Tuczine #9

Page 1

tuczine ISSUE #9 MARET 2015


GAMBAR BESAR

THE ONCOMING STORM UNEARTH AT HAMMERSONIC 2015


tuczine

DAFTAR isi

ISSUE #9 MARET 2015

It’s a mystery to me We have a greed with which we have agreed And you think you have to want more than you need Until you have it all, you won’t be free -Eddie Vedder, “Society”

1 3 4

BASA-BASI REDAKSI Sejujurnya sepotong lirik “Society”-nya Eddie Vedder di atas tidak hubungannya dengan apa yang mau di tulis ataupun isi tuczine edisi sembilan ini. Ok. Akhirnya setelah setahun lebih (14 bulan tepatnya), terbit lagi tuczine. (Yay!). Zine yang direncanakan terbit dari Oktober/November tahun lalu, malah molor kelamaan. Edisi yang gw ‘take-over’ dari Dede karena kok sepertinya dia yang bersemangat mengerjakan tuczine selama ini. Saat itu dengan sombongnya gw merasa dapat menerbitkan tuczine setidaknya 6 bulan sekali, dengan syarat isi zine tidak perlulah setebal ratusan halaman. Tapi kenyataan memang tidak seindah harapan. Sejujurnya gw kehilangan mood saat itu menunggu beberapa konten buat zine yang selalu dijanjikan tapi tak pernah ada (curcol). Tuczine kali ini tidak ada judulnya. Beberapa judul ditolak sama Dede (dan begitu pula sebaliknya) karena sama saja seperti edisi sebelumnya. Jadi akhirnya ya sudahlah, tuczine kali ini tidak usah diberi judul . Di awal-awal, tampilan tuczine kelihatan “sangar-sangar”, dengan pengaruh metal dan rock yang sungguh kental. Makin kesini, tampilan makin ‘simple’. Antara pengaruh selera atau kemungkinan pimred yang makin bosan men-design zine, hahaha. Apalagi di edisi sembilan, tampilan makin simple dengan lebih ‘berwarna’ dengan cover warna pink! (sejujurnya itu ide Dede)

EDISI #9 COVER TALENT AJAR COLLABORATORS DIDIK YANDIAWAN, ANDRIA SONHEDI, ARI ANDRIANA, EMAK EARTH, BANGPAY, AJAR RENDRA ISLAMI, MEIDIAWAN CESARIAN SYAH, MOH. HIJRAH LESMANA, OLAP LINDEI DAMANIK, NICO PRAYOGA, SAPTO SUPRIYANTO, FERI CUWA, ALIEN HIDAYAT ADAM, AYU PRIMAAKSARI, INDAH PUJIATI, AJI REBEL, ABDUL RAB RASUL SAYYAF

3

6

9

15

20 21 28

Delapan puluh persen isi zine ini sudah basi, tapi biarlah untuk sekedar eksistensi. Akhir kata, Enjoy It While You Can!

TUCZINE

5

Edisi Sembilan

GAMBAR BESAR

53

BASA-BASI REDAKSI

55

DAFTAR ISI SELAMAT DATANG!

58

ISU

60

WARTA PERTUNJUKAN

71

Sedikit Kemauan

Karst, Kendeng, Konsumerisme, Keberanian, Kapitalisme: Ode buat Ibu di Rembang dan Ibu Bumi Kingkong Volume 2 Hammer Sonic 2015 Rock in Solo Phoenix

73

BERBAHAYA Pargochy Total Kepep Beetleflux

WARTA ADEGAN Radioblast

MUSIK KITA

86

WAWANCARA

87

Filosofi Punk

Yockie Soeryo Prayogo Daniel Mardhani Pondra Priyono

TUCZINE

4

PENADAH LUDAH

Sedikit Tentang Band Yang Bubar atau Ganti Personel

DAFTARKU

Album Terfavorit Tigabelas Rilisan Luar Terbaik

SANG PEREMPUAN Ayu Prima Aksari

RESENSI

Resensi Album Resensi Film Resensi Buku

KLINIK MUSIK Let’s Get Tune

RAUNGAN BEBAS

Nostalgia : Kembali ke Tahun 1990-an Fury : M1 Sherman dan Tiger I Kita dan Benda Be Yourself! USO Arjuna dan Pusaka Kendalilupadosa Jalur Baru

CATATAN ANDRIA Soul of We

HALAMAN BELAKANG

Edisi Sembilan


SELAMAT DATANG

ISU Karst, Kendeng, Konsumerisme, Keberanian, Kapitalisme: Ode buat Ibu di Rembang dan Ibu Bumi

SEDIKIT KEMAUAN

Oleh : Meidiawan Cesarian Syah

S

Oleh : Maraha Sufitra

S

atu hal yang paling tidak disukai almarhum ayah saya adalah kata-kata “tidak bisa” saat beliau menyuruh sesuatu hal kepada saya. Saat saya coba membantahnya, beliau akan berkata, “coba dulu”. Itu adalah sebuah mantra yang sering diucapkannya kepada anaknya yang sebenarnya pemalas ini. Karena mantra tersebut pula, saat saya meminta kepada para TUC-ers untuk menyumbangkan tulisannya ke dalam zine ini, saya sadar yang berdalih tidak bisa menulis hanyalah kemalasan mereka semata. Atau mungkin ketidakpedulian mereka lagi terhadap TUC ini. Komunitas ini memang (nyaris) tinggal nama belaka. Walaupun beberapa bulan yang lalu saya paksa/teror untuk menyumbangkan tulisan, hanya segelintir yang mengirimkan tulisannya. Dan orangnyapun ituitu saja. Dan pada akhirnya saya menyerah. Mereka lebih tertarik untuk membahas bayangan/

TUCZINE

harapan berapa pundi-pundi yang mereka dapatkan kelak. Seorang guru olahraga SMA saya yang luar biasa keras, Bu Icha biasa beliau sering dipanggil, pernah berkata, “Kalau saya tidak cerewet lagi kepada kalian, itu pertanda bahwa saya tidak peduli lagi kepada kalian”. Itu benar adanya. Dan itu yang saya rasakan sekarang. Sejujurnya saya sendiri tidak ingin masuk TUC, karena memang dari dulu tidak ingin diasosiasikan dengan perkumpulan/ grup apapun. Bahkan sebagai pecinta bola yang terang-terangan membela dua klubpun, saya tidak ada keinginan untuk menjadi anggota fans club tersebut. Cuma sekedar mereka nonton saja cukup. Maklum fans layar kaca.

gat jarang mendengarkan musik rock ataupun metal. Namun beberapa pemikiran dan sudut pandang serta selera musik anggotanya yang tidak seperti kebanyakan pegawai pajak lainnya membuat saya cukup menikmati masa-masa itu. Sekarang tinggal kemauan kita sendiri apakah membiarkan TUC ini terus mati (suri) atau terus menyalakan api perlawanan ini tetap menyala?

Hanya karena saat itu sering ikut nimbrung di pojok TUC, maka Gigih, sebagai wakil ketua TUC, bersikukuh untuk mengajak masuk ke dalam milis dan grup Gtalk. Setelah beberapa kali diajak akhirnya saya bersedia. Padahal saya sendiri sudah san-

5

Edisi Sembilan

ATU Manusia mengonsumsi melebihi apa yang mereka mampu kembalikan untuk alam. Manusia adalah konsumen yang mutlak, melahap tanpa memikirkan resiprokasi pengembalian atas apa yang dilahap, Annie Leonard dalam video dokumenter terkenalnya “The Story of Stuff” mengatakan jika setiap negara memiliki taraf konsumsi setara dengan taraf konsumsi Amerika Serikat, dibutuhkan tiga hingga lima planet bumi untuk dieksploitasi hingga memenuhi konsumsi mereka. Sayangnya, kita hanya punya satu planet: Bumi. Kendeng adalah sebuah cerita konsumsi manusia yang merisaukan, jika bukan imperialisme yang menyedihkan. Dengan dalih kebutuhan pembangunan, maka lembah dikeruk, gunung dibelah, dan tanah berganti hutan pabrik. Manusia mencaplok penghidupan manusia lain. Alam menjadi tandus. Konsumsi diri sendiri dan egoisme jugalah yang membua mata sebagian masyarakat pun tertutup akan lingkungan sosial di sekitar, abai terhadap nasib ratusan orang bergelut melawan deru mesin yang memproduksi polusi. Pada tahun 2005, PT. Semen Gresik menawarkan investasi modal sebesar Rp 3,5 Triliun kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pati demi mendirikan pabrik semen baru di Jawa Tengah. Pendirian pabrik tersebut direncanakan menyeluruh terhadap empat kecamatan yaitu

TUCZINE

Kayen, Gabus, Sukolilo, dan Margorejo. Luas lahan yang diperlukan adalah 1350 hektar terdiri dari 700 hektar untuk penambangan batu kapur, 250 hektar untuk penambangan tanah liat, 85 hektar untuk produksi semen, 85 hektar untuk transportasi/ infrastruktur, serta 230 hektar untuk penunjang kegiatan. Gayung bersambut. Pemkab Pati menyetujui dengan memberikan surat izin penambangan, Penambangan terpusat pada pegunungan Kendeng Utara di mana penambangan karst akan dilakukan demi produksi semen. Pegunungan Kendeng utara sendiri melintasi Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Beberapa kabupaten yang dibentangi oleh pegunungan ini adalah Kabupaten Pati, Grobogan, Rembang, Blora serta terus membentang ke timur hingga Kabupaten Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan. Wilayah Karst, menurut Eko Budiyanto, umumnya kering dan kritis di permukaannya. Namun di bagian bawah permukaannya terdapat potensi air bersih yang melimpah. Penambangan di karst bertujuan untuk mengambil batu gamping, hasil dari penggalian batu gamping seperti pada bukit-bukit karst akan menghilangkan zona epikart yang sangat penting sebagai lapisan penangkap air. Tandasnya Zona epikart akan membunuh imbuhan air ke dalam loronglorong konduit atau sungai-sungai bawah tanah. Akibatnya, air tidak teresap

6

ini akan menjadi limpasan yang keluar di permukaan dan berlari secara masif. Dengan kata-kata sederhana, air akan mencapai volume yang besar dan menjadikan banjir di wilayah permukaannya. Selain itu, sungai-sungai bawah tanah mati, mata air di kawasan karst mati, dan potensi bencana banjir saat hujan semakin tinggi. Kebutuhan semen meningkat adalah alasan yang diungkapkan untuk membuka lahan-lahan penambangan baru. Sebuah cerita tentang tingkat konsumsi yang meninggi. Hegemoni kapitalisme yang merongrong sendi kepuasan dan kebahagiaan masyarakat. Semen nantinya diperlukan untuk meninggikan bangunan, melebarkan jalan, dan membangun materi fisik. Mungkin untuk lebih dekat pada kebahagiaan, dekat kepada Tuhan, atau mungkin juga untuk membuktikan status kemegahan. Entahlah.

D

UA Apabila menilik persoalan Kendeng secara hitam-putih, sudah barang tentu yang diperlawankan adalah antara modal (PT Semen Indonesia) dan rakyat (diwakili orang-orang setempat yang lahannya hendak dibeli PT. Semen Indonesia). Di sini ada dua kelas dengan kepentingan yang saling bertolak belakang. Sengketa dimulai, imperialisme digerakkan. Tujuan kapitalisme ada-

Edisi Sembilan


ISU lah sama: mencapai keuntungan bagi pemilik swasta dalam ekonomi pasar. Agar mencaai kesinambungan pasar, maka diperlukan produksi yang going concern. Apabila terkait dengan eksploitasi sumber daya alam, maka perusahaan kapitalistik akan membuka ruang-ruang baru dalam melestarikan usahanya. Pelaksanaan hal tersebut jelas bermuara pada keuntungan semua pihak selain masyarakat. Keuntungan bagi masyarakat dimarjinalkan dan disederhanakan dengan angka-angka statis. Biasanya hanya dalam bentuk upah ganti rugi semata. Pada akhir 1965, Soekarno sempat mencetuskan system ekonomi yang berdikari. Sistem ekonomi yang terlahir dari dekolonisasi ekonomi dengan menasionalisasi aset-aset asing, penolakan investasi asing yang baru, bahkan menolak bantuan asing. Tujuannya adalah agar asing tidak mengeksloitasi kekayaan Indonesia. Hal yang terjadi sekarang adalah eksploitasi kekayaan dengan bendera nasionalisasi namun tidak serta merta menepikan struktur sosial yang bertingkat-tingkat. Rakyat kecil tetap dipaksa memindahkan modalnya. Struktur sosial masyarakat di sekitar Kendeng terdiri dari petani, yang memerlukan dua hal saja demi menyambung hidup: tanah dan air. Tanah mereka miliki dari warisan yang diberikan secara turun temurun. Air mereka dapatkan dari sungai-sungai bawah tanah yang mengalir di bawah dataran karst. Pemaksaan pengalihan tanah milik petani tidak menyelesaikan persoalan struktur sosial yang ada. Hal ini cenderung menambah tajam garis garis pemisah antara yang bermodal dan yang papa. Dalih penyerapan tenaga kerja lebih besar dianggap tidak lebih dari omong kosong belaka. Omong kosong kanibalisme mata pencaharian hidup. Berdirinya Pabrik Semen semata-mata mengukuhkan dominasi kapitalisme atas rakyat setempat. Upah yang diberikan sebagai tenaga kerja tidak sesuai dengan potensi ekonomi yang akan muncul dari tanah mereka. Tanah yang apabila dirawat dengan baik akan mengoptimalkan kesejahteraan, tidak semata-mata kepuasan sesaat. Tentu saja ini mengingatkan kita pada konsep analisis Marx, yaitu bahwa semua nilai ekonomi berasal dari kaum proletar. Tetapi, kaum proletar mendapatkan penggantian hanya berupa upah subsisten, yaitu upah yang ha-

TUCZINE

ISU nya cukup untuk melanjutkan hidup dan melahirkan keturunan. Selebihnya adalah milik para pemodal, atau dalam analisis Marx, kaum borjuis. Lama kelamaan mereka akan semakin memojokkan kaum-kaum proletar yang sudah dilucuti. Struktur sosial semakin tajam dengan proses dehumanisasi dan pemerosotan martabat ini.

T

IGA Ada yang berbaris, diam, duduk. Tidak perlu suara-suara lantang untuk mengutarakan kegelisahan mereka. Tidak perlu teriak untuk melawan deru mesin yang berdetak mengarah pada mereka. Ibu-ibu itu, mereka memblokir jalan yang digunakan kendaraan PT Semen Indonesia untuk masuk ke tapak pabrik. Mereka menolak tanpa tapi tentang penjarahan yang dilakukan di rumah mereka. Situs pertanian yang berpuluh-puluh, mungkin beratus tahun sudah menghidupi keluarga mereka. Air Mata tidak ragu mereka sisihkan demi mata air yang sudah lama memberikan penghidupan, Sederhana saja, mereka memelihara kehidupan seperti kehidupan memelihara mereka. Bukan hanya kehidupan mereka, tetapi juga kehidupan anak cucu mereka, serta kehidupan alam. Ibu-ibu itu tetap bergeming, sementara aparat menggendong teman-temannya yang duduk di tengah jalan dan meminggirkannya. Mereka terus melawan dengan diamnya, dengan geraknya, dengan nafasnya. Bukan aparat yang mereka lawan, tapi keganasan konsumerisme yang hendak mencekik lumbung penghidupan mereka. Fragmen itu tersaji pada tanggal 16 Juni 2014, dapat dilihat secara nyata dalam film dokumenter Samin vs Semen. Tidak hanya hardikan saja, mungkin mereka bersitegang hingga nyali mereka terperam luka. Mungkin juga mereka melemah melawan kekuatan fisik para aparat. Mereka pun duduk di pinggir, namun kalah bukanlah pilihan. Hingga malamnya, aksi itu tidak tumpas meskipun, mengutip Chairil, lawan banyaknya seratus kali. Ibu-ibu membaca zikir, melakukan wirid, memohon pada Sang Kuasa untuk membantu mereka menjaga amanah alam yang dititipkan oleh-Nya. “Saya menangis, Saya tidak rela melihat teman-teman saya ada yang sampai telanjang (saat melakukan aksi protes), karena jalan satu-satunya hanya itu. Ti-

7

dak ada senjata apa-apa.” Ungkap Sukinah, seseorang petani yang terkena imbas dari berdirinya PT. Semen Indonesia. Tidak ada senjata apa-apa yang mereka miliki. Mereka tergerak dari gugahan hati yang terdalam. Tidak perlu provokasi. Tidak perlu hasutan apapun. Mereka membawa karton bertuliskan “Selamatkan Mata Air Kami” serta membentangkan spanduk bertuliskan: “Kalian Boleh Memukuli Lelaki Kami, Sekarang Hadapi Kami! #SelamatkanKendeng”. Mereka tidak membutuhkan kain-kain bagus untuk dikenakan. Mereka tidak membutuhkan sosial media untuk menunjukkan eksistensi. Mereka tidak membutuhkan kemolekan yang diperbincangkan atau disengketakan oleh mata-mata tertentu. Mereka hanya memikirkan masa depan sanak saudara, tumpah darah mereka. Ibu-ibu itu menggantikan lelaki mereka yang sudah dipukul, dijatuhkan, dan mengambil barisan terdepan. Demi keluarga mereka, demi kehidupan mereka. Sebagian besar dari mereka, ungkap Sukinah, memang buta huruf. Namun setidaknya mereka masih belum buta hati. Mereka masih bernyayi atas kegundahan mereka, tentang alam yang semakin lirih tangisnya karena dikoyak tangan-tangan manusia. Mungkin ini sebabnya Bumi disebut Ibu. Karena dari rahim mereka lahir aneka kehidupan. Karena dari Air Mata mereka mengalir sungai-sungai yang melepaskan dahaga dan kerisauan.

E

MPAT Aksi Massa menjadi kuat apabila mereka teguh mempertahankan nilai-nilai yang sama secara konsisten. Melawan ketidakadilan, mobilisasi pergerakan pasti diperlukan. Sekali ada embrio pembangkangan terhadap nilai-nilai yang telah disepakati, maka pergerakan akan gagal, tumpas kelor. Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa menulis apabila semboyan dan tuntutan sungguh diteriakkan oleh massa. Demonstrasi politik dapat menjadi gelombang hebat yang makin lama makin deras dan kuat sehingga meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa. Di negeri yang berindustri seperti Indonesia, “aksi massa”, yakni boikot. Mogok dan demonstrasi boleh dipergunaka sebagai senjata yang lebih tajam.

Edisi Sembilan

Pada tahun 2009, Sedulur Sikep berhasil memenangkan tuntutan atas PT Semen Gresik dan memukul mundur mereka dari Pati. Bumi Mina Tani. Praktek mobilisasi gerakan yang dicetuskan Tan Malaka mereka gunakan, dan cita-cita pabrik semen untuk mendirikan penambangan di Pati pun gugur. Sedulur sikep memang mewarisi falsafah kehidupan yang dipegang erat hingga kini. Mereka memegang teguh amanah kejujuran sebagai landasan hidup. Sedulur Sikep hanya diperbolehkan memiliki mata pencaharian bertani dan menggembala. Mereka tidak diperbolehkan berdagang karena perdagangan sangat erat dengan dusta. Nilai-nilai yang diwariskan oleh Sedulur Sikep ini sangat kuat. Mereka menganggap alam telah menyangga kebutuhan mereka dengan baik. Konsumerisme yang berlebih ditolak untuk bertamu di pintu rumah mereka. Mereka dengan tegas tidak menginginkan adanya pabrik semen dan menjaga tanah mereka. Bagi mereka, uang pengganti yang ditawarkan untuk menjual tanah hanyalah kesilauan semata. Akan bergeser kepada harta yang akan punah dikikis waktu. Namun tanah yang dikelola dengan baik, menjadi anugerah yang tak putus-putusnya. Tanah menjadi surga bagi anak-anak mereka kelak. Konsumerisme berlebihan hanya mengakibatkan penderitaan dan keserakahan. Sedulur Sikep adalah komunitas yang tidak mengijinkan keserakahan mengambil alih nurani mereka. Dengan kesatuan pandang, tidak ada satu warga pun yang akhirnya menjual tanah mereka kepada PT Semen Gresik. Cukup adalah sebuah ironi satir di kota, tapi bagi mereka mempercukupkan adalah sebuah tujuan dari kehidupan.

L

IMA Jika hingga saat ini PT Semen Indonesia masih berusaha melebarkan penambangan meski perlawanan dilakukan di mana-mana, tentu saja ini dikarenakan ia tidak berdiri sendirian. PT Semen Indonesia tentu menggandeng pemerintah dan pihak-pihak tertentu untuk menegaskan keabsahan praktek imperialism modern mereka. Pemerintah Daerah yang takluk dengan iming-iming investasi yang diberikan sektor privat akan membuat peraturan baru yang berpihak pada sektor pri-

TUCZINE

vat meskipun pada awalnya telah ada peraturan yang berbunyi sebaliknya. Praktik kongkalikong antara pemerintah dan kapitalisme terlihat pada saat pembuatan AMDAL sebagai syarat utama pelaksanaan pertambangan. PT Semen Gresik pada 2005 mendapatkan izin dan Amdal untuk mendirikan pabrik baru di 4 kecamatan di Kabupaten Pati. Lolosnya izin dan Amdal ini disebut berkat dukungan Lembaga Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro.. Pada kenyataannya, hasil AMDAL tersebut bertentangan dengan Hasil AMDAL yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Pembangunan Yogyakarta, yang intinya menyatakan bahwa kawasan Pegunungan Kendeng Utara ini adalah kawasan Karst dan kawasan tersebut tak layak untuk dilakukan pertambangan karena merupakan topangan kehidupan masyarakat setempat. Beberapa oknum dari kampus pun berbuat tengik dengan menggadaikan intelektualitasnya dengan label harga tertentu. Dosen tertentu dari Universitas Gajah Mada berpihak kepada kooptasi kapial sehingga menjadikan kaidah keilmuan dipelintir. Jalinan kekuasaan pemerintah, sektor privat, dan akademisi merupakan sebuah bentuk neo kapitalisme Semacam kapitalisme yang diperhalus dengan peraturan-peraturan. Kapitalisme yang dilegitimasi dan dilembagakan. Ilmu pengetahuan yang luhur dapat dilongsorkan atas nama kapitalisme. Atas sebuah keinginan sepihak. Masyarakat pun kemudian menjadi korban. Pihak-pihak lain yang bersekongkol memegang kendali penuh menentukan arah pengelolaan. Sistem kelas terbentuk, dengan masyarakat yang, mengambil kata-kata Sukinah, tidak memiliki senjata apaapa dikeroyok dan habis dirajam kooptasi politik yang menjijikkan. Mereka pada akhirnya terkapar. Kapitalisme selalu mengorbankan mereka yang berdiri di garis batas kekuatan modal yang paling sedikit. Kooptasi semacam ini harus diredam dengan mengembalikannya ke jalan yang benar. Rakyat sudah sadar akan petualangan politik yang hendak memberangus kesejahteraan mereka. Tinggal cara yang revolusioner saja yang perlu ditempuh. Kongkalikong dengan poros pemerintah-swasta-intelektual harus diceraikan, Pemerintah dapat digugat melalui penelitian yang independen dan objek-

8

tik. Universitas sebagai rumah bagi akademisi tidak menjual “iman” mereka demi kepentingan tertentu. Jika memang AMDAL merekomendasikan agar penambangan tidak digelar di lahan tersebut, maka bekukan izinnya segera. Biarkan tanah itu menjadi bagian keseimbangan ekosistem. Biarkan sawah-sawah yang indah menjadi pusaka yang dinikmati anak cucu kita kelak. Bukan sesuatu yang jadi kenangan di masa lalu atau sekedar angan di masa depan ----Perempuan, dalam imaji seorang Kartini, adalah orang yang mampu membentuk anak-anaknya sebagai bagian di masa yang akan datang. Melalui kacamata kapitalisme neoliberal saat ini, perempuan menjadi kunci utama dalam Labour Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga fleksibel. Perempuan telah beradaptasi dengan sangat luar biasa dalam kerja. Mereka bertindak sebagai garda depan dalam pendidikan, pekerjaan,maupun dala rumah tangga. Ibu-ibu, yang berjuang dari tanah Gunem di Rembang, melampaui imaji dari Kartini maupun akidah feminism di kapitalisme liberal. Mereka berjuang, mereka di depan bersuara lantang, sembari menggendong anak-anak mereka. Mereka mengasuh, mereka juga mengasah nyali hari demi hari yang kian tumpul akibat persekongkolan yang tak mengenal tepi. Di saat konsumerisme menjadi tolok ukur, uang menjadi penentu nilai seseorang, dan kesetiaan kita pada citra dan markah-markah tertentu. Masih banyak orang yang tidak mampu terbeli karena mereka memikirkan anak dan cucu mereka. Pemikiran yang sungguh sederhana. Manusia ibukota yang takluk dalam jebakan segmentasi tertentu menjadi manusia picik. Pada Bulan Maret ini kita merayakan Hari Air dan Hari Bumi. Namun Air yang dihasilkan bumi dicemari. Air yang dihasilkan manusia diratapi. Air dan Bumi menjadi fakir di saat mereka dirayakan. Mungkin kita lupa, kita hanya diberikan satu tempat tinggal. Mungkin kita lupa, kita masih harus mengayunkan estafet kehidupan ke generasi kita kelak. Ibu-ibu di Rembang mengingatkan idiom lama: Saat pohon terakhir ditebang, saat ikan terakhir ditangkap, pada saat itulah kita sadar bahwa uang tidak dapat kita makan.

Edisi Sembilan


WARTA PERTUNJUKAN Oleh : Ajar Rendra Islami

S

ebelumnya, saya belum pernah merasakan suasana gigs punk Jakarta. Dan berangkat dari rasa penasaran itulah saya antusias ketika Fery Cuwa mengabari akan ada acara gigs reuni punk Indonesia yang dimotori oleh Pakalolo Records yang diberi nama Kingkong vol 2, meneruskan sukses gigs Kingkong pertama mereka yang digelar tahun sebelumnya. Acara ini digelar di Plaza Senayan GBK pada Sabtu 21 Februari 2015. Berbekal motor pinjeman dan dandanan paling berandalan biar familiar dengan crowd saya berangkat ke lokasi sekitar pukul 3 sore, acara sendiri sebenarnya dimulai sejak pukul 12 siang. Ketika sampai di senayan ternyata tidak ada pemeriksaan STNK seperti biasanya ketika saya masuk melalui salah satu gerbang. Dan pantas saja, karena ternyata area parkir dipenuhi skuter butut modifikasi dari berbagai bentuk dan ratusan anak punk kongkowkongkow di sekitar situ membuat makin tidak jelas ini yang mana tukang parkirnya, hahahah. Sebelum saya masuk ke venue saya sempat mendengar beberapa dari pengunjung yang baru datang saling sapa menggunakan bahasa jawa dan sunda, menandakan bahwa memang beberapa dari mereka rela datang dari jauh dengan skuter- skuter butut tadi demi ke acara ini. Setelah saya membeli tiket yang murah sekali, hanya 30ribu rupiah kemudian masuk lah saya ke venue, saat itu Bad + sedang beraksi dengan vokalisnya yang bermultitasking dengan harmonika di depan para penonton yang masih belum be-

TUCZINE

WARTA PERTUNJUKAN

Kingkong Volume 2

gitu ramai, kemudian dilanjut oleh Chaos RI sebelum akhirnya acara dihentikan sejenak oleh panitia untuk break sholat maghrib. Anda tahu bagaimana rasanya mengantri di mushola dadakan sempit bikinan panitia dan saling membantu untuk berwudhu dengan segerombolan orang- orang bertatoo, berambut mohawk dan pakaian penuh atribut band kesayangan mereka? awesome! Apa yang selanjutnya saya saksikan di venue sempit malam itu baik di atas dan di bawah panggung adalah hal- hal luar biasa lainnya, band- band bergantian naik turun panggung dimulai dari Lastdrive yang selain mengcover beberapa lagu Ramones juga membawakan lagu mereka sendiri, beberapa band menyempatkan diri bercanda dan saling lempar ejekan dengan penonton saat check sound menunjukkan bahwa memang tidak ada yang lebih ngetop di dalam scene punk, semuanya setara! moshpit juga terlihat brutal dan ada penonton yang naik ke panggung dan stage dive tiap hampir 30 detik sekali, di beberapa sudut venue terlihat beberapa penonton mulai berjalan sempoyongan bahkan tersungkur karena alkohol namun tidak ada keonaran yang saya saksikan sama sekali. Penonton saling menolong kalau ada yang jatuh, bahkan sesekali waktu saat jeda antar lagu panitia mengumumkan ditemukannya barang- barang yang jatuh di moshpit mulai dari dompet, handphone, bahkan kunci motor. Saya tidak yakin ada hal semacam ini di sebuah acara konser musik pop sekalipun, sebuah pertunjukan kesetaraan dan solidari-

9

tas tingkat tinggi! Hal lain yang membuat atmosfir punk sangat terasa adalah betapa sederhananya panggung dan set yang ada, venue sekecil itu pun denger- denger sewanya saja 40juta, ya wajar sih di Senayan memang. Sound system yang dipakai pun terasa murahan sekali karena terdengar jelas beberapa kali mengalami masalah, bahkan pedal drum bautnya lepas beberapa kali... tapi ini lah punk! keseluruhan acara ini terselenggara tanpa sponsor, DIY ethic! salut buat panitia. Akhirnya saya memutuskan pulang sebelum acara berakhir dan melewatkan penampilan Bunga Hitam sebagai penampil puncak acara ini, tepatnya saat Fisticuff 86 beraksi di panggung sekitar pukul 9 malam karena saya memang tidak berencana pulang terlalu larut, karena sekali lagi saya bawa motor pinjaman, hahaha. Sesampainya di parkiran saya menyadari bahwa saya kehabisan bensin dan harus menuntun motor menuju pom bensin terdekat sesuai arahan sekuriti Senayan, melewati lalu lalang mobil yang keluar masuk mall Plaza Indonesia dan Senayan City dengan dandanan ala punk saya. Sempat terbesit kekhawatiran kalau bakal diberhentikan polisi karena dikira pelaku curanmor, tapi buru- buru saya berusaha hapus pikiran negatif tersebut, jika memang saya peduli dengan apa yang orang lain pikirkan maka sejak awal saya tidak seharusnya mendengarkan musik ini.

Edisi Sembilan

HAMMERSONIC 2015

S

ebagai seorang metalhead karbitan yang kebetulan (sementara) berada di Jakarta saya merasa beruntung bisa menyaksikan perhelatan Hammersonic Jakarta International Metal Festival dua tahun berturut2 meskipun sayangnya saya tidak pernah mengikuti keduanya dari awal sampai usai karena memang saya sengaja berangkat selepas sholat maghrib dulu dengan mempertimbangkan kondisi venue, dan pastinya main act sengaja disimpan panitia untuk ditampilkan di bagian belakang, hehehe. Dan benar saja, ketika saya berhasil masuk ke lapangan D senayan 8 maret 2015 jam 7 malam lalu saya sudah melewatkan Avulsed (saya tidak tahu kendala apa yang dialami panitia tapi saya tidak mengantri sepanjang ini untuk masuk area festival pada Hammersonic 2014 sebelumnya), setelah ketemuan dan berbasa basi dengan beberapa teman yang memang sejak sebelumnya sudah janjian “see you in the moshpit!� termasuk mas Annas dan editor keparat kita mas Dede, saya mencoba meringsek maju ke depan stage dan menikmati thrashmetalnya Warbringer yang saat itu tampil di sonic stage. Setelah itu giliran Deathstar menyajikan musik mereka di hammer stage, dimana saya kemudian menyadari ada ketimpangan sound antara sonic stage dan hammer stage, sekali lagi entah apa yang dialami panitia tapi sonic stage kurang menggelegar. Selanjutnya bergantian menghajar telinga para penonton yang makin malam makin padat ada Ignite yang sebenernya mengusung aliran hardcore dengan lagu- lagu mereka yang berdurasi

TUCZINE

pendek, lalu Vader dari Polandia dengan death metal mereka, Unearth yang beraliran metalcore, kemudian The Faceless yang tampil dengan tehnik yang mengagumkan secara pribadi bagi saya, membuat saya serasa mendengar musik klasik dan jazz di dalam metal, dan band gaek dari California Terrorizer. Meskipun pagi harinya gerimis sempat mengguyur beberapa bagian Jakarta dan menciptakan kubangan becek di beberapa bagian area festival antusias penonton untuk menikmati malam itu tidak tampak berkurang, terlihat beberapa kali terbentuk circle pit pada kerumunan di depan kedua stage. Satu lagi band tua yang tampil kemudian di malam itu adalah Mayhem! mereka tampil dengan secara teatrikal dengan dandanan ala satanis mereka, Attila sang vokalis tampak seperti zombie yang berlumuran darah dengan microphone tengkorak di tangannya, benar- benar kualitas yang saya harapkan dari sesepuh black metal. Hal lain yang paling saya sayangkan dari Hammersonic 2015 ini terjadi ketika Mayhem membawakan lagu penutup mereka Pure Fucking Armageddon, penonton yang memang kebanyakan datang untuk penampilan Lamb Of God mulai tidak sabar dan meneriakkan “Lamb Of God! Lamb Of God!� ketika Mayhem belum menyelesaikan penampilan mereka... oh nooo! ini memalukan! dedengkot black metal dikacangin sama penonton Indonesia. Dikit banyak saya merasa gak enak sama mereka yang sudah jauh- jauh dateng dari Swedia. Terakhir dan sebagai penutup tentu saja penampilan band yang sudah lama dirindukan para

10

Oleh : Ajar Rendra Islami

metalhead Indonesia sejak kedatangan mereka di sini 2009 lalu, Lamb Of God! yaaaay! para penonton yang sebelumnya duduk langsung berdiri, dan yang sudah berdiri langsung maju ke depan stage, menyemut, dan berdesakan membuat atmosfir festival malam itu menjadi panas, tengah malam dan semua orang berkeringat! Randy Blythe dan kawan- kawan yang memainkan lagu- lagu andalan mereka seperti Walk With Me In Hell, Redneck, Desolution, Laid To Rest dan Black Label benar2 memuntahkan energi luar biasa yang memaksa para penonton moshing dalam circle pit luar biasa besar yang terbentuk atau setidaknya headbang di barisan belakang, hehe. Overall, saya rasa hammersonic 2015 sangat memuaskan, saya rasa semua penonton mendapatkan sensasi yang sama luar biasanya dari penampilan band- band yang hadir, yang perlu menjadi catatan mungkin adalah line up tahun ini yang menurut saya memang agak terlalu Lamb Of God - centris, band- band yang diundang mempunyai nama yang kurang setara besarnya jika dibandingkan satu sama lain seperti tahun sebelumnya, sehingga terjadilah insiden kecil yang terjadi saat Mayhem tampil seperti yang saya sebutkan tadi. Sebut saja tahun lalu dimana ada Hatebreed yang punya kelompok penggemar sendiri, Fleshgod Apocalypse buat yang suka technical, Bullet For My Vallentine yang punya massa anak- anak muda pendengar metalcore, lantas ada Kreator dan Morbid Angel yang ditunggu para metalhead yang sudah berumur

Edisi Sembilan


WARTA PERTUNJUKAN musik biasa’ menyambut Piala Eropa 2004. Yup, saya menyaksikan perayaan sepuluh tahun festival yang menempatkan kota Solo ke dalam peta musik metal dunia. Anak haram kebudayaan itu telah menjadi salah satu ikon kota berdampingan dengan keraton, batik, Bengawan dan lainnya, serta telah diakui oleh pemerintah kota sebagai salah satu acara tahunan yang mesti didukung. Benteng tua warisan era kolonial, Vastenburg, sekali lagi menjadi tempat tumpah banyak manusia yang datang dari berbagai pelosok negeri. Menukil dari Solopos, sepanjang 2014, di tempat ini telah diadakan beberapa kegiatan besar seperti SIPA, Indonesia International Mark Festival, SKF dan Bamboo Biennale. Sang penulis di koran tersebut juga menyinggung tentang mirisnya kondisi benteng yang semakin rentan akibat, salah duanya, frekuansi kegiatan yang terus meningkat dan minimnya perawatan. Memang, dibandingkan dengan koleganya seperti Fort Rotterdam di Makassar atau Vredeburg di Jogja, Vastenburg kelihatan tak terawat. Semoga saja, ratusan desibel kebisingan yang menggelegar dari sound system dan teriakan ribuan manusia pada tanggal 11 Oktober lalu membangunkan pemerintah untuk segera merestorasi situs bersejarah tersebut.

S

Oleh : Abdul Rab Rasul Sayyaf

TUCZINE

ejak 2010, setidaknya sekali dalam setahun, saya selalu memanfaatkan jatah cuti tahunan (juga gaji) untuk menonton konser band favorit atau mendatangi festival-festival musik cadas yang saya anggap terbesar di Indonesia. Itu bisa jadi adalah liburan bagus untuk seorang pegawai negeri setan bujangan-cum-bajingan yang tidak punya banyak harapan hidup di sisa umurnya. Setelah Hatebreed, Hammersonic, Bandung Berisik, Rock in Celebes dan lainnya, tahun ini adalah gil-

11

Edisi Sembilan

iran Rock in Solo. Karena niat-

nya adalah Solo, tahun ini saya melewatkan Hammersonic pada 27 April dan Kukar Rockin’ Fest pada 9 Maret, termasuk juga Metallica di paruh kedua tahun lalu. Untuk yang terakhir, saya sangat menyesal.

S

etidaknya, saya punya penghiburan di Rock in Solo tahun ini: datang di momen yang tepat. Gelaran kedelapan ini adalah sekaligus milestone dari apa yang semula hanyalah ‘acara

TUCZINE

Saya tiba di venue sekira pukul 11.30, tapi kemudian memutuskan untuk berkeliling melihat kota sejenak dan baru kembali ke sana sekira pukul 13.00. Setelah menukar tiket, melalui bodychecking yang tidak seketat di Bandung tahun lalu, dan membeli kaos untuk suvenir, pemandangan pertama yang saya temui adalah walk of fame poster Rock in Solo dari tahun ke tahun. Dari poster sederhana di tahun pertamanya, sampai yang rumit dan berkelas di tahun kesepuluhnya. Dari sini kita sudah bisa melihat perjalanan panjang yang telah dilalui festival ini. Di dalam, seperti biasa pada festival yang digelar sejak siang, saya mendapati area belum penuh. Hanya segerombolan orang di depan panggung, dan sebagian besar lainnya berteduh meng-

12

hindari terik matahari dan tebaran debu di booth-booth makanan, minuman, merch dan tenda soundman di tengah lapangan. Mengacu pada rundown, saya melewatkan Piston, Fraud dan Biang Kerock. Aksi pertama yang saya dapati adalah Shalahuddin Al Ayyubi. Band muda yang tengah naik daun selepas merilis debut ini patut berbangga, sebab mereka adalah salah satu dari hanya tiga band tuan rumah yang dipercaya tampil. Aksi mereka selama 20 menit enerjik, membawakan irama metalcore yang pernah sangat familiar di kuping. Setelahnya ada Warkvlt. Ini dia salah satu yang saya tunggu setelah tahun lalu -waktu itu masih bernama Impish- album mereka menjadi salah satu favorit. Seperti berjodoh, mereka membuka penampilan dengan “Apokalyptikal Battlehymn”, lagu kesukaan saya dari album tersebut. Sayang, mereka hanya sempat menuntaskan tiga lagu, dan saya masih saja merasa aneh melihat corpsepaint di siang bolong. Quintet dari pinggiran selatan ibukota, Rising the Fall, melanjutkan aksi Warkvlt. Dengan musik bertenaga, masih berirama metalcore, dan lagu-lagu seperti “Arogansi” dan “Berdiri Sama Rata”, mereka bermain aktraktif dan mampu mengajak crowd turut terlibat. Orasi dari audioclip yang mengawali aksi Godless Symptoms memecah keheningan panggung setelah break ashar dan menjadi laksana sirine yang membangunkan metalhead untuk semakin merapat ke bibir panggung. Aksi band crossover asal Bandung tersebut terbukti ampuh untuk menciptakan keriuhan di depan panggung yang menyebabkan kabut debu untuk beberapa saat. Terlebih saat mereka memainkan title track dari album yang rilis tahun lalu, “Negeri Neraka”. Kemudian ada Bandoso, satu penampil tuan rumah lainnya, dan lagi, black metal di siang bolong, lengkap dengan semerbak dupa yang dibakar di awal penampilan mereka. Setelah Bandoso, saya mundur, dan berturut-turut kemudian panggung diisi oleh dua band asal Bandung, Disinfected dan Revenge the Fate.

Edisi Sembilan


WARTA PERTUNJUKAN Saya kembali merapat saat Earth Rot menjejak panggung. Selain Carcass, hanya mereka ini yang merupakan penampil dari luar negeri. Band death metal asal Australia ini berisi lima pria gondrong mengerikan yang bermain apik dan kompak, teruta ma saat melakukan headbang gaya helikopter secara berjamaah. George Fisher seharusnya bangga. Selanjutnya ada spesialis sebelum break maghrib: Siksa Kubur. Entah kebetulan atau semacam jinx bagi mereka, Andre dkk juga tampil sebelum break maghrib di Bandung Berisik tahun lalu. Band death metal paling aktif di Indonesia ini memanfaatkan betul waktu yang diberikan kepada mereka untuk sekali lagi mengiringi senja yang menjelang dengan aksi cadas dan memukau. Jika bukan karena adzan maghrib yang segera berkumandang, rasanya mereka akan terus berteriak dan berjumpalitan di sana. Lalu, seperti kata mc, datanglah penampil paling setia di setiap gelaran Rock in Solo: break maghrib. Jeda sekira sejam ini dimanfaat oleh crowd untuk sholat, beristirahat atau mengisi perut. Tidak terkecuali saya, yang sekalian menunggu dan akhirnya bertemu dengan ketua paguyuban Tax Underground Community, pak Andria Sonhedi yang legendaris itu. Ini adalah perjumpaan kedua kami. Jauh lebih lama dari perjumpaan sekilas menjelang konser Hatebreed tahun 2010 dulu. Beliau ini datang menyetir sendiri selama 2,5 jam dari Magetan hanya untuk Carcass, mencari Mas Kukuh yang misterius, dan memberikan saya mug serta payung cantik, untuk kemudian menyetir lagi 2,5 jam balik ke Magetan! Salut!!

S

eperti di Bandung tahun lalu, band tuan rumah paling ditunggu mendapat jatah tampil setelah break maghrib. Down for Life menapak panggung, memantik keriuhan dan memancing arus crowd yang semakin ramai untuk segera merapat ke panggung. Sebagai penampil tuan rumah sekaligus penyelenggara, wajarlah kiranya jika mereka sangat aktif dan sedik-

TUCZINE

WARTA PERTUNJUKAN it sentimentil menyapa crowd yang sebagian besarnya adalah penonton setia Rock in Solo dari tahun ke tahun. “10 tahun sudah pembangkangan. Sejarah panjang perjalanan Rock in Solo sejak kali pertama digelar 2004 lalu. Kali ini kita punya legenda bernama Carcass. Selain Carcass, ada yang menunggu Jokowi lagi? Biarkanlah Jokowi bekerja di sana. Metalhead yang baik adalah yang bekerja sesuai dengan pekerjaan masing-masing,” kira-kira seperti itu sapaan Stephanus Adjie, vokalis, di sela-sela teriakannya, menyinggung sedekade hajatan ini dan juga, -kalau bisa disebut- sang patron. Mendapati idola mereka sedang menguasai panggung, Pasukan Babi Neraka mengikuti setiap entakan dan teriakan yang keluar dari sana. Pada saat penampilan Down for Life inilah, menurut saya, momen paling intens selama Rock in Solo 2014 ini terjadi. Ribuan manusia tumpah ruah, liar, melakukan moshing, atau setidaknya headbanging, secara bersamaan. Terutama saat Adjie memandu wall of death yang mengawali lagu “Pesta Partai Barbar”. Epik.

dari tahun ke tahun. Menurut kabar, dalam rangka merayakan pencapaian sedekade pembangkangan ini, pihak penyelenggara akan meluncurkan dokumenter dalam waktu dekat.

Lepas break isya sekira 10 menit, band death metal lumayan muda Revenge mengambil alih panggung, disusul Death Vomit dari kota tetangga. Saya tidak terlalu memperhatikan Revenge, tapi Death Vomit tampil seperti biasa, anteng saja tanpa banyak basa-basi menghajar massa di depan panggung, salah satunya lewat “Anthem of Hate”. Selepas mereka ada legenda rock Indonesia, Edane. Saya tidak banyak tahu lagu-lagu Edane, tapi saya punya ekspektasi menjelang penampilan mereka. Setelah sejak siang dijejali kebisingan yang sama: metalcore, death metal, black metal, setidaknya musik Eet Sjahranie dkk akan memberi variasi yang bagus untuk kuping. Dan syukur sekali, mereka mengakhiri setlist dengan nomor manis yang memancing koor massal paling semarak malam itu: “Kau Pikir Kaulah Segalanya”.

Sebagian orang mungkin melihat itu sebagai anti-klimaks. Tapi, tidak bagi sebagian orang di depan panggung yang, saya yakin, benar-benar datang hanya untuk Carcass. Mereka tetap setia mengikuti aksi Jeff dkk yang juga akhirnya anteng saja menghajar crowd dengan lagulagu bertempo cepat dan beringas, hingga lebih dari sejam kemudian. Aksi Carcass sekaligus menutup gelaran Rock in Solo di perayaan milestone-nya. Satu dekade pembangkangan sang anak haram yang kini telah menjadi kebanggaan kota Solo, sekaligus Indonesia. Selamat dan salut!

Hampir serupa dengan Edane, malah lebih buruk, tidak ada satupun lagu Carcass yang saya tahu! Jadilah di penampilan legenda grindcore asal Liverpool yang didaulat sebagai pamungkas itu, saya hanya bisa menyaksikan dengan khidmat. Sampul album comeback mereka yang mendapat banyak pujian tahun lalu, “Surgical Steel”, menjadi backdrop yang pas di antara kebisingan musik yang mereka mainkan dan permainan lighting yang apik. Mungkin senasib dengan saya yang tidak paham Carcass karena faktor interval usia yang cukup jauh, kebanyakan crowd terlihat bengong dan tenang saja. Faktor lain bisa juga karena kelelahan setelah seharian moshing dan berteriak. Jeff Walker sampai harus, berkali-kali, menyemangati crowd. “Why? Are you shy? You tired? It’s Rock in Solo, not sleep in Solo. Come on!”, sapanya di jeda pergantian lagu.

Menuju pintu keluar, saya melihat banyak sekali wajah-wajah kelelahan namum sumringah dan penuh kepuasan. Sampai ketemu di Kukar Rockin’ Fest tahun depan!

Kelar Edane, ada jeda cukup lama bagi awak Carcass untuk mempersiapkan peralatan mereka. Jeda diisi dengan pemutaran video perjalanan Rock in Solo

13

Edisi Sembilan

PHOENIX GARAGE LOVE 2014 Saat Hujan Membuat Pertunjukan Menjadi Lebih Hidup Oleh : Maraha Sufitra

S

alah satu konser yang saya sesali karena telah melewatkannya adalah saat Phoenix konser di Jakarta pada tahun 2009. Padahal saat itu mereka baru saja merilis album ke-4 (empat) yang merupakan album terbaik mereka, “Wolfgang Amadeus Phoenix”. Maka ketika mereka mengumumkan akan kembali menggelar pertunjukan lagi di Jakarta, saya tidak sabar menanti penampilan mereka. Kali ini pihak “Ismaya Live” yang menghadirkan mereka dalam rangkaian “Garage Love”. Mulai menyukai musik mereka di tahun 2006 saat membaca ulasan album ketiga mereka, “It’s Never Been Like That”, yang masuk ke dalam list album terbaik tahun 2006 versi Rolling Stone. Tetapi sebelumnya pernah mendengar single mereka, “Too Young” yang menjadi original soundtracks “Lost in Translation” (Bill Murray & Scarlett Johansson). Ada sedikit kekhawatiran pada saat acara berlangsung (17 Januari 2014) akan turun hujan, karena saat itu memang hampir tiap hari Jakarta diguyur hujan. Akan tetapi pada hari jumat itu, cuaca cukup cerah. Namun menjelang malam hujan turun dengan lebatnya. Saya membayangkan pertunjukan akan di-cancel dan hanya sedikit penonton yang datang. Sesampai di lokasi, hujan sedikit mereda. Sayangnya raincoat yang dibagikan oleh panitia sudah habis. Waktu menunjukan hampir jam 10 malam, saya pun langsung bergerak menuju barisan penonton paling depan. Saat itu masih ada sepasang DJ yang

TUCZINE

masih tampil. Walaupun tidak tahu siapa mereka, dan kurang menyukai jenis musik yang mereka bawakan, saya ikut bergoyang dengan penonton lainnya. Daripada menggigil kedinginan karena hujan, lebih baik menggerakkan badan untuk menghangatkan diri, hehe. Saya perhatikan sekilas saat itu lebih banyak penonton wanitanya, dan sebagian besar adalah para ABG. Satu hal yang cukup mengganggu adalah beberapa penonton di barisan terdepan yang membuka payungnya. Jadi membuat penonton sekitarnya menjadi tidak leluasan dalam bergerak. Setelah agak molor lebih dari setengah jam, akhirnya para kru Phoenix mulai mempersiapkan peralatan. Hujan mulai sedikit mereda dan dan para penontonpun mulai menutup payung mereka. Tanpa basi-basi, mereka mulai menyanyikan single “Entertainment” dari album terbaru mereka “Bankrupt”. Tanpa perlu diarahkan penontonpun mulai berjingkrak. Saya tidak ingat di lagu mana hujan kembali turun deras, tapi itu tidak menyurutkan antusiasme para penonton. Bahkan ada beberapa penonton yang membuka bajunya tanpa mempedulikan hujan yang tetap turun. Sayangnya yang topless itu bukan penonton wanita, haha. Penampilan Phoenix malam itu juga sangat bagus. Hujan tidak menghalangi sang frontman, Thomas Mars untuk ikut mendekati penonton dengan menaiki pagar pembatas. Walaupun lagu yang dibawakan tak ubahnya dengan yang ada di album, mereka sangat maksimal membawakan setiap lagu. Satu persatu mereka membawakan hits single mereka. Saya sendiri tidak mengingat dengan benar urutannya, tapi mereka membawakan mulai dari “Too Young”, “Long Distance Call”, “Lisztomania” dan diakhiri den-

14

gan “1901”. Penontonpun terlihat sangat hafal lagu-lagu tersebut, terlihat dimana mereka ikut berjingkrak dan sing-a-long selama konser berlangsung. Hujan tidak membuat orang banyak memotret, bahkan ngobrol selama konser dan itu membuat konser Phoenix malam itu menjadi konser yang (hampir) sempurna yang pernah saya datangi. Karena hujan pula lha, Phoenix tidak melakukan encore malam itu. Hal yang sedikit menimbulkan kekecewaan buat saya pribadi dan sepertinya buat sebagian besar penonton. Sekitar 20 menit kami menunggu dengan meneriakkan “we want more” beberapa kali. Namun, mereka tidak kunjung kembali. Rasanya benar-benar kentang alias kenyang tanggung. Akhirnya setelah para kru membereskan peralatan band, saya sadar bahwa tidak akan ada encore. Pulang dengan perasaaan bercampur aduk. Karena konser selama 60 menit itu memang berjalan hampir sempurna. Akan tetapi, keesokan harinya Phoenix mengumumkan bahwa tidak bisa melakukan encore karena masalah keamanan. Hal ini cukup mengobati kekecewaan hati dan memaklumi keadaan tersebut. Hujan kali ini bukan menjadi penghalang menikmati konser. Para penonton takut mengeluarkan handphone dan camdig mereka untuk memotret karena cuaca yang tidak memungkinkan. Hujan membuat para penonton fokus ke band. Tidak sibuk memotret atau pamer eksistensi. Dan inilah yang saya ingat kalau konser Phoenix kali ini adalah konser terbaik yang pernah saya datangi. Catatan: Tidak adanya foto di artikel ini karena memang penulis tidak bisa memotret selama konser berlangsung, karena hujan yang terus mengguyur.

Edisi Sembilan


BERBAHAYA!

PARGOCHY

P

oleh : Olap Damanik

emain musik dalam budaya Batak disebut Pargorsi. Sebuah sebutan yang akhirnya mengilhami beberapa orang berbahaya untuk menyematkan sebutan khas ini dalam sebuah band, PARGOCHY! Para Pemusik yang penuh distorsi ini hadir mewarnai stage-stage Metal Medan dan Sumatera Utara! Dan nama ini jelas menjadi sebuah identitas yang berkarakter kuat, gahar, jingar dan bingar!! Tahun 2013, Irink Siallagan (gitar, ex-Septicemia), Syaif Putra (drum, ex-Foredoom) Dennis Mahardika (vokal, ex-Disobey) dan Dede Putra (drum, ex-Bintang Di Neraka) bergabung dan membentuk Formasi Parmusik aka PARGOCHY. Menyusul kemudian bergabung Wawan (gitar, ex-GodVoice) melengkapi Formasi Band yang mengusung Death Metal ini. Ditahun keduanya band ini telah menghasilkan sebuah album EP dengan judul “Shackles Of Revenge” yang berisikan 4 lagu berbahaya dari 8 Materi lagu PARGOCHY. Dikerjakan dengan produktif dan kreatif, serta dirilis sendiri sekaligus bersama Merchandise Band berupa t-shirt dengan artwork yang kelam. Dan menariknya dalam album EP ini PARGOCHY mengaransemen lagu Batak yang telah melegenda LISSOI, dan lagu ini terasa lebih Gahar dengan sentuhan Death Metal. Dan lagu Lissoi ini menjadi satu lagu yang kami putarkan saat Tax Underground

TUCZINE

15

Community berkunjung ke Radio Paranti 105.6 FM Pandeglang Banten April 2014 lalu. Dan dalam album ini Suffocation, Deeds Of Flesh dan Cannibal Corpse menjadi Band Death Metal yang memberi influence namun dengan sentuhan ala PARGOCHY. Disebuah kesempatan ngobrol dengan band ini, mereka menyampaikan sebuah optimisme dan harapan bahwa Scene Underground khususnya Metal akan semakin besar dengan karya-karya yang berbahaya namun tanpa melupakan sebuah attitude yang baik dan membangun komunitas yang saling mendukung, kuat dan solid. Bahkan mereka cukup antusias dengan terpilihnya salah satu metalheads Indonesia menjadi Presiden, Jokowi! Harapan mereka sederhana saja, semoga Presiden terpilih menjadi Presiden yang melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk NKRI yang lebih baik! Sederhana, tapi rasanya pesan itu begitu jelas! Tapi apakah mereka ingin bersantai?. Tidak! Selain sedang menggarap sebuah Video Klip untuk lagu “DIGNITY”, Salah satu lagu di album “Shackles Of Revenge”. PARGOCHY bahkan dengan serius sedang menyiapkan materi Full album yang pada awal 2015 nanti akan di persembahkan ke kaum metalhead. Jadi kita nantikan saja, seberapa berbahaya nanti album ini untuk menghantam telinga para metalhead! Kita tunggu!!!

Edisi Sembilan

TOTAL KEPEP oleh : Fery Cuwa

T

otal Kepep adalah band punk yang lahir dan terbentuk di kota Medan pada tahun 2008. Salah satu anggotanya adalah Fery Cuwa, sebagai anggota TUC. Berawal dari lima orang pemuda yang tak tentu arah yang sering nongkrong dan menghabiskan malam dengan gitar, bercerita tentang apa saja ditemani rokok, kacang, dan tuak. Dari pembicaraan santai terdaoat keinginan untuk membentuk band yang ada dalam komunitas. Nama Total Kepep sendiri dipilih karena anggotanya muak saat nongkrong di scene lain dimana mereka lebih memusingkan dengan nama-nama band yang dianggap keren. Mereka pun bersiap dengan label-label negatif dari masyarakat karena nama tersebut dan resiko menjadi punk memang seperti itu. Label negatif terutama dari media mainstream baik cetak maupun elektronik menurut mereka. Di awal lahirnya, jenis musik yang dibawakan adalah d-beat hardcore punk, dengan sounds discharge, anti-cimex, kaaos, bombardir. Formasi awalnya adalah Anen (vokal), Cuwa (Bass), Agan (Gitar), dan Gebesz (Drum). Formasi awal ini berhasil menelurkan enam buah lagu. Pada tahun 2010, formasi berubah menjadi Anen & Davi (Vokal), Cuwa (Bass), Bowo (Gitar) menggantikan Agem, Penger (Gitar), dan Gebesz (Drum). Bowo sendiri merupakan abang kandung dari Cuwa.

TUCZINE

Karena ada perubahan pada posisi gitaris, musik Total Kepep juga berubah menjadi ke arah hardcore punk. Soundsnya menjadi gabungan antara The Exploited dan Discharge, tetapi lebih simple. Berbicara influnce, masing-masing dari personil berbeda-beda. Sementara Cuwa sendiri banyak terpengaruh dari Discharge, Anti Cimex, The Exploited, Ramones, Cock Sparrer, Oxymoron, The Idiots dan Bunga Hitam. Sampai tahun 2012, telah terkumpul materi sebanyak 11 lagu. Akan tetapi, baru tahun 2014 baru sempat merilis album Make Noise Not Music. Namun, album tersebut hanya berisi 7 lagu. Sedangkan sisanya, mereka rasa tidak perlu dirilis. Total Kepep sendiri saat ini masih tetap nyaman dalam sikap dan pemahaman D.I.Y (Do It Yourself). Berada di jalur alam liar tak terkontrol. Maksudnya punk tidak akan akan mudah dijinakkan oleh segelintir orang, pemodal dan sebagainya, hanya untuk mematikan semangat dan kreativitas demi tujuan mendapatkan profit semata. Mereka akan terus melawan karena itu pemahaman mereka dan memiliki pilihan sendiri. Dan mereka juga tidak peduli dengan band yang mengaku punk, berteriak “Equality, DIY, Anarki” tapi menjual punk nya dengan alasan apapun. Sejatinya, punk itu di jalan, bukan di panggung hiburan.

16

Edisi Sembilan


BEETLEFLUX Band yang berawal dari solo project dari Aulia Nasution ini bercerita tentang proses dibalik rekaman lagu-lagu mereka, influence dan pengalaman menarik mereka selama ini. Berikut wawancara TUCzine dengan Beetleflux melalui e-mail. Oleh : Didik Yandiawan

Kapan dan bagaimana Beetleflux terbentuk? Awalnya Beetleflux adalah solo project dari Aulia Nasution yang dimulai sekitar Mei 2012. Aulia sempat bikin dua lagu demo berjudul House Of Clones dan Oneirophobia. Terus dia ketemu sama beberapa teman dan ngajakin mereka ikutan di proyek Beetleflux dan akhirnya terbentuklah Beetleflux dengan formasi 4 personil.

Apa genre musik yang kalian mainkan? Kita agak bingung kalo ditanya soal genre Beetleflux. Kita sendiri ga tau Beetleflux ini tergolong ke genre apa. Tapi yang jelas musik kita banyak dpt influence dari musik-musik Pop Eropa, Shoegaze juga, Dreampop dikitdikit trus Post-Rock juga dikitdikit. Kalo dipaksain harus ada genrenya, kita namain DreamRock-GazePop kali ya hahaha!

Siapa saja personelnya? Profesi utama sebagai musisi atau bukan? Personilnya ada Aulia Nasution, kerjaan sehari-harinya PNS di DJP, kalo di Beetleflux bertanggung jawab di bagian vokal, lirik dan gitar.

Siapa musisi yang menginspirasi kalian? Musisi yang menginspirasi.. sebenarnya kita secara pribadi banyak terinspirasi band-band inggris tahun 80-an kayak Ride, terus Chapterhouse, terus juga My Bloody Valentine sampe. tapi kita ga berusaha maenin musik yg seperti mereka. Malah sekarang kita lagi suka dengerin musik-musik Californian Surfer.. atau apalah itu namanya ya haha. Naah gara-gara itu outputnya juga jadi ga mirip sama influence ato inspirasinya itu tadi. Jadi bingung kan mereka sebenarnya menginspirasi kita apa ga?!

Terus ada Fahrin Hartias, gitaris yang seneng post-rock tapi sama sekali belum pernah ngeband. Aslinya si Fahrin ini pegawai swasta. Fahrin tanggung jawab di delay, reverb dan ambience di musik-musik beetleflux. Terus ada Lukfi Musnin. Biasa di panggil Cunin. Cunin dulunya gitaris di band Hairdresser On Fire, salah satu band Indie Medan. Sekarang sih profesinya karyawan di salah satu perusahaan otomotif Indonesia. Di Beetleflux, Cunin main Bass. Nah yang terakhir ada Mohammad Ridho. Ridho dulunya Bassis di band Post-Rock/Shoegaze bernama Korine Conception, band indie Medan juga. Di Beetleflux, Ridho ngebet pengen maen drum. Ridho juga pegawai di perusahaan otomotif. Adakah makna khusus dibalik nama Beetleflux? Beetleflux ga ada makna khusus ya. Cuma dulu mikirnya pengen nyari nama yang gak bisa di kotakin musiknya, terus ya yang mudah di ingat. Yaudah ketemu nama Beetleflux. Kalo ga salah sih ada juga nih hacker pake nama Beetleflux. Tapi bukan kita ya hackernya

TUCZINE

17

Edisi Sembilan

TUCZINE

Bagaimana proses rekaman track-track Beetleflux? Siapa saja yang terlibat di dalam proses rekamannya? Dua lagu pertama Beetleflux, House Of Clones dan Oneirophobia di rekam di Ganagi Music Studio. Di Ganagi Beetleflux dibantu Ata dan Gaza Nainggolan buat Engineering dan Mixing. Semua Vokal dan instrument di mainkan Aulia Nasution.. Nah di dua lagu demo terakhir kita, Empty Room dan The Next Offender, kita udah formasi 4 personil. Dua-duanya juga di Track di Ganagi Music Studio. Bisa diceritakan satu per satu mengenai cerita dibalik pembuatan lagu-lagu Beetleflux? Umm.. untuk lagu House Of Clones dan Oneirophobia, makan waktu yang cukup lama ya. Karena waktu itu Aulia masih sendirian di Beetleflux. Aulia nyoba-nyoba rekam sendiri di

18

rumah pake gitar dan bantuan instrument lainnya trus di rekam dengan software seadanya juga. Setelah Aulia ngerasa materinya cukup, baru di-track di Ganagi Studio. Nah sejak formasi kita ber-4, kita udah bikin 5 lagu. Dua lagu udah kita track, Empty Room dan The Next Offender. Proses pembuatannya semuanya sama, dimulai dari nge-jam di studio musik. Karena masing-masing udah pada kerja jadi susah buat ngumpul bareng buat ngulik-ngulik lagu. Jadinya yaa semua proses pembuatan lagu murni di studio waktu kita latihan, jadi kalo ada yg puny ide lagu, langsung kita cobain tuh di studio latihan saat itu juga. Banyak yang ga jadi lagunya.. tapi Alhamdulillah akhirnya ada juga beberapa yg bisa diselesaikan. Lirik lagu Beetleflux sebenarnya bercerita tentang apa? Kebanyakan sih tentang kejadian-kejadian di sekitar kita dan pengalaman yang kita alami secara pribadi. Tentang enak dan tidak enaknya romansa. Terus ada juga tentang pertemanan, cita-cita, politik jg dikit-dikit. Tapi ada juga beberapa teman yang punya interpretasi sendiri tentang lirik-lirik lagu kita. Kayak misalnya ada teman yang nganggap House of Clones ada hubungannya tentang kematian, trus ada yg mau make The Next Offender buat soundtrack video nikahnya... hahaha aneh kan ya. Jadi mungkin yaa.. lirik lagu Beetleflux ga sebatas yang kita omongin tadi. Dari lagu-lagu yg terkumpul, lagu apa yg memiliki potensi untuk menjadi single beetleflux? Sekarang ini sih lagu jagoan kita yaa The Next Offender. Ga tau deh besok-besok apa. Tapi mudah-mudahan semuanya bisa diterima. Oiya banyak juga teman yang suka lagu Magpie, tapi yaaa balik lagi itu tadi.. kita belum bener-bener bisa nentuin lagu apa yg bisa mendefinisikan

Edisi Sembilan


BERBAHAYA! warta adegan

MUSIKLOPEDIA ALTERNATIVE Oleh : Ajar Rendra Islami musik Beetleflux secara keseluruhan Ada pengalaman seru, menarik, dan berkesan bagi Beetleflux? Waktu nge track lagu Empty Room. Jadi karena kita sehari-harinya emang sibuk sama kerjaan masing-masing, kita jadi jarang latian. Nah si Empty Room ini sampe di track ulang karena track yg pertama temponya salah. Kita tuh ga da yg nyadar sampe lagunya udah selesai di track. Terus waktu mau di-mixing beberapa minggu kemudian kita baru ngerasa... “kok kayak jalan santai ya lagunya?!” hahah lumayan tuh.. duitnya buat ngetrack ulang. Oiya ada satu lagi, kita pernah tuh salah masuk lagu pas lagi manggung di depan anak-anak abg medan. nah lagunya harus diulang lagi kan tuh, pada komentar tuh penontonnya “waa grogi yaa bang..?!”. kita mah jawab dengan enteng dari atas panggung, “bukan grogi, maklum aja udah tua!” hahahah

TUCZINE

Apa rencana Beetleflux selanjutnya? Apakah akan merilis EP atau full album? Kita ada rencana buat rilis musik-musik kita di dalam satu wadah. Karena kita ga pengen musik kita tuh berubah-ubah mulu ngikutin mood personilnya. Nah kalo udah di track, dikumpulin dalam satu wadah, ntah itu EP atau full album, musik kita tadi udah pakem. Kita ga pusing lagi mikirin musiknya mau diapain, karena kalo dipikirin terus ga bakalan puas. Hasil dengan bikin album ya kita bisa move on buat bikin hal lainnya, ntah itu materi lagu baru ataupun karya lainnya Apakah punya rencana untuk mengedarkan album ini secara komersial? Belum kepikiran sampe ke sana. Tapi kalau ada jalan dan ga “menyusahkan”, boleh juga tuh di rilis secara komersial. Tapi yaa balik lagi, “menyusahkan” ga ya musiknya Beetleflux kalau di pasarkan secara komersial?

musik lain di luar Beetleflux? Aulia, Fahrin dan Cunin sih kayaknya ga ada kegiatan lain di luar Beetlflux. Tapi Ridho masih aktif di Korine Conception. Musik mereka sudah pernah sampe Eropa, jadi sayang juga kan klo di tinggalkan. Apa pendapat teman-teman Beetleflux tentang TUCzine? Bagaimana kalian memandang zine musik dalam karir beetleflux? TUCzine menurut kami itu progress. Memberikan kontribusi positif yang dilakukan diluar rutinitas sehari-hari itu membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Apalagi melakukan sesuatu yang diperuntukkan untuk orang banyak kayak TUCzine ini. Bisa dibilang senada dgn semangat Beetleflux yang juga bermusik di luar rutinitas sehari-harinya. Much Respect buat TUCzine!

Apakah kalian punya project

19

Edisi Sembilan

Saya yakin, dalam setiap kelompok populasi, akan selalu ada individu dengan anomali, mereka yang menyimpang, eksentrik, dan berbeda dengan kelompoknya, mereka yang tidak dapat digeneralisir, orang-orang aneh, entah dalam hal wujud fisik, pemikiran, atau yang lebih remeh, selera musik misalnya... well, okay... seperti kita sendiri di DJP tercinta ini. Tak terkecuali di antara dedek-dedek unyu mahasiswa baru kampus STAN angkatan 2013 yang karena kebijakan moratorium pegawai lalu mereka tidak punya senior D3 reguler di kampus, saya yakin di antara segerombolan K-Popers, pendengar Justin Bieber dan penggemar Miley Cyrus ini terselip mereka yang telinganya nyaman dengan keberisikan ala punk atau bahkan memuja tehnik vokal death growl. Berangkat dari keyakinan tersebut dan rasa tanggung jawab sebagai angkatan tua di kampus, ketika saya mendengar bahwa Memed dan beberapa teman D4 lain sedang aktif dalam merintis pendirian radio kampus yang akan diberi nama

TUCZINE

radioblast, saya memberanikan diri meminta jatah jam siaran pada mereka, saya sih bilangnya mau bikin sesi siaran acara musik indie dan non mainstream gitu, ya rada- rada nyontek babaung lah, bedanya saya gak bakal ingkar janji gak muterin lagu request dari temen, hahahaha. Akhirnya setelah melalui beberapa pertimbangan, sesi saya diselipkan di program kamis malam yang disebut musiklopedia, sebuah program yang bicara tentang musik dan serba-serbinya dengan pokok bahasan yang berbeda- beda tiap minggu, dengan jadwal on air dua minggu sekali dan embel- embel “alternatif” di belakang. OK... lumayan lah, saya bisa mulai dari memperkenalkan apa itu musik indie ke para pendengar, diteruskan dengan ngoceh tentang musik punk, metal, reggae, ska, hip hop sampai ke trivia para musisinya sambil melampiaskan birahi saya muter musik cadas di lingkungan kampus. Dengan konsep program seperti itu, secara pribadi saya merasa tertantang untuk terus memperluas direktori dan pen-

20

getahuan saya tentang musik, mencoba mendengarkan musikmusik baru sambil nyari-nyari referensi yang pas buat materi siaran. Mungkin suatu saat ilmu saya bisa setara sama pak Andria (sungkem). Dan tentu saja yang membuat saya paling excited adalah respon para audience, rasa kuatir saya akan nasib selera musik generasi muda ini terjawab ketika ternyata cukup banyak respon dan request lagu masuk melalui twitter @radioblast_. Fuck yeah!... i did it!... i found them!... Saya bukan satu- satunya orang aneh di kampus ini!. Mungkin masih terlalu jauh kalau kita mengimpikan ada acara musik keras di lingkungan kampus STAN, atau mencoba menghidupkan kembali SUCX yang mati beberapa tahun lalu, tapi untuk sekarang saya merasa cukup puas dengan respon para junior ini, mungkin mereka adalah bibit- bibit anggota TUC yang potensial suatu hari nanti, who knows? Semoga saja program ini tidak mati sekembalinya saya dari tugas belajar nanti.

Edisi Sembilan


musik kita

F IL OSOFI punk Oleh : Fery Cuwa

E

tos yang menggerakan segala hal yang berlaku dalam Punk adalah etos DIY (Do It Yourself). Kami tidak perlu menggantungkan diri pada bisnis orang kaya, hanya untuk meng-organisasikan kesenangan kami ini demi keuntungan mereka, kita dapat melakukannya sendiri tanpa harus dibebani oleh orientasi mencari profit. Kami kaum Punk dapat membuat gig, Merekam demo tape, membentuk label rekaman, menerbitkan buku dan fanzine, mengelola distribusi mail-order untuk

TUCZINE

21

Edisi Sembilan

TUCZINE

22

Edisi Sembilan


MUSIK KITA produk kami sendiri, menyebarluaskan literature, menganjurkan pemboikotan, mengelola toko kaset dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik. Kami lakukan semua hal tersebut dengan baik dan seksama. Bisakah budaya tandingan anak-anak muda lain di era 80 dan 90-an menuntut hal yang sama?” (Joel PE #11/12, Autumn 1991, 10) Contoh terbaik dari praktek bisnis yang berlangsung dalam gerakan Punk dapat dilihat pada sisi musikalnya. Punk Rock memang berbeda dengan jenis Rock n’ Roll standar, tak hanya pada sound, isi lirik dan penampilan, tetapi juga cara band-band tersebut melakukan bisnis dan berinteraksi dengan para audiens-nya. Hanya sedikit saja yang mendukung “rockstars” pada gerakan tersebut dan band-band yang mengharapkan sejumlah besar uang dari hasil manggung atau dari hasil album rekaman mereka, pasti akan secara bertubi-tubi menerima ekspos dan kritikan. Ini berhubungan kembali pada masa-masa awal punk, ketika ada segelintir orang digerakan ini dan memiliki ide untuk mencetak banyak uang dari musik ini, yang mana adalah sebuah hal yang menggelikan. Pemain band tidak ada bedanya dengan penonton, baik dari segi keyakinan maupun keterampilan memainkan instrumennya. Grupgrup Punk Rock malah “mendesak anak-anak yang lainnya untuk membentuk grup band sendiri sekedar untuk menghancurkan konsep tradisional yang memisahkan antara bintang rock dengan para penontonnya. Semua orang bisa menjadi ‘bintang’ atau malah tidak sama sekali!” (David, Pop and Politics Do Mix!, April 1991, 13). Yang semua orang harus miliki hanyalah seperangkat instrumen band dan keinginan yang kuat untuk membentuk sebuah band punk. Band-band punk secara tradisional saling membantu dan mendukung sesamanya untuk menggelar konser di berbagai kota, membuat tur, merilis album rekaman sendiri dan sebagainya. Hanya ada sedikit kasus saja yang sengaja membuat persain-

TUCZINE

MUSIK KITA gan (kompetisi) diantara sebegitu banyak jumlah band yang memang dikenal “sell-out” dengan orientasi meraih penonton lebih besar dan meraup profit lebih banyak. Band-band punk hanya ingin bermain dengan semua orang yang memiliki pemahaman sama dengan mereka serta amat menghargai kerjasama dan menjauhi semangat kompetisi yang memang dominan didalam industri musik. Band punk asal Belanda The Ex memberikan sebuah indikasi yang tipikal dalam berbagai penampilan mereka, “dimana tak ada percekcokan tentang ‘band utama’ atau ‘band pendukung’, karena semua band sama pentingnya. Saling membantu sesama dalam hal peminjaman instrumen band, dan juga dalam pembagian uang yang adil. Ini memang kedengaran-nya sangat mudah dan sederhana, namun dalam kultur rock yang konvensional, hal tersebut pasti akan terkesan tak biasa. Itu alasannya mengapa kita membenci ‘rock stars’, khususnya bagi mereka yang dengan bangganya menyandang predikat ‘alternatif’ (The Ex, Threat By Example, 72). Para bintang-bintang rock alternatif ini adalah band-band, atau pemain band yang pada suatu ketika memiliki semangat yang sama dengan punk atau bahkan juga pernah menjadi bagian dari punk. Kejahatan mereka biasanya adalah sering berpindah-pindah dari label rekaman kecil (indie label) dan kemudian gabung dengan label korporat yang lebih besar (CBS, EMI, EPIC, Musica, dsb.) untuk mendapatkan lebih banyak uang atau fans. Banyak dari band-band ini yang berpikir bahwa pada akhirannya (setelah merangkul audiens lebih luas) dapat membenarkan makna (menjadi bagian dari major label). Pemahaman seperti inilah yang kemudian sering ditolak bahkan dihujat. “Saya sudah sangat sering mendengar band-band pemberontak mencari pembenaran atas ke-ikutsertaan mereka dalam bisnis label besar dengan alasan ‘kita coba menjangkau banyak orang’. Saya malah tertarik untuk menelusuri lebih jauh siapa sebenarnya orang-orang yang

23

mereka maksud tersebut. Menyulap pemberontakan demi uang sebenarnya malah akan menciutkan isi dari pesan-pesan yang mereka sampaikan, yang mana menurut saya mereka malah tidak pernah menyampaikan pesan apa pun juga. Paling tidak para bintang-bintang yang menjajakan omong kosong itu akan segera ketahuan belangnya, bahwa mereka sebenarnya melakukan itu hanya demi uang. Bedanya, dalam orientasi profit itu mereka menggunakan kedok-kedok politik. Saya kemudian seperti merasa ditipu dari dua arah.” (Chumbawamba, Threat By Example, 31). Dapatkah sebuah band benar-benar mempertahankan keradikalan, sikap politik non-kompromi mereka, ketika bekerja untuk major label yang mana bisnis utamanya memang adalah menjual album rekaman sebanyak-banyaknya kepada publik luas? Sekalipun sebuah band politik bisa bersikap cuek saja pada kolega mereka (major label), padahal dalam kenyataannya label-label besar tersebut telah banyak menanamkan modal mereka dalam bisnis ini (EMI Records merajai ‘bisnis punk’ ini saat pertama kali punk diletupkan di Inggris), maka tentu saja akan tetap ada pemberlakuan sensor terhadap berbagai pesan-pesan yang dianggap membahayakan atau mengancam kelancaran penjualan album-album mereka. Major label mana yang ingin merugi ?!!! “Artis-artis yang memiliki komitmen perlawanan politik akan selalu berada dalam posisi yang berbahaya dalam masyarakat kapitalis, kecuali jika ia memiliki komitmen berbeda kepada sistem atau dalam hal ini demi kesuksesan karirnya. Diatas semua itu, tetap saja para penulis lagu dan penyanyi yang sejatinya ingin memanfaatkan penyebarluasan pesan via media yang dimiliki oleh industri musik komersial pasti akan mendapatkan problema yang bakal jauh lebih besar di bandingkan yang lainnya. Industri musik ingin mencetak banyak uang melalui retorika-retorika radikal, namun ketika radikalisme itu telah melampaui batas dan telah

Edisi Sembilan

menjadi komitmen politik, sebuah problem gawat tentu akan men-gancam EMI, BBC dan IPC” (Dave Harker seperti dikutip dari Pop and Politics Do Mix!, 11). Banyak band-band punk orisinil di pertengahan tahun 70an kemudian menandatangani kontrak dan dieksploitasi oleh label-label Mayor. Inilah yang selanjutnya memicu semangat generasi pertama anarkis Inggris dan punk dari California kemudian memutuskan untuk merilis sendiri rekaman-rekaman musik mereka. Dengan cara ini mereka dapat menetunkan sendiri harga album mereka, menulis lirik sendiri dan memainkan musik mereka tanpa harus mendapat ancaman untuk menjadi kompromistis. “Gelombang pertama anarkis inilah yang mempolitisasi punk rock dan menempatkan semua major label dan segala hal yang berhubungan dengan kemapanan industri musik sebagai hal yang menjijikkan. Mereka menolak tunduk dalam permainan industri musik. Bandband ini tetap teguh berpegang pada idealisme orisinil punk yang independen dan selalu anti-kemapanan” (ibid, 13). Adalah hal yang penting untuk memahami bahwa dahulu punk sebenarnya tidak memiliki audiens yang besar di

TUCZINE

Amerika Utara, sukses beberapa band Inggris (terutama Sex Pistols dan The Clash) telah membuat banyak major label tertarik untuk menjaring kontrak dengan sebanyak mungkin band-band punk ‘pemberontak’ guna melakukan kapitalisasi pada trend punk ini. Banyak band-band Inggris termasuk pula Crass dan Conflict yang di tawari kontrak besar oleh EMI. Band-band ini menolak untuk berkompromi. “Musik dan keyakinan politik mereka bermakna jauh lebih besar dari sekedar uang. Mereka tidak berada dalam bisnis yang memasarkan pemberontakan mereka secara besar-besaran untuk di konsumsi secara massal.” (ibid, 15). Satu pengecualian ada pada band anarkis punk yang mengubah musiknya menjadi band disko radikal yaitu, Chumbawamba yang belum lama ini menjalin kontrak dengan sebuah major label guna merilis album terbaru mereka, dan mungkin juga memiliki hak untuk rilisan-rilisan lama mereka. Hanya waktu yang dapat membuktikan apakah mereka akan tetap memilih sisi radikal, atau malah jatuh kedalam lembah musik dansa yang sangat monoton. Dengan bekerja bagi major label dan memberikan

24

sepenuhnya hak kepada mereka untuk memasarkan lagu-lagu band, art work, lirik dan imej maka sebuah band telah menempatkan sukses komersial mereka di atas kreatifitas beserta pesan-pesannya. Sejak penerbitan buku ini di tahun 1992, Chumbawamba telah menjalin kontrak dengan EMI, sensor dilakukan terhadap lirik lagu dan mereka bahkan telah mengizinkan label secara mutlak untuk melakukan segala hal yang positif bagi kesuksesan komersial mereka jauh diatas segala pesan-pesan politik mereka. Bagi mereka yang menyebut Chumbawamba telah sold out (melacurkan diri), kalian sama sekali benar. Chumbawamba telah bosan menjadi sebuah band punk seperti yang awalnya mereka lakukan, dan mereka telah membuat banyak kontradiksi terhadap berbagai hal yang dulu pernah mereka suarakan sebagai politik musik independen. Apa yang telah Chumbawamba dapatkan kini dengan melacurkan diri adalah demi sebuah kesempatan agar dapat hidup nyaman sebagai musisi dan memberikan donasi sebanyak-banyaknya dalam berbagai gerakan/aktivitas politik radikal. Mereduksi pesan-pesan dan merendahkan kontradiksi, dalam hal ini mereka mungkin

Edisi Sembilan


MUSIK KITA

menganggap telah melakukan lebih banyak hal, daripada sekedar segala kritikan-kritikan yang pernah mereka suarakan demi kemajuan politik anarkis. Untungnya, Chumbawamba masih tetap memberikan dukungan dan tetap menjadi bagian dari komunitas politik radikal, walaupun mereka kini selalu berada dalam posisi ‘target serangan’ dari kawan-kawan mereka yang revolusioner. Untuk kaum puritan dari gerakan perang kelas (class war movement) dan mereka yang ingin membaca sebuah kritik sehat bagi Chumbawamba beserta selubung politiknya, dapat melihat sebuah pamflet yang berjudul “Educating Who About What”. Pamflet tersebut merupakan sebuah kritikan pedas atas kenyataan yang terjadi dan amat layak ditujukan bagi Chumbawamba beserta para pengikutnya. Hingga saat ini beberapa band Amerika telah menjadi ‘target operasi’ Major Label, dan sebagai tandingannya ada ribuan indie label kini beroperasi disana. Sebagai tambahan bagi label underground DIY, banyak diantara label ‘independen’ ini menjadi kaki tangan major label serta memiliki tujuan memproduksi musik ‘alternative’ untuk menyuplai kebutuhan radio kampus dan banyak stasiun radio moderen rock disana. Dengan menggunakan taktik label

TUCZINE

MUSIK KITA

‘independen’ dan mendesak mereka untuk menandatangani kontrak dengan band-band punk dan alternatif yang besar, major label mencoba untuk melakukan kapitalisasi pada kedua-duanya, band-band yang independen beserta para pendengarnya. Terlepas dari berbagai label ‘independen’ ini, kini telah banyak band yang rela membanting stir total untuk bergabung dengan major label. Ini semua hadir dengan segala promosi dan produksi plastik yang sejalan dengan aksi mainstream. Green Day, Bad Religion, Rancid, Blink-182, Jawbreaker, berbagai band ”grunge”, Offspring, Helmet dan yang lainnya, telah membuat musik punk yang ngebut dengan riff-riff-nya yang bertenaga itu tersaji bagi konsumsi massa melalui pemutaran di radio-radio dan juga di tempat-tempat konser yang besar dan luas. Karakter sound mereka jika kita dengar bahkan mempengaruhi pula band pop mainstream baru yang pada awalnya sama sekali tidak memiliki keinginan, memahami akar musik serta sejarah dari bandband punk yang disebut tadi. Ketika trend ini membuat seni mendengarkan radio menjadi lebih menyenangkan ketika kita harus berhadapan dengan tape yang rusak, saya tetap saja tidak merasa bahwa orang-orang yang mendengarkan jenis musik ‘baru’

25

ini (yang sebenarnya malah tidak baru, karena sebagian besar band tadi memiliki berbagai rilisan underground dan sejarah yang amat panjang) memiliki gelagat untuk memahami konsep radikal band-band tersebut beserta sejarahnya. Namun, tetap saja ada bandband yang masih setia mempertahankan diri di bawah tanah, benar-benar independen dalam metode rekaman, merilis album dan tur keliling. Contoh paling terkenal dari band yang menopang idealisme dan sikap kemandirian sementara tetap menjual semakin banyak album rekaman adalah sebuah band dari Washington D.C. yang bernama Fugazi. Fugazi merupakan sebuah serangan yang bagi rock and roll tradisional dalam tradisi punk terbaiknya. Revolusi Punk meletus dalam kondisi paling menyedihkan dari kerajaan Rock ‘N Roll. Gambaran gampangnya begini, Rock telah menjadi sebuah Bisnis Besar, kapitalisme korporat tengah beraksi disini, melonjak drastis bersama tingkat konsumerisme yang mengerikan. Sebuah ironi bagi sayap kiri ketika para penampil yang antikorporasi macam Billy Bragg, The Clash, Midnight Oil, atau mereka yang selalu mengkritisi dominasi korporat dari dunia kita, padahal sementara waktu mereka sendiri ternyata malah

Edisi Sembilan

ikut bekerjasama dengan Perusahaan Mega-Korporasi guna memproduksi, mendistribusikan dan menjual album-album rekaman mereka. Hal mana yang tak akan kita temukan pada Fugazi. Mereka telah menolak mentahmentah sejumlah tawaran dari major label, dan tidak pernah mau mengambil kesempatan untuk menjual diri mereka pada ketamakan label korporat. Selain di klub kecil mereka hanya manggung di basement gereja, SMU-SMU, pusat kegiatan komunitas, dan bahkan di Penjara Lorton. Tak satu pun konser mereka di AS memiliki harga tiket lebih dari enam dollar AS dan konser mereka pun selalu terbuka untuk segala umur. Tak pernah terdengar didunia musik rock, tiket konser band sepopuler Fugazi dihargai 15 dollar AS atau lebih yang biasanya banyak band hanya manggung di bar-bar yang dibatasi usia penontonnya antara umur 18-21 (Mark Andersen, Washington Peace Letter, Nov.1991, 8). Fugazi memang bukanlah band yang pertama kali melakukan hal seperti itu secara sendirian. Hanya sedikit saja band punk yang memiliki manajer dan itu pun amat jarang. Bahkan kontrak rekaman atau manggung pun tidak pernah benar-benar ada. Album rekaman dijual lebih murah dibandingkan dengan harga standar dan hanya tersedia jika langsung membelinya dari band atau hanya sedikit saja toko kaset yang menjual album mereka. Band anarkis paling berpengaruh yang pertama kali menjual dengan harga murah album rekaman mereka mungkin Crass, yang selalu menempatkan profit untuk keperluan membantu band-band lain yang ingin rekaman. ‘Crass menjalankan sendiri band mereka dengan hanya secukupnya saja mengorganisasikan tur, album rekaman dan distribusi album. Perhatian mereka pada tingkat penjualan album hanya difokuskan tuk sekedar mencari biaya bagi kebutuhan hidup sehari-hari, tanpa pernah berniat mencetak hits top 40 atau manggung di sebuah stadion besar’ (Pop and Politics Do Mix!, 14). Wajib dicatat, bahwa hampir

TUCZINE

tak pernah ada band-band punk yang ingin menggenjot tingkat pendapatan mereka, yang mana gagasan untuk mencetak banyak uang dari punk (tanpa mengeksploitasinya) adalah tidak populer sama sekali atau dengan kata lain, ide yang amat sulit diterapkan. Ini tentu saja berbeda dengan problem sekarang, dimana ada seseorang yang ingin membuka toko kaset atau klub musik yang memang hanya mendasarkan pemasukannya pada musik Punk. Penonton yang lebih sedikit, harga tiket dan album rekaman murah yang dikelola oleh anak-anak punk tentu saja tidak dapat berlanjut terus menerus karena tidak akan mampu menutupi anggaran bagi penyelenggaraan proyek yang membutuhkan banyak biaya dan semakin mahal. Oleh karena itulah kebanyakan toko kaset dan klub musik punk tidak mampu bertahan lama sekalipun ia berada didaerah yang banyak anak Punk-nya. Perbandingan yang menarik terhadap Punk Rock adalah bisnis besar industri musik. Kalian tidak akan menemukan fans rock ‘n roll mengelola bisnis musik mereka, yang akan kalian temukan hanya orang-orang bisnis yang melakukannya untuk mencetak banyak uang dalam jumlah yang besar. Punk tidak dikelola oleh agen-agen komersial, manajer, produser dan para pemilik modal serta tidak terdorong untuk terjun ke bisnis besar. Jika orang terjun ke dunia Punk untuk mencetak jutaan uang, maka mereka sudah sepantasnya segera hengkang dari PUNK ROCK karena terus terang saja mereka tak akan bisa kaya raya dari sini. Kamu lihat sendiri ribuan band, label, zine dan promotor adalah orang-orang yang memang datang dan bergabung dengan punk rock karena mereka menikmati musiknya, filosofinya dan gagasan-gagasannya. Dunia Punk adalah jelas-jelas miliknya kaum akar rumput/grass roots (Chris BCT-pemilik sebuah label rekaman independen, Threat By Example, 44) Ini bukan berarti sebuah keniscayaan untuk dapat sukses dalam binis punk, tetapi memang jelas hampir tidak

26

mungkin mencapainya. Dengan bantuan Maximum Rock ‘N Roll, toko kaset Epicenter di San Francisco telah beroperasi kurang lebih tujuh tahun hingga sekarang. Epicenter merupakan sebuah toko kaset yang amat besar dan mungkin memiliki koleksi album punk dan fanzine paling lengkap di dunia. Epicenter merupakan toko yang amat mengesankan dan juga berfungsi sebagai sentral komunikasi anak-anak Punk dan kadangkala di luar komunitas itu pula. “Epicenter dibuka bukan untuk orientasi profit dan hampir semua sukarelawan yang mengelolanya tidak dengan mudahnya memposisikan musik punk sebagai sebagai sebuah produk yang diperjualbelikan tetapi lebih kepada punk sebagai kenyataan hidup” (MRR #101, Oct. 1991). Album-album rekaman yang dijual sangat murah dan bahkan sebagian besar sukarelawannya sepakat-sepakat saja jika tokonya dibuka setiap hari. Epicenter telah memberikan kontribusi yang besar dalam menempatkan kata Punks beserta gagasannya dalam aksi yang nyata. Ada juga tempat-tempat serupa yang dibuka dan kemudian tutup silih berganti diseluruh AS yang cukup sulit kini diketahui statusnya. Klub yang dikelola oleh anakanak punk jumlahnya cukup banyak walaupun sebenarnya amat sulit dalam pengelolaannya. Juga dibantu oleh MRR adalah sebuah klub yang berlokasi di Berkeley dan lebih dikenal sebagai Gilman Street club house. Klub ini hingga saat ini telah dibuka sepanjang 12 tahun dan selalu menyelenggarakan konser bagi segala umur di setiap minggunya. Aspek yang unik dari klub ini adalah kebijakan bagi anggotanya. Jika sistem keanggotaan yang biasanya selalu erat imejnya dengan eksklusivitas dan diskriminasi, kalau mereka ini tidak seperti itu. “Siapa pun dapat bergabung dengan hanya dikenai biaya 2 dollar AS dan sekaligus menyatakan komitmennya untuk mendukung suasana yang bebas kerusuhan, lingkungan yang bebas vandal isme. Karena potensi di grebeknya yang tinggi, maka minuman beralkohol tidak ada yang di

Edisi Sembilan


MUSIK KITA perbolehkan di jual atau dibawa ke dalam ruangan.” (MRR #42, Nov. 1986). Sementara klub-klub yang lain (bar) di areal tersebut menampilkan band-band punk, Gilman adalah satu-satunya klub yang membuka pintunya bagi segala umur dan dikelola secara non-profit. Semua pertunjukkan hanya dikenai biaya tiket 6 dollar AS atau malah kurang dari segitu. Band-band yang yang manggung disana juga banyak berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Sukarelawan yang menjalankan tempat tersebut telah banyak berganti, dan banyak kini orang yang merasakan bahwa klub tersebut saat ini tak ubahnya sebuah klub musik biasa saja. Semenjak klub tersebut kehilangan banyak semangat orisinil dan unsur-unsur menariknya, Gilman Street tetap mengingatkan kita sebagai satu-satunya klub musik yang dikelola oleh para sukarelawan punk, dan karena hal tersebutlah Gilman Street layak dikenang. Klub-klub musik yang lain di Inggris (the 1 in 12), New York City (ABC No Rio), Dallas (Slipped Disk) dan Harrisburg (the Core) telah berupaya untuk mengikuti kesuksesan Gilman Street dalam skala yang lebih kecil dengan derajat variasi yang lebih beragam. Kebanyakan dari anak-anak punk yang mengelola klub mereka sendiri adalah punk yang mengorganisir dan membuat pertunjukan dengan menyewa hall-hall atau gereja. Masalah yang sering di hadapi biasanya datang dari pemilik hall yang seringkali enggan menyewakan kembali tempat mereka setelah menyaksikan dandanan anakanak punk yang ekstrem-eksentrik dan ingar-bingar musiknya. Banyak orang yang tidak mau lagi menyewakan tempat mereka kepada anak-anak punk dikarenakan dampak pemberitaan media massa yang selalu menampilkan imej negatif dari punk. Sebuah komunitas yang bisa di kategorikan sukses dalam menyewa gereja dan sekolah-sekolah adalah Positive Force yang berbasis di Washington D.C. Seperti juga Gilman, Positive Force juga membuka konser

TUCZINE

bagi segala umur, bebas narkotika, dan harga tiket yang murah. Acara seperti ini hanya diadakan sekali dalam satu bulannya. Tak seperti klub punk dan promotor yang lain, Positive Force hanya menyelenggarakan konser-konser bagi penggalangan dana untuk masalah-masalah politik dan juga menghidangkan para pengunjung dengan literatur-literatur dan sering kali pula ada orasi politik dari para pembicara yang di selingi penampilan band-band. Positive Force telah meng-organisasikan peng-galangan dana untuk ‘masalah perlawanan terhadap rasialisme, seksisme, militerisme, penyalahgunaan obat-obatan, homophobia, uji coba hewan dan ketidak-setaraan ekonomi dalam berbagai hal’ (Mark Andersen, selebaran Positive Force, 1990). Mungkin yang terpenting adalah bahwa masalah-masalah yang telah terpilih untuk dilakukan penggalangan-dananya adalah sebuah cara meraih simpati yang memang telah diarahkan sebelumnya. “Positive Force tidak ingin menjadi bagian dari klub rock ‘n roll, fesyen, imej dan permainan ketenaran. Semua pertunjukan kita terbuka untuk segala umur. Punk adalah tentang mengembalikan semangat rock ‘n roll kembali untuk anakanak muda, untuk kalangan grass roots, membuat rock menjadi terselubung imej aristokrat dengan korporat pengeduk uang didalamnya adalah tidak ada hubungannya sama sekali dengan punk. Positive Force tetap memiliki komitmen terhadap visi tersebut.” (ibid). Yang juga patut dicatat disini adalah bahwa di Eropa pengelolaan banyak squat-squat punk juga dapat berfungsi sebagai klub tempat band-band menggelar pertunjukkannya. Squat-squat ini kebanyakan illegal namun melayani segala kebutuhan punk dalam menjaga keutuhan punk dan konser-konser mereka dengan tanpa bantuan pihak asing. Etos di dalam bisnis Punk selalu dan selamanya “Do-ItYourself.” Ini merupakan penerapan yang nyata terhadap prinsip-prinsip anarkisme yang jelas membutuhkan tanggung jawab dan kerjasama yang erat

27

untuk membangun masa depan yang produktif, kreatif dan menyenangkan. “Gagasan utamanya tidak bersandarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada didalam masyarakat untuk menyodorkan segala sesuatunya ke dalam kerongkongan kita, yang mana hal itu merupakan proses pembangunan diri yang subversif karena malah meningkatkan derajat sentralisasi, me-rasionalisasi teknokrat dan manipulasi sikap dan prilaku kita. Bahkan jika kamu membaca tulisan ini, ribuan yang frustasi, individu-individu yang kreatif di berbagai belahan dunia tengah berkomunikasi secara langsung satu sama lain dengan media yang mereka bentuk dan buat sendiri. Sebuah jaringan kerja bawah tanah (underground network) yang eksis untuk penyebarluasan ide, informasi dan materi yang diproduksi sendiri, sesuatu yang melebihi batasbatas artificial yang sebenarnya tidak berguna dan kerap memisah-kan orang-orang dengan pola pemikiran independen. Walau jaringan kerja ini mengkonsumsi produk sendiri dalam suasana anti-pemerintahan dan selalu menantang elit-elit pemegang kekuasaan nasional dan internasional atau dengan mudahnya tak mengindahkan mereka, namun dengan eksistensi kemandirian mereka sendiri, mereka lawan semua itu. Dan semua orang diundang melakukan hal serupa. Saya lebih suka untuk meninggalkan prediksiprediksi tersebut kepada para ‘pakar’ yang kabarnya selalu pandai dalam menggambarkan apa dan siapa kita yang sebenarnya” (Jeff Bale, Loud 3D, diedit oleh Gary Roberts, Rob Kulakofsky dan Mike Arrendondo, IN3D Press, San Francisco, 1984, 83).

wawancara

YOCKIE SOERYO PRAYOGO Yockie Soeryo Prayogo adalah satu dari sedikit musisi senior yang aktif menyuarakan pemikirannya di dunia maya dan dunia nyata. Yockie dalam akun @jsop dan situs jsop[dot]net menyatakan gagasan-gagasan yang dilabeli dengan “Gerakan Kepatutan”. Tidak sesulit yang saya bayangkan, izin wawancara dengan Yockie disetujui tanpa basa-basi. Kami sepakat bertemu di kediaman beliau pada Sabtu (15/03), sehari lebih cepat dari jadwal yang disepakati karena kesalahan saya membaca kalender. Oleh : Didik Yandiawan

Diambil dari buku : THE PHILOSOPHY OF PUNK: More Than Noise (Craig O’ Hara / AK Press / 1999).

Edisi Sembilan

Semua media menulis karir om Yockie itu dimulai di awal tahun ’68. Atau lebih tepatnya ketika karir profesional om Yockie itu merintis di beberapa proyek. Bisa diceritakan secara singkat, om?

Wawancara berlangsung menarik dan mengayun emosi, dalam durasi empat jam. Yockie menjelaskan panjang lebar tentang perihal karir bermusiknya dan kaitannya dengan perjuangannya terhadap masa depan seniman serta berbagi pandangan politik kebangsaan. Ini adalah wawancara bagian pertama – Milestone Karir Bermusik Yockie Soeryo Prayogo (JSOP) dan Pandangan Politik Kebangsaan

TUCZINE

Ya, memang aktivitas musik itu kalo saya boleh ngobrol sedikit ya. Aktivitas musik dimulai dari kecil. Ketika anak-anak seusia balita, waktu jaman segitu. Saya ada di masa-masa dimana saya dididik untuk les piano. Ekstra

28

Edisi Sembilan


wawancara kurikuler selesai pulang sekolah. Awalnya seperti itu. Nah kemudian pada tahun ’68-an, saya mulai melibatkan diri dalam aktivitas musik secara lebih serius. Even saya waktu itu kondisinya juga masih mentah. Belum tahu apaapa. Tapi saya mencoba bergaul dengan kelompok-kelompok yang relatif lebih senior. Jauh lebih senior dari pada saya untuk terlibat dalam aktivitas musik yang lebih serius. Lebih serius di sini lebih bermakna bahwa kegiatan itu dilakukan dalam konteks recording atau rekaman. Pada tahun-tahun itu, tahun 68an itu, di situ ada Jopie Item, Djodi Iswadi, Mus Mualim, dkk dimana saya mulai ikut terlibat rekaman sebagai session player. Session player itu ya artinya pemain cabutanlah ya. Pemain organ gitu, keyboard, untuk album-album yang kalo nggak salah waktu itu Vivi Sumanti, Frans Daromes dan beberapa penyanyi penyanyi tempo dulu. Setelah itu saya beranjak semakin remaja. Kemudian saya bergaul dengan komunitas underground. Disebut waktu itu komunitas underground karena waktu itu saya memang tidak tertarik, atau kurang tertarik dengan musik-musik yang mainstream. Kegiatan dengan Jopie Item dsb itu musik mainstream. Musik rekaman pop jaman itu. Saya kurang tertarik, lalu saya melibatkan diri dalam komunitas underground. Pada saat itu, kalau kita bicara underground tahun ’70-an, itu berarti ada “Wilayah Selatan” yaitu Kebayoran, identifikasinya seperti itu. Di Kebayoran ada kelompok atau komunitas sendiri yang dikenal dengan “Anak Kebayoran”. Di situ ada Bigman Robinson, Jayanti, dan ada banyak lagi. Di Menteng ada grup-grup seperti Gipsy, The Pros. Terus di daerah Pusat juga ada. Jadi, kita masing-masing dikenal dalam kelompok-kelompok wilayah anak-anak muda pada saat itu. Dan hampir semuanya memang cenderung untuk mengadopsi musik-musik yang ada di Barat. Jadi kita memang memainkan musik-musik Barat. Kita belum terpanggil untuk menciptakan karya sendiri. Jadi prosesnya awalnya seperti itu, dimana ada

TUCZINE

wawancara band yang pengen dicap atau identik dengan Led Zeppelin. Ada band yang ingin identik dengan Jimi Hendrix. Ada band yang ingin identik dengan John Mayall, blues dan segala macam. Dan saya sendiri cair. Saya sendiri tidak tertarik untuk patuh pada satu kredo-kredo tertentu. Saya bergaul dengan semua komunitas musik dengan segala jenis musiknya. Ada yang jazz, ada yang rock, ada yang blues, ada yang pop. Macam-macam. Karena itu, pada tahun ’70-an, pada masa-masa itu saya itu relatif dikenal sebagai “Cabo Band”. Istilahnya “Cabo Band” itu “Perek Band”. Dimana ada band, di situ pasti ada Yockie (Yockie tertawa). Di Bandung pun demikian. Saya bergaul dengan Deddy Stanzah, Benny Soebardja. Dari komunitas-komunitas anak Bandung. Main apa aja. Lalu kemudian, sampai ke era ’73-an. Pada saat itu, salah satu teman saya namanya Donny Fattah, dia pemain bass di band Frenzy. Dia sering bergabung dengan saya di band-band underground itu. Dia mengajak saya untuk bikin band baru. Dia menyebut penyanyinya dari Belanda, pemain gitarnya dari Belanda. Saya bilang, “Okelah!” Akhirnya, setelah melalui proses diskusi bla-bla-bla-bla-bla, terjadi kesepakatan, oke kita konsinyering, latihan selama tiga bulan di daerah Puncak. Itulah cikal bakal lahirnya God Bless. Nah, semenjak era God Bless, relatif memang masa-masa remaja saya itu lebih fokus lagi kepada dunia musik. Karena dari God Bless itu, segala aspirasi atau keinginan saya sebelumnya. Misalnya saya pernah bikin lagu sendirian secara amatiran pake gitar akustik atau pake piano itu tersalurkan. Artinya, naluri untuk berkarya original dari hati kita sendiri itu tersalurkan. Even pada rekaman God Bless itu tidak ada satupun lagu saya yang direkam. Cuma, proses penciptaan itu sudah mulai dari situ. Barulah setelah God Bless recording, lalu saya lebih aktif di kelompok itu, main dimana-mana, mempopulerkan dan mensosialisasikan God Bless. Itu kronologis awalnya. Sekarang saya ingin menjawab

29

pertanyaan anda mengenai konteksnya dengan budaya. Semenjak proses dari tahun ’68, ’73, sampai hari ini, satu hal yang selalu saya mencoba untuk mencari tahu. Apa dan seperti apa bentuknya, serta apa peran dan fungsi kita sebagai musisi? Ini satu pertanyaan yang sulit dijawab awal-awalnya. Karena perjalanan profesi musik itu sendiri berjalan mengalir sedemikian rupa mengikuti jaman tanpa ada suatu upaya-upaya untuk lebih berpikir secara serius menemukan format. Menemukan format dalam konteks kita sebagai manusia dan sebagai warga negara. Proses itu tidak pernah terpikirkan. Musisi dari tahun 60-an itu cenderung mengalir dalam berproses dan berkarya tanpa berpikir apa-apa. Ironi, atau kendalanya adalah ketika saya menjelang dewasa, di atas dewasa, mendekati usia tua. Usia dewasa dalam konteks seorang om Yockie ini rangenya 40-an atau 30-an? Ya sekitar 30-an, lah. Saya kebingungan untuk mengekspresikan diri saya. Karena saya bersentuhan dengan permasalahan hak dan tanggung jawab. Satu hal yang sangat dilematis buat saya karena tidak ada jawaban. Hak saya apa? Tanggung jawab saya apa? Kalau saya tanya ke anda, anda sebagai pegawai negeri. Anda sekolah untuk belajar akuntansi, misalnya. Kalu anda punya tanggung jawab dalam kapasitas dan posisi anda sebagai bagian dari lembaga atau institusi anda di Ditjen Pajak. Itu tanggung jawab anda. Lalu hak anda adalah institusi atas nama negara memberikan hakhaknya kepada anda misalnya dalam bentuk salary, tunjangan, dan hak-hak lainnya. Nah, kami di musik, sejak umur 30-an, saya tidak menemukan itu. Apakah fenomena ini hanya terjadi di Indonesia saja atau terjadi juga di belahan dunia lain? Saya tidak ingin meloncat jauh. Saya ingin bicara di sini saja dulu. Artinya, saya sebagai warga negara Indonesia tidak mendapatkan jawaban tentang hak dan tanggung jawab saya sebagai warga negara. Antara lain, hak

Edisi Sembilan

saya untuk mendapatkan honorarium atau misalnya proteksi mengenai hak cipta, perlindungan mengenai ruang-ruang ekonomi, dan kegiatan kita berekonomi. Kita berekonomi tidak terfokus pada satu tempat, tapi di seluruh wilayah tanah air, kan? Nah, saya tidak mendapatkan proteksi, yang mana sebetulnya hak-hak saya itu yang harus dilindungi dan tidak boleh dicederai dan dimanfaatkan oleh orang lain. Artinya kita ikut mengawasi. Kemudian tanggung jawab saya ketika saya berekspresi. Dari semenjak tahun ’70-an anda boleh lihat, relatif semua karya-karya saya itu berbicara tentang sosial. Kepedulian sosial. Artinya, rasa kegelisahan dimulai dari “Jurang Pemisah” sampai seterusnya. Even saya sudah berumur 30 tahun pun, saya tetap berbicara mengenai masalah sosial dalam konteks ruang yang lebih kecil. Lingkungan hidup dalam diri saya sendiri, pergaulan, paradigma yang terjadi pada saat itu, modernisasi yang masuk pada saat itu dan apa konsekuensikonsekuensinya. Saya selalu berbicara masalah sosial. Ada satu-dua lagu bicara cinta. Ya, pragmatis tetapi itu tidak mendominasi. Jadi artinya, ekspresi saya dalam berkesenian itu lebih mewakili suara hati dan kegelisahan saya. Dalam konteks itu tadi, mencari jawaban mengenai hak dan tanggung jawab. Ketika saya berekspresi di wilayah-wilayah sosial, seperti yang saya katakan tadi, itu juga tidak ada respons yang memadai yang saya pikir, “Lho, kok saya peduli sama orang, saya peduli pada keadaan, cuman keadaan tenang-tenang aja itu?!” Nggak menganggap ini sesuatu yang penting. Paham? Artinya, ketika saya berbicara “Jurang Pemisah”, saya bicara kesenjangan, orang juga tenangtenang aja. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Akhirnya saya berpikir, “Ini apa saya yang rumit sendiri, atau saya terobsesi sendiri, atau saya paranoid sendiri, atau apa ini?!” Nah proses itu berjalan lama, karena memang faktanya begitu. Masyarakat tidak peka dengan apa yang saya rasakan dan apa yang saya lihat.

TUCZINE

Termasuk pendengar musik oo Yockie? Iya, termasuk pendengar musik saya, walaupun tentu tidak semuanya. Pendengar musik Indonesia tidak peka. Tidak peka dengan apa yang saya temui selama perjalalan karir saya sampai dewasa. Perjalanan karir saya hingga dewasa itu dimulai dari saya bergaul dengan proletar. Lingkungan masyarakat kelas bawah. Saya pernah mas, bertahun-tahun hidup mbambung. Mbambung itu artinya berkelana. Tidak tentu tinggalnya di mana. Saya jadi anak radio amatir juga. Kadang-kadang ketika diajak teman yang tinggal di Bandung, saya tinggal di Bandung. Kadang-kadang di rumah. Kadang-kadang di tempat nongkrong. Kadang di radio tidurnya. Jadi, ketika itu hidup saya itu lepas. Mungkin pada saat itu bisa disebut liar. Saya bergaul dengan proletar. Dengan grassroot. Sampe kemudian pada umur 30an saya bergaul dengan kalangan-kalangan high society. Relatif orang-orang yang dulu saya kenal masih sebatas SMA, sebatas masih kuliah di ITB, ternyata pada tahun ’80-an sudah jadi jutawan atau milyarder. Itu perjalanan proses saya. Jadi, pemahaman tentang hidup itu langsung saya peroleh dari lapangan. Ibaratnya kalau anda seorang system design analyst, anda belum punya soft computer untuk memproses, cuman data sudah anda kumpulkan. Kemudian ada confuse, mengalami kebingungan dengan data itu, “Ini mau diapain data ini?” Karena data itu parsial. Lepas-lepas satu dengan yang lain. Tidak terintegrasi satu sama lainnya. Kita dibuat pusing dengan data yang sebegitu banyak. Pada saat tahun ’80-an, saya menikah. Ketika itu umur saya sekitar 27 tahun. Saya berkesempatan dan entah kenapa tertarik untuk membuat software house. Pada saat itu PC belum dikenal. Masih main frame. Saya tertarik dengan komputer. Satu-satunya PC yang masih uji coba adalah Radio Shack, Apple. Tapi itu kan mini sekali. Kecil. Saya terobsesi dengan komputer. Saya mempelajarinya dengan membuat soft-

30

ware house yang kebetulan direspon oleh IBM Indonesia menjadi satu-satunya partner IBM dalam konteks software. IBM dikenal selalu pakai software dari luar. Nggak pernah bikin sendiri. Saya satu-satunya third party IBM lokal untuk membuat software sesuai dengan paradigma kita, orang Indonesia. Sesuai dengan cara berpikir kita. Karena software yang ada sudah jadi semua, tinggal entry. Padahal usaha-usaha mikro tidak semuanya mengikuti pola seperti itu. Jadi kita harus buat sendiri. Kenapa saya berani bikin software house? Karena teman saya ada yang Dekan Teknik UI, insinyur, Pembantu Rektor UI, dan orang-orang yang kompeten di bidangnya masing-masing. Saya kumpulkan, “yuk, kita bikin software house!” Sepakat, jadilah! Kemudian itu bertahan hanya lima tahun. Kendalanya, tidak semudah itu. Tapi intinya gagasan itu muncul. Ketika saya mulai mempelajari software house, di situ seolaholah terjadi suatu transformasi dalam diri saya. Bahwa data-data yang selama ini saya kumpulkan, sekarang saya punya hardware nya. Saya punya hardware untuk mengolah itu. Ketika saya punya hardwarenya, baru terbuka mindset saya. Pikiran saya terbuka, “waduh, kalo begitu saya butuh disiplin-disiplin kompetensi lain untuk merumuskan suatu solusi!” Karena saya seniman, bukan problem solver. Saya punya data, karena saya punya komputer. Nah, untuk mengolah itu saya butuh tenaga dan kompetensi di bidangnya masih-masing. Ini kalo kita bicara kebangsaan, ya. Dari situlah muncul kesadaran, “saya tidak boleh bergaul hanya di lingkungan musik!” Saya harus bergaul dengan berbagai disiplin ilmu dalam payung kebudayaan. Di situ ada disiplin politik pragmatis. Di situ ada disiplin hukum. Di situ ada disiplin ekonomi. Ketiga-tiganya harus saya senggamai. Harus saya setubuhi. Saya harus tahu persis permasalahan apa yang mereka hadapi hari ini. Baru kemudian saya bisa mendata atau membuat mapping, “oh, seperti ini kondisi hidup kita.” Itu yang saya lakukan.

Edisi Sembilan


wawancara

wawancara kekeluargaan dipaksa untuk eluelu, gue-gue. Akibat dari “one man, one vote” tadi itu. Orang untuk menerapkan paradigma “one man, one vote” itu harus melalui proses pendidikan yang panjang dan melalui kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di sana. Nggak bisa disamakan di sini. Mereka telah melalui proses kebudayaannya sendiri, orang Amerika itu sebagai masyarakat dan bangsa imigran. Ada perang saudara. Belum lagi lingkungan hidup mereka di sana. Ada salju yang membuat mereka harus bikin baju wool. Yang membuat mereka harus makan makanan berkalori tinggi. Mereka harus minum wiski. Ada alasan-alasan yang menjadi kebutuhan yang akhirnya menjadi paradigma, karena memang tuntutan dari alamnya. Orang Indonesia nggak perlu minum wiski, orang di sini nggak ada salju, kok. Iya kan? Orang Indonesia nggak perlu bikin mantel wool. Ngapain? Selimutan aja udah kepanasan.

Yockie Soeryo Prayogo dan Didik Yandiawan di kediaman Sang Legenda Saya bergaul dengan orangorang politik tanpa saya harus menjadi politisi. Tanpa saya harus terlibat dalam partai politik. Karena ternyata politik itu perlu. Orang bernegara, secara demokratis itu caranya ya hanya dengan berpolitik. Kita boleh benci politik. Cuma, tidak ada cara lain selain berpolitik. Masalahnya bagaimana politik itu mau dipakai aja, kan? Orang berkumpul di politik itu artinya memperdebatkan kepentingan, tarik-menarik kepentingan untuk melahirkan kesepakatan. Kesepakatan itu yang disebut hukum. Dari hukum akan muncul satu aturan untuk mengelola ekonomi, mengelola tata cara hidup orang, mengelola cara bergaul dan bersosialisasi dalam satu komunal. Itu semua dirumuskan oleh hukum. Baru kemudian dari hukum itu ada rumusan tata cara berdagang, tata cara berekonomi, dan segala macam. Muncullah hukum ekonomi. Ini tidak universal sifat-

TUCZINE

nya. Ada yang universal sebagai panduan. Tapi dalam pelaksanaan detilnya, itu tergantung pada simplifikasi kebutuhan masing-masing, tiap komunitas masyarakat. Orang Eropa dengan orang Amerika atau orang Jepang berbeda aplikasinya. Tidak bisa dipukul rata. Memang, hukum batang tubuhnya sama universal. Cuma pelaksanaannya tergantung kebiasaan-kebiasaan orang. Orang Jepang punya kebiasaan sendiri. Orang Cina punya kebiasaan sendiri. Orang Amerika punya kebiasaan. Orang Indonesia pun punya kebiasaan. Nah, ini yang tidak diadopsi. Ini yang tidak dilakukan. Jadi, hukum kita itu bukan hukum berdasarkan kebiasaan kita, tapi hukum yang berdasarkan kebiasaan orang dipaksakan di kita. Itu kesalahannya. Sekali lagi, itu kesalahannya. Lalu berlindung dibalik pemahaman bahwa “hukum itu universal.” Memang ada yang universal. Universal itu

31

harus diletakkan dalam pemahaman bahwa negara demokratis itu universal. Karena kita kan ngikut. Peradaban kita kan baru ngikut. Yang dibilang negara demokratis itu kan sudah dimulai ratusan tahun lalu. Akhirnya mereka membuat aturan. Kalu mau demokratis itu begini, kalau mau monarki itu begini. Nah, kita kan milih yang demokratis. Kita ngikut acuan panduan dan batang tubuh besarnya, iya memang benar. Tetapi pelaksanaannya ke bawah tidak harus plek seperti mereka. Saya ambil contoh, misalnya di Amerika berlaku sistem “one man, one vote” karena memang mereka ada masyarakat imigran. Tapi di Indonesia, nggak bisa kita menerapkan “one man, one vote”. Karena di sini kekeluargaan musyawarah. Jadi di sini pendekatannya harus kolektif, harus berdasarkan lokalitas. Nah, ini yang tidak dieksplor, ini yang tidak digali. Manusia dengan karakter musyawarah, dengan

Edisi Sembilan

Nah, hal-hal seperti itu adalah persoalan sosial budaya. Kalo kita ibaratkan kita berada dalam satu terminologi kebudayaan, itu dipahami adanya unsur politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Ini persoalan sosial budaya. Jadi seharusnya suatu tatanan kebudayaan itu berangkat dari sosial budaya. Berangkat dari pemahaman orang, itu kebiasaannya apa. Kebiasaan-kebiasaan itu dirumuskan. Yang baik dipakai, yang buruk dibuang dan ditinggalkan. Nah, kebiasaan kita di Indonesia itu ada 300 lebih suku bangsa dan 600 bahasa. Ada ratusan bahasa, adat, dan tradisi yang harus diadopsi untuk menjadi Indonesia. Permasalahannya adalah tidak semua adat-adat lokal itu semuanya eksis. Ada yang ternyata sisa 50 orang dan menjadi tidak eksis lagi. Ya nggak apa-apa diadopsi yang eksis saja. Yang besar dan yang masih ada diadopsi lalu dirumuskan dalam satu kesepakatan. Misalnya Jawa di wilayah timur, tengah, dan barat saja sudah berbeda. Sumatera Barat dan Selatan saja sudah berbeda. Kita adopsi dan kita pilah-pilah

TUCZINE

yang mana yang masih sesuai dengan zaman yang mana yang tidak. Kita rangkul yang menjadi identitas kita sebagai masyarakat yang bermusyawarah dan kekeluargaan. Itu harus dirumuskan oleh ketua-ketua adat, oleh masyarakat-masyarakat adat, lalu disahkan menjadi undangundang oleh negara. Esensinya kan begitu. Lalu, kalau menyinggung masalah itu saya kembali kepada apa yang terjadi ketika PPKI mempersiapkan kemerdekaan, di mana Bung Karno ketika itu didorong untuk harus membacakan proklamasi kemerdekaan. Pada saat itu Bung Karno mengatakan, dia membacakan itu akan setengah hati karena draftnya nggak lengkap. Secara administratif, ketika akan memerdekakan sebuah negara itu harus punya teks akademik yang lengkap. Ketika itu teks akademik ini nggak lengkap. Tetapi kalau tidak dimerdekakan saat itu juga, kesempatan itu lewat. Jangan-jangan Belanda bisa balik lagi masuk ke Indonesia. Atau Jepang yang balik lagi masuk Indonesia. Karena itu buru-buru harus dimerdekakan saat itu juga. Supaya tidak memberikan peluang bagi kolonial asing untuk kembali lagi. Tapi dengan catatan, untuk sementara Indonesia menggunakan undang-undang batang tubuh yang universal. Maka diambillah apa yang berlaku di VOC, di Belanda. Hukum Belanda itu diadopsi sebagai panduan karena itu memang bersifat universal. Kita mengenalnya dengan sebutan Kontinental. Di situ (teks Proklamasi, red.) juga Bung Karno mengatakan bahwa “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l. diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Itu artinya apa? Artinya kelengkapan yang belum siap tadi itu harus segera dikerjakan. Kepentingan masing-masing lokal, masing-masing wilayah itu harus segera dirumuskan untuk kemudian melengkapi UUD 1945 itu sebagai panduan pelaksanaannya. Jadi sebetulnya saya baru tahu

32

bahwa ternyata UUD 1945 itu baru Batang Tubuh. Kalo dibaratkan pohon, itu baru benggolnya saja, batangnya saja. Sementara kita itu hidup di ranting-ranting, di cabang-cabangnya. Jadi UUD 1945 ini baru batang tubuh, makanya itu ketika orang-orang atau kita punya permasalahan di ranting-ranting, bingung menelusurinya. Gimana caranya supaya bisa sampai kalau belum ada dahan dan rantingnya. Nah, inilah problem Indonesia. Kembali ke masalah konteks computer dan software tadi, sebagai seniman musik, di situ baru saya pahami, “oh, ternyata ini peta permasalahannya.” Artinya, karena kita tidak dilengkapi dengan aturan yang semestinya harus ada untuk menjalani kehidupan bersama, akhirnya kita sebagai manusia dengan kompetensi masing-masing, dari domain satu dengan domain yang lain, itu diadu domba! Diadu domba, kita hidup ini diadu domba! Siapa yang mengadu domba? Hukum kita sendiri! Hukum kita sendiri yang mengadu domba kita. Nah, ketika saya tahu bahwa kita diadu domba, lalu berarti solusinya bagaimana? Nggak ada cara lain, yang saya tahu sampai hari ini kecuali pendekatan sosial budaya kembali. Digunakan kembali. Karena tidak ada artinya anda berpolitik, kalau anda tidak berbudaya. Tidak ada artinya anda berekonomi, sepintar-pintarnya anda, mau sekolah di Harvard atau di manapun; kalau anda tidak berbudaya, anda akan menjadi binatang ekonomi. Begitu juga hukum. Orang belajar hukum secara tekstual mau gelarnya apapun juga, kalu dia tidak berbudaya dan tidak mewakili kebudayaannya nggak ada artinya apa-apa itu. Itu justru menjadi penyakit. Menjadi perusak, karena dia mencederai hakhak hukum orang lain. Setelah saya memahami itu semua, kemudian saya kembalikan ke fungsi saya. Saya bisa apa? Saya kan tidak punya kompetensi untuk memahami hukum, politik, dan ekonomi. Saya bukan praktisi itu. Sehingga saya mencoba mensosialisasikan gagasan-gagasan saya. Semenjak

Edisi Sembilan


wawancara

wawancara

tahun 2002-an, saya mulai lebih aktif lagi untuk masalah ini bersama almarhun Rendra. Saya ikut kelompok Rendra yang disebut “Lingkaran Persaudaraan”. Saya mendorong dan melahirkan “Gerakan Kepatutan” pada tahun ’83-’84. Segala cara saya lakukan yang intinya itu tadi, mempertemukan simpul-simpulnya. Kita nggak punya simpulnya gimana mau ketemu?

tan bersama setelah mempertimbangkan berbagai risiko dan keuntungannya seluruh penumpang di dalam mobil memilih melalui jalan lain. Pasti ada yang setuju dan ada yang tidak. Tapi demi kepentingan bersama untuk saat dan kondisi itu akhirnya disepakati. Itulah kebenaran pragmatis, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama untuk kepentingan sesaat.

Dari tahun ’83-84 saya mulai gelisah. Ini suatu saat akan terjadi chaos perilaku. Karena sudah tidak ada lagi panduan, yang mana yang dibilang patut, yang mana yang dibilang tidak patut. Yang mana yang dibilang layak dan yang mana yang dibilang tidak layak. Itu sudah abu-abu.

Keempat, kebenaran yang sifatnya performatif. Kebenaran performatif itu artinya ketika kita bernegara, berkelompok, atau bermasyarakat, ada kebenaran mutlak yang harus ditulis. Kebenaran performatif itu, seringkali tidak mewakili keinginan kita hari ini. Tapi, karena aturan maka harus dipatuhi karena sudah tertulis. Apabila ingin diubah, maka harus dirundingkan dahulu. Jika disepakati diubah, maka aturan itu baru berubah. Tetapi selama dia masih tertulis, maka aturan itu tidak boleh dicederai. Selama aturan masih tertulis dan diakui secara sah, maka aturan harus dipatuhi.

Kita akan sampai pada fase itu, pada periode itu di mana kita akan chaos sama diri kita sendiri sebagai manusia. Antara otak dengan hati sudah bertentangan. Karena apa yang dikatakan hati ternyata oleh otak ditafsirkan sebagai penerimaan terhadap realita meskipun hati menolak. Itu paling bahaya, hingga orang akhirnya kehilangan kemandirian. Daulat hidup terhadap diri sendiri tidak ada. Gamang. Disorientasi. Kita kesulitan menemukan suatu sudut yang membedakan yang benar dan yang salah. Sudah nggak ada lagi. Semuanya transaksional. Semuanya berdasarkan kepentingan sesaat. Kalau kita bicara kepentingan sesaat, itu artinya kan kebenaran. Oke, semua orang bicara kebenaran. Betul, tapi saya mau mencoba menggali, apa sih kebenaran itu? Kebenaran itu terdiri dari lima aspek. Pertama, kebenaran yang sifatnya korespondensial, artinya kebenaran hari ini berhubungan dengan apa yang terjadi di masa lalu. Kedua, kebenaran yang sifatnya koheren, misalnya saya anaknya pak Susanto sehingga tidak bisa diubah menjadi anak selain pak Susanto. Ketiga, kebenaran pragmatis, misalnya kita menyepakati satu kebiasaan yang tadinya tidak ada, menjadi ada demi kebaikan bersama. Misalnya gini, biasanya kita naik mobil selalu lewat jalan raya A, tapi karena kesepaka-

TUCZINE

Kelima, kebenaran absolut, yaitu kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Nah kembali ke persoalan, kita ternyata harus mengeksplor kembali masalah sosial budaya ini menyentuh segala aspek, kepentingan hidup, kebiasaan hidup, melibatkan semua kebenaran-kebenaran tadi. Diantara kebenaran itu semua, disitu ada tradisi lama. Tradisi lama bukan untuk dikenang, diingat-ingat, tetapi untuk dieksplor. Tradisi mana yang perlu diwariskan dan mana yang tidak. Jika itu feodal, unggah-ungguh,atau basa-basi, maka cukup di lingkungan pribadi saja. Itu ranah kebangsaan yang harus kita tinggalkan ketika kita bekerja dalam tataran bernegara. Itu harus dirumuskan dalam aturan. Urusan berbangsa dan urusan bernegara adalah dua hal yang berbeda. Ketika kita bernegara, kita seharusnya sudah selesai dengan permasalahan dalam menata dengan baik urusan berbangsa, dimana dalam tataran berbangsa, kita sudah guyub, urun rembug, dan merumuskan bersama tata cara bernegara. Dibuat sistem administrasi yang komprehensif yang mengurusi

33

tata kehiduan bernegara, misalnya ada yang mengurusi kesejahteraan, keuangan, politik, dan sebagainya. Sehingga jadilah sebuah negara. Tapi, bagaimana mungkin Indonesia hari ini bisa mengurusi negara dengan baik, kalau di urusan berbangsa masih bermasalah seperti sekarang ini? Saya seniman, saya bertanya dalam hati: “bisa apa saya?” Terjawab bahwa yang dapat saya lakukan adalah mensosialisasikan pikiran-pikiran saya kepada para penyelenggara negara dan semua pihak terkait. Saya berani mengatakan kepada mereka bahwa selama ini kebudayaan hanya dianggap sebagai pelengkap. Faktanya, kalau kita bicara kebudayaan, yang ditangkap oleh masyarakat hanya sebatas tari-tarian, bermusik, dan sejenisnya. Itu yang dipahami sebagai kebudayaan? Kan celaka. Hingga akhirnya persepsi yang terbentuk yaitu yang namanya negara hanya berurusan dengan masalah politik, hukum, dan ekonomi. Tiga aspek itu saja. Dan ini tidak ada panduan atau penjelasannya. Orang berpolitik, berekonomi atas dasar apa? Tidak dapat dicari dasarnya apa. Nah, ini yang dimaksud dengan negara-tanpa-ideologi. Atau partai politik berpolitik, hukum, dan ekonomi tanpa ideologi. Ideologi itu adanya di ranah sosial budaya. Semua pihak merumuskan cara berpolitik, berekonomi, dan menjalankan hukum secara bersama-sama. Itu yang disebut ideologi. Negara tanpa ideologi sama saja negara menjajah bangsa. Wilayah berbangsa kita dijajah oleh negara. Artinya apa? Orang-orang politik di gedung DPR telah berbuat seenaknya sendiri, sekehendak hatinya sendiri. Kadang apa yang mereka perbuat tidak ada hubungannya dengan apa yang menjadi kehendak bangsa. Orang hukum juga begitu. Ia mengadopsi hukum-hukum universal semata. Mereka sudah menjajah bangsa ini karena apa yang mereka lakukan tidak ada hubungannya dengan bangsa. Orang ekonomi juga begitu, investasi asing dibuka secara masif atas nama modernisasi, globalisasi, dan kesejahteraan. Tapi tidak ada hubungannya dengan bangsa.

Edisi Sembilan

Menurut saya ini satu kondisi yang sangat membahayakan. Bagaimana bisa orang hidup tanpa ideologi? Ini adalah salah satu kondisi atau realita yang kita hadapi sekarang. Tapi, saya juga bukan tipikal orang yang harus utopis. Bukan tipikal orang yang ambisius. Saya selalu mencoba untuk realistis. Data-data yang saya miliki saya coba untuk saya daya gunakan sebatas peran, fungsi, dan kompetensi saya. Bertemu dengan para pihak yang kompeten di bidangnya untuk membahasnya. Harapan saya, Indonesia suatu saat menjadi negara maju. Saya sempat terenyuh sampai menitikkan air mata beberapa saat ketika saya menyaksikan Ibu Megawati menyatakan dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun TV beberapa waktu lalu. Meskipun bukan orang partai dan simpatisan partai politik tertentu, ada satu kalimat Megawati yang menitikkan air mata, yaitu ketika Ibu Megawati ditanyai, “Apa keingininan Ibu Mega untuk Indonesia?” Ibu Mega menjawab, “Saya ingin Indonesia menjadi Raya.” Bagi saya itu kalimat yang luar biasa. Arti kata “raya” buat saya adalah seperti apa yang kita dambakan dan kita bicarakan. Bahwa hak-hak hidup kita dan keinginan masyarakat kita dari Sabang sampai Merauke harus dapat dirumuskan dalam satu draft akademik dan diusulkan kepada DPR atau MPR. Jadi, mereka bekerja atas dasar kebutuhan bangsa. Bukan seperti hari ini! Hari ini seolah-olah bangsa mau didesain oleh mereka. Mereka getol berteriak-teriak, “Kita harus membangun karakter!” Dalam hati saya berkata,”Mereka bisa apa bicara karakter? Lu kan taunya ngurus angka 1+1=2, bicara ekonomi untung-rugi.” Berbicara mengenai karakter, carilah di wilayah sosial budaya. Di situ ada guru, ulama atau pemuka agama, scientist, seniman, dan budayawan. Di situ tempatnya. Lalu kalau ini diremehkan, bagaimana mau melahirkan karakter? Karakter robot atau badut sih, iya. Bukan karakter manusia yang diharapkan bisa menjaga keutuhan wilayah

TUCZINE

NKRI. Ada satu hal lagi yang penting buat saya. Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat bertemu dalam satu event dengan salah satu komandan pasukan tempur KOSTRAD. Saya katakan, “Mas, anda kan tugasnya mengawal kedaulatan wilayah NKRI. Saya sama seperti anda. Saya ini seniman, ibaratnya saya ini perawat. Ketika saya sebagai perawat, dan wilayah berbangsa diacakacak oleh negara, saya miris. Hanya karena saya bukan politikus, wilayah saya hanya sebatas di sini.” Saya tidak bisa menafikan fungsi saya sebagai seniman. Saya tidak bisa melangkah ke ranah politik dengan ikut-ikutan menjadi politikus. Bisa jadi badut saya nanti! Nggak akan mungkin. Seniman jadi politikus, itu bullshit! Kalo anda menemukan ada seniman menjadi politikus, itu orang oportunis. Itu pengkhianat! Karena bagaimana mungkin orang bisa berpikir tentang kepentingan bangsa, sementara dia berpolitik pragmatis seperti itu. Itu nggak akan mungkin. Dalil apapun nggak akan bisa dipakai. Teman-teman saya sendiri banyak yang seperti itu. Dalam obrolan dengan komandan pasukan tempur KOSTRAD tadi, beliau menanggapi pernyataan saya, “Mas, benar, kami juga resah dengan kondisi yang ada. Bahkan kami tidak tahu letak persoalannya di mana. Tapi kami punya tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. ‘Di dalam’ itu bukan urusan tentara.” Saya menanggapi, “Benar mas, ‘di dalam’ itu bukan domain tentara, itu domain kami.” Sembari menunjuk dada. Saya hanya berbagi. Sebagai perawat, kami gelisah. Karena wilayah berbangsa sudah diacak-acak oleh negara. Orang bernegara tanpa peduli dengan aturan-aturan berbangsa. Kan celaka, ini! Memangnya kita masyarakat baru? Memangnya kita entitas baru yang baru dilahirkan kemarin? Kan tidak bisa begitu. Kita sudah ada selama ratusan tahun. Sebelum ada negara, bangsa ini sudah terbentuk selama ratusan tahun. Lalu hanya

34

karena kepentingan politik disuruh mengubah? Enak aja, besar kepala sekali itu orang-orang politik. Ketika mereka sudah berjalan menata sistem hingga seperti sekarang, lalu mereka mempertahankan argumennya dengan segala macam dalil. Padahal sudah banyak contoh-contoh peristiwa yang kacau. Korupsi. Moral. Akhlak. Itu amburadul semua. Cuma mereka bersikukuh, “Kita kan negara hukum. Kita kan harus tunduk pada demokrasi.” Ini gila! Artinya mereka mencoba berargumen dan berdalih bahwa Indonesia adalah negara hukum, negara demokrasi, maka segala perilaku mereka seolah-olah menjadikan pembenaran untuk menutup rapat dan mengabaikan warisan yang ada, “Sudahlah ini (masalah berbangsa, red.) kita abaikan saja. Kita jalan ke depan.” Seolah-olah begitu saja. Ya harusnya nggak bisa seperti itu. Itu sebabnya kita selalu mengulang kesalahan yang sama. Dari era Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY, kita ini selalu mengulangi kesalahan yang sama. Kita ini keledai yang selalu terjebak di tempat yang sama. Karena apa? Karena itu tadi, kita tidak pernah intens untuk merumuskan: kita ini siapa, lalu apa sebetulnya yang mau kita cari. Bagian Dua - Yockie Suryoprayogo (JSOP) berbicara tentang Peran Sebagai Seniman Nah itu tadi bicara politik kebangsaan. Saya sudahi di sini, lalu saya akan berbicara dalam konteks saya sebagai seniman. Ketika saya kembali sebagai seniman, saya juga mulai berhadapan dengan satu kondisi legalitas. Hak dan kewajiban tadi. Saya sebagai seniman berbicara panjang lebar seperti ini dasarnya apa? Dan landasannya apa? Dunia saya (dunia seni, red.) itu masih dianggap sebagai hobi. Dunia seni atau budaya musik pop di Indonesia itu dianggap dunia orang iseng. Dunia yang pelakunya iseng dan kebetulan mendatangkan nilai ekonomis, popularitas, dan menjamin hidup seseorang. Tapi

Edisi Sembilan


wawancara tetap iseng, dalam kata lain itu seperti hobi dan segala macam. Kenapa demikian? Karena sejak dulu sampai sekarang tidak ada hak-hak maupun kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh sebuah profesi. Anda kalau mau kerja di Departemen Keuangan atau di Ditjen Pajak, anda harus punya latar belakang pendidikan yang jelas, legalitasnya apa untuk kemudian dapat dilindungi oleh negara melalui gaji, tunjangan, dan sebagainya karena merupakan sebuah profesi. Dokterpun begitu. Dokter itu bukan asal bisa nyembuhin orang, tapi kemudian ketika dia menjadi sebuah profesi, maka mereka bikin ikatan dokter untuk memproteksi kedaulatan dan wilayah profesi dokter. Insinyur dan arsitekpun begitu. Dokter, jika ia membutuhkan laboratorium untuk menemukan vaksin atau obat tertentu, kemana dia meminta? Kan minta ke negara untuk menemukan vaksin atau obat tersebut. Masa dia harus bikin sendiri? Atau kalau dia nggak punya duit kemudian pasrah saja. Kan nggak bisa begitu. Demikian juga seniman atau musisi. Saya bicara panjang lebar dari tahun ’70-an sampai hari ini. Ketika saya mau workshop saya nggak punya fasilitas. Ketika saya mau konser saya dihadang harga yang mahal. Ketika saya mensosialisasikan gagasan-gagasan selalu dipandang sebelah mata, “siapa elu, sih?” Ketika saya ingin rekaman saya harus susah payah minta dana. Kemarin saya minta pendanaan berupa kredit profesi ke bank. Pihak bank bertanya, “profesi bapak apa?” “Seniman musik,” jawab saya. Pihak bank bertanya balik, “seniman musik itu apa? Begini deh, bapak nanti kembali kesini dengan membawa rekening koran atau jaminan asset apa yang bapak punya, baru bank akan memberikan kredit.” Itulah yang terjadi hari ini. Jadi, anda bisa bayangkan, pemusik ini ibarat pengamen di jalanan atau di atas bus yang bisa digusur setiap saat. Musisi tidak bisa berbuat apa-apa, ketika mencari uang susah, ketika menggelar

TUCZINE

wawancara konser susah, sementara hampir setiap minggu ada band-band asing yang konser di sini. Mereka bisa hadir di gedung pertunjukan, ballroom, lapangan, dan tempat umum, dimana mereka dibayar ratusan juta dan tiketnya dibanderol dengan harga mahal. Sementara saya sebagai seniman local, nyari honorarium segitu aja sampai kiamatpun belum tentu dapat. Kenapa belum tentu dapat? Karena struktur ekonomi kita begini, sekarang. Paham maksud saya mengenai implikasi dari ini semua? Jadi bayangkan, nasib pemain musik itu hanya jadi badutbadutnya industri sekarang ini. Mereka dimanfaatkan oleh kepentingan ekonomi yang tidak punya ideologi dan dikendalikan oleh kelompok binatang ekonomi, yang kemudian mengeksploitasi seni dan lain-lainnya! Antara lain seni musik pop. Dan mirisnya, yang dieksploitasi tidak tahu apa-apa. Manggutmanggut aja. Mereka nggak punya pilihan dan nggak tau mau melakukan apa karena nggak punya informasi dan data. Mereka berpikir seeolah-olah terima nasib aja. Kok enak? Apakah anda pasrah dengan nasib seperti itu? Itu bukan takdir, itu nasib. Ada yang bilang “ini takdir.” Saya bilang, “Tidak, Tuhan tidak pernah menakdirkan kita untuk susah.” Tapi kalo nasib orang itu susah, karena orang itu sendiri yang bikin susah nasibnya, bukan kehendak Tuhan. Nah, saya kembali bertanya, “ada orang yang bernasib baik, apa itu karena kehendak Tuhan?” Tidak, kan? Itu yang terjadi saat ini. Jadi, perjuangan saya sampai hari ini adalah: pertama, saya mencoba menggugah profesi ini kepada para aktivis dan pelaku seni musik pop. Saya menggugah kesadaran mereka tentang hak berprofesi. Itu juga yag selalu saya tanyakan kepada pelaku indie label, anak-anak muda yang mengajak saya untuk mengajak bergabung dalam jamming session atau kolaborasi. Saya terbuka kepada siapa saja, karena saya tidak bergaul hanya di kalangan usia-usia saya. Saya bergaul dengan kalangan muda. Apakah contohnya seperti Pure

35

Saturday dan beberapa musisi muda lainnya? Ya, contohnya Pure Saturday dan beberapa musisi lainnya. Kepada mereka, saya selalu menanyakan satu hal, “Anda ini berpofesi atau hobi?” Jawabannya mereka juga nggak tau. Susah menjawabnya. Makanya mereka pada awalnya mengatakan, “Ketemu mas Yockie ini kayak masuk kuliah lagi.” Yockie tersenyum. Itu fakta. Para pelaku seni itu tidak tahu, karena mereka sendiri tidak siap dengan jawabannya. Tapi kemudian menjadi tugas saya untuk menjelaskan apa maksud sebenarnya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kalau anda mengatakan profesi bermusik ini sebagai hobi, nggak apa-apa. Saya akan masuk ke ranah hobi saja, tanpa bermaksud untuk membahas ataupun berpretensi apa-apa. Tapi kalau anda berprofesi, saya harus menyampaikan informasi-informasi yang harus mereka ketahui. Bahwa dalam berprofesi itu ada aturan, even itu belum dipatuhi atau belum ada sama sekali di negara ini. Sebagai seniman kita harus membangun disiplin dalam diri kita sendiri, bahwa yang namanya profesi, itu punya aturan, etika, dan karakter masing-masing. Jangan hanya tahunya itu yang namanya main musik itu sebatas kontrak-terima uang-tanda tangan-selesai. Kebanyakan seniman masih tahu sebatas itu saja. Dan jika kemudian ternyata implikasi dan dampaknya menjadi hak cipta, menjadi karakter atau identitas dari masyarakat, serta dampak dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari karya musik itu yang bisa mempengaruhi orang atau merekayasa suatu perilaku tertentu, mereka berdalih, “O, saya nggak tau itu, bukan urusan saya, saya hanya nyanyi doang, kok. Bukan tanggung jawab saya dong.” Ya nggak bisa begitu, meskipun faktanya sekarang seniman seperti itu! Boleh dibilang musisi lepas tanggung jawab dari dampak social yang timbul dari karya yang mereka hasilkan dan mereka sebarluaskan? Lepas tanggung jawab. Sekarang kalau penontonnya beran-

Edisi Sembilan

tem atau jadi jahat gara-gara lagu saya jangan salahkan saya? Ya nggak bisa begitu, dong. Itu nggak bertanggung jawab! Sama aja dengan misalnya ada orang pakai backless cuma kutangan doang, terus ada orang nafsu dan dengan santainya bilang, “salah sendiri elu nafsu, saya kan tidak membuat anda nafsu?!” Kok tolol amat sih cara berpikirnya. Ini kan pembenaranpembenaran yang tidak masuk akal. Dan ini terjadi di masyarakat. Orang mengatakan, “jangan nafsu, dong!” Ya saya jawab, “gimana gua nggak nafsu, kalo gua ngeliat kutang lu! Ngeliat tetek lu, rok lu kebuka, gimana gua nggak nafsu!” Inilah yang saya maksudkan, mesin-mesin sosial budaya tidak mampu bekerja dengan baik hingga akhirnya orang cenderung kehilangan mana yang boleh, mana tidak boleh; mana yang bagus, mana yang tidak bagus; mana yang patut, mana yang tidak patut; dan mana yang layak, mana yang tidak layak. Orang mengalami disorientasi. Dan itu berbahaya. Mengapa berbahaya? Karena kalau sudah abu-abu semua, akibatnya orang harus digerakkan dengan aturan formal atau tertulis oleh negara.

LARANG KENCING DI SINI” tadi. Saya terpaksa harus menulis itu di depan rumah saya karena orang nggak tau kalau nggak ada tulisan berupa larangan. Besok-besok, misalnya ada orang yang kencing di depan rumah saya dan saya menegurnya, “Eh, jangan kencing di sini!” Bisa-bisa dijawab, “Kan nggak dilarang mas, nggak ada tulisan larangannya, kok” Ini kan hal-hal mendasar yang disebut karakter. Karakter itu mencerminkan kualitas manusianya. Bagaimana mungkin bisa membangun karakter, kalau tidak dilakukan dengan cara-cara sistematis dan terukur. Lalu kemudian dirumuskan karakter apa yang dibutuhkan? Dari mana karakter itu bisa digali? Itu ada rumusannya. Tinggal ngumpulin seniman, guru, ulama yang baik yang nggak jualan ayat, scientist, dan semua unsur di masyarakat, pasti ketemu rumusannya. Tapi kenapa itu tidak dilakukan? Jadi menurut saya ada pembiaran. Menurut saya, ini disengaja ada pembiaran. Hingga disparitas dari generasi ke generasi semakin jauh.

bangsa dengan berbagai macam adat istiadat, adab, dan norma yang tidak tertulis. Tradisi lama telah mengajarkan semua itu. Sekarang kita masuk ke era tradisi baru. Harusnya, tradisi baru itu mampu menggali apa yang masih dibawa tradisi lama sebagai identitas kita hari ini, dan apa yang harus dibuang dari tradisi lama yang tidak sesuai dengan hari ini. Baru kemudian tradisi baru ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi yang bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kehendak zaman. Nah tradisi baru hari ini adalah tradisi yang dikelola, dikomandani, dan digerakkan oleh kultur pop atau pop culture. Pop culture itu ada di mana-mana. Di politik ada pop culture.Orang politik saat ini tampil dengan media pop culture. Pencitraan dan penampilan mereka dibentuk oleh pop culture. Begitu juga di musik. Anda mau bicara underground, metal, hip-hop, classic, dangdut itu sama-sama digerakkan oleh pop culture.

“KARAKTER ITU MENCERMINKAN KUALITAS MANUSIANYA” Bisa dibilang tidak ada kesadaran dari pribadi masing-masing?

Tidak ada kesadaran. Seperti misalnya zaman dulu, saya harus bikin tulisan “DILARANG KENCING DI SINI” untuk dipasang di taman di halaman rumah saya. Atau misalnya “DILARANG MENGINJAK RUMPUT” dan dipasang di taman. Itukan mencerminkan perilaku komunal masyarakat tolol yang masih tertinggal. Orang kalau berperilaku baik dan berbudaya, nggak usah disuruh untuk tidak menginjak rumput, karena tahu bahwa rumput itu tidak boleh diinjak. Orang kalau berbudaya baik, ketika keluar dari masjid sehabis salat, nggak akan tiba-tiba tangannya mematahkan dahan, ranting pohon, atau kembang dengan semena-mena. Tanpa harus disuruh dengan larangan, seharusnya otomatis tidak melakukan hal-hal seperti itu. Sama halnya dengan amar “DI-

TUCZINE

Beberapa waktu lalu saya juga menghadiri acara di Taman Fatahillah, yaitu acara Revitalisasi Kota Tua. Di sana saya bertemu dengan banyak orang, sebagian besar seniman-seniman senior yang diundang. Beberapa diantaranya ada agamawan. Kami berbicara masalah kekinian yang melanda kehidupan kita. Hanya lima menit berdialog, saya bisa merumuskan dialog singkat itu bahwa konklusinya adalah: Indonesia hari ini ini adalah tradisi baru yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Titik! Apakah konklusi itu dilandasi oleh fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan yang oom Yockie amati dan pelajari selama ini?

Ya, Indonesia hari ini adalah sebuah tradisi baru yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena ada missing link antara pemahaman kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi ini yang saya katakan bahwa hari ini sebagai tradisi baru dalam konteks bernegara. Kalau tradisi lama itu saat kita ber-

36

Hanya ada dua, tradisi lama dan tradisi baru. Tradisi baru itu pop culture, tradisi lama itu musikmusik tradisional dan kontemporer. Musik tradisional bukan pop culture melainkan kultur tradisi. Hanya jika kita berbicara musik, kultur pop hari ini adalah kultur universal yang mengadopsi produk budaya Eropa. Kita mengadopsi musik diatonal yang dari era Renaissance, Baroque, Classic, hingga masuk ke era Romantic. Nah kita mengadopsi music Romantic itu. Yang kita adopsi kan perangkatnya. Tools dan hardwarenya. Do-re-mi-fa-sol-la-sido. Itu yang kita adopsi. Tapi konten dan muatannya harus persoalan kita. Nah ini yang tidak disadari oleh generasi sekarang. Mereka mengadopsi dore-mi-fa-sol-la-si-do sekaligus kontennya. Artinya mereka mengadopsi budayanya juga. Menelan mentah-mentah, kan? Contohnya, di sana ketika ada punk, ikut-ikutan budaya punknya diikuti. Nggak ada hubungannya. Punk itu lahir karena proses dialektika masyarakat, dimana anak-anak frustrasi dengan problemnya sendiri

Edisi Sembilan


wawancara di sana. Anak-anak Bronx di New York dengan masalahnya sendiri. Kita nggak punya problem seperti orang-orang Bronx atau Eropa. Kita kan punya masalah sendiri. Nah, dunia kultur musik pop di Indonesia sampai tahun ’80-an itu prosesnya relatif berjalan dengan baik. Saya bisa buktikan apa indikatornya. Di Surabaya muncul Leo Kristi dan Gombloh. Itu kultur pop Jawa Timuran. Orang tau siapa itu Gombloh dengan kekhasan Jawa Timurnya. Di Jogja muncul Ebiet G Ade. Orang tau sastra-sastra dan tulis menulis kreatif seperti Ebiet G Ade itu pasti orang Jogja yang menulisnya. Di Bandung, muncul Bimbo dengan karakternya sendiri. Orang tau Bimbo pasti orang Jawa Barat yang religious. Belum lagi di wilayah lain, ada Chrisye, Iwan Fals, dan lainlain yang mewarnai era ’80-an. Apa artinya? Artinya adalah kultur pop Indonesia itu berproses. Ia berproses mengadopsi budaya Eropa untuk berkarakter Indonesia. Muatan dan peristiwanya adalah peristiwa orang Indonesia. Makanya ketika Ebiet, Franky Sahilatua, atau Rinto Harahap bernyanyi, orang dari Sabang sampai Merauke itu terlibat. Mengapa demikian? Karena (lagu yang mereka nyanyikan, red.) itu berisi persoalan orang Indonesia. Nah saya kan berusaha masuk ke situ. Dari album “Jurang Pemisah” saya berusaha untuk menyentuh persoalan orang Indonesia. Tapi kemudian setelah era AFTA dibuka, yang dilanjutkan dengan globalisasi, proses ini dengan kasat mata di-cut! Atas nama modernisasi, segala bentuk investasi asing berarti penetrasi kebudayaan asing. Lalu anak-anak muda generasigenerasi setelah saya menjadi tidak peka lagi dengan alamnya sendiri. Anak-anak sekarang tahu bahwa ia hidup di Jakarta. Cuma dia tidak tahu hidup diantara lingkungannya sendiri. Asing terhadap lingkungannya. Ibarat hewan yang tidak lagi diletakkan di habitatnya. Ketika kondisi itu terjadi, wajar dong di kondisi seperti sekarang, anak-anak tidak peka lagi

TUCZINE

wawancara dengan lingkungannya. Mereka baru peka kalau sudah ada bencana. Sudah ada banjir baru kelabakan. Negara pada hari ini baru kelabakan kalau ada, banjir, asap, gunung meletus, dan tsunami. Karena sudah terputus, sudah tidak berhubungan dengan alamnya. Lalu bencana-bencana itu coba disikapi dengan urusan pragmatis. Kan celaka dan nggak akan menyelesaikan masalah. Anda kalau ingin menyelesaikan masalah Jakarta agar tidak banjir, tentunya dengan cara mengosongkan kembali ruang-ruang resapan air atau mengembalikan lahan-lahan terbuka untuk penyerapan air serta tidak merusak daerah penopangnya, misalnya Puncak. Itu kan pendekatan sosial budaya. Bukan pendekatan efisien ekonomis, baru karakter manusianya. Jadi, kembali ke fungsi saya sebagai seniman, yang bisa saya lakukan adalah mencoba secara terus-menerus untuk berbagi ke berbagai pihak untuk menggiring kesadaran orang Indonesia untuk berpikir secara substansial. Bahwa hidup memang pragmatis. Karena hidup harus dari uang, hidup perlu makan. Tetapi, hidup itu bukan untuk makan. Hidup itu perlu uang. Tetapi kita hidup, sekolah, dan bekerja bukan semata-mata demi uang. Saya dengar-dengar negara ini punya anggaran sekitar 2,3 triliun. Saya pengen tahu anggaran itu dipakai untuk apa dan pemanfaatannya menjadi apa. Saya akan coba kejar dari situ. Kemana aja duit itu? Karena di situ ada hak-hak kebudayaan yang perlu diakomodasi. Lalu kewajiban administrasi itu siapa yang bertanggung jawab di situ? Skema anggaran itu sudah ada aturannya. Kementerian menyusun rencana anggaran, pemerintah dan DPR membahas dan menyepakati. Kalau dilihat, wadah kebudayaan beririsan antara Kementerian Pendidikan, Kementerian perdagangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Untuk melihat lebih dalam, kita harus tahu siapa yang bertanggung jawab. Untuk tahu anggaran, kita harus tahu program-program. Sayangnya, anggaran belanja pegawai,

37

belanja modal belum dimaksimalkan. Salah satu permasalahannya adalah benturan di aturan-aturan teknis. Sehingga tidak luwes di level implementasi. Nah itu kan kaitannya dengan karakter feodal. Itulah yang perlu dibuang. Sampai ke level negara aja masih terjebak ke paternal. Aturan tidak dibuat berdasarkan kebutuhan. Ketika kita berbicara pajak, orang pajak harus mengerti filosofinya. Mengapa pajak itu ada, untuk apa, dan bagaimana memungut dan mengaturnya. Kalau ada benturan dalam aturan, implementasinya sulit. Itulah garis besar persoalannya. Kita selalu bermain di tataran muara dan hilir, belum menyentuh ke persoalan di hulu. Kita terbiasa pada tindakan reaktif. Crash program. Akhirnya lama kelamaan menjadi terakumulasi jadi ledakan. Iya benar oom. Mengelola negara seperti mengelola proyek. Ketika kita tidak melibatkan semua pihak dan mengumpulkan informasi di awal, bisa terjadi risiko proyeknya molor, biayanya membengkak, atau scopenya berubah. Sehingga, kami di Ditjen Pajak berusaha concern untuk menghadirkan peraturan dan kebijakan yang baik. Hanya saja, dalam merumuskan peraturan atau kebijakan kita berhadapan dengan banyak pihak, dimana unsur tarik-menarik kepentingannya tinggi. Kesalahan sistem semata-mata diganti dengan pendekatan dengan pembenahan sistem. Seharusnya diganti dengan pendekatan kebutuhan orangorang yang menjalankan sistem itu. Kalau orang-orangnya salah ya susah juga. Ini kesalahannya dari situ. Berpikir dengan logika sederhana, kebutuhan masyarakat apa? Akhirnya saya kembali ke fungsi dan peran saya apa yang bisa saya lakukan dalam pemikiran filosofis dan pragmatis. Dua wilayah ini harus dikelola dengan baik dengan mengajak semua orang dari berbagai disiplin profesi. Kesadaran di masyarakat kalangan menen-

Edisi Sembilan

gah sudah tumbuh. Kalau saya menemuinya, mereka langsung nyambung. Artinya secara alamiah sudah ada koneksi. Permasalahan kita sama. Suatu saat saya mengharapkan lahir kesadaran kolektif untuk membenahi. Di sana bisa terjadi revolusi tata kelola hidup yang bisa dipertanggung jawabkan. Manusia-manusia yang tidak sesuai tata kehidupan bernegara akan tersingkir dengan sendirinya. Gerakan dan paradigm berpikir akan berevolusi menemukan formatnya. Dalam istilah politik hal ini dikenal dengan absent theory. Kepantasan. Ada Trias Politica untuk berdemokrasi. Ketika kita berdemokrasi, aturan pelaksanaannya harus mengacu pada aturan yang universal. Bahwa Trias Politica itu artinya anti monopoli, absent theory, dan turunan-turunannya. Jangan anda berpolitik, karena tidak ada batasan dan larangan dan anda punya uang, anda jadi ketua partai, pemilik media, dan menduduki jabatan pemerintah. Itu nggak benar. Atau misalnya, anda seorang pedagang besar memiliki pabrik sekaligus mengelola jalur distribusi sampai mengurusi karyawan. Itu juga nggak benar. Artinya kita mengambil hak-hak orang lain. Itu esensi Trias Politica. Coba cermati apa jadinya Trias Politica jika diterapkan dalam kondisi seperti di atas, jangan heran kalau orang akhrinya melontarkan kalimat-kalimat fatalistik seperti “mendingan kita kembali ke zaman dulu saja di zaman kerajaan.” Atau, “mendingan diperintah oleh Soeharto atau pemimpin tangan besi aja deh.” Soeharto itu representasi dari monarki, representasi dari raja. Kenapa Soeharto berkuasa sampai 32 tahun? Karena dia memposisikan dirinya sebagai raja. Kalu nggak, habis dia. Jadi kita selama ini di zaman Soeharto di era pembangunan, terlepas dari sisi positifnya, kita sebetulnya menganut sistem monarki! Hanya perangkatnya aja. Seolah-olah ada MPR, DPR, polisi, dan sebagainya. Tapi kan mereka “Yes Man”. Mana ada di DPR berani ngomong tidak setuju zaman itu. Kan tidak ada.

TUCZINE

Semua hanya formalitas waktu itu. Tongkat komando ada di Cendana, Sang Baginda Raja. Meskipun demikian, gaya pemerintahan ini terbukti mampu menjadikan negeri ini relatif aman dari teroris, pertikaian sektarian, dan benturan etnis. Karena raja. Kalau kita mau demokratis, ya ayo! Cuman pertanyaannya “siap nggak berdemokrasi?” Itu pertanyaan yang harus dijawab. Bukan untuk dijadikan pilihan untuk kembali ke zaman dulu atau tidak. Tapi untuk mengetahui permasalahannya. Jadi, kesadaran kolektif harus digerakkan dari informasi-informasi dan data yang akurat. Mengapa Soeharto berkuasa 32 tahun? Mengapa reformasi ibarat kereta yang kehabisan bahan bakar? Hari ini muncul tokoh idola, tokoh teraniaya: Susilo Bambang Yudhoyono, semua orang menyambut dengan gegap gempita. Tapi, ketika jadi presiden, apa yang terjadi? Baru berapa tahun habis dicaci maki. Saya juga pernah bertemu dengan beliau. Secara implisit beliau menyatakan bahwa, “saya ini makhluk politik yang urusannya menang dan kalah.” Artinya, dia tidak punya kaki dan daya untuk melakukan sesuatu seperti apa yang dilakukan di era Soeharto. Lalu ketika terjadi kekacauan di wilayah tertentu, orang-orang menyalahkan SBY, “SBY itu apa? Kayak kebo nggak bisa ngapa-ngapain.” Masyarakat salah kaprah! Kita semua salah kaprah. Kita menjadi bangsa yang euphoria terusmenerus. Ya kan? Kemudian saat ini muncul Joko Widodo sebagai tokoh bersih. Oke dia bersih, tapi jika Jokowi diposisikan di tatanan politik yang carut marut seperti ini, potong kuping saya kalau dia tidak dicaci-maki. Ini kan paradigm feodal paternal. Artinya orang masih beranggapan bahwa presiden ibarat raja yang paling bijaksana. Satrio Piningit itu mana ada? Sebenarnya chaosnya republic ini adalah semenjak runtuhnya Soeharto yang tidak dibarengi dan dilanjutkan dengan pemahaman-pemahaman yang menyeluruh. Kalau mau menyalahkan figur, tanggung jawab ada pada Amien Rais selaku Ketua MPR

38

ketika itu. Dulu kan presiden adalah mandataris MPR, dimana berakhir di era Megawati. Baru kemudian dituduh menjual satelit dan asset-aset negara diobral ke asing. Emang preseden apa itu? Dia kan menjalankan perintah MPR selaku pemberi mandate, karena negara harus membayar utang. Orang nggak mau tahu. Masyarakat nggak tahu. Nah, setelah Megawati lengser barulah berubah petanya. Presiden tidak lagi mandataris MPR. Tapi terjadi transaksi antara DPR dan eksekutif. Tatanan kita nggak jelas mau kemana. Masalah yang terjadi juga adalah pemerintah punya banyak prioritas dan agenda. Sehingga ketika satu agenda menjadi prioritas dan membutuhkan pendanaan, otomatis agenda lain dimungkinkan tergeser. Sehingga capaian output agenda tidak komprehensif. Satu hal yang ironis. Tata kelola bernegara kita seringkali terjebak pada judul dan penamaan istilah. Seolah-olah dengan melibatkan judul, semua permasalahan akan selesai. Akibatnya, kita selalu tidak mencapai sasaran yang diharapkan, karena terjebak pada judul. Misalnya, ketika kita berbicara mengenai anggaran, ada yang mengurusi anggaran. Tapi kita tidak pernah benar-benar mencermati siapa yang mengurusi dan bagaimana mereka mengurusnya. Misalnya untuk mengurusi program A, ada ruangan atau kantor sekaligus pejabatnya. Itu kan judulnya sudah tersedia. Ketika judul-judul itu lengkap, seolaholah itu konstitusional. Gila, ini. Begitu anda sebagai pegawai pajak turun langsung ke masyarakat, pasti akan menemui hal yang sama. Anda menemui sebuah instansi yang pakai anggaran dari pajak yang judulnya ada, tapi seolah-olah berbenturan atau tumpang tindih dengan judul-judul lain. Itu semua akumulasi dari disorientasi masyarakat akan kebutuhannya sendiri. Ketika disorientasi, yang muncul adalah kepentingan pragmatis. Kepentingan pragmatis sebenarnya bisa berjalan, tapi harus terukur sesuai dengan konteknya. Dia tidak bisa dijadikan

Edisi Sembilan


wawancara satu acuan. Tapi kalau kepentingan pragmatis sudah menjadi jalan keluar, ya seperti sekarang jadinya. Ibarat tangki berkapasitas 10 liter, persoalan itu mengisinya seliter demi seliter. Lama kelamaan ia penuh, membludak. Nah ini bahasa keseharian saya sebagai seniman. Saya menggunakan bahasa yang saya pahami sehingga mudah-mudahan dapat dipahami pula oleh orang lain. Bicara dengan orang-orang di luar kompetensi saya bukanlah hal yang mudah. Karena mereka terbiasa berbicara parsial. Ketika bicara dengan pajak, “Baik, pajak oke.� Ya nggak bisa dong, karena ketika anda bicara pajak anda juga berbicara kebutuhannya. Nggak bisa dilepaskan. Orang kita kan terbiasanya begitu, membatasi agar pembicaraan tidak kemana-mana. Dia sudah tahu kita masuk ke kotak, sumpek, kemudian dipaksakan. Itu menjengkelkan sekali.

wawancara isasi tersebut. Mengapa? Karena mereka hanya mewakili kepentingan industri musik saja. Mereka jualan produk mereka saja di situ. Siapa yang paling banyak duitnya, mereka yang berkuasa di situ. Jadi saya tidak tertarik. Kami pikir asosiasi itu selain mewakili kepentingan industrinya, mereka juga punya andil dalam mengedukasi pelaku dan penikmat musik. Apakah seperti itu?

CD, hanya butuh sekitar 10 ribu rupiah per album. Modalnya nggak banyak, apalagi di teknologi digital seperti sekarang. Tapi investasi memang banyak. Kenapa kemudian muncul angka 40 ribu sebagai banderol? Karena angka harga itu muncul akibat investasi asing. Industri musik digerakkan oleh asing. Sony, Warner, Universal, itu investasi asing. Investasi asing kan duitnya dollar, bukan rupiah. Agen di Indonesia bertanggung jawab dengan dollar ke head quarternya. Kalau pakai rupiah, kapan balik modalnya?

“SENIMAN MUSIK MEMPUNYAI TANGGUNG JAWAB PROFESI KEPADA BANGSA DAN NEGARA�

Karena itu saya harus melatih kemampuan diri bagaimana cara menyisipi agar mereka dapat diajak berpikir out of the box. Mereka berpendapat semua persoalan yang sifatnya pragmatis hanya bisa diselesaikan secara pragmatis. Konyol. Inilah ciri-ciri dan karakter orang Indonesia hari ini. Mereka kalau diajak ngomong hanya berbicara dari apa yang ada di mata, sebatas pandangan. Padahal satu kondisi lahir karena ada kondisi lain.

Itu oportunis semua. Sampai pada kasus pembajakan, saya pikir kejadian-kejadian dan aktivitas gerakan anti pembajakan yang digagas masyarakat musik populer dari dulu sampai saat ini, tidak sekalipun saya ikut di dalamnya. Apa alasan kuat dari oom Yockie atas keputusan itu?

Kenapa saya tidak ikut? Karena saya berpikir secara komprehensif. Pembajakan itu bukan karena perilaku maling, tapi lebih kepada ketidakadilan dalam tata kelola ekonomi. Ketika daya jual tidak terjangkau oleh daya beli, di situ ada peluang bagi orang untuk melakukan tindak kejahatan. Apakah masyarakat di kalangan tertentu terpaksa memilih membeli produk bajakan karena tidak ada pilihan lain karena lemahnya daya beli akibat harga yang tinggi?

Selama ini ada asosiasi yang menaungi profesi ini. Bagaimana peran mereka terhadap kelangsungan ide tersebut?

Ya, karena masyarakat sudah menjadikan musik sebagai kebutuhan. Bukan lagi hobi. Kalau zaman dahulu, musik hanya berfungsi sebagai perangkatperangkat ritual. Sifatnya hanya untuk doa, menyembah berhala, raja, alam semesta dan sebagainya. Namun ketika di abad ke-18, revolusi industri menjadikan musik sebagai bagian dari komunitas industri. Orang-orang Indonesia banyak yang tidak menyadari situasi tersebut. Bahwa sebagai komoditas industri, musik sudah berubah fungsi. Bukan lagi sebagai perangkat ritual, melainkan juga sebagai komoditas industri. Artinya perilaku industrinya harus ikut aturan.

Ada banyak asosiasi seperti PAPPRI, ASIRI, dsb. Cuma maf saja, saya tidak tertarik untuk terlibat dalam organisasi-organ-

Sekarang terjadi di industri. Sebenarnya untuk memproduksi satu album mulai dari rekaman sampai dengan pengemasan

Sekarang ini langkah-langkah yang saya lakukan adalah membangunkan kesadaran para produsen, praktisi seni untuk membenahi kesadaran hukum. Artinya profesi seniman harus disadari dan diakui sebagai profesi. Dengan begitu, seniman musik mempunyai tanggung jawab profesi kepada bangsa dan negara. Sehingga, seniman musik nggak bisa nyanyi asal nyanyi tanpa berpikir dampaknya terhadap masyarakat. Ini haus dibangunkan.

TUCZINE

39

Terpaksa produk musik dijual dengan harga yang ekuivalen dengan dollar yang dibanderol dengan harga rupiah. Isinya dollar. Jangankan musik, kita hidup saat ini sudah pakai dollar. Cuma gaji kita saja yang rupiah. Gila kan? Ini artinya apa? Ini menyangkut tatanan kebudayaan. Politik, hukum, dan ekonomi. Bukan semata-mata urusan dagang saja. Dari mana cara membenahinya kalau bukan dari apa yang kita bicarakan tadi? Nggak akan ngerti mereka yang ekonom. Professor-profesor di atas sana, lulusan luar negeri. Nggak akan ngerti. Karena patokannya dia seperti itu, harus dapat break even poin. BEP dari mana? Ada lingkaran setan pertanyaan: Kenapa jual dengan harga dollar? Karena modal dari sana. Kenapa modal dari sana? Karena nggak bisa bikin sendiri. Kenapa nggak bikin sendiri? Karena nggak punya produk. Kenapa nggak punya produk? Apa ada produk dari Indonesia?! Jawabannya nggak ada. Kita itu negara yang tidak punya produk strategis apaapa. Kalau produk kecil-kecilan ada, tapi industri atau produk strategis? Mungkin hanya rokok. Betapa bahayanya bangsa ini ketika dibajak administratornya, aturannya, dan sistemnya yang membuat bangsa ini hanya bisa membeli produk impor dari luar dan belinya pakai dollar, sementara gajinya gaji rupiah. Saya hanya bisa menyampaikan apa yang saya alami hasil dari pergaulan dengan banyak kalangan, turun ke masyarakat, dan menemukan data-data ini. Sehingga saya belajar komputer, karena ini bisa terkomputerisasi. Data yang saya punya, dirumus-

Edisi Sembilan

kan komputer. Komputer menyajikan semua yang saya butuhkan. Saya mengharapkan sebagai orang Indonesia, mudah-mudahan sesegera mungkin terjadi rekonsiliasi kebangsaan. Bukan rekonsiliasi politik. Rekonsiliasi kebangsaan artinya kita sebagai masyarakat-masyarakat yang punya peran signifikan berkumpul merumuskan kembali tatanan hidup kita bersama-sama. Untuk apa kita membuat bendera Indonesia? Karena sebelum 17 Agustus 1945, ada Gerakan Sumpah Pemuda. Apa yang memotivasi mereka? Mengapa mereka harus bersatu? Toh di setiap pulau punya Jong sendiri. Mereka bersepakat untuk mengusir penjajah, mengusir kolonial. Agar di Ambon Jong Ambon bisa merdeka, demokratis, dan sejahtera. Begitu pula di wilayah lain. Apakah ketika itu mereka berpikir tentang Indonesia? Tidak, mereka hanya berpikir agar wilayah mereka bebas dari penjajah. Jika mereka berjuang sendiri, mereka nggak akan bisa. Sehingga mereka harus bersama-sama untuk mewujudkannya. Sekarang pertanyaan saya, katakanlah setelah Belanda terusir, apa yang yang menjadi tujuan berikutnya? Soekarno memaksa agar persatuan itu jangah sampai pecah lagi. Jangan sampai ketika Jong-Jong itu kembali ke daerahnya, mereka menjadi Jong di daerahnya masing-masing. Ini semangat mengusir kolonial ini yang harus dijaga supaya tetap menjadi negara merdeka. Itulah tujuan Soekarno dan para pendiri negara saat itu. Nah, kalau tidak dijaga, hasilnya seperti sekarang. Aceh dan Papua teriak-teriak mau keluar. Mereka masing-masing akan kembali menjadi Jong-Jong sendirisendiri. Ada dua cara pragmatis yang bisa mengatasinya hari ini: cara koersif seperti kembali ke zaman Soeharto lagi atau lewat cara yang lebih persuasif. Pilih saja. Dari perspektif kebudayaan, di abad ke delapan, bahkan sebelum Revolusi Prancis atau Tiongkok terjadi, di wilayah ini ada sastrawan bernama Ronggowarsito. Dia sudah bisa merumuskan tiga perilaku zaman yang disebut

TUCZINE

Kalatida, Kalabendhu, dan Kalasuba. Padahal belum ada contoh. Ini sama seperti Nostradamus yang bisa melihat fenomena dan memprediksinya. Zaman Kalatida adalah zaman di mana tidak ada aturan, dan kalaupun ada, aturan itu diinjakinjak. Zaman dimana kebenaran menjadi salah, dan kesalahan menjadi benar. Semua logika dibolak-balik. Laki-laki berperilaku dan berpenampilan perempuan dan sebaliknya. Norma-norma etik yang diturunkan kepada manusia diingkari. Zaman Kalatida atau zaman kekacauan hanya bisa dihentikan dengan Zaman Kalabendhu atau zaman kekerasan. Otoritarian, dengan raja atau militeristik. Apapun jalannya ditempuh untuk menghentikan kekacauan, meskipun dengan tangan besi. Zaman Kalabendhu harus segera ditindaklanjuti dengan pendidikan. Agar orang takut pada hukum, bukan takut kepada manusia. Itu akan hadir di Zaman Kalasuba atau zaman kesejahteraan. Nah, kalau kita melihat perilaku zaman dari zaman Bung Karno dan sebelumnya, itu kan Zaman Kalatida. Begitu Soekarno memimpin, muncullah Zaman Kalabendu. Otoritariannya Soekarno membuat Indonesia disegani di dunia. Belum sempat sampai ke Zaman Kalasuba, Soekarno dijegal. Kembali ke Kalatida lagi melalui Gestapu. Muncullah Soeharto, tangan besi lagi. Soeharto belajar dari sejarah sehingga ia mengelola negara ini dengan gaya itu terus-menerus. Kesalahan Soeharto cuma satu, ketika kekacauan sudah terjadi masyarakat tidak disertai dengan pendidikan untuk menuju masyarakat madani. Soeharto terjebat pada syahwat tangan besi, syahwat kekuasaan. Meredam chaos dengan tangan besi. Bukankah pada zaman Soeharto pemerintah sudah punya rencana pembangunan yang terukur seperti Repelita dan Pelita? Iya memang benar. Begini, Soeharto membuat keadaan menjadi represif agar kekacauan diredam. Legitimasi Soeharto untuk membenarkan perilaku represifnya adalah dengan menawarkan pembangunan lima

40

tahun. Nah, ini dirancang sampai Indonesia menuju Era Tinggal Landas, dimana Indonesia ketika dia sudah tua, Indonesia sudah sampai pada tahap pembangunan yang direncanakan. Tapi itu kan idealnya. Apakah dalam pelaksanaannya Soeharto membenahi suprastrukturnya? Tidak, suprastrukturnya tidak dibenahi. Padahal justru suprastrukturnya didoktrin oleh dia melalui P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Manusia dibuat seperti robot. Manusia digerakkan oleh perintah, bukan daya nalarnya. Manusia patuh pada peraturan, bukan patuh pada kebutuhan. Diseragamkan oleh P-4 untuk melengkapi sistem represifnya. Sejauh ini memang berhasil. Berhasil dalam konteks keamanan, meredam gesekan-gesekan internal. Kesalahannya, Soeharto tidak memberdayakan pendidikan secara formal dan non formal. Jadilah manusia-manusia Indonesia seperti robot, yang patuh pada aturan supaya tidak ribut-ribut. Bukan yang patuh pada aturan supaya ikut sistem. Soeharto berhenti karena faktor usia saja. Kalau dia masih muda, mungkin sampai hari ini dia masih berkuasa. Percaya sama saya. Karen usia, Soeharto makin pikun, orang-orang di sekelilingnya sudah mulai gerah dan berupaya menjegalnya. Jadi artinya apa? Proses zaman Kalabendu ini kembali lagi ke zaman Kalatida. Kembali ke zaman kekacauan lagi. Ketika hari ini kita menemukan zaman kekacauan, apakah mungkin anda bisa berharap langsung ke zaman kesejahteraan? Seandainya mungkin, masalahnya sekarang, pemimpinnya punya kemampuan nggak untuk mengelola respresi agar kita terhindar dari situasi yang kembali seperti era Soeharto? Karena kekuasaan itu syahwat. Saya tidak punya apriori terhadap apa yang terjadi hari ini dalam konteks pertarungan pilpres. Mau Prabowo kek, atau Ryamizard kek. Menurut saya, Jokowi akan jadi korban. Akan jadi martir yang sia-sia. Mudahmudahan tidak terjadi. Kalaupun toh nantinya Jokowi naik jadi Presiden, mudah-mudahan

Edisi Sembilan


wawancara disertai dengan hal-hal yang komprehensif. Kalu nggak, kita mengulangi paradigm lima tahun yang lalu SBY lima tahun yang lalu, dimana SBY menjadi korban. Sekarang sebagai seniman, saya berpikir apa yang bisa saya lakukan. Wktunya semakin mepet, usia saya tahun ini sudah 60 tahun. Karya oom Jockie yang monumental ada “Musik Saya Adalah Saya” dan “Jurang Pemisah”. Kami baru tahu belakangan karena kami lahir di generasi setelah album itu dirilis. “Musik Saya Adalah Saya” melampaui zaman. Rock Opera yang sangat mengagumkan. Apakah bisa diceritakan bagaimana proses pengerjaan album itu, bagaimana respon pasar ketika itu, dan efeknya yang bisa dirasakan sampai saat ini? Saya melakukan itu semua karena semata panggilan nurani saya sebagai seniman musik. Saya ingin melakukan sesuatu yang ketika itu saya tidak tahu persis saya termotivasi karena apa. Satu yang pasti, saya termotivasi keadaan yang menyertai kehidupan saya yang berlangsung sedemikian kompleksnya. Berlangsung olah pikir yang saya sampaikan melalui media musik pop. Ketika itu saya rekam, tidak ada satu orangpun yang memberikan respon positif. Tidak ada, apalagi bicara industri. Tidak ada. Saya nggak peduli, karena saya sadar dari awal bahwa saya bukan makhluk industri. Saya tidak dilahirkan oleh industri, tidak dibesarkan oleh industri, bahkan saya berani mengklaim bahwa saya tidak dipopulerkan oleh industri. Saya ini ibarat makhluk organik. Ada karena memang ada, bukan dibuat karena ada. Jika kemudian dalam faktanya ada karya-karya saya yang diedarkan melalui industri, itu semata-mata karena industri berperan sebagai media distribusi karena berkepentingan dengan karya saya. Dan itu terjadi ketika karya saya sudah diapresiasi semua orang, lalu kemudian industri mengambilnya. Bukan karena saya minta, tapi saya buat rekaman dulu baru kemudian industri memfasilitasi. Dan setelah difasilitasi oleh in-

TUCZINE

wawancara dustri sekalipun, tidak serta merta direspon masyarakat. “Jurang Pemisah” itu baru pada tahun ’84 baru dibicarakan orang. Sebelumnya belum ada yang menganggapnya sebagai “apa-apa”. Apalagi “Musik Saya Adalah Saya”, tidak pernah. Hampir semua karya saya ketika dirilis itu dianggap tidak penting. Karena selalu tidak seiring dengan mainstream. Apakah bisa kami simpulkan bahwa karya oom Yockie melampaui zamannya? Ya kalau muluk-muluk bisa saya klaim begitu. Tapi kan tidak berarti klaim itu betul. Saya harus punya otokritik terhadap diri saya sendiri. Saya tidak bisa mengklaim bahwa saya avantgarde. Orang avant-garde atas pengakuan sendiri itu gila namanya. Tetapi itu hanya bisa dibahas ketika itu terjadi. Artinya, hari ini kita membicarakan tentang “Jurang Pemisah” dan “Musik Saya Adalah Saya” yang ketika itu dipandang sebelah mata. Namun, ketika dibahas saat ini, ternyata karya itu dinilai selangkah di depan zamannya. Tetapi hari ini, saya tidak bisa mengklaim bahwa karya saya selangkah di depan karya-karya serupa yang dirilis musisi hari ini. Nggak bisa begitu, itu namanya saya besar kepala. Itu dua hal berbeda. Pernyataan yang anda sampaikan tadi bisa digunakan ketika sudah terjadi. Bukan yang akan terjadi. Perilaku ini harus dijunjung tinggi dan ditempatkan secara proporsional. Jadi, saya berekspresi berdasarkan apa yang ada di hati dan pikiran saya. Waktu “Jurang Pemisah” itupun saya dibiayai rekaman oleh industri karena ada hitung-hitungan yang mereka anggap berharga. Saya mengekspresikan diri dengan mengaransemen beberapa lagu di Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors. Ternyat, gerakan anak muda itu direspon oleh masyarakat karena menguntungkan secara finansial bagi industri. Prambors dan Aquarius dalam konsorsium Pramaqua mengakomodasi itu. Mereka merasa sebagai teman, menganggap bahwa saya telah memberikan keuntungan untuk Pramaqua. Lantas mereka

41

mendukung apapun gagasan saya. Apapun yang saya lakukan terserah saya. Jadi momen itu saya manfaatkan untuk merekam “Jurang Pemisah”. Uniknya, setelah dibikin juga nggak diedarkan. Mendem aja itu di kantor Pramaqua, di kantor Ook. Sampai kemudian “Badai Pasti Berlalu” muncul dan melibatkan nama saya, baru deh diedarin. Jadi nebeng, kurang lebih seperti itu. Selisih setahundua tahun sejak dibuat baru dirilis. Dianggap berpotensi memberi keuntungan bagi Pramaqua karena efek sukses “Badai Pasti Berlalu”. Saya nggak ambil pusing dengan kerja industri semacam itu, karena saya memang saya tidak punya kapasitas apaapa untuk ikut campur. Begitu juga paradigma di Musica Studio ketika merilis “Musik Saya Adalah Saya”. “Musik Saya Adalah Saya” lahir ketika Musica berkeinginan untuk mengontrak Chrisye menjadi artis Musica. Chrisye setuju dengan syarat, “Gua setuju asal bareng Yockie,” ujar Chrisye. Chrisye berpendapat bahwa dirinya sudah bekerja sama dengan saya sejak lagu “Lilin Kecil” dan sebagainya. Saya tidak keberatan, karena saya tidak mencampuri urusan internal Musica. Kebetulan secara ekonomi, kontrak tersebut memberikan manfaat ekonomi bagi Chrisye. Pada tahun 1979, Musica sudah merasa cukup mendapatkan benefit dari hasil kerja saya dan menghubungi saya mengenai musik yang sedang saya kerjakan. Saya mau mengerjakan music sesuka saya, tapi mau bekerja bareng Chrisye dan saya mengajukan pembiayaan untuk orkestra, musisi pendukung, dan studio. Akhirnya jadilah album “Musik Saya Adalah Saya”. “Musik Saya Adalah Saya” termotivasi karena perlawanan saya pada cara-cara industri bekerja. Pesannya adalah industri jangan masuk ke wilayah kreatif. Industri di wilayah dagang saja, yang penting industri tidak rugi. Harusnya seperti itu, industri masuk wilayah dagang saja. Kalau sudah sampai masuk ke ranah kreatif, ia akan merusak tatanan kreatif dan merugikan

Edisi Sembilan

diri sendiri. Karena yang menciptakan tren bukan industri. Yang menciptakan paradigm atau kebiasaan itu kami para musisi. Jangan sampai hak-hak musisi dirampas dan industri menjadi trend setter di situ. Ibaratnya ketika mengurusi kebun, urusi kembangnya saja. Itu perlawanan saya pada industri ketika hegemoni industri sedang berjaya bak tuan besar. Artis seolah-olah seperti karyawan, tergantung dengan mereka. Itu salah. Perlawanan itu kemudian melahirkan satu paradigma antara saya dan Musica Studios yang dikelola oleh A Tjiu. Saya mengatakan, “Kita sharing, lho. Anda selaku eksekutif produser, saya sebagai produser. Anda tidak menghidupi saya, dan saya tidak menghidupi anda.” Dari sharing itu, ketika ada hak ekonomi, baru kita bicarakan kontraknya. Bagaimana gambaran album “Musik Saya Adalah Saya” secara konsep dan keterlibatan musisinya? “Musik Saya Adalah Saya” pada dasarnya memuat gagasan berupa gejala sosial. Pada tahun 1979, saya bisa menggambarkan bahwa rasa kebangsaan kita masih sangat mendominasi semua tatanan hidup. Bukan hanya musik, di bidang lain juga begitu. Rasa kebangsaan anda masih kuat. Antara anda dan tetangga anda itu masih kental kebersamaannya. Kepeduliannya masih ada. Ada rasa sebagai bangsa untuk saling menyapa. Hari ini, kalau kita berpapasan dengan orang asing bawaannya curiga. Ini kontradiksi yang terjadi hari ini yang dahulu tidak ada. Jadi artinya dalam kegiatan bermusikpun begitu. Ketika saya rekaman, bikin orchestra, dan komposisi besar yang melibatkan banyak orang, mereka antusias. Ketika saya berkutat di studio, mereka menghampiri saya dan menanyakan apa yang sedang saya kerjakan. Bahkan menawarkan bantuan. Beberapa musisi pendukung ada yang saya minta kontribusinya secara khusus melalui telepon dan mereka menyanggupi. Rafika Duri, Andi Meriem Matalatta, dan Harvey Maleiholo berkontribusi karena

TUCZINE

mereka menghampiri saya di studio dan menawarkan diri untuk dilibatkan dalam pengerjaan album. Jadi, kolektivitas yang terbangun sudah sedemikian kuat. Bahkan sampai Idris Sardi sekalipun, yang dibilang maestro, top musician, senior yang disegani oleh musisi Indonesia ketika itu menawarkan bantuannya untuk menuangkan gagasan saya ke dalam partitur. Saya didampingi asistennya bernama Domo untuk menerjemahkan isi kepala saya, sementara Idris Sardi mendampingi sebagai konduktor. Jadi Idris Sardi dalam hal ini tahu betul bahwa dalam proyek ini orkes ikut saya, bukan saya ikut orkes. Even saya belum bisa menulis partitur saat itu. Di rumah, saya dan Domo mengerjakan partitur. Saya menentukan bagian-bagian musik harus diisi dengan instrument apa. Setelah sesuai apa yang saya inginkan, hasilnya saya berikan kepada Idris Sardi. “Tolong mas anda pimpin sesuai dengan konsep saya,” ujar saya. Anda tahu apa tanggapannya? “Yock, ini ada beberapa instrument yang nggak pas. Ini trumpet biasanya tidak di sini. Saya ngasih tau kamu aja.” Saya menanggapi, “Biarin aja, mas begitu.” Kalau toh itu dianggap disharmoni, suatu saat ia akan jadi bagian dari harmoni. Karena ini dipahami dalam peradaban Romantic pasca Classic, itu adalah pecahnya kebekuan pakem yang membatasi. Dipecahnya doktrin, dogma-dogma ningrat untuk memberikan peluang kepada manusia berimajinasi dengan bebas. Batasannya adalah estetika, sebab estetika itu murni dari manusia. Bahwa sesuatu yang tidak enak didengar itu berarti bukan estetika. Karena untuk menemukan sesuatu yang baru, harus diberikan ruang seluas-luasnya. Imajinasi harus berkembang. Aturan feodal harus didobrak. Makanya mengapa orkes Classic itu orkesnya orang feodal, karena tatanannya juga feodal. Zaman dulu orang main orkes itu harus pakai jubah, penonton tidak boleh bertepuk tangan, karena musiknya kerajaan. Tapi keika eranya bergeser ke era Roman-

42

tic, hal itu nggak relevan lagi. Metallica aja pake orchestra, mainnya suka-suka dia, pakaian suka-suka dia. Karena itu implementasi notasi, tidak lagi terjebak pakem-pakem. Tetap ada norma, tapi batasannya sudah tidak dipagari. Ketika Idris Sardi setuju, pemain orkestranya protes. Notasinya di luar kebiasaan. Idris Sardi megatakan, “Ini perintah Yockie.” Yockie tertawa. Saya diberikan kebebasan untuk bereksplorasi. Komposisi itu tidak akan ditemui di mana-mana karena itu karya personal. Karena itu pula saya mencoba mementaskannya di panggung, meskipun tidak dianggap orang. Karena dianggap melawan mainstream. Musica Studio juga tidak berniat mempublikasikan. Normatif saja, sekedar menjualnya tanpa promosi apa-apa. Setelah bertahun silam, “Musik Saya Adalah Saya” baru dibicarakan. Namun, ketika dibicarakan, medium kaset sudah tidak ada. Yockie tertawa. Masternya sudah nggak tau juga kondisinya. Mungkin sudah lengket atau rusak. Kalaupun ada upaya re-master mungkin masih bisa dari CD, tapi multi-tracknya saya nggak yakin masih ada. Kalau toh masih ada, hardwarenya nggak ada. Kalaupun masih ada, kesepakatannya sudah berbeda. Pada tahun ’80-an terjadi pemutihan besar-besaran pada kontrak antara label dengan produsen. Dulu, kontrak perjanjian antara musisi dengan pemodal tidak memenuhi rasa keadilan. Terjadi ketidakseimbangan dalam nilai jumlah rupiahnya. Pemodal bisa mengedarkan musik sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Pemodal bisa menggunakan lagu untuk kepentingan komersial apa saja. Hak cipta sudah milik dia. Ini kan bertentangan dengan undang-undang Hak Cipta. Mulai tahun ’80-an sudah ada pembenahan. Baru pada tahun ’90-an terjadi pemutihan. Pemutihan itu ada bagusnya, adapula jeleknya. Dengan masuknya investasi asing yang dibarengi dengan pemutihan sekaligus pembekuan asset, semua produk-produk musik Indonesia yang sudah beredar ataupun yang belum beredar yang berada di tangan cukong-cukong

Edisi Sembilan


wawancara kelas teri dibayari semua oleh label global. Pasar dikosongkan dari musik sekaligus pemutusan mata rantai. Master yang dimiliki tidak direproduksi ulang. Diganti estetika baru melalui penetrasi media massa yang memperkenalkan acuan baru musik Indonesia. Jadi harus dipahami oleh semua pelaku musik Indonesia bahwa pahit-manis dan baikburuknya kita harus tahu supaya kita memahami permasalahan mengapa musik Indonesia terpuruk. Harus bisa dijawab, bukan dengan mencari kesalahan siapa. Harus dijawab, sehingga kita bisa mencari solusinya “Musik Saya Adalah Saya” baru dibicarakan hari ini pada tahun 2000-an. Dan yang menyedihkan, ketika saya diajak oleh salah satu generasi di bawah saya untuk berkolaborasi dalam konser, jurnalis banyak menanyakan hal menggelikan, “Oom Yockie, senang nggak diajak konser orkes? Senang nggak diajak main rock dalam orkes?” Karena sejarahnya diputus, saya memaklumi pertanyaan itu karena ketidaktahuan mereka. Bukan salah mereka, meskipun menyedihkan. Dalam hati saya miris. Memang benar-benar ada suatu political will dan kehendak yang luar biasa yang memutus mata rantai ini. Kaitannya adalah bahwa tradisi baru hari ini tidak bisa dipertanggungjawabkan karena terputus dari tradisi lama. Trio Eros - Yockie - Chrisye, bagaimana kisah oom Yockie di dalam kelompok tersebut? Tahun ’81-an,setelah “Jurang Pemisah” saya dan Chrisye bersama Eross yang baru pulang dari luar negeri berkumpul kembali melanjutkan kolaborasi yang telah kami bina di masa lalu. Meskipun dengan situasi dan kondisi berbeda, motivasi, filosofi, dan cara kerja kami tetap sama. Kami tidak mencari uang. Jelas ada honor, karena kami bertransaksi dalam industry. Tapi kami tidak menuntuk atau melabeli kami dengan besaran harga tertentu. Royaltipun tidak ada, yang ada hanya bonus buah dari kebaikan hati dari si pemodal. Dalam proses penciptaan karya juga begitu. Proses penciptaannya mengikuti paradigma musisi

TUCZINE

wawancara era itu, yaitu kalau kita menciptakan lagu, siapa yang ada di situ diakomodasi semua. Pertanyaan timbul ketika selesai rekaman operator bertanya, “Lagu ini ciptaan siapa?” Seperti biasa saya selalu lupa dan selalu berujar, “Udah, tulis aja tiga-tiganya.” Karena kami selalu bekerja bersama, saat itu kami tidak memiliki kesadaran bahwa hal itu punya implikasi ke ranah hukum. Nah, itu terjadi berulang kali dan itu pula yang menjadi alasan mengapa banyak hubungan musisi senior yang dulunya akrab, tapi di hari tuanya mereka berantem. Karena begini, pada saat melakukan kerja kolektif, yang diiringi suasana kebersamaan kuat dan tidak memikirkan apaapa. Tapi industry kan tidak melihat itu sebagai satu kesatuan, ia hanya melihat siapa yang menyuarakan itu. Atau siapa yang paling eksis di situ. Misalnya, dalam komunal itu Chrisye yang menyanyi. Padahal Chrisye itu bernyanyi karena karya-karya yang dilahirkan secara kolektif oleh kami. Ada saya, Eros Djarot, Harry Sabar, Faiz, dan siapa saja. Kolektivitas itu melahirkan karya yang akhirnya dinyanyikan Chrisye. Tapi industri tidak melihat kolektivitasnya. Industri hanya melihat Chrisye, maka industri mengambil Chrisye dari masa lalu untuk diletakkan pada hari ini. Hari ini posisi dan pemahaman ekonomi Chrisye sudah tidak sama dengan dulu. Ini sudah transaksional karena sudah industri. Nah, orang-orang lainnya di lingkaran itu kan tersakiti karena tidak punya hak hukum. Tidak tertulis dalam pembuktian bahwa itu lagu saya, bahwa itu lagu dia. Alih-alih ketika kami berkumpul, “sialan, kalau nggak ada kami kan dia nggak bisa nyanyi lagu itu.” Artinya, saya ambil satu contoh, kalau tidak ada lagu “Lilin-Lilin Kecil”, lalu Chrisye dikenal sebagai apa? Tidak ada “Badai Pasti Berlalu”, lalu Chrisye dikenal sebagai apa coba? Ya, kan? Artinya apa? Ada paradigma kolektivitas jika kita bicara “Lilin-Lilin Kecil” berarti Komunitas Prambors yang melahirkan LCLR. Itu yang melahirkan pergulatan batin yang melahirkan karya hingga

43

James Sundah menulis lagu yang kemudian dinyanyikan oleh Chrisye. Chrisye menjadi ternama. Kan tidak ujug-ujug Chrisye ternama. Nah, orang-orang yang ada di lingkaran ini pada saat itu tidak dipayungi aturan hukum yang baik dan benar. Ini kelompok yang asal senang-senag aja. Tidak ada aturannya. Ketika kemudian industri hari ini mengeksploitasi sepihak orang-orang yang dianggap memiliki andil besar terhadap sebuah karya dan menafikan keberadaan yang lain yang berperan signifikan, wajar dong kalau mereka sakit hati. Anak-anak sekarang seringkali terkesan tidak punya empati. Mereka tidak peduli. Contohnya, ketika saya menyusun keberanian untuk menggugat hak cipta, apa yang saya terima? Padahal saya sudah cukup memberi penjelasan yang menganggap saya terkena sindrom popularitas. Atau saya tidak bahagia. Apa benar sampai tindakan oom Yockie dalam memperjuangkan hak ditafsirkan seperti itu? Kejam sekali. Tapi tidak apa-apa. Saya merasa semua itu proses yang harus saya lalui. Saya tidak menyesal. Itu proses yang harus saya lalui yang kemudian saya buktikan kepada media-media apakah saya seperti yang mereka tuduhkan. Mereka bertanya, saya menjawab. Artinya, semua itu harus dilalui dan diluruskan. Kita tidak boleh menabukan hal-hal yang sifatnya menimbulkan syak wasangka. Hadapi, jangan dihindari. Makanya, kalau anda lihat tulisan saya di Twitter atau di Facebook, anda bisa membedakan tulisan saya di awal-awal dengan yang sekarang. Dulu, saya tidak suka intimidatif. Saya bukan orang yang suka dengan sifat agitatif. Tapi ketika cara-cara itu sudah tidak bisa dipakai, saya mulai melakukan pendekatan yang lebih provokatif. Saya harus memulai dengan pendekatan yang lebih menekan. Lebih sarkas. Karena kenapa? Ketika anda saya sentil, anda tidak tersinggung. Tetapi ketika anda saya jewer atau tempeleng, anda akan merasa sakit. Nah, di situlah baru saya jelaskan.

Edisi Sembilan

Terpaksa saya menempuh caracara itu. Orang-orang yang tidak mengerti saya mencap saya sebagai orang yang kasar. Biarkan saja, nggak apa-apa. Itulah konsekuensi yang harus saya hadapi. Tapi, ketika orang berasumsi begitu, saya harus punya kemampuan untuk menjelaskan apa alasan mengapa saya bersikap seperti itu. Saya tidak pernah melarang orang untuk curiga atau menghakimi saya. Silakan. Justru kecenderungan akhir-akhir ini yang saya lihat, yang membuat saya menutup akun Facebook saya, adalah karena saya capek melihat orang permisif, membenarkan, atau diam saja. Saya sudah merangsang daya kritis mereka untuk berani berbicara, berani berpendapat. Tidak harus sama, tetapi jika ada sesuatu yang kurang jelas, tanya saja. Karena hanya dengan cara itu saya bisa mengajak orang untuk menyelesaikan permasalahan. Di Facebook, lama-lama saya merasa seperti friedster saja. Isinya bertanya kabar, pujian, dan sebagainya. Nggak ada gunanya bagi saya, karena masa gaul saya sudah lewat. Itulah mengapa saya tutup. Akhirnya saya masuk ke Twitter, awalnya saya twitwar. Topeng dan pangkat dilepas. Lama kelamaan ada kecenderungan orang pasif dan enggan beropini. Ketika saya melontarkan gagasan yang kontroversial atau normatif banyang yang nge-retweet. Tapi ketika saya berbicara permasalahan yang butuh antithesis dengan kalimat provokatif, sedikit yang menanggapi. Gejalanya sama, saya khawatir gejala-gejalanya mirip Facebook. Apakah indikator lain seperti semakin banyaknya pilihan social media yang menyebabkan orang-orang dibanjiri informasi menjadi salah satu penyebabnya? Bisa jadi, tapi jika seperti itu berarti persoalannya bukan pada subjeknya, tetapi paradigma mengonsumsinya, kan? Budaya konsumerisme. Bahwa teknologi apapun yang ditemukan manusia untuk peradaban belum dimanfaatkan sebagai kebutuhan, melainkan sebagai tren. Orang

TUCZINE

menggunakan Facebook bukan untuk hal-hal yang produktif, melainkan karena tren karena itu bahan baru. Ini suatu perilaku masyarakat yang sulit dicari pembenarannya sebagai manusia modern. Anda menyebut anda modern dari mana? Apakah dengan menggunakan social media tanpa tahu fungsinya, apakah itu ciri masyarakat modern? Konon katanya, menurut analisis, pengguna social media di Indonesia itu salah satu yang terbanyak di dunia. Tapi apakah itu serta merta mengungguli kualitas masyarakat dari negara lain? Anda berbicara konsumerisme, saya berbicara subjeknya. Bahwa ketika saya melemparkan gagasan kontradiktif, harapan saya akan ada respon yang mempertanyakan mengapa saya begitu. Orang cenderung diam saja. Ini korelatif dengan apa yang saya temukan di masyarakat yang terjangkit budaya permisif, masa bodoh, dan tidak peduli. Orang hidup itu harus punya panduan. Ketika kita nggak punya panduan, orang berpikir individualistis: “yang penting tidak merugikan saya.” Ini celaka. Orang akan menjadi makhluk yang tidak peka terhadap lingkungannya, bahkan keluarganya sendiri. Kalau kita bertemu hanya karena kepentingan transaksional, kebersamaan kita sebagai manusia sudah tidak ada lagi. Esensi seniman adalah perannya di sini. Kalau ada musisi dengan pemikirian sebatas ikut-ikutan, kekayaan, kontrak, popularitas, saya pengen banget ketemu dengan orang-orang itu. Apakah keinginan oom Yockie untuk menemui mereka sudah terealisasi? Belum, yang terjadi adalah saya monolog dalam beberapa forum. Karena baru saya coba tularkan melalui forum itu. Sudah bergulir. Mereka sudah mulai berpikir pentingnya gagasan saya. Tapi sebenarnya saya berkeinginan sampai bisa personal seperti ini. Katakanlah, walaupun ini imajiner, ketika anda adalah seorang Ariel NOAH, saya ingin berbicara banyak. Anda musisi, anda seniman, yang menjdai sorotan publik harusnya mengenal kaidah

44

bermusik. Saya akan bertanya, “ketika anda menggunakan media seni sebagai sebagai profesi, anda tahu nggak filosofi dari seni itu apa?” Saya kasih dia kesempatan untuk menjawab. Lalu saya akan bertanya, “korelasinya apa antara profesi anda dengan perilaku anda?” Ada perilaku pribadi yang tiba-tiba jadi domain publik. Ketika dia menjawab tidak ada dengan alasan itu urusan pribadinya yang dieksploitasi media, akan saya sampaikan bahwa seni itu keindahan. Kalau yang jelek-jelek tidak akan jadi nilai seni. Seni itu selalu bersandar pada sesuatu yang indah. Keindahan baru bisa dilegitimasi bila ada kejujuran. Orang kalau nggak jujur, pembohong, mengarang cerita yang indah-indah, nggak akan jadi seni itu. Iya hanya akan berangkat menjadi karya yang situasional. Seperti politisi yang beretorika dalam kampanye, seolah karya seni padahal itu propaganda. Jika orang tertarik, mungkin hanya hari ini, tetapi besok belum tentu masih ada. Seni itu sifatnya abadi. Keindahan akan lahir dari kejujuran. Kejujuranpun harus berangkat dari kebenaran. Karena orang salah juga bisa bilang jujur. Mengakui kesalahan dengan jujur. Padahal salah dan jujur itu tidak saling berhubungan. Jadi kejujuran itu harus berdiri di atas kebenaran. Kalau berbicara kebenaran, artinya kita berbicara pada kebenaran tertinggi yaitu kebenaran absolut. Sifatnya dogmatik, perintah berdasarkan ajaran agama. Siapa bilang Tuhan itu demokratis? Kalau Tuhan demokratis, boleh dong kita melakukan apapun sesuka hati kita. Kebenaran absolut sifatnya kita tunduk sebagai makhluk. Seni tidak boleh mengingkari kebenaran dari Dia. Jadi kalau anda mengatakan bahwa perilakuperilaku menyimpang itu adalah urusan pribadi, sementara anda berbicara keindahan di dalam seni, itu namanya bullshit. Kesenian itu tidak boleh mencederai atau dicederai. Saya ambil contoh misalnya ada di tahun ’90-an mulai ada anak-anak band baru yang menamakan

Edisi Sembilan


wawancara dirinya Sheila On 7. Saya mengritik salah satu karya mereka berjudul “Sephia”, walaupun jurnalis menyatakan sebaliknya. Selain itu, beberapa waktu yang lalu ada juga salah satu band baru yang minta saya untuk berkolaborasi dengan saya. Saya tidak memberi janji, tapi pada prinsipnya saya tidak melihat genre yang mereka mainkan. Hanya saja karena sifatnya berkesenian, saya minta untuk mendengar demo untuk mengetahui musik, vocal, dan lirik mereka. Begitu saya dengerin sebentar langsung saya matikan musiknya. Di email, saya meminta band itu untuk mengubah lirik yang mereka tulis. Sebab dalam karya mereka, mereka bercerita dalam lirik tentang seorang cewek yang punya pasangan dan anda sebagai laki-laki yang punya pasangan saling jatuh cinta. Jadi ada kejujuran bahwa si cewek dan si cowok nggak tega menyakiti pasanganya, maka mereka tetap menjalin hubungan cinta secara terselubung. Itu gila! Itu artinya dengan sengaja seni melegitimasi ketidakbenaran. Seni melegitimasi perilaku menyimpang. Itu tidak boleh dibiarkan. Itu dosa seni. Kalau toh secara faktual terjadi hal-hal seperti itu, itu sebatas realita. Itupun bukan untuk dibenarkan! Walaupun musisi berdalih itu memotret realita. Saya kasih contoh. Contohlah Iwan Fals ketika menulis lirik di lagu saya berjudul “Air Mata”. Itu kasusnya sama. Seorang laki-laki yang melakukan hubungan batin atau asmara dengan perempuan yang tidak seharusnya dicintainya. Tapi apa kata Iwan dalam lirik selanjutnya? “Biar bagaimanapun juga aku harus kembali”. Artinya dia tidak membenarkan perilaku menyimpang. Bagi saya lirik itu bagus dan saya tidak keberatan dengan liriknya. Bahkan lirik itu saya jadikan sebagai medium kepada orang-orang sebagai contoh. Bahwa seni tidak boleh mencederai kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Kalau toh itu menyimpang, buatlah penyadaran di akhirnya. Jangan larut dalam kekeliruan. Saya yakin band yang mengajak kolaborasi tadi tidak diterima produser. Bagi saya, saya tidak bisa memenuhi panggilan ber-

TUCZINE

wawancara musik apabila dalam kegiatannya mencederai nilai kesenian. Even itu popular yang dibuat band sekaliber Ungu sekalipun, bagi saya itu sampah. Sampah seni, sampah yang mengatasnamakan seni, asal laku mengatasnamakan industri. Itu jahat. Karena apa? Karena mereka tidak sensitif dengan apa yang seharusnya nggak boleh dilakukan. Generasi seperti itu tidak untuk dicaci maki. Mereka tidak untuk dihujat atau disalahkan subjeknya. Mereka hanya diberitahu bahwa generasi muda itu adalah agen perubahan. Dia berada di garda terdepan. Tugasnya adalah jalan ke depan, bukan ngeok ke belakang atau mundur. Kalu mereka keliru, yang salah bukan generasi muda itu, tetapi kesalahan orang tua yang memberikan panduan. Peran saya adalah mengingatkan dia bahwa anda tidak diberi panduan yang benar sehingga menjadi seperti sekarang. Dan yang terpenting adalah membuat mereka sadar bahwa perilaku mereka salah. Salahnya karena mereka tidak dibekali dengan panduan masa lalu. Tidak dibekali dengan panduan aturan. Marilah, kita tidak saling menyalahkan. Kita duduk bareng untuk meluruskan tugas dan fungsi masing-masing. Jangan memikirkan politik, itu tugas orang lain. Tugas musisi muda adalah mengembangkan diri, mengeksplor kemampuan, membuat produk seni yang kompatibel dengan kondisi zaman. Tapi karena kondisinya seperti sekarang, saya merasa perlu untuk mengingatkan mereka dengan lebih keras, jika mereka salah arah. Generasi seperti saya atau yang lebih tua harus menyadari kekeliruannya agar tidak diwariskan kepada generasi sekarang. Apa bentuk penyadaran kolektif oom Yockie selama di God Bless, SWAMI, dan Kantata Takwa sebagai saluran aspirasi? Kalau di God Bless lebih parsial, dalam konteks pada saat itu saya dihadapkan pada satu kondisi dimana ketika musik populer Indonesia sudah bisa diterima oleh kalangan masyarakat kelas menengah. Karena sebelumnya diera tahun ’60-an musik

45

populer Indonesia hanya dikonsumsi oleh masyarakat bawah. Masyarakat kelas menegahnya tidak tersentuh. Masyarakat kelas menegah menjadi konsumen musik-musik asing. Salah satu alasannya, karena musik pop Indonesia tidak mewakili paradigma kelas menengah. Musik pop Indonesia ketika itu masih mewakili paradigma kelas bawah. Contohnya problem kelas pekerja. Sehingga musik pop sulit menembus pasar kelas menengah. Di era ’70-an, musik populer mulai diterima oleh kelas menengah karena persoalannya sudah menyentuh kelas menengah. Pendekatannya dengan apa? Sastra, kalimat puitik, kiasan menjadi daya tarik dalam lirik. Pelan-pelan musik populer diterima masyarakat. Dalam tataran genre, musik pop berhasil menembus kalangan menengah, tapi tidak dengan music rock. Musik rock masih didominasi musisi asing. Pada saat God Bless kembali menggeliat di tahun ’80-an saya bergabung dengan syarat God Bless berkarya dengan lagu sendiri. Dan orang yang paling keberatan adalah Achmad Albar, “Mosok harus manggung pakai lirik Bahasa Indonesia, Yock?” Memangnya kenapa? Di musik pop saya sukses dengan lirik Bahasa Indonesia. Ada band yang sudah pakai Bahasa Indonesia. SAS misalnya, tapi kan masih di rekaman kaset, bukan di konser. Jadi untuk konser besar band sekelas God Bless, itu masih identik dengan Yes, Genesis, ELP, dan band progresif rock saat itu. Nggak ada satupun lagu Indonesia. Akhirnya disepakati untuk rekaman dulu. Oleh produsernya disetujui, dan di band tercapai kesepakatan. Memang fifty-fifty, kalau rekamannya gagal, nggak bisa konser, kan? Mulai rekaman, buat saya tidak ada hambatan. Karena menurut saya, untuk masalah sosial dengan menggunakan medium rock itu lebih mudah dan terwakili, ketimbang seperti proyek “Jurang Pemisah”. Kalau bicara sosial melalui media “Badai Pasti Berlalu” itu kan sulit. Makanya saya menulis lirik.

Edisi Sembilan

Alhamdulillah, setelah beredar di pasaran konsep musik kami diterima masyarakat. Semakin menumbuhkan percaya diri dan terbukti diterima semua kalangan. Kelas menengahpun bisa menerima God Bless dengan Bahasa Indonesia. Harapan saya tentunya eksplorasi itu dianggap sebuah proses untuk berjalan terus. Tidak stuck atau jalan di tempat. Tahun ’88 ya bentuknya seperti itu. Tahun ’89, ’90, dan seterusnya bentuknya seperti apa? Ya harus berevolusi dan harus berproses. Ketika ada kecenderungan untuk status quo, mapan, diam di tempat, saya gelisah. Lha, kok begini lagi? Apa itu terjadi dalam konteks rekaman album? Bukan di rekaman. Justru itu terjadi di “Raksasa”, ketika saya menegaskan kembali bahwa dalam konteks music rock, seharusnya music rock Indonesia berangkat dari komposisi semacam itulah. Artinya, mengeliminasi segala unsur yang manis-manis atau melankolis. Bukan untuk dieliminasi tetapi diminimalkan. Karena konteksnya adalah sosial, sehingga musiknya harus lebih tegas dan nge-rock.

Itu yang terjadi, maka saya gelisah. Karena sudah terjebak di ornamen-ornamen, tidak membahas substansi. Dan sampai akhirnya saya mengundurkan diri. Kebetulan saya bergabung dengan Kantata. Di Kantata saya bereksplorasi. Saya bertemu dengan WS Rendra. Dia budayawan hebat. Dia menegaskan kepada saya bahwa seorang budayawan dan seniman tugasnya mengeksplorasi kehidupan. Saya merasa bagai tikus masuk ke lumbung padi. Saya merasa apa yang saya cari dan gagasan yang lahir dari pemikiran bisa terakomodasi. Saya bisa bertanya, meskipun jawabanya relatif karena menyangkut permasalahan yang jawabannya ada di masa depan. Makanya saya mengatakan bahwa Kantata itu bukanlah band. Kantata itu sebuah entitas yang berkumpul karena memiliki persoalan masing-masing, lalu kemudian mereka terpanggil untuk menyikapi keadaan ketika keadaan membutuhkan sikap. Jadi ketika era ORBA, Kantata Takwa terkesan resisten terhadap Soeharto, itu bukan karena Kantata Takwa melawan Soeharto. Tapi Kantata Takwa menyikapi keadaan. “Say No” itu artinya menyikapi keadaan. Ini negara demokratis, sedangkan Soeharto itu raja. Kita selalu mengatakan, “Pak, sampeyan ini bukan raja yang nggak bisa salah. Artinya semua kebijakan bapak harus bisa transparan. Kita harus tahu yang mana yang setuju dan yang tidak. Kita harus diberi hak untuk ngomong. Harus punya hak untuk menolak. Kecuali sampeyan raja, kami harus tunduk pasrah.”

ketika kondisi membutuhkan. Karena itu pula, ketika konser Kantata Barock kemarin. Konser Kantata yang kurang tertata secara sound system. Oh anda nonton? Iya. Saya membandingkan dengan era konser Tur Reformasi Kantata Taqwa Samsara pernah manggung di Makassar. Saya menyimak melalui televisi dari situ saya mencermati jejak langkah Kantata Takwa sebelumnya. Dari situ saya coba menangkap ekspektasi publik terhadap konser itu sama hebatnya dengan konser 20 tahun sebelumnya. Banyak fans yang menyelipkan kekecewaan terhadap repertoar, konsep, dan sound system yang kurang pas. Tapi saya ketika itu larut dalam euforia, jadi sedikit terobati dari gangguan teknis dan sebagainya. Jadi itulah alasan saya ketika kemudian kelompok ini tidak mempunyai satu kesepakatan untuk merumuskan apa yang mau disampaikan. Seperti halnya Kantata Takwa yang pertama, itu jelas: “Say No” lalu kemudian ditata dengan hierarki posisi. Karena kalau kita sudah berkelompok lau kita ingin masuk ke dalam wilayah pragmatis, itu harus punya tatanan. Nggak bisa cair lagi, semua harus melalui satu hierarki yang sistemik. Ada konsep yang kita sepakati bersama dimana sudah ditunjuk siapa sutradaranya, music director, art director. Semuanya harus kongkrit da nada pertanggungjawaban atas produk dan pesan yang mau kita sampaikan. Repertoar dengan sendirinya disesuaikan dengan kebutuhan itu. Nah ketika itu tidak ada, asumsi yang tertangkap oleh saya adalah, “Lha ini kok kayak konser band GIGI, Ungu, atau Dewa yang lagi mau manggung di acara Dahsyat dan sejenisnya.” Sebenarnya itu tidak apa-apa, tapi menjadi apa-apa karena Kantata bukan band! Kok diperlakukan kayak band?

Kantata Takwa adalah keterpanggilan kami ketika kondisi membutuhkan Saya mempersoalkan paradigma berpikir berupa subjek. Ketika God Bless terus berjalan, amka harus ditindaklanjuti dengan dialektika. Artinya menggali apa yang harus kita gali. Berpikir, apa sih persoalan kita dan bagaimana solusinya. Harapan saya, ketika kami bertemu dan berkumpul justru membicarakan konten, peristiwa, atau pemasalahan. Jangan bicara alat atau sound. Jangan status qou dan terjebak pada simbol-simbol. “God Bless karakternya kayak begini, harus begini, jangan berubah jadi begitu.” Saya menolak kalau dipagari seperti itu. “Jangan begitu, Yock. Itu bukan karakter God Bless.” Lho, karakter itu tidak dilihat dari musik, bunyi, dan sound. Karakter itu menurut saya dilihat dari subjek dan tema apa yang ingin kamu sampaikan. Dari situ baru muncul bungkusnya, lalu muncul musiknya. Jangan dilihat dari ritme, komposisi, beat saja. Istilahnya itu hanya main simbol atau judul saja, tapi tidak bermain di substansi permasalahan.

TUCZINE

Itu arti “Say No”. Kepada semua kebijakan ORBA, kami anggap tidak mewakili hak-hak kita dalam berbangsa. Karena apa? Karena kita bukan monarki. Kecuali pilihannya monarki dan kita bersepakat untuk itu, ayo nggak apa-apa. Kita patuh pada raja. Toh itu pilihan hidup, belum tentu juga dengan monarki kita tidak sejahtera, bisa juga. Tapi, karena kita memilih negara demokratis, maka kita harus mematuhi halhal yang menjadi syarat negara demokratis. Jadi, sekali lagi Kantata Takwa adalah keterpanggilan kami

46

Dan seperti diketahui, penonton Kantata kritis-kritis. Ya, buat saya itulah yang melatarbelakangi sikap saya untuk menolak ikut dalam konser. Karena Kantata bukan band.

Edisi Sembilan


wawancara Hari ini, ketika kita memasuki era Pemilu Legistlatif dan Presiden, ada masa-masa kritis dan urgen dimana seharusnya Kantata hadir. Keterpanggilan itu harusnya ada. Karena saya nggak bicara tren, atau mumpung masih muda dan belum tua. Saya bicara keterpanggilan setiap orang sebagai warga negara. Anda jurnalis, anda terpanggil untuk mengkritisi keadaan. Anda sebagai tim sukses golongan tertentu, anda terpanggil untuk menulis dan meyakinkan masyarakat untuk memilih tokoh yang diusung. Saya sebagai seniman juga mempunyai keterpanggilan. Dan itu muncul, dimana Setiawan Djodi, Sawung Jabo, Iwan Fals saya panggil untuk duduk bersama, lalu kami menunggu saatnya untuk merumuskan keterpanggilan itu sebagai satu pesan yang harus disampaikan secara kongkrit dalam waktu dekat. Kalau toh berhasil konser, saya tidak ingin konser ini menjadi konser selebritas. Bukan konsep hiburan band, tapi pesan harus tersampaikan. Saya harus bisa mengajak teman-teman untuk mengeksplorasi permasalahan, lalu mengakomodasi persoalan ini ke dalam lagu sampai bisa diaplikasikan ke masyarakat. Itu harapan saya. Mudah-mudahan, paling tidak ada nilai positifnya. Memberikan pencerahan dan memberikan masukan, mengasah daya kritis orang. Jangan berlarut-larut pada kondisi seperti ini. Tapi lebih mengasah kemampuan kita. Banyak hal yang harus dibereskan. Bukan hanya masalah keterlibatan konser itu kalaupun jadi tentunya butuh biaya, waktu, dan tenaga. Hanya kembali lagi, kita bicara tanggung jawab. Saya minta doa anda supaya bisa terwujud. Adakah pesan untuk kami yang ada di Ditjen Pajak? Ada. Saya sedang beraktivitas untuk memberdayakan seniman-seniman musik untuk peduli pada profesi seniman musik agar diakui secara hukum. Karena hukum pada intinya ranah untuk melinddungi hak-hak ekonomi. Kesadaran orang ketika dia berkarya, dia akan bayar pajak. Tapi dia bayar pajak harus

TUCZINE

wawancara ada alasannya, untuk apa dia bayar pajak? Lalu hak-haknya apa saja yang harus diperjuangkan karena dia sudah membayar pajak. Suatu saat nanti, komunitas yang sudah saya kerjakan ini akan melibatkan komunitas anda di DJP dalam implementasinya. Lalu bersama-sama mengawal jalannya aliran dana dari pajak itu. Saya punya obsesi agar komunitas ini melahirkan satu regulasi yang sah. Bahwa musisi itu profesi. Regulasi artinya tata kelola atas panggung-panggung ekonomi. Jangan lagi seenaknya orang asing main di panggung local, sementara musisi lokal tidak diberdayakan. Mereka boleh saja main di Indonesia, tapi harus ada aturan yang mewajibkan band asing untuk berkontribusi terhadap kesenian dan intelegensia masyarakat. Mereka harus melindungi hak-hak kita, bukan hanya negara saja yang berperan. Ketika musisi luar manggung di sini, harus dipungut kewajibankewajibannya untuk kepentingan negara. Sama ketika saya main di luar negeri, saya juga diperlakukan demikian. Kecuali saya bukan artis yang punya nama, baru dibebaskan. Jika saya punya pasar yang diakui internasional, saya dimaki-maki karena mencari duit di negara orang. Kita seharusnya memperlakukan yang sama.

musisi muda, jika kamu tidak menyadari apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabmu, hari ini kamu bisa melihat masa depan kamu 20-30 tahun kemudian dari kami. Masa depan kalian sebagai musisi tidak usah kalian bayangkan muluk-muluk. Masa depan kalian adalah kami saat ini. Seperti pasien sekarat di rumah sakit, kalau tidak ada infus, obat, transfusi darah, mungkin bisa mati. Kami bergantung dari kemurahan hati sponsor atau promotor. Saya sudah mempertaruhkan segalanya demi masa depan musisi. Apa yang saya lakukan ini adalah keterpanggilan. Sehingga misi saya, semua kerja keras saya ini harus sampai ke semua orang. Masalah itu terwujud atau tidak, saya tidak ambil pusing. Saya sudah banyak membaca peta permasalahan dan merumuskannya. Saya berkewajiban menyampaikan hal ini kepada semua pihak. Kalau anda tidak mau disadarkan itu pilihan anda. Dan saya berharap hal ini bisa terwujud dalam waktu tidak terlalu lama.

Bagaimana proses pengerjaan album “Profanatik”? Kami merekam “Profanatik” sekitar satu setengah bulan. 24 shift di Syailendra Studio di bilangan Jakarta Selatan. Ngerekamnya analog. Ide untuk mengangkat tema besar atau judul “Profanatik” itu sebenarnya timbul dari siapa? Gua sih, kalo lirik dan konsep artwork di dalam CD. Pokoknya yang berhubungan dengan estetika semua dari gua. Kalo lagu-lagu yang ada di dalam album itu kan banyak mengedepankan tema fanatisme buta atau tema-tema lain yang mengemuka di album “Horror Vision”. Bagaimana sebenarnya lirik di album ini? Untuk album kedua ini nggak seperti album pertama. Temanya lebih luas. Pendekatannya lebih ke yang Blasphemy. Album kedua ini lebih ringan sebenernya. Cuman hal-hal yang deket sama gua. Kayak “Natural Born Nocturnal”. Sebenernya itu cuman tentang insomnia. “Altar Eksistensi Profan” itu tentang hobi gua. Hobi ngumpulin vinyl. Konsumerisme, lah. Di lagu “Altar…” itu sebenarnya lo mengritik konsumerismenya atau tema hobinya itu? Gua nggak mengkritisi konsumerismenya. Gua lebih ke… ya udah, lo di jaman sekarang mau nggak mau masuk ke dalam arus itu. Mau lu lawan juga balik ke diri masing-masing. Kalo gua sih, gua nggak mau hentikan itu. Gua masih ngumpulin CD, ngumpulin vinyl, kaos. Pokoknya nggak bisa. Jadi dari sudut pandang gue ya, gua terjerumus ke dalam situ dan masih banyak juga orang lain yang kayak gitu.

Suatu saat nanti akan bertemu, komunitas anda dan komunitas lainnya dimana ada suatu forum yang mewadahi pertemuan untuk membahas secara spesifik misalnya mengenai pajak, alokasi, dan manfaatnya untuk musisi. Kemana alirannya? Hakhak musisi sudah banyak yang dikebiri. Konser sulit dapat izin, sulit dapat sponsor, akses kredit terbatas, jaminan sosial tidak ada. Boro-boro pension, sakit di tengah jalan, ya udah mati mati aja. Sedangkan kontribusi yang diberikan oleh seniman dalam konteks pencerdasan intelektual, peningkatan intelegensia, dan penyadaran sejak tahun ’60-an sudah sangat luar biasa. Hak-hak mereka dikangkangi, karena musisi tidak paham persoalan.

Kemudian perihal artwork timbangan itu sebenernya interpretasinya seperti apa? Lebih berat ke dunia, kan? Ya itu, “profanatik” itu berasal dari kata “profan” dan “fanatic”. Lebih berat ke hal-hal duniawi. Jadi seperti itu ya? Ya.

Saya sering mengatakan kepada

47

Edisi Sembilan

TUCZINE

DANIEL MARDHANI Vokalis Deadsquad ini berbicara tentang album ‘Profanatik” dan Record Store Day 2014 Oleh : Didik Yandiawan Balik ke album “Horror Vision” yang kemarin sempat dirilis dalam vinyl beberapa format kan? Ya. Ada lima warna. Empat warna sih. Satu picture disc. Artworknya dikerjakan berbeda dengan artwork rilisan pertama. Kenapa? Sengaja sih, gua pengen beda. Sengaja pengen beda aja. Yang pertama kesannya buru-buru banget ngejar momennya Lamb of God, kan. Jadi artworknya sebenernya nggak sesuai apa yang gua mau. Kalo ini (yg terakhir, red) sudah sesuai dengan apa yang gua mau. Kalo cover album yang baru itu kayak pertarungan setan dan malaikat gitu ya? Yang “Horror Vision” ya? Setan dan malaikat itu sama aja sih kalo menurut gua. Mengenai Pemilu RSI yang digagas majalah Rolling Stone Indonesia. Menurut Deadsquad? Seru sih menurut gua. Baru aja. Lucu. Kira-kira optimis dapat mendulang suara? Gua sih nggak tau responnya gimana. Cuman ya kalo emang menang, ya gua seneng-seneng aja. Bisa ningkatin harga band. (Wendi Putranto yang ada di sebelah kami tiba-tiba nyeletuk: “dilarang golput!”) Deadsquad ada rencana untuk menjual konten musik via Deezer, Guvera, atau iTunes?

48

Sebenernya kami sih udah ada arah ke sana. Pengen punya format kayak gitu juga, cuman lagi dalam proses. Keren sih kalo misalnya Deadsquad ada music agregatornya supaya katalognya komplit. Masih dalam proses sih. Cuman prosesnya lama. Udah dipikirin sejak lama sebenernya. Bagaimana Record Store Day menurut mas Daniel? Gua sih udah kenal lama sejak tiga tahun lalu. Responnya sih makin kesini makin keren. Ini aja dua hari. Tahun lalu cuman sehari. Cuman di Aksara doang. Dan rilisan lokalnya itu udah mulai banyak nggak kayak tahun sebelumnya. Udah berani lah rilisan lokal. Kayak Suri dengan boxset mewah kayak gitu. Dibikin 50 biji dan itu habis tuh. Hebat itu. Keren buat ukuran Indonesia. Ya itu sih sebenernya. Jadi apapun bisa dijual ya di Indonesia. Selama ada yang beli, iya. Dan fans musik Indonesia di scene indie loyal sih menurut gua. Loyalitasnya tinggi banget. Setelah konser launching album “Profanatik” di Bulungan beberapa waktu yang lalu, ada rencana bikin konser sendiri lagi, atau masih ikut festival festival gede? Belum. Belum ada rencana. Masih panggung yang ada aja, panggung biasa.

Edisi Sembilan


wawancara wawancara

PONDRA PRIYONO Oleh : Derry Marselano Sarjana Kriminologi ini memang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Walaupun begitu, menjadi Assistant Manager di Sony Musik Indonesia membuat dia bekerja di dunia musik yang merupakan passion-nya semenjak kecil. Simak wawancara kontributor kita, Derry Marselano yang telah mengenal Pondra sejak jaman SMA saat musik SKA masih berjaya.

TUCZINE

49

Edisi Sembilan

Kita mau tau pekerjaan-pekerjaan yang di luar kerjaan kita sebagai PNS dan keknya kalo kita liat kerjaan lo keren bener bisa ketemu sama musisi musisi luar yang ok dan kerja bareng mereka, kalo gak salah secara general yang kita tau lo kerja di Sony Musik Entertainment Indonesia ya, boleh gak ceritain kerjaan lo apaan, dan boleh gak lo ceritain sejarah sama perjalanan karier lo sekarang Iya bener gue sekarang kerja di Sony Musik Entertainment Indonesia bagian International Repertoire Departement. Jabatan resminya sih Assistant Manager . Di department ini tapi untuk job description gue juga acting as label manager untuk produk Asia (selain Malaysia-Singapore). Kerjaan gue lebih ke arah marketing, baik promosi sampai ke projectproject live event. Jadi untuk produk International selain Asia gue mengurus promosinya terutama di radio. Ini termasuk mikirin strateginya juga. Musik itu kan ada momentumnya juga ya, jadi kita musti tau kapan mengambil momentum atau kapan kita harus ciptakan momentum itu. Tujuan utamanya yang pasti adalah making hits! Nah khusus produk-produk Asia gue juga jadi label manager, tanggung jawabnya lebih gede karena harus mikirin seluruh proses dibaliknya termasuk budgeting dan manufacturing. Berhubung artis yang gue tangani adalah artis luar semua ya otomatis dalam pekerjaan jadi sering harus/bisa berinteraksi sama mereka terutama kalau artisnya datang ke Indonesia atau negara tetangga. Kurang lebih begitu kerjaan gue sekarang. Pekerjaan lo ini sesuai gak sama pendidikan formal yang lo ambil? Sesuai nggak sama pasion lo? Sama sekali nggak! Gue lulusan Kriminologi haha.. Ga nyambung abis kan. Tapi sepanjang pengalaman gue, hampir semua yang kerja di industri musik terutama orang-orang kantornya emang jurusannya ngaco. Kebanyakan yang kerja di musik ya karena passion. Ini juga pastinya passion gue sejak kecil. Gue pengen kerja di musik, sadar kalo gue

TUCZINE

nggak terlalu jago main musik jadi ya cari jalur-jalur lain yang ada di industri ini. Sebelum di Sony Musik Entertainment Indonesia sempet punya kerjaan lain gak, lebih enakan mana sama kerjaan yang sekarang? Gue memulai karir dengan menjadi jurnalis musik. Sebelum lulus kuliah, gue dan beberapa teman bikin startup company, sebuah media massa di bidang musik. Kita ngebangun sebuah majalah namanya “Listen!” yang konsepnya merupakan music guide gratis. Ini jadi kerjaan awal gue dan bener-bener jadi pintu masuk ke industri musik karena sebagai jurnalis kita membangun network yang sangat luas dengan para pelaku industri musik. Sehari-hari kerjaannya nge-review album, interview artis, nonton konser, motret, dll. Nggak lama disitu, cuma setahun sudah ambruk karena minim pengalaman dan darah muda yang ngga suka diatur-atur investor. Hahaha. Gue lanjut jadi jurnalis lepas untuk majalah remaja dari grup Suara Merdeka namanya “Olga!”. Gue jalanin ini untuk maintaining my network. Akhirnya gue ditawari pekerjaan di Universal Music Indonesia sebagai Promotion Staff untuk online media. Posisi ini lagi lumayan booming waktu itu karena belum banyak yang jadi spesialis socmed, gue ngulik abis deh disitu. Universal Music juga punya roster artis yang gede-gede banget. Bon Jovi, Lady Gaga, Justin Bieber, Maroon 5, Eminem, Rihanna, Taylor Swift, dll. Seneng banget jadi bagian dari tim sukses mereka di Indonesia. Nah disini juga gue mulai kenal senior-senior industri musik. Gue mulai cari patron/mentor yang bisa bikin gue berkembang. Sekitar 2 tahun di Universal Music Indonesia gue kemudian ditawari pekerjaan di Sony Musik Entertainment Indonesia dan lagi-lagi gue ketemu banyak mentor yang super jago di bidang ini. Kalo dibilang enakan mana, sama aja kayanya. Keseruannya beda-beda, yang penting gue pengen selalu bisa belajar lebih banyak dari kerjaan yang dijalani.

50

Hal apa yang gak mungkin lo lakuin kalo lo gak ada di posisi pekerjaan lo sekarang? Wah itu sih banyak banget! Gue nggak mungkin bisa liat proses pengerjaan rekaman Ken Hirai di Jepang. Ga mungkin berteman sama VP Sony Music Japan; ga mungkin dinner bareng sama Il Divo; nongkrong bareng Adam Lambert, dll. Pengalaman yang paling berkesan selama bekerja? Gue selalu merinding kalo pas nonton konser artis yang kita tangani, penonton sing-along dan sangat terbawa emosi. Entah euphoria girang ataupun sedih sampai nangis. Ini mengingatkan gue bahwa apa yang gue kerjakan bisa berpengaruh besar buat hidup orang-orang itu. Musik yang gue bantu sebarkan itu bisa nyampe ke hati mereka. Selain itu yang pasti berkesan adalah setiap gue belajar hal baru terutama waktu bekerjasama dengan tim artis international. Sejauh ini gue pernah handle artis luar secara langsung kaya Il Divo, Adam lambert, Lenka, Maher Zain, Guy Sebastian, The Script, L’Arc-en-Ciel dll. Di US, UK, Australia, Japan itu industri musik mereka sudah mapan. Dengan punya pengalaman kerja di dalam lingkaran mereka, kemampuan kita juga jadi bisa bersaing dengan SDM dari negara-negara lain. Pengalaman kerja dengan tingkat profesionalisme yang dituntut selevel dengan mereka itu besar banget harganya karena kita jadi semacam “duta” di hadapan artis-artis itu untuk ngebuktiin bahwa orang Indonesia bukan SDM kelas dua. Ada duka nya juga gak sih di kerjaan lo yang keknya yoi bener ini ? Kalo cuma masalah artis atau managernya rese’ sih udah terbiasa dan memang nature kerjaannya ngadepin mereka. Jadi ngga tergolong duka deh. Pengalaman paling nggak enak.. Selama di label mungkin waktu salah satu konser kita ada sedikit keributan dan tersebar di media online secara real-time, jadi polisi pun berdatangan ke venue. Gue seperti biasanya lagi tugas jadi LO artis internation-

Edisi Sembilan


wawancara

wawancara

al. Tugas LO kan selalu Kedepannya gue pennempel artis dan harus gen wirausaha di bidang bisa ambil keputusan on musik. Ini target hidup. the spot dalam misi menGue nggak mau pensiun gawal artis (dibantu tim dari perusahaan orang, security). Kalau ada apague mau pensiun dari apa gue lah perwakilan perusahaan gue sendiri. penyelenggara yang palBuat penyeimbangnya, ing dekat posisinya sama gue pengen ngebangun artis. Itu gue sebenernya yayasan dan sanggar yang udah lumayan ngeper peduli sama pendidikan ngeliat komandan-kobagi anak pengamen dan mandan polisi pada ke musisi tradisional sembari backstage nyari penyemelestarikan musik dan lenggara. Gue musti amtari tradisional. anin artis ini kan, karena mereka ga tau apa-apa. Bagian Dua : Pondra, Untungnya semua bisa Musik dan Dunia diback-up oleh temen-te- Pondra berfoto bersama Tokyo Ska Paradise men di tim jadi gue Orchestra di Sounds Fair 2014 Kapan elo pertama kali ngga harus berhubuntertarik sama musik, dan karena gue di label yang cukup gan sama yang berwajib dalam seberapa jauh musik mempenbesar otomatis pasar yang kita rangka mengamankan artisnya. garuhi hidup lo? mau cakup juga besar. We’re Lumayan bikin deg-degan aja Wah itu sih dari sekitar TK kali talking business. Tanggung sih. Hehe.. Di pekerjaan ini, team ya. Kaset pertama gue NKOTB jawab bisnis kita besar jadi wajar work is everything. – Step By Step, abis itu sekitar kalau target kita pun pasar yang SD gue suka Guns N Roses sama lebih massal. Bagaimana perkembangan Bon Jovi. Bokap suka segala maKesalahan banyak orang adalah bisnis musik dari segi bisnisnya cem musik dan suka dunia audio. ketika memaksakan emosi, selsendiri dan dari segi idealism di Ini yang menurun banget ke gue. era dan idealisme ke dalam sisi Indonesia sekarang? Dari SD gue udah ngerti gimabisnis yang kadang nggak sinkOk, kalo bicara bisnis musik, saat na nge-setup audio system. SD ron. Hal-hal ini harus saling menini trend penjualan fisik terus juga gue udah belajar main gigalir apa adanya. Kalo nggak menurun dan digital mulai naik. tar. SMP mulai ngeband dan kemau menyesuaikan sama pasar Tapi belum seimbang nih antara nal trend musik. SMA main ska, massal ya jalanin indie aja. Banpenurunan fisik dan kenaikan kenal sama lo yang juga main yak kok indie yang sukses. Tulus digital, jadi kita harus putar otak ska dan satu sekolah. Dulu band secara bisnis sukses ke pasar cari skema-skema bisnis baru kita kaya bersaing gitu, hahaha.. massal lewat jalur tak konvensupaya industri ini terus berkemKuliah gue bikin band yang masional. Burgerkill juga sukses bang. Banyak banget deh jalsih bertahan sampe sekarang, lewat jalurnya sendiri. Jadi intiurnya sekarang ada yang kearah Amazing in Bed. Band indie rock nya sih banyak-banyak belajar artist management, EO, meryang sempet rilis 1 album tahun tentang industrinya. Ini yang chandising, dll. Inilah fokus uta2008 dan akan segera rilis alsekarang banyak dilakukan para ma banyak perusahaan rekaman bum kedua. Buat gue musik ya pelaku industri musik dan artis saat ini, pengembangan kanal hidup gue. Gue bukan tipe yang muda, mempelajari pasar dan bisnis baru. jago main musik dan pengen jadi jika ada kesempatan, ciptakan musisi top dll, tapi untuk musik Bicara idealisme, sebenernya pasarnya, ciptakan trend-nya. pasti akan selalu ada tempat di idealisme tetep bisa kok dijalankhidup gue. Gue ketemu istri gue an di industri ini. Tapi buat musiElo udah merasa nyaman sama aja pertama kali di moshpit pas si ya harus sadar, kalau namanya pekerjaan lo sekarang? Atau nonton acara ska! Nama tengah pasar itu ada sistemnya sendiri. masih ada sesuatu hal yang maanak gue Bhangra yang diambil Kalau maksain idealisme di pasar sih lo capai? dari nama musik dan tarian dari yang nggak cocok ya buyar. Jadi Career-wise, gue nyaman di India. Musik membentuk diri dan gini, misalnya lo musisi blues bidang ini. Masalah compajalan hidup gue . yang materinya sangat 1930s, ny-nya dimana, buat gue nggak Lama gak kedengeran, apa kaDelta Blues gitu yang juga lagi terlalu penting yang penting jebar Amazing In Bed? nggak jadi trend, trus lo paksain nis pekerjaannya dan kepuasan Sekarang AiB lagi tidur dulu. minta bisa melimpah penjualangue atas apa yang gue kerjakan. Sempet banyak konflik internal nya di pasar musik yang massal. Bidang ini belum habis gue kutrus masing-masing harus cari Susah dong, ngga nyambung lik, masih banyak yang bisa gue nafkah di jalan tyang berbekan. pelajari. Sama pastinya musti bada-beda. Ada yang musti dinas Musisi musti paham bahwa kegus dong penghasilannya.. Musti di luar kota, gue kawin dan putika bicara nilai ekonomis, maka nabung teruuus, uang sekolah nya anak, dll. Amazing in Bed ada pasar, dan pasar itu ada ntar makin mahaaallll.. Hehe emang kumpulan orang biasa. karakternya masing-masing. Nah (standar masalah bapak-bapak).

TUCZINE

51

Edisi Sembilan

Sama kaya orang lain yang harus kerja, ngadepin bos, ngadepin berbagai tekanan, masalah keluarga, bayar cicilan dll. Jadi ya kita nggak takut untuk nggak aktif dulu karena kita orang biasa. Bukan hipster yang ga perlu kerja tapi tetep bisa bayar sewa apartemen, ngopi cantik dan ngebir tiap hari. Musik kita juga mudah-mudahan bisa jadi cerminan orang-orang seperti kita, orang biasa. Enakan mana, jadi anak band atau kerjaan lo yang sekarang? Kalo lo cuma bisa milih satu aja lo pilih yang mana? Gue lebih suka yang sekarang karena anak istri gue lebih terjamin dan gue masih tetep kerja di musik juga kan. Apalagi gue orang industri ini, tau banget deh gimana beratnya jalanin karir jadi musisi. Konser musik lokal atau internasional apa yang paling keren yang pernah lo tonton dan kenapa? Beberapa yang cukup berkesan, Green Day di Singapore Indoor Stadium; Foster The People di Tennis Indoor sama The Script di Central Park. Green Day soalnya gue fans banget dan itu pertama kalinya gue ngejar konser ke luar negeri. Foster The People karena pas mainin lagu “Pumped Up Kicks” itu mereka juara banget, semua sing-along, Mark Foster bediri diatas barikade depan panggung, takarannya pas deh. The Script karena atmosfernya asik banget, sing along sepanjang konser soalnya lagu hitsnya banyak. Musisi idola lo siapa dan kenapa? Ada lagu atau album yang paling jadi soundtrack buat hidup lo? Gue suka Rancid soalnya mereka Punk tapi masih sangat bisa dinikmati dan bassline nya Matt Freeman asoy banget. Mereka juga bisa ngebangun label sendiri, Epitaph. Ini berarti mereka menciptakan dan melestarikan pasarnya dengan cara mereka sendiri. And last but not least, they’re still punks! Soundtrack hidup gue. Lagunya Rocket Rockers yang “Hari Untukmu” sama Green Day yang

TUCZINE

“Good Riddance (Time Of Your Life)”. Gue nyanyiin dua lagu itu di kawinan gue. Kalo sekarang soundtrack hidup gue kayanya “Head Shoulders Knees and Toes” gara-gara anak gue masang lagu begituan melulu hahaha.. Menurut lo gimana perkembangan dan masa depan musikmusik indie di Indonesia? Masih sangat amat bisa berkembang. Satu PR nya musisi indie adalah jangan bubar. Kebanyakan musisi indie umurnya nggak panjang atau jadi nggak produktif. Musisi indie punya keterbatasan budget. Lewat komunitas yang solid dan teredukasi mungkin kedepannya crowd funding bisa jadi solusi bagus buat keterbatasan dana tersebut. Selain kerja dan musik, lo ada kegiatan atau hoby lain yang masih jalan? Salah satu hobby gue belakangan ini lagi suka main longboard. Tapi 2 tahun lalu kaki gue patah pas kecelakaan longboard dan sampai sekarang masih mengganggu gerakan. Jadi saat ini agak berkurang mainnya. Gue juga masih hobby audio, nyoba berbagai macam setup buat dengerin musik itu ada kepuasan tersendiri. Ditengah hiruk pikuk politik dan kegila-kegilaan yang terjadi akhir-akhir ini, lo optimis gak sama masa depan bangsa kita tercinta ini? Gue ga pernah pesimis sama Indonesia. Gue pengen anak cucu gue dengan bangga bilang “Saya anak Indonesia!”. Kayanya pro-kontra masalah pemerintahan nggak bakalan berhenti sampai kapan pun, kekuasaan kan produk konflik. Satu hal yang perlu diperbaiki menurut gue, penyetaraan kesempatan sesuai hak dan kewajiban.

tail dan istilah perpajakan yang membingungkan. Karena gue kerja di bidang formal, pajak penghasilan gue sudah dibayarkan melalui perusahaan, gue tinggal mengisi SPT saja. Gue kebayang buat pekerja informal ini akan sulit banget perhitungannya kalau nggak dibantu. Stigma korup yang muncul gara-gara oknum-oknum di masa lalu juga masih kenceng banget. Yang gue tau, sekarang udah berbenah dan anak-anak muda di Pajak juga punya integritas. Tapi perlu waktu untuk ilangin stigma dan perlu pembuktian di level frontliners yang berhadapan langsung sama masyarakat. Terus itu mbok ya bos-bos dan humasnya punya selera lebih bagus gitu. Kalo bikin iklan tuh coba deh yang lebih menarik. Banyak banget desainer bagus, agency2 bagus yang beneran bisa bikin campaign keren. Masa nyuruh orang bayar pajak pake billboard gambar muka pejabat segede Tronton. Buat kalian yang pada bisa bikin TUCZine sebagus ini, jujur menurut kalian estetika visual dari iklan-iklan pajak udah bagus apa belum? Hahahah iya gitu banget emang itu, dalem lo pon hahaha Yang terakhir nih, udah sempet nyimak TUCZine? Pendapat lo tentang TUCZine ini? Ada saran atau kritik? Sukur-sukur ada ide buat zine ini? Mudah-mudahan TUCZine bisa jadi gerakan bawah tanah dari orang-orang pajak yang berani bilang salah jika salah dan berusaha memperbaiki sistem dari dalam. Saran, daripada dibuat versi download di mediafire (website file sharing yang juga sarang pembajak tak bayar pajak) coba bikin versi di Issuu. Itu platform untuk publikasi/majalah online yang cukup nyaman.

Lo ngerti masalah Pajak gak? Pendapat lo tentang pajak gimana? Ada kritikan dan saran? Pajak sudah sewajarnya ada di sebuah negara. Tapi saat ini masalah pajak menurut gue cukup sulit dipahami awam. Terlalu banyak penghitungan mende-

52

Edisi Sembilan


PENADAH LUDAH

SEDIKIT TENTANG BAND YANG BUBAR ATAU GANTI PERSONEL Oleh : Muh. Hijrah Lesmana

D

iingatan saya yang lamat-lamat, diantara sedikit band yang awet, hanya dua band yang mampu saya ingat, yaitu Superman Is Dead dan Linkin Park. Mereka memiliki beberapa kesamaan. Pertama, usia mereka sekitar 10 tahunan. Kedua, mereka band yang solid karena belum pernah ganti personil. Dan ketiga, mereka muncul dan booming di jaman saya remaja. Belum lama sih, mungkin belum bisa dikatakan legenda, terutama jika melihat usia band, rekam jejak, dan kontribusi mereka di bidang musik pada umumnya. Tapi setidaknya ada hal yang ingin saya tulis tentang mereka dan dunia musim pada umumnya, yaitu mengapa banyak band yang berganti personil, bahkan bubar? Sebenarnya tidak ada satupun band atau personelnya yang ingin atau berharap band-

TUCZINE

nya bubar atau anggotanya ada yang keluar suatu saat nanti. Saya yakin itu. Mereka semua pasti sudah merencakan visi ke depan band seperti apa, ingin menjadi seperti apa, main di genre apa, gaya main seperti apa, ingin menjadi legenda musik atau sekadar meramaikan dunia musik. Atau bahkan hanya ingin bersenang-senang. Karena bagi sebagian orang atau musisi, bermain musik bisa menjadi terapi yang efektif untuk beberapa hal. Misalnya, penyaluran emosi, mengurangi kecanduan, mengurangi efek insomnia, dan lain sebagainya. Secara garis besar, menurut saya ada 5 hal yang menyebabkan bubarnya suatu band atau keluar-masuknya personel. Halhal tersebut adalah: 1. Perbedaan prinsip. Ini adalah penyebab terbesar

53

pecahnya band, karena ketika prinsip sudah berbeda, secara otomastis, filosofi dan arah band pun bisa berubah. Prinsip bisa berupa cara pandang terhadap suatu hal, pengambilan keputusan, dsb. 2. Kesibukan. Mungkin saja, tidak semua personel band menganggur. Ketika pekerjaan utama hanya musisi, semua akan baik-baik saja. Tetapi ketika masing-masing sudah punya kesibukan diluar band, misalnya bisnis clothing, meneruskan pendidikan, telah berumah tangga, pacaran, menekuni hobi atau jadi artis senetron, ceritanya bisa lain. Personel yang di comot band lain juga bisa. Pelan-pelan itu akan mengganggu latihan atau jadwal manggung. Menentukan prioritas bisa menjadi hal yang menyulitkan.

Edisi Sembilan

Black Sabbath adalah salah satu band yang paling sering berganti anggota. Bahkan Ozzy Osbournepun pernah diganti 3. Perbedaan kemampuan. Sebenarnya ini adalah hal sepele, mengingat umumnya band didirikan atas dasar kesamaan hobi, visi dan tujuan. Di awal mungkin tidak terasa, tetapi ketika band sudah memasuki fase makin terkenal, atau pendewasaan, baik dari segi mental, musik maupun skill bermain, masalah akan timbul, dimana biasanya band akan mencoba mengulik-ngulik lagu tertentu, atau secara progresif beralih genre, maka tidak semua personel bisa mengikuti perubahan itu. Ada yang dibekali bakat, ada yang bekerja keras mengejar ketertinggalan, ada yang selow saja, karena toh uang dan popularitas telah didapat. Perbedaan ini, juga menyebabkan rasa iri hati, misalnya gitaris menciptakan dan aransemen lagu, vokalis bikin liriknya, sementara yang lain hanya ‘numpang tenar’. 4. Perubahan setelah tenar. Ini adalah sindrom umum band baru, atau band yang ‘tiba-tiba populer’. Mereka belum siap secara mental ketika menghadapi popularitas yang datang tiba-tiba. Keyakinan dan kesetiaan mereka bisa terguncang dan akhirnya harus menyerah terhadap popularitas dan kekayaan, sesuatu hal sebenanrnya amat mereka cari, tetapi justru menjadi palu yang memukul be-

TUCZINE

lakang kepala mereka. Ketika tersadar bahwa mereka harus kembali ke trek, semua sudah terlambat. 5. Menyerah sebelum mencapai tujuan. Ini jarang terjadi, tetapi mungkin dan bisa jadi ini hal yang jarang terpublikasi karena mereka belum sempat mekar dan bersemi. Anda pasti sering mendengar banyak band yang dulunya keluar masuk perusahaan (label) untuk menyerahkan demo musik mereka, tentu dengan harapan mereka bisa bikin album, manggung, terkenal dan seterusnya. Sebagian dari mereka berhasil, seperti yang banyak kita kenal saat ini. Sebagian lainnya, tidak seberuntung mereka. Bahkan seringkali mereka sampai bosan ditolak pihak label. Banyak alasan yang diutarakan label, mulai dari genre yang tidak populer, tampang kurang ‘menjual’, nama band yang kurang bagus, atau lirik yang tidak cukup mudah di hafal atau di mengerti. Nah, diantara bandband yang gagal tersebut kemudian ada yang bergerilnya di jalur indie, ada yang bubar, ada yang bergabung ke band lain, dan ada pula yang menyerah di dikte label. Akhirnya, mereka harus menyerah pada kenyataan.

Ada yang pamit baik-baik sambil nangis-nangis, ada yang begitu saja menghilang lalu tiba-tiba gabung band lain, ada yang keluar lalu masuk lagi. Pihak yang mengeluarkan juga bermacammacam. Ada yang pihak label (biasanya karena ketidakcocokan secara karakter/sikap), ada yang dari frontman (personel utama), ada yang dari hasil diskusi semua personel. Jika itu hasil dari diskusi, berarti band tersebut penuh rasa kekeluargaan, semua personel penting, menjunjung tinggi demokrasi dan tidak ada persona yang dianggap lebih penting dari yang lainnya. Saya kira tidak ada satupun jaminan bahwa suatu band akan awet bertahan puluhan tahun, meski diawal pembentukannya mereka semua berjanji akan seiya-sekata, setia kepada filosofi band dan tetap kompak apapun yang terjadi, mirip janji di pernikahan begitu lah. Tetapi faktanya, tidak semua band bisa seawet Superman Is Dead dan Linkin Park. Sebagaimana pepatah lama, membentuk band seperti pernikahan, mereka laksana menaiki perahu ditengah samudera. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi didepan. Dan penghargaan besar untuk mereka yang mampu bertahan.

Keluarnya personel suatu band juga dengan beragam cara.

54

Edisi Sembilan


DAFTARku

LIMA ALBUM INDONESIA TERFAVORIT LIMA ALBUM INTERNASIONAL TERFAVORIT Oleh : Didik Yandiawan

A

da ribuan musik yang diproduksi dalam setahun. Tentunya, tidak semuanya bisa dinikmati karena aneka keterbatasan. Tetapi, di tengah keterbatasan tersebut kita selalu memahami satu hal, bahwa selalu ada tempat terbaik di momen terbaik untuk mengapresiasi karya musik yang prima. Terlebih lagi jika karya musik tersebut diproduksi dalam sebuah album yang prima. Di antara rutinitas kalender yang bergulir, selalu terselip waktu untuk menyimak album musik rilisan terkini. Kali ini saya menyatakan terima kasih kepada Deezer, salah satu penyedia layanan musik streaming berbayar yang saya pilih. Karenanya,

3

To Be Kind (Sun Kill Moon) Simak: “Carissa” dan “Richard Ramirez Died Today of Natural Causes”

TUCZINE

saya bisa mengikuti perkembangan musik terbaru dan tersegar. Sebagai bagian dari dedikasi itu, saya memilih 15 album musik internasional terfavorit versi saya tahun ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya: lintas genre, kontinen, dan generasi.

5

Hitung mundur “5 Album Musik Internasional Terfavorit Tahun 2014” versi Didik Yandiawan segera dimulai dari sekarang!

4

Syro (Apex Twin ) Simak: “minipops (source field mix)”

67

[120.2]

2

St. Vincent (St. Vincent) Simak: “Rattlesnake”, “Birth in Reverse”, “Digital Witness”

55

B

agi saya, musik Indonesia tahun 2014 tak kalah seru dibanding tahun sebelumnya. Di industri rekaman, kemunculan rilisan dalam piringan hitam dan musik digital menjadi warna tersendiri. Record Store Day dan Cassette Store Day menjadi ajang para musisi untuk merilis album spesial mereka. Tak berhenti di situ saja, sepanjang tahun ini rilisan fisik dalam format vinyl kian marak. Bahkan label sekelas Musica, rumornya akan merilis katalog lama mereka dalam format vinyl setelah merilis album terbaru D’Masiv. Di pasar digitalpun, masuknya beberapa agregator musik ternama turut mendukung kampanye go global bagi musisi Indonesia. Musik Indonesia juga bisa didengar oleh siapapun tanpa batas ruang dan waktu. Peluang dan tantangan musisi Indonesia untuk bersaing dengan musisi internasional semakin terbuka. Skena musik Indonesiapun sudah mulai dikenal oleh dunia. Musisi Indonesia harus membuka mata, bahwa

3

1

Lost in Dreams (The War on Drugs) Simak: “Under The Pressure”, “Red Eyes”, dan “Eyes to the Wind”

Oleh : Didik Yandiawan

To Be Kind (Swans) Simak: “Oxygen”, “Just A Little Boy”, dan “A Little God in My Hands”

Edisi Sembilan

It’s All Yours (Tesla Manaf Feat. Maha Gotra Ganesha) Simak: “It’s All Yours Part 1”, “A Man’s Relationship With His Fragile Area”, dan”Necrophilia”

TUCZINE

pasar mereka bukan hanya Indoensia, tetapi global. Tentunya, butuh kesadaran menyeluruh bagi musisi untuk menghasilkan karya terbaiknya. Bahasa nampaknya tak menjadi penghalang. Penghalang utama bagi musisi Indonesia saat ini adalah adalah kebutuhan promosi dan kualitas musik yang harus dikemas dalam satu paket bermutu tinggi. Tanpa keduanya, sulit rasanya untuk bertarung di rimba raya

musik dunia. Melihat kualitas, saya menemukan deretan album yang layak disimak dan dikoleksi dari musisi Indonesia yang diproduksi tahun ini. Aneka aliran musik. Generasi muda dan tua. Cukup mewakili betapa kayanya musik Indonesia. Inilah “5 Album Musik Indonesia Terfavorit 2014” versi Didik Yandiawan.

4

5

Forging A Legacy (Death Vommit ) Simak: “Redemption” dan “Murder”

Indonesia Maharddhika (Various Artist) Simak: “Indonesia Maharddhika” dan “Simponi Indonesia: Rock Opera Adegan I”

1

2

Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013 (Simak Belukar) Simak: “”Be(re)ncana” dan “Malas Marah”

56

Musik Pop (Maliq & D’Essentials) Simak: “Himalaya” dan “Nirwana”

Edisi Sembilan


d a f t a r k u

tiga belas RILISAN LUAR TERBAIK

SANG perempuan

AYU PRIMA AKSARI

Oleh : Abdul Rab Rasul Sayyaf ROYAL BLOOD ROYAL BLOOD Meski juga bukan baru, tapi rock yang menyala dengan riff-riff tebal dengan sentuhan garage dan bluesa la mereka cukup segar untuk tahun ini. Simak: “Out of the Black” LA FIN ABSOLUTE DU MONDE ENABLER Mereka tahu bagaimana menyeimbangkan antara agresifitas dan melodi dalam menyampaikan pandangan mereka tentang dunia yang menuju kehancuran absolut lewat lirik lugas -salah satu nilai plus lainnya. Simak: “Close My Eyes” THE KILLING GODS MISERY INDEX Mereka belum berhenti membuat album yang lebih bagus dari sebelumnya. The Killing Gods secara umum masih menggunakan formulasi yang sama dengan album-album sebelumnya, hanya saja kali ini mereka lebih banyak memasukkan unsur hardcore punk dan beberapa sisipan solo guitar a la technical death metal begitu. Salah satu rekaman cadas terbaik tahun ini. Simak: “Gallows Humor” NUX VOMICA NUX VOMICA Album ini hanya berisi tiga lagu, tapi tidak ada yang berdurasi di bawah 10 menit. Ruang sebanyak itu mereka isi dengan eksperimentasi crust punk ke batas-batas terjauh yang bisa dijejak. Membaurkan banyak sekali subgenre ekstrim: metallic hardcore, doom, black metal, melodic death metal, dan lainnya ke dalam satu paket pengalaman transendental menikmati musik yang mungkin bisa digeneralisir ke dalam istilah singkat: post-apocalyptic post-metal. Simak: “Reeling” MYRKUR MYRKUR Aksi black metal –tidak terlalu true, tidak terlalu generik- tunggal asal Denmark, wanita pula.

TUCZINE

Kurang apa lagi untuk memancing penasaran? Simak: “Frosne Vind” SHADOWS OF THE DYING SUN INSOMNIUM Dalam prosesnya kemudian, saya lalu menemukan bahwa melodeath tidaklah semembosankan apa yang pernah saya bayangkan. Dia, kali ini dalam wujud Shadows of the Dying Sun, adalah harmoni sangat serasi antara kecepatan, melodi, kecadasan, dan banyak lagi istilah lain yang sudah sangat sering digunakan untuk menggambarkan album yang keren. Simak: “While We Sleep” MELANA CHESMATA TRIPTYKON Usia hanyalah angka-angka. Selesai dengan Hellhammer dan Celtic Frost, Thomas Fischer membentuk Triptykon. Sementara Eparistera Daimones pada 2010 belum menggelitik saya, Melana Chesmata melakukannya cukup telak. Orang tua ini jauh dari selesai. Simak: “Tree of Suffocating Soul” GLASS BOYS FUCKED UP Tidak seepik David Comes to Live, tapi Fucked Up tetaplah Fucked Up. Mereka tetap tidak mau dibatasi apapun, siapapun. Kalau kami sudah tua, lalu bisa apa kalian? Simak: “The Art of Patrons” ULTRAVIOLENCE LANA DEL REY Saya baru benar-benar penasaran dan tertarik pada Lana ini setelah mendengar Young and Beatiful dari The Great Gatsby. Oh terkutuklah dia berkat suara dan musiknya yang menghantui. Hampir semua dari sebelas lagu di album ini adalah nyanyian suram dari romansa yang berujung tragis dan getir. Simak: “Brooklyn Baby” MELTING SUN LANTLÔS

57

Oleh : Arief Hidayat Adam Melting Sun setidaknya mengobati ketidak puasan atas Opale. Ethereal dan tidak membosankan. Membuat saya belum kehilangan antusiasme ketika mendengar post-black metal, blackgaze dan seterusnya. Simak: “Melting Sun II: Cherry Quartz” BLOOD MAKER WILD THRONE Hanya sebuah ep berisi tiga lagu. Tapi bah, trio ini menggabungkan Mastodon, The Mars Volta dan interpretasi mereka sendiri tentang musik yang enak: liar, tak tertebak, meledak-ledak namun melodik di saat bersamaan. Mengingatkan pada, ah hey, Wild Throne adalah The Fall of Troy yang baru! Simak: “Shadow Deserts”

Teman baruku ini unik, jelas dia seorang wanita mandiri, sering kali dia kejar beberapa acara di Jawa-Sumatera PP sendirian saja, eh berdua tampaknya, dengan teman imajinya yang lebih mirip Conan, karakter komik kesukaannya. Dia die-hard fan komik Detective Conan, sampai nama main emailnya saja berbau Conan, entah kelak kalau punya anak dia akan namai Conan, barangkali.

DAYS OF THE FALLEN SUN JUNIUS Art Rock. Progressive Rock. Metalgaze. Whatever. Sedikit mengingatkan pada rilisan-rilisan terakhir Killing Joke, dan terus bergema di kepala. Simak: “The Time of Perfect Virtue” A FAR AWAY WONDER WITH OUR ARMS TO THE SUN Lagi, post-rock berbahaya memadukan Isis, Tool dan gurun. Eklektik. Rilisan terbaik 2014 menurut Masboi. Simak: “Tesselation” RILISAN-RILISAN LOKAL YANG DISIMAK Nazar Palagan – Taring, Fateh Collabo E.P – Morgue Vanguard x Still, Genderang Bencana – Gerram, Footsteps – Vague, Rrradarrr – C.U.T.S., Black Teeth – Black Teeth, Thunder – Gribs, Ever Stop – Waterbroke, Telisik – Danilla, Tentang Rumahku – Dialog Dini Hari, Disko – Cinta Ramlan, Menggugat – Cupumanik, Disrespect – Devadata, Crime of the Century – Critical Defacement, No Fans Just Friends – Fraud, Teror dari Belantara – Kapital, Brave – Billfold, Renjana – Rabu, Redemption – Revenge the Fate

Edisi Sembilan

TUCZINE

58

Edisi Sembilan


Kalau saja dia berpindah profesi menjadi detektif seperti karakter favoritnya sekarang ini, besar kemungkinannya dia akan menjadi detektif handal. Dia itu pintar menyamar! Betul, pintar sekali menyamar, sekarang lihat saja sosoknya, berhijab mungil tengil, melompat kesana kemari, senyum sana senyum sini, bagaimana kita bisa menyangka dia penyuka musik2 hingar bingar? Simak pernyataannya berikut ini ketika saya bertanya, “Ayu, bagaimana kisahnya sehingga selera musik kamu bisa ‘tercerahkan’?” “Dimulai dari awal dulu ya, sekitar 1994 - 1995 ketika saya kelas 1 SD. Papa, sang pecinta kopi, rokok, juga ndangdut tentunya, dan mama, perempuan super keren yang sering begadang nonton bola dan kesengsem sama brondong bernama Valentino Rossi, sering muterin lagulagu rock kayak Scorpion, Rolling Stones, Gun N Roses, dan entah apa lagi namanya. Meski ga ngerti ini om–om pada nyanyi pake bahasa planet mana, mau ga mau saya ikut dengerin juga sambil maen ayunan sepulang sekolah. Kemudian pas SMA, satu asrama sama temen cewek yang suka ke kamar sambil dengerin punk. Fauziah, sang hijaber penikmat SID dan Paku Payung ini, juga sering kasih denger Avril Lavigne, Green Day, Good Charlotte, Sum 41, The Rasmus, dan Creed miliknya. Terima kasih untuk pinjaman kaset dan walkmannya hehehe. Masih lengkap koleksi The S.I.G.I.T sama Morfem mu Foo ? Oh iya, jaman ini pula saya memberanikan diri muter album Three Cheers for Sweet Revenge nya MCR di rumah. Mama langsung ngomong, “Apa-apaan ini ? Mending Westlife aja ! Brian lebih ganteng !” Wahahaha... tapi masih dan akan selalu masih lebih ganteng Frank Iero sih, Ma, haha. Sayang sekali, kasetnya dihilangin temen, dan dia ga mau ganti. Bungcuuud ! Masuk kuliah, lebih banyak referensi dan intervensi, jadi kayak omnivora, apa – apa dilahap, apalagi beberapa temen deket ikut SUCX (STAN Underground Community). Partisi audio di laptop mulai berisi alunan metal, hardcore punk, post-hardcore, apa lagi, ya.... Selepas kuliah, dan

TUCZINE

lebih khususnya karena seseorang, hampir tiap hari dihidangkan thrash, power violence, postrock, crossover, tak lupa grindcore dan porn gore juga. Selagi telinga masih menerima, saya berbahagia! Ok setelahnya kemudian saya tahu bahwa dia adalah salah satu (mantan) admin dari akun pembahas konspirasi dan turunannya yang sudah cukup mempunyai nama di TL Indonesia, haha absurd, ketika kau membuat obrolan dengan wanita ini, pembahasannya jadi bermacam, dari isme2 ganjil, outer space, lalu kembali ke bumi dan membicarakan Conan (lagi), tapi tunggu walaupun mempunyai gejala anomali, kewarasan wanita ini masih terpelihara kok, contohnya berikut ketika ditanya Ayu, apa lagu kesayanganmu? Aaah.. lagu kesayangan, ya. Kalo sampe sekarang, ini dia : 1. Keane - Somewhere Only We Know Hampir pasti masuk daftar wajib kalo karaoke. Entahlah, sepertinya sudah jadi semacam soundtrack kalo lagi lost direction about what to do and what I really want. Kadang secara ajaib muncul sendiri dalam kepala; sampe sayanya capek sendiri, sampe sayanya laper sendiri, sampe sayanya ketiduran sendiri hehehe 2. The Fray - Never Say Never Untuk teman – teman tersayang 3. Avril Lavigne - Slipped Away Rasa kehilangan akan sesuatu atau seseorang akan semakin mempertegas pentingnya keberadaan mereka dalam hidup kita, ya kan ? Meski ini bukan kehilangan pertama, tapi sejauh ini mer-

59

resensi

SLIPKNOT .5: THE GRAY CHAPTER Oleh : Nevi Earth

S upakan kehilangan yang paling besar. “Waktu adalah kasus tipikal yang membuat kenangan menjadi indah” - Ai Haibara Hampir tiga tahun lalu, selama tujuh jam di perjalanan pulang dari Lampung ke Sumsel, satu-satunya pengiring cuma ratapan mbak Avril ini saja, ditemani aliran air mata yang bikin bingung pak supir yang sedang bekerja. Sorry, sir, I was very emotional back then. Love you, Grandma. Always is and always will be. John Titor kelak akan bangga pada wanita ini, karena salah satu poin ”pesan kewaspadaan” untuk menghadapi masa depan sengkarut-nya telah dipraktekan dengan baik oleh wanita ini, yaitu : perbanyaklah teman dalam radius tak terhingga. Maka berteman baiklah dengannya Mari sudahi basa basi bangsat ini. If life gives you lemon, just make a grape juice and let other people wonder how the hell you do it. Uwiw ! - @ayuprimaaksari

Edisi Sembilan

lipknot, para pemakai topeng, para ‘devils’ telah kembali setelah 6 tahun sejak album terakhirnya All Hope is Gone (2008). Debut album kelima dari The 9 atau The Knot ini adalah bentuk penghargaan kepada Paul Gray yang meninggal akibat overdosis tahun 2010. .5: The Gray Chapter, album yang dikatakan oleh sang vokalis ‘Taylor’ sebagai album yang penuh dengan ‘Gorgeous Melodies and Brutality’. Banyak cinta di album kelima ini, yang mungkin akan membuat beberapa fans kecewa karena harapan brutallity-nya yang lebih besar. Tetapi gorgeous melody yang ditawarkan oleh Taylor sungguh telah membuatku jatuh hati. Slikpnot yang dikenal sebagai attention-grabbing image, musik yang agresif dan enerjik bahkan saat live shows nya cenderung chaos, tetapi di 14 track dari album ini beberapa berisikan cinta. Putar saja Killpop, If Rain Is What You Want, dan Goodbye, walaupun melow tapi jangan dibayangkan seperti lagu-lagu galau picisan, ditengah-tengah lagu atau di akhir lagu nuansa metalnya bahkan growlnya masih ada. Penggemar metal seharusnya tak perlu terlalu kecewa. Bukankah slipknot tetap harus punya cinta? Selain ketiga lagu tersebut, semuanya masih bernuansa gelap, walopun tak segelap album-album lama mereka yang bahkan tak akan kudengarkan kala sendiri malam-malam. Dimulai track pertama ‘XIX’ yang lembut, tetapi kita seketika akan akan terjebak di track kedua ‘Sarcatrophe’ karena melody awalnya yang syahdu dan langsung berganti menjadi

TUCZINE

nada-nada cepat setelah scream awal. Disusul ‘AOV’ yang akan memuaskan fans Slipknot yang berharap brutality, meskipun nada-nada dan lirik yang cepat berpadu padan dengan nuansa melow di tengah lagu. ‘Killpop’ merupakan lagu cinta yang sesungguhnya, die and fucking love me. Lebih asik daripada lagu-lagu cinta picisan di pasaran. Vocal taylor yang berkesan lebih romantic and melodic, dikombinasikan dengan vocal Clown yang ‘deeper’. Disusul kemudian lagu ’Skeptic’ yang akan mengembalikan ingatan kalian akan The Knot, untuk kembali ke headbang dengan lirik cepat dan dentuman musiknya. Jangan berhenti ke track berikutnya : ‘Lech’ dan kemudian beristirahatlah di ‘Goodbye’.

masih dengan imbuhan growl, yang disambung dengan track selanjutnya, ‘The One That Kills The Least’, ‘Custer’, ‘Be Prepared for Hell’, dan lagu yang keren : ‘The Negative One’. Penutup cinta yang manis akan kita temui di akhir track : ‘If Rain Is What You Want’ . Lirik yang begitu mempesona, nada yang syahdu. Siapa sangka kalau mereka adalah para ‘devils’ dengan semua kontroversi mereka. Dari semua track yang ditawarkan The Gray Chapter, mungkin bisa diambil kesimpulan bahwa debut album Slipknot kali ini seperti ‘their loss their anger’. Dan ternyata tak semua kemarahan harus diungkapkan, ketika para ‘devils’ sedang jatuh cinta. Lagu cinta yang pas buat telinga saya yang sedang jatuh cinta ditahun ini. Enjoy Slipknot… Enjoy the fall.

Saat mendengarkan ‘Nomadic’, nada cepatnya berbalur antara musik dan vocal yang melodic, walaupun

60

Edisi Sembilan


resensi album

resensi album Pale Communion ini asyik utk didengar, tapi saya msh tetap merindukan suara growl Akerfeldt.

OPETH PALE COMMUNICATION Oleh : Aji Rebel Begitu mendengar track pertama (Eternal Rains Will Come) dari album studio ke 11 Opeth ini ada rasa baru yang saya rasakan… kesan art rock era-era genesis (masa Peter Gabriel), Yes atau Pink Floyd terasa begitu kental, coba perhatikan sound hammond organ di lagu tersebut, terutama di part intro sekilas seperti part intro In The Cage-nya Genesis, ini mungkin karena masuknya Joakim Svalberg jadi pengganti Per Wiberg di keyboards. Track kedua Cusp Of Eternity dipilih jadi single pertama yang dirilis sebelum rilis resmi album ini, di track ini Opeth kembali ke pakem sound lama mereka. Moon Above, Sun Below ini track dengan durasi terpanjang di album ini, hampir 11 menit, kepiawaian opeth mengolah ritme di lagu ini menjadikan lagu ini tidak terasa melelahkan dan membosankan. Track ke empat Elysion Woes…No Comment…tipikal lagu opeth versi akustik. Goblin judul track ke lima ini diambil dari nama band progresive rock italia GOBLIN karena, dan hasilnya memang benar2 membawa kita ke masa masa kejayaan band band art rock, progressive rock 1960an – 1970an. Track ke 6 River….track ini cukup unik,,,track ini seperti percampuran antara Opeth era Per Wiberg dengan Opeth Era Joakim Svalberg. Voice Of Treason jd pengisi track ke 7, lagu penuh gegap gempita ala soundtrack film film james bond diselingi petikan2 gitar bernuansa timur tengah. Faith In Others jadi track terakhir…no comment. Secara

TUCZINE

keseluruhan

album

THE BLACK KEYS TURN BLUE Oleh : Maraha Sufitra

8,5 10

J

ack White, pria paling berdedikasi dalam pembaruan ranah blues di era modern. Terlebih selepas ia menanggalkan jubah kebesarannya bersama The White Stripes, duo rock yang dibesarkan bersama Meg White, yang kini menjadi mantan partner dalam grup dan rumah tangganya. “Blunderbuss” yang brilian dan minimalis banyak dipuja sekitar 3 tahun silam. Kemampuan untuk lepas dari bayangbayang hits “Seven Nation Army” adalah sisi baik dari Jack White. Ia kembali menghantam dunia dengan pukulan bertenaga di album terbarunya, “Lazaretto”. Sebutan “Lazaretto”, yang berarti rumah pengidap lepra dalam bahasa Italia, sekaligus menjadi titel hits utama di album ini. Mengambil kompleksitas bunyi gitar ala Tom Morello di beberapa bagian solo, memukau. Sangat memukau dengan aksen rap dalam tuturan lirik.

JACK WHITE LAZARETTO

ARMY OF THE PHARAOHS IN DEATH REBORN & HEAVY LIES THE CROWN

Oleh : Didik Yandiawan

Oleh : Ajar Redindra islami

ulan karya pendek White dalam bentuk tulisan. Potongan puisi, cerita pendek, dan tulisan lain yang digubahnya kala White berusia 19 tahun. Kemurnian album ini justru lahir dari tabrakan inspirasi yang dicomot dari bebunyian The Velvet Underground hingga The Rolling Stones. Jack White ada dalam kapasitas mempertemukan akar blues modern yang disandangnya dan meraciknya dengan intuisinya yang di luar akal sehat. Sangat detail di beberapa lagu, namun terkadang diselingi track yang raw, simpel, dan bersahaja. Sisi lain dari rilisan “Lazaretto” adalah rekaman fisik dalam bentuk ultra-vinyl. Obsesi futuristik White yang telah diwujudkannya sejak era “Blunderbuss” melalui rilisan vinyl terbatas yang berbeda dengan versi reguler. Rasanya tak perlu berlama-lama untuk memutuskan bahwa Jack White adalah bagian dari kelompok jenius di ranah music rock era 2000-an.

Detail lirik merupakan kump-

61

Edisi Sembilan

Bagi yang sudah lama menikmati hip hop mungkin akan familiar dengan lagu-lagu yang dinyanyikan dengan model keroyokan ala Wu Tang Clan dengan berbagai kekacauan yang terjadi di dalamnya karena beragamnya karakteristik MC yang terlibat. Saya sendiri menyukai karya hip hop semacam itu karena elemen kejutannya dan jauh dari kesan repetitif. Army Of The Pharaohs sendiri bukan pendatang baru di scene underground hip hop, mereka adalah supergrup bentukan Vinnie Paz yang terdiri dari belasan MC berbahaya yang berafiliasi dengan Jedi Mind Tricks, The Demigodz, dan Outterspace. Bulan April lalu mereka merilis album keempat mereka In Death Reborn setelah sempat vakum sejak 2010 karena kesibukan solo karir dan grup utama masing-masing, yang secara mengejutkan enam bulan kemudian langsung dilanjutkan dengan album kelima Heavy Lies The Crown, tidak ada tema ataupun pesan spesifik dari masingmasing album ini karena pada dasarnya mereka memainkan

TUCZINE

hip hop dalam bentuknya yang paling mentah di kedua album, beat- beat boombox gelap mengiringi para MC ini saling bantai dengan gaya ngerap masingmasing di setiap lagu, dengan lirik agresif bereferensi mulai dari film Star Wars, politik, hingga ajaran agama. Vinnie Paz, Esoteric, Apathy, King Syze, dan Celph Titled sebagai para dedengkot grup ini memang cenderung mendominasi, tetapi penampilan parsial Reef The Lost Cause, Planetary, Crypt The Warchild, Blacastan, Block McCloud, Demoz, Des Devious, Doap Nixon, King Magnetic dan V-Zilla dengan gaya khas mereka masing- masing tetap tidak dapat diabaikan, perbedaan tipis dari kedua album mungkin adalah warna yang sedikit lebih beragam di In Death Reborn karena menang tiap track disini dikerjakan dengan produser yang berbeda-beda. Overall, kedua album adalah album hip hop yang intense, chaos, dan brutal.

62

Duo ini sangat ketagihan dengan sentuhan Danger Mouse di album mereka. Sejak bekerjasama dengan Mouse di Attack & Released (2008), The Black Keys sekarang menjadi band rock paling besar di Amerika Serikat. Itu belum termasuk kesuksesan meraih beberapa Grammy di album Brothers (2010) dan El Camino (2011). Sepertinya masalah pribadi yang menimpa Dan Aurbech (vokalis-gitaris), membuat pengerjaan Turn Blue menjadi lebih lama dan liriknya terdengar lebih pribadi. Namun, menan tak bisa disangkal lirik bukanlah kekuatan utama dari The Black Keys. Masalah pribadi tersebut membuat Turn Blue menjadi lebih sensitif terhadap cinta. Tapi abaikan hal tersebut, maka Turn Blue adalah salah satu album terbaik mereka. Danger Mouse (yang menjadi additional player di beberapa track) tak pelak membuat album ini terpoles lebih rapi. Dibuka dengan track Weight of Love yang berdurasi hampir tujuh menit, mereka kembali terdengar seperti awal karir mereka, heavy blues, tapi terdengar lebih ‘clean’. Beberapa track yang lain terdengar lebih bervariasi tetapi terdengar tetap menyatu dengan track lainnya. Yang agak aneh adalah track penutup mereka, Gotta Get Away, lagu rock yang terdengar sangat “lurus” dan berbeda dengan lagu lain-

Edisi Sembilan


resensi album

resensi album

nya.. Dengan Turn Blue, The Black Keys menegaskan bahwa mereka masihlah band rock terbesar saat ini!

U2 SONGS OF INNOCENCE Oleh : Bangpay

Saya penggemar U2 sejak SMA. Seperti judul album yang dipilih; Songs of Innocence, (yang diambil dari penyair Inggris; William Blake) album ini adalah semacam usaha penemuan kembali atau re-discovery bahwa album ini dibuat dengan atmosfer semirip mungkin dengan yang mereka alami di masa-masa awal berkarir di dunia musik. Dan sekali lagi menegaskan bahwa U2 ingin kembali ‘menjadi’ U2. Setidaknya U2 di masa awal menjadi gemilang. Dan ini Songs of Innocence, track by track: 1. The Miracle (of Joey Ramone) Lagu ini didedikasikan untuk Joey, dan (tentu saja) cocok dipakai untuk jingle iklan Apple, minimal intro-nya. Intro berupa choir “Ooooh oh ooooh Ooooooh!” jelas didesain untuk menggerakkan penonton saat manggung. Ingat, U2 membuat lagu untuk ditampilkan di panggung. Penggalan lirik “And we were pilgrims on our way” jelas menceritakan usaha U2 untuk kembali ke akar mereka. Post-punk. Tapi entah kenapa lagu ini justru terdengar seperti glam-rock setengah matang. 2. Every Breaking Wave Lagu ini diawali dengan penuh kelembutan lalu ditabrakkan dengan chorus yang

TUCZINE

MISERY INDEX THE KILLING INDEX Oleh : Abdul Rab Rasul Sayyaf Album kelima sejak Retaliate, dan berjarak empat tahun dari Heirs to Thievery, Misery Index masih saja punya sesuatu yang ‘baru’ untuk ditawarkan. Well, grindcore yang berkelindan erat sekali dengan death metal –atau sebaliknya- tidaklah mempunyai banyak bagian tak tertebak dan mudah saja menjadi membosankan, maka mendirikan band dari pecahan band yang sudah menjadi legenda dengan basis musik yang tidak jauh berbeda dan terus bertahan sampai album kelima, yang semuanya solid, dan tetap mendapat tempat di hati, adalah hebat. Sampai dengan 2010, saya menganggap Traitors adalah album terbaik mereka. Ini kemudian saya ralat setelah Heirs to Thievery rilis. Sama halnya dengan The Killing Gods sekarang, ini bahkan lebih baik dari Heirs to Thievery. Ketika sampai pada

megah dan penuh hingar, ya ini racikan standar U2 di beberapa album terakhir mereka. Dan tak cuman U2 yang mengalami ini, tengoklah Linkin Park. Dan membahas hidup dengan analogi air laut ini lumayan, liriknya tak terlalu sulit untuk dipahami. 3. California (There Is No End

63

saat saya beranggapan mereka menjelang habis, sekali lagi Jason Netherton dan kawankawan menampar dengan rilisan solid berikutnya. Mereka belum berhenti membuat album yang lebih bagus dari sebelumnya. The Killing Gods secara umum masih menggunakan formulasi yang sama dengan album-album sebelumnya, hanya saja kali ini mereka lebih banyak memasukkan unsur hardcore punk dan beberapa sisipan solo guitar ala technical death metal begitu. Dengan tambahan-tambahan itu, album yang dari awal sudah cepat dan bergelora ini menjadi kian enak diikuti dengan part-part grovy dan breakdown yang nyaman buat headbanging dan jumpalitan. Salah satu rekaman cadas terbaik tahun ini.

SPOON THEY WANT MY SOUL Oleh : Maraha Sufitra Sepertinya kesuksesan album Transference (2010), dimana terjual 53.000 kopi album di minggu pertamanya – cukup besar untuk ukuran band Indie – membuat pengerjaan They Want My Soul menjadi lama. Kesuksesan tersebut sepertinya tidak memabukkan mereka akan ketenaran. Sebaliknya mereka ingin membuat album selanjutnya lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan menggaet produser Dave Fridmann (The Flaming Lips, MGMT) dan Joe Chiccarelli (Morrissey, The Strokes) – pertama kalinya mereka bekerja dengan produser luar.

Favourite tracks: semua 12 lagu di album ini, terutama “Gallows Humor”.

Spoon terlahir 20 tahun yang lalu – beberapa saat setelah Kurt Cobain bunuh diri, akan tetapi mereka baru mendapat respek (dan penggemar yang lebih banyak tentunya) di awal abad 21. Musik yang minimalis telah menjadi ciri khas mereka sejak

To Love) Lagu ini tentang….California lah! Yang memorable di lagu ini adalah choir di awalnya dan “whoa-oh-ohs” di tengah lagu. 4. Song For Someone Nampaknya lagu ini dirancang untuk dimainkan di pertengahan konser di sta-

dium dan menjadi semacam anthem. Pas bikin album mungkin salah satu anggota band berujar: “Anthemi wae!!”. Tentang cinta dan perjuangan mempertahankannya. 5. Iris (Hold Me Close) Dan Bono melulis lagu tentang ibunya. Sound gitar The

Edisi Sembilan

TUCZINE

berdiri. They Want My Soul tetap memperlihatkan musik mereka yang minimalis – tidak ada distorsi yang berlebihan, ataupun gebukan drum yang menderu – terdengar tidak membosankan. Album ini seperti sekuel album Ga Ga Ga Ga Ga (2007) tidak seperti Transference yang lebih jauh minimalis. Lirik mereka seperti biasa, bukan sajak atau puisi berima. Tentang cinta, tanpa terdengar datar (Inside Out), tentang menjadi diri pribadi (Let Me Be Mine) ataupun berbagai hal di sekitar yang ingin menggerogoti jiwa (They Want My Soul). Kecuali Do You, lagu lainnya tidak memiliki hook-hook yang membuat isi lagu langsung tertancap di kepala Dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk dapat menikmati album ini.

Edge mengingatkan saya pada lagu “I Still Haven’t Found What I’m Looking For”, semacam replika yang cantik. Dan ini adalah lagu favorit saya. 6. Volcano Betotan bass Adam Clayton pada track ini jelas semacam usaha mengajak pendengar

64

untuk kembali ke era post punk a la U2, dan sayangnya dengan riff-riff yang dibuat The Edge, lagu ini gagal menunjukkan erupsi-gunungberapi sempurnanya. 7. Raised By Wolves Bukan Bono namanya kalau dia tak berusaha ndongeng soal Irlandia terutama soal gejolak politik masa lalu. Lagu yang berbasis kejadian tahun 1974 ini, masih jauh jika dibanding dengan Sunday Bloody Sunday. Tapi liriknya tersusun rapi jali. Cedarwood Road Selain soal ibu, Bono mengajak kita membahas tempat masa kecilnya. Rupanya, Bono belum berhasil menemukan tempat dimana jalanjalannya tak bernama. 8. Sleep Like A Baby Tonight Tumpukan suara synthesizers, strings dan tepukan lembut Larry Mullen Jr., yang kemudian dihajar suara gitar rusak The Edge. Mungkin sedang mencoba membuat Lou Reed bangga dari alam baka. 9. This Is Where You Can Reach Me Now Pemberontakan remaja dan The Clash, itu inti lagu ini. Sebuah tribute untuk Joe Strummer. Dan Adam Clayton berusaha ngebass kayak Paul Simonon. 10. The Troubles Lagu manis yang cukup megah, dan dipermanis oleh suara cewek (akhirnya) dari Lykke Li. Dan meninggalkan kesan nanggung ditaruh di ujung album. Bagi penggemar U2, terutama The Edge, tentu tahu gitaris band ini sangat serius dalam nentuin urutan lagu dalam sebuah album. Tapi, harap dimengerti review di atas adalah hasil mendengarkan sebelas lagu dalam satu album semalam suntuk. Mungkin 3 atau 4 kali. Album ini layak didengarkan lebih lama. Suka atau tidak, tetap saja U2, band terbesar di planet ini. Dan siapa tahu album Songs of Innocence ini adalah menu pembuka untuk “Songs of Experience” yang selalu dijanjikan Bono. Semoga.

Edisi Sembilan


resensi album

RANCID ..HONOR IS ALL WE KNOW

resensi film Saya bosan membaca kritikus musik yang menurut mereka punk seharusnya dibekukan saja pada UK youth revolution 76/77, dan bahwa punk-rock itu bukan punk yang sebenarnya. Biarkan mereka (Rancid) bernostalgia, biarkan Sex Pistols, The Clash or The Damned dengan musik mereka. Honor Is All We Know adalah album three chords keren yang nggak bakal ngebosenin didengerin sepanjang tahun. Welcome back where you belong fellas!..

Oleh : Annas Haratakan Ketika personil band sudah memiliki nama besar sendiri, fans mungkin merasa “Oh, Rancid udah lama gak ada, Indestructible mungkin album terakhir mereka yang lumayan, not so good but not that bad too. Bagaimana dengan album Let The Domioes Fall? Ah sudahlah, berasa album selingan, sedikit membosankan.” Ada benarnya ketika melihat ketiga personil utama mereka punya side project masing-masing dan menjadi frontman band baru mereka. Lars dengan Lars Frederiksen & The Bastard, Matt Freeman dengan Devil’s Brigade, dan tentu saja Tim yang punya segudang project dengan The Transplants, Tim Timebomb atau kesibukannya sebagai penulis lagu serta produser untuk Pink dan Gwen Stefani. Jadi apalagi yang mereka cari? Mungkin mereka sudah bosan. Ha! Honor Is All We Know adalah sebuah kejutan, kalau boleh dibilang kejutan yang menyenangkan, a full-blooded, wholehearted return dari sebuah band yang begitu mengakar dan berpengaruh di scene punk. Ada momen-momen keren di album ini. Mungkin bukan seperti album yang bagi penggemar fanatik Rancid inginkan, tapi bukan itu poinnya, 14 lagu di dalam album ini ada cerita tentang loyalitas, brotherhood, protes dan kebanggaan. Ada suara vokal rame-rame (gang vocals) dan pastinya chants Oi! Oi! Oi! juga penuh dengan energi dari aki-aki paruh baya sudah matang yang sudah lebih dari 4 dekade berambut spike, haha yah maklum mereka bukan anak muda lagi.

TUCZINE

OONDOX ABADDON

Oleh : Ajar Redindra Islami Album horrorcore yang saya tunggu tahun ini, masing- masing dari Boondox dan Dark Lotus, yang sayang sekali ternyata album “The Mud, Water, Air and Blood”-nya horrorcore supergroup Dark Lotus benar-benar mengecewakan hingga saya sendiri harap album itu hanya imajinasi saya saja, tidak pernah benar- benar ada. Tapi setidaknya tahun ini ada “Abaddon” dari Boondox yang cukup lumayan sehingga setidaknya tahun ini tidak benar- benar kering dari rilisan horrorcore bagus, sekaligus menandai kemunculan kembalinya dia dari hiatus sejak 2010. The Scarecrow is back, setelah 4 tahun akhirnya rapper dari daerah selatan amerika serikat ini kembali dengan logat redneck, dan keahliannya dalam bermain di garis pembatas antara country, hip hop, dan horror. Secara materi, lirik, dan pemilihan beat tiap lagu album keempatnya ini jauh lebih bagus dibanding album ketiganya kemarin “South of Hell” yang memang menurut saya terlalu hingar bingar untuk ukuran album

65

horrorcore karena terlalu menonjolkan sisi dirty south-nya. Suasana kengerian tergambarkan dengan baik di beberapa track seperti “Abaddon”, “Prophet”, “Monster”, dan “Black Eyed Kids”, yang pastinya jadi track- track favorit saya di album ini, beginilah seharusnya horrorcore, lagu- lagu hip hop yang lebih cocok didengarkan dengan menggunakan headset di dalam kamar dengan pencahayaan redup daripada diputar dengan sound system mahal yang dipasang di mobil mewah, beberapa track lainnya tidak terlalu buruk meskipun saya menganggap seharusnya dia tidak memasukkan lagu- lagu seperti “My Night” dan “Pillin’ Spree”ke dalam album ini yang menurut saya tampak seperti usaha untuk bisa diterima di audience hip hop yang lebih mainstream, yah... mungkin beberapa orang di belakang meja Psychopathic Records yang menyuruhnya melakukan itu, orangorang yang sama yang membuat album Dark Lotus kemarin gagal total.

INSOMNIUM SHADOWS OF THE DYING SUN

Oleh : Abdul Rab Rasul Sayyaf Entah, saya yang baru mendengarkan Insomnium, atau sejak dulu melodic death metal memang seenak ini. Album keenam veteran asal Finlandia ini mau tidak mau memaksa saya menambah referensi tentang subgenre satu ini, yang sebelumnya berakhir sampai In Flames atau At the Gates. Dalam prosesnya kemudian, saya lalu menemukan bahwa melodeath tidaklah semembosankan apa yang pernah saya

Edisi Sembilan

bayangkan. Dia, kali ini dalam wujud “Shadows of the Dying Sun”, adalah harmoni sangat serasi antara kecepatan, melodi, kecadasan, dan banyak lagi istilah lain yang sudah sangat sering digunakan untuk menggambarkan album yang keren. Penantang kuat rilisan terbaik 2014 menurut Masboi.

TV ON THE RADIO SEEDS Oleh : Maraha Sufitra

Band Indie Art-Rock ini kembali dengan merilis album penuh kelima mereka setelah 3 tahun absen karena sang bassist, Gerrard Smith akibat kanker paru-paru. Dan benar saja kalau album ini menggambarkan kesedihan mereka kehilangan sang sahabat. Dibuka dengan “Quartz” yang bertempo sedang, Tunde Adibimpe, seperti sedang menangis saat menyanyikan, “How much do I love you?/How hard must we try?”. Dilanjutkan dengan “Careful You” yang bertempo lambat. Baru pada pertengahan album, terdengar lirik-lirik yang penuh semangat dan optimis. Pada lagu “Ride” mereka bernyanyi, “Crying in confusion. There’s one sure solution. Leave it behind, it’s time to ride.”. Bahkan pada “Troubles” mereka mengulangi kalimat “Everything’s gonna be okay. Oh, I keep telling myself, “Don’t worry, be happy”Album ini ditutup dengan lagu “Seeds” yang menggambarkan optimisme mereka di tengah kesedihan, “Rain comes down like it always does. This time I’ve got seeds on ground.” Secara keseluruhan, sounds di album ini tidak berbeda dengan beberapa album mereka sebelumnya, dan itu tidaklah buruk.

TUCZINE

INSIDE LLEWYN DAVIS COEN BERSAUDARA Oleh : Maraha Sufitra Sejujurnya saya bukanlah fans berat dari Coen bersaudara. Banyak filmnya yang menurut saya biasa saja. Mungkin juga karena saya yang kurang memahami “kedalaman” atau pesan yang ada di film-film mereka. Entahlah. Tapi Inside Llewyn Davis yang mengangkat kisah penyanyi folk fiksi, Llewyn, di era tahun 60-an menarik perhatian saya. Apalagi dikisahkan karir Llewyn paralel dengan Bob Dylan, sang folk rocker legendaris. Oscar Isaac yang memerankan Llewyn tampil sangat meyakinkan. Baik saat tampil sebagai

66

penyanyi berbakat, bajingan yang menghamili istri temannya sendiri, maupun sebagai manusia yang tidak tahu diuntung saat menghardik orang yang memberi dia tumpangan tempat tidur. Film ini sendiri menyajikan penampilan Llewyn saat pentas di klub, dan perjalanannya ke Chicago agar albumnya dapat dirilis oleh studio. Ceritanya sendiri cukup mengalir, tanpa plot ataupun twist. Gampang dicerna dan cukup enak dinikmati. Tak pelak, album soundtrack adalah bagian yang saya suka. Diproduseri oleh T Bone Burnet, yang terkenal sebagai produser album-album country dan folk. Lagu-lagu folk yang ada mempresentasikan settingan film tersebut di tahun 60-an. Kecu-

Edisi Sembilan


resensi film ali lagu Farewell-nya Bob Dylan dan Green, Green Rocky Roadnya Dave Van Ronk, semua lagu merupakan rekaman modern. Oscar Isaac sendiri menyanyikan beberapa lagu seperti Fare The Well dan Hang Me, Oh Hang Me. Justin Timberlake dan Marcus Mumford turut menyumbangkan suara mereka.

BEGIN AGAIN GREGG ALEXANDER Oleh : Nico Prayoga Tidak pernah mudah membuat sesuatu yang lebih hebat dari yang pernah kamu buat dulu. Ya, film Once adalah pencapaian terbaik seorang sutradara John Carney yang mungkin belum bisa ditandingi Begin Again. Tetapi bukan berarti karya terbaru Carney satu satu ini bisa kamu remehkan begitu saja. Begin Again punya pesona dan kekuatannya sendiri. Memanfaatkan kekuatan chemistry bercita rasa Amerika-Inggris; Ruffalo dan Knightley dengan maksimal. Carney tahu benar bagaimana mengolah narasi cintanya agar tidak sampai jatuh ke jurang yang corny. Seperti Once, Carney masih berusaha menghindari segala rayuan gombal dari dialog-dialognya, menolak paksaan berciuman yang klise, menjadikan Begin Again sebagai sebuah romansa di mana dua di dalamnya terasa ‘jual mahal’. Tetapi memang disitu letak keisitimewaan naskah Carney yang mencoba mengalirkan

TUCZINE

resensi film semuanya termasuk dialog-dialognya dengan lancar, meminimalisir ke-cheesy-an, membiarkan karakternya melebur dalam passion mereka tentang musik yang secara tidak langsung juga sudah sedikit demi sedikit meyembuhkan luka dari masa lalu mereka. Tentu saja masih ada percikan cinta meskipun tidak gamblang Adegan berdansa menyusuri landmark-landmark New York yang gemerlap di malam hari, mendengarkan deretan lagu dari playlist klasik Greta yang menyenangkan itu adalah momen paling romantis di sini seakan sedikit melupakan bahwa keduanya masih punya konflik pribadi masing-masing; Greta dengan Dave, sementara Dan berusaha menjadi ayah yang baik buat putri semata wayangnya, Violet (Hailee Steinfeld) hasil pernikahannya dengan mantan istrinya, Miriam (Catherine Keener) Berbicara soal musik, Once sudah membuktikan kualitas Carney dalam meramu sebuah drama dengan basis musik sebagai ‘punch line-nya’, Tidak terkecuali di Begin Again musik adalah bagian yang tidak bisa kamu pisahkan, seperi nafas dari film itu sendiri yang sama penting dengan narasinya. Carney mempercayakan setiap tracknya kepada frontman New Radical, Gregg Alexander bersama Cessyl Orchestra-nya yang juga melibatkan banyak nama-nama besar dari industri musik untuk menggarap soundtrack-nya macam produser dan penulis lagu Danielle Brisebois, Rick Nowles, Nick Southwood sampai aktormusiisim jebolan Once, Glen Hansard. Hasilnya? Begin Again punya musikalitas jempolan, meskipun harus diakui pesona “Lost Stars” yang menjadi tembang utamanya masih berada sedikit di bawah “Falling Slowly” yang dibawakan penuh emosi oleh Glen Hansard di Once. Tetapi sekali lagi meskipun banyak lagu-lagu yang didendangkan di sini secara langsung dari mulut Keira yang (ternyata lumayan) merdu atau dari pentolan grup band Maroon 5, Adam Lavine (yang tidak disangkasangka juga bisa bermain bagus) bukan berarti Begin Again

67

adalah murni drama musikal di mana para pemainnya mendadak bernyanyi dan menari di tengah-tengah dialog. Seperti Once juga, kesan yang dihadirkan terasa realistis dan jujur. Emosi hadir melalui setiap sorotan mata, bahasa tubuh dan dialog-dialog, melalui setiap pendekatan perlahan yang dibangun manis dan lembut oleh kedua karakter utamanya yang berusaha move-on dari masa lalu dan tentu saja dari setiap lagu yang dinyanyikan untuk menyembuhkan dan memulai segalanya lagi dari awal.

FRANK LENY ABRAHAMSON Oleh : Nico Prayoga Frank (2014) termasuk dalam genre film tentang band yang cukup unik bercerita tentang sebuah grupband fiktif beraliran avant-grade di pimpin oleh seorang Don diperankan Michael Fassbender sebagai Frontman yang memakai topeng kepala kertas palsu-nya Chris Sievey, pentolan grup musik The Freshies dari era 80 awal yang punya nama panggung Frank Sidebottom. Meskipun Frank menjadi fokus utamanya, tetapi ceritanya sendiri diambil dari sudut pandang Jon Burroughs, musisi/penulis lagu jadi-jadian yang hidupnya berubah ketika ia ditawarkan dari pegawai kantoran biasa kemudian menjadi seorang keyboardist pengganti The Soron yang kebetulan sedang tur ke kotanya. Jon

Edisi Sembilan

lalu diajak untuk berangkat ke pedesaan tenang di Irlandia guna membuat album. Di sini selama 11 bulan Jon meninggalkan kehidupan lamanya, berusaha keras mendapatkan tempat dalam grup band yang beranggotakan orang-orang aneh, dari sang manejer yang punya obsesi seks pada manekin, pemain themrin yang jutek yang juga tangan kanan dari frontman The Soron, Frank, seorang Frontman band musisi ‘jenius’ dengan kepala palsu besar yang konon tidak pernah dilepaskannya sejak ia berumur 16 tahun. Tanpa bisa memamerkan wajahnya di nyaris 90% durasinya, dedikasi Michael Fassbender dalam memerankan Frank yang punya pesona unik sekaligus rapuh patut diacungi jempol. Sejak awal penampakannya karakter Frank sudah mengundang penasaran. Frank jelas adalah misteri, sebuah anomali. Tentu saja kita sudah tahu persis siapa sebenarnya aktor yang berada di dalam kepala kertas itu, efeknya mungkin akan sedikit mengurangi rasa penasaran, yg dimana pada akhirnya kepala besar palsu tersebut di lepas juga di akhir film. Akan tetapi Frank sebenarnya bukan hanya drama tentang bagaimana menyibak siapa sebenarnya manusia dibalik topeng Frank Sidebottom, tetapi lebih ke dalam diri Frank itu sendiri yang diwakili melalui proses kreatifnya dalam menciptakan bunyi2an dan musikalitasnya yang aneh dan absurd di mana saking kuatnya pesona seorang Frank sebagai Frontman band, ia mampu memberi pengaruh besar kepada karakter-karakter lain untuk lalu memujanya. Frank itu jenius dengan caranya sendiri. Ia menciptakan sendiri musiknya dari bendabenda disekitarnya meskipun pada akhirnya kualitas musik yang dihasilkan mungkin akan terdengar tidak biasa, seperti sebuah lukisan abstrak yang lebih mudah untuk ditertawakan ketimbang dinikmati kecuali kamu memang sama gilanya dengan personil band The Soron. kondisi kejiwaan Frank yang diwakili Jon yang ambisus. Frank adalah produk ‘suci’ dan

TUCZINE

orisinil, terlahir dari dunianya sendiri yang ekslusif yang pada akhirnya tercemar oleh sesuatu bernama ‘popularitas’ yang disebar melalui dunia maya tanpa batas oleh Jon. Pertalian kuat para personil band Soron perlahan mulai rontok dengan tragis karena pengaruh dari luar, membuat setiap karakternya ‘goyang’ terutama Frank yang mendambakan seseorang di luar sana bisa menghargai karyanya. Komedi yang ditawarkan sama anehnya dengan kualitas musiknya yang konon semua alat music tersebut di mainkan secara live oleh semua personilnya. Tone cerianya sedikit demi sedikit bergeser menjadi lebih gelap menuju akhir dengan sebuah konklusi tentang krisis identitas yang tidak sepenuhnya dijawab tuntas. Beruntung scene akhir dengan iringan tembang “I Love You All” itu masih mampu menghadirkan sentuhan emosi yang cukup mengena. Frank : “You play C, F and G?”

dalam darahnya tidak ada darah pemusik, karena ayahnya hanya seorang guru. Maka ia berusaha keras berlatih sejak kecil bahwa dia mampu bermain drum dengan luar biasa. Di satu sisi lain, terdapat Terrence Fletcher yang merupakan konduktor terkenal di sekolah tersebut. Setelah menyeleksi, Terrence setuju memasukkan Andrew ke dalam bandnya sebagai drummer cadangan. Setelah itu terlihat sifat asli Fletcher yang sangat kasar, suka mengejek dan menghina para anak didiknya. Dia tidak segan untuk melempar benda yang ada di dekat dia apabila muridnya tidak bermain dengan tempo yang dia inginkan. Bahkan dia mengusir anak didiknya yang tidak mengetahui apakah suara alat musiknya fals atau tidak. Saat suatu perlombaan telah tiba, Andrew menghilangkan sheet music “Whiplash” drummer utama sehingga membuat drummer tersebut tidak bisa bermain. Namun, Andrew yang dapat mengingat lagu tersebut maju sebagai drummer utama dan membuat terkesan Fletcher. Kemudian dia dipromosikan menjadi drummer utama band tersebut. Namun hal tersebut rupanya tidak membuat Fletcher puas, karena dia membawa drummer baru lagi untuk bersaing. Bahkan dia menguji ketiga drummer berjam-jam sampai drummer salah satu dari mereka dapat bermain sesuai dengan tempo yang diinginkan.

WHIPLASH DAMIEN CHAZELLE Oleh : Maraha Sufitra Siapa sangka ini film kedua dari sang sutradara mendapat pujian luar biasa dimana-mana. Padahal umurnya masih 30 tahun, cukup sangat muda untuk ukuran film Hollywood.

Namun, tak pelak film ini berutang budi kepada J.K. Simmons yang tampil sangat luar biasa sebagai Fletcher. Tetapi, penampilan Milles Teller sebagai Andrew pun cukup bisa mengimbangi akting dari Simmons. Klimaksnya adalah di 20 menit terakhir film. Film yang sangat direkomendasikan karena tidak akan membuat kening berkerut karena tampil sangat sederhana. Namun hal itu pulalah yang mencuri perhatian kebanyakan orang.

Bercerita tentang Andrew Neiman, murid baru di sekolah musik terkenal di New York. Di

68

Edisi Sembilan


resensi film

resensi BUKU

FURY, THE IMITATION GAME, UNBROKEN, THE MONUMENTS MEN, DAN PERANG YANG TIDAK PERNAH SELESAI

K

enapa, dalam film, Perang Dunia Kedua tidak pernah berakhir? Sejak bermula pada 1939, berakhir pada 1945, sampai puluhan tahun kemudian, perang ini masih terus berlangsung lewat ribuan judul film yang telah dibuat. Dari yang blockbuster sampai yang entah-dari-mana. Dengan tujuannya sendiri-sendiri: propaganda, nostalgia, menolak lupa, pelurusan sejarah, pembelaan diri, tafsiran alternatif, dan banyak sekali tujuan lainnya, atau yang mungkin paling jujur bagi Hollywood: mencari keuntungan. Jadi kenapa? Entah. Bisa jadi karena salah satu dari tujuan-tujuan tadi, atau semuanya sekaligus. Yang pasti, bagi kami, orang-orang yang memiliki fetisisme tertentu terhadap sejarah Perang Dunia Kedua, film-film ini, meskipun kebanyakan membawa dramatisasi berlebihan dan tingkat akurasi sejarah yang harus diperdebatkan, setidaknya bisa mengisi ruang imajinasi akan visualisasi bagaimana ‘sebenarnya’ dulu perang itu berlangsung. Dan di 2014 lalu kami sekali lagi mengalami war-gasm. Selain 1998 dan 2006, salah satu tahun terbaik film-film Perang Dunia Kedua adalah tahun lalu. Beberapa film ‘kelas berat’ -oleh sineas-sineas ternama, aktor-aktor ternama, dan terutama mumpuni dalam hal kualitasdirilis secara simultan. Jika pada 1998 ada “Saving Private Ryan” yang meledak-ledak dan opening scene-nya menjadi visualisasi paling melekat di kepala tentang kengerian D-Day dan “The Thin Red Line” yang depresif tentang kegamangan pasukan Amerika Serikat di Guadalcanal, pada 2006 ada hantaman ganda sentimentil dari Clint Eastwood tentang palagan Pasifik dari dua sisi yang berperang lewat “Flags of Our Fathers” dan “Letters to Iwo Jima”, serta “Zwartboek” oleh Paul Verhoeven tentang

TUCZINE

Oleh : Erwin Rommlan gerakan bawah tanah Belanda, maka pada 2014 ada “The Monuments Men”, “Fury”, “The Imitation Game”, dan “Unbroken”. Sama seperti para pendahulunya yang berbunyi nyaring dalam acara-acara penghargaan, atau setidaknya mendapat pujian tinggi dan laris secara komersil, kecuali “The Monuments Men”, tiga film lainnya melakukan hal hampir serupa di award season dan box office sepanjang 20142015, meskipun memang belum ada yang menang Academy Awards selain “The Imitation Game” (Best Adapted Screenplay). Dari banyak sisi Perang Dunia Kedua selama enam tahun, keempat film ini mengambil sudut berceritanya sendiri-sendiri. Sementara “Fury” adalah hasil imajinasi orisinil sang sutradara, tiga film lainnya adalah hasil adaptasi buku yang ditulis berdasar kisah nyata. Dalam “Fury”, Brad Pitt (“Inglourious Basterds”) sekali lagi berperang ke Eropa, memimpin pasukan kecilnya, kali ini menggunakan tank dan tanpa logat aneh, menghajar para Nazi. Meskipun David Ayer mencoba serealistis mungkin dalam alurnya, “Fury” tetap masuk dalam kategori film-film heroik tipikal Hollywood: kami-memenangkan-perang-karena-kami-badass semisal “Saving Private Ryan”, “Where Eagles Dare”, atau “The Guns of Navarone”. Namun, dari segi teknis, visual, dan lainnya, “Fury” patut diacungi jempol. Depiksi pertempuran tank-nya, hal yang tidak sering dijumpai dalam film-film Perang Dunia Kedua lainnya, cukup akurat dan sangat nyata. Selain Brad Pitt, George Clooney (“The Thin Red Line”) dan Matt Damon (“Saving Private Ryan”) juga kembali bertempur di Perang Dunia Kedua. Keduanya, kali ini, terjun ke medan pertempuran lain yang tak kalah menentukan: menyelamatkan benda-benda seni dan bu-

69

daya Eropa yang bersejarah dan tak ternilai dari kehancuran, atau lebih bahaya, para Nazi pencuri. Kisah film ini diterjemahkan secara bebas dari buku “The Monuments Men: Allied Heroes, Nazi Thieves and the Greatest Treasure Hunt in History” oleh Robert M. Edsel dan Bret Witter. Pencurian benda-benda seni berharga oleh para petinggi Nazi dan usaha pencariannya oleh para penyelamat Sekutu adalah salah satu kisah menarik lainnya dari Perang Dunia Kedua. Dengan premis semenjanjikan itu, dan jajaran cast yang mumpuni, “The Monuments Men” nyatanya gagal baik secara kualitas maupun komersil. Meski dalam hal visual bagus, Clooney sebagai sutradara gagal menggali kedalaman cerita, menyusun alur dan memperkaya karakter yang menjadikan film ini sedikit membosankan, kehilangan fokus, kurang akurat dan akhirnya gampang dilupakan. Pasangan Brad Pitt, Angelina Jolie tak mau ketinggalan. Dalam penyutradaraan keduanya, ia membidik Pasifik dan mengangkat kisah luar biasa Louie Zamperini, atlit Amerika Serikat, dalam kamp tahanan Jepang. Dengan dukungan tim yang hebat di belakangnya (di antaranya Coen bersaudara di bagian skenario), Jolie mencoba menghidupkan “Unbroken: A World War II Story of Survival, Resilience, and Redemption”, biografi karya Laura Hillenbrand. Untuk urusan teknis, visual, sound, acting, dan akurasi sejarah, “Unbroken” hampir tanpa cela. ‘Kelemahan’ film ini terletak pada alurnya yang datar. Tadinya saya sempat berharap untuk melihat sedikit hook a la “The Bridge on the River Kwai”, atau setidaknya “To End All Wars”. Apapun, Jolie patut diapresiasi, karena “Unbroken” lebih dari sekedar film perang, ini adalah sebuah kisah universal tentang keteguhan dan paling penting, rekonsiliasi.

Edisi Sembilan

The Strain Guillermo del Torro & Chuck Hogan Oleh : Sapto Supriyanto

Sementara itu, di Inggris, dua veteran dari “Atonement”, Benedict Cumberbatch dan Keira Knightley bereuni di “The Imitation Game”. Sama dengan “Unbroken”, film ini juga diadaptasi dari biografi. Seperti diketahui, salah satu aspek sangat menentukan yang mengubah jalannya perang adalah berhasil dipecahkannya kode mesin sandi enigma milik Jerman. Dengan begitu, Sekutu dapat mengetahui dan mengantisipasi setiap pergerakan pasukan Jerman di Front Barat, Timur, Afrika, atau manuver kapal-kapal selam mereka di Atlantik. Itu semua berkat kerja keras berbulan-bulan dari sekelompok orang-orang istimewa di Bletchley Park yang dipimpin matematikawan Alan Turing. Dari biografi “Alan Turing: The Enigma” karya Andrew Hodges dan dipoles lagi oleh Graham Moore, tercipta skenario yang berhasil dieksekusi secara apik ke dalam layar oleh Morten Tyldum. Sepanjang film ia berhasil menjaga semua pada tempatnya: ritme, drama, konflik, adegan flashback, dan terutama mengarahkan para cast-nya untuk tampil nyaris nihil cacat. Untuk yang terakhir, pujian tertinggi tentu saja harus diberikan pada Cumberbatch yang dengan dingin namun ekspresif menghidupkan Alan Turing yang penyendiri, pendendam, rapuh, brilian sekaligus arogan. Saya bahkan mulai membandingkannya dengan Bruno Ganz yang secara realistis berhasil ‘memanusiakan’ Hitler dalam “Der Untergang”.

TUCZINE

Lebih besar dari sekedar film pemecah sandi, “The Imitation Game” adalah satu lagi yang mencoba mengingatkan tentang para pahlawan yang jauh dari hingar-bingar kemenangan, para terlupakan. Kasus Turing bahkan lebih buruk. Setelah perang berakhir, dengan latarnya sebagai gay, ia tidak hanya dilupakan, tapi juga secara sosial ‘dihukum’ oleh tata masyakarat Inggris saat itu yang masih memandang sangat rendah pada mereka yang ‘tidak lurus’. Ini berlangsung sampai sang perintis komputerisasi modern tersebut mati dalam kesendiriannya pada 1954. Dari keempat film, “The Imitation Game” menjadi yang terbaik tahun ini, dan dalam waktu singkat menempati urutan tinggi dalam daftar-daftar World War II’s Best Movies. Mungkin bukan kebetulan juga kalau film ini satu-satunya yang tidak hitam-putih mengekspos pakem lama ceramah sejarah Amerika-Inggris dalam film-film Perang Dunia Kedua: kami baik, mereka jahat. Tanpa melepas sikap kritis dan sedikit skeptisisme terhadap sejarah yang ditulis para pemenang, saya selalu berharap pada tahun-tahun mendatang akan lebih banyak lagi film-film yang berambisi mengangkat bagian-bagian yang mungkin terlewatkan, atau justru sudah sangat popular dari Perang Dunia Kedua. Tentu saja dengan membawa kualitas dan terutama, akurasi sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.

70

Sudah cukup lama dunia vampir dikuasai sparkling vampires. Saatnya para penguasa kegelapan sebenarnya mengambil alih. Novel the Strain, hasil kolaborasi Guillermo del Torro dengan Chuck Johan ini sepertinya bisa menjadi momentum kembalinya para vampir yang mengerikan, bukan para vampir di saga Twilight yang menyenangkan itu. Banyak elemen klasik dari mitos vampir yang dimunculkan di novel ini. Bahkan adegan pembukaannya adalah penyesuaian dari kisah Bram Stoker. Kalau dalam novel Bram Stoker, sang Master vampir bermigrasi ke London dengan peti mati yang diangkut dengan kapal laut, di novel ini sang Master menggunakan pesawat terbang. Selain elemen klasik, juga dimasukkan unsur-unsur modern. Misalnya teori vampirism yang diinterprestasikan sebagai virus yang mengambil alih pengendalian tubuh. Tapi disini jadinya, seperti bersilangan dengan mitos zombie. Kekurangan dari novel ini, alur ceritanya mengalir begitu saja dari adegan satu ke adegan lainnya. Jadinya mirip walk through RPG (Role Playing Games). Mungkin karena memang novel ini ditulis untuk diadaptasi menjadi film. Nyatanya sekarang memang sudah ada adaptasinya ke dalam serial televisi.

Edisi Sembilan


ri kalau latihan di rumah, tuner selalu ada bersama rangkaian efek, karena stem lewat tuner jauh lebih enak, enteng, anteng, dan akurat dari pada lewat kuping karena akan membuat kening berkerut karena konsentrasi. Apalagi gitar saya pada tremolo semuanya yang agak lebih sulit distem, karena kalau distem di senar tertentu pengaruh ke senar lain, jadi solusinya ya unit tuner tadi. Untuk backupnya sekalian untuk gitar akustik saya pakai tuner clip yang dijepitkan ke head gitar itu.

KLINIK MUSIK

LET'S GET TUNE!

S

Oleh : Herwin Siregar

alam jumpa lagi teman­-teman gitaris TUC. Kali ini saya mau berbagi pengalaman tentang tuner gitar, alat yang berfungsi untuk memandu kita menyetem gitar sesuai nada yang benar dan standar. Jadi alat ini tidak mempengaruhi tone gitar kita seperti efek­-efek, tapi dia akan menjaga kita agar tetap berada pada jalan yang benar, sepeti juga dikatakan Bapak shredder guitar Yngwie J. Malmsteen tentang tuner gitarnya, “It save my life!”

Gitar termasuk alat yang sangat rentan fales atau out of tune kata orang barat, karena konstruksi pengikat senarnya yang memang di design gampang diatur­ -atur. Tidak seperti keyboard atau suling yang sudah paten atau fix nadanya. Piano juga sebenarnya perlu di stem ulang secara periodik beberapa waktu, karena konstruksinya yang menggunakan kabel dan ikatan kawat yang dapat berubah atau bergeser karena waktu dan pemakaian. Gitar­gitar yang mahal biasanya punya hardware yang bermutu, termasuk salah satunya adalah alat pengikat senarnya atau tuning machine. Alat ini sangat penting karena kalau sewaktu main sering-­ sering fales karena kualitas barang kita yang jelek, itu akan sangat mengganggu kita semua, termasuk rekan-­ rekan lain di band. Kalau sering lari nadanya, mood hilang, emosi naik, darah tinggi kumat, ujung­-ujungnya kesehatan kita bisa menurun.

TUCZINE

Kalau bicara soal sumber dari fales ini ada macam macam, bisa dari kualitas senar bisa juga dari jenis sadel atau bridge (pelat pegangan senar dibagian bodi gitar). Kalau senar jelek ngga usah dibahas lagi kan. Jenis bridge pengaruh pada stabilitas tuning. Gitar yang tidak punya tremolo atau yang fix bridge (yang ngga punya engkol atau tremolo bar) cenderung lebih stabil dari yang bertremolo seperti gitar model stratocaster. Sering-­sering main tremolo apalagi main setil yang ekstrim punya, berpotensi membuat gitar kita fales, makin rendah kualitas hardware gitarnya makin cepat dan makin besar falesnya. Bagi sebagian gitaris tertentu, tremolo adalah wajib hukumnya, seperti makan kurang garam kalau gitarnya ngga pake tremolo. Makanya dulu di eranya guitar hero (bukan game yang itu lho..) sekitar tahun 80-an, Floyd Rose mempelopori design tremolo khusus untuk permainan tremolo ekstrim. Floyd Rose Double

71

Locking tremolo yang sekarang sudah banyak dibuat pabrikan lain dengan catatan under lisenced Floyd Rose. Coba aja dengar bagaimana Van Halen dan Steve Vai mainin tremolo nya, sangaarrrr dan kejam!!!, tapi tune gitarnya sehat­ -sehat saja itu! Kembali ke tuner gitar. Alat ini sudah jadi perangkat standar buat gitaris, apalagi untuk pemakaian di panggung. Kalau latihan dikamar atau di jam session di warung kopi, bolehlah kalau fales sedikit kita stem pakai kuping, tapi kalau dipanggung.. wah gawat, bisa kemana-mana suaranya, ngga profesional juga kelihatannya, pengamen di bus Mayasari Bakti P6 jurusan Grogol–Kp. Rambutan juga nggak mau itu kedengaran nyetem­ -nyetem ditengah perform, kecuali ada force majeur. Jadi di panggung, kita harus nyetem pakai mata, bukan kuping, dan waktu nyetem suaranya ngga keluar atau mute. Saya sendi-

Edisi Sembilan

Kalau kita lihat di pasar, tuner yang ada saat ini ada beberapa jenis. Yang paling advance adalah yang tipe rack yang dipasang di system rackmount nya si gitaris, nggak banyak yang pakai ini kecuali gitaris full profesional. Contoh tuner ini Korg Pichtblack Rackmount. Tipe yang lain adalah yang unit tuner khusus, seperti Boss TU­12H yang penunjuknya menggunakan jarum analog. Tuner ini bukan sepeti perangkat efek yang bisa on­ off ­bypass. Jadi kalau mau memakai alat ini di rangkaian efek kita, harus ada alat pencabang sinyal nya dulu seperti Boss Line Selector, tujuannya agar kita bisa mengatur sinyal mau ke rangkaian efek, ke tuner, atau ke kedua­duanya. Tuner lain adalah yang konstruksinya seperti efek, jadi indikator dan switch on­-off nya ada di bodi nya, dan enaknya lagi kalau tuner pada posisi on sinyalnya mati/mute. contohnya Boss TU3, tc electronic Polytune, dan Korg Pitchblack. Kalau saya pakai Behringer TU300 yang murah meriah karena casingnya cuma dari plastik. Menambahkan tuner ini di rangkaian efek kita tentu ada konsekuensinya yaitu harus ada tambahan perangkat lain yaitu kabel chain atau kabel penghubung dan sumber daya listrik. Untuk kabel sama seperti kabel chain efek lainnya; sementara untuk sumber daya listrik bisa pakai batere yang ada didalam bodi tuner, bisa memakai satu titik dari power bank efek kita, atau pakai daisy chain kalau kita pakai satu adaptor. Yang harus diperhatikan, kalau pakai kabel gunakan kabel kualitas baik, atau kalau pakai tambahan kabel adaptor juga pakai yang bagus, karena kualitas sound gitar kita jadi taruhannya. Pengalaman

TUCZINE

TUNER

Korg Pitchblack Rackmount

BOSS TU12H

Boss TU3 dan Behringer TU300

Samson dan TC Electronic Polytune saya, batere adalah yang paling rendah noise karena arusnya yang rata dan stabil, tapi jeleknya ada umurnya karena kapasitas arusnya yang terbatas. Dari pengalaman saya memakai tuner­ -tuner ini, untuk Behringer TU300, akurasi deteksi pitchnya bagus, indikatornya jelas dan terang. Cuma ada satu masalah yaitu posisi indikatornya yang terdapat dibagian depan lebih rendah dari bodi bagian belakangnya, untuk yang sering main sambil duduk, pada posisi tertentu layar indikator agak terhalang bodi bagian belakang tadi sehingga display note tertentu agak terhalang sehingga meragukan sewaktu dibaca, solusinya terpaksa

72

badan agak dimajukan kedepan kalau mau melihat seluruh layar indikator. Solusinya dan pertimbangan kualitas barang, nanti saya ingin mengganti tuner ini dengan yang lain, kayaknya saya lebih memilih tc electronic Polytune karena bentuk simpel, layar besar, layar sejajar body sehingga tidak ada penghalang. Kalau tuner clip on saya pakai Samson, untuk ini saya sudah sangat puas, karena sensitif terhadap nada, layar jelas, dan bentuknya simpel saja. Oke teman teman gitaris TUC, jadi jangan lagi ragu, bimbang, dan galau; karena tuner akan selalu membimbing kita tetap ada di jalan nya, that’s the right way to Rock !!!!

Edisi Sembilan


raungan bebas

NOSTALGIA :

Kembali ke Tahun 1990-an

S

Oleh : Muh. Hijrah Lesmana

aya lahir awal tahun 80-an dan menginjak remaja pada tahun 90-an. Ya, tahun itu, dimana itu adalah tahun-tahun jaman sekolah. Di tahun itu, sampai menjelang tahun 2000-an sangat berkesan bagi saya, mungkin juga bagi kebanyakan dari Anda. Ingatan saya lamat-lamat merambat pelan ke saat-saat dimana saya menikmati dunia tanpa terpaksa dan dipaksa. Dimanapun dan siapapun begitu, setiap anak pasti menikmati dunianya tanpa peduli orang lain atau lingkungan sekitarnya. Mereka hanya tahu bersenang-senang. Sedikit dari mereka yang benar-benar, misalnya belajar untuk meraih juara 1 atau piala, setidaknya itu yang tergambar dari teman-teman jaman sekolah saya dulu. Kalaupun ada yang ingin menjadi rangking 1 atau piala, itu adalah guru dan orangtua mereka. Mari kembali ke tahun 90-an. Saya agak lupa dengan apa yang menjadi trend saat itu. Sedikit yang saya ingat waktu itu adalah jaman keemasan sinetron, baik lokal maupun barat. Beberapa

TUCZINE

yang saya ingat adalah Tersanjung, Tersayang, Noktah Merah Perkawinan. Saya bukan penyuka sinetron, tapi entah kenapa tayangan tersebut jadi melekat di pikiran saya, mungkin karena jam tayangnya di prime time. Sementara film kartun Candy-Candy, Sailormoon, Doraemon, Satria Baja Hitam, Saras 008, Lupus, MacGyver, Airwolf dan Dragon Ball menghiasi hari-hari, terutama hari libur. Tidak sah kalau minggu pagi tidak nonton Dragon Ball. Setelah nonton baru bermain dengan temanteman sebaya di luar rumah. Sedikit banyak, apa yang telah ditonton, kemudian ditirukan. Hal ini yang kemudian saya sadari, butuh pendampingan orang tua saat anak-anak menonton tayangan televisi, karena tidak semua yang mereka tonton itu layak untuk di konsumsi anak-anak seusia mereka. Sementara itu, stasiun TV masih belum banyak, dimana kalau tidak salah hanya ada TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, TPI dan ANTeve. Yang paling saya ingat adalah Berita Nasional (Jam 19.00) dan Dunia Dalam Berita

73

(jam 21.00) yang ditayangkan TVRI secara relay (televisi swasta wajib menyiarkan). Pembawa acara yang paling mudah diingat adalah Max Sopacua, yang sekarang menjadi politikus Partai Demokrat dan juga Adolf Posumah. Kebanyakan pembaca berita di TVRI sudah berumur, mungkin karena pembawaan status mereka yang Pegawai Negeri Sipil, jadi mereka memilih untuk memberdayakan pegawainya. TPI di awal kemuncullannya memberi angin segar bagi dunia pendidikan karena konsisten menyuguhkan program-program yang mendukung dunia pendidikan (sesuai akronim nama televisinya, Televisi Pendidikan Indonesia), misalnya membahas soal-soal pelajaran, belajar bercocok tanam, mengenal lingkungan, pelajaran etika, dan lain sebagainya. Saya dulu sering menonton TPI untuk ikut belajar gratis, karena materi pelajarannya tidak jauh beda. Di kemudian hari, TPI sudah tidak konsisten lagi dengan tayangantayangan edukasinya. Mungkin perlu dipikirkan untuk merubah namanya, karena sudah tidak sesuai dengan semangat awal didirikannya televisi tersebut. Tinggalkan dunia televisi, mari memasuki dunia musik... Di tahun 90-an, disebut-sebut sebagai tahun merajanya genre rock dimana saat itu bandband semacam Jamrud, Boomerang, Edane, Power Slaves berkibar. Sementara Bon Jovi, Guns n Roses, Metallica atau Nirvana mendominasi musik dari Barat. Salah satu indikasi kuat dominannya band-band tersebut adalah lagu mereka sering diputar (baik oleh pihak radio itu sendiri atau permintaan pendengar), dan menduduki tangga lagu (chart). Dominasi itu semakin kuat sampai-sampai anakanak muda di jaman itu secara visual meniru apa yang sedang jadi tren, misalnya celana jeans sobek di dengkulnya, rambut panjang, sepatu doc mart dan lainnya. Di akhir 90-an atau memasuki tahun 2000, munculah band ‘sejuta kopi’ seperti Padi, Sheila On 7 dan Dewa. Saya lebih bisa menikmati musik jaman dulu dibanding sekarang, karena menurut saya jaman dulu penghargaan terhadap

Edisi Sembilan

musisi dan karya seni masih tinggi, sekarang jauh lebih pragmatis dan berorientasi bisnis, terutama yang lalu lalang di majalah, radio apalagi televisi. Musisi/band bisa kaya karena karya mereka, bukan hasil sensasi marketing gimmick. Salutnya lagi, di jaman dulu, ada lomba mencipta lagu, seperti Festival Lagu Populer atau Lomba Cipta Lagu Remaja, sehingga bisa memacu kreatifitas masyarakat yang berbakat di bidang penciptaan lagu. Belum lagi jika menghitung bahwa lagu-lagu yang menang akan dibawakan oleh penyanyi-penyanyi yang punya nama besar dunia musik Indonesia, seperti Ruth Sahanaya, Harvey Malaiholo, Hetty Koes Endang, Vina Pandhuwinata, Titiek Puspa, dan lain sebagainya. Itu adalah sebuah penghargaan besar.

dulu yang populer di desa saya adalah kelereng (gundu), layanglayang, karet (getah), pathil lele (benthik), petak umpet, gobak sodor, teplek (gambar, produksi Gunung Kelud) dan bungkus rokok (yang dilipat-lipat kemudian di lempar pakai potongan genting). Kalau dilihat, kecuali gambar, kelereng dan karet, adalah mainan yang murah (bahkan gratis), meriah, tapi mengasyikkan. Tanpa sadar kita diajak untuk menyatu dengan alam. Misalnya mainan layang-layang, kita diajari kreatif dengan memotong bambu, menimbang, mengikat dengan benang, kertasnya bisa pakai kertas koran bekas atau kertas minyak warna-warni. Pathil lele?cukup dengan memotong dahan pohon randu sepanjang 20 dan 30 cm-an, kemudian dikeringkan.

Di tahun itu, sampai sekarang, saya menggemari KLA Project dan Iwa K, sampai-sampai kalau hendak pedekate ke teman cewek, lagu-lagu yang menjadi ‘soundtrack’ adalah lagu-lagu romantisnya KLA dan Michael Learns To Rock. Bahkan kaset pita yang waktu itu seharga Rp. 5000-an adalah hadiah ‘mewah’ untuk mereka yang sedang ulang tahun, perpisahan sekolah atau untuk pacar. Kaset tidak tergantikan di jaman itu.

Lalu mainan kerajinan tangan dari bunga tebu, yang batangnya bisa dipakai untuk mobil-mobilan, rumah-rumahan atau lainnya. Sama juga dengan bungkus rokok, tinggal dibuatkan ban dari sandal bekas. Bahkan kalau sudah main layang-layang, bisa sampai maghrib tidak pulang. Mengejar layang-layang yang putuspun punya keasyikan tersendiri. Kebahagiaan ketika mendapat layang-layang putus, meski harus berlari lintas kampung, tak tergantikan saat itu. Uniknya, semua permainan tersebut musiman. Artinya, musim permainan tertentu itu hanya dilakukan saat itu saja. Ketika jenuh, ganti permainan lain. Musim berikutnya, ganti lagi, hingga kembali ke musim awal. Artinya, jika pas musim kelereng anda punya kelereng banyak, simpan saja, nanti pas musim kelereng datang lagi, kelereng tersebut bisa dimainkan lagi. Irit, bukan?

Dan, yang teringat di jaman itu adalah lagu anak-anak masih mendapat tempat, baik di dunia anak-anak itu sendiri maupun dunia musik Indonesia pada umumnya. Yang paling mudah diingat tentu saja Obok-obok (Joshua), Aku Anak Gembala (Tasya), Abang Tukang Bakso (Melissa), Nyamuk Nakal (Enno Lerian), Trio Kwek-Kwek, Bondan Prakoso dan tentu saja, Sherina. Lagu-lagu mereka mudah ingat, sederhana, ceria dan sesuai dengan dunianya. Setelah dunia musik, mari berlaih ke dunia permainan... Inilah saat yang paling saya nikmati dan rindukan ketika kecil, yakni bermain. Ya, siapa yang tidak? Masa kecil adalah masa paling indah karena waktu dihabiskan hanya untuk bermain, bermain dan bermain. Cuma sedikit untuk pelajaran, itupun hanya di sekolah. Permainan jaman

TUCZINE

Tanpa sadar orang tua telah mengajarkan kita untuk arif bijaksana menyikapi segala hal. Memang jaman dulu kebanyakan permainan masih tanpa modal, alias tinggal ngambil dari alam. Pun, teknologi masih belum semaju sekarang. Tapi jika dicermati, permainan jaman dulu lebih murah, mudah, tidak merusak lingkungan dan lebih bisa dinikmati bersama dibanding permainan anak jaman sekarang. Sejauh yang saya ingat, permainan waktu itu yang paling modern

74

adalah game watch (gimbot), yang disewakan di sekolah-sekolah, diikat tali, dan mainnya gantian. Juga, dingdong, gim mirip di Amazone, tapi memainkannya dengan uang koin seratus rupiah. Dan jaman telah berubah... Di dunia manapun, perubahan akan selalu terjadi. Ketika SD, permainan yang dimainkan erat dengan alam, ketika SMP, sudah berganti ke gamewatch dan dingdong, dan ketika SMU, jaman Playstation. Saat main bola jaman dulu, sepatunya masih pul karet, jadi ketika dipakai beberapa kali, pul nya bisa lepas beberapa biji, jalanpun jadi pincang. Selain karena kualitasnya rendah, lapangan pun menjadi penyebab karena lapangan di desa hanya berupa sawah yang terkadang rumput agak jarang tumbuhnya karena dimakan kambing. Jaman itu, saya beli sepatu bola per pasang nya Rp.15.000,- itupun beli di pasar loak. Dipakai 2-3x, harus mulai dijahit disana-sini. Sekarang, harga sepatu minimal seharga 120-an ribu, itupun kualitasnya biasa saja. Belum lagi biaya kalau bermain futsal. Secara umum, permainan jaman sekarang lebih pragmatis, egoistis, mahal dan membuat malas bergerak. Contoh, bermain Playstation. Pragmatis mengajarkan mengejar hasil, tanpa belajar prosesnya. Egois menyebabkan minimnya rasa empati kepada sesama. Mahalnya biaya permainan bisa menyebabkan orang tua gelisah dan tertekan secara ekonomi. Sementara malas bergerak menyebabkan si anak cenderung kurang sehat dan mudah terserang penyakit, karena seorang anak bisa ber jam-jam ketika bermain PS. Jaman dulu, setelah bermain layang-layang, Belum lagi jika menyebut bahwa beberapa permainan cenderung mengajarkan bahasa yang kurang pas untuk anak-anak. Yang paling parah tentu saja mengajarkan kekerasan kepada anak-anak, misalnya gulat, tembakan, senapan, balapan, pukulan, hingga berdarah-darah. Makanya perlu dimaklumi kenapa hal-hal (kekerasan) tersebut bisa terjadi di dunia pendidikan (sekolah). Karena anak adalah peniru ter-

Edisi Sembilan


raungan bebaS baik didunia. Dunia musik pun sama saja. Jaman dulu ada festival lagu remaja, atau festival cipta lagu pop dan lagu anak-anak. Sekarang festival cenderung memainkan lagu-lagu yang telah populer. Popularitas pun bergeser dari proses kreatif penciptaan lagu ke kemerduan vokal. Akhirnya artis hanya diukur berdasarkan bisa/ tidak menyanyi, suaranya merdua atau tidak, bisa memenuhi selera pasar atau tidak, padahal lebih jauh dari itu adalah apakah ia bisa menciptakan lagu, bisa menyanyi hanyalah bonus. Karena menyanyi relatif lebih mudah dibanding menciptakan lagu. Faktanya, banyak vokalis yang suaranya biasa saja tapi lagunya bisa jadi hits. Tapi tidak semua penyanyi/vokalis bisa menciptakan lagu, apalagi yang hits. Ada proses kreatif disitu. Ada proses perenungan, pencarian tema, lirik, dan seringkali terkait dengan kisah nyata. Faktanya, banyak band atau penyanyi yang lagunya justru sengaja diciptakan orang lain, yang kemudian jadi hits. Itu berarti, seniman seolah hanya diciptakan sesaat, padahal butuh proses panjang untuk bisa dikatakan sebagai seniman sejati. Popularitas instan jelas menjadi tujuan jangka pendeknya. Tahun 90-an juga merupakan tahun bangkitnya musik Indonesia. Indikasinya adalah musik mendapat tempat di ruang-ruang publik dan media massa, seperti majalah, konser, radio dan tentu saja televisi. Sampai-sampai jaman itu disebut era MTV (Music Television), karena saking populernya. Ada kesan, lagu atau penyanyi yang muncul di tangga lagunya, atau sering diminta untuk diputar, berarti sedang populer atau bagus. Ada juga AMKM (Anda Meminta Kami Melayani) di TPI, yang waktu itu dipandu oleh Rina Gunawan. Lalu ada AMPUH (Ajang Musik Pribumi Sepuluh) di RCTI. Aktifitas yang memicu interaksi tersebut antara media, artis dan masyarakat sebagai konsumen pun jadi erat. Artis pun jadi punya wadah untuk menuangkan kreativitasnya. Di Tahun 90-an jualah era keemasan musisi di-

TUCZINE

raungan bebaS mana kaset pita bisa terjual jutaan kopi hingga diganjar platinum. Bisa jadi, saat itu pekerjaan paling elite dan menghasilkan rupiah adalah menjadi musisi. Sekarang musisi pada tiarap untuk merilis album, karena album belum keluar pun, kopiannya sudah beredar di masyarakat. Akhirnya, mereka mencari nafkah dengan manggung off-air. Itu sebabnya, mereka yang dibesarkan secara instan, akan cepat tenggelamnya, karena tidak terbiasa bekerja dengan proses. Sementara itu, band-band indie yang terbiasa ‘hidup apa adanya’, tidak besar tidak juga kecil, bisa bertahan dalam dunianya sendiri. Teknologi : dua sisi mata uang... Perkembangan jaman tidak lepas dari perkembangan teknologi, dimana hampir pasti kemajuan jaman di barengi atau dipicu kemajuan teknologi. Bahkan ada adagium, barangsiapa yang menguasai teknologi, ia bisa menguasai peradaban. Teknologi mampu memperpendek jarak. Tenknologi juga memudahkan manusia. Teknologi juga (seolah) mampu mempercepat waktu. Tapi disisi lain, teknologi juga punya sisi buruk, terutama jika tidak digunakan secara tepat. Dulu menonton bioskop adalah hal yang mewah. Hanya orang-orang tertentu yang bisa nonton. Kemudian ada video player berbentuk VHS, yang ukuran kasetnya setebal dan sebesar buku novel Negeri 5 Menara. Lalu VHS digantikan VCD Player, yang ukurannya lebih kecil, ringan dan lebih ringan. Dulu mendengarkan lagu via kaset dan tape compo adalah kemewahan. Tetapi kemudian seolah-olah teknologi ‘kemarin sore’ ketika muncul pemutar musik walkman dan handphone, format musik pun berubah ke mp3. Kaset pita pun tenggelam. Teknologi juga menciptakan jarak antar-personal, yang sesungguhnya dekat secara fisik. Itu sebabnya ada ujar-ujar, teknologi bisa membuat yang dekat jadi (terasa) jauh, yang jauh jadi (terasa) jauh. Contoh paling konkret tentu penggunaan media sosial. Ide awalnya saya rasa adalah memudahkan orang menemukan teman-teman lama,

75

bersosialisasi dengan saudara yang jauh, atau mengirim pesan secara instan dan juga saling berbagi. Tapi kemudian hal inilah yang menyebabkan yang dekat makin jauh. Jangankan satu kota, atau satu kantor tapi beda lantai, satu ruangan saja masih Whatsapp-an atau saling berkirim komentar di Facebook. Atau juga beberapa orang sedang nongkrong di warung tapi masing-masing sibuk dengan gadget nya?Itu yang membuat antar-manusia jadi terasa asing. Maka, saya tidak kaget ketika orang lebih memilih untuk curhat di media sosial daripada ke teman dekat, saudara, orang tua atau guru. Padahal, jaman dulu, orang tua dan guru adalah persona yang paling dekat dengan anak-anak. Preferensi manusia pun bergeser ke hal-hal yang abstrak, tidak nyata, penuh khayalan dan mimpi-mimpi. Saya sendiri kemudian memilih berdamai dengan kenyataan. Berdamai dengan teknologi yang jauh melesat melebihi kecepatan visi orang pada umumnya. Berdamai dengan hal-hal yang mungkin saja secara batin saya menolaknya, tetapi tetap menerimanya sebagai bagian dari kehidupan dan peradaban. Hidup berdampingan dengan damai itu lebih asyik dan lebih indah. Saya tiba-tiba teringat dengan acara di TVRI yang menyorot kegiatan orang-orang desa di Pelangi Desa atau Dari Desa ke Desa. Saya sering menontonnya, dan saya trenyuh karena selain jadi kangen dengan suasana desa, tidak banyak program serupa di tivi lain. Program di tivi lain (swasta) yang menyiarkan acara jadul tapi digemari adalah Laptop Si Unyil dan Si Bolang. Ia menggabungkan antara nostalgia dan modernitas teknologi, dan hasilnya adalah perpaduan yang sangat bagus. Saya masih berharap makin banyak tayangan-tayangan yang mendidik. Bukan hanya untuk nostalgia, tetapi untuk mengimbangi laju kemajuan jaman yang melesat sangat cepat. Saya yakin, pasti ada tempat untuk masa lalu.

Edisi Sembilan

FURY : M4 Sherman dan Tiger I Oleh : Ari Andrina

S

etelah sekian lama ngga ada film perang yang bagus akhirnya di bulan Oktober 2014 dirilis film berjudul “Fury”. Sebagai salah satu penggemar film perang tentu saja gw cukup senang, apalagi film dengan setting film Perang Dunia II ini dibintangi oleh M4 Sherman, salah satu tank favorit gw. Selain tank M4 Sherman, film ini juga dibintangi oleh Brad Pitt, Shia LaBeouf, Michael Pena, Jon Bernthal, dan Logan Lerman. “Fury” mengambil setting pada bulan April 1945 di Jerman, saat masa-masa akhir Perang Dunia II di front Eropa Barat. Film ini menceritakan awak tank M4 Sherman bernama “Fury” dari kesatuan 66th Armored Regiment, 2nd Armored Division U.S. Army. Sudah menjadi kebiasaan bagi tentara Amerika untuk memberi nama bagi kendaraan atau pesawat tempur yang mereka gunakan dalam pertempuran. Ngga akan membahas cerita film ini sih, tapi cuma pengen bercerita tentang salah satu adegan pertempuran di film ini di mana terjadi duel tank antara M4 Sherman melawan Tiger I. Di awal film “Fury” disebutkan bahwa dalam Perang Dunia II pasukan Sekutu bertempur melawan Jerman dengan menggunakan tank yang secara teknis inferior dibandingkan dengan tank-tank Jerman. Hal ini memang benar, dalam Perang Dunia II tank yang banyak digunakan oleh pasukan Sekutu adalah M4 Sherman buatan Amerika Serikat (nama Sherman sendiri diambil dari nama Jenderal William Tecumseh Sherman, salah satu jenderal pasukan Union dalam Perang Saudara Amerika Serikat. Semua tank buatan Amerika Serikat memang diberi nama jenderal seperti M3 Lee, M4 Sherman, M48 Patton, atau

TUCZINE

M1 Abrams). Sementara salah satu tank Jerman yang digunakan dalam Perang Dunia II adalah Panzer Kampfwagen VI Tiger I Ausf E. Secara teknis, M4 Sherman dan Tiger I adalah tank dengan kelas yang berbeda. Dengan bobot sekitar 33 ton, M4 Sherman adalah medium tank dengan lapisan baja maksimum hanya setebal 76mm. Persenjataan utama tank ini adalah meriam laras pendek M3 kaliber 75mm, walaupun banyak yang kemudian dimodifikasi dengan meriam laras panjang M1 kaliber 76mm (seperti variam M4A3E8 yang digunakan dalam film “Fury”). Sementara Tiger I adalah heavy tank dengan bobot 54 ton dan lapisan baja maksimum setebal 120mm. Persenjataan utama tank ini adalah meriam KwK 36 kaliber 88mm. Dengan amunisi tipe AP (Armor Piercing), meriam M3 kaliber 75mm milik M4 Sherman hanya memiliki muzzle velocity 619 meter/detik dan mampu menembus lapisan baja setebal 72mm dari jarak 100 meter. Meriam M1 kaliber 76mm pun sebetulnya tidak banyak meningkatkan kemampuan M4 Sherman, hanya mampu menembus lapisan baja setebal 93mm dari jarak 500 meter. Sementara meriam kaliber 88mm milik Jerman mampu menembus lapisan baja setebal 110mm dari jarak 2 km. Oleh karena itu secara frontal M4 Sherman sama sekali bukan lawan yang seimbang bagi tank Panzer I. Walaupun secara teknis kalah jauh dibandingkan dengan Tiger I, namun M4 Sherman yang bobotnya lebih ringan mampu bergerak lebih lincah dan hal ini dimanfaatkan untuk melumpuhkan tank-tank Jerman dengan bergerak mengepung tank Jerman dan menembak bagian

76

belakang tank yang memiliki lapisan baja lebih tipis. Tanktank pasukan Sekutu menggunakan taktik keroyokan untuk melumpuhkan tank Jerman, bisa mengerahkan 3-5 tank untuk melumpuhkan tank Tiger I. Namun tentu saja dengan pengorbanan yang cukup besar sehingga bagi pasukan tank Sekutu adalah semacam paradigma “kerahkan lima tank Sherman untuk melumpuhkan satu Tiger, dan bersiap kehilangan empat tank”. Keunggulan tank teknis Tiger I diperlihatkan secara jelas dalam adegan duel melawan M4 Sherman dalam “Fury”, walaupun Tiger I akhirnya berhasil dihancurkan namun beberapa tank Amerika menjadi korban. Jika memang persenjataan pasukan Jerman lebih superior dibandingkan dengan pasukan Sekutu, kenapa akhirnya Jerman menjadi pihak yang kalah dalam perang tersebut? Tiger I memang unggul secara teknis, namun lebih rumit untuk dibuat dan biaya produksinya terhitung mahal sehingga hanya diproduksi sebanyak 1.300 unit. Sementara tank seperti M4 Sherman secara teknis biasa saja tetapi mampu diproduksi secara massal dan mudah diperbaiki. Dalam Perang Dunia II diproduksi sebanyak lebih dari 49.000 unit tank Sherman dan hal ini merupakan keunggulan tersendiri bagi pasukan Sekutu. Selain itu Jerman pun kekurangan bahan bakar dan personel militer yang terlatih (karena Hitler terlalu banyak membuka front pertempuran, mulai dari Eropa Barat, Afrika Utara, Italia, Balkan, sampai Eropa Timur). Sementara pasukan Sekutu semakin kuat karena kehadiran Amerika Serikat.

Edisi Sembilan


Jarak yang berupa kemampuan untuk memilikinya. Ketidaktergapaian yang dipaksakan hanya membuat benda menggenggam kita lebih erat, dan kita tidak mampu lepas darinya. Padahal, mengutip Heidegger, ke-adaan (being) atau ke-tidakada-an (nothingness) adalah konstruksi yang dibuat oleh manusia. Pada tingkat subjektivitas tertentu, manusia memiliki tingkat realitas ke-ada-an atau ke-tidakada-an masing-masing yang tak dapat terbias. Dengan kata lain, ketidaktergapaian tidak akan menjadi masalah apabila kita mampu menerima ke-ada-an kita. Kita sadar bisa membentuk ke-adaan tersebut dari semula tiada.

RAUNGAN BEBAS

KITA DAN BENDA Oleh : Meidiawan Cesarian Syah

S

eorang Plato mempercayai bahwa dunia indra adalah dunia yang tidak sempurna karena dalam dunia indra, segalanya berubah. Dunia indra mentransformasikan sesuatu yang datang menjadi sebuah proyeksi kebenaran, sebelum sesuatu tersebut akhirnya pergi. Maka, Plato pun mengutuk nafsu dan menjadikannya tingkatan paling bawah dari bagian manusia. Tentu kita mengenal penjelasan yang digurat oleh Plato pada masa lalu, di mana sebagian besar dari kita bertahan dalam meyakini semua yang diindrai adalah bayangan dari ide sebagai sebuah realitas. Dunia indra, atau dunia fisik, mencoba menghadirkan (atau menggantikan?) konsepsi-konsepsi ideal akan sesuatu, namun kenyataannya konsepsi ideal itu justru tidak tergapai. Seperti, konsep mengenai kucing yaitu hewan yang berkaki empat. Apakah jika semua kuc-

TUCZINE

ing di dunia berkaki tiga, konsep ideal mengenai kucing berubah menjadi hewan berkaki tiga? Tidak. Ide selalu abadi dan kekal, sedangkan indra sangat fana dan takluk pada konsepsional. Indra cenderung mudah dimanipulasi, dibentuk, dan diarahkan karena indra mengacu pada sesuatu yang fana, yang mudah datang dan mudah pergi. Kebergantungan kepada indra menggali jurang ambivalen antara ide dan bayangan atas ide. Rasionalitas berputar, koyak, dan lumpuh sembari menggamit-gamit sisa ruang ide yang masih dimiliki oleh kita. Kenyataan yang mencerminkan keadaan ini adalah konsep kita atas benda-benda. Benda, kini menjadi wujud representasi ide yang semakin lama, mengoyak idealitas itu sendiri. Kita bepergian, lalu melihat pakaian dengan nama-nama: Dolce & Gabbana, Hermes, Marc Jacob, dan lainnya. Atau

77

mungkin kita makan di cafe dan restoran ternama kemudian memotret dan mengunggahnya di media sosial. Sejenak kemudian orang berbondong-bondong memberikan tanda kagum atau senang atas pencapaian-pencapaian tersebut. Kita diberi tanda dan disematkan sebuah citra. Cerita pun terbagi, kita puas, namun kita semakin kerdil di hadapan benda-benda. Benda sudah berada di luar dari jangkauan manusia walaupun manusia lah yang menciptakan benda. Kain-kain dipotong lalu dijahit dan dirupakan menjadi jas, kemeja, atau gaun. Jas, kemeja, dan gaun tadi berpisah dengan manusia, sang pembuatnya, untuk diperjualbelikan dan menjadi sebuah entitas sendiri. Kita melihat jas dan kemeja tersebut seraya mengagumi potongannya, namun tidak pernah terbersit di pikiran kita ihwal siapa yang mendesain dan membuatnya. Manusia, dipersembahkan jarak dari benda terse-

Edisi Sembilan

but. Interaksi benda tersebut tidak bisa lagi dikendalikan oleh sang pembuat. Kita malu-malu pun mengakui jika memang ada jarak yang tak tertangguk antara manusia dan benda. Parafrase Gunawan Mohammad pun berdenting: di manakah letak kita diantara benda-benda? Benda-benda, yang awalnya disebut dengan nama-nama, lalu lama-kelamaan kita jelmakan sebagai bagian dari kita, atau kita gunakan untuk menerjemahkan kita. Benda-benda berubah sebagai representasi kita. Nama kita berada semakin inferior di bawah markah-markah tertentu. Markah yang dibangun dari fantasi, mimpi, hasrat yang ditanamkan di bawah sadar ke dalam diri kita. Markah yang dihasilkan oleh perspektif yang bertarung di sekitar kita, lewat implan-implan sosial. Semakin lama, manusia didikte oleh manipulasi indra yang dicanangkan secara masif. Majalah, buku, televisi, poster, dan baliho mengalirkan implan sosial tadi ke dalam buluh pikiran

TUCZINE

kita. Mereka menentukan prasyarat kecantikan, ketampanan, keterkenalan, dan kebahagiaan dalam markah-markah: memakai baju model ini, mengenakan gaun seperti itu, memiliki followers twitter sejumlah sekian ribu, bisa pergi ke sebuah tempat, dan lainnya. Perlahan, indra yang dimanipulasi membuat benda mengambil alih kita. Benda hanya menjadi representasi implan sosial tadi, yang sebenarnya tak tersentuh dan tak dapat kita hadirkan. Bagaimanakah caranya menghadirkan konsep kecantikan pada diri kita, misalnya? Sementara kecantikan tersebut tidak pernah kita miliki. Namun, indra yang ragu-ragu akan menganggap gaya, potongan, pengenaan pakaian tertentu sebagai representasi kecantikan. Akhirnya, yang kita dapati pada saat bercermin adalah jarak antara ketidaktergapaian itu dengan representasi semu. Kita tidak melihat wujud diri kita sendiri. Padahal posisi benda itu, seperti sudah disebutkan, berjarak dari kehidupan manusia.

78

Lalu, mengapa kita cenderung mengalah dengan memilih untuk bertarung dengan ketidaktergapaian? Apakah argumentasi bahwa generasi manusia saat ini terlalu banyak dijejali prasyarat tertentu adalah benar? Kita, yang kini sedang duduk di belakang komputer jinjing, ponsel pintar, atau televisi sibuk melihat markah-markah tadi diinterpretasikan hingga kita merasa: pakaian kita salah, bentuk tubuh kita salah, cara dandan kita salah, dan lain sebagainya. Ketidakhadiran akan terasa semakin jauh untuk dihadirkan. Kebahagiaan menjadi satu-satunya tujuan yang ditawarkan tapi tanpa lintasan jalan. Kemerosotan sosial tersebut diperparah dengan adanya gradasi sistem nilai atas prasyarat tadi: Siapa yang lebih cantik? Siapa yang lebih tampan? Siapa yang lebih eksis? Kita menjadi berlomba-lomba menetapkan siapa yang menjadi “lebih” diantara yang lain. Kita makin terperosok kepada penghambaan pada benda-benda. Eksistensi manusia menyerah kepada dominasi benda. Kita kehilangan struktur jiwa yang murni, yang membuat kesadaran diri dipertentangkan (atau cenderung dikalahkan) oleh proyeksi kemungkinan kesempurnaan. Celakanya, hal yang dituju adalah “kemungkinan” yang masih berupa “proyeksi” Jean Paul Sartre, menyebutkan etre-pour-soi sebagai bentuk eksistensi manusia yang retak. Manusia, di satu sisi berada dalam alienasi (keterasingan) namun sekuat tenaga melawan

Edisi Sembilan


raungan bebaS keterasingan tersebut. Semua benda yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak tergapai tadi dimaksudkan untuk melawan keterasingan itu sendiri, sembari mendaki piramida kebutuhan Maslow dan menaklukkan puncak kepuasan diri. Kapitalisme menyulam baju kita, menuliskan markah-markah tertentu yang kita pikir kita butuhkan untuk mengalahkan alienasi kita. Alienasi kita pun mampu kita tumbangkan, bersamaan dengan eksistensi kita. Kita merosot dari sekedar makhluk eksistensial yang terasing menjadi etalase tempat kapitalisme menyematkan penampilan kita. Kita didandani sedemikian rupa untuk semakin mendorong keinginan agar berpenampilan lebih, menjadi penanda prasyarat yang diejawantahkan dan disusupkan ke relung pemikiran kita. Bahagiakah kita, ketika kita membiarkan indra kita dimanipulasi dan ide kita dikoyak-koyak dan dikeruhkan? Plato merumuskan ihwal ide yang menjadi objek pengetahuan sebagai realitas tertinggi dibandingkan bayangan lainnya. Konsep ide yang dikoyak dan dikeruhkan kapitalisme selayaknya harus dimurnikan. Kita harus memisahkan permasalahan eksistensial manusia mengenai ke-berada-an (being) dari belenggu benda yang menjadi representasi manusia belaka. Benda, sejatinya tidak pernah merepresentasikan kita. Atau janganjangan kita memang memilih untuk cukup direpresentasikan dengan benda saja? Kita, sudah sepatutnya melawan kapitalisme yang mengerdilkan manusia di hadapan benda untuk kemudian menempatkan mahkota kepada dunia ide. Dunia ide inilah yang nantinya memberikan kebahagiaan tanpa prasyarat kepada kita. Tapi, apakah hal tersebut mampu dilakukan mengingat kehancuran kapitalisme semakin mustahil diwujudkan? Entahlah, tapi setidaknya melalui individu masing-masing kita masih bisa menyatakan perang untuk mengambil “ada” (being) dari dominasi benda-benda atas kita. Kita tidak sedang memperTuhankan benda, bukan?

TUCZINE

raungan bebaS saat suatu ketika teman-teman ngumpul dengan abu alkohol, kemudian terdengar deru knalpot racing motor. Ah, saya telah berada di tempat yang salah... Identitas diri (self identity)....

BE YOURSELF Oleh : Muh. Hijrah Lesmana

Saya akan memulai tulisan ini dengan pertanyaan: Pernahkah di otak Anda terbersit rasa kecewa terhadap diri Anda sendiri? Pernahkah Anda melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pengaharapan awal Anda? Pernahkah Anda (merasa) gagal mencapai tujuan? Tanpa meminta Anda untuk jujur, saya yakin semua jawabannya adalah : pernah. Saya bukan dukun atau paranormal, tentu saja. Well, sejak tidak ada yang sempurna di dunia ini, dalam segala hal, tidak semua tujuan bisa dicapai, tidak semua rencana bisa berjalan sesuai keinginan, dan tidak semua yang Anda pikirkan benar! Kalau kita berpikir ‘menjadi Tuhan’ alias menjadi pihak yang bisa mengabulkan semuanya, betapa pusing dan melelahkannya menjadi Tuhan (untuk memahami maksud saya, silahkan flashback pikiran Anda ke saat menonton Bruce Almighty). Tapi tulisan ini tidak bermaksud membahas tentang ‘menjadi Tuhan’, tetapi ‘menjadi Hamba’, yang diciptakan lemah, serba (merasa) kurang, dan tentu saja, mudah mengeluh. (berpikir) menjadi orang lain... Anda pasti pernah merasa, atau mendengar, membaca dan

79

melihat bahwa ada orang-orang yang menirukan orang lain. Yang dimaksud menjadi orang lain bisa saja fisiknya, gayanya, kemampuannya, kekayaannya, kepopulerannya dan lain sebagainya. Menyambung pertanyaan diatas, pernahkah Anda berfikir menjadi orang lain? Saya yakin jawabannya juga pernah. Lalu, pernahkah Anda berfikir untuk tidak menjadi diri Anda yang sekarang? Kalau ini jawabannya mungkin beragam. Ada yang puas dengan dirinya, ada yang merasa kurang. Menurut Anda, lebih banyak mana, antara orang puas dengan dirinya atau orang yang ingin menjadi orang lain? Tanpa disadari, bahwa fikiran sering membawa dan memerintahkan kita untuk berbuat yang bukan hal yang biasa kita lakukan dan belum tentu pas dengan kondisi kita. Kita mungkin sengaja melakukannya, tetapi seringkali kita tiba-tiba saja melakukannya, otak memerintah tanpa koordinasi dengan akal sehat dan para anggota tubuh. Contoh kecil, saya dulu belajar merokok ketika Sekolah Dasar. Usia segitu seharusnya ‘belum layak mencoba’ hal tersebut, tapi kondisi diluar tubuh, tanpa konfirmasi dengan akal sehat, langsung mengiyakan ajakan merokok di halaman belakang sekolah. Di usia dewasa pun begitu. Tiba-tiba saja saya tersadar

Edisi Sembilan

Setiap manusia pasti punya identitas diri yang disebut karakter. Beragam karakter tersebut sebagian besar dibentuk oleh gen orang tuanya, sebagian lagi oleh lingkungan dan sebagian lagi oleh kesadaran diri. Kesadaran diri inilah yang umumnya muncul saat puber atau pendewasaan. Fase ini sangat penting karena bisa menentukan ‘arah’ kemanakah seseorang akan melangkah, dimanakah seseorang akan menempatkan tujuan hidupnya. Ironisnya, di fase krusial inilah banyak yang tidak memiliki identitas diri/karakter yang cukup kuat untuk menjadi diri sendiri. Murid sekolah lebih suka mencontek pekerjaan rumah temannya (yang sering benar) daripada menjawab sendiri sesuai kemampuannya, meski belum tentu benar. Yang lain lebih memilih ekstra kurikuler sepakbola daripada theater hanya karena kebanyakan teman-temannya memilih olahraga cowok itu. gan kondisi kita. Kita mungkin sengaja melakukannya, tetapi seringkali kita tiba-tiba saja melakukannya, otak memerintah tanpa koordinasi dengan akal sehat dan para anggota tubuh. Contoh kecil, saya dulu belajar merokok ketika Sekolah Dasar. Usia segitu seharusnya ‘belum layak mencoba’ hal tersebut, tapi kondisi diluar tubuh, tanpa konfirmasi dengan akal sehat, langsung mengiyakan ajakan merokok di halaman belakang sekolah. Di usia dewasa pun begitu. Tiba-tiba saja saya tersadar saat suatu ketika teman-teman ngumpul dengan abu alkohol, kemudian terdengar deru knalpot racing motor. Ah, saya telah berada di tempat yang salah... Identitas diri (self identity).... Setiap manusia pasti punya identitas diri yang disebut karakter. Beragam karakter tersebut sebagian besar dibentuk oleh gen orang tuanya, sebagian lagi

TUCZINE

oleh lingkungan dan sebagian lagi oleh kesadaran diri. Kesadaran diri inilah yang umumnya muncul saat puber atau pendewasaan. Fase ini sangat penting karena bisa menentukan ‘arah’ kemanakah seseorang akan melangkah, dimanakah seseorang akan menempatkan tujuan hidupnya. Ironisnya, di fase krusial inilah banyak yang tidak memiliki identitas diri/karakter yang cukup kuat untuk menjadi diri sendiri. Murid sekolah lebih suka mencontek pekerjaan rumah temannya (yang sering benar) daripada menjawab sendiri sesuai kemampuannya, meski belum tentu benar. Yang lain lebih memilih ekstra kurikuler sepakbola daripada theater hanya karena kebanyakan teman-temannya memilih olahraga cowok itu. Lainnya lagi, lebih memilih setuju daripada tidak setuju akan suatu pilihan yang menuntut keberanian memilih, otentisitas dan tanggungjawab. Kebanyakan dari mereka hanya mencari mudahnya, jalan pintas dan menghindar dari tanggung jawab atas pilihannya. Padahal, kalau mau jujur, justru dari pilihan-pilihan itulah mereka diajarkan untuk dewasa. Tidak hanya saat remaja, saat sudah memasuki usia tua pun banyak yang masih meniru-niru apa yang mereka lihat. Ternyata, pembelajaran pun bisa sampai usia tua. Melihat ke dalam... Mari kita melihat ke dalam diri kita. Lalu bertanyalah kepada diri sendiri. Saya ini siapa? Mengapa saya ada? Bagaimana sifat-sifat dasar saya? Bagaimana saya menghadapi kegagalan? Bagaimana saya menentukan pilihan? Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu? Apakah kelebihan dan kekurangan saya? ‘Titik aman’ pertama adalah jika anda mengetahui dengan jelas apa kelebihan dan kekurangan anda. Kalau itu belum ketemu, saya yakin anda masih di persimpangan pilihan antara menjadi diri sendiri atau berfikir menjadi orang lain. Pencitraan diri (self imaging) menurut saya penting karena karakter itulah yang membedakan antara manusia satu dengan lainnya. Lha kalau

80

semua ingin sama, bukankah dunia jadi monoton dan tanpa warna? Kebanyakan manusia ketika sudah tua baru menyadari bahwa pilihan di masa lampau adalah keliru, dan itu sungguh terlambat Tidak mudah... Pernahkah anda mengalami pergulatan batin saat menentukan pilihan? Pernahkah anda sebegitu galaunya sehingga suatu ketika anda ingin menjadi orang lain saja dan meninggalkan ‘baju identitas’ anda? Pernahkah anda berusaha menjadi berbeda ketika orang lain berlomba-lomba menyamakan diri? Pada titik tertentu, seseorang pasti punya daya pikir sendiri, pilihan sendiri, yang kemudian ingin mempertahankan itu di tengah ‘pertempuran hati’. Salut untuk mereka yang bertahan menjadi dirinya sendiri ketika godaan ‘menjadi orang lain’ datang seperti badai yang menyapu daratan. Dulu, ketika bermain sepakbola, saya ingin (bermain) seperti Zinedine Zidane (ketika menjadi gelandang), atau seperti Carles Puyol dan Javier Zanetti ketika bermain sebagai bek. Ya, mereka adalah idola saya dalam sepakbola. Di musik, saya mengidolakan Eno (drummer Netral) atau Travis Barker (drummer Blink 182). Tapi kemudian saya menyadari bahwa saat menjalani hobi tersebut, saya tidak bisa dan tidak akan bisa meniru gaya mereka, karena kemampuan kita berbeda, seberapapun kuatnya saya berusaha. Yang saya tahu, mereka menjadi hebat, berkarakter dan kuat dalam bidangnya karena mereka mencitrakan dirinya seperti itu dan membedakan dirinya dengan orang lain. Saya pun berdamai dengan diri sendiri dan kenyataan bahwa kemampuan diri ada batas-batas tertentu yang tidak bisa dilewati dan juga karakter unik yang melekat dalam diri. Sayakemudian berjanji kepada diri sendiri bahwa saya memang terilhami Zidane, Zanetti, Puyol, Eno dan Travis, tapi saya tidak ingin seperti mereka, saya adalah diri saya sendiri.

Edisi Sembilan


raungan bebaS Service, National Travelers Aid Association, dan National Jewish Welfare Board).

RAUNGAN BEBAS

B

erbicara mengenai kebutuhan dalam operasi militer, seringkali yang dibicarakan adalah kebutuhan soal amunisi dan logistik saja. Kita kadang lupa bahwa personel militer itu manusia biasa juga yang butuh dukungan moral dan hiburan, apalagi untuk personel militer yang ditugaskan di luar negeri dan jauh dari rumah mereka. Amerika Serikat bisa dikatakan sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia saat ini. Para pimpinan militer Amerika Serikat sadar bahwa dengan jumlah personel yang cukup besar dan tersebar di berbagai pangkalan militer Amerika Serikat di luar negeri (termasuk beberapa di daerah rawan konflik seperti Afrika dan Timur Tengah) maka memelihara mental dan moral personel militer mereka ada satu hal yang tidak bisa diremehkan dan cukup

TUCZINE

Pada awalnya fasilitas yang disediakan USO adalah USO Centre dan klub di beberapa pangkalan militer AS. Di USO Centre dan klub ini biasanya diselenggarakan acara hiburan seperti pemutaran film atau acaraacara sosial seperti pesta dansa dengan masyarakat sekitar pangkalan tersebut. Namun seiring dengan keterlibatan AS dalam Perang Dunia II di mana banyak pasukan mereka yang dikirim ke berbagai front pertempuran di front Eropa Barat, Afrika Utara, dan Pasifik maka USO pun menyediakan berbagai fasilitas hiburan dan rekreasi bagi pasukan AS yang bertempur di garis depan. Pada umumnya USO mennyediakan fasilitas rekreasi seperi pemutaran film serta menyediakan kopi dan donat secara gratis, namun beberapa fasilitas USO juga menyediakan bimbingan spiritual dan bantuan dukungan bagi para istri tentara AS.

memperoleh prioritas. Sebagai dukungan moral dan hiburan bagi personel militer Amerika Serikat maka ada satu organisasi yang bernama USO, United Support Organizations. USO sendiri merupakan sebuah organisasi non profit dan bukan merupakan bagian dari pemerintah Amerika Serikat, walaupun secara resmi memperoleh dan dari pemerintah AS. Organisasi ini menyediakan hiburan bagi personel militer dan keluarganya yang ditempatkan di pangkalan militer AS di luar negeri, termasuk mereka yang ditugaskan di kapal perang dan kapal induk AS yang sedang bertugas di luar wilayah AS. Saat ini USO memiliki 160 fasilitas hiburan di berbagai pangkalan militer AS dengan jumlah personel sekiar 24 ribu orang yang hampir seluruhnya adalan volunteers. Slogan USO sendiri adalah “Until Every One Comes Home.”

81

Sejarah USO sendiri berawal pada tahun 1941 saat Amerika Serikat mulai bersiap untuk terjun dalam Perang Dunia II. Pada saat itu presiden Franklin D. Roosevelt meminta agar ada sarana hiburan dan dukungan bagi para personel militer AS. Permintaan presiden ini kemudian mendapat dukungan dari Gubernur New York, Thomas Dewey dan Prescott Bush, seorang bankir dan politikus (Prescott Bush ini ayah dari George Bush, presiden AS tahun 1988-1992 dan kakek dari George W. Bush, presiden AS tahun 2000-2008). Tanggal 4 Februari 1941 akhirnya berdiri USO yang merupakan gabungan dari enam organisasi non profit sipil : The Salvation Army, Young Men`s Christian Association (YMCA, ini bukan lagu disko dari Village People yang terkenal tahun 1970-an), Young Women`s Christian Association (YWCA), National Catholic Community

Edisi Sembilan

Fasilitas USO yang paling terkenal dalam Perang Dunia II adalah Camp Shows. Dengan bekerja sama dengan artis-artis Hollywood, USO mengadakan berbagai pertunjukan hiburan di pangkalan-pangkalan militer AS. Selama Perang Dunia II saja lebih dari 200.000 pertunjukan digelar oleh USO di berbagai tempat. Beberapa artis Hollywood yang ikut dalam misi USO dalam Perang Dunia II adalah Bing Crosby, Judy Garland, Bette Davis, Humprey Bogart, Frank Sinatra, Laurel and Hardy, Marlene Dietrich, Bob Hope, dan masih banyak lagi. Perjalanan melaksanakan misi USO dalam Perang Dunia II bukan pekerjaan yang mudah. Tercatat setidaknya 28 orang artis tewas dalam perjalanan melaksanakan misi USO, seperti penyanyi Tamara Drasin tahun 1943 dan musisi Glen Miller tahun 1944. Setelah Perang Dunia II berakhir, USO akhirnya dibubarkan pada tahun 1947 karena kekurangan dana. Namun pada tahun 1950 seiring dengan keterlibatan AS dalam Perang Korea maka USO kembali diaktifkan atas permintaan Menteri Pertahanan

TUCZINE

George Marshall. Beberapa pertunjukan USO diselenggarakan di Korea, salah satu yang paling terkenal adalah pertunjukan pada tahun 1954 yang antara lain menampilkan comedian Bob Hope, musisi Louis Armstrong, dan artis Marilyn Monroe. Selanjutnya USO juga ikut menghibur pasukan AS dalam Perang Vietnam. Bahkan fasilitas USO sudah ada di kota Saigon sejak tahun 1963, sementara Perang Vietnam baru pecah pada tahun 1965 (karena sejak tahun 1960 pemerintah AS mengirimkan bantuan persenjataan dan penasihat militer untuk Vietnam Selatan). Walaupun Perang Vietnam banyak memperoleh tentangan dari dalam negeri Amerika Serikat, namun beberapa artis Hollywood tetap ikut berpartisipasi dalam misi USO dalam Perang Vietnam. Mereka yang ikut menghibur tentara AS di Vietnam antara lain Sammy Davis Jr, Ann-Margret, Bob Hope, Bob Hope, John Wayne, Wayne Newton, dan Nancy Sinatra. Bagi para prajurit di garis depan, kehadiran USO walaupun hanya beberapa menit sangat berarti bagi moral mereka. Menteri Luar Negeri AS John Kerry yang merupakan veteran Perang Vietnam berkata bahwa itu merupakan dukungan moral bahwa mereka yang bertugas di garis depan tidak dilupakan begitu saja. Bagi para GI tersebut melihat “the young women wore miniskirts”menghibur di panggung selama beberapa menit, sangat berarti untuk melupakan kengerian perang. Artis Connie Stevens dan Ann-Margret mengaku mereka masih sering menerima ucapan terima kasih dari para veteran Perang Vietnam yang ikut menonton pertunjukan USO mereka, walaupun pertunjukan tersebut sudah lebih dari 35 tahun yang lalu. Setelah Perang Vietnam, bisa dikatakan tidak ada misi USO di medan tempur selama beberapa tahun mengingat AS sendiri tidak banyak terlibat konflik bersenjata di luar negeri (kecuali Grenada pada tahun 1983 dan Panama pada tahun 1989). Namun pada tahun 1991 pecah Perang Teluk setelah Irak melakukan invasi kepada Kuwait dan pasu-

82

kan AS dikirim ke Timur Tengah dalam Operation Desert Shield/ Desert Storm. Seperti misi-misi USO sebelumnya, artis Hollywood juga ikut berpartisipasi dalam misi USO di Timur Tengah. Jay Leno, Steve Martin, Ann Jillian, Gerald McRaney, Marie Osmond, The Pointer Sisters, dan Bob Hope ikut mengibur pasukan AS. Misi USO dalam Perang Teluk tahun 1991 menjadi pertunjukan USO terakhir bagi comedian Bob Hope yang meninggal dunia pada tahun 2003. Bob Hope sangat aktif dalam misi USO, mulai dari Perang DUnia II, Perang Korea, Perang Vietnam, dan Perang Teluk tahun 1991. Bob Hope sangat dihormati oleh militer AS karena dukungannya terhadap USO dan oleh karena itu pada tahun 1997 Kongres AS menganugerahi gelar sebagai “the first and only honorary veteran of the U.S. armed forces.” Memasuki tahun 2003, Amerika Serikat melancarkan operasi militer di Irak dan Afghanistan. Untuk mendukung pasukan AS di kedua wilayah konflik tersebut maka dibuka fasilitas USO di Irak, Afghanistan, Kuwait, dan Qatar. Sama seperti sebelumnya, USO pun menyelenggarakan pertunjukan untuk para personel militer AS. Mereka yang ikut berpartisipasi dalam misi USO di Irak dan Afghanistan antara lain comedian Robin Williams dan Dane Cook, penyanyi Jessica Simpson dan Carrie Underwood, actor Bruce Willis dan Gary Sinise, serta beberapa artis lainnya. Band rock seperti Avenged Sevenfold dan Drowning Pool juga ikut berpartisipasi dalam misi USO. Saat ini dengan 160 fasilitas di berbagai tempat, dibantu dengan 300 orang staf dan sekitar 44.000 orang sukarelawan, USO tetap melaksanakan misinya menghibur para personel militer AS. Dukungan dana operasional USO dari pemerintah AS cukup besar, mencapai lebih dari 350 juta dollar. Selain dana resmi dari pemerintah AS, USO juga banyak menerima sumbangan. Salah satu donator USO adalah actor Charlie Sheen yang memberikan donasi 1 juta dollar pada tahun 2012.

Edisi Sembilan


raungan bebaS

raungan bebaS

ARJUNA DAN PUSAKA KENDALILUPADOSA Oleh : Derry Marselano

D

imanapun anda membaca kisah tentang Putra kedua Pandu ini baik di Wiracarita Mahabarata, Kakawin Arjunawiwaha, bahkan di kisah para pahlawan tumaritis sekalipun dapat dipastikan anda akan memperoleh deskripsi yang tidak jauh berbeda tentang Arjuna. Dia adalah seorang ksatria baik hati, pandai bertempur, dan senyumnya mempesona setiap wanita. Namanya sendiri mengandung arti putih, bersih, dan bermakna jujur dalam wajah serta tindakan. Berbagai kisah epik tentang perjalanan hidupnya selalu memukau, sepak terjangnya membasmi para raksasa dan pembuat onar di bumi dan di mayapada, perjalanan dan perjuangannya memperoleh berbagai pusaka serta kisah cinta dan romansanya, kisah yang anda akan baca berikut ini juga hanya sekedar kisah lain dari perjalanan hidup sang Dananjaya namun cerita ini kemungkinan akan menjadi fiksi yang penuh kebohongan bagi anda semua. Entah berapa purnama sudah Arjuna muda melakukan tapa brata disebuah gunung yang namanya pun dirahasiakan oleh para dewata, tapa yang dilakukan dengan sepenuh jiwa dan raga menjernihkan pikiran, angan–angan, perasaan, dan nafsu duniawi . Semua dewa mencoba menggoda dengan berbagai cara, bidadari yang cantik jelita, jerit dan tangisan keluarga yang dicinta, serangan hewan buas, semua godaan dan gangguan itu tidak menggoyahkan

TUCZINE

tapa bratanya. Hingga akhirnya seluruh dewa dari khayangan berujar akan mengabulkan satu permintaan Arjuna,ada dewa yang bersedia memberikan pusaka, ada juga yang bersedia memberikan seorang bidadari untuk diperistri arjuna, ada juga yang menawarkan ajian sakti tanpa tanding tapi entah mengapa Arjuna tetap melanjutkan tapa bratanya,… hingga suatu hari datang sesosok mahluk gelap yang bersinar terang yang mengaku bahwa dirinya bukanlah siapa siapa. Sosok tersebut mewujud dihadapan Arjuna secara sederhana membicarakan perenungan tentang kehidupan secara panjang lebar dan akhirnya menjelaskan maksud dan tujuan kemunculannya ditengah tapa brata sang arjuna, “wahai Arjuna sesungguhnya dunia ini membutuhkan sosok sepertimu dan apa yang akan aku berikan kepadamu adalah suatu pusaka yang keberadaannya tidak diketahui oleh semua mahluk dimuka bumi dan di mayapada” , pusaka yang diberikan bukanlah senjata maut yang mempu mengalahkan musuh dengan sekali hantam, bukan juga busur gandeva yang mampu mengeluarkan panah tanpa batas, bukan juga brahmastra yang mampu menghancurkan seisi bumi, bukan juga cakra atau nenggala, dan bukan juga pusaka yang mampu menghidupkan yang mati, namun pusaka ini jauh lebih berharga daripada semua pusaka dijagad ini, siapapun yang memiliki pusaka ini mampu mengendalikan

83

cara pandang seluruh manusia di bumi atas semua hal yang dilakukan, mereka akan memuja setiap tindakan yang kau lakukan, baik itu benar atau salah, baik itu bathil atau mulia dan tidak ada satu mahluk pun di jagad ini yang akan mengetahui kau mempunyai pusaka ini. Sepeninggal Mahluk yang tidak jelas asal usulnya tersebut Arjuna mendapati Pusaka yang dimaksud dihadapanya, rasa bimbang dan ragu menghinggapi batinnya namun Arjuna sejatinya hanyalah manusia yang memiliki berbagai keinginan dan memiliki sisi gelap yang kali ini menyeruak di sanubarinya, maka diambil dan diakuinya pusaka tersebut sebagai miliknya dan sontak bumi bergemuruh dan langit pun bergetar, para dewa di khayangan menyadari bahwa kejadian ini dipicu dari tempat Arjuna melakukan tapabrata segera berkumpul dan menghampiri Arjuna menanyakan apa yang terjadi dan kembali memohon agar arjuna menghentikan tapabratanya. Kali ini Arjuna ditawari sebuah panah pusaka dan selain itu juga bukan hanya satu tapi tujuh bidadari penghuni pelangi yang sesungguhnya sudah diberikan kepada seorang raja raksasa sebagai tanda perdamaian para raksasa dengan para dewa dan manusia dibumi untuk menghentikan tapa bratanya, dikarenakan sisi gelap dari Arjuna mulai menggrogoti maka dia pun tergoda atas tawaran ini dan menyetujui akan menghentikan

Edisi Sembilan

tapa bratanya dan akan merebut ketujuh bidadari tersebut dari tangan sang Raja Raksasa. Pada saat itu sesungguhnya kehidupan didunia sedang dalam keadaan damai, para raksasa dari tujuh suku raksasa yang akhirnya dipersatukan oleh seorang Raja menyetujui untuk tidak saling menggangu dengan umat manusia dan atas hal tersebut para dewa sepakat akan memberikan ketujuh bidadari kepada Raja para raksasa tersebut. Namun Arjuna tidak ambil pusing atas apa yang akan terjadi, baginya yang penting ketujuh bidadari tersebut bisa menjadi miliknya, maka dengan berbekal panah pusaka pasopati yang diberikan kepadanya untuk membunuh sang raja raksasa berangkatlah dia untuk menantang tanding sang raja raksasa tersebut. “Wahai Arjuna sesungguhnya aku berhasil mempersatukan ketujuh suku raksasa dan berhasil meyakinkan mereka untuk tidak mengganggu para manusia, dan para dewa menjanjikan ketujuh bidadari untuk para kepala suku raksasa dibawah kerajaanku, dan sungguh apabila kau berkehendak untuk mengambil hak atas ketujuh bidadari tersebut aku tidak bisa menjamin kedamaian yang sudah berlangsung ini akan terus berjalan”, tidak perduli dengan perkataan sang raja raksasa tersebut Arjuna langsung menyerang sang Raja Raksasa, namun apa lacur dikarenakan niatan Arjuna yang tidak mulia dia harus menderita kekalahan ternyata sang Raja Raksasa tersebut tubuhnya kebal dan tidak ada panah pusaka yang dimiliki Arjuna mampu menggores tubuh sang Raja Raksasa tersebut bahkan panah Pasopati pun terpental bahkan sebelum menyentuh kulit dari sang Raja Raksasa, diambang mautnya Arjuna memohon untuk tidak dibunuh dan meminta maaf kepada raja raksasa tersebut. “ Baiklah demi kedamaian di muka bumi ini nyawamu aku ampuni, karena jika nyamu kucabut, pasti akan terjadi peperangan lagi, dan untukmu wahai Arjuna aku berikan tidak tujuh namun satu bidadari yang sudah menjadi hak dari diriku agar tidak ada dendam diantara kita”. Kemudian sang Raja Raksasa tersebut berbalik membelakangi Arjuna dan saat itulah Arjuna memperoleh bisikan gaib yang menginstruksikannya untuk memanah tengkuk sang Raja Rak-

TUCZINE

sasa tersebut yang merupakan satu- satunya titik kelemahan , sang Raja Raksasa yang tidak menduga sama sekali jika seorang Ksatria seperti Arjuna yang dijuluki sang Bibatsu (tidak pernah bertarung secara curang) akan bertindak licik dan curang dan menyerang dari arah belakang setelah memohon ampun dan menyerah kalah, akhirnya harus merelakan nyawanya dan kedamaian yang sudah berjalan di muka bumi, panah pasopati menembus tengkuk sampai ke ujung lidah dan merenggut nyawanya. Sorak sorai pun pecah menggema atas kemenangan Arjuna ketujuh bidadari berhasil direbut dan tidak ada yang mengungkit kecurangan, air mata palsu dan akal licik yang digunakan untuk mengalahkan sang Raja Raksasa, puja dan puji diberikan atas kegagahan, keberanian dan kesaktian Arjuna walaupun kemenangan Arjuna ini menyebabkan munculnya kebencian dan peperangan antara para raksasa dengan manusia dan para dewa namun kekuatan magis dari pusaka yang dimilikinya membuat seluruh mahluk tetap memuji Arjuna atas apa yang telah terjadi. Arjuna pun mulai menyadari betapa kesaktian dari pusaka ini sangatmenguntungkan pemiliknya, bahwa seburuk apapun hal yang dia lakukan seluruh mahluk tetap akan menganggap semuanya itu adalah kebaikan. Selepas tragedi tersebut pusaka itu berkali – kali menyelamatkan Arjuna atas segala tindak tanduknya, semua umat manusia menganggap kisah cintanya dengan Banowati adalah sebuah roman kasih yang suci, walaupun putri dari Prabu Salya ini sudah menjadi istri dari Duryudana hal ini tidak lantas mencegah Arjuna untuk terus menggoda Banowati hingga akhirnya terjadilah perbuatan terlarang antara mereka berdua yang kemudian menghasilkan seorang putra bernama Raden Lesmana Mandrakumara dengan paras dan bakat yang sangat mirip dengan Arjuna, ketika Lesmana lahir Arjuna dan Banowati bingung bukan kepalang melihat kemiripan yang teramat sangat antara Arjuna dan Lesman Mandrakumara dan akhirnya Arjuna melakukan Tapa Brata sehingga Lesmana menderita lemah mental dan juga lemah fisik sehingga sama sekali tidak tampak seperti hasil hubungan terlarang antara

84

Banowati dan Arjuna. Duryudana sendiri sebenarnya mengetahui hal ini tapi karena rasa sayangnya terhadap Banowati dia menganggap Lesmana sebagai darah dagingnya sendiri namun terhadap Arjuna perang Barathayudha lah satu- satunya jalan keluar walaupun maut menanti diujung peperangan bagaimana tidak, setelah sebelumnya Subadra sang dewi rara ireng calon istri yang sudah sah dilamar nya dibawa kawin lari oleh Arjuna sekarang istri sah nya diberikan dosa oleh Arjuna. Semua Ksatria yang mempu menandingi atau melebihi kesaktian dari Arjuna sang Wijaya yang tidak pernah kalah dalam pertandingan dihabisi dengan berbagai macam cara, ketika Ekalaya dengan cincin mustika ampal di ibu jarinya menunjukan kemampuan yang dapat mengalahkan Arjuna maka dengan berbagai daya , tipu muslihat dan bujuk rayu Ekalya menyerahkan cincin mustika ampal sekaligus nyawanya kepada Resi Dorna guru dari Arjuna yang kemudian pusaka tersebut diberikan kepada Arjuna, tidak cukup dengan pusaka dan nyawa Ekalaya , istri dari Ekalaya pun di sunting oleh Arjuna dan seluruh manusia memaklumi hal ini serta justru memuji tindakan Arjuna. Karna pun mengalami hal yang tidak jauh beda dengan Ekalaya, sebagai kakak dari Arjuna sesungguhnya Karna mengungguli Arjuna dalam hal pertempuran namun dengan mengorbankan nyawa Gatotkaca Arjuna bisa selamat dari Senjata Pusaka Konta dan dengan kelicikannya Arjuna dapat mengalahkan Karna dengan bantuan Prabu Salya (ayah dari Banowati) dan dunia bersorak ketika Karna harus meregang nyawa diujung panah Arjuna bukan karena Arjuna lebih sakti dari Karn namun ulah Prabu Salya dengan sengaja memperosokan kereta kudanya. Begitula Arjuna, wanita manapun yang berhasil masuk dalam jebak rayunya, semua musuh yang berhasil dikalahkan dengan berbagai cara, semuanya akan dianggap sebagai hasi budi dan dharmabhakti semua itu adalah hasil kesaktian dari Pusaka Kendalilupadosa yang dimilikinya , bahkan ratusan atau ribuan tahun setelah kehidupannya umat manusia masih akan menganggap nya sebagai seorang Ksatria yang gagah perkasa….. all hail to Arjuna

Edisi Sembilan


raungan bebaS catatan andria

jalur

baru

Oleh : Indah Pujiati

A

ku dapat cubicle dekat jendela, ih seneng bingit deh. Lumayan lah pemandangan Jalan Pramuka bisa aku lihat setiap saat. Jadilah seharian itu, aku sering memandang keluar jendela. Kegiatan ini menghasilkan pemandangan Lamborghini orange lewat di sana pagi-pagi pada beberapa hari kemudian. (ini harus aku ceritakan karena aku ndak pernah melihat Lamborghini secara langsung, cuma bisa lihat di tv atau majalah… uhuk). Bicara soal pemandangan di jalanan, aku sudah kenyang banget lah, soale aku menggunakan sepeda motor untuk transportasi. Jadi, ibuk-ibuk begini, aku biker lho (hehehe). Sebelum di kantor ini, aku kan di KPP Pratama Jakarta Cakung Satu (nanti cuma kusebut Cakung Satu), yang berada di kawasan industri. Keadaan tersebut membuatku harus bisa mengendarai sepeda motor, karena ongkos jadi lebih murah. Bayangkan saja, kalo mau kemana-mana harus naik ojek, kan jadi boros ongkos tuh. Ngomong-ngomong, gimana kabar Abram ya, masih cepak kah, atau malah botak. Semoga baikbaik saja. Berhubung kantor hanya selisih kurleb 5 km dari Cakung Satu, maka tetaplah aku jadi biker, selain karena kesulitan transportasi umum juga siy, karena ndak ada yang lewat di depan kantor. Jalur yang kugunakan juga tinggal menambah aja dari jalur yang biasa kugunakan ke Cakung Satu. Hanya saja, selepas perempatan Tugas (Pintu Barat Kawasan), jalan raya yang kulalui lebih besaaar, lebih ramaiii, lebih ngeriii, dan lebih-lebih yang lain deh. Pokok e ambil kiri aja lah, yang agak longgar,

TUCZINE

sehingga kalo jalan lambat ndak diklakson-klakson. Aku merasa, dengan melewati jalan raya sebesar ini (masuk kelas jalan apa ya Jalan Pemuda Pramuka itu, jalan kota lah pokok e), kemampuanku berkendara jadi lebih terasah (bahasane… cuih). Bayangkan saja, yang biasane hanya berkendara di jalan selebar 6 meter, ini masuk ke jalan yang satu jalur aja selebar 10 meter. Berasa bingit kalo sehabis lampu lalulintas berubah hijau, wuss wuss wuss, pada dulu-duluan jalan deh tuh. Mau ndak mau aku kan harus bisa mengimbangi keadaan. Kaget pada kali pertama, tapi lama kelamaan bisa juga, malah semakin menikmati. Beneran deh, aku jadi agak berani menambah kecepatan atau menyelinap diantara kendaraan roda empat, tapi kalo mau melawan Metro Mini atau Damri/ PPD/Bis Malam, aku mesti hati-hatiiiiiiiii bingit. Bukan apaapa, aku hanya ingin memastikan bahwa si supir melihat keberadaanku. Coba bayangkan deh, bayangkan, motor kecil lawan kendaraan segede gaban. Kesenggol dikiiiiiiit aja, bisa berabe. Sering merasa deg-degan kalo ketemu kendaraan jenis ini (bukan deg-degan naksir yeee), tapi akan menghasilkan kegembiraan yang sangat bila berhasil melewati mereka. Kalian boleh ketawa deh aku cerita macam begini, tapi memang begitulah yang aku rasakan. Keterampilan ini sedikit banyak membantuku untuk bisa sampai rumah sebelum Maghrib lho (dengan catatan jalan macet pada batas wajar). Jadi, kalo pulang dari kantor jam 5 sore tuh, seperti aku pulang dari Cakung Satu jam 17.30 karena kan kantorku ini lebih jauh. Jadi sepanjang perjalanan sering

85

menemui titik-titik kemacetan, walau kadang lancar juga siy. Oh iya, jalur yang kuambil juga mempengaruhi ding. Kalo pilih Ngurah Rai, track lurus siy tapi kemacetan di jalur ini ampun deh. Kalo pilih Dermaga, berliku tapi kendaraan jalan terus, ndak sampai mandeg maksudku. Jalur Dermaga membuatku lebih cepat sampai rumah. Aku bersyukur bingit lho menemukan jalur Dermaga ini, hasil ndak sengaja karena harus menambal ban yang bocor, menjelang jalur Ngurah Rai. Ketika menunggu, aku perhatikan sekitar, ada motor yang lalu lalang, tapi bukan jalur utama Ngurah Rai. Aku kepikiran nanti akan kuikuti jalur mereka. Benar saja, jalur ini membawaku ke Kampung Bulak dan tembus ke Dermaga, dan aku paham kalo jalan ini akan tembus pula ke Buaran. Seneeeeeeeng deh menemukan jalur baru. Aku merasakan, jalur Dermaga terasa lebih nyaman daripada Ngurah Rai. Jadi secara psikologis, aku ndak terlalu stress menjalani jalur ini. Terlebih lagi, di kanan kiri jalan banyak restoran/ rumah makan atau pedagang makanan kaki lima (mungkin ini juga yang bikin nyaman). Kalo lewat di depan gerobak sate padang, alamaaaaaak, sedap niaaaaaaan. Apalagi kalo lewat di depan penjual sop buah atau es kelapa, menelan air liur, segeeerrr. Jadi biker itu memang menyenangkan. Membuatku mandiri, bisa melatih reflek, bisa melatih berpikir cepat, bisa merasakan persaudaraan sesama biker, dan yang pasti membantu lebih cepat sampai tujuan (rumah-kantor) serta menghemat waktu (ndak perlu nunggu kendaraan umum dan bisa selap selip). Alhamdulillaah.

Edisi Sembilan

SOUL OF WE Sebuah Catatan Oleh Paketua

A

khirnya saya masuk institusi militer lagi. Dulu saya pernah, bahkan lebih lama saat ikut diklat prajab di Condet tahun 1998. Beruntunglah pada Agustus 2013 lalu tak perlu harus berhari-hari tapi cuma 2 hari. Acara yang dalam rangka kegiatan bela negara yang diadakan kantor wilayah saya ini bertempat di AKMIL Magelang. Pak Kakanwil berharap untuk bisa menanamkan jiwa corsa yang merupakan trade mark anggota militer pada kami. Bagi beliau menumbuhkan jiwa corsa yang paling sempurna adalah menerapkan disiplin ala para anggota militer. Kami tentu saja juga diwajibkan memotong rambut ukuran 321 dan diinapkan selama satu hari di sana supaya menghirup udara disiplin sejak awal hingga akhir. Sebagai ilustrasi memang kondisi AKMIL sangat rapi, tak ada sampah, rumputnya rata

TUCZINE

dan berbagai keteraturan lain. Sayangnya keinginan pak pimpinan kami bakal kandas, setidaknya tak mencapai sasaran :). Selama di sana kebanyakan dari kami memperlihatkan sikap intoleran pada sesama peserta. Kebanyakan dari kami masih membawa kebiasaan sebagai “masyarakat sipil yang bebas & demokratis”. Banyak peserta yang masih membiarkan rekan-rekan lain untuk menolerir “keterbatasan” diri mereka untuk tidak mematuhi aturan yang sudah disepakati bersama. Kalau di sana aja tidak bisa membangun jiwa corsa bagaimana bisa membangun di kondisi yang lebih bebas? Banyak orang yang hanya mengartikan slogan jiwa corsa secara sempit. Bila dia dapat kesulitan hukum lalu minta tolong rekan se-institusi melepaskannya adalah jiwa corsa. Kehabisan duit lalu minta tolong rekannya untuk menanggung adalah jiwa corsa :)

86

Banyak yang tidak menyadari bahwa tidak bekerja sementara rekan-rekannya bekerja keras adalah mencederai jiwa corsa institusinya. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana menumbuhkan jiwa corsa kita masyarakat sipil yang dibangun melalui rasa empati dan penghormatan sebagai insan merdeka bukan hanya melalui hardikan atau hukuman disiplin. Oh ya, tentu saja kaos Soundgarden saya pakai sebagai tetenger, mereka yg membuat lirik yg pas utk acara seperti ini :) I must obey the rules I must be tame and cool No staring at the clouds I must stay on the ground ... I must be pure and true I must contain my views There must be something else There must be something good Far away far away from here (Soundgarden-Boot Camp)

Edisi Sembilan


TUCZINE

TAX UNDERGROUND COMMUNITY MAGAZINE DESIGN & PROPAGANDA MARAHA SUFITRA, MASBOI EMAIL TUC.ZINE@GMAIL.COM TWITTER @TUCZINE TUCZINE.TUMBLR.COM I TUCZINE.COM IMAGES USED IN THIS MAGAZINE ARE COURTESY OF THEIR RESPECTIVE OWNERS

question everything

TUCZINE

87

Edisi Sembilan

TUCZINE

88

Edisi Sembilan


TUCZINE

tuczine.tumblr.com 89

Edisi Sembilan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.