2 minute read

Bina rohani

Next Article
Jendela

Jendela

AKAR KETENANgAN JIWA

Oleh SVENDRIYATI A STHARI

Advertisement

Orang berpendapat relatif terhadap ketenangan jiwa. Sebab, ketenangan jiwa belum dapat diukur. Namun, orang yang objektif dalam menilai sesuatu akan mengetahui jalan yang paling baik, dekat, dan aman untuk mendapatkan ketenangan jiwa: mendekatkan diri pada Ilahi, dengan selalu mempertahankan agamanya. “Maka berpegangteguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus” [Qs Az-Zukhruf (43): 43].

Ketenangan jiwa adalah kebahagiaan manusia yang tidak terbeli. Ketenangan jiwa tentu tidak dapat dinilai secara nominal, melainkan sangat bergantung pada fluktuasi perubahan perasaan yang berbeda pada setiap orang. Manusia dengan akalnya akan selalu mencari cara untuk mampu mendapatkan ketenangan jiwa.

Manusia mendapatkan pengertian ketenangan jiwa sebagai sebuah reaksi perasaan. Tidak semua mengerti tingkat dan parameternya. Tetap saja ketenangan jiwa menjadi dambaan setiap manusia. Entah menyukai perang atau perdamaian, seseorang tetap akan merindukan ketenangan jiwanya. Kisah-kisah romantis juga telah menjadi penyampai kuatnya keinginan mendapatkan ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa sangat dirindukan Qais Ibnu Maluh saat jiwanya terjerat cinta kepada Layla Amirah. Ketenangan jiwa diupayakan Yusuf a.s. dengan pilihan dipenjara daripada berbuat mesum dengan Zulaikha.

Kisah-kisah percintaan yang selama ini mejadi kontroversi telah membawa ke sebuah kenyataan. Ketenangan jiwa tidak dapat diraih dengan mudah,

kalam/pewara

kalam/pewara

melainkan harus melewati berbagai cobaan yang mungkin berat. Namun, tidak ada yang tidak mungkin. Sebuah kejadian sering terkait dengan kejadian yang lain. Setiap peristiwa selalu mendatangkan runtutan periswa berikutnya. Ada sebab, pasti ada akibat. Semua tercipta berpasang-pasangan. Semua peristiwa saling berkesinambungan.

Sebab-akibat disebut sebagai proses cobaan yang harus dialami manusia. Namun, adakah takaran cobaan kepada setiap manusia? Bagaimana mengatasi cobaan yang berbeda kerumitannya? Bukankah manusia diciptakan berbeda akal dan naluri? Sebuah hadist menyatakan: [“Siapakah manusia yang paling besar cobaannya?” Rasulullah saw menjawab, ”Para nabi, kemudian yang lebih rendah, dan yang lebih rendah. Seseorang akan diuji sesuai kadar agamanya. Bila lemah agamanya, ia diuji sesuai kondisinya. Maka, ujian-ujian terhadap seseorang akan terus menimpa, sehingga berjalan di atas bumi tanpa disertai kesalahan (dosa) sedikit pun”] (HR Bukhari; Sebuah jawaban Muhammad saw dari pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqqas). Sesungguhnya, ketenangan jiwa lebih mudah mendapatkan kebahagiaan daripada kelimpahan harta. Bersikap dengan mengedepankan keikhlasan dan kejujuran sebagai penguat intuisi. Sungguh yakinlah, ketenangan jiwa memang sangat didambakan manusia. [“Barangsiapa di antara kalian yang di waktu pagi berhati tenang, berbadan sehat, dan punya makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia dan seisinya”] (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Manusia adalah makhluk yang hidup dengan tugas penting, yaitu sebagai pemimpin (khalifah). Tetapi, tidaklah posisi pemimpin yang sejati dapat diraih dengan mudah. Cobaan akan setia menemani langkah kepemimpinannya. Ketenangan jiwa selalu ingin diraih manakala rasa lelah mengatasi cobaan yang begitu menyesak dada.

svendrIyaTI asTharI pegiat Ces yogyakarta

This article is from: