Pewara Dinamika Juni 2009

Page 44

cerpen DI BALIK SENGSARA ADA NIKMAT Oleh D i an Purb aya s ari Malam merayap, sunyi pekat. Dingin seakan tak pernah mau tahu penderitaan yang kualami. Aku kedinginan, laparku menjerat erat-erat. Bulan dan bintang diam terpaku menatap deritaku. Dari tatapannya kurasa ada iba. Mereka menghiburku dengan bias-bias cahayanya. Perlahan kubaringkan tubuhku di lantai beralas kardus, kembali kupegangi perutku yang semakin melilit. Membosankan. Tiap malam aku selalu dijamu hampa. Ku­ pandangi anak-anak seperjuanganku. Sama sepertiku, tidur ber­alas kardus. Kami adalah pendonor darah setia untuk nyamuk-nyamuk. Malam ini aku tidak bisa tidur seperti mereka. Uang hasil nga­menku dirampas anak buah Mbak Ida, mucikari kondang da­erah ini, sore tadi. Sehingga, seharian aku belum mencici­ pi nikmatnya sebungkus nasi. Andai saja badanku tinggi, besar, dan pemberani, pasti kulawan mereka. Tapi, aku hanya seorang bocah ingusan. Hembusan angin menyentuh kenangan. Satu demi satu kisah yang pernah kualami terbuka. Tiba-tiba aku mendengar alunan nada-nada indah dari bibir ibuku, lagu yang sering ia dendangkan untukku sebelum tidur. Kehadirannya menghangatkan hati dan pikiranku, sosok penuh kasih sayang dan cinta yang selalu kurindukan. Jika saja aku mampu melawan ayah dan mencegahnya merenggut kebahagiaanku, hal ini pasti tidak akan terjadi. Ayah begitu tega. Dengan sadisnya ia menghabisi ibuku, istrinya sendiri, hanya untuk menuruti hawa nafsunya, beristri muda. Tragedi itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Tatkala ayah membanting, melempar, dan membenturkan tubuh ibu­ ku ke dinding, aku berusaha mencegah ayah. Namun, kepa­ laku terasa sakit dan berat karena sebelumnya ayah telah me­­mukulku dengan sebatang kayu. Semuanya terasa berat, ak­u pun pingsan. Setelah aku sadar, aku langsung mencari ib­u, hasilnya nol. Aku tidak melihat sosok ibu lagi. Aku mena­ ngis sejadi-jadinya ketika aku melihat tubuh ibuku terkapar kaku, biru, dan pucat, penuh luka. Yang tak terlupakan sampai saat ini, senyum tipis ibu. Aku benci ayah! Kepala keluarga yang seharusnya mengayomi kami justru menghancurkannya. Apalagi, ketika dia bersama istri mudanya meninggalkanku sendirian di kota yang cukup ramai: Jogja. Mereka pergi tanpa meninggalkan apa pun. Aku ter­paksa harus mendiami gubuk reyot sendiri. *** Namaku Rois. Teman-temanku sering memanggilku si Ro. Ak­u bukanlah anak yang ke sana ke mari membawa buku-bu­ 42

Pewara Dinam i ka j u ni 2 0 0 9

ku pelajaran, memakai seragam sekolah, dan bersepatu bagus. Bukan sosok seorang anak yang mempunyai cita-cita se­tinggi langit. Apa artinya itu semua untukku. Aku anak ja­ lanan 11 tahun pengamen jalanan. Aku adalah Sang Raja Malang yang tak henti-hentinya me­ nyu­suri pinggiran kota Jogja ini. Naik turun bis kota sambil membawa botol sprite atau fanta bekas, yang ketika kuadu dengan uang logam 100 rupiah aku bisa membuat musik pengiring tatkala aku harus menyanyikan lagu jeritan nura­ niku. Asap kendaraan, sengatan matahari, debu, dan babak belur sudah teramat akrab denganku. Begitulah nasibku. Pengamen jalanan, Si Ro. *** Sore ini senja menyelimuti kota Jogja. Terasa capek dan pegal-pegal tubuhku. Ingin dipijit, tapi tak mungkin. Aku sebatang kara. Kerja keras ngamenku naik turun bis hany­a mendapat 3.700 perak. Lumayan buat dua bungkus nasi ku­ cing dan es teh. Tiba-tiba hatiku gundah. Sosok yang baru sa­ja melintas di hadapanku ..... seperti ayah. Ya! Ayahku. Jantungku berdebar keras. Tak tertahan lag­i keinginanku untuk balas dendam kepada ayah. Lagi-lagi aku tidak berdaya. Andai saja aku sekarang sudah besar dan dewa­ sa, aku pasti melakukannya. Betapapun, luka di hatiku takkan bisa terobati dengan apa pun. “Si Ro, yuk kita bareng aja. Siapa tahu dengan ngamen ba­ reng kita bisa dapat rejeki lebih banyak,“ pinta Aceng, saha­ bat karibku. “Iya deh. Dengan syarat, hasilnya dibagi sama rata. Setuju?” ganti aku bertanya. “Tentu, jangan khawatir,” jawabnya. Aceng benar. Dengan ngamen berdua penghasilan ada pe­ ningkatan. *** Matahari menyengat. Siang panas. Adzan menggema. Aku mem­bisu. Untuk pertama kalinya, adzan itu terasa masuk pori-pori tubuhku. Ada kesejukan dan penuh makna. Mata­ku melirik ke kanan-kiri, menyelidik, mencari asal suara a­dzan itu. Kudapati bangunan masjid sederhana di pojok jala­n de­ kat gang buntu. Di sekitarnya tanaman hijau. Nyaman. Ti­ dak berapa lama, kulihat seorang yang mengumandangkan a­dzan tadi menaruh mikrofon-nya. Ia memutar badannya sambil menatapku. Aku terpaku memperhatikan gerak-gerik­ nya. Tampaknya ia tahu aku memperhatikannya. Orang itu mendekatiku. “Assalamu’alaikum,” sapanya mengulurkan tangannya. “Wa’alaikumsalam,“ jawabku grogi. Bersalaman. “Namamu, Nak? Sendirian? Temanmu mana?” sambil me­ ngajakku masuk masjid. “Rois, Pak. Biasa dipanggil si Ro,” sahutku. “Aku Pak Jefri. Rois tidak tinggal di daerah ini ya? Bapak ti­dak pernah melihatmu?” lanjutnya. “Iya,” jawabku. “Tunggu sebentar, Bapak iqamah dulu. Sudah banyak ja­


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.