resensi media Refleksi Jurnalisme Seorang Wartawan O l e h H E NDRA S UG I A NT OR O JURNALISME memiliki kontribusi pen ting bagi masyarakat. Dengan jurnalis me, masyarakat dibangun. Jika jurnalis me berjalan baik, maka menjadi baiklah suatu masyarakat. Mungkin hal ini ter kesan utopis di tengah laku jurnalisme yang pragmatis dan kerapkali terjebak pada urusan bisnis. Kepada siapa wartawan menempatkan loyalitasnya menjadi salah satu dari sembilan ele men jurnalisme yang dipopulerkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sekitar ta hun 2001. Ada keprihatinan ketika war tawan berubah menjadi orang bisnis dan mengabaikan tanggung jawab sosialnya. Dalam buku ini, sembilan elemen jurnalisme menjadi pintu gerbang pembahasan untuk menyimak lebih lanjut isi pikiran Andreas Harsono. Pengeta-
Dalam kaitan kepentingan masya rakat dengan kepentingan bisnis, harian The New York Times dan The Washington Post bisa dijadikan model. Ketika membeli The New York Times pada tahun 1893, Adolph Ochs berkomitmen menyajikan surat kabar yang serius dan mengutamakan kepentingan pu blik. Eugene Meyer yang pada tahun 1933 membeli Washington Post berani bersikap mengorbankan kepentingan material apabila memang diperlukan demi kepentingan masyarakat. Ternya ta mendahulukan kepentingan masya
‘AGAMA’ SAYA ADALAH JURNALISME Penulis: Andreas Harsono • Penerbit: Kanisius, 2010 • Tebal: 268 halaman
huan dan pengalamannya sebagai wartawan, baik di dalam negeri maupun di negeri manca, coba di refleksikan dan disajikan. Tentu menjadi kisah hidup mengesankan bagi Andreas Harsono yang pernah menerjemahkan bukubuku karya Kovach, bahkan menimba ilmu langsung dari Kovach. Ketika berkunjung ke Indonesia, Kovach kerapkali didampingi Andreas Harsono dalam melakukan perjalanan. Kovach yang merupakan seorang wartawan asal Amerika Serikat telah diakui reputasinya. Kovach memiliki “karier yang panjang dan terhormat” sebagai wartawan, kata Thomas E. Patterson dari Universitas Havard. Goenawan Mohammad mengatakan merasa “sulit mencari kesalahan” Kovach. Banyak hal berkenaan dengan Kovach ditemukan dalam buku ini. 40
PEWA R A DIN A MIK A F E B R UA R I 2 0 1 2
rakat yang dilakukan dua surat kabar ini tidak berdampak buruk terhadap bisnisnya (halaman 18). Dalam paparannya Andreas Harsono juga menyinggung tentang pendidikan jurnalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan jurnalisme di negeri ini perlu ditinjau ulang dan dievaluasi.Banyak nya sekolah jurnalisme ternyata kurang dan belum mampu menyediakanwartawan sesuai kebutuhan media massa.
Banyak media massa menomorduakan lulusan dari jurusan atau program studi jurnalisme. Hal ini tentu harus menjadi tanda tanya sekaligus tanda seru. Selain itu, keterlibatan wartawan dalam dunia politik juga menjadi pembahasan. Menurut Andreas Harsono, hal itu sahsah saja. Banyak wartawan yang terli hat berafiliasi ke partaipolitik atau to koh politiktertentu. Wartawan terlibat dalam politik praktis bisa saja mempengaruhi independensi. Tetapi, menurutnya, wartawan boleh menjadi po litikus, namun jangan lagi menjadi wartawan! Buku ini terbagi dalam empat bagian, yakni laku wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi, dan peliputan. Investigasirepor ting menjadi hal yang ditekan kan oleh Andreas Harsono.Kemampuan wartawan soal ini perlu diasah. Begitu pula mas alah byline. Dalam surat kabar di Indonesia jarang digunakan byline dalam penulisan, padahal merupakan bagian dari pertanggungjawaban. Wartawan bisa bertanggungjawab terhadap isi laporannya karena publik akan mengetahui siapa wartawan yang kon sisten menghasilkan be rita-berita yang bermutu dan siapa wartawan yang menghasilkan berita ku rang bermutu. Melalui buku ini, Andreas Harsono memaparkan beragam pendapatnya terkait jurnalisme. Apa yang diutarakannya mungkin memunculkan pro kontra. Namun, hal ini tampaknya positif untuk membangkitkan dialektika jurnalisme Indonesia. Mau memberikan tanggapan?
HENDRA SUGIANTORO pembaca buku, mantan mahasiswa UNY