8 minute read
opini
TRaNSFORMaSI KEPEMIMPINaN
Oleh hERU FaRhaNI
Advertisement
Tapaktapak sejarah di belakang kami adalah kesaksian yang paling nyata dan tonggak kebenaran tentang usaha dan pengorbanan yang tiada taranya, telah memberikan kesadaran dan tanggung jawab pada kami untuk kami teruskan sebagai pesan suci. (Deklarasi Pemuda)
Pemuda dan Perjuangan Reformasi
Pemuda, termasuk mahasiswa, memegang peranan penting dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. jauh sebelum reformasi, sejarah telah mencatat bahwa pemuda bersatu untuk berjuang bersama dalam organisasi nasional Budi Oetomo. Pada 28 Oktober 1928 pemuda dari seluruh Indonesia sepakat untuk mendeklarasikan cinta kasihnya kepada Indonesia yang ditandai dengan deklarasi pemuda sebagai tonggak awal sumpah pemuda. Rasa nasionalisme terpatri jelas pada bait-bait ikrarnya. Kami pemudapemudi Indonesia berbangsa yang satu, bangsa Indonesia / kami pemudapemudi Indonesia bertanah air yang satu, tanah air Indonesia / kami pemudapemudi Indonesia berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.
Begitu pula ketika terjadi gelombang reformasi pada 1998, gerakan yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun pun memberikan sejarah tersendiri bagi gerakan pemuda dan mahasiswa. Sebagai gerakan moral, mahasiswa yang notabene terdiri atas pemuda, telah berhasil menjadi pioneer dalam menghimpun kekuatan lainnya, seperti buruh dan masyarakat sipil. Gerakan reformasi menjadi salah satu kekuatan besar yang ada dengan semangat mengusung perubahan dan menunjukkan people power yang sesungguhnya dalam rangka menumbangkan rezim yang otoriter.
Peran Pemuda dalam Menyiapkan Kepemimpinan Nasional
Sebagai pengusung dan pelaku gerakan reformasi, pemuda tentu memiliki hak serta tanggung jawab untuk mempersiapkan figur-figur potensial guna menyongsong kepemimpinan nasional dan berupaya membangunkan potensi pemuda. Untuk itulah, perlu kiranya pemuda dibekali nilai intelektual dan moral yang tinggi sebagai fondasi utama dalam rangka membangun generasi berintelektual profetik. Pada dasarnya, jika pemuda mampu bangkit menjadi generasi yang siap, mau, dan mampu memimpin bangsa, insya Allah kebangkitan nasional tinggal menunggu waktu.
Golongan intelektual, oleh Dawam Raharjo, dirumuskan sebagai sebuah alternatif tugas bagi elemen mana pun untuk bersama membangun bangsa ini. Pertama, memperluas pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa. Kedua, menumbuhkan idealisme di kalangan calon intelegensia, untuk mengabdi kepada sektor masyarakat untuk memperkuat civil society dan mengimbangi birokrasi. Ketiga, memperluas bentuk-bentuk pengabdian profesionalisme.
Intelektual dan Moral sebagai Pondasi Utama
Dalam Kamus Besar Bahassa Indonesia kata intelektual berkaitan dengan kata intelek. Intelek adalah istilah psikologi tentang daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir. Kata intelek juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan. Sedangkan kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau juga disebut kaum cendekiawan
Dalam pengertian lain, golongan intelektual disebut sebagai golongan yang tidak hanya berkutat pada ilmu profesionalnya, namun memiliki peran sosial, terutama sebagai intelektual bebas yang bisa memerankan diri sebagai kri-
opini
tikus masyarakat atau pemerintah. Biasanya dinisbatkan dengan peran Ir. Soekarno, seorang insinyur teknik sipil dan kemudian dinobatkan menjadi pemimpin negeri. Cokroaminoto yang insinyur teknik mesin menjadi ketua Sarekat Islam, atau dr. Sutomo, dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Wahidin Sudirohusodo yang dokter, namun juga menjadi tokoh pergerakan nasional. Mungkin ini sejalan dengan pengertian intelektual organik versi antonio Gramsci yang membedakan peran intelektual biasa dan peran intelektual organik menurut perannya, yaitu yang menyuarakan kepentingan kelompok dan peduli pada urusan masyarakat.
Nilai intelektual sangat bertolak belakang dengan teori Darwin mengenai the survival of the fittest yang menunjukkan bahwa hanya yang kuatlah yang menang dan dapat bertahan hidup. Dalam hal perjuangannya untuk hidup, moral atau moralitas tidak memperoleh tempat. Manusia segera melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan, perjuangan untuk hidup memerlukan kekuatan bukannya kebaikan atau kebajikan, bukan rasa rendah diri, melainkan keangkuhan, bukan altruisme melainkan kecerdasan.
Demokrasi dan persamaan itu dekaden karena bertentangan dengan proses seleksi dan survival. Bukan masa jelatalah yang penting, melainkan segelintir jenius-jenius yang akan memimpin masa itu. Bukan keadilan melainkan kekuatanlah yang akan meninggikan umat manusia. Moral dan kebajikan (yang dalam kehidupan Nietzsche adalah moral Kristen) adalah berhala manusia, sehingga harus diberantas.
Bertentangan dengan hal di atas, setelah kita dapat memahami nilai-nilai intelektual, satu hal yang wajib dimiliki, bukan hanya oleh pemuda, namun juga semua golongan, adalah nilai-nilai moral. Seorang pemimpin bukan hanya mengatur, namun juga menjadi suri tauladan
bagi orang di bawahnya. Sungguh berbahaya nasib bangsa ini jika dipimpin oleh orang yang kredibilitas kepemimpinannya dipertanyakan. hal ini pula yang mendasari pesimisme banyak orang akan kebangkitan negeri ini, ketika jauh hari menjelang pelaksanaan pemilihan presiden, tokoh-tokoh tua mengisyaratkan diri untuk maju dalam pemilihan umum. Bukan apaapa, namun banyak di antaranya telah terbukti gagal mengawal perubahan bangsa ini untuk menuju lebih baik. jika kedua hal tersebut dikuasai, kemudian digabungkan dengan figur yang memang competen dan capable, baik dari segi loyalitas, akademik, jiwa kepemimpinan, antiprimordialisme, kalam/pewara feodalisme, dan hedinisme, memiliki kepiawaian dalam me-manage organsiasi, sungguh kebangkitan nasional sudah makin dekat. Lantas, siapakah yang siap menerima transformasi kepemimpinan ini? Semoga dia adalah anda yang membaca tulisan ini. Hasta La Victoria Siempre.
heru FarhanI presiden keluarga pelajar mahasiswa kalimantan barat
opini
SERTIFIKaSI, haRaPaN DaN KENYaTaaN
Oleh Bambang Subali
Pendahuluan Sebagai seorang dosen yang akan menginjak usia 58 tahun, dengan masa kerja lebih dari 30 tahun, adanya berita sertifikasi tentu sangat mengembirakan, meski saya tidak termasuk orang yang beruntung ikut tersertifikasi. Konon, yang jadi pertimbangan lembaga karena saya sedang menempuh S-3 dan sampai agustus 2009 masih menerima beasiswa BPPS. Pertanyaan yang menggelitik hati adalah sampai kapan saya harus bersabar menunggu diusulkan sebagai dosen calon peserta sertifikasi (DCPS). Di blog forum dikti.org masalah sertifikasi dosen juga banyak dipertanyakan. Tulisan ini sebagai penyaluran pendapat saya pribadi, semoga ditanggapi dengan “hati” oleh para pembaca.
Sertifikasi atas Dasar Kuota
Dalam Buku 1: Naskah akademik Tahun 2009 dinyatakan, DCPS diusulkan oleh perguruan tingginya masing-masing kepada Ditjendikti, berdasarkan urutan prioritas: (1) jabatan akademik, (2) pendidikan terakhir, (3) daftar urut kepangkatan (DUK) bagi PNS atau yang setara untuk dosen non-PNS. Dosen calon peserta sertifikasi tidak sedang menjalani hukuman administratif (sedang atau berat) menurut peraturan perundang-undangan/peraturan yang berlaku. jadi, menjadi pertanyaan bila demi keadilan, perguruan tinggi membagi banyaknya DCPS sesuai kuota yang proporsional atas dasar banyaknya dosen di tiap fakultas. Dengan sistem kuota tentu sangat merugikan sejumlah dosen fakultas tertentu yang berdasarkan jenjang jabatan akademik memiliki lebih banyak dosen yang masuk dalam daftar DCPS.
Penerapan Urutan Prioritas
Mengacu pada aturan dalam buku 1 tersebut, perlu ada ketegasan dalam menetapkan mana sebenarnya yang lebih prioritas untuk diusulkan sebagai DCPS. Dalam aturan itu tampaknya perlu ada contoh nyata agar ada penafsiran sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat. Sudah jelas, kalau sama-sama Lektor Kepala IV/c, prioritas adalah yang bergelar S-3. BagimanaanBagimana antara DCPS Lektor Kepala IV/c bergelar S-2 dan DCPS Lektor kepakla IV/a bergelar S-3? Penjelasan ini menjadi penting karena untuk persyaratan nomor 1, DCPS Lektor Kepala IV/c seharusnya lebih prioritas. apalagi jika masa kerjanya jauh lebih lama.
Kalau konsep dasar sertifikasi adalah kewenangan mengajar, tidak akan terjadi DCPS Lektor Kepala IV/a bergelar S-3 lebih prioritas daripada DCPS Lektor Kepala IV/c bergelar S-2. Dengan demikian, tidak akan ada anggapan bahwa naik pangkat dari golongan IV/a ke IV/ c sebagai prestasi akademik yang tidak patut dibanggakan.
Sertifikasi dan Tunjangan Profesi
Sungguh berita yang sangat tidak mengenakkan, ketika mendengar dosen tidak diusulkan sebagai DCPS karena ia segera purna tugas. Pertanyaannya, (1) apakah dianggap percuma bagi seseorang yang lolos sertifikasi kemudian ia purna tugas sebelum mengenyam tunjangan profesinya, (2) apa sebenarnya hubungan antara sertifikasi dan purnatugas, (3) apakah penerimaan tunjangan profesi identik deng-
opini
an perolehan sertifikat keprofesian seseorang? ataukah, tunjangan profesi sebagai konsekuensi logis karena seseorang memiliki bukti formal lolos sertifikasi? Padahal, saya yakin, meskipun akhirnya seseorang tidak sempat mendapatkan tunjangan profesi karena keburu purna tugas, toh ia bangga di detik-detik akhir masa pengabdiannya masih diakui keprofesionalannya.
Bagaimana di SD, SMP, dan SMa? BanyakguBanyak guru yang lolos sertifikasi angkatan pertama tidak sempat memperoleh tunjangan profesi karena keburu purna tugas. Merekatetapbangga ereka tetap bangga karena telah memiliki bukti formal atas keprofesionalannya.
Sertifikasi bagi Dosen Studi Lanjut
Dalam buku 1: Naskah akademik Sertifikasi Dosen dicantumkan, dosen yang dapat diusulkan sebagai DCPS adalah dosen yang di antaranya (1) telah bekerja sekurang-kurangnya dua tahun, (2) memiliki jabatan akademik sekurangkurangnya asisten ahli; (3) memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S-2 dari Prodi Pascasarjana yang terakreditasi, (4) mempunyai beban akademik sekurang-kurangnya 12 sks per semester dalam 2 tahun terakhir di perguruan tinggi tempat ia bekerja sebagai dosen tetap; tugas tambahan dosen sebagai pejabat struktural (di lingkungan perguruan tinggi) diperhitungkan SKS-nya sesuai aturan yang berlaku. artinya, meskipun sudah dua tahun mengajar, kalau beban akademiknya kurang dari 12 SKS, ia tidak berhak diusulkan sebagai DCPS.
Pertanyaannya, sudah tepatkah dosen yang sedang studi lanjut dan memperoleh beasiswa BPPS ”diputuskan” untuk tidak diikutsertakan sertifikasi? BukankahbebasbelajarselamastuBukankah bebas belajar selama studi lanjut setara dengan beban akademik 12 SKS? Kalau alasannya dalam salah satu syarat sertifikasi harus ada penilaian mahasiswa, mengapa dosen tugas belajar tidak dinilai atas dasar kedudukannya sebagai mahasiswa? artinya, dosen studi lanjut dinilai keseriusannya dan prestasinya selama menempuh prodi lanjut.
Kiranya teramat mungkin, ke depan diambil kebijakan baru, dosen studi lanjut penerima beasiswa BPPS akan segera diusulkan sebagai DCPS bila sudah tidak aktif mengambil mata kuliah (tinggal menulis disertasi) dan sudah kembali mengajar karena beasiswanya sudah habis (sudah lebih dari 3 tahun). jadi, tidak perlu menunggu sampai dosen yang bersangkutan lulus. Bandingkan dengan dosen studi lanjut yang biaya swadana yang tetap saja dapat diusulkan sebagai DCPS. Bahkan, yang sudah tersertifikasi tetap mendapatkan tunjangan profesi. Bagaimana pula dengan dosen studi lanjut yang swadana tetapi mendapat bantuan SPP dari perguruan tinggi setempat? apakah ia juga berhak diusulkan sebagai DCPS?
Dengan demikian, menjadi jelas apa landasan dosen tidak dapat diusulkan dalam DCPS. apakah karena tidak mengajar atau apakah karena mendapat beasiswa BPPS (sehingga yang mendapat bantuan SPP PT setempat bukan masalah). apakah dosen yang selesai studi lanjut juga harus menunggu dua tahun untuk diusulkan dalam DCPS?
Bagaimana bila dosen yang sudah lolos sertifikasi kemudian studi lanjut dengan beasiswa BPPS? apakah untuk mendapatkan tunjangan profesi kembali, yang bersangkutan harus sudah kembali aktif mengajar dua tahun terlebih dahulu? Bila demikian, boleh jadi orang akan enggan studi lanjut.
Ketentuan yang ada dalam buku tersebut mestinya diartikan, seseorang bergolongan IV/ d minimal bergelar master yang melimpah ke jalur tenaga akademik (dosen), hanya akan diikutkan sertifikasi bila memiliki pengalaman mengajar minimal dua tahun. Semoga lembaga ini ‘berani’ mengusulkan peraturan yang menyejukkan dosen dalam mengabdi. Terlebih, mengusulkan peraturan yang memberikan semangat besar kepada dosen untuk menempuh studi lanjut. Kitatunggu! Kita tunggu!
kalam/pewara
drs. bambanG subalI, m.sI. dosen jurdik biologi FmIpa uny