4 minute read

cerpen

Next Article
Bina rohani

Bina rohani

Terlewatkan

Oleh NOVITA PURNANINGSIH

Advertisement

05.15 WIB. Jalan Kaliurang masih sepi. Baru satu-dua kendaraan yang melintas. Bis kota, “sang raja jalanan”, yang bengal dan seringkali seenaknya menghembuskan asap pekat dari knalpot uzurnya pun belum mulai menunjukkan aksinya.

Dito merapatkan jaket Converse cokelat yang ia pakai. Dingin. Masuk musim hujan seperti ini udara pagi di Jogja serasa menusuk tulang. Sesaat, matanya tertumbuk pada gedung tua berlantai empat, tempat ia menghentikan motor di depannya. Sejurus kemudian ia membuka ransel hitam yang sudah beberapa menit menempel di punggungnya, mengeluarkan Canon EOS 20D—yangmungkinsudahiaanggapke—yangmungkinsudahiaanggapkeyang mungkin sudah ia anggap kekasih keduanya—memasanglensa17-35mm,lalumembidi—memasanglensa17-35mm,lalumembidimemasang lensa 17-35 mm, lalu membidikkannya berkali-kali ke gedung tua itu.

Fiuuuh…! Dito menghela nafas sambil melihat hasil bidikannya. Gedung tua di tepi jalan itu punya banyak kenangan buatnya.

Kembali lagi ke kota ini. Mau tak mau ingatannya melayang ke satu sosok itu. Mia. Yup, Mia. Adik tingkatnya di kampus. Seperti sudah digariskan Tuhan—meski sesaat—mereka bertemu dan bahkan sempat memilih profesi yang sama usai lepas dari bangku kuliah kampus itu.

Dulu, saat masih kuliah, ia dan gadis itu sering membunuh waktu di lantai tiga gedung itu. Ruang bacanya yang luas dan angin yang bisa leluasa keluar-masuk lewat beberapa jendela besar di sana membuat mereka betah berlama-lama duduk di dalamnya. Belajar sambil menunggu ujian, atau sekedar berbicara tanpa arah. Tentang dosen yang menyebalkan, tentang ayam bakar enak di kawasan Selokan Mataram, tentang album baru Coldplay, hingga tentang tendangan pemain Internazionale yang membobol gawang Roma.

Lamunan Dito buyar ketika tiba-tiba ponselnya menjeritjeritkan “Apologize” milik One Republic. Nomor rumah, kode area Jogja, tidak dikenal.

“Hallo ...,” sapa Dito.

“Boy! Kataanak-anakEntelagidiJogja?Gila!GakkabarKata anak-anak Ente lagi di Jogja? Gila!GakkabarGila! Gak kabarkabar! Lagi di mana sekarang? Nginep di mana?” suara dari seberang merepet-repet seperti tawon yang sarangnya dirusak anak kecil iseng.

kalam/uny

Dito langsung mengenali suara cempreng itu. Si Gagal Total alias Gatot. Teman di lapangan saat ia masih menjadi kuli kamera.

“Lagi di Jakal. Iseng Iseng hunting, inget-inget masa lalu,” jawab Dito sekenanya.

“Hahaha…mahasiswa S-2 Ekonomi kayak Ente masih rajin hunting foto? Bagus…bagus! Eh iya bro, si Wisnu jadi pameran tunggal di Sky Art Gallery, pembukaannya ntar jam 7 malem. Udah tau kan?” repet Gatot lagi dengan logat Jawanya yang kental.

“Iya–iya, udah tau! Ntar aku ke sana,” jawab Dito.

“Eh-eh, udah ketemu Mia?” tanya Gatot lagi sambil ngikik.

Dito menghela nafas dan Gatot langsung sadar kalau ia baru saja membuat satu pertanyaan yang salah.

“Yo wis lah dab! Ketemu ntar malem yo!” ujar Gatot.

cerpen

Tut. Tut. Tut.

***

Dito menyalakan kembali motor bebek 125 cc milik eyangnya. Ia harus segera kembali ke rumah eyangnya karena motor itu pasti akan dipakai eyang tercinta mengantarkan keponakan kecilnya ke sekolah.

Melewati jalanan yang masih basah karena hujan semalam, ingatan Dito kembali ke Jogja beberapa tahun lalu.

Dulu, gadis itu pernah menjadi bagian penting dalam hari-harinya. Kadang, saat matahari masih malu-malu menampakkan diri, mereka berdua sudah ngobrol asyik dengan para nelayan yang baru menurunkan muatan ikan di Pantai Depok. Kadang sepagi itu mereka sudah sibuk mengamati aktivitas para pedagang buah dan sayur di Pasar Induk Giwangan sam-

Ia sadar, dua tahun kemarin tak ada yang bisa ia perbuat. Dua tahun lalu, gadis itu pun menegaskan, hubungan jarak jauh adalah hubungan paling tak logis untuk dijalani.

Setahun berlalu. Satu setengah tahun berlalu. Dua tahun berlalu. Dito hampir lulus bergelar master. Ia pun tak bisa lagi menolak keinginan orang tuanya untuk segera menikahi gadis pilihan mereka. Ia kini merasa, ia harus belajar mencintai calon istrinya itu. Entahdengancaraapa. Entah dengan cara apa.

Anindito Pratama bukan lagi laki-laki muda penuh gejolak pemberontakan seperti beberapa tahun lalu. Ia sudah menjelma menjadi laki-laki matang, nyaris bergelar master, dan bermasa depan cerah sebagai pewaris tunggal keluarganya. Bukan lagi petualang lapangan yang selalu ingin merajut mimpi melambung jauh di atas awan.

bil sesekali menanyakan pergerakan harga tomat, cabai keriting, atau kol.

Tapi, dua tahun lalu, Dito memilih untuk melepas “nama” yang sudah beberapa tahun ia bangun.

“Aku udah keterima di MM UI. Duaminggulagiakubalik Dua minggu lagi aku balik ke Jakarta. Keluar dari kerjaan kita,” ungkap Dito suatu malam di hadapan gadis itu.

Dan malam itu, tak ada sepotong kata pun melintasi kebekuan di antara mereka berdua sepanjang perjalanan pulang dari kedai kopi itu.

Kebekuan itu pun belum runtuh, hingga saat ini. ***

Sky Art Gallery, 19.30 WIB. Gerimis masih pelan bertahan menyelimuti malam. Sejak setengah jam yang lalu, mata Dito sudah berkeliaran mencari-cari. Ada ketakberdayaan di hatinya, tapi Dito merasa ia harus mengalahkan rasa itu.

Kini ia baru sadar, ada sesuatu yang terlewatkan begitu saja. Ada sesuatu yang hilang tanpa sempat ia perjuangkan. Ada sesuatu yang tak terucapkan, dan kini ada sesuatu yang mungkin tak termaafkan.

Dito tepekur dengan undangan berwarna krem bertinta emas di tangannya saat ia melihat sosok yang ia cari tengah menghentikan motor di pelataran parkir galeri itu. Serasa tak mungkin ia melangkahkan kakinya ke arah sana….

Sagan, November 2008

novIta purnanIngsIh, s.s. pekerja pers, penikmat sastra, mantan pegiat studi linguistik di Jurusan sastra Indonesia Fakultas Ilmu budaya ugm.

This article is from: