cerpen
Bunga di Atas Sampah O l e h D hian Hapsari Perempuan itu masih duduk terdiam di sudut yang sama, sedangkan bulan sudah lama pergi. Hampir tiap malam ia habiskan waktu di sudut itu dan melepaskan punggung dari sandarannya saat matahari telah tinggi. Entah apa yang ia pikirkan. Ia duduk menengadahkan ke pala di atas tumpukan sampah plastik bungkus makanan ber campur sampah lainnya. Baunya bacin juga ditambahi ken cing anjing jalanan dan laki-laki yang tidak pernah menjaga kemaluannya. Ia menghirup aroma busuk itu layaknya bau tubuhnya, bahkan ia merasa tidak pernah mengenali bau busuk itu sebelumnya. Sesekali ia memperbaiki duduknya. Pantatnya yang masih setebal dulu itu menekan air kencing yang belum kering. Orang-orang menyebutnya gila, tapi ia tidak pernah mera sa risih. Itu hanya anggapan orang, katanya suatu ketika. Baginya hidup adalah keceriaan yang tiada akhir yang hanya akan hilang bila kematian menjemputnya untuk mendapati episode komedi selanjutnya. Pernah suatu malam, di kala ia duduk seorang diri, laki-laki pemabuk mendatanginya. Ia keluarkan kemaluan yang telah penuh itu menghadap sudut tempat perempuan itu duduk. Dasar orang mabuk, ia tidak memperhatikan ada orang duduk di sudut becek tempat kencing. Langsung kencing sajalah ia di sana. Perempuan yang duduk mengangkat tangannya dari balik baju kemudian memegang kemaluan laki-laki itu. Kontan teriakan keras menggema membentur dinding-dinding hitam yang tinggi. Kota Venesia memang tidak pernah berdinding rendah. Ditariknya laki-laki sampai jatuh tersungkur. Masih dalam keadaan mabuk. Laki-laki mengerang kesakitan, tapi justru membuat si perempuan kegirangan tiada tara. Tertawa-tawa ia seperti baru saja mendapatkan mangsa. Ia kelaparan berhari-hari dan laki-laki itu roti lezat yang siap makan. “Kau, dasar perempuan gila!” laki-laki menyumpah sera pahi. “Kau, dasar laki-laki tidak tahu malu,” perempuan membalasnya. “Kau! Binatang busuk,” dijawab oleh laki-laki. “Kau! Manusia busuk,” dibalas lagi. “Kalau bukan binatang busuk, mana mungkin kau duduk di tempat kotor seperti itu?” “Kalau kau manusia, mana mungkin kau membuang ko42
Pewara Dinam i ka a g u s t u s 2 0 0 9
toranmu seperti binatang?!” Laki-laki itu berdiri dengan bersusah payah meninggalkan perempuan itu sambil mengomel-ngomel sendiri. “Percuma bicara dengan orang gila.” Laki-laki itu berjalan limbung. Celananya yang robek karena ditarik-tarik perempuan tadi membuat “barangnya” dibiarkan terbuka. Berjalan ia di jalan ramai. Belum ada satu meter, patroli datang. Patroli dari dinas sosial itu menciduknya, lalu menjebloskannya ke rumah sakit jiwa. Depresi berat. Vonis yang dijatuhkan dokter. Seminggu lalu, perempuan itu juga pernah kena ciduk. Diseret ia dan ditanyai macam-macam, tapi anehnya, si perem puan selalu bebas dari jeratan. Ia tidak gila. Tidak pernah gila. Mungkin orang yang tidak pernah mengenal dia akan bertanya-tanya mengapa perempuan ini tidak pernah dimasukkan rumah sakit jiwa. Namun kalau kau bertanya pada laki-laki saleh yang lebih sering menghabiskan waktunya di masjid tua, kau pasti makfum. Dulu perempuan itu sangatlah cantik dan memiliki suara yang sangat merdu. Setiap laki-laki, yang pasti laki-laki kaya, akan terpesona mendengarkan ia berlagu. Penyanyi ini dihargai ratusan ribu setiap membuka suara indahnya di atas panggung. Nyanyiannya pun bukan nyanyian sembarangan. Ia seorang guru yang sangat dalam ilmunya, yang disebarkan khusus dengan nyanyian. Hampir setiap hari, ia mencip takan sebuah lagu. Dan, beberapa laki-laki saleh di gereja dan masjid itulah yang merekam ataupun mencatat syairnya setiap kali ia berpetuah. Bukan itu saja, beberapa pemimpin di kota besar itu bah kan secara khusus menemuinya hanya untuk meminta pertimbangan. Kasus-kasus besarlah yang mau ia dengar, selebihnya paling-paling berakhir dengan ludah di atas tanah. Lantas, mengapa ia memilih tempat buruk yang menjijik kan untuk dilihat? Paling tidak, menurut penganggapan orang banyak. Setiap kali ia ditanyai tentang sikapnya, ia hanya akan tertawa, memperlihatkan giginya yang kuning dan besar. “Kau tidak akan pernah tahu jawabannya, sebelum kau mengerti tentang makna nyaman.” “Apakah menurutmu ini nyaman?” tanya laki-laki saudagar kaya yang akan membelikannya rumah, andaikan ia mau menjadi penasehat pribadi. “Ya, nyaman dari apapun. Ini membuatku aman dari lakilaki yang hanya menginginkan kenikmatan jasmani. Yang