3 minute read
cerpen
Selesai
Oleh NOVIta PURNaNINgSIh
Advertisement
sia Dortmund itu tanpa sengaja di loket perpustakaan pusat di kampus mereka. abi yang memegang buku-buku Sigmund Freud berdesakan dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya. tanpa sengaja ia menjatuhkan buku-buku ekonomi Makro, ekonomi Mikro, dan ekonometri yang dibawa Sofie. Ya, dan layaknya adegan klasik di sinetron-sinetron picisan, abi meminta maaf sambil memunguti satu per satu buku-buku Sofie yang ia jatuhkan. abi lulus terlebih dahulu daripada Sofie. alasan pertama, karena memang dia tiga tahun di atas Sofie. alasan kedua, tak sampai empat tahun ia meraih gelar sarjana, memakai selempang bertulis “cumlaude” pula ketika ia diwisuda.
Bukan hal mudah untuk bisa memiliki waktu bersama lakilaki itu. Kalau boleh meminta pada tuhan, mungkin abi akan meminta tuhan memperpanjang waktu menjadi lebih dari 24 jam sehari semalam. Sepertinya waktu 24 jam tak cukup bagi dia untuk menyelesaikan berjuta kesibukan yang ia miliki. tak hanya kuliah, ia selalu sibuk mengurus tetek-bengek urusan di luar kegiatan akademiknya. Jangankan menonton film terbaru di bioskop, sekedar makan malam atau bahkan makan siang pun Sofie sudah sangat bersyukur.
Paling tidak, laki-laki itu masih ingat padanya. lalu, Jakarta merampasnya. Membawanya pergi jauh dari Sofie. lalu sekarang, amsterdam??
*** 30 November 2008. Sudut salah satu kedai kopi di Kemang. Pukul 10.30 WIB.
“aku pergi hanya dua tahun, Fie,” suara abi memecah kebekuan. laki-laki 27 tahun itu sudah berulangkali mengatakan hal itu. lebih dari tiga kali bahkan.
Sofie masih terdiam, memandang lurus ke depan. Melewati mata laki-laki itu. tak mampu rasanya ia memandang mata orang yang kini sedang berada di depannya. Sekali saja ia memandang mata itu, ia tak akan mampu merelakan dia pergi. tangan kirinya menumpu di meja dan tangan kanannya sibuk mengaduk-aduk hot chocochinno yang tinggal sepertiga cangkir.
“terima kasih sudah membuat ulang tahunku kali ini sempurna,” kata Sofie ketika mobil milik kantor abi sampai di depan gerbang rumah sepupu Sofie. Semua sudah selesai.
Sagan, November 2009
SOFIe membanting ponsel miliknya ke atas meja, lalu ia menelungkupkan wajahnya di balik bantal. Sayup-sayup ia terisak pelan. amsterdam? abi akan pergi ke salah satu bagian dari Negeri Kincir angin itu? Dua tahun? Jakarta pun serasa sudah teramat jauh untuk sebuah hubungan datar seperti yang mereka jalani. lalu, sekarang dengan entengnya abi bilang dia akan melanjutkan studi S-2 di negeri orang? Sofie kembali terisak. Semakin kencang.
***
Mata Sofie menatap tajam ke arah layar datar di hadapannya. Sejak setengah jam yang lalu, hanya satu baris kalimat ada di sana. Padahal, bab terakhir skripsinya sudah harus sampai di tangan dosen pembimbingnya awal minggu depan ini. Ia mengalihkan pandangannya ke ponsel mungil di meja kecil samping tempat tidurnya. Benda itu diam saja, tak mengeluarkan bunyi apa pun sejak menjelang sore tadi. gadis berambut ikal itu menghela nafas, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Suara lembut musik instrumental soundtrack salah satu film Korea kegemarannya masih mengalun pelan dari sepasang subwoofer yang ia sambungkan ke netbook miliknya.
“Mbak, mau beli makan gaaaak? apa mau nitiiip?” teriak Ochi, salah satu teman kos dia, tiba-tiba membuyarkan lamunan Sofie.
“gak deh Chi, ntar pengen keluar sendiri aja,” kata Sofie sambil melongok ke luar kamar.
Sudah hampir pukul 19.00, batin Sofie. Pantas, anak-anak kos sudah mulai ribut makan malam.
Ia kembali termenung sambil tetap berbaring. Seharian tadi ia samasekali tak beranjak keluar dari kos. Ia tidak ke kampus pula. Masa-masa kuliah sudah terlewati, tinggal menyelesaikan bab terakhir skripsinya, lalu menunggu kapan dosen pembimbingnya memberi izin bagi Sofie untuk berjuang di meja hijau persidangan bagi skripsi yang ia susun.
Ia malas masuk kampus juga karena ada portal yang mewajibkan pengendara kendaraan bermotor untuk mengantre karcis layaknya gerbang tol. Bikin malas. Sofie kembali meraih ponselnya. Memencet-mencet keypad, membuka-buka kotak pesan yang sedari tadi tidak bertambah dengan pesan baru. Kembali ia membantingnya ke bawah bantal. *** abi. Sofie memanggilnya abi. Muhammad Farabi. Pria itu sedemikian rumitnya bagi Sofie. Serumit awal pertemuan mereka. Serumit alur yang terjalin di antara keduanya.
Sofie bertemu dengan pria penyuka klub sepakbola Borus-
noVita pURnaningsiH, s.s. mantan pegiat studi linguistik di Jurusan sastra indonesia FiB Ugm.
cerpen
istimeWa
noVita pURnaningsiH, s.s. mantan pegiat studi linguistik di Jurusan sastra indonesia FiB Ugm.