opini PENDIDIKAN CEPAT SAJI ALA INDONESIA O l e h P ratina I khtiyarini
P
ernahkah kita bertanya, untuk apa sebenarnya kita menjalani pendidikan di sekolah? Saya kira sebagian besar orang akan menjawab pernah. Berbagai macam jawaban tentu mempunyai rasionalisasi yang dapat diterima, seperti mendapat ijazah, memperoleh pengetahuan, agar mendapat status yang lebih baik di masyarakat, dan masih banyak lagi alasan masuk akal lainnya. Namun demikian, di antara alasan-alasanluar biasa tersebut, pasti ada alasan yang terdengar bodoh dan tak memiliki spesifikasi masukakal. Seperti pengalaman saya bertanya kepadaseo rang teman SMA, tetangga rumah, ketika dita nya mengapa ia terlihat tak minat pada seko lahnya, jawabannya cukup membuat saya heran. Hanya karena menuruti tuntutan orang tua. Tak ada yang lain. Pemaparan di atas mengenai rangkaian pertanyaan beserta beberapa jawaban yang menjelaskan alasan seseorang harus “berpendidikan” adalah sebuah paket pembuka yang saya tujukkan untuk saya sendiri dan mungkin bagi Anda yang kebetulan mahasiswa jurusan kependidikan atau bahkan Anda yang telah menggeluti profesi guru. Setidaknya, paket ini dapat dijadikan sebagai suatu kejutan, agar kita sadar, bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia begi tu dangkal memaknai arti pendidikan bagi kehidupan. Ini menjadi masalah, manakala hasil dari proses pendidikan di sekolah hanya diten tukan oleh produk bernama ijazah, hingga seseorang dapat membeli produk tersebut hanya sekedar mendapat gelar “orang berpendidik an.” Mudah bukan? Menyoal tentang pendidikan, bisa kita telu
Inilah yang membuat kita buta, hingga tak mampu melihat proses kegiatan pendidikan sebagai suatu hal yang jauh lebih penting. 36
P ewa ra Din a mik a de s e m b e r 2 0 1 1
suri melalui sistem-sistem yang ada. Hampir semua orang tahu, bahwa sistem pendidikan di Indonesia akan selalu berakhir pada pemberian ijazah sebagai suatu warisan penting. Hal tersebut tak akan menjadi persoalan, manakala manusia yang tercetak melalui dunia pendidikan juga memilki kemampuan sesuai dengan cetak an angka di ijazah. Namun, kenyataannya menjadi ironis, ketika ijazah menjadi tujuan akhir seseorang menempuh pendidikan di sekolah hingga melakukan hal-hal yang tak pantas ha nya untuk mendapat nilai yang laku di pasaran. Sekilas, memang tak ada yang salah dengan ironi tersebut. Sah-sah saja seseorang hanya mengharap ijazah dari dunia pendidikan. Akan tetapi, imbas yang dihasilkan sungguhmengerikan, seperti adanya kasus-kasus kebocoransoal ujian nasional di Bengkulu Selatan tahun 2009 dengan tersangka utamanya, tak main-main, melibatkan 16 orang, yakni sepuluh kepala sekolah SMA Negeri, empat kepala sekolah swasta, satu kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri dan seorang kabid Dikmenum Diknas setempat. Motifnya pun sebenarnya sangat mengha rukan, ingin meluluskan semua muridnya tanpa kecuali agar bisa mengangkat harkat dan martabat sekolah, serta provinsi tercinta. Bila kita telisik lebih dalam, kira-kira siapa yang patut disalahkan? Apakah siswa dan pihak sekolah yang tak bertanggung jawab? Atau oknum dari Diknas yang tak tahu diri itu? Saya kira, bukan mereka. Baik siswa, sekolah, maupun pihak dari dinas pendidikan, hanyalah korban dari adanya sistem pendidikan yang sudah salah sedari dulu. Semenjak duduk di bangku SD , kita telah disugesti bahwa anak yang pintar adalah anak yang menduduki peringkat satu dengan nilai-nilai menakjubkan. Inilah yang membuat kita buta, hingga tak mampu melihat proses kegiatan pendidikan sebagai suatu hal yang jauh lebih penting. Istilah George Ritzer, tentang McDonalisasi dalam bukunya “McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life” pada tahun 1995, yang bercerita tentang kesuksesan perusahaan McDonald ternyata juga membawa pengaruh