7 minute read

opini

Next Article
cerpen

cerpen

PeNDIDIKAN cePAT SAJI ALA INDONeSIA

Oleh PRATINA IKHTIYARINI

Advertisement

Pernahkah kita bertanya, untuk apa sebenarnya kita menjalani pendidikan di sekolah? Saya kira sebagian besar orang akan menjawab pernah. Berbagai macam jawaban tentu mempunyai rasionalisasi yang dapat diterima, seperti mendapat ijazah, memperoleh pengetahuan, agar mendapat status yang lebih baik di masyarakat, dan masih banyak lagi alasan masuk akal lainnya. Namun demikian, di antara alasan-alasan luar biasa tersebut, pasti ada alasan yang terdengar bodoh dan tak memiliki spesifikasi masuk akal. Seperti pengalaman saya bertanya kepada seorang teman SMA, tetangga rumah, ketika ditanya mengapa ia terlihat tak minat pada sekolahnya, jawabannya cukup membuat saya heran. Hanya karena menuruti tuntutan orang tua. Tak ada yang lain.

Pemaparan di atas mengenai rangkaian pertanyaan beserta beberapa jawaban yang menjelaskan alasan seseorang harus “berpendidikan” adalah sebuah paket pembuka yang saya tujukkan untuk saya sendiri dan mungkin bagi Anda yang kebetulan mahasiswa jurusan kependidikan atau bahkan Anda yang telah menggeluti profesi guru. Setidaknya, paket ini dapat dijadikan sebagai suatu kejutan, agar kita sadar, bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia begitu dangkal memaknai arti pendidikan bagi kehidupan. Ini menjadi masalah, manakala hasil dari proses pendidikan di sekolah hanya ditentukan oleh produk bernama ijazah, hingga seseorang dapat membeli produk tersebut hanya sekedar mendapat gelar “orang berpendidikan.” Mudah bukan?

Menyoal tentang pendidikan, bisa kita telusuri melalui sistem-sistem yang ada. Hampir semua orang tahu, bahwa sistem pendidikan di Indonesia akan selalu berakhir pada pemberian ijazah sebagai suatu warisan penting. Hal tersebut tak akan menjadi persoalan, manakala manusia yang tercetak melalui dunia pendidikan juga memilki kemampuan sesuai dengan cetakan angka di ijazah. Namun, kenyataannya menjadi ironis, ketika ijazah menjadi tujuan akhir seseorang menempuh pendidikan di sekolah hingga melakukan hal-hal yang tak pantas hanya untuk mendapat nilai yang laku di pasaran.

Sekilas, memang tak ada yang salah dengan ironi tersebut. Sah-sah saja seseorang hanya mengharap ijazah dari dunia pendidikan. Akan tetapi, imbas yang dihasilkan sungguh mengerikan, seperti adanya kasus-kasus kebocoran soal ujian nasional di Bengkulu Selatan tahun 2009 dengan tersangka utamanya, tak main-main, melibatkan 16 orang, yakni sepuluh kepala sekolah SMA Negeri, empat kepala sekolah swasta, satu kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri dan seorang kabid Dikmenum Diknas setempat. Motifnya pun sebenarnya sangat mengharukan, ingin meluluskan semua muridnya tanpa kecuali agar bisa mengangkat harkat dan martabat sekolah, serta provinsi tercinta.

Bila kita telisik lebih dalam, kira-kira siapa yang patut disalahkan? Apakah siswa dan pihak sekolah yang tak bertanggung jawab? Atau oknum dari Diknas yang tak tahu diri itu? Saya kira, bukan mereka. Baik siswa, sekolah, maupun pihak dari dinas pendidikan, hanyalah korban dari adanya sistem pendidikan yang sudah salah sedari dulu. Semenjak duduk di bangku SD , kita telah disugesti bahwa anak yang pintar adalah anak yang menduduki peringkat satu dengan nilai-nilai menakjubkan. Inilah yang membuat kita buta, hingga tak mampu melihat proses kegiatan pendidikan sebagai suatu hal yang jauh lebih penting.

Istilah George Ritzer, tentang McDonalisasi dalam bukunya “McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life” pada tahun 1995, yang bercerita tentang kesuksesan perusahaan McDonald ternyata juga membawa pengaruh

Inilah yang membuat kita buta, hingga tak mampu melihat proses kegiatan pendidikan sebagai suatu hal yang jauh lebih penting.

opini

terhadap kehidupan sosial. Seperti yang kita tahu, bahwa McDonald adalah pelopor pendiri restoran berbasis cepat saji di dunia, yang membawa kita pada konsep membeli makanan hanya sekedar untuk memenuhi hasrat lapar, hingga kita sendiri yang menghampiri makanan yang kita pesan. Padahal, konsep tersebut banyak mendapat kritikan, seperti dehumanisasi karena makanan cepat saji ternyata mengandung gizi buruk dan tak baik untuk manusia.

Bila kita amati, sistem pendidikan di Indonesia seperti dibuat dengan resep praktis dan seefisien mungkin, semacam McDonaldisasi tersebut. Praktis, karena pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan berlabel “LULUS” pada ijazah dengan standar nilai yang telah ditentukan, serta efisien karena waktu yang dibutuhkan relatif singkat, yakni seminggu, untuk menentukan riwayat akhir dari proses pendidikan yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Seperti halnya pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia, tak disadari semakin mirip dengan McDonald, yang hanya mengandalkan pada kepraktisan dan efisiensi tanpa memikirkan efek negatif yang perlu untuk diberikan solusi. Jangan heran, jika sistem pendidikan di Indonesia yang hanya mengutamakan cepat saji, tanpa memerhatikan kualitas telah menyebabkan angka pengangguran terdidik menjadi persoalan ketenagakerjaan saat ini.

Data di BPS tahun 2011, juga menyatakan bahwa pengangguran terdidik menduduki peringkat teratas dari sekian jenis pengangguran. walau pengangguran terdidik tidak selalu menandakan kemiskinan, hal tersebut tetap menambah angka pengangguran yang ada.

Inilah yang perlu kita kritisi, apakah memang sistem pendidikan dibuat hanya untuk menghasilkan lulusan “terdidik” miskin pengetahuan? Ijazah yang sepatutnya dibanggakan, terkadang tak bernilai jika kita dihadapkan pada era global saat ini, di mana kualitas perfoma, pengetahuan, dan otak menjadi hal yang utama dibandingkan pampangan angka di ijazah.

Bagaimana membuat pendidikan lebih menghasilkan manusia bermutu adalah tugas kita semua. Akan tetapi, pihak guru adalah komponen utama dalam menyadarkan semua peserta didik untuk paham bahwa bekal hidup tak cukup dengan mengantongi ijazah saja.

pRatina ikHtiYaRini mahasiswa UnY

opini

BUKU DAN MODeRNISASI BANGSA

Oleh SUDARYANTO, S.Pd.

Modernisasi Jepang, India, dan cina, boleh jadi diinspirasikan melalui buku. Bagi masyarakat ketiga negara tersebut, buku tak hanya dimaknai sebagai tumpukan kertas, tetapi lebih dari itu, ia membawa percikan-percikan ide kemajuan. Buktinya, di era modern saat ini, ketiganya benar-benar menjadi macan Asia yang menggeliat di kancah internasional. Intinya, mereka mampu berbicara di tengah kuasa Amerika dan sekutu-sekutunya. Bagaimana dengan kita?

Saat ini, di Indonesia baru terdapat sekitar 700 toko buku aktif ukuran besar dan kecil. Jumlah ini belum memadai untuk melayani 1.000 juta pembeli buku. Alhasil, minat membaca bangsa kita belum tumbuh. Lain halnya dengan vietnam, saudara muda kita, sesama anggota negara ASeAN itu. Mereka tampil sebagai negara yang modernis: menjamin ketersediaan akses bahan bacaan bagi penduduknya. coba bandingkan dengan kita? Bagaimana hasilnya?

Indonesia dengan jumlah penduduk 225 juta setiap tahun memproduksi 8.000 judul buku. Sedangkan vietnam dengan 80 juta penduduk memproduksi 15.000 judul. Ini artinya, tiap-tiap penduduk Indonesia hanya membaca buku sebanyak 35 buku, sedangkan tiap-tiap penduduk vietnam membaca buku sebanyak 187 buku. Perbandingan ini membuat kita jengah, sebab vietnam baru merdeka tahun 1968 (41 tahun).

Belum lagi jika kita ingat pada tahun-tahun 1970-an vietnam belajar mengembangkan pendidikan dasar dari Indonesia, sekarang vietnam mengungguli kita. Pada tahun-tahun 1970-an vietnam belajar bercocok tanam, sekarang menjadi pengekspor beras untuk Indonesia. Padahal, apa sih yang tidak kita miliki, mulai dari sumber daya alam dan manusia, semuanya serba ada dan melimpah? Tapi, nyatanya, kita masih dianggap pengekor dari bangsa-bangsa maju.

Singkatnya, sekali lagi pemerintah vietnam betul-betul memiliki komitmen terhadap penumbuhan minat baca dan tulis. Begitu pula di India, sebuah negara Asia yang kini banyak diperhitungkan di level internasional. Bahkan, bersama china diprediksi ia akan mampu sejajar dengan Jepang. Kini, pertanyaannya, bagaimana dengan pemerintah kita, terutama dalam hal penumbuhan minat baca dan tulis?

Mungkin, akar masalahnya adalah, bangsa ini belum memiliki sikap menghargai budaya baca dan tulis, seperti halnya orang Jepang, India, dan vietnam. Jujur diakui, bangsa kita lebih mudah membeli rokok ketimbang buku, lebih mencintai mie instan daripada buku. Di sisi lain, budaya nonton Tv dan budaya omong di tempat umum, seperti di warung kopi, rumah sakit, dan tempat lainnya, mengubur atau memperlambat besarnya minat baca dan tulis.

Atas kondisi itu, saran kita konkret saja, yakni, pertama, pemerintah pusat dan daerah dapat segera mengalokasikan subsidi kertas bagi penerbitan buku-buku, baik pelajaran, diktat kuliah, hingga umum. Sebaiknya jenis kertas koran yang digunakan untuk penerbitan tersebut, agar biayanya lebih murah namun tetap layak baca dan jual. Dengan begitu, masyarakat kita, khususnya para pelajar dan mahasiswa dapat membelinya dengan harga terjangkau dan hemat.

Kedua, pemerintah daerah (kota/kabupaten) menyediakan dana serta sarana dan prasarana minat baca berupa rak-rak buku di tempat umum, seperti di bank dan stasiun. Jika tempat tersebut menyediakan televisi, rasa jenuh menunggu antrean barangkali sedikit terusir. Jika tidak, waktu 15 menit hingga satu jam kadang habis hanya untuk menunggu nomor antrean tiba, atau sekadar ngobrol ngalorngidul. Padahal, waktu sesempit itu bisa digunakan untuk membaca.

Pendek kata, semuanya itu menjadikan aktivitas membaca sebagai kebiasaan (reading ha

Mungkin, akar masalahnya adalah, bangsa ini belum memiliki sikap menghargai budaya baca dan tulis, seperti halnya orang Jepang, India, dan vietnam.

opini

bits). Di negara maju, seperti Jepang, orang sudah terbiasa membaca sambil duduk menunggu atau berdiri di bus. Sampai-sampai, buku ukuran saku banyak diterbitkan untuk dibaca di perjalanan. Di Indonesia pun, buku ukuran saku sudah cukup banyak. Itu melingkupi buku antologi cerita pendek, kolom, esai, hingga puisi. Kini, persoalannya tinggal komitmen pemerintah dalam memberikan subsidi harga kertas. Selama ini, jujur saja, penerbitan di Tanah Air tampak lesu, karena harga kertas kelewat mahal. Alhasil, orang pun enggan membaca buku. Ironisnya, pemerintah lebih tergiur untuk menyubsidi mobil mewah daripada kertas buku. Fakta ini penulis dapatkan dari seorang kolega yang merupakan editor di sebuah penerbit terkemuka di Yogyakarta. Bagaimana kita menyikapinya?

Hemat penulis, meski kedua upaya sporadis di atas dirasa sulit diwujudkan, namun yakinlah bahwa kita mampu mengatasinya. Di simpul ini, kita juga berharap pada perusahaan swasta guna berpartisipasi menyediakan ruang baca bagi masyarakat umum. Ingatlah, kalau hanya pasif berharap minat baca buku tumbuh dengan sendirinya, toh budaya membaca di Indonesia tidak akan pernah mewujud sampai kapan pun. Siapa peduli minat baca bangsa ini?

sUdaRYanto, s.pd. penulis buku Menguangkan Ide

This article is from: