8 minute read
opini
UNIVERSITAS DALAM PARADIgMA BARU
Oleh SUDARYANTO, S,Pd.
Advertisement
Setiap ayunan langkah kita pasti ada nilai filosofinya. Demikian pula ayunan langkah universitas. Sejatinya, nilai filosofi terkandung dalam bangunan sinergi antara keunggulan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Di ambang jendela globalisasi, sesungguhnya gerak universitas terayun secara mantap dan konsisten. Namun, pelbagai tantangan dan hambatan di era milenium ketiga coba menghadang di tengah jalan.
Kita sadari, riak gelombang zaman seolah tak putus. Jika tiang-tiang universitas tak bisa menahannya, akan terbawa arus liberalisasi. Hal ini perlu disadari semua pihak, khususnya para mandarin kebijakan di gedung utama universitas. Bahwa tugas universitas tak hanya mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih daripada itu, universitas diharapkan juga memiliki misi pokok, menghimpun sekaligus mentransfer nilai kepada generasi baru.
Mengutip pandangan novelis dan negarawan Inggris, Benjamin Disraeli, universitas harus menjadi tempat penerangan (light), pembebasan (liberty), dan pembelajaran (learning). Seperti dituturkan anggota parlemen Inggris, Lord Sainsbury, universitas berperan sebagai agen pertumbuhan ekonomi di samping tetap memainkan perannya, mendidik kaum muda dan mentransfer ilmu-ilmunya. Pendek kata, universitas senantiasa memiliki peran ganda.
Adanya peran tersebut diharapkan mampu menjawab tantangan pada era milenium ketiga ini. Dalam tataran ini bisa kita tegaskan, universitas harus mampu mencetak sarjana yang berilmu dan bernilai tinggi. Nilai-nilai yang perlu disemaikan pada orang-orang muda: kerja keras, hormat kepada orang lain, cinta ilmu pengetahuan. Persemaian nilai tersebut diharapkan mampu mendukung pembangunan karakter bangsa (nation character building).
Dengan itu, performa bangsa lebih mengemuka dengan tampilnya SDM yang cakap dalam keilmuan dan berkarakter. Lihatlah India, China, dan Korea yang perlahan namun pasti menjadi macan Asia, bahkan menjadi kompetitor Jepang dan Amerika. Ini merupakan tanda prestasi yang berkilau bagi sesama negara Dunia Ketiga yang mulai bisa menapaki tangga sukses negara Dunia Pertama.
Kesuksesan India, China, dan Korea dipicu oleh besarnya perhatian pemerintah di sana terhadap bidang pendidikan. Untuk itulah, kita perlu juga meniti langkah-langkah mereka. Dalam tataran pendidikan tinggi, perwujudannya bisa diarahkan kepada lingkup universitas dengan satu tema: konvergensi antara nilai-ni-
kalam/pewara
opini
lai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai budaya. Dari sinilah, kita lantas bisa mencerahkan bangsa Indonesia.
Rumusan ideal terakhir itu sungguh menarik, jika kita kaitkan dengan impian besar bangsa ini, yakni menjadi sejajar dengan bangsa lainnya di gelanggang regional dan global. Seiring dengan terbukanya gerbang globalisasi, mau tidak mau pengasahan otak SDM di semua jenjang pendidikan perlu diimbangi dengan penyemaian jiwa yang humanis. Jika tidak, justru yang merebak adalah semacam anomali yang jamak terjadi.
Catatan buruk Indonesia dalam gelanggang negara pengguna information communication technology (ICT), itulah buktinya. Tony Chen, perwakilan Microsoft untuk Indonesia (Kompas, 21/11/2006) bertutur, kita juara tiga dalam pembajakan ICT (87 persen), di bawah Zimbabwe (91 persen), dan sebuah negara lainnya.
Ini dipicu oleh pelbagai penyebab. Pertama, kita belum mampu berproduksi akibat terbatasnya SDM yang cakap di bidang itu. Penyebab lain, minimnya penguasaan bahasa Inggris dan melek komputer sebagai pendukung pranata transformasi ICT di Tanah Air. Ini sangat berbeda dengan dua negara jiran, Malaysia dan Filipina, yang sudah membudayakan penggunaan bahasa Inggris sejak bangku sekolah. Juga, buku-buku teks berbahasa Inggris sudah jadi kebutuhan. Wajar, jika keduanya kini sudah berlari dalam gelanggang internasional.
Bagaimana dengan kita? Kita masih berkutat pada wacana itu-itu saja. Padahal, seyogianya kita saat ini perlu merancang universitas dalam paradigma baru, yakni komunitas berdaya cipta (creative community). Meski sulit digenggam, usaha ke arah sana harus tetap dilakukan. Misalnya, dengan penciptaan kultur ilmiah-akademik yang sarat dengan penelitian, diskusi, dan seminar. Hal itu perlu ditanamkan sejak awal guna mewujudkan sarjana yang kreatif dan kritis.
Universitas akan berkembang dalam paradigma baru manakala kepemimpinan teladan sudah ditampakkan. Terlebih lagi jika kepemimpinan itu sudah mulai bertindak nyata. Dengan pemenuhan sarana-prasarana, terutama di bidang ilmu pasti dan teknologi, kelak universitas bisa berkembang pesat sebagaimana prediksi. Dosen, mahasiswa, serta perangkat di dalamnya harus menjadi motor penggerak.
Pendirian Center for Academic Excellence
serta Center for Student Development (CSD) misalnya, yang diharapkan bisa merangkul dosen dan mahasiswa. Keduanya jika bertemu dalam ruang yang sama, kelak bisa mengatasi kelemahan kurikulum yang ada, dan — ini yang terpenting — bisa mengasah kecerdasan emosional (EQ) serta keahlian interpersonal mahasiswa. Dari sinilah putaran roda universitas bisa, perlahan namun pasti, berputar ke depan.
Jejaring tantangan di era globalisasi makin marak. Untuk itulah, universitas diharapkan mampu tegar dan tidak mudah tunduk pada ekonomi pasar. Seyogianya, universitas menjadi “oposisi” sejati dengan performa terbaiknya, bahwa pendidikan tetap berorientasi proses, bukan semata-mata hasil. Dari situlah kemudian muncul dua kunci: mandiri dan berani! Tentu, untuk menampilkan keunggulannya di pentas nasional dan internasional.
Mengutip imbauan Paus Yohanes Paulus II, universitas diharapkan memiliki pijakan humanistis agar tidak tergoda mengabdi pada ilmu pengetahuan yang pragmatis, sehingga justru kehilangan maknanya bagi kehidupan. guna mewujudkannya, idealisme perlu terus dipacak lewat eksperimen akademis yang menawarkan kajian budaya dengan multidisiplin ilmu. Jika itu terwujud, kelak pengembangan jiwa humanis akan disambut positif oleh publik.
Di simpul itu, eksistensi universitas tidak bisa lepas dari masyarakat. Sadar atau tidak, PT harus mau belajar dari masyarakat untuk bisa menggembleng sisi-sisi humanismenya. Ilmu yang digapai oleh universitas pada akhirnya memiliki daya guna di masyarakat. Bukan rahasia umum lagi, banyak universitas di Tanah Air masih memosisikan dirinya seperti “menara gading”, bukan “menara air”. Nah, posisi mana yang kita inginkan?
sudaryanTo, s.pd. aktifis di pusat studi penalaran dan kepenulisan (puspek)
opini
UNY ANTI PAKELIRAN gAYA YOgYAKARTA?
Oleh Probo Harjanti
Tahun ini adalah kali ketiga penulis sebagai mahaiswa PKS di UNY menangi acara Dies Natalis UNY yang selalu diakhiri dengan acara wayangan semalam suntuk. Wayang kulit (purwa) untuk kesekian kalinya dijadikan puncak acara Dies Natalis, setelah sebelumnya diselenggarakan berbagai acara pendukung. Untuk ketiga kalinya pula penulis mendengar dalang pengisi acara puncak tersebut adalah dalang kondang dari Surakarta, Ki Anom Suroto. Entah sudah kali keberapa Ki Anom mayang di acara Dies UNY. Kenyataan ini menyisakan tanda tanya besar di benak penulis, kenapa selalu Ki Anom? Tidak adakah dalang lain yang layak tampil di acara diesnya UNY? Atau, sudah ada kontrak eksklusifkah UNY dengan beliau? Atau panitia Dies UNY silau melihat kebesaran nama Ki Anom, sehingga selalu Ki Anom yang harus tampil?
Mungkinkah panitia Dies takut pada saat wayangan penontonnya sedikit? Padahal yang namanya wayang kulit sudah punya penonton fanatik, di mana pun akan diburu penonton, apalagi gratis. Kalau sekedar takut penontonnya sedikit, alangkah naifnya! Kalau hanya mau ditonton banyak orang, bisa saja mahasiswa diberi tugas membuat karya tulis berdasarkan apa yang dilihat dan didengar saat melihat wayang itu. Tugas bisa dilekatkan pada mata kuliah tertentu yang relevan. Menonton tidak harus semalam suntuk, mungkin satu atau dua jam saja, yang penting mahasiswa dapat mengapresiasi wayang, salah satu warisan budaya bangsa.
Pertanyaan berikutnya, kenapa UNY cenderung selalu mementaskan wayang kulit gaya Surakarta saja dan tidak memberi ruang untuk pementasan wayang kulit gaya yang lain, Yogyakarta misalnya. Apakah UNY anti pakeliran gaya Yogyakarta? Kalau jawabnya ‘iya’ lantas kenapa? Apakah dalang wayang gaya Yogyakarta tidak ada yang layak ditampilkan di UNY tercinta ini? Sebagai orang Yogya dan sebagai guru saya sedih dengan kenyataan ini. UNY yang tumbuh dan besar di Yogya tidak mau ikut mengembangkan budaya lokal (khususnya wayang). Bukankah kata-kata bijak ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ selalu relevan diterapkan kapan pun dan di mana pun. Ataukah mungkin ini merupakan pesanan pihak-pihak tertentu? Jika ya, sayang sekali!
Andai saja jawabnya karena tidak kenal dengan dalang gaya Yogyakarta, lebih aneh lagi, karena banyak pihak yang bisa memberikan referensi untuk itu. Lagi, kalau memang belum mengenal pedalangan gaya Yogyakarta, melalui wayangan dies kita semua bisa mengenal lebih dekat. Tentu saja dengan semangat berapresiasi, tidak berbekal rasa curiga atau tidak suka. Buka lebar-lebar pintu estetika kita masing-masing agar bisa lebih mengenali keberagaman budaya (wayang). Tentu kita tidak boleh menganggap wayang Surakarta lebih bagus daripada wayang Yogyakarta, atau sebaliknya. Keduanya memiliki ciri dan keunikan masing-masing. Dengan sering melihat, nantinya kita akan dapat merasakan perbedaan janturan antara Yogya dan Solo. Mari kita nikmati perbedaan sabetan antara Yogya dan Solo, suluknya, antawecananya, cara memainkan cempala dan kencrengnya, dan setrusnya.
Kalau mau, UNY sebagai institusi besar mestinya mampu ikut cawecawe menyapa budaya
opini
lokal maupun regional, sekaligus mengajak segenap sivitas akademika untuk lebih mengenalnya. Mahasiswa UNY datang dari berbagai penjuru Nusantara, mereka perlu mengenal budaya daerah tempatnya berpayung saat mereka menuntut ilmu. Tinggal di suatu tempat berarti sekaligus belajar budaya daerah itu. Nantinya, ketika mereka kembali ke daerahnya masingmasing dapat bercerita, seperti apa wayang Yogyakarta, tariannya, dan bahasanya.
Dalang-dalang muda di Yogyakarta tidak sedikit. Yang klasik ada, yang inovatif ada, yang campuran juga ada. Dalang senior juga banyak, bahkan yang doktor pun ada. Jadi, tunggu apa lagi? Saatnya UNY menyapa keberadaan mereka, syukur bisa turut membesarkannya. Dewasa ini banyak pemerhati pendidikan yang merasa prihatin terhadap generasi yang tidak lagi mengenal nilai-nilai lokal dan cenderung berperilaku tidak menghargai orang lain (yang lebih tua). Penanaman budi pekerti dan nilai-nilai sikap sekedar ditempelkan pada mata pelajaran yang dianggap relevan (dan mau ditempeli). Melalui pewayangan yang di dalamnya terdapat semua cabang seni, nilai-nilai budi pekerti tersebut disampaikan dengan lebih mudah. Bukankah kalau kita ingin menggapai langit, kaki kita harus menghunjam bumi dalam-dalam. Diharapkan, generasi muda kita tidak menjadi orang yang kleyang kabur kanginan, menjadi generasi yang tercerabut dari akar budayanya, alumni UNY menjadi generasi yang membumi, namun mampu menggapai langit.
Di negeri tercinta ini banyak sekali aliran wayang. Di Jawa saja ada Yogyakarta, Surakarta, Banyumasan, Jawa Timuran, Sunda, dan lainlain. Alangkah baiknya kalau sesekali UNY menampilkan dalang lain, dan gaya pakeliran yang lain. Mungkin bisa saja bergiliran, baik orangnya maupun gaya pakelirannya. Dengan begitu, mahasiswa, dosen, dan karyawan UNY semakin luas wawasan seninya, karena sering disuguhi tontonan yang sekaligus menjadi tuntunan dari berbagai daerah. Nantinya, insan-insan cendekia di UNY menjadi kian arif karena mampu menyaring tuntunan dari yang ditontonnya. Apalagi kalau sang dalang termasuk dalang awicarita yang menguasai dua belas macam keahlian.
Akhirnya, penulis sangat berharap, untuk waktu-waktu mendatang UNY tidak hanya ‘apalan’ dalam menampilkan dalang (itu-itu saja), seolah tidak mau menyapa dalang lain dan gaya pakeliran lain. Kalau memang begitu dalam cinta UNY kepada Ki Anom, bisa saja pergelaran dibuat selang-seling. Baguskan untuk apresiasi kalau sesekali menonton wayang dan dalang yang berbeda? Sebagaimana orang makan tentu butuh selingan, butuh variasi, karena seenak apa pun makanan itu, akan membuat bosan juga kalau yang dimakan tiap hari itu-itu juga. Kadang-kadang menikmati pakeliran gaya Yoyakarta, gaya pesisiran, dan seterusnya tidak berdosa kan? Justru sebuah keharusan! Biar kita lebih kenal Bima-nya Yogya, Kresnanya, Semar, gareng, Petruk, dan Bagong Yogya, dan seterusnya. Kita tunggu tahun depan. Selamat Ulang Tahun untuk UNY!
kalam/pewara
probo harjanTI, s.pd. guru smpn 3 Gamping sleman