4 minute read

cerpen

Next Article
Bina rohani

Bina rohani

Dari Balik jendela

Oleh SaFRINa ROVa SITa

Advertisement

ka pagi ini. aku tak tahu, kalau hujan tak berhenti. Yang jelas aku sangat rindu, maka Tuhan mengabulkannya. Walaupun aku telah berjanji pada-Nya tak akan menangis, jujur, aku takut juga kalau-kalau kursi rodaku sudah dipakai orang.

Benar. Sesampai di sekolah, kursi rodaku sudah dipakai anak lain. Mungkin ia mengira aku tidak masuk lagi. Mbak Minah mencarikan kursi roda yang lain.

“Nanti Mbak Elisa tidak bisa ke mana-mana, lho,” ucap Mbak Minah. aku mengangguk tanda setuju. aku telah berniat tidak ke mana-mana. Bagiku, memandang sekolahku, teman-temanku, guru-guruku dari balik jendela kelasku waktu istirahat sudah cukup. Mereka biasanya terus mendatangiku, tahu aku ada di kelas. Kalaupun tidak, mereka tersenyum dari balik jendela. Ketika itu, aku bahagia bukan main. aku memang minta Mbak Minah mendudukkanku di kursi yang paling dekat jendela.

“Sudah ya, jangan banyak bergerak, nanti jatuh,” pesan Mbak Minah. Guruku memasuki ruang kelasku. Betapa gembiranya aku menyambutnya. Dua minggu aku tak bertemu. Tapi, selang beberapa menit, guruku kembali keluar. aku di kelas sendirian lagi. Dari jendela kelasku aku memandangi orang-orang yang ada di Iuar kelas. Kadang, dari balik kaca ini aku merasa iri pada Mbak Minah dan pacarnya. Kalau beruntung, mereka duduk berdua di kursi roda yang sudah rusak. Karena sebentar lagi kursi roda yang rusak itu diangkut dengan mobil dibawa ke bengkel.

Mereka terlihat bahagia. Duduk berhadapan walau di atas kursi roda yang rusak. Padahal, aku diberi kursi roda yang kualitasnya lebih rendah dan kursi roda yang kupakai ogak. Seandainya aku sebahagia mereka yang menerima duduk di kursi roda yang rusak, aku bisa ke ruang guru menjemput guru. Entahlah, aku tak nyaman duduk di kursi roda yang kuaiitasnya lebih rendah, apalagi rusak.

Dari balik jendela aku melihat mobil biru milik bapak menjemputku. aneh. Ini belum waktunya pulang. Kenapa sudah dijemput. Belum hilang rinduku, mengapa mobil bapak telah menjemputku. aku selalu jengkel manakala dijemput lebih awal. Bukankah sopir bapak tahu kalau aku paling senang dijemput terlambat. aku tidak suka dijemput awal, aku ingin bersendagurau dengan teman-temanku dulu. aku berpegangan kuat pada tralis jendela agar aku tetap di sini sampai sekolah usai.

“ayolah, Mbak Elisa harus pulang sekarang,” bujuk Mbak Minah dan sopir itu. aku masih ingin tinggal di kelas ini.

aKU belum sempat mengatakan padamu, kataku pada seseorang yang selalu menemaniku. Sungguh menyenangkan, melihat mereka dari balik jendeia. Di sana mereka bekerja, tersenyum, entahlah apa yang mereka lakukan lagi. Sementara, engkau hanya memandangiku tak berdaya. aku tak tahu. Kau memandangiku layaknya aku berbeda dengan mereka. Banyak orang ingin hidupnya sepertiku, serba dilayani. Dan, aku bersyukur, kau masih melayaniku hingga kini. Bahkan, saat kau sakit, dirimu masih melayaniku. Lelaki tua itu dengan sabar mendengarkanku, tak ingin dia kehilangan sepatah kata pun dariku.

“Bapak,” ucapku manja. aku ingin dipeluknya erat. Sementara, rasa birahiku telah hilang atau tak pernah tumbuh selamanya. aku ingin dipeluknya sekarang, tak peduli berapa banyak berita tentang perkosaan ayah kepada anak gadisnya sendiri akibat sentuhan fisik.

Lelaki tua itu mulai menangis.

“Tak ingin Bapak pergi darimu, Nak. Tapi, suatu hari Bapak harus pergi.”

“’Tapi, bukan sekarang kan?” tanyaku cemas. Ibuku sudah lama pergi sebelum aku sempat merawatnya. Seandainya bapak juga pergi sebelum aku merawatnya? Sementara, empat tahun bapak sakit masih juga merawatku.

“Bapak, bertahan ya. Biarkan Elisa merawat Bapak,” pintaku. Kuharap bapak mau menuruti permintaanku. 28 tahun aku selalu meminta sesuatu, bapak pasti menurutiku. Termasuk juga ibu dan kakakku, selalu menuruti permintaanku.

“Bagaimana kau merawatku?” ucapnya sembari tersenyum pedih. aku tahu, kalau bapak tersenyum, berarti permintaanku akan terkabul. Seperti saat aku harus pergi ke sekoiah, jengkel lantaran hujan turun pagi-pagi. aku berdoa kepada Tuhan. ’aku takkan menangis lagi kalau sesampaiku di sekoiah kursi roda kesayanganku dipakai yang lain. aku akan rela memakai kursi roda lama, bahkan yang hampir rusak sekalipun, asalkan hujan berhenti pagi ini.’

Sekejap, matahari pun muncul. hujan kini berubah jadi hujan tokek, gerimis kecil disertai sinar matahari. aku bersorak mengabarkan hari ini aku bersekoiah karena hujan tak iagi turun. Mbak Minah, pembantuku yang seusia denganku, buru-buru bersujud syukur. Dia akan kembali bertemu dengan pacarnya yang setia menantinya di pojok sekolah.

Mbak Minah bersiap-siap, berdandan dengan centilnya. “Doanya Mbak Elisa manjur juga ya,” ucapnya. aku hanya tersenyum, aku rindu teman-temanku dan guru-guruku. aku tidak tahu, apa jadinya kalau aku tidak bertemu dengan mere-

kalam/pewara

cerpen

“Elisa, nggak boleh begitu,” ucap bu guru. aku heran, apa yang dimaksud bu guru “nggak boleh begitu”. aku tetap bertahan. aku ingin pulang setelah sekolah usai, 30 menit lagi. ”Elisa, dengar!” lembut bu guru. “Elisa anak baik. Bapak ingin lekas bertemu Elisa. Bapak rindu Lisa sebagaimana Lisa rindu bu guru dan teman-teman di sini.”

“Bu Guru juga rindu Lisa?” tanyaku tiba-tiba.

Guru itu tersenyum. Mestinya aku tak bertanya. aku tahu tak semua orang bisa mengungkapkan rindunya seperti kakakku yang tak dapat mengungkapkan rasa rindunya pada aku dan bapak. Setiap kakak pulang dari perantauan, dia terus mencariku, mendekapku kuat-kuat.

Walau guruku tak seperti kakakku, walau ia tak mengungkapkan rindunya padaku, aku yakin, guruku juga merindukanku saat aku tidak masuk sekolah. aku mulai melepaskan peganganku pada tralis-tralis jendela. aku lega, orang-orang di sampingku merindukanku. Tak peduli dengan waktu yang berjalan cepat, yang mengharuskanku hanya sekilas memandangi orangorang yang kusayangi. aku berjanji, sesampainya di rumah, aku akan meminta bapak untuk membiarkan aku berada di sekolah dua jam, tidak lebih, setiap hari, tanpa libur. ”agar Bapak tidak kangen pada Elisa, Bu Guru pun tidak kangen pada Elisa,” ucapku sebelum para perawat bapak datang dan aku disuruhnya keluar.

Dari balik jendela kamar bapak, aku melihat ia tersenyum. Dia melambaikan tangannya. aku pun melambaikan tanganku persis ketika aku melihat dari jendela kelas. Sopir bapak pergi meninggalkan sekolahku. Desember 2008

saFrIna rovasIta mahasiswa uny

This article is from: