Pewara Dinamika

Page 48

cerpen

Dari Balik Jendela O l e h S a frin a R ova sita Aku belum sempat mengatakan padamu, kataku pada sese­ orang yang selalu menemaniku. Sungguh menyenangkan, me­lihat mereka dari balik jendeia. Di sana mereka bekerja, ter­senyum, entahlah apa yang mereka lakukan lagi. Sementa­ ra, engkau hanya memandangiku tak berdaya. Aku tak tahu. Kau memandangiku layaknya aku berbeda dengan mereka. Banyak orang ingin hidupnya sepertiku, serba dilayani. Dan, aku bersyukur, kau masih melayaniku hingga kini. Bahkan, saat kau sakit, dirimu masih melayaniku. Le­laki tua itu dengan sabar mendengarkanku, tak ingin dia ke­hi­langan sepatah kata pun dariku. “Bapak,” ucapku manja. Aku ingin dipeluknya erat. Sementara, rasa birahiku telah hilang atau tak pernah tumbuh selamanya. Aku ingin dipeluknya sekarang, tak peduli berapa banyak berita tentang perkosaan ayah kepada anak gadis­nya sendiri akibat sentuhan fisik. Lelaki tua itu mulai menangis. “Tak ingin Bapak pergi darimu, Nak. Tapi, suatu hari Bapak harus pergi.” “’Tapi, bukan sekarang kan?” tanyaku cemas. Ibuku sudah lama pergi sebelum aku sempat merawatnya. Seandainya bapak juga pergi sebelum aku merawatnya? Sementara, em­pat tahun bapak sakit masih juga merawatku. “Bapak, bertahan ya. Biarkan Elisa merawat Bapak,” pinta­ ku. Kuharap bapak mau menuruti permintaanku. 28 tahun aku selalu meminta sesuatu, bapak pasti menurutiku. Terma­ suk juga ibu dan kakakku, selalu menuruti permintaanku. “Bagaimana kau merawatku?” ucapnya sembari terse­ nyum pedih. Aku tahu, kalau bapak tersenyum, berarti permintaanku akan terkabul. Seperti saat aku harus pergi ke sekoiah, jengkel lantaran hujan turun pagi-pagi. Aku berdoa kepada Tuhan. ’Aku takkan menangis lagi kalau sesampaiku di sekoiah kursi roda kesayanganku dipakai yang lain. Aku akan rela memakai kursi roda lama, bahkan yang hampir rusak sekalipun, asalkan hujan berhenti pagi ini.’ Sekejap, matahari pun muncul. Hujan kini berubah jadi hujan tokek, gerimis kecil disertai sinar matahari. Aku bersorak mengabarkan hari ini aku bersekoiah karena hujan tak iagi turun. Mbak Minah, pembantuku yang seusia denganku, buru-buru bersujud syukur. Dia akan kembali bertemu deng­ an pacarnya yang setia menantinya di pojok sekolah. Mbak Minah bersiap-siap, berdandan dengan centilnya. “Doanya Mbak Elisa manjur juga ya,” ucapnya. Aku hanya ter­ senyum, aku rindu teman-temanku dan guru-guruku. Aku ti­ dak tahu, apa jadinya kalau aku tidak bertemu dengan mere46

Pewara Dinam i ka m ei 2 0 0 9

ka pagi ini. Aku tak tahu, kalau hujan tak berhenti. Yang jelas aku sangat rindu, maka Tuhan mengabulkannya. Walaupun aku telah berjanji pada-Nya tak akan menangis, jujur, aku takut juga kalau-kalau kursi rodaku sudah dipakai orang. Benar. Sesampai di sekolah, kursi rodaku sudah dipakai anak lain. Mungkin ia mengira aku tidak masuk lagi. Mbak Minah mencarikan kursi roda yang lain. “Nanti Mbak Elisa tidak bisa ke mana-mana, lho,” ucap Mbak Minah. Aku mengangguk tanda setuju. Aku telah berni­ at tidak ke mana-mana. Bagiku, memandang sekolahku, teman-temanku, guru-guruku dari balik jendela kelasku waktu istirahat sudah cukup. Mereka biasanya terus mendatangiku, tahu aku ada di kelas. Kalaupun tidak, mereka tersenyum dari balik jendela. Ketika itu, aku bahagia bukan main. Aku memang minta Mbak Minah mendudukkanku di kursi yang paling dekat jendela. “Sudah ya, jangan banyak bergerak, nanti jatuh,” pesan Mbak Minah. Guruku memasuki ruang kelasku. Betapa gembiranya aku menyambutnya. Dua minggu aku tak bertemu. Tapi, selang beberapa menit, guruku kembali keluar. Aku di kelas sendirian lagi. Dari jendela kelasku aku memandangi orang-orang yang ada di Iuar kelas. Kadang, dari balik kaca ini aku merasa iri pada Mbak Minah dan pacarnya. Kalau beruntung, mereka duduk berdua di kursi roda yang sudah rusak. Karena sebentar lagi kursi roda yang rusak itu diangkut dengan mobil dibawa ke bengkel. Mereka terlihat bahagia. Duduk berhadapan walau di atas kursi roda yang rusak. Padahal, aku diberi kursi roda yang ku­a­litasnya lebih rendah dan kursi roda yang kupakai ogak. Seandainya aku sebahagia mereka yang menerima duduk di kursi roda yang rusak, aku bisa ke ruang guru menjemput guru. Entahlah, aku tak nyaman duduk di kursi roda yang kuaiitasnya lebih rendah, apalagi rusak. Dari balik jendela aku melihat mobil biru milik bapak menjemputku. Aneh. Ini belum waktunya pulang. Kenapa sudah dijemput. Belum hilang rinduku, mengapa mobil bapak telah menjemputku. Aku selalu jengkel manakala dijemput lebih awal. Bukankah sopir bapak tahu kalau aku paling senang dijemput terlambat. Aku tidak suka dijemput awal, aku ingin bersendagurau dengan teman-temanku dulu. Aku berpegangan kuat pada tralis jendela agar aku tetap di sini sampai sekolah usai. “Ayolah, Mbak Elisa harus pulang sekarang,” bujuk Mbak Minah dan sopir itu. Aku masih ingin tinggal di kelas ini.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.