9 minute read

OPINI

Next Article
JENDELA

JENDELA

--T/- A

UN dan Pendidikan Versi Ki Hajar Dewantara

Advertisement

Oleh DIANA WULANDARI

Problematika Ujian Nasional (UN) tetap urgen dibicarakan selama kebijakan mengevaluasi siswa ini belum dihapus dari dunia pendidikan. Selama ini, Pemerintah masih setia mempertahankan budaya/ear resting seperti ini. Buktinya, Peme rintah selalu turun tangan dalam evaluasi basil belajar siswa. Bahkan, ikut andil dalam menentukan nasib kelulusan siswa melalui penentuan

standar minimal nilai kelulusan.

UN diperkenalkan sejak 2005, menggantikan

Ebtanas (1980-2001) dan UAN (2002-2004). Stan dar kelulusannya 4,25. Wewenang penyelenggaraan UN dilimpahkan kepada Badan Standar

Nasional Pendidikan. Untuk 2006-2007, standar kelulusan UN minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,00.

Jika dibandingkan dengan pendidik an versi Ki ikat pendidikan.

Pembudayaan/ear testing ini menimbulkan problematika yang berkelanjutan. Banyak protes dari berbagai kalangan, termasuk para siswa sendiri. Akibat negatif UN pun terpublikasikan media massa. Dari mulai kenaikan jumlah ketidaklulusan sampai dengan efek psikologis siswa yang terabaikan. 2006, angka ketidaklulusan mencapai 100 ribu di seluruh Indonesia.

Di Jakarta, terdapat 14 sekolah yang persentase kelulusannya 0 persen. Dan yang lebih pa-

rah lagi, ada 1 orang siswa di Sulawesi yang bunuh diri karena tidak lulus UAN. Di Jakarta terdapat 4 orang siswa yang juga melakukan percobaan bunuh diri.

Belum lagi ditambah berbagai kecurangan yang dilakukan menjelang dan selama UN. Kasus ikutnya guru membantu siswa dalam menjawab soal, bocomya soal sebelum ujian dilaksanakan di beberapa tempat, pengawas yang membiarkan siswa saiing mencontek saat ujian berlangsung, bahkan ada pejabat yang "membisikkan" sesuatu ke telinga panitia ujian agar tidak terlalu ketat dalam pelaksanaan ujian.

Hal-hal itu merupakan fenomena riil yang terjadi di lapangan. Klimaksnya, terjadi "skandal

konversi nilai UAN" di tahun 2004, di mana nilai dijadikan "subsidi silang" oleh Pemerintah.

Kebijakan Pemerintah tetap memberlakukan UN, bahkan meningkatkan standar nilai kelulus an, tampaknya terlalu over policy. Dalil peningkatan standar mutu tampak kurang rasional, sebab mutu tidak dapat dinilai melalui evaluasi timggal yang hanya menekankan aspek kognitif saja. Apalagi mengingat implikasi dari UN yang sifatnya menekan dan memaksakan siswa harus lulus. Hal seperti ini tentu berimplikasi buruk pada anak didik secara psikologis.

Pertanyaannya, apa motif Pemerintah untuk tetap "keras kepala" mempertahankan UN? Tam paknya, ungkapan "ada udang di balik batu" berlaku untuk menjawab pertanyaan itu. Menurut isu yang berkembang, kepentingan politik dari kelompok-kelompok tertentu melekat erat dalam kebijakan tersebut, bahkan kemungkinan besar UN menjadi alatnya.

Semua pihak harus kembali pada hakikat dan tujuan pendidikan, bukan pada kepentingan po litik. Kita perlu "menengok kembali" pemikiranpemikiran para cendekiawan bangsa, salah satunya Suwardi Suryaningrat, yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara (KHD), Bapak Pen

Menurut pemikiran KHD, hakikat pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberikan bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak-anak agar dalam garis-garis kodrat pribadinya serta pengaruh-pengaruh lingkungaimya, mereka mendapatkan kemajuan lahir batin menuju adab kemanusiaan.

Adapun tujuan pendidikan adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya, dan sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, dan manusia pada umumnya.

Menurut KHD, pendidikan menyangkut daya dpta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Singkatnya, "educate the head, the heart, andthehand". Pengembangan manusia seutuhnya menimtut pengembangan semua daya itu secara seimbang. Pengembangan dengan terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan manusia. KHD mengatakan, pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka hanya menjauhkan peserta didik dari masyarakat.

Dalam pandangan pendidikan KHD yang beraliran developmentalism, dikenal "Among methode", yaitu metode pengajaran dan pendidik an yang berbasis pada tumbuh kembang anak sesuai kodratnya (naturlijke groei) dan wajib dimerdekakan. Metode ini didasarkan pada prinsip asih, asah, dan asuh (care and dedication based on love). "Among" dapat diartikan memajukan siswa dengan memelihara jangan sampai mendesak pikiran, perasaan, dan kemauan siswa. Dalam hal ini, sifat pendidikan lebih ke arah mema-

nusiakan manusia (humanis). Oleh karena itu, pendidikan yang beralaskan syarat "paksaanhukuman-ketertiban" tak patut diberlakukan.

Jika dikaji berdasar konsep tersebut, UN justni memandulkan arti dan tujuan pendidikan. Sebab, UN mengtmggulkan aspek kognitif saja. tanpa mengikutsertakan pengembangan daya rasa dan karsa. Padahal, arti dan tujuan pendi dikan mengacu pada keseimbangan tiga ranah tersebut. Yang dikhawatiran, output UN hanya akan membuat generasi muda tidak peka teihadap lingkungan, jauh dari sikap humanis, tidak beradab, serta tidak cakap dalam mengambil keputusan maupun bertindak.

Pemberlakuan UN ibarat "perkosaan hidup kebatinan anak". UN sarat dengan unsur paksaan yang bisa mendesak pikiran. perasaan, ser ta kemauan siswa karena diharuskan mengejar nilai kelulusan. UN mempersempit kemerdekaan siswa dalam mengembangkan pendidikan. Hampir setiap sekolah mengadakan les dan menambah jam pelajaran semata-mata agar pa ra siswanya bisa lulus ujian. Bahkan, ditemukan sejumlah sekolah di Kota Batu Jawa Timur

menggunakan seluruh waktu semester terakhirnya khusus untuk latihan UN.

Mayoritas guru melakukan taktik pengajar an yang ditujukan untuk membawa anak didiknya "piawai menembus pintu UN". Kebuda yaan "mengarantina" selama beberapa hari, bahkan beberapa minggu, sebelum UN sudah menjadi fenomena umum di sekolah. Itu ibarat "memenjarakan siswa", yangjelas-jelas melanggar adab kemanusiaan.

Selama periode menjelang UN siswa biasanya "digojlok" dan dikuras pikirannya untuk mengeijakan soal-soal latihan UN. Ketidakadilan muncul ketika kewajiban belajar yang selama ini "dilakoni" siswa hanya pantas diakui dengan sistem UN. Sehingga, tak heran jikabanyak sis wa yang frustrasi karena tidak lulus.

Selama ini UN masih melekat erat dalam sistem pendidikan kita. Buktinya, hampir selu ruh instansi pendidikan formal mempunyai pan dangan bahwa mutu sekolah bergantung pada tingkat kelulusan siswa. Semakin banyak sis wa yang lulus UN, dianggap mutu sekolah itu semakin tinggi. Begitu sebaliknya.

UN hanya sebatas angka-angka yang merupakan akumulasi dari pencapaian hasil belajar sis wa secara nasional per mata pelajaran. Mutu pendidikan nasional tak bisa diukur hanya berdasarkan itu. Yang lebih penting adalah aspek input, process, dan output pendidikan serta hard ware dan software yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan secara nasional.

Jika dibandingkan dengan pendidikan versi Ki Hajar, UN tak selaras dengan tujuan dan hakikat pendidikan. UN justru akan mengakibatkan ketidakseimbangan pertumbuhan dan perkembang an peserta didik. UN hanya akan menjadikan generasi muda sebatas mempuyai kecerdasan intelektual saja, tanpa diimbangi dengan daya

rasa dan karsa.

opini

BAGIAN 2 (HABIS)

Menapaki Dinamika Kehidupan Ormawa

Oleh NASIWAN Realitas dunia kemahasiswaan yangada pada era pasca reformasi 1998 tak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika era sebeliimnya. Dilihat dari perspektif historis-yuridis tentang bentuk kelembagaan, Ormawa yang ada pada dekade 1990-an hingga awal 2000-an adalah implikasi dari SKMendiknas No. 155Tahun 1998 tentang

Ormawa di PT.

Demikian juga, keberadaan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Senat Mahasiswa (SEMA) yang mulai muncul sejak dekade 1980an. sesaat setelah dibekukakannya lembaga Dewan Mahasiswa (DEMA) oleh Mendikbud, Daud Yusuf, yang kemudian dikenal dengan kebijak-

an NKK/BKK.

Institusi DEMA di tingkat universitas yang

mendominasi dunia kemahasiswaan tahun 1960-an sampai 1970-an juga merupakan proses dialektika berbagai faktor perkembangan sejarah bangsa Indonesia, khususnya dinamika perpolitikan nasional pada saat itu, yakni adanya perjuangan ideologi yang sangat kuat di antara berbagai kekuatan politik nasional, seperti tercermin pada berbagai partai politik seperti PKI mewakili ideologi Komunis, PNI mewakili nasionalis, Partai Masyumi mewakili Islam modemis, Partai NU mewakili Islam tradisionalis,

PSI mewakili sosialis.

Dengan rumusan lain, dari tinjauan sejarah Gerakan Mahasiswa dan Ormawa yang hadir memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut. Gerakan Mahasiswa dan kelembagaan mahasiswa pada 1950-an/1960-an diwamai penganih dari peijuangan ideologi yang ada pada partai pohtik di Indonesia. Pada era ini institusi DEMA mulai punya peran kian penting.

Gerakan Mahasiswa serta kelembagaan Or mawa yang ada pada dekade 1970-an diwamai gerakan moral menolak modal asing, sikap kritis pada militerisasi di dunia politik dan pendidikan. Pada era ini lembaga DEMA di kampuskampus besar (ITB, UI, Gadjah Mada) memegang peran yang penting. Pada era ini hubungan antara UKM di tingkat universitas maupun fakultas berlangsung harmonis, posisi UKM adalah bagian tak terpisahkan dari DEMA.

Namun, setelah institusi DEMA dibekukan pada 1978-1979, UKM terus berkembang tanpa ada persoalan serius. Dalam konteks ini ditemukan di antara akar persoalan terkait hubungan UKM, HIMA, UKMF, dengan BEM Universitas. BEM Universitas sebagai lembaga yang realatif bam mengalami kesulitan legitimasi dan aksep-

tabilitas untuk diterima di kalangan UKM Uni versitas maupun UKM Fakultas.

Gerakan Mahasiswa dan Ormawa 1980-an hingga 1998 lahimya reformasi politik diwamai oleh isu dan agenda kegiatan nonpolitik, yang berpusat pada pengembangan bakat dan minat mahasiswa, seperti UKM yang sangat banyak jumlahnya. Pada era ini peran DEMA sebagai lembaga kemahasiswaan tingkat Universitas tidak bisa diperankan lagi karena kondisi perpolitikan nasional tidak mengizinkan. Sampai bergulimya era reformasi belum ada lembaga kemahasiswaan yang dapat mengambil alih pe-

opini

ran yang telah dimainkan oleh DEMA pada era 1960-an sampai 1970-an.

Gerakan Mahasiswa dan Ormawa dari rentang 1998 'reformasi politik' hingga awal 2000an secara nasional di Indonesia belum mampu menemukan format yang permanen, seperti pemah diukir pada 1960-an sampai 1970-an.

Gerakan Mahasiswa dan Ormawa yang ada semenjak beigulimya era reformasi politik 1998 hingga akhir 2006 masih sangat bervariasi. Sebagian kampus sedang melakukan eksperimen dengan menerapkan secara penuh 'student go vernment' dengan memperkenalkan jabatan Pre-

siden untuk Ketua BEM dan sebutan Menteri

(Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, mimgkin juga Menteri Pendidikan, dlL).

Struktur yang dieksperimenkan oleh Gerakan Mahasiswa era 2000-an memiliki perbedaan yang substansial dengan struktur yang ada pa da DEMA. Demikian juga, sifat hubungan de ngan lembaga-lembaga yang ada di tingkat fakultas maupun UKM.

Dilihat dari perspektif sosiologis-politik, se cara singkat dapat dinyatakan, Gerakan Maha siswa dan Ormawa yang hadir pada setiap periode zaman yang berbeda, secara langsung maupun tidak, adalah refleksi dari dinamika perkembangan sosial masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi dinamika perkembangan so sial politik. Efek samping dari perkembangan seperti ini, dinamika Ormawa di tingkat Universitas menjadi sangat politis sifatnya. Mungkin hal inilah yang menjadi sebagian dari faktor apatisme dan resistensi berbagai kalangan da lam menerima kehadiran Ormawa Universitas, termasuk yang terjadi di UNY.

Sekalipun, harus segera diberi catatan, keha diran Ormawa Universitas sangat penting karena merupakan amanat konstitusi serta sangat strategis untuk pesemaian kader-kader bangsa, agar lahir kader bangsa yang memiliki berbagai kompetensi, kemampuan yang standar, memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di masa datang.

Jika dilihat dari sisi kebijakan politik pemerintah terkait dengan pengembangan Ormawa di PT, menurut pencermatan penulis, belum ada kebijakan yang jelas, kebijakan yang ada masih mengambang sebagaimana tercermin dalam regulasi yang dikeluarkan oleh Mendiknas untuk mengatur keberadaan Ormawa di PT.

Kebijakan yang masih mengambang dipadu dengan adanya bias warisan trauma politik Or

mawa di masa lalu, Gerakan Mahasiswa dan Ormawa yang tersekat-sekat dan terkotak-kotak dalam isu yang sempit, serta dinamika per kembangan masyarakat yang terkepung oleh budaya pop, telah menjadikan Ormawa sebagai lembaga yang posisinya lemah, mengambang, kurang akseptabilitasnya, kurang otoritas, dan kurang tingkat independennya. Ormawa yang digagas menjadi semacam student government nasibnya berubah menjadi semacam 'Thefloat ing student government'.

Ormawa yang digagas menjadi sema cam student government nasibnya ber ubah menjadi semacam 'Thefloating student government'.

Alternatif Bentuk Hubungan Ormawa

Ada beberapa alternatifyang dapat dipertimbangkan, yakni merujuk pada model bentuk tata hubungan ormawa yang ada pada DEMA, merujuk pada model sejenis Konfiderasi atau Sekber, Badan Koordinasi (BAKOR, dieksperi menkan oleh ITB), merujuk pada model Stu dent Government (dieksperimenkan oleh Gerak an Mahasiswa Era 2000-an: UGM, UI, dengan beberapa modivikasi), merujuk pada model Stu dent Government BEM Rema UNY dengan bebe rapa modivikasi. merujuk pada prinsip-prinsip SK Mendiknas RI No. 155 Tahun 1998 tentang Ormawa di PT dengan mempertimbangkan se cara seksama dan akurat aspirasi yang ada pada mahasiswa UNY, pimpinan UNY, fungsionaris dan aktivis mahasiswa, alumni fungsionaris

mahasiswa.

Pada akhimya, para mahasiswa adalah pemilik sah dari masa depan yang akan diukir, yang

memiliki otonomi imtuk menentukan visi masa

depan dan secara kreatif memadukan dengan visi kolektif. Masa-masa indah tersebut hanya datang sekali saja dalam hidup ini.

This article is from: