briefing-paper-harling-2014_walhi

Page 1

Briefing Paper

Dampak Politik Rejim Korporasi Terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-­‐Pulau Kecil di Indonesia Ditengah Situasi Perubahan Iklim dan Krisis Pangan Nasional Pengantar Letak strategis Indonesia antara dua Benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia) menjadikan posisi Indonesia penting dalam kancah politik dan ekonomi dunia. Gugusan pulau besar dan kecil yang menghampar di garis Equator Bumi membuat negeri ini dijuluki Zamrud Khatulistiwa dan memiliki iklim tropik. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki koleksi 17.480 pulau yang bertaburan di wilayah laut seluas 5,8 juta km2. Sepuluh ribu pulau merupakan pulau kecil dengan luas tak lebih dari 2.000 km2. Wilayah daratannya sendiri seluas 1,9 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95.000 km. Sepertiga wilayah Indonesia merupakan pesisir artinya lebih dari sepertiga masyarakat menyandarkan kehidupannya di wilayah pesisir. Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun (Dahuri et al, 1996). Indonesia adalah negara penyumbang terbesar perikanan laut dunia, yaitu 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan (Burke et all, 2002). Akan tetapi dalam perkembangannya, wilayah pesisir tidak menjadi perhatian dan pengawasan pemerintah. Bias darat yang cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya alam Indonesia telah menyebabkan pengelolaan wilayah pesisir terbengkalai. Tanpa pengawasan dan konsep yang baik berbagai kebijakan yang ada di wilayah pesisir terkesan sektoral dan kuat konflik kepentingan. Kondisi ini secara nyata mengancam sistem tenurial. Neil Meyer, seorang professor di bidang pertanian, ekonomi dan sosiologi pedesaan di University of Idaho berpendapat problem wilayah pesisir dan pengembangan serta pengelolaan yang tidak pernah selesai dikarenakan oleh sistem open access1 yang berkembang tanpa ada penguatan oleh negara untuk kepentingan komunitas pesisir. Intervensi negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir, laut termasuk pulau kecil sebagai obyek kepemilikan negara sehingga pengaturannya diurus oleh negara. Ostrom mencatat (dalam Ostrom, 1999) ada banyak bukti kegagalan yang ditemukan ketika suatu pemerintahan mencoba mengatur suatu sumberdaya komunal dalam cakupan wilayah yang luas. Pada tahun 1950 sampai dengan 1960-­‐an, masa setelah pasca perang dunia kedua, banyak negara berkembang menasionalisasikan seluruh wilayah, yaitu tanah dan perairannya. Namun dalam perkembangannya yang terjadi justru negara tidak mampu melakukan pengawasan yang ketat, padahal seiring dengan proses nasionalisasi tersebut, pengaturan-­‐pengaturan lokal yang sudah ada menjadi kehilangan basis legal dan secara perlahan tidak lagi digunakan oleh masyarakat pesisir. Hal ini 1

Rejim open access, closed access, state management akan dibahas pada bagian Common Resources.


kemudian mengakibatkan kekosongan pengaturan di wilayah-­‐wilayah yang memiliki sumberdaya komunal seperti wilayah pesisir, laut dan pulau kecil. Karena banyaknya wilayah pesisir, laut dan pulau kecil yang secara de facto menjadi open access, maka terjadilah kegiatan seperti pencurian ikan oleh kapal asing, penangkapan ikan dengan metode merusak ekosistem terumbu karang, pengkaplingan wilayah laut untuk usaha bisnis dengan cara reklamasi. Neil Meyer menambahkan istilah property sering dirujuk sebagai hak akses pemanfaatan atas sumberdaya tertentu. Di Amerika Serikat, akses pemanfaatan dikontrol dengan empat cara, yaitu: -

kepemilikan pribadi (private ownership) akses terbuka publik (public open access) akses terbatas publik (public closed access) kepemilikan negara (state ownership)

Namun kemudian Neil Meyer mengkategorikan common property sebagai bentuk ketiga dari jenis penguasaan property non negara. Menurut Meyer, selama ini orang lebih banyak mengenal dan memahami kepemilikan privat dan publik. Padahal, common property justru merupakan wilayah yang sangat rawan konflik, karena terdiri dari keberadaan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki atau dikelola secara bersama oleh masyarakat sekitar dan pemanfaat lainnya. Secara praktek, common property bisa kontroversial bahkan kompleks karena baik kelompok maupun individu meyakini hal yang berbeda dalam hal pengelolaan sumberdaya yang sama. Wilayah pesisir dan laut biasanya masuk ke dalam rejim akses publik (terbuka maupun terbatas), karena termasuk dalam kategori sumberdaya komunal. Namun yang kerap terjadi adalah intervensi negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir, laut termasuk pulau kecil sebagai obyek kepemilikan negara sehingga pengaturannya diurus oleh negara. Gagalnya Upaya Proteksi Ekosistem Pesisir dan Pulau-­‐Pulau Kecil dan Kemenangan Rejim Korporasi Salah satu terobosan penting tercatat dalam sejarah Indonesia adalah gerakan yang dilakukan kelompok civil society dimana WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia adalah organisasi lingkungan hidup terbesar dan terdepan di Indonesia /FoE Indonesia) bersama organisasi masyarakat sipil lainnya mengajukan gugatan uji materil atas Undang-­‐Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil di Mahkamah Konstitusi RI. Pengajuan uji materil tersebut didaftarkan pada tanggal 18 Januari 2010 dan dalam perjalanannya dihasilkan Putusan MK Nomor 3/PUU-­‐VIII/2010, dimana dalam amar putusan tersebut Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-­‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-­‐Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan Undang-­‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4)


dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-­‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-­‐Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) tidak mempunyai kekuatan mengikat; Memerintahkan agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara selambat lambatnya 30 hari kerja sejak Putusan ini diucapkan; Menyatakan menolak untuk permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Namun pasca putusan tersebut dibacakan, belum ada upaya dari pemerintah dan kemudian menjalankan perintah putusan tersebut untuk segera dimuat dalam Berita Negara selambat-­‐lambatnya 30 hari. Justru dibiarkan begitu saja hingga kemudian dikeluarkannya Undang-­‐Undang No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-­‐Undang No 27 Tahun 2007 tentang PWP-­‐PPK pada bulan Januari 2014. Berdasarkan hasil rapat seluruh fraksi di DPR, kebijakan yang di inisiasi oleh legislatif ini ternyata mendapat persetujuan dari seluruh fraksi untuk dilakukan perubahan undang-­‐undang. Artinya bahwa sektor sumber daya alam masih tetap menjadi target penting untuk dieksploitasi dan (seolah-­‐olah) dijadikan alasan penting dalam rangka menunjang perekonomian bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya untuk memproteksi ekosistem pesisir dan pulau-­‐pulau kecil yang dijadikan sebagai sumber-­‐ sumber kehidupan untuk rakyat, ternyata tidaklah cukup hanya dengan membatalkan pasal-­‐pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi negara. Karena sebenarnya lawan paling utama adalah sistem itu sendiri, baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun implementasinya. Antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain pun saling bertentangan dan kelembagaan-­‐kelembagaan negara yang mengurus sumber daya alam, juga saling berebut peran untuk bisa menjadi pemanfaat terbesar dan mendapat dukungan politik dari legsilatif. Makanya banyak kasus-­‐kasus suap yang dilakukan oleh lembaga-­‐lembaga eksekutif terhadap para legislatif, hanya untuk mendapatkan persetujuan atau regulasi pendukung dalam pengelolaan sumber daya alam yang sebesar-­‐besarnya. Misalnya putusan MK yang telah membatalkan Pasal 1 Angka 18 terkait HP3, tetapi kemudian atas dukungan seluruh fraksi DPR RI justru kembali membuka ruang penguasaan serta pemanfaan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-­‐pulau kecil dengan lebel Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan (Pasal 1 Angka 18 dan Angka 18A). Selain beberapa ketentuan pasal yang diubah, sedikitnya ada 7 pasal sisipan dan salah satunya adalah Pasal 26A yang secara substansi mempertegas peluang penguasaan pulau-­‐pulau kecil oleh korporasi nasional maupun asing. Perubahan atas Pasal 16 justru semakin mempertegas pemanfaatan ruang perairan pesisir dan pulau-­‐pulau kecil secara menetap dan dengan perubahan pasal tersebut menjadikan Izin Lokasi sebagai syarat untuk mendapatkan Izin Pengelolaan. Dalam catatan panjang sejarah Indonesia, ini merupakan kali pertama negara memberikan landasan hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir dan pulau-­‐pulau kecil yang diperuntukan secara khusus kepada Korporasi. Proses awal yang mirip dengan monopoli penguasaan sumberdaya alam di daratan yang syarat dengan investasi skala besar. Saat ini diketahui sejumlah perusahaan mineral, minyak, dan gas, di antaranya: Conoco Philips Indonesia Inc. Ltd., Premier Oil Natuna Sea B.V., Star Energy (Kakap) Ltd., PT.International Nickel Indonesia (Inco), Tbk., dan Medco Energy berminat untuk mengadopsi 20 pulau di Indonesia. Sekitar 6.000 pulau tak berpenghuni yang tersebar di perairan di Indonesia dan berpeluang diprivatisasi. Pulau-­‐pulau ini tidak berpenghuni dan tidak memiliki nama.


Pulau-­‐pulau inilah yang dapat dengan mudah diklaim oleh pihak swasta maupun asing. Pendekatan ini tentu berdasarkan pada basis sumberdaya yang tidak lepas dari property rights. Kepemilikan komunal yang open access diintervensi oleh negara dalam rangka menfasilitasi kepentingan investasi skala besar di sektor pesisir dan laut. Pada titik ini, kebijakan negara yang memberikan peluang besar dan menfasilitasi modal untuk menguasai pesisir, laut dan pulau-­‐pulau kecil dapat dikatakan sebuah rejim korporasi. Dari catatan advokasi Walhi, banyak dan maraknya penguasaan wilayah pesisir oleh korporasi dipastikan telah dan akan menggangu sumberdaya komunal masyarakat pesisir. Konflik akan bermunculan karena tidak adanya jaminan keselamatan, kesejahteraan dan produktivitas apabila sebuah investasi berkembang di wilayah pesisir. Jared Diamond dalam bukunya “How Societies Choose to Fail or Succeed” menjelaskan bagaimana satu komunitas kehilangan tenure nya dan berpotensi kolaps. Ia menggunakan sebuah "kerangka kerja" ketika mempertimbangkan situasi kolapsnya sebuah masyarakat, yang terdiri atas lima "perangkat faktor" yang cenderung berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat: kerusakan lingkungan, perubahan iklim, permusuhan dengan tetangga, lenyapnya mitra dagang, serta bagaimana masyarakat merespon perubahan dan kerusakan lingkungan hidup. Kerangka ini adalah bacaan krisis yang dihadapi oleh masyarakat pesisir hari ini sehingga pilihan yang diberikan adalah bagaimana menghadapi ancaman pembangunan (investasi) yang ada di wilayah setempat. Berbagai kasus yang direspon Walhi sebagian besar diantaranya masih melakukan perlawanan terhadap agenda eksploitasi dan penguasaan khususnya wilayah pesisir dan pulau-­‐pulau kecil. Persoalan utama adalah ketidak-­‐jelasan peruntukan dan tumpang tindih kebijakan diberbagai sektor. Beberapa kasus yang menjadi konflik tenurial, pesisir dan pulau kecil di berbagai wilayah diantaranya : •

Perebutan ruang hidup dan jaminan keselamatan masyarakat pesisir yang berada di wilayah pesisir barat sepanjang Sumatera hingga Jawa. Masyarakat pesisir menolak penambangan pasir besi yang berujung pada konflik dan perampasan tanah. Aksi protes tambang seperti di Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jogja; Penambangan Timah di Laut yang mengancam dan merusak wilayah tangkap nelayan dan pariwisata di Pulau Bangka Belitung. Pulau seluas 254,16 Km persegi, sejak 1996 sudah ditanami sawit oleh PT Swarna Nusa Sentosa. Selain itu, tanahnya juga dikeruk oleh dua perusahaan pertambangan, yaitu PT Dian Rahman dan PT Timah Tbk. Reklamasi baik pantai maupun laut seperti yang terjadi di Jakarta, Menado, Makasar, dan rencana reklamasi laut seperti di Teluk Benoa, Bali seluas 700 Ha dari 1200 Ha yang direncanakan. Perlawanan terhadap rencana reklamasi tersebut masih terus berjalan hingga hari ini; Ancaman pulau-­‐pulau kecil akibat masifnya industri ekstraktif dan perkebunan seperti yang terjadi di Pulau Bangka, Sulawesi Utara dimana konsesi tambang biji besi 2000 Ha dari total luas Pulau 4700 Ha yang berpotensi merusak kawasan pesisir akibat limbah tambang. Di Pulau Halmahera, perusahaan sawit dan perusahaan tambang, seperti Newmont, berlomba mendapatkan tanah warga pesisir untuk melakukan usaha ekstraktif; Kasus serupa juga juga terjadi di Pulau Halmahera dimana Tambang Nikel diberikan konsesi lebih dari ¾ luas wilayah. Pulau Enggano dibabat secara liar oleh PT. Enggano Dwipa Persada (EDP) pada 1996 tanpa perencanaan dan izin jelas, sehingga lahan seluas 2.450 ha dengan perincian 2.400 ha


