4 minute read

cerpen

Next Article
opini

opini

Perempuan Berbaju Lusuh

Oleh TINTA ZAITUN

Advertisement

AKU melihatnya lagi. Perempuan berbaju lusuh mengenakan kain kecil segitiga sekedar menutup kepala, membawa buntelan dalam gendongannya – mungkin baju, minuman, atau sisa makanan untuk nanti. Usianya sekitar 50-an. Tangannya yang kurus memegang gelas aqua. Kulihat ada beberapa uang recehan di sana dan selembar uang ribuan. Sandal jepit butut yang sudah pudar dan hampir putus. Ia duduk di bawah pohon jambu di taman kampusku sambil menatap lalu lalang mahasiswa yang mungkin tak sadar dengan keberadaannya.

Aku tercenung. Perempuan setua itu, tak memiliki keluarga? Suami? Punya anak? Seusiaku? Anaknya juga kuliah? Apa yang sedang ia pikirkan tentang kami? Aku seakan mendengar suara hatinya. Dari tatapan lemah matanya seakan terbaca. Andai aku bisa menguliahkan anakku juga, pasti aku akan bangga sekali. Andai di antara mereka adalah anakku, berjalan menenteng buku, mengenakan baju layaknya mahasiswa, bersepatu, dan tentunya tidak seperti aku, berbaju lusuh dan berdebu.

Hatiku teriris. Pedih. Mana pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas kenyataan ini? Mana jaminan kehidupan untuk orang–orang terpinggirkan seperti mereka? ”Bu Lusi datang. Ayo masuk, Jeng,” kata teman sekelasku, Lisa. ”Lis..” kalimatku menggantung. ”Kenapa?” tanyanya sambil menyeretku masuk. ”Ibu pengemis itu...”

Bu Lusi masuk. Kuliah dimulai. ---

Tergesa aku menuju sekretariat Himaku. Ada rapat. Kupercepat kakiku sambil mencari HP di tasku yang berdering, misscalled.

Ups.. hampir nabrak orang. Oh Tuhan, perempuan berbaju lusuh yang lain. Refleks ia mengulurkan baskomnya padaku. Ada recehan uang di sana. Lemah, matanya sayu, wajahnya tidak menyiratkan semangat sedikit pun.

Ingatanku melayang kepada ibuku. Ibuku buruh tani. Berangkat ke sawah orang dengan baju yang lusuh, penutup kepala dari kain agar tidak kepanasan, capingnya hampir tidak melindunginya dari panas, tanpa alas kaki. Tapi ia selalu berangkat dengan senyum.

Pikiranku mengalir liar. Andai ini ibuku? Andai ibuku yang keadaannya seperti ini? Mataku memanas, aku tidak rela. Kuambil receh dari tasku.

kalam/pewara

cerpen

”Maaf, Bu, cuma segini.” Tersenyum lemah dia mengangguk dan berterima kasih.

Suatu hari, salah satu perempuan berbaju lusuh itu membawa gadisnya. Mungkin 6 tahunan. Pakaiannya juga lusuh, sandal jebit, muka gosong kepanasan, rambut berantakan, tentu dengan mangkok tempat uang receh. Ia hampiri seorang mahasiswa yang sedang membaca buku di taman, menodong lebih tepatnya, mengharap ada uang masuk ke sana.

Ingatanku kembali ke masa kecilku. Di usia 6 tahun, tak jauh beda dengannya. Ingat sekali ketika ibuku menggamit lenganku, menggandeng, menggenggam erat, menuntunku berjalan melewati pematang. Ia bawakan aku serantang nasi, sayur kangkung, dan tempe goreng. Mengantarku pergi ke sekolah pas hari pertama masuk. Ibu tersenyum melambai saat aku harus masuk kelas, pertama kali aku diajari arti berpisah dengannya. Aku tiba–tiba rindu ibu. Hatiku berair, sesak.

---

Hari–hari selanjutnya adalah kesibukanku yang luar biasa. Himaku sedang menyiapkan agenda besar: Workshop Penulisan Kaya Ilmiah Tingkat Jogja. Sebagai koordinator sie acara tentu aku harus mondar-mandir tiap hari. Mengundang pembicara, memastikannya, schedule time, koordinasi memastikan sinergitas langkah, mengecek peserta, dan seabrek lainnya. Ini tugas tim, tapi tetap saja aku yang merasa paling bertanggung jawab.

Kepalaku berat. Dua hari lagi hari-H. Aku pulang agak malam hari ini, habis Isya’. Tadi setelah rapat masih harus ketemu tim Technical Meeting untuk besok pagi.

Sendiri kukayuh sepedaku, melewati pinggiran kampus yang mulai sunyi. Masih ada beberapa mahasiswa, mungkin mereka juga sibuk menyiapkan agenda Ormawanya. Dalam temaram, di emperan gedung musik bagian belakang, tatapanku terpaku. Perempuan berbaju lusuh itu di sana. Berbaring di atas koran, berbantal buntelan bajunya. Apakah ia sudah makan?

Bersamanya ada seorang laki–laki, penampilan serupa, agak lebih tua. Siapa dia? Suaminya? Bapaknya? Saudaranya? Atau sekedar bertemu karena nasib yang sama sebagai gelandangan? Ya Tuhan, bagaimana kalau ternyata mereka tidak memiliki hubungan keluarga, lantas mereka hidup bersama? Bagaimana kalau mereka tidak menikah lantas sekedar memutuskan untuk hidup bersama? Salah siapa?

Kukayuh sepedaku lebih kencang, semakin malam. ---

Kepanikan luar biasa. Salah satu pembicara tak bisa hadir. Ketua panitia terang langsung mendampratku. ”Katanya kemarin semua sudah fiks. Bagaimana ini? Harusnya kalau tidak bisa hadir konfirmasi minimal sehari sebelumnya. Kamu juga sudah bilang pada beliau kan, Jeng? Bagaimana kalau acara ini gagal? Siapa yang kena akibatnya?”

Kuterima dengan pasrah. Siapa yang menduga kalau ternyata pembicara yang rencananya mengisi untuk sesi kedua malah ada acara lain yang katanya lebih penting. ”Ajeng, tahu kan ini tanggung jawab siapa untuk mencari penggantinya? Semoga sukses!” Dia berlalu.

Huh.. sadis. Aku gemetar. Bagaimana kalau tak ada yang bisa mengganti? Apa acara ini harus dikensel, ditunda, dengan alasan memalukan? Pasti berefek buruk pada Himaku ke depan kalau ini sampai gagal. Dan ini salahku? Harusnya, setidaknya kemarin aku mencoba menghubunginya lagi. Aku sungguh tertekan.

Teman–teman tentu tak bisa menyalahkanku. Dengan gemetar kutelpon pembina Himaku. Minta maaf sekaligus saran untuk rekomendasi pembicara. Alhamdulillah, beliau memaklumi dan langsung menyuruhku menghubungi Pak Jafar, dosen Bahasa Indonesia yang paling senior. Cukup sulit juga menghubungi Pak Jafar. Namun, akhirnya bernafas lega ketika beliau menyanggupi untuk hadir, meski kurang persiapan. Aku lega. ’Tidak masalah, Pak. Asal acara ini tetap berlangsung. Peserta puas atau tidak, aku hanya mengusahakan semampuku, reputasi kami sangat berharga,’ batinku pasrah.

Acara selesai jam 3 sore. Alhamdulillah tidak terlalu buruk. Evaluasi singkat setengah jam selesai. Panitia membereskan sisa–sisa workshop. Sampah sisa kertas dan makanan berantakan di ruang seminar. Huh..budaya Indonesia, tidak malu buang sampah sembarangan.

Aku keluar membawa sekardus sisa makanan menuju tempat pembuangan sampah di belakang sekret Himaku. Berat.

Brak..brus.

Kuhamburkan begitu saja dan kutinggal pergi. gontai, capek. Dalam hati aku protes, di mana sie kebersihan itu. Harusnya cowok–cowok yang angkat–angkat. Aku menggerutu. Baru sepuluh langkah kutinggalkan tempat itu, terdengar keributan di tempat aku tadi buang sampah. Dari balik tembok tempat kuberdiri aku mencoba mendengarkan. Aku berbalik ke tempat tadi. Nafasku tiba–tiba makin berat.

Perempuan–perempuan berbaju lusuh itu. Mereka berebut makanan, sisa makanan. Lihat semangat mereka membolak–balik kardus sisa makanan. Tiga orang perempuan berbaju lusuh, begitu semangat mengaduk–aduk sampah yang tadi kubuang. Mencari makanan yang masih bisa dimakan. Aku tertegun.

Ada senyuman, lihatlah. Mereka tersenyum. Ada binar di sana, lihatlah. Matanya memancarkan semburat semangat. Sekejap. Lalu kembali semua senyap. Aku terkesiap. Ibu, maafkan aku. Hanya bisa goreskan pena atas kisahmu. Januari 2009

TInTa ZaITun mahasiswa uny

This article is from: