2 minute read
BINA ROHANI
Disparsitas Suro dan Muharram Kamis, 10 Januari 2008 lalu di-
tetapkan pemerintah sebagai hari libur nasional menyambut tahim bam Hijriyah, 1 Muharram 1429. Hari itu juga bertepatan dengan 1 Suro 1940 <^aka (baca: Syaka). Di berbagai tempat banyak peringatan dilakukan. Sebagian ada yang melakukan peringatan di masjid-masjid dengan mengadakan muhasabah dan
Advertisement
pengajian.
Sementara, di tempat-tempat tertentu, seperti di Keraton Yogyakarta, Surakarta, Banyuwangi dan sejumlah tempat lain di pesisir pantai utara diselenggarakan ritual-ritual yang selalu diadakan setlap 1 Suro. Sure mempakan bagian dari kalender Jawa yang diintroduksi oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Biasanya, pergantian tahim Hijriyah memang hampir selalu bersamaan de ngan pergantian tahun bam (;aka Jawa. Bila bulan bam Hijriyah diawali oleh Mu harram, maka tahun ^aka-Jawa diawali oleh Sura (baca: Sura). Hanya saja, awal tanggal setiap bulan kadang bersamaan, kadang berselisih satu hari.
Kedua kalender tersebut jelas berbeda. Selain berbeda cara penghitungannya, juga berasal dari tradisi yang berlainan. Yang satu berasal dari tradisi Arab, sedangkan yang lain dari tradisi Jawa. Akan tetapi, sekali-kali perhatikan nama-nama hari, bulan, dan tahun pada kalender (jaka-Jawa. Nama-nama itu memperlihatkan pengaruh Arab-Islam
yang sangat kuat.
Disparitas Suro dan Muharram
Pada kondisi masyarakat, khususnya di Jawa, permasalahan muncul ketika banyak media, temtama pemberitaan televisi, yang menyamakan saja peri ngatan 1 Muharram dengan 1 Sura. Misalnya, kirab di Keraton Yogyakarta dan Solo serta ritual Jamasan (mencud
Oleh MUHAMMAD LUTHFI HIDAYAT
benda-benda pusaka) dianggap sebagai rangkaian upacara untuk memperingati Tahim Bam Islam, Hijriyah. Padahal, upacara-upacara itu untuk memperi ngati tahun bam (^aka.
Kesalahan persepsi itu berakibat cukup fatal. Aroma sinkretisme sengaja dibangun kembali seolah-olah Islam membolehkan praktik-praktik upacara semacam itu. Media membentuk opini bahwa upacara-upacara itu merupakan bagian dari tradisi Islam, padahal sama sekali berbeda. Dalam Islam, jangankan melakukan upacara-upacara seper ti Jamasan, memperingati tahun baru Hijriah dengan cara muhasabah dan menyelenggarakan pengajian-pengajian pun masih diperselisihkan.
Sebagian ada yang membolehkan acara dzikrullah dan majelis iimu, tentu dengan catatan bahwa pelaksanaannya adalah aktivitas biasa seperti pengajianpengajian pada umumnya, hanya waktunya saja memilih 1 Muharram sebagai momen yang baik untuk ber-mufiasabah dan napaJc tilas perjuangan Rasul-
ullah saw.
Berdasarkan QS. Az-Zumar: 38 dan dalil-dalii yang lain, keyakinan-keyakinan terhadap benda pusaka,jimat, dan yang
lain bahwa benda-benda tersebut bisa mendatangkan manfaat atau menolak ke-mudharat-an adalah batal. Seorang muslim 'haram' meyakini adanya kekuatan terselubung atau berkah tertentu pa da benda-benda tanpa keterangan dari Allah swt di dalam Al Quran atau RasulNya di dalam As-Sunnah.
Kita hams berhati-hati dari acaraacara yang sarat dengan bid'ah, kesyirik-an, dan pemujaan kepada selain Allah swt. Kita tidak perlu teihanyut de ngan media-media yang seolah menyinkretiskan antara ajaran Islam dengan
paganisme, dinamisme, dan animisme. Sekali lagi, Islam bersih dari hal-hal yang demikian. Wajib bagi setiap muslim un tuk tidak tolong-menolong dalam kejelekan, seperti mempromosikan acaraacara di atas, memujinya, atau tumt melestarikannya.
Allah swt berfirman: "(Ucapan mereka) menyebabkan meieka memikul dosadosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosadosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkanj.lngatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu". (QS An-Nahl: 25).