Pewara Dinamika Februari 2009

Page 44

cerpen

Cinta Toulouse RijaL O l e h M u h a mma d Lu thfi H idayat “Tok, tok, tok!” “Raf, bukain! Ngapa­in lo kunci segala, baru molor ya?” Rupanya si Rijal Cobek, cowok Bekasi, itu nggak sabaran ingin masuk kamar te­tang­ga kostnya. “Bentar, Jal, kayak abis nelan kacang atom lewat hidung aja.” Rafly bangkit meninggalkan buku Mikrobiologinya, disam­barnya gagang pintu. “Dasar cewek, payah, ... kapok gue!” Cowok junkies berambut klimis celana street itu membalikkan badannya. “Gue putus lagi, Raf. Habis, tuh cewek reseh banget. Masak di depan gue dia nyantai aja dirangkul cowok temen sekelasnya.” Rafly melihat toples kacang yang mulai kosong disikat Rijal. “He he he, maaf, rasa sedih membuatku lapar.” “Katanya habis putus. Cengengesan gitu!” Rafly bertanya. “Rossy bagaimana, kok sekarang sama Bella?” “Ah, Rossy itu masa lalu, sesudah Rossy masih ada Vita, Manda, dan ….” “Masya Allah, kamu nggak kapok-kapok mempermainkan hati wanita?” Rafly menggeleng-gelengkan kepala. “Siapa yang main-main, gue macarin mereka karena alasan kuat kok. Rossy cakep dan tajir, sayang bapaknya galak. Vita, cewek Matematika itu, imut banget, gue putusin karena belajar melulu dan pelit. Terus, si Manda itu ….” “Cukup-cukup, aku nggak suka kamu bicara aib mereka di sini. Sebagai orang Islam kita nggak boleh membicarakan kejelekan orang.” Firasat Rijal, kuliah agama Islam akan segera pindah ke ruangan 4x3 meter ini. “Benar … Pak Ustadz, alasan memilih wanita: kecantikannya, keturunannya, kekayaannya, aga­ manya. Gue udah praktekin nasehatmu. Rossy kaya, bapak­ nya tentara. Vita cakep, gue kagak cocok.” “Dari keempat pilihan itu, jika yang kau pilih karena aga­ manya, itu yang terbaik.” Rafly yang kalem dan tidak biasa berdebat terdiam. Wajah Rijal yang lonjong dan dagunya ditumbuhi jenggot menatapnya puas. “Gue mending, Raf, elo sendiri nggak pernah praktik, bisa­nya cuma ngomong kriteria cewek. Buktiin pejantan tangguhmu!” *** Pertemuan mereka berawal di OSPEK. Acara refleksi solidaritas. Waktu itu Rafly dihukum karena terlambat dan bawa­ annya tertinggal di bis. Hukumannya, Rafly harus merayu salah seorang panitia cewek. Hampir mandi keringat Rafly kalau tidak buru-buru diselamatkan Rijal. Rijal yang gantiin Rafly karena Rijal tahu kawannya itu bakalan nggak pede dihadapkan makhluk manis bernama cewek. Tentu Rijal kena damprat panitia: sok pahlawanlah, sok tertiblah, sok Her42

Pewara Dinam i ka f e b r ua ri 2 0 0 9

culeslah. “Cuek aja, EGP!” Jawab Rijal saat Rafly berterima kasih. Peristiwa itu membawa Rijal menjadi ‘Mahasiswa Solider 1995’. Anehnya, mbak senior yang dirayunya itu jadi pacar pertama Rijal di kampus itu. *** Kampus Sastra. Rijal memarkir skuter merah jambu deng­ an dua lampu halogen besar di samping kanan-kiri. Suara klakson pencetnya menarik perhatian beberapa mahasiswa gondrong yang duduk-duduk di dekatnya. Seperti biasa, cela­ na street, baju junkiest, dan rambut klimis. Rijal melepas kacamata hitamnya. Suasananya lain. Banyak cewek buat gebetan baru, pikir­ nya. Tengok kanan-kiri, kampus Sastra mayoritas dihuni ka­ um hawa. “Assalamu’alaikum. Sendirian, Mbak?“ Rijal eskaesde, sok kenal sok dekat. Gadis itu menjawab salam, tersenyum, melanjutkan ba­caannya. Dengan segudang pengalamannya, Rijal tahu, jenis gadis seperti ini sulit ditaklukkan. “Baca Kahlil Gibran, ya? Saya juga suka lho. Saya pernah ba­ca, judulnya ... Sang Rasul.” Rijal dengan pede khas buaya­nya. “Judul barukah? Seingatku Kahlil menulis buku The Pro­ phet alias Sang Nabi, bukan Sang Rasul. Gadis itu terse­nyum, tak nampak ia mencela. Jika dikartunkan, wajah Rijal pasti berkilau-kilau. Pasalnya, gadis berjilbab lebar itu cantiknya ... ruaaarr biasa! Wajahnya putih, hidungnya mancung, mirip turis asing di pantai Anyer, mungkin keturunan ras Kaukasoid. “Eh, ya ... Sang Nabi, saya kurang fasih men-translate-nya. Maklum, lama di Perancis sih ... jadi ya .…” Belum selesai Rijal membual, gadis itu menimpali, ”Est_ce que vouz etes serioux? Je viend de Toulouse. Et vous?” “Eee, yes ... yes … tulus.“ w“Je m’appelle Nadine Derien, et vouz vouz appellez comment?” Sambil mengusap keringat, Rijal coba menebak maksud ga­dis di depannya itu. “Nadine, yes, yes ... Rijal … Rijal Hasselhoff.” Rijal menunjuk hidungnya sendiri. Haselhoff, entah dapat dari mana karena namanya Rijal Aji Nugraha. Nadine yang memang cepat akrab, mengulurkan kedua telapak tangannya yang ditangkupkan kepada Rijal. Anak Biologi semester 8 itu heran, jarang gadis berjilbab lebar mendahului mengajak bersalaman. Namun, sebelum Rijal menyentuh jemari “Celine Dion“-nya Fakultas Sastra itu, si gadis segera menarik tangannya. Melihat aksen lawan bicaranya aneh, Rijal memutar siasat. “Nadine, kita bicara bahasa Indonesia saja ya? Ng-


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.