6 minute read
cerpen
Bulan Kebabian
Oleh eKO TRIONO
Advertisement
“Amin.” Ibu menadah ke langit.
Ia diam mendengarkan dan ikut pula mengucap amin setelah ibu.
“Kamu besok cari lagi. Kalau tiga kali seenak dan sebanyak ini,” ayahnya menatap matanya dengan kesungguhan yang menyala, “Majikanmu pasti orang baik. Rejekimu pasti banyak. Ini pertanda, Nak. Pertanda dari Yang Kuasa.”
Ia polos dan bahagia, “Iya, Ayah, semoga besok ada bangkai babi yang terapung lagi. Amin.”
Kedua orang tuanya terkejut seketika muntah-muntah. Sesaat setelah itu, malapetaka datang dari tangan dan mulut mereka secara bersamaan!
Ia menangis.
Bulan melihatnya di loteng, ketika ia menangis, darah mengalir ke lantai, perutnya menyusut.
“Bunuh saja aku!”
Ia menangis.
Kebencian dan dendam adalah cinta yang tersakiti, dan, cintanya adalah cinta yang sakit juga tertipu.
“Aku tak bisa. Aku mencintaimu.” Seorang tua itu menggombal lagi.
“Kau cuma ingin daging tubuhku. Itu bisa kupotong buatmu, ini, kau bahkan bisa memotongnya sekarang.”
Setelahnya adalah kepulangan yang menyedihkan. Ia, yang menjadi sedemikian dewasa pada usia muda, pulang membawa kehancuran rahim, luka bakar di sana-sini, dan payudara separuh, sebab istri majikannya segera mengerat sambil mencekik dan menjambaknya. Ia pasrah. Ia ceritakan segalanya.
Tak ada cara lain untuk pergi dari situ. Dengan ini, pastilah ia akan dipulangkan, dan bisa sujud mencium kaki ibu. Ayahnya diam. Lelaki tua itu tunduk melihat bayangan sendiri dalam lantai keramik yang dibeli dengan kesedihan dan penderitaan anaknya. Sepanjang hari, tak ada suara. Selain pagi harinya ketika ia terbangun dan mendapati rumahnya terbakar. Lebih tepatnya dibakar. Ayahnya membakar rumah, barang, dan semua yang dibeli dengan kiriman darinya. Tetangga-tetangga kaget! Ibunya mendekap erat. Adiknya berlari ketakutan membawa tas kesayangan yang kemudian direbut ayahnya dan dilemparkan ke mulut api. Ia mencegah.
Ayah memeluknya.
“Harusnya ayah dibakar,” dekapan semakin erat.
Ia terisak.
“Aku bukan pencuri ayah. Aku bukan maling. Bukan koruptor. Darah kalian bersih, ayah, bersih.”
Ibunya lemas. Orang diam. Api marah.
Di depan api, segalanya terbakar basah oleh air mata yang janggal. Para tetangga bungkam. Mereka mengingat anak
SeSAAT LAGI, suaminya akan jadi babi. Bulan di langit, seperti menjerit tertusuk nyiur yang nampak tenang menjahit keheningan. Dan di seberang sungai, ada kandang babi yang sesungguhnya. Pemiliknya konon seorang yang pelit.
“Ini ikan kathing paling nikmat dunia-akhirat!”
Ia berteriak girang dalam tubuh berbau asap sangit, mulut belepot sisa arang yang melekat di kulit ikan kecil yang meriut mengering, dan lidahnya yang tak henti mencecap-cecap.
Ia paling tua di antara tiga temannya. Usianya baru sebelas tahun ketika itu. Dituruninya tepian sungai yang sedikit berlumpur. Ia yang tadi menciduki ikan-ikan kecil yang terkejut dalam pestanya. Teman yang seorang, yang agak kurus, mencari daun pisang yang masih kering, sementara yang gemuk dan rumahnya dekat, pulang mengambil korek api, mencuri garam di dapur ibu, dan memetik daun waru yang tumbuh condong di tepi sungai. Seandainya hujan jatuh menebal tentu mereka akan gagal membuat perapian, untungnya, ia paham lembah ini. Di setiap sudut kebun, pasti ada semacam dangau. Lebih tepatnya gubuk ronda yang digunakan setiap musim panen tiba dan para pencuri dari desa seberang sungai mulai beraksi menjelajahi harta karun kebun. Di dangau itu, ada tapas kulit kelapa yang kering, yang memang disediakan untuk membuat perapian di kala dingin atau perut lapar, dan singkong bakar adalah pilihan paling tepat bagi para penjaga, yang biasanya si pemilik kebun itu sendiri.
Keputusannya untuk membawa sisa ikan ke rumah, agar nanti dititipkan pada ibu saat menggoreng tempe, membawa hal yang tak terduga.
Ayahnya sangat suka.
“Ini enak sekali, besok kamu cari lagi ya?”
“Dia perempuan, tak baik main di sungai,” tegas ibu.
“Apa salahnya kalau dia perempuan?”
Ayahnya membela sambil terus mengunyah ikan yang anehnya lupa ditanyakan bagaimana cara mendapatkan sebanyak ini. Mungkinkah dengan memancing? “Lagi pula,” kata ayah selanjutnya, “sepuluh tahun kelak dia akan tinggal jauh dari kita, dia akan kerja di luar negeri dan membantu hidup kita, mengirim uang buat membeli kebun, dan membangun rumah, seperti tetangga-tetangga yang lain.”
Kalimat ayah menarik senyum ibunya yang seharian letih menyiangi tanaman cabai.
“Ya, dia memang harus latihan rajin sejak remaja. calon pembantu itu harus rajin. Dengar, mulai sekarang jangan lagi suka menolak perintah ibu. Ya, kalau majikanmu nanti benar-benar baik, kalau galak? Bisa disetrika kamu!” Sesaat kemudian, “Tapi ibu tetap tidak setuju kamu main di sungai.”
“Ini pertanda baik, Bu. Dia dapat ikan yang enak. Pasti majikannya nanti orang yang baik.”
cerpen
masing-masing di jarak yang jauh dan tersembunyi dari kenyataan kesedihan. Setelah reda sekian hari, dibangun kembali rumah dari papan kayu mirah dan ayaman bambu tali. Kehidupan di bawah bulan sabit pun, berjalan saling melupakan.
Pada malam, ia kembali mendengar suara angin yang menyobek daun-daun pisang, gemintang yang menyebar serupa serpih dari gelas cahaya yang dipecah kegelapan. Terlebih saat musim panen cabai mulai tiba, ia kembali ikut menjaga di dangau, dengan sesekali berjalan di tepi sungai yang jernih sebab kemarau mengirim dingin dan warna hijau. Suatu masa, yang membuatnya bertemu dengan suaminya kini.
Ketika itu, bahkan untuk bunga turi yang masih kuncup pun, akan segera mekar.
Dan dingin tak bakal sampai menembus ke jari-jari kaki. Sebab, bagi perempuan sepertinya, tak ada lagi cinta yang lebih hangat selain seseorang yang lebih membicarakan hati, perasaan, dan kenyataan. Di busung dadanya, memang tinggal sebongkah, tetapi di rongga sebaliknya, masih ada keberanian buat hidup dan mencintai, memimpikan seorang anak yang akan menangis minta layang-layang saat musim mengirim kemarau dan angin kencang di siang hari. Ia dapat segala kasih dan kepercayaan dari lelaki sungai itu.
Tetapi, sesaat lagi, suaminya akan jadi babi. Dan di langit bulan, kini bercambang buih dingin, berjejal awan tipis.
Dua orang telah datang kemarin sore. Mereka membawa sembako. Setelah obrolan yang terkesan basa-basi, seseorang di antara mereka berkata, “Kami berjanji akan membangun, maaf, gubukmu ini, dan penduduk desa yang lain.” Ia hisap keretek. Disebuhnya asap. Ia melanjutkan, “Asalkan, ya, itu tadi.”
“Ayahku mati dalam penjara. Mungkin sebelumnya telah kedatangan orang seperti kalian.”
“Kami akan melindungimu.” Suaminya diam saja.
“Partai kami berkuasa. Kami yang punya hukum.”
“Atau,” seorang mencondongkan badan, “apa keinginanmu? Kami akan kabulkan. Kita coba enak sama enak.”
Yang seorang menimpali lagi, “Dan yang jelas, kami tidak suka kekerasaan!”
Dan purnama ini, sesaat lagi, suaminya akan jadi babi. Ia tak pelak menolaknya. Suaminya yang dengan lembut telungkup di atasnya berkata; ibuku menjadi gila sebab mereka mengancam setiap hari dengan guna-guna dan ini itu, sampai akhirnya ayahku menuruti agar kami, anak-anaknya, lepas dari tekanan. Tekanan orang-orang rakus yang hendak cari modal buat menang coblosan lurah dan bupati, dan meminta kami mencuri, membobol dengan ilmu yang aku sendiri tak ingin ini. Aku juga tidak mau ilmu ini menurun pada anak kita. Tapi semua orang sudah tahu dan mengerti. Aku akan berusaha keras untuk itu. Pada rajab depan aku akan menepi di puncak gunung selama empat puluh hari, akan kumusnahkan ini. Tandanya? Ia bertanya. Kulitku tak lagi kebal dari mata pisau.
Ia terisak lirih. Ia dekap suaminya erat. Air matanya mengkristalkan kesedihan. Selang perkataan itu, kereta di utara terdengar mulai melintasi rel dan terowongan dengan membawa desis-desis di bawah bulan yang diliputi awan tipis kehitaman, sehari sebelum purnama.
Dan jadilah, purnama ini ia duduk di tepi sungai menunggu suaminya muncul dari perahu yang bergeming, dilatari pias dari cahaya bulan yang terlalu lembut untuk menantang muka malam. Sesaat lagi, ia akan menjagai lilin. Suaminya akan pergi ke tempat-tempat terdekat yang telah diperhitungkan sebagai babi ajaib pengambil kekayaan. Ia tengah rasai sepi berlari ke dasar pasir. Sungai mendidih. Ia melihat bayangan dirinya tercebur direbus keadaan. Pikirannya kian berkecamuk. Ia ingin membuang bayangan. Bayangan bahwa mungkin ia akan melihat, untuk kedua kalinya, bangkai babi hitam yang kini sangat ia sayangi telah dipenuhi lebam; terapung-apung penuh darah dikerumuni ribuan ikan kathing kecil yang bertaring, bersungut panjang, berebut, berlompatan saling menyayat. Tidak, tidak. Tidak demikian. Sesaat lagi, suaminya memang akan jadi babi. Tidak lebih dari itu. Dan bulan di langit, seperti menjerit tertusuk nyiur yang nampak tenang menjahit keheningan, mengantar firasat buruk. Bukan, ini bukan firasat buruk, ini kekhawatiran seorang istri: ia menenangkan perasaan.
Dan, di seberang sungai, samar ia lihat kandang babi yang sesungguhnya. Dan sesaat lagi, sesaat lagi, dan sesaat lagi suaminya akan jadi babi.
buat Sungai Serayu yang menggemaskan, Agustus 2011
istimewa
EKo TRIoNo mahasiswa UnY