opini NU, HUMOR, DAN KEWARASAN POLITIK O l e h S uda rya n t o
U
sia Nahdlatul Ulama (NU)—hari Se lasa, 31 Januari 2012 ini genap beru sia 86 tahun—tak pernah sejajarde nganusia Republik Indonesia yang hampir berusia 67 tahun. Namun, kiprahdan peran NU dalam kehidupan bangsa-negara ini tidak dapat dikatakan sedikit. Paling tidak, NU pernah berkontribusi pada bangsa ini melalui putra terbaiknya, yakni KH Abdurrahman Wa hid (Gus Dur) yang menjabat Presiden RI. Apa sisi lainnya yang juga menarik dari NU? Beberapa peneliti asing, para Indonesianis, pernah meneliti NU. Sebut saja, Dr Martin van Bruinessen (Belanda), Dr Andree Feilard (Peran cis), dan Dr Greg Barton (Australia). Selain pe neliti asing, ada pula peneliti lokal. Sebut sa ja, Dr Zamakhsyari Dhofier (Balitbang Depag), Dr Laode Ida (Wakil Ketua DPD), dan Dr Abdul Gaffar Karim (UGM). Sebagian dari mereka men jadikan NU sebagai topik penelitian untuk me nyelesaikan studi doktoral. Para peneliti di atas umumnya meneliti si si-sisi politik NU yang bersinggungan dengan (politik) negara. Sementara itu, sampai hari ini sisi humor NU belum disentuh. Padahal, hu mor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gerak perjalanan NU selama ini. Baik di ke hidupan pondok pesantren, maupun di kehi dupan sehari-hari. Terlebih, jika kita mengeta hui kalangan nahdliyyin umumnya berada di pedesaan. Di simpul ini, penulis teringat ucapan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), sahabat Gus Dur, yang mengatakan, “Umumnya warga NU kan orang desa. Jadi, hidup mereka santai. Kalau ketemu, ya guyon.” Ucapan Gus Mus itu meyakinkan kita bahwa kultur NU seirama dengan kultur pedesaan yang komunal, guyub rukun, dan san tai. Maka, wajarlah jika di kalangan nahdliyyin
Padahal, humor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gerak perjalanan NU selama ini. 36
P ewa r a Di n a mik a j a n ua r i 2 0 1 2
akan mudah dijumpai tradisi guyonan (berhu mor). Di kalangan orang NU, nama dan sosok Gus Dur bisa dibilang istimewa. Betapa tidak, man tan Ketua Umum PBNU dan Presiden ke-4 RI itu selalu membawa kebiasaan guyonan di ma na pun ia berada, termasuk di lingkup politik. Misalnya, cerita Gus Dur tentang seorang caleg PKB di Jawa Timur yang marah-marah karena namanya tidak masuk dalam daftar calon ter pilih. Caleg PKB itu lantas dinasihati oleh KH Hasyim Muzadi. “Wis to, soal caleg itu kan masalah dunia. Itu soal kecil,” ujar Kiai Hasyim. Tapi caleg PKB itu tetap jengkel dan berkata, “Bukan begitu, Pak Kiai. Tapi ini masalah kemaluan.” Sambil terkekeh, Gus Dur berkomentar, “Ya, begitu itu orang NU. Malu dan kemaluan dicampur-cam pur.” Cerita ini, pada hemat penulis, mengi syaratkan betapa uniknya orang NU dalam menyikapi persoalan hidup, termasuk urusan politik. Masih dari Gus Dur, kali ini subjek cerita ada lah kiai NU. Kata Gus Dur, kiai-kiai NU sudah modern. Mereka sudah membeli dan menggu nakan handphone. Ada seorang kiai NU yang kalau di-SMS tidak dibalas, tetapi justru lang sung menelpon. Lalu, santrinya memberitahu, “Pak Kiai, kalau Sampeyan di-SMS balas saja pa kai SMS lagi. Sampeyan nggak perlu nelpon.” Kiai itu menjawabnya polos, “Ah, saya malu ka rena tulisan saya jelek.” Bila Anda terpingkal-pingkal menyimak ce rita di atas, berarti Anda mengetahui betapa kiai-kiai NU itu lugu dan polos. Keluguan dan kepolosan sikap itulah yang merupakan sum ber guyonan. Selain bertujuan ketawa, humor dalam tradisi NU atau pesantren juga menjadi alat penyampai pesan. Melalui cerita kiaiNU dan handphone-nya tadi, Gus Dur ingin me nyampaikan pesan bahwa kiai NU mengalami cultural shock teknologi (baca: handphone). Hal-ihwal membaca pesan di balik humor, sejatinya tidak gampang. Hanya orang-orang yang punya sense of humor yang tinggi, yang mampu berbuat hal tersebut. Untuk itu, benar lah ungkapan budayawan Mohamad Sobary bahwa di NU humor menjadi bagian dari kearif an. Dengan kata lain, humor memungkinkan