8 minute read

opini

Next Article
Jendela

Jendela

memBaNGUN KaRaKteR melalUi OlaHRaGa?

Oleh Drs. DimYati, m.Si.

Advertisement

Sudah empat belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 1997 (namun masih terbesit dalam benak penulis) ketika Rektor itB waktu itu Profesor Wiranto arismunandar sebagai keynote speaker dalam Seminar Nasional tentang Olahraga dan Pendidikan Jasmani di iKiP Bandung (sekarang UPi Bandung), menyatakan bahwa setelah mahasiswa itB diwajibkan menempuh mata kuliah umum (mKU) olahraga, lima tahun kemudian terjadi perubahan sikap dan perilaku positif pada mahasiswa itB. Fakta empiris ini menguatkan kajian teoritis yang terungkap dalam berbagai literatur. Baron Piere de Coubertin, penggagas Kebangkitan Olympiade modern mengatakan tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan karakter, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membangun kepribadian kuat, karakter baik, dan sifat mulia (lutan, 2001). Para profesional dan akademisi mengakui perkembangan karakter merupakan tujuan utama pendidikan di perguruan tinggi yang dapat diperoleh melalui pendidikan umum dan (khususnya) keikutsertaaan dalam aktivitas olahraga (Oelstrom, 2003).

Berdasarkan fakta tersebut setidaknya ada dua pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: (1) siapa paling berperan dalam olahraga sebagai fenomena sosial yang dapat membangun karakter? dan (2) strategi apa yang dapat diterapkan agar olahraga dalam konteks sosial dapat mengembangkan karater?

Olahraga dapat Membangun Karakter?

ernest Hemingway, penulis amerika terkenal mengatakan olahraga menunjukkan

Berbagai kajian teoritis menunjukkan bahwa olahraga dapat mengembangkan karakter.

bagaimana cara menang dengan kejujuran dan olahraga juga menunjukkan bagaimana kalah secara terhormat (Gill, 1982). Gagasan ini diterima pelaku dan masyarakat olahraga. atas dasar alasan ini pula mengapa olahraga menjadi penting. Namun, keadaan dinamis dunia olahraga sebagai fenomena sosial terus berkembang sehingga mengharuskan semua pelaku olahraga untuk terus belajar tentang kejujuran, serta mengajarkan pendidikan moral dan karakter.

Vince lombardi, pelatih s epak bola berpengaruh di amerika, mengatakan bahwa kemenangan bukan segalanya, kemenangan hanya suatu hal paling pokok (O’ Brien, 1987). Begitu pula perilaku bintang sepak bola dunia asal argentina, Diego maradona yang melakukan gol ”tangan tuhan” ketika menjadi pemain dan berperilaku buruk setelah pensiun, menjadi pecandu sex bebas dan obat terlarang. Dalam konteks lain, banyak pemimpin dan pejabat di negeri ini telah menjadikan olahraga sebagai bagian dari kehidupannya tetapi tetap berperilaku tidak sportif dan dzolim, bahkan mereka tidak risih menjadikan olahraga sebagai alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan.

Fenomena pelaku olahraga semacam itu, tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah betul olahraga itu memiliki nilai moral sebagai sarana pendidikan dan pembentuk karakter? Dapatkah olahraga menjadi fasilitas untuk mengembangkan karakter? Berbagai kajian teoritis menunjukkan bahwa olahraga dapat mengembangkan karakter. akan tetapi, dalam tataran praktis, fakta menunjukkan olahraga tidak selamanya dapat membangun karakter. mendiskusikan kesenjangan antara tataran teoretis dan praktis, sulit dicapai titik temu. Dalam banyak hal khusus, tidak mudah mendidik orang melalui olahraga, adanya syahwat persaingan yang berorientasi pada keharusan untuk menang merupakan akar penyebabnya.

Di sisi lain, proses perkembangan karakter seseorang dipengaruhi faktor khas yang ada pa da individu itu sendiri (faktor bawaan/nature) dan faktor lingkungan (nurture) di mana indi-

vidu bersangkutan tumbuh dan berkembang. Faktor bawaan dapat dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu untuk mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang berada pada jangkauan masyarakat dan ndividu. Jadi, usaha pembentukan karakter seseorang dapat dilakukan masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan melalui rekayasa faktor lingkungan.

Peran Pelatih dalam Pembentukan Karakter

Sheilds & Bredemeier (1995) menyatakan lingkungan olahraga melambangkan nilai kebudayaan, tempat orang mencari pengalaman dan belajar tentang niali-nilai yang dianut masyarakat. Olahraga sebagai faktor lingkungan merupakan sarana pembangun karakter yang tidak bisa lepas dari peran pelatih dalam memgembangkan substansi, proses dan suasana yang menggugah dari lingkungan olahraga itu sendiri. Hansen, dkk., (2003) menyatakan pelatih memiliki peran pokok dalam membantu atlet mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pelatih merupakan figur sentral pembentuk karakter atlet. Nike menegaskan “Coaches are, first and foremost, teachers; they are among the most influential people in a young athlete’s life. Because coaches are such powerful role models, young athletes learn more from them about character than about athletic performance”. Pelatih dengan sikap dan berbagai perilaku yang ditampilkannya memegang peran penting dalam membangun karakter atlet.

Pendekatan dan Strategi Pembangunan Karakter melalui Olahraga

Berbagai pendekatan akan membantu pelatih dalam mengembangkan karakter atlet. Penting bagi pelatih memperoleh pengetahuan tentang berbagai pendekatan itu. Boyer (1990) menegaskan lebih penting lagi, pelatih harus mampu menggabungkan dan menerapkan semua dasar-dasar pendekatan pada berbagai kesempatan dalam upaya mengembangkan karakter atlet.

Berbagai teori pendidikan moral dan perkembangan karakter sebagai produk penelitian bidang olahraga telah banyak dihasilkan, sebagian besar terfokus pada pendekatan bersifat praktis. Pendekatan ini lebih menekankan karakteristik psikologis dan sosiologis dalam program pembinaan atlet, terutama atlet remaja. ada dua bagian pendekatan. Pertama, konsep teoritis terkait dengan pendidikan moral: (1) pendekatan penalaran moral yang didasarkan pada teori belajar sosial (Bandura), dan (2) pilihan penemuan hasil penelitian perkembangan moral (Bredemier & Sheilds). Kedua, teori terkait dengan penerapan aspek pegembangan karakter. Pertimbangan kritis dalam pembangunan karakter diikuti penekanan dalam implikasi praktis untuk mengajar dan melatih (Weinberg dan Gould).

Weinberg dan Gould (2003) lebih lanjut menekankan peranan pelatih dan guru pendidikan jasmani secara positif dapat mempengaruhi perilaku dan perkembangan karakter. ada tiga pertimbangan pokok dalam mengembangkan karakter yang harus dilakukan pendidik: (1) pendidik harus memiliki peranan ganda, tidak hanya berhasil dalam memusatkan pada proses tapi juga harus berhasil dalam pelajaran mo ral; (2) pendidik harus membuat lingkungan pengetahuan dengan memusatkan perhatian pada ide-ide peserta didik; agar tujuan ini dapat berhasil dengan baik, pendidik harus banyak menyediakan waktu untuk diskusi dan observasi pada proses transfer dan penyamarataan ideide peserta didik; dan (3) pendidik harus merumuskan seperangkat tujuan yang realistis sepanjang proses belajar. Harapan akan hasil yang dicapai harus mengacu pada tingkat kemampuan mereka. lebih lanjut dikatakan olehnya, ada enam strategi yang dapat dipakai selama mengelola aktivitas olahraga. Strategi tersebut didasarkan pada teori belajar sosial dan teori struktural perkembangan moral. Keenam strategi itu: (1) mendefinisikan sportivitas terkait dengan kepentingan pelatih; (2) memperkuat dan mendorong perilaku sportif dan memberi sanksi dan cegah perilaku tidak sportif; (3) memberi contoh perilaku baik atau tepat; (4) membawa atlet berpikir rasional; (5) mendiskusikan dilema moral; dan (6) membangun dan memilih dilema moral ketika di kelas dan latihan praktik di lapangan.

drs. dimYati, m.si. dosen Jurusan pendidikan olahraga fik UnY

opini

kalam/pewara

opini

SeKSiSme BaHaSa

Oleh DiaN D. a

Suatu kali seorang anak dan bapaknya berjalanjalan di sebuah objek wisata. Saat perjalanan pulang, sebuah mobil melaju kencang kemudian menabrak dua orang tadi. Si bapak meninggal di tempat sedangkan si anak dalam kondisi kritis dan segera dibawa oleh orang di sekitar TKP (tempat kejadian perkara) ke sebuah rumah sakit. Setelah tiba di rumah sakit, anak tersebut dibawa ke kamar operasi karena luka yang sedemikian parah. Saat seorang dokter bedah memasuki ruang operasi, ia terkejut sembari berkata „Oh anakku, apa yang terjadi padamu?“

Adakah yang janggal dari satu paragraf di atas? Apa yang terlintas di pikiran Anda sesaat setelah membaca satu paragraf di atas? Kebanyakan orang akan menjawab „Tidak mungkinlah! Bapaknya kan mati di tempat.“ Atau ada juga yang beranggapan bahwa si dokter bedah adalah bapaknya yang dulu atau si dokter bedah hanya salah melihat orang (yang dikira anaknya). Ini bukan hanya isapan jempol. Nyatanya, ketika penulis mengetes beberapa orang secara acak untuk menganalisa cerita tersebut, hasilnya dapat dikatakan sembilan dari sepuluh orang menjawab dengan jawabanjawaban tadi.

Lalu apa jawaban dari satu orang yang tersisa? Jawabannya adalah “ Si dokter tadi

Robin lakoff, pakar sosiolinguistik, menulis dalam bukunya Language and Women’s Place, bahwa perempuan mengalami diskriminasi bahasa dalam dua hal, pertama dalam hal bagaimana mereka diajar untuk berbahasa, dan yang kedua dalam hal bagaimana bahasa pada umumnya memperlakukan perempuan.

adalah ibu si anak.” Dan itulah jawaban yang tepat! Di sini, kebanyakan orang masih memolakan pikirannya bahwa dokter adalah pekerjaan yang lumrah untuk lakilaki, bukan perempuan. Dan di dalam pikiran itulah, katakata bias gender mulai tumbuh subur dan tumbuh wajar.

Banyak contoh kata lain yang juga bias gender. Wartawan, mahasiswa, putra, saudara. Sederet kata barusan memiliki arti yang dapat digunakan oleh semua jenis kelamin, perempuan dan lakilaki. Wartawan misalnya, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti orang yang pekerjaannya mencari berita untuk mengisi surat kabar dan majalah (jurnalis). Di sini jelas sekali bahwa wartawan adalah seseorang (tanpa pelabelan perempuan atau lakilaki) yang bekerja sebagai jurnalis. Namun, toh akhirnya dibuat sebuah padanan yang khusus untuk digunakan oleh perempuan. Akhirnya terciptalah wartawati, mahasiswi, putri, dan saudari.

Tidak semua kata dapat dicari padanan dengan mengganti suku kata terakhir. Hanya untuk lelucon saja jika orang memasangkan penjahatpenjahit, pengusahapengusahi. Untuk kata yang tidak bisa diganti imbuhan seperti dokter, pengacara, polisi akhirnya ditambah kata perempuan/wanita dibelakang. Dan akhirnya, kita kenal istilah dokter perempuan, pengacara perempuan dan polisi wanita.

Robin Lakoff, pakar sosiolinguistik, menulis dalam bukunya Language and Women’s Place, bahwa perempuan mengalami diskriminasi bahasa dalam dua hal, pertama dalam hal bagaimana mereka diajar untuk berbahasa, dan yang kedua dalam hal bagaimana bahasa pada umumnya memperlakukan perempuan. Pernyataan Lakof ini agaknya tidak berlebihan jika melihat konteks paragraf awal tadi. Bagaimana perempuan dan lakilaki dari sekolah dasar sudah diajari katakata yang makna dan penggunaanya menyembunyikan peran wanita.

Bahkan Dale Spender dalam Man Made Language menyatakan pernyataan yang lebih keras. Bahwa, bahasa telah dimanfaatkan kelompok yang dominan (dalam hal ini laki

opini

istimeWa

laki) untuk menekan kaum perempuan. Banyak kata yang menunjukkan ideologi patriakat dan sering tidak menampakkan peran perempuan. Tak jarang ditemukan pula katakata yang sangat mengedepankan perempuan yang identik dengan dunia domestik.

Nah, sekarang apa yang terlintas di kepala anda jika membaca cerita berikut?

Suatu kali seorang anak dan ibunya pergi berbelanja ke sebuah pasar swalayan. Saat perjalanan pulang, sebuah mobil melaju kencang kemudian menabrak dua orang tadi. Si ibu meninggal di tempat sedangkan si anak dalam kondisi kritis dan segera dibawa oleh orang di sekitar TKP (tempat kejadian perkara) ke sebuah rumah sakit. Setelah tiba di rumah sakit, anak tersebut dibawa ke kamar operasi karena luka yang sedemikian parah. Saat seorang dokter bedah memasuki ruang operasi, ia terkejut sembari berkata „Astaga! Lukanya begitu parah!“ Di belakangnya seorang perawat pingsan setelah sebelumnya berteriak „Oh Anakku, apa yang terjadi padamu?“

dian d. a pegiat komunitas Cinta baca

This article is from: