Pewara Dinamika Februari 2012

Page 44

cerpen

Kelambu Kelabu O l e h AG US T I NA DR LIHATLAH gelap di sudut kamarku tertembus cahaya yang telah berhasil menghadirkan warna dalam hidupku. Terasa­ bergeliat tubuh ini diterpa silauan yang berpendar dari ke­ lambu, yang menepis bayang-bayang semu di sudut kitiran angin. Lelah aku jika harus merasa sepi di dunia yang sudah penuh sesak dengan manusia ini. Ingin rasanya aku bisa terbang, melayang mengapai mega yang bersayap putih, tapi ku tak bisa. Aku tak sendiri, aku di sini hidup bersama ego yang menjadikan dirinya sebagai raja penguasa jagad. Jika dia sudah berbicara, maka ya sudah terjadilah. Lelah badanku tak selelah otakku yang ingin terus mencari kata di balik tum­ puk­an nyanyian yang setiap detik berdenting menggetarkan gendang telingaku. Aku tak kuasa menahannya, aku hanya bisa membisu, aku hanya bisa terdiam. Malam itu, seseorang sudah hadir secara syah dalam kehidupanku. Yang aku harapkan, dia menjadi seorang teman yang akan menemaniku dalam keluh pikiranku yang tak terbatas. Tapi, apa yang kudapatkan? Malam demi malam selalu kuurai air mataku, laiknya hujan yang terus menghujam bumi hingga membanjiri di setiap sudut kota. Kehangatan yang kerap kali kudamba, selalu ditepis oleh kata ‘aku lelah’. Apakah tak ada kata lain selain ‘lelah’? Bahkan aku pun sering mengatakannya, tapi mengapa tak bisa lenyap pula kata itu dari otak kami? Yang tentu saja akan terus berusaha mendo­ minasi dan memaksa kami untuk menjadi manusia yang penuh dengan rasa ego. Tak kuharap demikian. Bidadari tak bersayap itu menghampiriku sebagai malaikat pelindung yang juga terpatahkan sayapnya oleh cinta. Cinta yang selalu ingin kujadikan penyejuk jiwa, tapi sekarang hanyalah menjadi duri dalam bidukku sendiri. Mimpi dengan angan-angan setinggi bintang yang paling terang itu kini sudah terlanjur kukubur, kukubur dengan perasaan cintaku yang memperdaya. Dapatkah aku berlari dan terus mencoba menggali sejengkal demi sejengkal tumpukan ego yang menutupinya? “Kamu bisa, Putri. Aku tahu jiwamu adalah jiwa seorang Srikandi sejati. Jiwa yang tak patah arang dengan timpaan baja dan belenggu di tubuhmu itu,” sahut bidadari tak bersayap itu. “Tapi, aku hanya manusia biasa. Aku yang tadinya meyaki­ ni cintaku, mengapa sekarang menjadi semu bahkan lebih semu dan berpudar menjadi hitam? Aku tak mengerti, menga­ pa lagi-lagi ego yang selalu melawanku?” “Apakah jejak cinta itu masih ada di hatimu, walaupun ka­mu sudah diinjak, dihina dan dirampas seluruh kebahagi­ aanmu?” “Aku tak tahu, apakah sisa sel di hatiku itu bisa disebut cinta atau hanyalah sebuah belas kasih dan rasa bersalah. 42

PEWA R A DIN A MIK A F E B R UA R I 2 0 1 2

Aku tak bisa membedakannya. Keduanya menyatu bahkan nampak sama.” “Baiklah, kamu sendiri yang bisa menyelesaikannya. Ego tak bisa dibalas dengan ego, tapi balaslah dengan hatimu yang walau hanya tinggal sebuah sel saja! Aku tahu kau sudah mengikat janjimu di tanah yang suci itu bukan? Apakah­ kamu tega mengotorinya dengan sebuah ‘ego’ pula?” “Oke, oke, aku tahu itu! Tapi mengapa harus aku yang berdiri di sini, bukan wanita lain! Yang bisa menahan semua­ bara pijar itu, aku tak tahu apa yang harus kuperbuat.” “Sekarang pejamkan matamu, bayangkanlah kamu berdiri­ sebagai seorang Srikandi dengan amunisi panahnya yang lengkap. Lawanlah, berperanglah dengan makhluk yang bernama ‘ego’ itu. Lenyapkanlah hingga seluruh sel yang ada di hatimu kembali dan merangkul seluruh jiwa dan ragamu menjadi satu!” Malam itu terasa sangat panjang. Dan apa yang terjadi, badanku, otakku terasa sangat lelah dan lelah. Lelah karena telah berperang dengan ego, dan siapakah pemenangnya? Aku ataukah ego? Aku belum bisa menjawabnya. Dalam kegelapan malam yang hampir setiap malam kurasakan, kudengar halus rintik tetes air mata langit yang rindu kehangatan bintang di sisinya. Tapi sepertinya itu mustahil. Karena jika titik air itu ada, dia tak akan pernah melihat bintang atau bahkan memeluknya. Seperti aku dan dia, begitu­ lah adanya. Ada tapi terasa tak ada, walau berada di sisi. Di dalam kelambu ranjangku, badan yang lunglai ini hanya­ berselimut dengan tepisan kain dari sang buyut. Tak ada sapa, canda, bahkan kata cinta yang sering kali kudengar di televisi. Aku merindukannya keluar dari mulutnya yang selalu membisu. Aku terus mencoba tegar. Keadaan ini tak bisa kubiarkan menyiksa diriku terlalu lama, karena aku tak mau mati beradu ego yang akan menggerogoti sedikit demi sedikit asa terdalamku bersamanya. “Baiklah aku yang mengalah. Aku minta maaf atas semua kesalahanku! Berikanlah secuil kata yang keluar dari mulutmu agar aku bisa tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku,” ucapku memelas. Dia hanya berdiam merebah di sampingku. Tak sedikit pun kata yang keluar. Hanya palingan badan yang kudapat, berlalu, dan melepas mimpi di dalam kelambu kelabu bersamaku malam itu. “Baiklah kalau begitu, aku sudah cukup puas dengan jawabanmu itu. Terima kasih dan maaf sebenarnya aku tidak menginginkan yang lebih darimu. Aku hanya inginkan sebu­ ah makna cinta sejati yang sudah lelah aku kejar selama ini. Dan biarlah ‘cinta’ itu terbang menemani sayap-sayap patah bidadariku, melayang dan mungkin akan menemani bintang


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.