7 minute read

opini

Next Article
resensi media

resensi media

kErJA rUMAh PENDiDikAN

oleh EkO TriONO

Advertisement

Pendidikan Selalu bergerak dalam dinamika sosial dan politis, baik ditentukan maupun menentukan. Oleh karena itu, refleksi atasnya juga menjadi selalu penting. Dan pada kesempatan yang baik ini, mari kita tilik lagi kerja rumah pendidikan indonesia: soal implementatif, apresiasi kecerdasaan majemukkultural, dan kesadaran atas represi.

implementatif

Paradoks pendidikan yang masih menimpa, di beberapa sektor, adalah adanya ambivalensi antara yang normatif dan empiris. kurikulum yang dihadirkan ke sekolah masih berupa salinan pemahaman sentralortodoks dari mereka yang menganggap paling ahli tentang keperluan siswa dan belum integral terhadap kondisi sosiokultural, juga geoekonomi, di mana sekolah tersebut hadir sebagai jawaban kepada masyarakat terhadap tantangan di masa kini dan masa depan. kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (kTSP) adalah usaha apresiatif atas kondisi demikian. Namun, guru dan meterinya masih cemas dan membingungkan. Dalam kalimat Agus Nuryanto (2008), “teks” yang dipelajari siswa jauh dari “konteks” di mana mereka hidup. guru belum seperti apa yang diinginkan oleh Paulo Freire (1971), belum memiliki keyakinan tinggi atas peserta didik. ia sebagian besar tampil sebagai diktator ilmu pengetahuan pembawa sesuatu yang asing dan absurd serta kebanyakan datang dari kebudayaan yang berbeda, terlebih pada sekolah di daerah jauh, sebagaimana “teks” datang sebagai alien. Akibatnya, siswa dan ilmu pengetahuan tidak saling membantu dan memiliki. ia ganjil, tak terap, tak bertumpu, dan tak menjawab.

Daerah maritim misalnya, memerlukan ilmu pengetahuan tentang pengembangan atas sumber daya yang mereka miliki, begitu juga dengan daerah agraris atau daerah lain. Namun, yang demikian hanya sebatas muatan lokal, atau di perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi baru bisa dijangkau oleh penguasa kelas ekonomi. Efeknya adalah marginalisasi kelompok lemah. Dan sekolah yang ada, yang beberapa telah bebas bea, belum diperbanyak dan dikembangkan keberadaannya.

Pengembanganpengembangan masih dominan di kota atau sentrum sosialpolitik yang dekat dengan perguruan tinggi, tempat di mana guruguru dibentuk dengan pola dan kebudayaan mereka sebelum diedarkan. Di sini kemudian perlunya diversifikasi perguran tinggi yang menyediakan guru yang memahami kondisi sosiokultural juga geoekonomi masyarakat sekolah tertuju. Jadi, tidak sentralis dan tidak pula gugup dengan program mengajar singkatcepatsaji ke daerah jauh.

Kecerdasan Majemuk-Kultural

Yang menarik adalah kalimat Mohamad Sobary (2004) yang enggan menyebut sekolah sebagai lembaga pendidikan, terkait sikap vandal sekolah kepada anak yang nakal. Anak nakal, termasuk kurang pandai dan anak difabel, tidak diakomodir oleh sekolah. ini membenarkan hipotesis Paulo Freire di atas. Atau, dalam pengertian lanjut Mohamad Sobary, guru tidak memiliki pembacaan atas masa depan. Siswa dilihat sebagai sesuatu yang kini terlagi pasif. Padahal, ada ungkapan menarik dalam film Taare Zameen Par (2007) yakni

kurikulum yang dihadirkan ke sekolah masih berupa salinan pemahaman sentralortodoks dari mereka yang menganggap paling ahli tentang keperluan siswa dan belum integral terhadap kondisi sosiokultural, juga geoekonomi, di mana sekolah tersebut hadir sebagai jawaban kepada masyarakat terhadap tantangan di masa kini dan masa depan.

opini

grandmall10.WordPress.Com

bahwa setiap anak, juga siswa, adalah istimewa. Mereka tumbuh di dunia dengan membawa ketertarikan masingmasing.

Apa jadinya jika dunia hanya dihuni oleh matematikawan dan linguis? Tanpa seniman, tanpa rohaniawan, tanpa altet, dan tanpa jenis kreator yang lain? Apa jadinya indonesia apabila siswanya terjebak dalam paradgima pemujaan eksakta, dengan memaksakan diri serta mengabaikan ketertarikan yang sesungguhnya, akibat adanya konsep positivisme berlebihan dalam pola evaluasi nasional?

Lihat saja, sumber dayanya akan tumbuh tidak kompeten dan tidak potensial, sebab tidak diajarkan mengembangkan diri dan berdialektika seluasluasnya. Tidak diajarkan, sejak dini, untuk fokus pada kemampuan dan ketertarikan diri; bukan “rakus”, apalagi terpaksa memampumampukan. inilah picu frustasi psikologis itu, yang efeknya membentuk individurentan terhadap kekerasan sosial.

Kesadaran Represi

kesadaran represi adalah kesadaran daya tekan. Penyelenggara negara harus menyadari kemampuan daya tekannya terhadap institusiinstitusi pendidikan, termasuk terhadap dirinya sendiri. Terhadap institusi pendidikan, ia merepresi di luar lingkaran. Luar lingkaran dimaksud adalah tidak menghegemoni materi pendidikan, namun lebih pada penambahan varian institusi, agar tersedia banyak pilihan, menyelenggarakan infrastruktur terbaik, serta melakukan diversifikasi perguruan tinggi. Terhadap dirinya sendiri, ia harus amanat pada UUD 1945 dari berbagai sisi.

Tanggapan baliknya, elemenelemen pendidikan harus sadar akan represirepresi, sebab setiap program pasti berdasarkan tujuan terbaik untuk pendidikan, termasuk siswa.

Otokriktik sama pentingnya dengan kerja keras: ini masih langka. Padahal, kerja keras di bawah tekanan kebijakankebijakan pendidikan terbaiklah yang membuat Jepang merestorasi diri jadi unggul. Di era ketika peraturan pasar menjadi kebijakan nasional dan global seperti ini, kerja cerdas, cekatan, dan di bawah tekanan jadi penting, terlebih dalam pendidikan.

eko triono mahasiswa Pend.bahasa dan sastra indonesia Fbs unY

opini

MENgEMBANgkAN PEriLAkU PrOSOSiAL SiSWA MELALUi PENDiDikAN JASMANi

oleh DiMYATi

Dewasa ini perilaku kekerasan yang dilakukan siswa semakin marak dan masif yang membuat prihatin masyarakat luas, terutama orang tua, pendidik dan pemerhati pendidikan. komisi Perlindungan Anak indonesia (kPAi) melaporkan, jika dilihat dari pemberitaan media massa ada peningkatan modus kekerasan di kalangan siswa seperti penusukan dan tawuran dengan berbagai senjata tajam (Tempo, 13/12/2011). kekerasan siswa paling fenomenal terjadi pada pertengahan Februari 2012. Berbagai kalangan dikejutkan perbuatan sadis yang dilakukan bocah SD berusia 13 tahun, hanya garagara telpon seluler, dia tega menusuk bertubitubi teman sekelasnya dengan luka tusuk di delapan titik, polisi pun terperanjat dengan perbuatan sadis tersebut (kompas, 17/2/2012). keterkejutan banyak pihak sangat beralasan. Bayangkan seorang anak kecil yang belum mencapai masa remaja akhir sudah mampu melakukan perbuatan keji terhadap temannya sendiri! kekerasan dan perbuatan sadis siswa tersebut memberi pelajaran berarti bagi semua orang tua agar tidak melupakan perhatian kepada buah hati mereka yang sangat diperlukan oleh remaja seusia itu. Di sisi lain ada tanggung jawab bagi lembaga pendidikan formal di sekolah untuk mengembangkan aspek afektif siswa. Menurut hendirato seorang psikolog, tindak kekerasan di kalangan siswa terjadi akibat kurikulum pendidikan yang terlalu mementingkan aspek kognitif. Siswa adalah kalangan muda yang memiliki energi besar, seharusnya energi itu diapresiasi sekolah secara proporsional, misalnya melalui penyaluran bakat siswa di bidang olahraga, namun kurikulum tidak mampu mengapresiasinya (kompas, 22/11/2011).

Bisa jadi berbagai tindak kekerasan yang dilakukan siswa disebabkan terabaikannya pendidikan afektif yang dilaksanakan di sekolah. Tantangan bagi para guru (Penjas) untuk memiliki komitmen kuat dalam mengimplementasikan pendidikan karakter, khususnya perilaku prososial kepada siswa.

Perilaku Prososial dan Pengembangannya Melalui Penjas

Perilaku prososial diartikan sebagai tindakan suka rela untuk membantu yang bermanfaat bagi orang lain. hasil perilaku prososial dapat meningkatkan hubungan positif dengan orang lain, dengan istilah umum yang sering dipakai adalah simpati dan empati seperti yang dinyatakan Liukkonen, dkk. (2007). Perilaku kerjasama dan interaksi sosial anak akan meningkat dengan semakin bertambahnya usia. Berbagai kajian telah menunjukkan, siswa yang dikembangkan nilainilai kerjasamanya lebih memiliki sikap suka menolong daripada siswa yang dikembangkan penuh persaingan. hubungan interpersonal yang konkrit melalui Penjas merupakan hal penting sebagai prakondisi untuk belajar keterampilan sosial seperti memberi dorongan psikologis, peduli terhadap orang lain, menerima pertimbangan orang lain, berbagi dan menerima bantuan dalam wujud fisik. Melalui interaksi dengan sesama siswa dan guru, siswa akan belajar memahami dan menginternalisasi keterampilanketerampilan sosial yang dibutuhkan untuk bekerja sama dengan orang lain. interaksi guru dan siswa memainkan peran penting dalam pembentukan sikap, motivasi, kenyamanan,

Satu yang pasti kasus ini adalah potret gagalnya sebuah lingkungan mengajari anak (lingkungan tempat tinggal anak/keluarga maupun lingkungan pendidikan di sekolah).

dan keberhasilan siswa dalam Penjas seperti disampaikan koka & hein (2006). guru Penjas, menurut Laker (2000), harus memberikan perhatian kepada aspek sosial dan psikologis siswa dan mampu merasakan perasaan mereka. Partisipasi aktivitas fisik dan bermain dapat menghasilkan perasaan yang mendalam, dan pengakuan serta penghargaan atas emosi siswa, kesemua ini dapat menambah kenikmatan dan pemahaman tentang keterlibatan siswa dalam aktivitas fisik.

Prinsip Umum Mengembangkan Perilaku Prososial Melalui Penjas

keberhasilan Penjas dapat meningkatkan perilaku sosial sangat bergantung pada cara pengaturan sosial dan jenis metode mengajar yang dipakai. kunci utama dalam mengajarkan nilai perilaku sosial adalah learning by doing. Learning by doing dalam konteks ini diartikan siswa bekerja dan berinteraksi sesama teman. guru yang dominan menggunakan metode komando akan menjadikan siswa terkekang dan terbatas kesempatannya untuk bekerjasama dengan orang lain. Di sisi lain, guru yang menekankan persaingan dalam mengajar beresiko menghasilkan siswa yang agresif.

Berbagai penelitian sebagaimana dinyatakan kohn (1986) menunjukkan individu yang dibentuk dalam suasana penuh persaingan menunjukkan penurunan tingkat empati. Dengan kata lain, Penjas dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan perilaku prososial bila proses pembelajarannya menekankan latihan bersama dan bekerjasama bukan dengan cara komando.

Peran Perguruan tinggi untuk Mengembangkan Perilaku Prososial Siswa

Banyak metode dapat diaplikasikan dalam Penjas untuk mgembangkan perilaku prososial siswa, di antaranya: (1) Reciprocal Teaching Style (Mosston & Aswort, 2002); (2) Cooperative Learning (Dyson, 2001); (3) Teaching Responsibility Through Physical Activity (hellison, 2003); (4) Positive Behavior Management in Physical Activity Settings (Lavay, French dan hendrson, 2006), dan lainlain. guna meningkatkan kompetensi dalam mengembangkan perilaku prososial siswa metode tersebut perlu dipahami guru. Melalui metode itu dapat mengembangkan ranah afektif siswa. Dyson dan rubin (2003), menegaskan, “Cooperative learning improve motor skills, develop social skills, work together as a team, help others improve skills, take responsibility for their own learning, learn to give and receive feedback, and develop responsibility “.

Berbagai metode itu dapat dielaborasi dan dijadikan mata kuliah tersendiri dalam kurikulum, misalnya dengan nama mata kuliah Pembelajaran Afektif Penjas. Ada tanggung jawab bagi perguruan tinggi (PT) eksikiP yang membuka Progam Studi Penjas untuk meningkatkan kompetensi pedagogis calon guru Penjas dalam pengajaran efektif (perilaku prososial) melalui program preservice education.

Sayang, hingga kini baru segelintir PT eksikiP yang peduli dan serius menggarap pembelajaran afektif melalui Penjas, sebagian besar PT eksikiP masih berkutat pada wacana dan berbagai jargon, jauh dari implementasi. Padahal pembelajaran afektif melalui Penjas selain selajan dengan program kemendikbud yang sedang menggalakkan pendidikan karakter, juga sebagai sarana edukatif guna mereduksi perilaku kekerasan di kalangan siswa. Semoga.

dimYati dosen Jurusan Pendidikan olahraga Fik unY

This article is from: