Pewara Dinamika April 2010

Page 5

jendela KENAPA SELALU ANARKIS? Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, kita, sege­nap bangsa Indonesia, kita, segenap warga ne­gara Indonesia, musti­ nya semakin dewasa. Kemer­de­kaan dalam arti yang sebenarnya–bukan ha­­nya dalam arti merdeka dari cengkeraman ku­ku-kuku dan taringtaring tajam penjajah, yang kemudian berujung dengan dikumandang­kannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesi­a pa­d­a 17 Agustus 1945– tetapi sudah lebih lua­s dan lebih komprehensif daripada itu, sebu­­t saja kemerdekaan secara kuantitatif dan secar­a kuali­tatif. Kemerdekaan secara kuantitatif dimaksudkan kemerdekaan yang menyangkut perikehi­ dup­an seseorang sebagai orang seorang, maupun orang sebagai komponen suatu siste­m ke­hi­dupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­ negara. Kemerdekaan secara kualitati­f adalah kemerdekaan segenap insan dan segenap bangsa Indonesia dalam memberikan kontribusi secara positif-signifikan terhadap upaya-upaya pengembang­an, pemajuan, penyejahteraan, pemakmuran, dan pemuliaan bangsa, sebut saja kemaslahat­an umat Indonesia. Kedua sisi mata uang kemerdekaan tersebut mustinya kita sadari, kita hayati, dan kita amal­kan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, dengan penuh kasih-sayang dan cinta, dengan titik tolak spirit ‘apa yang telah, sedang, dan akan saya berikan kepada Indonesia tercinta ini!’ Dan bukan sebaliknya! Dalam bahasa yang lebih sederhana barangkali spirit itu berbunyi ‘jangan mencari hidup di negeri ini, tetapi berbuatlah untuk menghidupi ne­ geri ini!’ Andai saja penyadaran seluruh ele­men bangsa ini bisa seperti itu, atau berhasil sampai di sana, maka kehidupan di muka bumi Nusantara ini akan tata-titi-tentrem, gemah-ripahloh jinawi, tuwuh kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinumbas. Sayang disayang, perkembangan dalam kehi­ dupan berwarga, berbangsa, dan bernegara yang terjadi akhir-akhir ini justru mengarah pada gejala yang teramat kontra-produktif. Yang semakin marak di panggung-panggung kehidupan ini justru perila­ku-perilaku yang negatif, tindakan-tindakan yang tidak/kurang terpuji, perilaku-perilaku yang lebih mengedepankan sikap mau menang­nya sendiri, menjauh dari nilai-nilai kebersama­an, merusak sendi-sendi

budaya tertib dan go­tong-royong, mencederai sikap-sikap saling menghormati dan saling menghargai, dan mem­­butakan diri dari asas musyawarah untu­k mu­fakat. Kemerdekaan le­ bih diterjemahkan de­ngan kebebasan yang sebas-bebasnya, de­ngan boleh berbuat dengan semau-maunya, denga­n boleh melakukan apa saja menurut wudel-nya sendiri, dan orang lain harus selalu mau me­nger­ti dan mau mengikuti kemauannya (dan tanpa sebaliknya!). Perhatikan saja pemandangan-pemandang­ an memalukan dan memilukan yang terjadi di berbagai belahan zamrud khatulistiwa ini. Di sana, di sini, di situ, teramat sering terjadi amuk massa dan tawur massa. Dan, yang dapat dipastikan adalah selalu disertai dengan aksi perusakan atas berbagai fasili­tas yang ada. Padahal, notabena sebagian besar dari itu adalah milik pemerintah, yang berarti itu milik rak­yat sendiri juga. Pun, itu tampaknya dilakukan oleh massa dari lapisan bawah, sebut saja ‘awam’, sampa­i mereka yang berstatus kaum terdidik, sebut saja pelajar, mahasiswa, dan karyawan/ pegawai sebuah institusi, instansi, atau badan usa­ha tertentu. Pun, itu mungkin hanya dipicu oleh persoalan-persoalan kecil yang entah kenapa segera membesar, melebar, dan meluas. Pun, konon semua itu tidak lepas dari ‘kepiawaian’ para sutradara yang sengaja bersembunyi di balik pertunjukan itu. Pertanyaannya, kenapa kita di berbagai belahan bumi pertiwi ini, yang semula bisa hidup secara guyub-rukun dan ayem tentrem (ing nde­ sane – kata Koes Plus) semakin hari semakin kehilangan hati nurani, semakin kehabisan akal sehat, dan semakin tidak mampu berpikir panjang? Kenapa logika hati sudah lebih dikuasai oleh nafsu angkara murka? Walhasil, segala persoalan yang muncul musti ditin­daklanjuti dengan pemaksaan kehendak dan selalu saja berakhir dengan aksi-aksi anarkis? Hitung saja berapa sudah korban berjatuhan, mulai dari yang luka ringan, luka parah, sampai dengan mereka yang harus meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Ke depan, masih mampukah kita membuat Ibu Pertiwi tersenyu­m bahagia?

Drs. Sumaryadi, M.Pd. Pemimpin Redaksi

P e wa r a D i n a m i ka a p ri l 2010

3


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.