6 minute read

cerpen

Next Article
Jendela

Jendela

Cinta Toulouse RijaL

Oleh MuHaMMaD LuTHFI HIDaYaT

Advertisement

culeslah.

“Cuek aja, EGP!” Jawab Rijal saat Rafly berterima kasih. Peristiwa itu membawa Rijal menjadi ‘Mahasiswa Solider 1995’. anehnya, mbak senior yang dirayunya itu jadi pacar pertama Rijal di kampus itu.

***

Kampus Sastra. Rijal memarkir skuter merah jambu dengan dua lampu halogen besar di samping kanan-kiri. Suara klakson pencetnya menarik perhatian beberapa mahasiswa gondrong yang duduk-duduk di dekatnya. Seperti biasa, celana street, baju junkiest, dan rambut klimis. Rijal melepas kacamata hitamnya.

Suasananya lain. Banyak cewek buat gebetan baru, pikirnya. Tengok kanan-kiri, kampus Sastra mayoritas dihuni kaum hawa.

“assalamu’alaikum. Sendirian, Mbak?“ Rijal eskaesde, sok kenal sok dekat. Gadis itu menjawab salam, tersenyum, melanjutkan bacaannya. Dengan segudang pengalamannya, Rijal tahu, jenis gadis seperti ini sulit ditaklukkan. “Baca Kahlil Gibran, ya? Saya juga suka lho. Saya pernah baca, judulnya ... Sang Rasul.” Rijal dengan pede khas buayanya.

“Judul barukah? Seingatku Kahlil menulis buku The Prophet alias Sang Nabi, bukan Sang Rasul. Gadis itu tersenyum, tak nampak ia mencela.

Jika dikartunkan, wajah Rijal pasti berkilau-kilau. Pasalnya, gadis berjilbab lebar itu cantiknya ... ruaaarr biasa! Wajahnya putih, hidungnya mancung, mirip turis asing di pantai anyer, mungkin keturunan ras Kaukasoid.

“Eh, ya ... Sang Nabi, saya kurang fasih men-translate-nya. Maklum, lama di Perancis sih ... jadi ya .…”

Belum selesai Rijal membual, gadis itu menimpali, ”Est_ce que vouz etes serioux? Je viend de Toulouse. Et vous?”

“Eee, yes ... yes … tulus.“ w“Je m’appelle Nadine Derien, et vouz vouz appellez comment?”

Sambil mengusap keringat, Rijal coba menebak maksud gadis di depannya itu. “Nadine, yes, yes ... Rijal … Rijal Hasselhoff.” Rijal menunjuk hidungnya sendiri. Haselhoff, entah dapat dari mana karena namanya Rijal aji Nugraha.

Nadine yang memang cepat akrab, mengulurkan kedua telapak tangannya yang ditangkupkan kepada Rijal. anak Biologi semester 8 itu heran, jarang gadis berjilbab lebar mendahului mengajak bersalaman. Namun, sebelum Rijal menyentuh jemari “Celine Dion“-nya Fakultas Sastra itu, si gadis segera menarik tangannya. Melihat aksen lawan bicaranya aneh, Rijal memutar siasat.

“Nadine, kita bicara bahasa Indonesia saja ya? Ng-

“TOK, TOK, TOK!” “Raf, bukain! Ngapain lo kunci segala, baru molor ya?” Rupanya si Rijal Cobek, cowok Bekasi, itu nggak sabaran ingin masuk kamar tetangga kostnya.

“Bentar, Jal, kayak abis nelan kacang atom lewat hidung aja.” Rafly bangkit meninggalkan buku Mikrobiologinya, disambarnya gagang pintu.

“Dasar cewek, payah, ... kapok gue!”

Cowok junkies berambut klimis celana street itu membalikkan badannya. “Gue putus lagi, Raf. Habis, tuh cewek reseh banget. Masak di depan gue dia nyantai aja dirangkul cowok temen sekelasnya.” Rafly melihat toples kacang yang mulai kosong disikat Rijal. “He he he, maaf, rasa sedih membuatku lapar.” “Katanya habis putus. Cengengesan gitu!” Rafly bertanya. “Rossy bagaimana, kok sekarang sama Bella?”

“ah, Rossy itu masa lalu, sesudah Rossy masih ada Vita, Manda, dan ….”

“Masya allah, kamu nggak kapok-kapok mempermainkan hati wanita?” Rafly menggeleng-gelengkan kepala.

“Siapa yang main-main, gue macarin mereka karena alasan kuat kok. Rossy cakep dan tajir, sayang bapaknya galak. Vita, cewek Matematika itu, imut banget, gue putusin karena belajar melulu dan pelit. Terus, si Manda itu ….”

“Cukup-cukup, aku nggak suka kamu bicara aib mereka di sini. Sebagai orang Islam kita nggak boleh membicarakan kejelekan orang.”

Firasat Rijal, kuliah agama Islam akan segera pindah ke ruangan 4x3 meter ini. “Benar … Pak ustadz, alasan memilih wanita: kecantikannya, keturunannya, kekayaannya, agamanya. Gue udah praktekin nasehatmu. Rossy kaya, bapaknya tentara. Vita cakep, gue kagak cocok.”

“Dari keempat pilihan itu, jika yang kau pilih karena agamanya, itu yang terbaik.”

Rafly yang kalem dan tidak biasa berdebat terdiam. Wajah Rijal yang lonjong dan dagunya ditumbuhi jenggot menatapnya puas. “Gue mending, Raf, elo sendiri nggak pernah praktik, bisanya cuma ngomong kriteria cewek. Buktiin pejantan tangguhmu!”

***

Pertemuan mereka berawal di OSPEK. acara refleksi solidaritas. Waktu itu Rafly dihukum karena terlambat dan bawaannya tertinggal di bis. Hukumannya, Rafly harus merayu salah seorang panitia cewek. Hampir mandi keringat Rafly kalau tidak buru-buru diselamatkan Rijal. Rijal yang gantiin Rafly karena Rijal tahu kawannya itu bakalan nggak pede dihadapkan makhluk manis bernama cewek. Tentu Rijal kena damprat panitia: sok pahlawanlah, sok tertiblah, sok Her-

cerpen

gak enaklah, di Indonesia kita tidak bicara dengan bahasa Indonesia.“ Nadine mengangguk sambil tetap bicara dalam bahasanya Zinedine Zidane itu.

Sejak itu, Rijal seperti tak kenal waktu. Selalu datang ke Fakultas Sastra untuk menemukan waktu yang tepat bisa ngobrol dengan mojang Tolouse itu. Bahkan, untuk sekedar mencuri pandang dari jauh. Rijal sangat kesengsem pada penampilan Nadine. Berdasarkan pantauannya berhari-hari, Nadine itu ramah, cakep, membuat penasaran, nggak berlebihan, sabar, rajin menabung, dan tidak sombong.

Sampai pergantian semester genap. Rijal mulai gelisah. Bukan persoalan mudah untuk dapat menemukan Nadine di kelas Bahasa Indonesia. untuk menatap Nadine dari jauh pun sulit. Juga di asrama putri az Zahra utara kampus, tempat tinggalnya, Nadine menghilang! Kalut hati Rijal. Dalam pikiran Rijal yang doyan pacaran itu, terlintas akan belajar Islam dengan baik agar bisa menikahi Nadine. Gadis Toulouse itu mampu menumbuhkan cinta tulus di hati Rijal. “ah, Nadine... Je vous demande,” kata Rijal setelah membuka kamus percakapan Prancis populer. *** Pintu kamar kos Rafly diketuk keras. “Raf, bukain.” Rafly sudah hafal suara Rijal. Kaget Rafly melihat wajah sohibnya. Bibir jontor, mata lebam, wajah makin manyun. “Kamu kenapa, Jal, habis nyium tembok?” “Sialan lo, Raf, t e me n nya kena musibah malah k e t a waketiwi.” Rijal

repro kalam/uny

kalam/pewara merebahkan tubuhnya ke dipan. Suara murattal Ibnu Sudais mengalun merdu. Rafly memberinya air putih dan menanyakan lagi penyebab berubahnya morfologi wajah Rijal.

“Sebelum cerita, gue mau tanya. ayat yang sedang dibaca itu, lo tahu artinya nggak?” “arti detilnya aku kurang paham, tetapi intinya, jodoh untuk wanita baik-baik adalah pria baik-baik. Begitu sebaliknya. Kenapa?”

Rafly ingin tersenyum geli, tapi tak tega. Sebuah pemandangan langka, Rijal menangis. Kemudian diceritakan kisah pertemuannya dengan Nadine, gadis pujaannya. “Sialnya, Raf, waktu gue tanya teman-temannya, semua menjawab tidak tahu keberadaannya kini. akhirnya ... ada gadis berjilbab menemuiku dan berkata bahwa Nadine akan ...”

“Menikah?” Rafly memotong kalimat Rijal yang belum tuntas. “Iya, Raf, kok elu tahu sih?”

Suara ibu kos terdengar, “Mas Rafly, ada telepon dari mbak Fatima! Lima belas menit kemudian, Rafly kembali. “Lanjutkan ceritamu, Jal, kenapa mukamu seperti itu?”

“Nah, dengar berita itu, gue kan panas. Coba dia kasih tahu, detik itu juga kudatangi rumahnya, kutantang duel secara jantan! Hati gue sakiiit banget. Lagian Nadine nggak pernah cerita kalau mau kawin. Mungkin cowoknya orang Perancis juga ya? Gue lalu ke tempat parkir sambil nyumpahnyumpah. Di parkiran ada anak-anak duduk di atas skuter gue. Nggak papa sih, yang buat gue panas, mereka nyanyiin lagunya Sheilla on 7, Aku pulang//tanpa dendam//kuterima kekalahanku. Karena emosi, gue tantang saja ... jadinya seperti ini.”

Rafly terdiam.

“Eh, Raf, lo belum jawab pertanyaan tadi. Kok bisa nebak kalau Nadine mau nikah?” Rafly tersenyum. Rijal kembali merebahkan kepalanya di bantal. Terdengar suara ibu kos lagi, “Mas Rafly, telepon dari yang tadi.” ***

“Siapa, Raf, jadi sibuk gitu? aku dicuekin!” Rijal gusar.

“Kamu mau tahu, Jal?” Rafly menarik nafas. “Yang telepon tadi calon istriku, Fatima.” “apa?” Rijal melompat dari dipan. “Gile lo!? Emang lo bisa seneng sama cewek juga? Mau kasih makan apa istrimu nanti, sobatku Rafly?”

Rafly menimpali, “Ya dikasih makan nasi. Masalah rezeki, allah yang ngatur. Lagian, aku kan mau dikirim S2 ke L‘Institute de Mikrobiologie de Sorbonne. Sebelum ke Perancis, aku nikah dulu, biar lebih tenang. Istriku nanti juga kuajak ke sana setelah lulus.

Rijal melongo. “Calon istrimu yang mana? aku belum pernah lihat kamu berduaan dengan seorang gadis pun. Fatima? Siapa itu? anak mana?” “Kamu sudah kenal dia, Jal. Fatima itu namanya setelah masuk Islam empat tahun lalu. Sebelum itu, namanya ... Nadine Derien.”

Kedua sahabat itu saling beradu pandang. Tajam.

muhammad luthfI hIdayat mahasiswa pendidikan biologi 2002

This article is from: