5 minute read

CERPEN

Next Article
OPINI

OPINI

Sri Rama Rabun

Oleh ONCE TATABULl

Advertisement

SEORANG pemuda gagah menambatkan kudanya di sebatang perdu. Langkahnya menyusuri jalan setapak. Jalanan zig-zag itu dilintasinya dengan terbuni-buru.

Pemuda tampan itu tiba di bantaran kali jemih. Diletakkannya gendewa dari pundak ke batu-batu. Dilihat dari pakaiannya, ia bukan rakyat jelata. Pakaian mewah, kulit putih bersih. Tangan yang halus itu dicelupkan ke air. Menciduk. Disodorkannya sekobok air telapak tangan ke mulutnya. Setelah beberapa tenggakan, sepertinya rasa haus telah menepi jauh.

Lelaki itu menghirup udara senja, dinikmatinya puaspuas. Lelaki itu memegangi ikat pinggangnya, satu per satu pakaian di tubuh ia tanggalkan. Jatuh di bebatuan.

Dahan kayu melintang di atas kali, menggeliat di sepoi angin, seperti perawan menatap lelaki lajang. Tubuh kekar itu mencebur. Beberapa saat ia benamkan tubuhnya ke air,

lalu muncul kembali. Lelaki itu tampak puas menggauli tubuh air mengalir. Ia mulai menepi ke arah pakaian yang ditanihnya tadi. Betapa terkejutnya. Pakaian yang dicari tidak ada lagi. Dicarinya ke sana kemari. "Pakaianku hanjrut?" pikirnya. Matanya yang tajam menelanjangi batu-batu perawan di sepanjang kali.

"Bagaimana aku bisa pulang? Apa aku harus pulang hanya dengan cawat?" lelaki itu meracau di tepi kali.

Bingungnya menjalar ke dahan kayu di atas sungai. Di sana seekor monyet gelantungan. Lelaki itu menatap ta jam. Ia kutuk dalam-dalam. "Biadab! Rupanya kunyuk itu yang mencuri pakaianku!" lelaki itu geram. Disambarnya gendewa dan sebiji anak panah. Lurus mata mengincar, anak panah pun lepas.

Monyet di atas sana asyik mengelus pakaian yang baru saja diambilnya. Sekejap, benda padat menyarang di tu buhnya. Monyet itu menjerit histeris. Pakaian di tangannya terlempar. Darah segar muncrat dari tiap sudut empat. Tak ayal, mata lelaki bercawat menenteng gendewa itu terciprat darah. "Ah ... perih!" teriaknya mengaum.

Monyet tadi jatuh berdebam di atas sungai. hanyut ter-

bawa arus deras ke bawah.

Lelaki itu ngucek-ucek matanya berulang kali, membenamkan matanya ke air. Setelah dirasakan membaik, pakai an yang terciprat darah itu dikenakan. Bergegas ia menaiki jalan bertangga menuju perdu tempat kuda ia tambatkan.

Tali kekang kuda dihentakkan. Kuda berlari berderap,

meliuk-liukkan debu.

Gedung megah. Bangunan menyerupai pendhapa itu tampak rapi. Hilir mudik prajurit menenteng pedang meronda, menjaga keamanan keraton.

Di Tamansari tampak beberapa emban tengah menggosip perihal kejadian yang menimpa raja mereka sehari lalu.

Di dalam kamar Keprabon, tampak Sang Raja terbaring di atas dipan kayu jati berukir. Di sebelahnya duduk seorang putri cantik. Jemarinya yang indah memeras kain putih dalam belanga, menempelkannya di mata Sang Raja yang terpejam. "Bagaimana rasanya. Kanda Prabu? Apa sudah agak lebih balk?" putri lentik itu membuka ucapan. "Rasanya tidak ada perubahan, Dinda Shinta. Mata Kan da masih terasa gatal dan perih," nada suaranya penuh ke-

putusasaan. "Bisakah Dinda memanggilkan Laksmana kemari...?" "Untuk apa, Kanda? Bukankah Kanda seharusnya banyak istirahat?" tutur Shinta dengan suara gemulai. Jemari tangannya yang halus memijit lengan Rama yang terkulai meringkuk! "Ini penting, Dinda, tentang pemegang jabatan selama

Kanda sakit." "Baiklah, Kanda." Shinta pergi meninggalkan Rama sendirian. Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu, sesosok pemuda gagah menghadap. "Hormat saya, Kanda Prabu. Saya Laksmana datang menghadap." "Masuklah duhai Adikku. Kanda ingin sampaikan hal penting," suara berat itu masih menyimpan wibawa.

"Perihal apa itu, Kanda? Dinda slap mengampu titah

Kanda." "Seperti Dinda tahu, Kanda saat ini tak mungkin menjalankan tugas sebagai raja. Untuk sementara, Kanda minta kamu menggantikan, hingga Kanda benar-benar sembuh."

Laksmana menganggnk tanda mengerti. "Saya slap, Kan da!" jawabnya tegas.

Sejak hari itu Laksmana menjadi raja sementara. T^biatnya yang tidak berbeda jauh dari kakaknya membuat warga tetap mendapatkan ketentraman.

Hari demi hari beranjak. Tabib demi tabib didatangkan, ramuan demi ramuan diminumkan. Namun, keadaan Sri Ra ma tak Juga membaik. Shinta hanya bisa menangis.

Suatu hari datanglah seseorang yang mengaku dukun.

Setelah memeriksa mata Sri Rama, lelaki itu minta dicarikan beberapa lembar daunjenii. Anoman pun ditugasi.

Anoman begitu patuh, berangkatlah ia tanpa bertanya seperti apa daun yang harus dicari dan di mana dapat ditemukan. Dasar Anoman, dengan tenaganya yang kuat, diangkatnya sebuah lembah dan dibawanya ke istana.

Tabib itu pun beijalan memilah. Setelah beberapa kali menyibak, akhimya ia menemukan daun yang dicari. Dipetiknya tujuh lembar dan ditumbuk hingga halus. Kemudian dicampuraya dengan sedikit air dan diperas. Air perasan itu diteteskannya ke bola-bola mata Sang Raja. "Istirahatlah, Sang Prabu. Esok mata Sang Prabu sembuh seperti sediakala," wasiat tabib itu. "Hamba permisi." Ia menunduk, haturkan sembah, lalu pergi. Di tangannya kepengan uang logam dalam kantung hitam.

Sampai di depan gerbang lelaki itu terkekeh. "Goblog

kau, Rama!"

Keesokan harinya terbuktilah mata Sri Rama sembuh se perti sediakala. Ia melonjak-Ionjak kegirangan, menciumi kening Shinta. Shinta tersenyum bahagia.

Pagi itu juga Rama kembali ke tampuk kekuasannya yang sempat beberapa hari ditinggaUcan. Semua penghuni kerajaan larut dengan ungkapan sjrukur.

Senja hari. Sri Rama terjaga. Ia melangkah ke taman. Betapa terkejut dilihatnya Shinta berdiri berhadapan dengan Rahwana. Geram, Rama melayangkan tinju ke hidung Rahwana. Yang dipukul terhuyung. Hidungnya mengalir. "Kanda, mengapa Kanda memukulnya. Bukankah ia...?" suara Shinta putus oleh lengkingan suara Rama. "Diamlah. Dinda. Biarkan Kanda hajar raksasa jahanam inir Serangan bertubi-tubi mengenai Laksmana. "Mampus kau, Rahwana. Janga kira kau dapat menculik Shinta dariku!" Rama berkacak pinggang. "Kanda, mengapa Kanda menyerang Dinda. Lihatlah Kanda. saya Laksmana, adik kandung Kanda sendiri." "Heih! Adik kandung? Kau kira aku rabun? Jangan coba menipuku. Mataku sudah sembuh, Setan!" Rama melompat tinggi, tendangannya telak ke pusar Laksmana. Belum lagi

sempuma berdiri. tinju Rama yang berlambar aji singgah di ulu hati. Laksmana terjungkal, muntah darah, mati.

Sri Raipa tertawa bangga. Di sudut taman, Shinta tersedu. Ia berjanya-tanya ada apa dengan mata suaminya, sehingga tak dapat membedakan adik dengan seteru abadi.

Satu nlinggu berlalu. Sri Rama tak melihat adiknya. Ia segera bertanya kepada Anoman. "Hei, Anoman. Di mana gerangan Laksmana adikku?"

Anoman diam sejenak menimbang jawab. "Bukankah Gusti Laksmana tewas di tangan Sang Prabu," lirihnya. "Hei, Anoman. Tutup mulutmul" "Tapi, itu kenyataan, Gusti," jawab Anoman. "Biadab kau, Indrajid!"

Segera Rama menyambar gendewa dan mengarahkannya ke Anoman. Anak panah melesat tepat menggurat jantung Anoman. Anoman yang tiba-tiba berubah menjadi In drajid dalam pandangan Rama, tewas mengerang.

Kembali Shinta menangis melihat perlakuan suaminya. la bertanya-tanya dalam hati. "Rabunkah suamiku, sehingga Anoman yang sangat patuh pun ikut dibunuhnya?"

Kabar itu terdengar hingga Alengka Diraja. Rahwana tertawa lebar mendengar seterunya rabun. Segera ia memacu kudanya. Setelah tiga hari peijalanan, sampailah ia di tempat yang dituju.

Lelaki itu melompat pagar. Celakanya, prajurit memergokinya. Keributan terjadi antara lelaki itu dan prajurit yang makin tambah banyak.

Mendengar ada keributan, Rama melompat dari singgasana. Betapa terperangahnya, dilihatnya adik kandungnya dikeroyok prajuritnya sendiri. "Hentikan!" hardik raja itu.

Semua prajurit patuh. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Mereka terheran-heran tidak mengerti. "Dinda Laksmana, maafkan prajurit-prajurit goblog itu. Mata mereka sudah rabun semua, sampai-sampai mengeroyok majikan sendiri."

Prajurit kaget. Rahwana kaget dipanggil sebagai Laks mana oleh musuh bebuyutaimya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Rahwana. Mereka berpelukan, kemudian masuk keraton bergendeng tangan.

Sri Rama kembali merasakan matanya error. Setelah menimbang-nimbang, akhimya ia putuskan untuk menyerahkan tampuk kerajaan kepada Rahwana, yang menurut penglihatannya adalah Laksamana. Seisi kerajaan sesak nafas menyaksikan kejadian itu. Di pinggir ranjang, Shinta kebanjiran sungai melihat suaminya menjadi buta.

This article is from: