2 minute read

Jendela

Next Article
cerpen

cerpen

KeNaPa SelalU aNaRKIS?

DaRI hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, kita, segenap bangsa Indonesia, kita, segenap warga negara Indonesia, mustinya semakin dewasa. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya–bukan hanya dalam arti merdeka dari cengkeraman kuku-kuku dan taringtaring tajam penjajah, yang kemudian berujung dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 agustus 1945–tetapi sudah lebih luas dan lebih komprehensif daripada itu, sebut saja kemerdekaan secara kuantitatif dan secara kualitatif.

Advertisement

Kemerdekaan secara kuantitatif dimaksudkan kemerdekaan yang menyangkut perikehidupan seseorang sebagai orang seorang, maupun orang sebagai komponen suatu sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemerdekaan secara kualitatif adalah kemerdekaan segenap insan dan segenap bangsa Indonesia dalam memberikan kontribusi secara positif-signifikan terhadap upaya-upaya pengembangan, pemajuan, penyejahteraan, pemakmuran, dan pemuliaan bangsa, sebut saja kemaslahatan umat Indonesia.

Kedua sisi mata uang kemerdekaan tersebut mustinya kita sadari, kita hayati, dan kita amalkan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, dengan penuh kasih-sayang dan cinta, dengan titik tolak spirit ‘apa yang telah, sedang, dan akan saya berikan kepada Indonesia tercinta ini!’ Dan bukan sebaliknya! Dalam bahasa yang lebih sederhana barangkali spirit itu berbunyi ‘jangan mencari hidup di negeri ini, tetapi berbuatlah untuk menghidupi negeri ini!’ andai saja penyadaran seluruh elemen bangsa ini bisa seperti itu, atau berhasil sampai di sana, maka kehidupan di muka bumi Nusantara ini akan tatatititentrem, gemahripahloh jinawi, tuwuh kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinumbas.

Sayang disayang, perkembangan dalam kehidupan berwarga, berbangsa, dan bernegara yang terjadi akhir-akhir ini justru mengarah pada gejala yang teramat kontra-produktif. Yang semakin marak di panggung-panggung kehidupan ini justru perilaku-perilaku yang negatif, tindakan-tindakan yang tidak/kurang terpuji, perilaku-perilaku yang lebih mengedepankan sikap mau menangnya sendiri, menjauh dari nilai-nilai kebersamaan, merusak sendi-sendi budaya tertib dan gotong-royong, mencederai sikap-sikap saling menghormati dan saling menghargai, dan membutakan diri dari asas musyawarah untuk mufakat. Kemerdekaan lebih diterjemahkan dengan kebebasan yang sebas-bebasnya, dengan boleh berbuat dengan semau-maunya, dengan boleh melakukan apa saja menurut wudel-nya sendiri, dan orang lain harus selalu mau mengerti dan mau mengikuti kemauannya (dan tanpa sebaliknya!).

Perhatikan saja pemandangan-pemandangan memalukan dan memilukan yang terjadi di berbagai belahan zamrud khatulistiwa ini. Di sana, di sini, di situ, teramat sering terjadi amuk massa dan tawur massa. Dan, yang dapat dipastikan adalah selalu disertai dengan aksi perusakan atas berbagai fasilitas yang ada. Padahal, notabena sebagian besar dari itu adalah milik pemerintah, yang berarti itu milik rakyat sendiri juga. Pun, itu tampaknya dilakukan oleh massa dari lapisan bawah, sebut saja ‘awam’, sampai mereka yang berstatus kaum terdidik, sebut saja pelajar, mahasiswa, dan karyawan/ pegawai sebuah institusi, instansi, atau badan usaha tertentu. Pun, itu mungkin hanya dipicu oleh persoalan-persoalan kecil yang entah kenapa segera membesar, melebar, dan meluas. Pun, konon semua itu tidak lepas dari ‘kepiawaian’ para sutradara yang sengaja bersembunyi di balik pertunjukan itu.

Pertanyaannya, kenapa kita di berbagai belahan bumi pertiwi ini, yang semula bisa hidup secara guyubrukun dan ayem tentrem (ing ndesane – kata Koes Plus) semakin hari semakin kehilangan hati nurani, semakin kehabisan akal sehat, dan semakin tidak mampu berpikir panjang? Kenapa logika hati sudah lebih dikuasai oleh nafsu angkara murka? Walhasil, segala persoalan yang muncul musti ditindaklanjuti dengan pemaksaan kehendak dan selalu saja berakhir dengan aksi-aksi anarkis? hitung saja berapa sudah korban berjatuhan, mulai dari yang luka ringan, luka parah, sampai dengan mereka yang harus meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Ke depan, masih mampukah kita membuat Ibu Pertiwi tersenyum bahagia?

drs. sUmaRYadi, m.pd. pemimpin Redaksi

This article is from: