opini Kerja Rumah Pendidikan o l e h E ko T ri ono
P
endidikan Selalu bergerak dalam dina mika sosial dan politis, baik ditentu kan maupun menentukan. Oleh karena itu, refleksi atasnya juga menjadi se lalu penting. Dan pada kesempatan yang baik ini, mari kita tilik lagi kerja rumah pendidikan Indonesia: soal implementatif, apresiasi kecer dasaan majemuk-kultural, dan kesadaran atas represi. Implementatif Paradoks pendidikan yang masih menimpa, di beberapa sektor, adalah adanya ambivalensi antara yang normatif dan empiris. Kurikulum yang dihadirkan ke sekolah masih berupa salin an pemahaman sentral-ortodoks dari mereka yang menganggap paling ahli tentang keper luan siswa dan belum integral terhadap kondi si sosio-kultural, juga geo-ekonomi, di mana se kolah tersebut hadir sebagai jawaban kepada masyarakat terhadap tantangan di masa kini dan masa depan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah usaha apresiatif atas kondisi demikian. Namun, guru dan meterinya masih cemas dan membingungkan. Dalam kalimat Agus Nuryan
Kurikulum yang dihadirkan ke sekolah masih berupa salinan pemahaman sentral-ortodoks dari mereka yang menganggap paling ahli tentang keperluan siswa dan belum integral terhadap kondisi sosio-kultural, juga geo-ekonomi, di mana sekolah tersebut hadir sebagai jawaban kepada masyarakat terhadap tantangan di masa kini dan masa depan. 44
P ewa r a Di n a mik a m e i 2 0 1 2
to (2008), “teks” yang dipelajari siswa jauh dari “konteks” di mana mereka hidup. Guru belum seperti apa yang diinginkan oleh Paulo Freire (1971), belum memiliki keya kinan tinggi atas peserta didik. Ia sebagian be sar tampil sebagai diktator ilmu pengetahuan pembawa sesuatu yang asing dan absurd ser ta kebanyakan datang dari kebudayaan yang berbeda, terlebih pada sekolah di daerah jauh, sebagaimana “teks” datang sebagai alien. Aki batnya, siswa dan ilmu pengetahuan tidak sa ling membantu dan memiliki. Ia ganjil, tak te rap, tak bertumpu, dan tak menjawab. Daerah maritim misalnya, memerlukan ilmu pengetahuan tentang pengembangan atas sum ber daya yang mereka miliki, begitu juga den gan daerah agraris atau daerah lain. Namun, yang demikian hanya sebatas muatan lokal, atau di perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi baru bisa dijangkau oleh penguasa kelas ekonomi. Efeknya adalah marginalisasi kelom pok lemah. Dan sekolah yang ada, yang be berapa telah bebas bea, belum diperbanyak dan dikembangkan keberadaannya. Pengembangan-pengembangan masih dom inan di kota atau sentrum sosial-politik yang dekat dengan perguruan tinggi, tempat di ma na guru-guru dibentuk dengan pola dan kebu dayaan mereka sebelum diedarkan. Di sini kemudian perlunya diversifikasi perguran tinggi yang menyediakan guru yang memaha mi kondisi sosio-kultural juga geo-ekonomi masyarakat sekolah tertuju. Jadi, tidak sentra lis dan tidak pula gugup dengan program men gajar singkat-cepat-saji ke daerah jauh. Kecerdasan Majemuk-Kultural Yang menarik adalah kalimat Mohamad So bary (2004) yang enggan menyebut sekolah se bagai lembaga pendidikan, terkait sikap vandal sekolah kepada anak yang nakal. Anak nakal, termasuk kurang pandai dan anak difabel, tidak diakomodir oleh sekolah. Ini membenarkan hipotesis Paulo Freire di atas. Atau, dalam pengertian lanjut Mohamad Sobary, guru tidak memiliki pembacaan atas masa depan. Siswa dilihat sebagai sesuatu yang kini terlagi pasif. Padahal, ada ungkapan me narik dalam film Taare Zameen Par (2007) yakni