opini MEMBANGUN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA? O l e h D r s . D i m yat i , M . S i .
S
udah empat belas tahun yang lalu, te patnya tahun 1997 (namun masih terbesit dalam benak penulis) ketikaRektor ITB waktu itu Profesor WirantoArismunandar sebagai keynote speaker dalam Seminar Nasional tentang Olahraga dan Pendidikan Jas mani di IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung), menyatakan bahwa setelah mahasiswa ITB diwajibkan menempuh mata kuliah umum (MKU) olahraga, lima tahun kemudian terjadi peruba han sikap dan perilaku positif pada mahasiswa ITB. Fakta empiris ini menguatkan kajian teori tis yang terungkap dalam berbagai literatur. Baron Piere de Coubertin, penggagas Kebangkitan Olympiade Modern mengatakan tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terle takdalam peranannya sebagai wadahunik pe nyempurnaan karakter, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membangunkepribadian kuat, karakter baik, dan sifat mulia (Lutan, 2001). Para profesional dan akademisi mengakui perkembangan karakter merupakan tujuan utama pendidikan di perguruan tinggi yang dapat diperoleh melalui pendidikan umum dan (khususnya) keikutsertaaan dalam aktivitas olahraga (Oelstrom, 2003). Berdasarkan fakta tersebut setidaknya ada dua pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: (1) siapa paling berperan dalam olahraga sebagai fenomena sosial yang dapat membangun karakter? dan (2) strategi apa yang dapat dite rapkan agar olahraga dalam konteks sosial dapat mengembangkan karater? Olahraga dapat Membangun Karakter? Ernest Hemingway, penulis Amerika terkenal mengatakan olahraga menunjukkan
Berbagai kajian teoritis menunjukkan bahwa olahraga dapat mengembangkan karakter. 32
P ewa r a Di n a mik a m e i 2 0 1 1
bagaimana cara menang dengan kejujuran dan olahraga juga menunjukkan bagaimana kalah secara terhormat (Gill, 1982). Gagasan ini diterima pelaku dan masyarakat olahraga. Atas dasar alasan ini pula mengapa olahraga menjadi penting. Namun, keadaan dinamis dunia olahraga sebagaifenomena sosial terus berkembang sehingga mengharuskan semua pelaku olahraga untuk terus belajar tentang kejujuran, serta mengajarkan pendidikan moral dan karakter. Vince Lombardi, pelatih s epak bola berpengaruh di Amerika, mengatakan bahwa kemenangan bukan segalanya, kemenangan hanya suatu hal paling pokok (O’ Brien, 1987). Begitu pula perilaku bintang sepak bola dunia asal Argentina, Diego Maradona yang melakukan gol ”tangan Tuhan” ketika menjadi pemain dan berperilaku buruk setelah pensiun, menjadi pecandu sex bebas dan obat terlarang. Dalam konteks lain, banyak pemimpin dan pejabat di negeri ini telah menjadikan olahraga sebagai bagian dari kehidupannya tetapi tetap berperi laku tidak sportif dan dzolim, bahkan mereka tidak risih menjadikan olahraga sebagai alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasa an. Fenomena pelaku olahraga semacam itu, tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah be tul olahraga itu memiliki nilai moral sebagai sarana pendidikan dan pembentuk karakter? Dapatkah olahraga menjadi fasilitas untuk me ngembangkan karakter? Berbagai kajian teo ritis menunjukkan bahwa olahraga dapat me nge mbangkan karakter. Akan tetapi, dalam tataran praktis, fakta menunjukkan olahraga tidak selamanya dapat membangun karakter. Mendiskusikan kesenjangan antara tataran teo retis dan praktis, sulit dicapai titik temu. Da lambanyak hal khusus, tidak mudah mendidik orang melalui olahraga, adanya syahwat persaingan yang berorientasi pada keharusan untuk menang merupakan akar penyebabnya. Di sisi lain, proses perkembangan karakter seseorang dipengaruhi faktor khas yang ada pa da individu itu sendiri (faktor bawaan/nature) dan faktor lingkungan (nurture) di mana indi