![](https://assets.isu.pub/document-structure/210407032359-d4cdf5b963ac49b96eab9552c1ffbf3a/v1/9a4f5af0f249501ef68f2cfebdcc4397.jpg?width=720&quality=85%2C50)
6 minute read
cerpen
Di BaLiK SENgSaRa aDa NiKMaT
Oleh DiaN PURBaYa SaRi ku pelajaran, memakai seragam sekolah, dan bersepatu bagus. Bukan sosok seorang anak yang mempunyai cita-cita setinggi langit. apa artinya itu semua untukku. aku anak jalanan 11 tahun pengamen jalanan. aku adalah Sang Raja Malang yang tak henti-hentinya menyusuri pinggiran kota Jogja ini. Naik turun bis kota sambil membawa botol sprite atau fanta bekas, yang ketika kuadu dengan uang logam 100 rupiah aku bisa membuat musik pengiring tatkala aku harus menyanyikan lagu jeritan nuraniku. asap kendaraan, sengatan matahari, debu, dan babak belur sudah teramat akrab denganku. Begitulah nasibku. Pengamen jalanan, Si Ro.
Advertisement
***
Sore ini senja menyelimuti kota Jogja. Terasa capek dan pegal-pegal tubuhku. ingin dipijit, tapi tak mungkin. aku sebatang kara. Kerja keras ngamenku naik turun bis hanya mendapat 3.700 perak. Lumayan buat dua bungkus nasi kucing dan es teh. Tiba-tiba hatiku gundah. Sosok yang baru saja melintas di hadapanku ..... seperti ayah.
Ya! ayahku. Jantungku berdebar keras. Tak tertahan lagi keinginanku untuk balas dendam kepada ayah. Lagi-lagi aku tidak berdaya. andai saja aku sekarang sudah besar dan dewasa, aku pasti melakukannya. Betapapun, luka di hatiku takkan bisa terobati dengan apa pun.
“Si Ro, yuk kita bareng aja. Siapa tahu dengan ngamen bareng kita bisa dapat rejeki lebih banyak,“ pinta aceng, sahabat karibku.
“iya deh. Dengan syarat, hasilnya dibagi sama rata. Setuju?” ganti aku bertanya.
“Tentu, jangan khawatir,” jawabnya. aceng benar. Dengan ngamen berdua penghasilan ada peningkatan.
***
Matahari menyengat. Siang panas. adzan menggema. aku membisu. Untuk pertama kalinya, adzan itu terasa masuk pori-pori tubuhku. ada kesejukan dan penuh makna. Mataku melirik ke kanan-kiri, menyelidik, mencari asal suara adzan itu. Kudapati bangunan masjid sederhana di pojok jalan dekat gang buntu. Di sekitarnya tanaman hijau. Nyaman. Tidak berapa lama, kulihat seorang yang mengumandangkan adzan tadi menaruh mikrofon-nya. ia memutar badannya sambil menatapku. aku terpaku memperhatikan gerak-geriknya. Tampaknya ia tahu aku memperhatikannya. Orang itu mendekatiku.
“assalamu’alaikum,” sapanya mengulurkan tangannya.
“Wa’alaikumsalam,“ jawabku grogi. Bersalaman.
“Namamu, Nak? Sendirian? Temanmu mana?” sambil mengajakku masuk masjid.
“Rois, Pak. Biasa dipanggil si Ro,” sahutku.
“aku Pak Jefri. Rois tidak tinggal di daerah ini ya? Bapak tidak pernah melihatmu?” lanjutnya.
“iya,” jawabku.
“Tunggu sebentar, Bapak iqamah dulu. Sudah banyak ja-
MaLaM merayap, sunyi pekat. Dingin seakan tak pernah mau tahu penderitaan yang kualami. aku kedinginan, laparku menjerat erat-erat. Bulan dan bintang diam terpaku menatap deritaku. Dari tatapannya kurasa ada iba. Mereka menghiburku dengan bias-bias cahayanya. Perlahan kubaringkan tubuhku di lantai beralas kardus, kembali kupegangi perutku yang semakin melilit.
Membosankan. Tiap malam aku selalu dijamu hampa. Kupandangi anak-anak seperjuanganku. Sama sepertiku, tidur beralas kardus. Kami adalah pendonor darah setia untuk nyamuk-nyamuk.
Malam ini aku tidak bisa tidur seperti mereka. Uang hasil ngamenku dirampas anak buah Mbak ida, mucikari kondang daerah ini, sore tadi. Sehingga, seharian aku belum mencicipi nikmatnya sebungkus nasi. andai saja badanku tinggi, besar, dan pemberani, pasti kulawan mereka. Tapi, aku hanya seorang bocah ingusan.
Hembusan angin menyentuh kenangan. Satu demi satu kisah yang pernah kualami terbuka. Tiba-tiba aku mendengar alunan nada-nada indah dari bibir ibuku, lagu yang sering ia dendangkan untukku sebelum tidur. Kehadirannya menghangatkan hati dan pikiranku, sosok penuh kasih sayang dan cinta yang selalu kurindukan. Jika saja aku mampu melawan ayah dan mencegahnya merenggut kebahagiaanku, hal ini pasti tidak akan terjadi. ayah begitu tega. Dengan sadisnya ia menghabisi ibuku, istrinya sendiri, hanya untuk menuruti hawa nafsunya, beristri muda.
Tragedi itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Tatkala ayah membanting, melempar, dan membenturkan tubuh ibuku ke dinding, aku berusaha mencegah ayah. Namun, kepalaku terasa sakit dan berat karena sebelumnya ayah telah memukulku dengan sebatang kayu. Semuanya terasa berat, aku pun pingsan. Setelah aku sadar, aku langsung mencari ibu, hasilnya nol. aku tidak melihat sosok ibu lagi. aku menangis sejadi-jadinya ketika aku melihat tubuh ibuku terkapar kaku, biru, dan pucat, penuh luka.
Yang tak terlupakan sampai saat ini, senyum tipis ibu. aku benci ayah! Kepala keluarga yang seharusnya mengayomi kami justru menghancurkannya. apalagi, ketika dia bersama istri mudanya meninggalkanku sendirian di kota yang cukup ramai: Jogja. Mereka pergi tanpa meninggalkan apa pun. aku terpaksa harus mendiami gubuk reyot sendiri. ***
Namaku Rois. Teman-temanku sering memanggilku si Ro. aku bukanlah anak yang ke sana ke mari membawa buku-bu-
cerpen
maah datang. Kamu ambil air wudlu ya,” dielus kepalaku sambil tersenyum. aku menurut. Entah angin mana yang membuat aku patuh dengan kata-kata bapak tengah baya itu. aku sudah lupa caranya shalat. Semenjak kematian ibu, aku tidak pernah lagi shalat seperti nasehat ibu. aku pun mengikuti orang di sebelahku.
Sehabis shalat aku terdiam. Melintas kenanganku bersama ibu saat shalat berjamaah. air mataku tak bisa kubendung lagi. aku menyesal tak pernah mengerjakan kewajibanku sebagai muslim. Shalat bukan sekedar kewajiban, tetapi kebutuhan yang mestinya kurindukan. Cukup lama aku meninggalkannya.
Sejak itu, setiap waktu shalat tiba, kusempatkan ke mushola. aku banyak ngobrol dengan pak Jefri, tentang banyak hal. Pak Jefri mendengarkan ceritaku seksama, meski kadang ia menertawakanku yang bicara tanpa titik koma. Pak Jefri bagiku sosok ayah yang kudambakan. ia ramah dan selalu menasehatiku, mengingatkan aku sabar dan tawakal dalam menghadapi cobaan-Nya.
Pak Jefri pegawai Tata Usaha di sebuah SMP. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari masjid. Sehari-hari ia sempatkan untuk mengajar anak-anak TPa, untuk mengisi kekosongan waktunya. Sudah 10 tahun menikah belum juga dikaruniai anak. Untuk menghibur hatinya, hari-harinya diwarnai canda tawa anak-anak di sekolah maupun di masjid.
***
Penghasilanku hari ini lumayan banyak. Setelah kuhitunghitung, 10.500 rupiah. Ketika asyik menghitung recehan, tiga laki-laki berjaket hitam menghampiriku. Wajah mereka sadis menyeramkan.
“Namamu Rois Fardhika?” tanya mereka. aku mengangguk. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku.
“Kau kenal dengan afreza Fardhika?”
Darahku mendadak mendidih. Dadaku panas mendengar nama itu. Yang disebut-sebut itu ayahku, laki-laki biadab tak berperikemanusiaan.
“Dia ayah kandungmu kan?” tanyanya lagi. aku bingung kenapa mereka tahu aku dan keluargaku.
“Maaf, saya tidak kenal orang itu. Kalian pasti salah orang. Permisi.“
Baru beberapa langkah, ketiga orang tadi menghadangku. aku berbalik dan menatap mereka tajam.
“apa sih mau kalian?” bentakku lantang. “Kalian suruhan orang yang bernama afreza tadi?” lanjutku.
Mereka tersenyum lebar mendengar ucapanku. aku tidak tahu kenapa bisa jadi pemberani seperti ini. Mungkin karena aku sadar mereka suruhan ayahku.
“Kau pintar, Rois! ayahmu adalah Bos kami. Bos menyuruhku memberikan uang ini kepadamu.“
Tangannya mengulurkan amplop putih agak besar ke arahku. Segera kuambil amplop itu. Tanpa pikir panjang uang di dalamnya kusebar di depan mereka. Mereka terlihat marah.
“Bilang ke Bosmu yang biadab itu! aku tidak butuh uang haramnya. Perhatiannya yang palsu itu membuatku muak!!! ingat, kalian jangan mendatangiku untuk yang ke dua kalinya. anak buah afreza maupun dia sendiri. Paham!”.
Kutinggalkan mereka. Kali ini mereka tidak mencegahku. Kuhela nafas panjang. Kurasakan aroma keberanianku yang tidak kuduga sebelumnya. Terima kasih ya allah ... Kau telah melindungiku dan memberiku kekuatan.
Tanpa kusadari kejadian itu disaksikan oleh pak Jefri dan istrinya. Mereka bertepuk tangan mendekatiku.
“Ro, kamu telah berubah. Kami bangga dengan keberanianmu,” tutur pak Jefri. “andai saja kamu mau kujadikan anak angkatku, betapa bahagianya kami,” tutur bu Jefri berlinang air mata. Kata-kata itu membuatku terbelalak kaget. aku tak bisa berkata sepatah pun, bibirku terkunci. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat menginginkan sosok kedua orang tua seperti mereka.
“Pak, Bu, saya mau jadi anak Bapak-ibu. Saya bersedia berbakti dan mengabdi semampu saya. Saya berjanji tidak akan mengecewakan Bapak-ibu.“ kata-kataku memecah kebisuan sesaat.
“ibu tidak salah dengar kan, Ro?” bu Jefri penuh harap.
“iya, Bu, saya siap menjadi anak angkat ibu-Bapak.”
“Kalau begitu, mulai sekarang kamu ikut ke rumah kami, mandi, dan bersihkan badanmu. Kita ke toko buku dan pakaian membeli perlengkapan sekolah. Besok Bapak akan mendaftarkanmu ke SD terdekat. Bagaimana?” pak Jefri tersenyum.
“alhamdulillah, setuju sekali, Pak, Bu!” jawabku mantab. aku bersyukur dan bersyukur, Tuhan telah memberiku orang tua yang selama ini kucari.
Wonogiri, 2009
IstImewa
dIan purbayasarI mahasiswa uny