opini INTEGRITAS DOSEN SEBAGAI LANDASAN PEMBANGUNAN KARAKTER MAHASISWA O l e h D r s . Dimyati, M . S i .
M
erebaknya fenomena plagiasi karya ilmiah yang dilakukan oleh akademisi perguruan tinggi (PT) sungguh memprihatinkan. PT yang di dalamnya orang-orang yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, justru berbuat sebaliknya. KOMPAS (2/2010) menjadikan berita ini headline pada empat hari berturut-turut, serta menampilkan berbagai artikel dan opini masyarakat terkait dengan masalah plagiasi yang terjadi di PT, baik yang dilakukan oleh mahasiswa (dalam membuat skripsi), dosen (dalam membuat penelitian), dan calon Guru Besar (untuk meraih jabatan GB-nya). Hilangnya kejujuran dalam pendidikan sama dengan hilangnya roh pendidikan. Mendiknas, Muhammad Nuh, menegaskan ada tiga faktor penyebab terjadinya penjiplakan di PT, yaitu rendahnya integritas pribadi dosen, ambisi mendapatkan tunjangan finansial, dan kurang ketatnya sistem di PT. Menurutnya, pendidikan karakter, budaya, dan moral mendesak diterapkan di dunia pendidikan (Kompas, 20/2/2010).
Distorsi Pendidikan Karakter di PT Bukan hal yang mudah untuk melibatkan komunitas masyarakat PT dalam diskusi pen tingnya memberikan pendidikan kepada maha siswa yang tidak hanya mengembangkan pe ngetahuan, tetapi juga keterampilan yang dibutuhkan dalam mengambil keputusan moral untuk bekal kehidupan di masyarakat. Sebagian dosen meyakini pentingnya mahasiswa memili ki karakter yang kuat. Pertanyaannya, mengapa dosen tidak mendukung pembangunan karakter secara terbuka atas mahasiswanya, bahkan di antara mereka berperilaku sebaliknya. Seder hana, namun memiliki akar persoalan yang da
Hilangnya kejujuran dalam pendidikan sama dengan hilangnya roh pendidikan. 56
Pewara Dinam i ka m ei 2 0 1 0
lam, apakah pimpinan PT, Dekan, dan Ketua Jurusan meyakini hakikat dan makna penting pendidikan karakter mahasiswa sebagai bagian utama dari tujuan pendidikan di PT. Pendidikan yang ditunjukkan untuk mengem bangkan seluruh aspek mahasiswa secara total adalah tujuan utama dari pendidikan di PT. Namun, itu semua tidak dilihat sebagai tujuan uta ma PT, terutama yang terjadi pada universitas riset (UR), bahkan LPTK ’penghasil’ guru. Lage mann (2003), Dekan Harvard Graduate School of Education, mengatakan, laporan terbaru menye butkan bahwa pendidikan di universitas telah menjadi lebih terfokus pada pendidikan teknis dan profesional dibandingkan yang terjadi pada era 1970-an. Dikatakannya, mahasiswa lebih difokuskan secara sempit pada ”persiapan kejuruan”. Di banyak tempat dan beberapa waktu lamanya, PT telah gagal dalam misinya memberikan pendidikan kepada mahasiswa yang mampu menetapkan ”rasa salah pada dirinya atau bersikap jujur, empati terhadap orang lain, menjadi warganegara yang baik dan efektif”, serta mampu mempersiapkan mahasiswa untuk ”berpartisipasi dalam menentukan dan menghadapi isu-isu di zamannya”. Munculnya berbagai model UR menciptakan situasi yang pencarian bahan dan subjek penelitian sebagai sumber pencarian pengetahuan menjadi lebih penting bagi dosen dibandingkan meluangkan waktu untuk mendidik mahasiswa (Boyer, 1990). Waktu untuk aktivitas dosen hampir seluruhnya berada di lembaga penelitian, sehingga proses pembelajaran menjadi priori tas kedua. Bahkan, fokusnya lebih mengarah pada apa yang diajarkan, bukan bagaimana memberikan pembelajaran. Karena mengajar dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan tidak memberikan kontribusi atas upaya mener bitkan tulisan dalam jurnal penelitian, mendi dik mahasiswa sering diletakkan pada prioritas yang rendah (Wilshire, 1990). Di sisi lain, motif ekonomi untuk mendapatkan finansial menjadikan dosen lebih berkiprah di jalur nonkependidikan di luar kampus, sehingga sering alpa dalam mendidik mahasiswanya. Manaje