cerpen DI BALIK SENGSARA ADA NIKMAT Oleh D i an Purb aya s ari Malam merayap, sunyi pekat. Dingin seakan tak pernah mau tahu penderitaan yang kualami. Aku kedinginan, laparku menjerat erat-erat. Bulan dan bintang diam terpaku menatap deritaku. Dari tatapannya kurasa ada iba. Mereka menghiburku dengan bias-bias cahayanya. Perlahan kubaringkan tubuhku di lantai beralas kardus, kembali kupegangi perutku yang semakin melilit. Membosankan. Tiap malam aku selalu dijamu hampa. Ku pandangi anak-anak seperjuanganku. Sama sepertiku, tidur beralas kardus. Kami adalah pendonor darah setia untuk nyamuk-nyamuk. Malam ini aku tidak bisa tidur seperti mereka. Uang hasil ngamenku dirampas anak buah Mbak Ida, mucikari kondang daerah ini, sore tadi. Sehingga, seharian aku belum mencici pi nikmatnya sebungkus nasi. Andai saja badanku tinggi, besar, dan pemberani, pasti kulawan mereka. Tapi, aku hanya seorang bocah ingusan. Hembusan angin menyentuh kenangan. Satu demi satu kisah yang pernah kualami terbuka. Tiba-tiba aku mendengar alunan nada-nada indah dari bibir ibuku, lagu yang sering ia dendangkan untukku sebelum tidur. Kehadirannya menghangatkan hati dan pikiranku, sosok penuh kasih sayang dan cinta yang selalu kurindukan. Jika saja aku mampu melawan ayah dan mencegahnya merenggut kebahagiaanku, hal ini pasti tidak akan terjadi. Ayah begitu tega. Dengan sadisnya ia menghabisi ibuku, istrinya sendiri, hanya untuk menuruti hawa nafsunya, beristri muda. Tragedi itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Tatkala ayah membanting, melempar, dan membenturkan tubuh ibu ku ke dinding, aku berusaha mencegah ayah. Namun, kepa laku terasa sakit dan berat karena sebelumnya ayah telah memukulku dengan sebatang kayu. Semuanya terasa berat, aku pun pingsan. Setelah aku sadar, aku langsung mencari ibu, hasilnya nol. Aku tidak melihat sosok ibu lagi. Aku mena ngis sejadi-jadinya ketika aku melihat tubuh ibuku terkapar kaku, biru, dan pucat, penuh luka. Yang tak terlupakan sampai saat ini, senyum tipis ibu. Aku benci ayah! Kepala keluarga yang seharusnya mengayomi kami justru menghancurkannya. Apalagi, ketika dia bersama istri mudanya meninggalkanku sendirian di kota yang cukup ramai: Jogja. Mereka pergi tanpa meninggalkan apa pun. Aku terpaksa harus mendiami gubuk reyot sendiri. *** Namaku Rois. Teman-temanku sering memanggilku si Ro. Aku bukanlah anak yang ke sana ke mari membawa buku-bu 42
Pewara Dinam i ka j u ni 2 0 0 9
ku pelajaran, memakai seragam sekolah, dan bersepatu bagus. Bukan sosok seorang anak yang mempunyai cita-cita setinggi langit. Apa artinya itu semua untukku. Aku anak ja lanan 11 tahun pengamen jalanan. Aku adalah Sang Raja Malang yang tak henti-hentinya me nyusuri pinggiran kota Jogja ini. Naik turun bis kota sambil membawa botol sprite atau fanta bekas, yang ketika kuadu dengan uang logam 100 rupiah aku bisa membuat musik pengiring tatkala aku harus menyanyikan lagu jeritan nura niku. Asap kendaraan, sengatan matahari, debu, dan babak belur sudah teramat akrab denganku. Begitulah nasibku. Pengamen jalanan, Si Ro. *** Sore ini senja menyelimuti kota Jogja. Terasa capek dan pegal-pegal tubuhku. Ingin dipijit, tapi tak mungkin. Aku sebatang kara. Kerja keras ngamenku naik turun bis hanya mendapat 3.700 perak. Lumayan buat dua bungkus nasi ku cing dan es teh. Tiba-tiba hatiku gundah. Sosok yang baru saja melintas di hadapanku ..... seperti ayah. Ya! Ayahku. Jantungku berdebar keras. Tak tertahan lagi keinginanku untuk balas dendam kepada ayah. Lagi-lagi aku tidak berdaya. Andai saja aku sekarang sudah besar dan dewa sa, aku pasti melakukannya. Betapapun, luka di hatiku takkan bisa terobati dengan apa pun. “Si Ro, yuk kita bareng aja. Siapa tahu dengan ngamen ba reng kita bisa dapat rejeki lebih banyak,“ pinta Aceng, saha bat karibku. “Iya deh. Dengan syarat, hasilnya dibagi sama rata. Setuju?” ganti aku bertanya. “Tentu, jangan khawatir,” jawabnya. Aceng benar. Dengan ngamen berdua penghasilan ada pe ningkatan. *** Matahari menyengat. Siang panas. Adzan menggema. Aku membisu. Untuk pertama kalinya, adzan itu terasa masuk pori-pori tubuhku. Ada kesejukan dan penuh makna. Mataku melirik ke kanan-kiri, menyelidik, mencari asal suara adzan itu. Kudapati bangunan masjid sederhana di pojok jalan de kat gang buntu. Di sekitarnya tanaman hijau. Nyaman. Ti dak berapa lama, kulihat seorang yang mengumandangkan adzan tadi menaruh mikrofon-nya. Ia memutar badannya sambil menatapku. Aku terpaku memperhatikan gerak-gerik nya. Tampaknya ia tahu aku memperhatikannya. Orang itu mendekatiku. “Assalamu’alaikum,” sapanya mengulurkan tangannya. “Wa’alaikumsalam,“ jawabku grogi. Bersalaman. “Namamu, Nak? Sendirian? Temanmu mana?” sambil me ngajakku masuk masjid. “Rois, Pak. Biasa dipanggil si Ro,” sahutku. “Aku Pak Jefri. Rois tidak tinggal di daerah ini ya? Bapak tidak pernah melihatmu?” lanjutnya. “Iya,” jawabku. “Tunggu sebentar, Bapak iqamah dulu. Sudah banyak ja