajaknya, Willie Nelson merilis “The IRS Tapes: Who’ll Buy My Memories?”. Lagu ini termasuk di dalamnya.
“F*ck Yourself” - Steve Vai (1998) F*ck yourself with your income tax They’re f*cking you and that’s a fact Before you know it your money’s all spent
“Ball of Confusion” - The Temptations (1970) Politician say more taxes will solve everything
“Downtown” - Toh Kay (2010) When we go downtown We never pay the tax We’d rather go to jail Than to pay those dirty rats Would you tax me on my songs? Would you tax my friends if they sang along? Dirty bar owners, politicians Taking money from musicians I’m so tired of this bullshit
John Entwistle, pemain bas, menulis lagu ini untuk bersenang-senang dengan kesuksesannya sebagai musisi, sekaligus sebagai sindiran atas tarif pajak yang lumayan tinggi tahun itu. Setelah kematiannya pada 2002, rumah dan beberapa barang pribadinya dijual untuk membayar tunggakan pajaknya kepada Inland Revenue (IRS-nya Inggris). Kebetulan yang aneh, pada 1962-1963, sebelum bergabung dengan The Who, John adalah seorang pegawai pajak di instansi itu. Menginspirasi bukan?
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 161
FREE ROAR
SALAH BELUM TENTU SALAH BENAR TIDAK SELAMANYA BENAR SEBAB SEJARAH DIGUBAH PEMENANG
T
erkutuklah Pandu putra Ambalika. Seandainya sang Prabu Dewanata, dia yang juga disebut Prabu Gandawakstra memegang teguh ucapannya dan tidak menyerahkan kakakku Putri Kerajaan Gandhara kepada Drestasta, tentu semua kekacauan ini tidak perlu terjadi. Terkutuklah mereka yang mengatakan bahwa aku adalah ksatria yang haus kekuasaan. Mereka lupa bahwa sesungguhnya akupun adalah seorang raja. Mereka bilang tipu muslihat yang kulakukan ketika Gandamana memihak para raksasa dan Pandu, ya, Prabu Pandu Dewanata menyerahkan jabatan patih kepadaku. Mereka tidak tahu muslihat Gandamana. Bagaimana mungkin Gandamana murid Pandu bisa selamat dari keris pusaka Pringgodani yang mengalahkan Pandu? Aku mungkin tidak memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, tapi keahlian telik sandi yang kumiliki tidak ada tandingannya. Terkutuklah diriku yang harus bertekuk lutut di hadapan Pandu. Dan sangat terkutuklah diriku yang merelakan kakak, kerajaan dan harga diriku untuk dapat selalu dekat dengan dia yang tak pernah bisa hilang dari sanubariku. Dan tak ada orang lain yang tahu bahwa nama Kunti, dan Kunti sajalah yang selalu kusebut dalam semediku. Biarkanlah jagad raya ini menganggap akal licikkulah yang menyebabkan Yudistira kehilangan semuanya di meja dadu. Jangan sampai ada yang mengetahui bahwa sesungguhnya ada kerajaan raksasa yang hendak menggunakan strategi mengajak Yudistira bermain dadu dan merebut semuanya. Ya, kerajaan raksasa itu berhasil menyusup dan mengetahui kelemahan Yudistira dan, sebelum mereka menjalankan akal busuk mereka, biarlah kerajaan ini berada di tangan Duryudana dengan menjalankan rencana tersebut terlebih dulu. Biarkanlah Kurawa menjadi bulan-bulanan atas pengorbanan mereka dan harus musnah demi kejayaan Pandawa. Jangan sampai ada yang mengetahui rencana yang telah kususun dengan sangat matang. Bagaimana selama belasan tahun putra-putra dari wanita yang kupuja selama ini hidup dengan penuh gemblengan demi kebaikan 162 I TUCZINE.TUMBLR.COM
CATATAN SANG SENGKUNI SAGE OLEH DERRY MARSELANO mereka dan, dengan bangganya sembilan puluh sembilan orang putra dan satu putri dari kakak perempuanku rela mengorbankan jiwa, raga dan nama baik mereka demi harumnya nama Pandawa. Biarkanlah seluruh dunia menganggap diri ini sebagai manusia picik, penuh muslihat. Ya, memang semua itu benar, tapi jangan sampai mereka mengetahui bahwa semua yang kuperbuat ini adalah demi kebaikan negara ini, demi kejayaan para Pandawa.
Dan usai sudah tugasku, setelah melihat bagaimana Yudistira mengelabui guru Drona, setelah melihat bagaimana Arjuna dengan liciknya berhasil mengalahkan Karna, dan bagaimana si Kembar berhasil mempengaruhi Raja Salya sehingga ajian Candrabirawa bisa diatasi. Berarti mereka sudah paham bahwa di dunia ini terkadang dibutuhkan hal-hal lain selain kejujuran dan sifat ksatria. Biarlah diri ini dikuliti oleh Bima. Jayalah para Pandawa.
.
4gambar dipinjam dari geheugenvannederland.nl
FREE ROAR
BUTUH ATAU INGIN OLEH LISTRA MINDO. FOTO OLEH DAVID CHRISTOVER
S
eseorang bisa saja menghindari menonton bioskop dan pesta pora, tapi hatinya masih dipenuhi dengan kejahatan dan keangkuhan duniawi. Kita bisa saja berhenti merokok, tapi tetap berbohong, berhenti dari kebiasaan minum, tapi masih suka menggunjing, sederhana dalam berpakain tapi tetap serakah. Itu adalah sebagian dari pembukaan untuk bahan pembahasan kami pada sebuah Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Bahan KTB adalah 1 Yohanes 2: 15-17. Saya tidak akan membahas ulang mengenai bahan itu kembali. Tetapi setelah melalui diskusi dari beberapa kami, pada akhirnya ada sebuah pertanyaan yang kami sepakati merupakan persoalan yang kita semua temui dalam kehidupan sehari-hari, yaitu membedakan Keinginan Daging atau Kebutuhan Sulit sekali untuk membedakan keduanya, jaraknya sangat bias. Sampai kami tiba pada satu kesimpulan yaitu, jika sesuatu hal yang material itu mengganggu kesinambungan ketaatan kita, mungkin sebenarnya itu adalah keinginan daging. Misalnya, kita pada satu saat merasa membutuhkan mobil. Dengan susah payah kita mencoba membeli dengan kredit. Akan tetapi cicilan mobil kita tiap bulan itu akhirnya mengganggu ketertiban perpuluhan. Dana yang tadinya adalah bagian persembahan kita sekarang dialihkan untuk melunasi cicilan mobil tadi, maka berhati-hatilah karena mobil itu mungkin saja belum masuk dalam kategori ‘kebutuhan’ akan tetapi hanya ‘keinginan daging’. Bagaimana menyikapi hal ini, sebab setiap saat mungkin saya dan Anda terjebak dalam lingkaran pertanyaan yang sama, yang mana kebutuhan atau itu hanya keinginan daging? Keinginan daging sudah jelas rupa dan bentuknya (silakan
baca Galatia 16-26), serta ada hal-hal roh yang menanti untuk kita kejar dan buahkan. Saya tertarik membahas topik ini ke dalam satu konteks yang lebih runcing. Pasangan hidup. Bukan hanya sekedar pacar, tetapi pasangan hidup kita yang sepadan. Pertanyaan besar pada titik ini adalah apakah pasangan hidup kita adalah seseorang yang merupakan keinginan atau kebutuhan? Pertanyaan ini berlaku bagi siapapun, bagi yang sudah menikah ataupun masih dalam pergumulan dalam mencari pasangan hidup. Mengenai syarat pasangan hidup yang sepadan tidak akan saya bahas di sini. Menarik, karena pada umumnya kita mengharapkan satu sosok yang sesuai dengan keinginan. Entah itu keinginan kita pribadi, keinginan orang tua, saudara. Satu hal yang saya perhatikan pada akhirnya banyak orang yang menjatuhkan pilihan pada opsi ‘keinginan’. Lalu kita mendeskripsikan demikian; saya memilih dia karena dia tampan, sudah mapan, mampu memberi penghidupan yang layak. Sampai kita lupa pada satu hal, apakah secara pribadi manusia, dia adalah yang kita butuhkan untuk menjalani sisa hidup? Bolehlah dia tampan, tapi apakah dia sopan? Bolehlah dia mapan, tapi apakah dia cukup rendah hati dalam memiliki semua materi itu? Hingga akhirnya ada istilah, saya mencintai dia karena apa yang ada padanya. Apa yang baik dilihat mata dan tinggi kedudukannya menurut nilai dunia. Lalu akan timbul pertanyaan, bagaimana jika yang kita kira kita butuhkan itu ternyata bukan Kehendak Allah dalam hidup kita? Jangan lupa satu hal, bahwa Dialah yang mencukupkan segala kebutuhan kita. Dia tahu yang paling kita butuhkan. Saya (dan mungkin saja di antara Anda yang membaca), pernah mengingink-
