9 minute read

opini

Next Article
dari redaksi

dari redaksi

kADO bUlAN bAHASA

Oleh ArISkA PrASetYANAWAtI

Advertisement

Seorang karib yang pernah mencicipi tinggal di Australia dalam program pertukaran pelajar pernah berseloroh betapa dongkolnya ia saat diejek sebagai tukang bangunan oleh bule yang kediamannya dijadikan homestay. “Dasar tukang bangunan!” ejek si bule yang mengetahui karib saya sedang memasak mi rebus tanpa mencuci muka lebih dulu sebangun dari tidurnya. kontan saja karib saya yang memang sangat lapar manyun dan seketika kehilangan selera makan. bagaimana tidak, kalimat yang diluncurkan si bule terdengar fasih dengan intonasi suara yang tepat; tinggi dan keras membentak. Melihat perubahan situasi itu, si bule sadar akan kekasarannya. “Maafkan saya. Saya hanya becanda,” ucap si bule, lagi-lagi dengan artikulasi yang benar.

Saat ini bahasa Indonesia sudah tidak terlalu asing lagi di beberapa negara. Sebut saja di Australia, yang sudah memasukkan kurikulum bahasa Indonesia ke dalam sistem pendidikannya. Di negeri kanguru ini, bahasa Indonesia mendapatkan tempat istimewa, yaitu sebagai bahasa populer keempat. Ada sekitar 500 sekolah pada tingkat pendidikan dasar yang mengajarkan bahasa Indonesia.

Selain itu, dari berbagai sumber mengenai data beberapa negara di seluruh dunia yang mengajarkan bahasa Indonesia, masih ada sekitar 44 negara yang telah mengajarkan bahasa Indonesia dalam sistem kurikulum pendidikan. Di antaranya adalah Amerika Serikat, vietnam, Jepang, dan kanada. Untuk negara di kawasan ASeAN yang saat ini paling gencar mempromosikan bahasa Indonesia adalah negara vietnam. Di negara tersebut, posisi bahasa Indonesia sejajar dengan bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang sebagai bahasa resmi yang dipriotitaskan. bahkan di negara ini, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa vietnam.

Di negara matahari terbit, di tingkat perguruan tinggi, bahasa Indonesia ditawarkan sebagai mata kuliah pilihan maupun sebagai kajian untuk mendapatkan gelar kesarjanaan baik gelar S1 maupun S2. Ada sekitar 20 perguruan tinggi di Jepang yang menawarkan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pilihan. Sedangkan beberapa universitas lainnya menawarkan program kajian bahasa Indonesia adalah Universitas tenri, Universitas kajian Asing tokyo, Universitas kajian Asing Osaka, Universitas Setsunan, dan Universitas Sango kyoto.

Oktober sebagai Bulan Bahasa

bahasa Indonesia dibagi menjadi dua fungsi, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. bahasa negara berfungsi sebagai bahasa resmi dalam pemerintahan, bahasa pengantar dalam pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan bahasa nasional digunakan dalam pergaulan antarsuku sebagai kebanggaan dan identitas nasional. bahasa ini diaplikasikan agar tercipta satu kepaduan dan konektivitas yang sama. bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang merupakan linguafranca (bahasa pergaulan) di zaman pejajahan di daratan semenanjung Malaka, Sumatera, dan Jawa. Untuk kemudian, dalam UUD 1945 tahun 1945 ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. lantas, bagaimana asal mulanya bulan Oktober dikukuhkan sebagai bulan bahasa? Perkara mudah. bulan Oktober adalah bulan yang memiliki makna sejarah sangat besar bagi bangsa Indonesia karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus sebuah komitmen para pemuda Indonesia yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda. Salah satu bunyi butir sumpah yang disepakati adalah “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Dengan memiliki bahasa Indonesia, bangsa Indonesia dapat menunjukkan jati dirinya. Inilah fungsi bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. bukankah ada ungkapan “bahasa men-

bahkan di negara ini, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa vietnam.

unjukkan bangsa”. Dari sini seharusnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bangga terhadap bahasa Indonesia. Selain itu, sikap positif kita dapat pula ditunjukkan melalui pemakaian bahasa yang sesuai keperluan. Artinya, penggunaan bahasa asing hanya akan dilakukan bila memang diperlukan karena tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. kedwibahasaan atau ketribahasaan tidak merugikan, bahkan menguntungkan pemakai bahasa, asal tidak mengorbankan bahasa kebangsaan sendiri. Sehingga dalam rumusan Sumpah Pemuda butir ketiga, para pendahulu kita pun tidak memaksakan kita untuk ”berbahasa satu”, tetapi ”menjunjung bahasa persatuan”.

Usul Menjadi Bahasa ASEAN

bukankah politik luar negeri bisa berlangsung karena adanya komunikasi? bukankah komunikasi bisa berlangsung karena adanya bahasa? Peran bahasa amatlah vital bagi negara. Ia adalah tiang konektivitas dalam menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara.

Selama ini negara-negara di kawasan ASeAN selalu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bisa jadi juga hal ini karena beberapa negara ASeAN adalah negara Persemakmuran, yaitu kelompok negara-negara bekas jajahan Inggris raya seperti Malaysia, Singapura, dan brunei Darussalam. Dua negara lainnya yang merupakan sekutu Amerika Serikat, yaitu Filipina dan thailand juga pasti akan senang jika menggunakan bahasa Inggris. bagaimana jika ASeAN punya bahasa resmi di luar bahasa Inggris? Jika memang ada, tentunya akan memberi nilai lebih serta kebanggaan sebagai “bangsa” Asia tenggara. lalu, bahasa apa yang layak dijadikan bahasa ASeAN? Pemerintah Indonesia tampaknya tidak mau lengah menghadapi situasi ini. Pada Sidang Umum ke-31 AIPA (ASeAN Inter Parliamentary Assembly) di Hanoi, vietnam, September 2010, (dilanjutkan pada Sidang umum ke-32 AIPA di Phnom Penh, kamboja, September 2011) Pemerintah Indonesia mengusulkan agar bahasa Indonesia dijadikan salah satu bahasa resmi ASeAN. bukan tanpa alasan keinginan ini. Secara kuantitas pemakai, bahasa Indonesia yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu lebih unggul dari bahasa Melayu itu sendiri. Menurut ethnologue, pemakai bahasa Indonesia sejumlah 260 juta orang. Jumlah ini mengalahkan bahasa Melayu yang hanya dipakai resmi di Malaysia dengan penduduk sekitar 27 juta jiwa, brunei yang kurang dari 400 ribu orang, dan sebagian dari 4 juta penduduk Singapura.

Menurut hemat saya, dengan semua penjabaran di atas, bahasa Indonesia sudah memenuhi 2 syarat sebuah bahasa layak menjadi bahasa dunia. Pertama adalah jumlah penutur bahasa Indonesia lebih besar dibanding penutur bahasa Melayu dan bahasa lainnya yang ada di Asia tenggara. Selain itu, luas penyebaran bahasa Indonesia sudah merambah ke berbagai negara di dunia dan banyak dipelajari oleh warga negara lain. Potensi bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia sangat memungkinkan. Hal ini dapat dilihat dari mudahnya mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia karena dalam bahasa Indonesia tidak mengenal tenses yang kompleks seperti pada bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Walau pengaplikasiaannya masih memerlukan waktu yang panjang, ditambah lagi masih adanya penolakan dari Negara thailand dan Filipina yang lebih mencintai bahasa Inggris, kesempatan ini tidak boleh disia-siakan begitu saja. Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia memberikan kado teristimewa ini untuk bulan bahasa di tahun-tahun berikutnya karena memang bahasa Indonesia sangat layak diperhitungkan di mancanegara.

Namun, kita tetap harus bijak membaca situasi kelak. Jangan sampai hal ini menjadi bumerang yang menyakitkan. Misalnya, penguasaan (nama lain dari penjajahan) dari negara lain masuk ke Indonesia karena Indonesia mempunyai posisi yang strategis dan mudah dikuasai karena bahasanya sudah dimengerti banyak warga asing. Porsi inilah yang menjadi tugas besar bagi generasi muda Indonesia untuk terus mempertahankan “kekuatan” bahasa Indonesia.

ariska PrasetYanawati mahasiswa Bahasa dan sastra UnY

opini

kalam

opini

SAAtNYA SePrODUktIF bUYA HAMkA

Oleh SUDArYANtO, S.Pd.

Seorang teman pernah curhat kepada penulis. Ia curhat perihal kesibukannya mengajar sebagai dosen. Selain menjadi dosen di sebuah PtN di Yogyakarta, ia juga mengajar di dua-tiga kampus PtS. Ia akui, kesibukannya mengajar berimbas pada kelelahan fisiknya, terutama saat pelaksanaan dan pasca-ujian di akhir semester. Selain itu, ia akui pula sempitnya kesempatan melakukan penelitian guna memenuhi salah satu bagian dari tri Dharma Pt.

Dari curhat tadi, kini kita beralih ke sosok buya HAMkA (Haji Abdul Malik karim Amrullah), seorang cendekiawan Muslim dan sastrawan terkemuka. Meski buya HAMkA bukanlah seorang sarjana, tetapi ia diberikan kesempatan oleh Menteri Agama kH Wahid Hasyim (saat itu) untuk mengajar di beberapa Pt, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa. Uniknya, di tengah kesibukannya mengajar ia masih sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul karim Amrullah. tanpa bermaksud membandingkan kedua cerita di atas, penulis sekadar berbagi renungan: apakah kesibukan mengajar berpengaruh besar pada kesempatan para dosen dalam menulis dan meneliti? Jawabannya, bisa ya bisa tidak. Dikatakan ya, jika cerita pertama yang dijadikan acuan; sementara dikatakan tidak, jika cerita kedua yang dijadikan sandaran. Sebelum kita ulas lebih jauh, simaklah lembaran kisah intelektual dan kepenulisan buya HAMkA berikut.

Di usianya yang belia, 16 tahun, buya HAMkA sudah merantau seperti kebiasaan orang muda Minang pada umumnya. Ia pergi ke Yogyakarta guna menuntut ilmu dari berbagai tokoh pergerakan Islam, seperti ki bagus Hadikusumo, H Oemar Said tjokroaminoto, rM Soejopranoto, dan kH Fakhruddin. Dari merekalah, jiwa aktivis dalam diri buya HAMkA tumbuh dan mengakar kuat. Ia pulang ke Padangpanjang, dan berkiprah di Muhammadiyah.

Dan di usianya yang belia pula, 19 tahun, buya menunaikan ibadah haji ke tanah Suci serta menuntut ilmu agama selama enam bulan di sana. Setelah itu, ia kembali ke tanah Air, dan beberapa tahun kemudian ia pindah ke Medan. Sejak tahun 1938, perlahan tapi pasti, buya HAMkA mulai mengasah kemampuan intelektual dan kepenulisannya, sekaligus memimpin majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam.

Nah, sejak itulah berbagai artikel keagamaan serta cerita pendek ditulisnya dengan bahasa dan logika yang sedemikian jernih. tak hanya itu, bakatnya sebagai orator juga amat memukau. Di periode inilah, buya HAMkA berhasil menorehkan penanya dan menghasilkan beberapa roman, seperti Di Bawah Lindungan ka’bah, Tenggelamnya kapan van Der Wick, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah kehidupan. bersamaan itu, tawaran mengajar diberikan oleh Menteri Agama kH Wahid Hasyim (saat itu) untuknya. beberapa Pt yang sempat menjadi tempat mengajar buya HAMkA itu, antara lain, Perguruan tinggi Agama Islam Negeri (Pt AIN) Yogyakarta, Univeritas Islam Jakarta, Fakulas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).

Di tengah saldo kesibukannya mengajar, buya HAMkA kembali menunaikan ibadah haji ke tanah Suci. Persis dengan kali pertama berhaji pada 24 tahun silam, ia juga melakukan lawatan ke beberapa negara yang berada di kawasan Semenanjung Arab. Sekembalinya dari lawatan itu, ia peroleh inspirasi menulis karya sastra. Alhasil, lahirlah beberapa romannya, seperti Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Atas kemampuan intelektual dan kepenulisannya, Universitas Al-Azhar, kairo, Mesir memberikan gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC) kepada buya HAMkA. Selang beberapa tahun

Uniknya, di tengah kesibukannya mengajar ia masih sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul karim Amrullah.

opini

istimewa

kemudian, giliran Universitas kebangsaan Malaysia yang memberikan gelar serupa kepadanya. Saat itu, PM Malaysia tun Abdul razak berkata, “HAMkA bukan lagi hanya milik bangsa Indonesia. tetapi juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia tenggara.”

Dari sekelumit kisah buya HAMkA di atas, kiranya ada hikmah yang dapat dipetik. Pertama, menulis pada hakikatnya tidak hanya dilakukan oleh mereka yang bergelar sarjana, magister, doktor, dan bahkan profesor. Menulis, dalam batas-batas tertentu, lebih merupakan sarana untuk mengikat ilmu kita masing-masing agar lebih luas, lebih dalam, dan lebih bermanfaat bagi sesama. Di titik ini, menulis, katakanlah menjadi sarana berdakwah. kedua, menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa sejatinya dapat dikembangkan, didayagunakan secara simultan dengan ketiga keterampilan berbahasa lainnya, seperti membaca, menyimak, dan berbicara. Secara hipotesis, apabila ada pengajar (dosen/guru) yang lebih sibuk mengajar di mana-mana, ada kemungkinan dia akan bersikap “malas” dalam mengembangkan dan mendayagunakan kemampuan membaca-menulisnya. ketiga, menulis pada prinsipnya adalah suatu proses yang tidak sekali jadi, apalagi cukup berkata “Simsalabim!” Untuk dapat menghasilkan artikel, misalnya, seseorang dituntut untuk menemukan isu aktual di koran, menuliskannya ke dalam lembar demi lembar. begitu pun karya berupa buku. Para dosen, seperti teman penulis, memiliki peluang menulis buku secara luas, yakni dengan menulis makalah/artikel ilmiah, dan dikumpulkan menjadi buku.

Semisal, taruhlah seorang dosen linguistik diundang menjadi pemakalah dalam rentang satu tahun sebanyak lima seminar, kemudian dia juga menulis artikel ilmiah, baik dari penelitian mandiri maupun berhibah sebanyak enam artikel. Maka, dosen bersangkutan dapat mengumpulkan 11 makalah/artikel ilmiah untuk diterbitkan menjadi buku. Cara-cara begini telah dilakukan oleh Prof Dr kuntowijoyo (sejarawan UGM) dan Prof Dr Suyanto (mantan rektor UNY). terakhir, ide-ide menulis dapat diperoleh, salah satunya dari melakukan perjalanan (rihlah). Seorang penulis alangkah baiknya selalu rihlah guna menyegarkan jiwa sekaligus spirit menulisnya. Dari situlah, jiwa seorang penulis dapat berkelana dan terus-menerus mereguk manisnya ilmu. Alhasil, karena manisnya ilmu tadi, seorang penulis terus-menerus belajar, belajar, dan belajar. Persis yang dilakukan buya HAMkA pada kisah di atas.

sUdarYanto, s.Pd. peneroka bahasa, penulis buku menguangkan ide

This article is from: