Devotional
365 Renungan Harian untuk Lebih Dekat Kepada-Nya
Originally published in the U.S.A. under the title:
One Year® Experiencing God’s Presence Devotional, by Chris Tiegreen Copyright © 2011 by Chris Tiegreen Indonesian Edition © 2013 by PT. Visi Anugerah Indonesia with permission of Tyndale House Publisher, Inc. All rights reserved. Managing Editor Tim Redaksi Cover Layout Proof Reader
: James Yanuar : Andina Rorimpandey, Denny Pranolo, Lenny Wati Kusnadi dan Jonathan Arifin : Denny Octavianus : Felly Meilinda : Christiady Cohen
Hak terjemahan Bahasa Indonesia ada pada: PT. VISI ANUGERAH INDONESIA Jl. Karasak Lama No.2 - Bandung 40235 Telpon : 022-522 5739 Fax : 022-521 1854 Email : visipress@visi-bookstore.com ISBN 978-602-8073-97-4 Cetakan pertama, November 2013 Indonesian Edition © visipress 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin Penerbit. Member of CBA Indonesia No : 05/PBL-BS/1108/CBA-Ina
Member of IKAPI No : 185/JBA/2010
Pendahuluan
K
ita semua merindukan Hadirat Allah. Dan, kita tidak selalu bisa merasakannya. Tetapi bagi kebanyakan orang, iman kita cenderung mudah terjebak ke dalam agama yang dijejali oleh beragam keyakinan teologis tentang Allah dan firman-Nya, perintah-perintah yang tertuang dalam Alkitab, prinsip yang diajarkan langkah demi langkah, serta “penerapan” yang lazim. Ada kalanya, apa yang kita sebut sebagai “relasi dengan Allah” terasa tak lebih dari relasi dengan semua keyakinan dan perilaku yang saya sebutkan tadi. Kita berelasi dengan perkataan yang dicetak di selembar kertas, dengan para jemaat gereja, perbuatan rohani, aktivitas pelayanan, serta perasaan wajib di dalam batin kita untuk melakukan hal yang benar—sesudah semua itu terpenuhi barulah kita merasa berelasi dengan Allah. Apa yang kurang? Pertemuan yang sesungguhnya dengan-Nya. Kepastian bahwa kita sungguh-sungguh telah mendengar suara-Nya. Merasakan Hadirat-Nya secara nyata. Sensasi nyata akan Hadirat Allah itulah yang sesungguhnya sangat kita perlukan. Ada kalanya kita bisa merasakannya sejenak, dan kita tahu kebutuhan ini tak pernah terpuaskan dan tak dapat memenuhi bagian yang kekal ini. Walaupun demikian, kita ingin lebih lagi. Kita perlu merasakan sentuhan-nya. Dan memang kita bisa. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk lebih menyadari kehadiran-Nya dan menempatkan diri untuk lebih sering mengalami-Nya, asalkan kita tahu di mana Dia dan bagaimana Dia menyatakan diri-Nya. Allah itu Mahahadir. Kita tak bisa melarikan diri dari-Nya semau kita. Tentu saja, kita pasti tak ingin melakukannya. Jadi kalau memang Dia selalu beserta kita, mengapa repot-repot membahas Hadirat-Nya seperti seakan-akan ada pasang-surutnya? Itu karena terdapat perbedaan antara Hadirat-Nya dengan pengalaman kita mengenainya. Seberapa pun besarnya keinginan kita untuk menyadari kehadiran-Nya, ternyata kita tidak cukup awas. Kita tidak hanya ingin Dia hadir, tetapi kita ingin sungguh-sungguh bertemu dengan-Nya. Kesadaran kita barulah separuh dari apa yang kita perlukan untuk mengalami Hadirat Allah, sedangkan separuhnya lagi ada di tangan-Nya. Dia yang datang pada kita. Walaupun Dia ada di segala tempat di segala masa, Dia tidak mewujudkan kehadiran-Nya di setiap tempat dan di setiap masa. Kitab Suci memaparkan perbedaan ini dengan jelas: terkadang Dia “hadir,” dan terkadang tidak (lihat contohnya di Keluaran 33:3, 14-15). Pastilah Kitab Suci tidak merujuk pada kemahahadiran-Nya, melainkan pada aspek Hadirat-Nya yang lebih intens, lebih nyata, lebih terasa, dan riil pada momen-momen tertentu dibandingkan momen lainnya. Ada kalanya Dia menampakkan diri-Nya dengan cara yang menakjubkan.
Buku renungan ini berbicara mengenai kedua sisi permasalahan ini: menjadi semakin menyadari Hadirat Allah serta mengalami Dia manakala Dia mendekat. Sisi pertama merupakan apa yang kerap disebut sebagai “melatih kepekaan untuk merasakan Hadirat Allah”—yaitu belajar mengenali kedekatan-Nya. Yang kedua adalah menempatkan diri untuk menghadapi Hadirat-Nya tatkala Dia menunjukkan diri, memiliki sikap dan ekspektasi yang dapat mempersiapkan kita untuk berjumpa dengan-Nya. Kita akan menjajaki arti manakala Dia berkata bahwa Hadirat-Nya akan menyertai kita, atau bahwa Dia dekat kepada mereka yang rendah hati dan remuk hatinya, tetapi jauh dari orang yang congkak, atau bahwa Dia mendekat pada kita saat kita mendekat pada-Nya. Tanpa meremehkan fakta bahwa Dia selalu hadir, kita akan membahas beraneka level dan derajat Hadirat-Nya, serta bagaimana “lebih” mengalami Dia. Apabila Kitab Suci bisa membahas semua ini, kita pun bisa. Dengan mengarahkan fokus pada kedua target di atas—kesadaran kita dan kedekatan-Nya—bacaan setiap hari dalam buku ini ditutup dengan doa agar kita didekatkan pada Hadirat Allah atau agar Hadirat-Nya terasa lebih nyata bagi kita. Doa-doa tersebut merupakan undangan untuk masuk ke dalam kebenaran yang terkandung dalam renungan ini serta melibatkan Allah terkait kebenaran itu. Apabila Anda merasa terdorong untuk merespons atau berdoa dengan cara lain, lakukanlah. Ada kalanya doa-doa seperti ini tampak seperti dipaksakan karena, walaupun merupakan permohonan yang keluar dari hati penulis, tetapi belum tentu keluar dari hati pembacanya. Masalahnya ada orang yang memerlukan ide ataupun dorongan semangat untuk mengambil langkah berikutnya sesudah mereka membaca atau menerima kebenaran rohani. Doa-doa ini diusulkan sebagai langkah berikut tersebut. Apabila Anda memakai doa-doa itu, bahkan jika terasa canggung pada awalnya, lalu mengimani dan menghayatinya, niscaya doa-doa tersebut mengubah hidup Anda secara radikal. Seiring waktu, Anda akan semakin rutin menyadari kedekatannya, lebih jelas mendengar suara-Nya, dan lebih mudah mengalami sentuhan-Nya. Barangkali ada yang menganggap konsep mengalami Hadirat Allah sebagai sesuatu yang mistis, dan itu tidak salah. Itu karena secara alamiah iman Kristiani memang bersifat mistis. Yesus pernah berbicara kepada para murid-Nya mengenai kesatuan-Nya dengan mereka, serta mengenai roh Kudus yang datang untuk berbicara kepada mereka (lihat Yohanes 14:16-20; 17:22-23). Sedangkan Paulus menulis mengenai pertemuannya dengan Yesus dalam perjalanan ke Damaskus dan wahyu Ilahi mengenai tingkat sorga ketiga (baca 2 Korintus 12:1-4). Pada umumnya Kitab Suci pun dipenuhi oleh kesaksian banyak orang yang bertemu dengan Allah dan mendengar suara-Nya. Jadi jelas bahwa Alkitab menggambarkan hubungan mistis antara Yesus dan mereka yang percaya kepada-Nya. Bacaan renungan ini merupakan langkah harian agar kita dapat mengalami relasi itu dengan cara yang lebih mendalam dan penuh kuasa.
Januari 01 Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Yohanes 15:5
H
adirat Allah adalah segala-galanya dalam kehidupan Kristiani. Mungkin kedengarannya berlebihan. Tentunya ketaatan itu penting, demikian juga dengan menghasilkan buah, mengasihi dan berbelas kasihan, berdoa, bertumbuh dalam iman, mengatasi masalah, membina hubungan sosial, dan masih banyak lagi. Itu sebabnya ada begitu banyak buku diterbitkan dan begitu banyak khotbah disampaikan untuk membahas hal-hal itu. Kehidupan Kristiani adalah kumpulan dari beragam disiplin, sikap, dan perbuatan—oleh karena itu, kita harus tahu cara mengaturnya. Betul, bukan? Tapi, coba pikirkan. Bagaimana sikap Anda saat merasakan Hadirat Allah yang nyata di sekeliling Anda? Seberapa berbuahnya kehidupan doa Anda? Seberapa kuatnya pertumbuhan iman Anda? Masalah mana yang tampak besar saat Anda sadar bahwa Allah hadir? Apa sulitnya untuk taat saat Dia datang untuk memperlengkapi Anda dengan kuasa? Apa sukarnya untuk menghasilkan buah jika Dia melimpah dalam hati Anda? Masalah antar pribadi mana yang tidak terselesaikan saat kuasa-Nya melimpah? Sesungguhnya, Hadirat Allah yang bekerja dalam hidup kita adalah kunci segala-galanya, dan tanpa Dia kita tidak bisa melakukan apa-apa. Itu sebabnya, memupuk kesadaran dan pengalaman terus-menerus akan Hadirat Allah itu vital. Saat Allah hadir, mukjizat terjadi. Dari kematian timbullah kehidupan, dari abu muncullah keindahan, dari perkabungan terbitlah tari-tarian, dari kesia-siaan datanglah kelimpahan, kekacauan digantikan oleh keteraturan, dan segala rintangan tunduk pada kehendak-Nya. Bahkan sisi keras dari HadiratNya—kebenaran yang menegur dan meluruskan, yang tidak ingin kita terima— itulah yang akhirnya memberi kehidupan. Saat Allah bekerja di dalam dan di sekeliling kita, segala sesuatu berubah. Dengan segala kesungguhan, tanpa kenal lelah, dan penuh kerinduan, kejarlah Hadirat Allah. Segala upaya dalam kehidupan Kristiani akan sia-sia tanpanya. Namun, dengan Hadirat Allah, segala sesuatu menjadi mungkin. � � � Yesus, aku membutuhkan Engkau—Roh-Mu, kehidupan-Mu—di dalam dan di sekelilingku. Aku takkan puas dengan sekadar mengetahui tentang Engkau atau meyakini hal yang benar. Aku ingin mengalami Hadirat-Mu. Kutahu, Engkau juga menginginkan hal itu. Biarkanku merasakan Hadirat-Mu setiap waktu.
Januari 02 Dimanakah tempat peristirahatan-Ku? Yesaya 66:1 (Terj. NIV)
A
pakah Allah butuh rumah buatan manusia?” mungkin pertanyaan itu terdengar seperti pertanyaan retoris dan menghina, tapi kita tahu bahwa di balik kisah penciptaan, Allah memang rindu untuk memilih beberapa tempat di bumi sebagai tempat peristirahatan-Nya. Hadirat-Nya dulu memenuhi Kemah Suci, lalu Bait Allah, dan kemudian diri umat-Nya. Kitab Suci secara konsisten menyingkapkan suatu kenyataan yang tidak masuk akal: Allah tidak hanya berinkarnasi dalam Yesus, tapi Dia juga terus berinkarnasi dalam diri kita. Hal ini akan terasa seperti sebuah kontradiksi bila kita mengingat betapa banyaknya dari kita yang mengeluhkan betapa “jauhnya” Allah dari dari kita.Ya, kadang Dia terasa dekat. Tapi seringkali kita, yang ditetapkan untuk menjadi tempat tinggal Hadirat-Nya yang kudus, bertanya-tanya di mana Dia sebenarnya. Bagi kita fakta bahwa Dia dekat lebih menjadi sebuah prinsip teologi daripada sebuah pengalaman. Kenapa? Salah satu alasannya adalah mungkin karena kita takut dekat-dekat dengan Allah–apa yang akan Allah minta dari kita ketika kita berjumpa dengan Dia? Atau siapa tahu ada yang Allah tidak suka dalam diri kita ketika kita datang kepadaNya? Pikiran-pikiran seperti ini bisa membuat kita merasa tidak aman dengan Dia. Tapi alasan utama kenapa kita tidak mengejar Hadirat-Nya seperti mengejar hal-hal lain dalam hidup adalah kita teralihkan oleh tujuan-tujuan yang kurang penting dan melupakan apa yang tersedia bagi kita. Dengan kata lain, kita kurang merasakan Hadirat-Nya karena kita tidak memintanya. Ambillah waktu hari ini untuk meminta Hadirat-Nya. Persembahkan diri Anda sebagai tempat peristirahatan-Nya. Allah tidak menciptakan Anda lalu menebus Anda hanya untuk menjaga jarak dari Anda. Dia merancang Anda untuk sebuah keintiman yang lebih dalam daripada yang bisa Anda bayangkan. Apapun keadaan hubungan Anda dengan Dia saat ini, Dia mengundang Anda untuk masuk dalam keintiman yang lebih dalam lagi. Jawablah panggilan-Nya. Minta Dia datang sedekat yang Dia mau. � � � Tuhan, kiranya aku menjadi tempat peristirahatan-Mu. Aku persembahkan diriku pada-Mu dan mengundang-Mu untuk menyingkirkan apapun yang menghalangi. Mendekatlah padaku ya Tuhan–sedekat yang Engkau ingini.
Januari 03 Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah. Mazmur 16:11
D
alam Kitab Suci, Hadirat Allah menimbulkan tanggapan yang beragam. Beberapa orang menjadi sangat takut ketika berada dalam Hadirat-Nya, yang lain terdiam dalam kekaguman, dan beberapa menjadi heran karena mereka baru mengenali-Nya setelah Dia pergi. Dia kadang muncul dengan awan dan guntur, di waktu lain Dia menunjukkan diri-Nya secara selektif dan hampir tak kentara. Apapun itu, ada satu respons dalam Alkitab yang jarang kita temui dalam perjumpaan dengan Allah: sukacita. Mengapa demikian? Mungkin karena Dia hadir secara mendadak, dan respons pertama atas trauma karena melihat-Nya dapat berkisar dari panik sampai rasa bersalah, dari takjub sampai menjadi semangat. Tetapi bagi mereka yang menghabiskan waktu lebih lama dengan-Nya—Musa di Kemah Suci, Daud dalam krisisnya, atau para murid dengan Yesus—trauma tersebut lenyap dan hubungan mereka terjalin lebih dalam. Daud memberitahu kita hasilnya dalam Mazmur 16, yakni sukacita. Bahkan saat ini, banyak orang percaya sangat takut untuk benar-benar dekat dengan Allah. Itu karena mereka belum mengenal siapa diri-Nya. Mereka belum memahami rahmat ataupun kebaikan-Nya. Mereka tidak tahu bahwa Dia ingin supaya kita mengalami kesenangan di dalam-Nya untuk selamanya, atau bahwa salah satu tujuan utama-Nya bagi kita adalah mengalami sukacita-Nya (Yohanes 17:13). Hanya sedikit dari kita yang menyadari bahwa Dia ingin menyenangkan kita. Hati yang meluap ketika kita bersama Dia adalah tujuan-Nya. � � � Bapa, bantulah aku untuk mengabaikan para pengajar yang lebih menekankan kewajiban untuk melayani-Mu daripada kesenangan dalam mengenal-Mu. Bantulah aku merengkuh kebenaran bahwa Engkau sangat peduli terhadap sukacitaku, dan tunjukkan padaku bagaimana untuk mengalami sukacita dalam Hadirat-Mu.
Januari 04 Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi. 2 Petrus 1:4
A
pa yang kira-kira terjadi jika kita memohon kepada Allah–tidak hanya kadang-kadang, tetapi setiap hari, tiap saat, terus-menerus–untuk mengizinkan kita menjadi tempat kediaman Hadirat-Nya? Bagaimana seandainya kita memohon untuk menjadi saksi hidup, yang bernafas, dan dapat disentuh, dari pribadi-Nya? Apakah ini harapan yang realistis? Kedengarannya seperti permohonan yang lancang bahkan congkak, namun memohonkan sesuatu yang kurang dari ini berarti merendahkan citra kita dan tujuan yang telah ditentukan-Nya. Tuhan telah berjanji bahwa kita akan memiliki sifat Ilahi yang sama dengan-Nya dan Dia menganugerahkan Roh-Nya pada kita untuk mewujudkan tujuan ini. Tuhan lebih rindu tinggal di dalam dan di antara kita, dibandingkan keinginan kita untuk mengalami Hadirat-Nya. Dia mencari kita lebih dari kita mencari-Nya. Mengapa begitu? Sebuah kehormatan dan keistimewaan yang jauh lebih besar saat menemui Allah yang hidup bagi kita, dibandingkan bagi Dia untuk berdekatan dengan manusia biasa penuh cacat cela. Kitalah yang seharusnya bersikap lebih antusias dalam relasi dengan Allah. Namun, Allah menciptakan kita untuk tujuan ini: untuk berdiam di dalam kita, mempunyai hubungan yang intim dengan kita, dan tinggal bersama kita. Untuk itulah Dia menciptakan manusia. Kasih selalu ingin berbagi. Allah ingin berbagi pribadi-Nya. Izinkanlah Dia. Jangan sekadar melontarkan kepada-Nya ajakan sambil lalu untuk hadir di dalam hidup kita. Biasanya Dia tidak mau menerima ajakan sambil lalu. Kasih-Nya terlalu dalam bagi orang yang hanya berniat setengah hati. Sebaliknya, carilah Dia tanpa kenal lelah. Lalu, beri Dia waktu. Maka Dia akan mulai menggenapkan kerinduan-Nya dan kerinduan Anda. � � � Roh Kudus, penuhilah aku terus-menerus. Hadirlah dalamku. Aku ingin merasakan-Mu lebih dalam lagi. Biarlah Hadirat-Mu dalamku makin hari makin nyata. Tinggallah di dalamku supaya aku bisa menjadi wujud nyata pribadi-Mu.
Januari 05 Mendekatlah kepada Allah . . . Yakobus 4:8
A
pakah Anda pernah melihat sebatang rumput, jaring laba-laba, atau air terjun sebagai ekspresi kreativitas Allah? Apakah Anda melihat musim dan tren bukan sebagai sesuatu yang wajar tapi sebagai pernyataan isi hati Dia yang menciptakannya? Apakah Anda pernah berhenti sejenak dan memperhatikan bahwa di sekeliling Anda Allah sedang menceritakan mimpi-Nya? Semua ini–memperhatikan ciptaan, mendengarkan bisikan suara Allah atau mencoba mendengarkan detak jantung-Nya, terkagum-kagum dengan keajaiban dunia ciptaan-Nya–adalah cara untuk lebih menyadari Hadirat-Nya. Ketika kita memperhatikan hal-hal ini, apalagi ketika mereka memancarkan percakapan denganNya, kita sedang ditarik mendekat kepada Allah. Ada dua aspek utama dalam mengalami Hadirat Allah: meningkatkan kesadaran kita tentang Dia dan cara Dia berbicara kepada kita. Yang pertama adalah bagian kita, tapi yang kedua adalah bagian-Nya. Kedua aspek itu disebutkan di Yakobus 4:8, di mana kita diperintahkan untuk mendekat kepada Allah dan diberi jaminan bahwa Dia akan mendekat kepada kita. Tapi lebih mudah mengatakan daripada melakukan. Kita membiarkan kesibukan mengalihkan kita dari mengalami Allah. Rutinitas sehari-hari kita dan jadwal kita adalah saingan-Nya dalam memperebutkan perhatian kita, dan kita lebih sering membiarkan mereka menang. Dia bisa saja melakukan sesuatu yang akan membuat kita mencari Dia, tapi Dia lebih suka kita datang kepada-Nya karena kita mau dan bukan karena Dia menyuruh kita atau memberi kita pilihan. Mendekat adalah sebuah tindakan kasih. Dan kasih, jika benar-benar nyata, selalu bersifat sukarela. Bagian Anda dalam “rumus persamaan Hadirat Allah” ini adalah mendekat kepada-Nya. Mendekatlah kepada-Nya dengan segala cara yang Anda bisa pikirkan. Lalu lihat bagaimana Dia meresponi Anda. � � � Bapa, aku ingin memperhatikan Engkau–semua tentang-Mu. Aku ingin berhenti dan memperhatikan hasil karya-Mu, suara-Mu, dan Hadirat-Mu di sekelilingku. Saat aku memperhatikan Engkau, nyatakan diri-Mu. Dan bawa aku mendekat.