an sosok yang sesuai dengan impian. Orangnya harus humoris, kaya, cerdas, ganteng, dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi pada akhirnya dalam pencarian saya, jika standar itu yang dipakai maka kita tidak akan pernah merasa puas, sebab itu jelas-jelas Keinginan Daging. Dalam sebuah penyerahan diri saya akhirnya merenungkan, mungkin memang saya harus mencari seseorang yang saya butuhkan. Singkat cerita memang saya menemukan sosok. Jauh dari apa yang saya jadikan standar sejak dulu. Tapi ketika saya menerima dan menjalani, saya merasa damai sejahtera. Kenapa bisa begitu? Karena saya mengasihi dia dengan sederhana. Jika ada orang bertanya, “apa yang kamu suka dari suamimu?”. Saya pasti menjawab “saya suka semua yang ada padanya”. Karena tidak mungkin saya menyukai apa yang tidak ada padanya, bukan? Semua itu adalah satu paket. Karena kita butuh itu semua untuk membentuk kita menjadi pribadi yang makin baik. Saya butuh kesabaran yang ada dalam dia, sehingga saya bisa belajar sabar. Saya butuh kesederhanaan dalam dirinya, agar saya bisa meredam ambisi dan rasa persaingan dalam diri saya. Pada akhirnya, saya hanya mengingatkan. Apakah pasangan hidupmu adalah seorang yang merupakan keinginan atau kebutuhan? Sebab keinganan hanya berlaku sesaat, pada waktu sudah terpenuhi, bisa saja langsung bosan. Tetapi kebutuhan adalah berlaku selamanya. Tulisan ini tidak akan berhenti di sini. Jika Anda mau meneruskannya sesuai versi Anda masingmasing, akan lebih berguna lagi. Selamat bersyukur, selamat berhikmat dalam memilih Kebutuhan atau Keinginan Daging.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 163
FREE ROAR
EPIGONISME DAN PLAGIARISME:
FENOMENA MISKIN IDENTITAS OLEH MEIDIAWAN CESARIAN SYAH
O
rang Indonesia harus memahami tentang mahalnya sebuah ide”, keluh saya pada suatu ketika. Di layar kaca, media utama yang mempengaruhi alam bawah sadar sebagian besar penduduk negeri ini, banyak sekali ide yang dipermainkan, ditiru sebagian, bahkan dijiplak mentah-mentah. Sudah tidak ada lagi batas toleransi penghargaan atas orisinalitas sebuah ide. Kemudian ingatan saya berlabuh pada beberapa tahun lalu. Saat itu saya membaca artikel sebuah surat kabar yang membanding-bandingkan antara epigonisme dan plagiarisme, dua jenis pengambilan ide orang lain. Berbagi perspektif, itu yang hendak saya coba lakukan. Tidak selamanya pengambilan ide orang lain itu buruk, meskipun saya tidak menganjurkan hal demikian. Sedihnya, di Indonesia seni comot-mencomot ide ini sangat serampangan sehingga kemonotonan saja yang kita dapat. Sedikit dari mereka benar-benar menyuguhkan pesona baru. Lack of creativity. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat, sebagus apapun, hanya merupakan kejahatan intelektual. Pelakunya, plagiator, mencederai pilar-pilar ilmu pengetahuan yang paling dasar. Beberapa orang lebih suka menyebut mereka pencuri hak cipta. Pencuri, sebagaimana maling ayam, sangat pantas mendapatkan hukuman. Di Indonesia, plagiarisme dapat dianggap sebagai tindakan pidana karena pencurian hak cipta. Sayangnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang tindakan plagiarisme ini. Tetapi bukan berarti para plagiat bisa melenggang begitu saja. Dalam kacamata hukum, kegiatan plagiarisme termasuk pencurian hak cipta seperti disebutkan sebelumnya, diatur melalui Undang-Undang 164 I TUCZINE.TUMBLR.COM
(UU) No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sanksi hukum yang membayangi kegiatan plagiarisme sesuai pasal 72 ayat (1) UU Hak Cipta adalah pidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000 atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000. Hal yang harus digarisbawahi dari sanksi tersebut adalah pelanggaran hak cipta. Pelanggaran hak cipta menurut UU Hak Cipta sendiri itu terjadi apabila memenuhi beberapa unsur, yakni adanya ciptaan yang dilindungi hak cipta dan perlindungannya masih berlaku, adanya bagian dari ciptaan tersebut yang diperbanyak, dan kegiatan memperbanyak tersebut tidak sesuai dengan kegiatan yang dibenarkan melalui UU ini dan tanpa sepengetahuan pemilik hak cipta. Ketiga unsur ini sifatnya akumulatif, jadi suatu kegiatan dianggap plagiarisme apabila memenuhi kriteria tersebut. Plagiat mencederai ilmu, mencederai ide, mencederai kejujuran. Saya sendiri sedikit menyayangkan banyak di antara kita yang terlambat atau bahkan tidak pernah memiliki hak cipta atas gagasan kita sendiri, yang dilindungi negara tentunya. Makanya banyak juga yang asal comot tulisan orang tanpa menyertakan sumbernya, seperti fenomena yang beberapa waktu lalu ramai di twitter. Well, agaknya menyidangkan plagiator masih susah. Fenomena kedua yang tidak kalah heboh adalah epigonisme. Epigonisme berasal dari kata epigon. Epigon adalah orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya. Sebutan singkatnya: peniru. Sadar atau tidak di tiap diri kita pastilah terdapat sifat seorang epigon. Saya tidak mempermasalahkannya, yang jadi masalah adalah siapa pun yang mencari nafkah dengan menjadi epigon. Come on, dude, you’re a lot more than that. Epigon paling sering saya temukan di toko buku. Saat novel “The Da Vinci Code” dan “Ayat-
Ayat Cinta” booming, entah dari mana asalnya keluar pelbagai macam novelis yang mengekor dengan menerbitkan novel serupa yang tak sama. Saat “The Da Vinci Code” menjadi terkenal, maka toko buku tiba-tiba disesaki oleh novel konspirasi, bermacam-macam. Alam bawah sadar kita dipenuhi keseragaman yang sama ketika kita melihat televisi. Band, sinetron, reality show dan acara lain pun konsepnya sama. Saya sampai bingung sebenarnya siapa yang memulai tren musik melayu, sinetron yang mengurai air mata (ya, temanya juga tidak jauh-jauh dari masalah warisan dan kekayaan) atau acara musik. Tidak ada pelanggaran hukum dalam epigonisme. Sang epigon bisa leluasa melakukan kegiatannya, dan bagi orang yang karyanya ditiru juga tidak bisa apaapa. Fair enough, maybe. Seperti telah saya katakan tadi, epigon bisa jadi ada di diri kita semua, bukan? Memang tidak semua epigon buruk, ada epigon yang berhasil mengembangkan gagasan orang lain yang ditirunya. Namun, apabila tanpa izin, saya kira itu tetap saja hal yang negatif. Ide itu mahal. Hal paling buruk bagi seorang epigon adalah dia (atau karyanya) tidak akan dikenal siapapun karena selamanya tidak punya identitas. Ia hidup sebagai peniru, menyajikan menu yang sudah disediakan hari sebelumnya. Penikmatnya pun mengecap manis sesaat, lalu lupa, karena sesuatu yang mereka rasakan itu tanpa identitas. Pada akhirnya, epigon dan plagiator akan hidup tanpa identitas. Celakanya, tiap hari kita disuguhkan benda tersebut melalui tayangan di televisi kita. Perbedaan nama yang seragam, saya menyebutnya. Apakah ide itu begitu mahal untuk dihasilkan? Atau terlalu murah sehingga lebih baik untuk meniru? Entahlah, saya cuma mengajak agar kita punya identitas dalam hidup yang bukan hanya nama.
.
cucukrowo.tumblr.com
ANDRIA’S NOTES
YOU KNOW YOU’RE RIGHT CATATAN-CATATAN OLEH PAK KETUA
You Know You’re Right Entah kita harus berterima kasih atau menghujat Nirvana. Ada kritikus yang menjuluki musik yang mereka mainkan sebagai post-punk. Berbeda dengan rekan mereka Soundgarden, Alice in Chains dan Pearl Jam, musik Nirvana lebih sederhana. Kasar namun keras, menyerupai punk cuma dengan gaya mereka sendiri. Menurut saya Nirvana menjadi pembuka pintu bagi musik punk old school atau generasi baru untuk bisa kembali dikenal publik. Memang tidak secara langsung, namun di era Nirvana mulai bermunculan aliran musik yang menjadi alternatif dari hard rock, heavy metal dan thrash metal yang sudah ada saat itu. Iramanya keras, heavy, tapi bukan metal. Tak lama kemudian muncullah Green Day yang kemudian diikuti membanjirnya grup punk lama maupun baru. Kemunculan aliran alternative itu kemudian dianggap sebagai kepunahan hair dan thrash metal yang sebelumnya merajalela. Saat itu tidak ada label yang mau merekam musik yang tidak bercorak alternative. Banyak grup yang kemudian sedikit mengubah warna musik mereka supaya dapat bertahan, bahkan Metallica sekalipun. Tidak heran bila ada pihak yang sangat membenci aliran alternative, terutama yang dimainkan Nirvana. The Number of the Best Dahulu kala, saat kaset bajakan merajalela di muka bumi Indonesia dan beberapa tempat di luar negeri, terbitlah kaset antologi yang tidak resmi dari banyak grup musik dunia. Itu mungkin untuk memenuhi keinginan sebagian besar pendengar musik yang cuma ingin mendengar lagu terbaik atau yang enak didengar dari satu grup tanpa perlu membeli seluruh album mereka. Maklum kadang-kadang hanya ada satu dua lagu yang menarik dalam sebuah album. Seringnya setiap perusahaan rekaman membuat kompilasi sendiri-sendiri sehingga para konsumen juga perlu jeli saat memilih
karena isinya walau mirip namun ada satu dua lagu yang berbeda. Bila kita bandingkan dengan kompilasi resmi malah sering lebih enak lagu-lagu yang dipilih oleh pembajak tadi. Hal ini berbeda dengan para pembajak mp3 dan dvd sekarang ini yang lebih sering mengganti cover-nya saja namun isinya tetap sama. Ada beberapa kaset the best yang dulu ingin saya punyai, walau sekarang isinya sudah punya semua. Antara lain Metallica dari Aquarius. Kebetulan saat kaset bajakan ditarik dari peredaran, saya pas tak punya banyak uang sehingga cuma bisa beli satu kaset. The Italian Job Italia adalah salah satu negara pemasok musisi bertalenta tinggi, entah vokalis, gitaris atau lainnya. Salah satu yang paling terkenal adalah Rhapsody (sekarang berubah nama jadi Rhapsody of Fire demi citra yang lebih gagah). Sentuhan musik opera dalam lagu-lagu mereka bisa membuat orang menganggapnya sebagai musik gereja. Jujur saja, dulu saya pun juga mengecap mereka begitu. Album pertama yang saya dengarkan adalah “Symphony of Enchanted Land”. Dari judulnya saja sudah terbersit isi keseluruhan lagunya tak akan jauh dari koor dan orkestrasi, terutama lagu-lagu “Emerald Sword”, “Wisdom of the Kings” dan “Eternal Glory”. Seperti biasa, setelah pesona garage rock memudar saya mulai bisa menerima keindahan lagu-lagu mereka yang kalau dimainkan ternyata cukup njlimet. Mungkin untuk sementara pendengar musik easy listening, Rhapsody bisa dianggap kurang kerjaan karena mengangkat tema fantasi dan mengerjakan tiap album sebagai satu kesatuan yang tak terpisah dan akan bersambung di album-album berikutnya. Setelah menyelesaikan lima album awal maka rangkumannya (atau the best-nya) dimasukkan dalam album “Tales from the Emerald Sword Saga”.
Into Deep Deep Purple adalah salah satu legenda hard rock. Mereka banyak menginspirasi grup lain baik secara grup atau masingmasing personil. Beberapa alumnusnya menjalankan side project atau bersolo karir dan kebanyakan diterima dengan gembira oleh penggemarnya. Sebut saja Rainbow (Richie Blackmore) atau Whitesnake (David Coverdale). Untuk pecinta fanatik Deep Purple, hal yang paling ditunggu adalah konser personil klasik mereka: Ian Gillian, Ian Paice, Roger Glover, John Lord dan Richie Blackmore. Cuma sayangnya sehabis album “Battle Rage On”, kemungkinan untuk ini sudah tertutup. Konon antara Ian Gillian dan Richie Blackmore ada persaingan popularitas. Sementara itu John Lord juga sudah enggan konser, makanya dia lalu diganti Don Airey. Richie sendiri lebih senang jadi artis zaman rennaisance dengan membuat grup folk rock Blackmore’s Night bersama Candice Night yang kemudian jadi isterinya. Spacewalk Ace Frehley tidaklah terkenal karena akrobat jarinya atas fret gitar macam Yngwie Malmsteen, tidak juga se-eksperimental Steve Vai. Dia di luar negeri sana dikenal karena memberi pengaruh pada para anak muda untuk menjadi seorang gitaris. Lagulagu Kiss, grup awalnya dahulu, saat dia jadi lead guitarist sering dianggap yang terbaik yang pernah dibuat grup itu. Saat di Kiss Ace Frehley memakai make up perak di sekitar matanya dan diberi julukan Space Ace/Spaceman. Kebetulan dia juga penggemar astronomi dan hal-hal yang berbau futuristik. Sekeluarnya dari Kiss (menurutnya) dia bersolo karir dan “Frehley’s Comet” adalah album pertamanya. Saat di Kiss dia pernah membuat satu album self titled. Lagu-lagu di kaset ini memang tak terlalu istimewa. Yang membuat istimewa bagi saya adalah nilai historisnya. Saya terakhir kali melihat kaset ini di toko kaset saat bajakan resmi akan ditutup (1984). Setelah itu saya tak pernah lihat lagi bahkan di penjual seken di mana pun. Tiba-tiba saya melihat kaset ini di kaki lima pertokoan Sidoarjo tahun 2004. Akhirnya kaset ini jadi milik saya setelah saya angankan selama 20 tahun. Reinventing the Steel Kematian sering datang tak disangkasangka. Tanggal 8 Desember 2004, Dimebag Darrell saat sedang konser bersama Damage Plan di Alrosa Villa di Columbus, Ohio ditembak lima kali di kepalanya oleh mantan penggemarnya. Kejadiannya 24 tahun setelah John Lennon ditembak pada tanggal yang sama di Dakota. Dimebag (atau Diamond) Darrel
lebih dikenal sebagai gitaris Pantera, yang kemudian dibubarkan dan berganti dengan Damage Plan. Saya mengetahui namanya saat beli kaset Pantera “Vulgar Display of Power” sekitar tahun 1992. Ini kaset yang menurut saya bagus, baik sampul maupun lagu-lagunya. Saat itu di Jogja yang sedang jadi tren adalah death metal dan grindcore yang tak terlalu banyak melodinya dan lebih keras musiknya dengan vokal yang menggeram. Saat itu Pantera hadir dengan adonan musik yang lebih melodius namun tetap dengan vokal yang garang. Lagu yang paling saya sukai adalah “Mouth for War”. The First Countdown Lagu “The Final Countdown”-nya Europe yang berjaya di radio, sekitar tahun 1986, sempat membuat saya jenuh. Maklum, saat itu bila ada lagu yang enak didengar maka banyak radio yang memperdengarkannya. Untungnya Europe bukan grup dadakan. Di Swedia sana mereka sudah mengeluarkan dua album. Tapi memang baru di album “Final Countdown” mereka terkenal ke seluruh dunia, terutama Asia. Siapa menanam maka akan mengetam, semacam itulah mereka mulai tahun 1986 . Hampir semua majalah musik di Indonesia mengulas profil mereka. Europe sempat main ke Indonesia untuk mempromosikan album berikutnya (“Out of This World”), dan secara umum mereka cukup sukses. Di Indonesia, lagulagu balada “Tomorrow” dan “Open Your Heart” cukup disukai banyak orang. Saat ini Europe memulai hidup baru lagi setelah sempat vakum, terutama di era 90-an saat ngetrennya irama grunge. Lagu “The Final Countdown” sempat mereka buat versi akustik di album “Almost Unplugged” (2008). The Sky Is Crying Sebenarnya saya tidak banyak tahu dan mendengarkan lagu-lagu Stevie Ray Vaughan. Maklumlah, blues saya anggap tak terlalu cepat untuk memompa semangat. Pada awalnya saya cuma tahu dia gitaris blues muda yang bagus. Banyak pujian untuknya dari majalah musik di Amerika. Saya baru teringat ke SRV lagi saat ada berita di awal tahun 1990 bahwa dia tewas karena helikopter yang ditumpanginya kecelakaan. Sebuah akhir yang tragis untuk seorang yang berbakat. Eric Clapton nyaris ikut tewas seandainya dia tidak membatalkan niatnya untuk ikut naik heli yang sama. Sepertinya saat itu, sampai sekarang, toko kaset tak banyak menjual kaset SRV. Musisi blues memang tak banyak penggemarnya. Saya sempat membeli majalah bekas edisi khusus tentang SRV, namun karena tak nyambung juga akhirnya saya hibahkan kepada mas Dhani, teman saya yang jadi fans SRV. Semoga SRV bisa
bangga ada generasi muda yang mau memainkan blues. Life after Death Metal Death metal di Indonesia mulai mengemuka sekitar awal 90-an, seiring dengan mulai dikenalnya thrash metal yang dipicu ketenaran Metallica lewat “The Black Album”-nya. Menurut Wikipedia, death metal adalah sebuah sub-genre dari musik heavy metal yang berkembang dari thrash metal pada awal 80-an. Seperti yang biasa terjadi dalam industri musik Indonesia, tren baru ini diikuti dengan membanjirnya kaset-kaset thrash metal, death metal, termasuk juga grindcore. Dari yang terkenal sampai dengan yang baru saja lahir, yang pada saat itu sepertinya tidak dapat dibedakan karena hampir semua nyanyinya pakai growl. Para jagoan death metal saat itu di antaranya Morbid Angel, Entombed, Death, Obituary dan Sepultura, dengan didukung record label yang terkenal seperti Earache dan Roadrunner. Yang mengejutkan saat itu adalah dijadwalkannya show Sepultura di Indonesia. Harap maklum karena saat itu baru ada rekaman Malaysia dan Singapura yang beredar, itupun secara terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa death metal sudah bisa diterima oleh masyarakat Indonesia, sekaligus pula bahwa musik adalah bersifat universal, atau bisa juga kembali ke peluang bisnis. Majalah Tempo sampai memberi satu halaman plus foto jarak jauh, walau isinya malah keheranan mereka mengapa grup semacam itu bisa disambut meriah di sini. Tentu saja di Indonesia para pengikut death metal mulai muncul, salah satunya adalah Rotor yang turut serta menjadi pembuka konser Sepultura tadi. Seperti biasa (lagi), akhirnya masa keemasan death metal meredup seiring dimasukkannya aliran grunge dan alternative oleh industri musik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Namun tidak ada yang bisa mematikan suatu aliran, walaupun dengan sepinya tawaran rekaman. Death metal masih dimainkan di skena-skena underground di Amerika (Florida dianggap sebagai ibukota death metal) dan seluruh dunia. Bahkan di negara-negara Skandinavia aliran tadi malah bisa lebih berkembang dengan segala kreativitas mereka sehingga tetap eksis sampai sekarang. Maka muncul para dewa baru death metal seperti yang kita kenal sekarang, di antaranya In Flames, Opeth, Children of Bodom dan Arch Enemy. Benjamin Franklin pernah berkata: “in this world nothing is certain except death and taxes.” Barangkali itu juga salah satu alasan kenapa grup death metal tak pernah mengibarkan bendera putih.
.
TUCZINE.TUMBLR.COM I 167
HALAMAN BELAKANG
fueled by filled wit TUCZINE
TAX UNDERGROUND COMMUNITY MAGAZINE DESIGN & PROPAGANDA DEDE HATE, FADLI MORON, ARIEF HIDAYAT ADAM EMAIL TUC.ZINE@GMAIL.COM TWITTER @TUCZINE TUCZINE.TUMBLR.COM I TAXUNDERGROUNDCOMMUNITY.COM IMAGES USED IN THIS MAGAZINE ARE COURTESY OF THEIR RESPECTIVE OWNERS
boredom th hatred
zine ini meradang kilometer terakhir jangan menunggu edisi berikutnya
T U C Z I N E . T U M B L R . C O M