Hutan Lindung dan 50 ha Hutan Suaka Alam (HSA) yang berada di wilayah Desa Banjar Sari memanjang melintasi enam desa, yaitu dari Desa Banjar Sari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, kondisi areal hutan eks tebangan berada dalam keadaan kritis. Perluasan sawit juga terjadi di Pulau Mentawai secara masif; Serta bisnis-­‐bisnis perikanan yang semakin bertambah banyak, khususnya di wilayah-­‐wilayah yang memiliki potensi perikanan melimpah tetapi tidak mempertimbangkan kelangsungan hidup ekosistem mangrove dari dampak aktifitas industry-­‐industri perikanan tersebut.

Problem pesisir, laut dan pulau-­‐pulau kecil tidak hanya dipersoalan perebutan ruang hidup akibat kebijakan rejim korporasi dan konsep open access yang tidak bersandar pada pengelolaan kolektif masyarakat pesisir. Isu yang terus berkembang dalam dua decade terakhir mulai menunjukan dampaknya, yaitu perubahan iklim. Wilayah pesisir adalah kawasan yang paling rentan terhadap ancaman perubahan iklim. Kelompok AOSIS merupakan asosiasi negara kepulauan meyakini negara kepulauan adalah yang paling banyak terkena dampak perubahan iklim. Sehingga barangkali merekalah yang sungguh-­‐sungguh memikirkan cara mengatasi perubahan iklim melalui berbagai desakan dan usulan konkrit pelaksanaan konvensi internasional baik UNFCCC ataupun yang lain. Sebagian negara kepulauan saat ini sudah terkena dampak kenaikan permukaan air laut sehingga terancam kehilangan negara dan menjadi pengungsi abadi di negara tetangga yang lebih besar. Momentum Politik Nasional dan Hari Lingkungan Setelah melalui proses demokrasi pemilihan legislatif pada bulan April lalu, rakyat Indonesia kini diperhadapkan kembali dengan pemilihan Presiden RI untuk periode 2014 – 2019, bahkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia telah menerima pendaftaran dua pasangan capres dan cawapres yang akan bertarung pada tanggal 9 Juli mendatang untuk menjadi pemimpin di negeri ini. KPU juga telah menerima dokumen visi dan misi dari masing-­‐masing pasangan calon sebagai salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi. Apa yang telah di gambarkan sejak awal di dokumen briefing paper ini, tentang buruknya tata kuasa dan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya sumber daya pesisir dan pulau-­‐pulau kecil. Kekuatan politik ekonomi yang mendorong terjadinya liberalisasi dengan menciptakan regulasi untuk peluang eksploitasi pemodal nasional/asing dan perampasan sumber-­‐sumber kehidupan secara massif dengan mengabaikan hak-­‐hak rakyat yang dilindungi oleh konstitusi Negara Republik Indonesia. Dalam konteks ini penting mendorong satu agenda serius untuk menjalankan politik lingkungan yang lebih adil dan lestari. Pada kesempatan Hari lingkungan ini dimana isu pesisir menjadi isu sentral menjadi layak untuk memperdebatkan masa depan sumberdaya alam dan lingkungan Indonesia. Dengan mendorong reformasi politik sebagai dasar reformasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia. Dua komponen penting yang wajib diperhatikan dalam reformasi politik tersebut yaitu Kebijakan politik dan Kelembagaan dan harus menjadi terdepan jika ingin mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang adil dan lestari serta berpihak kepada rakyat.


Terdapat beberapa isu strategi yang harus dijalankan sebagai jalan keluar dari persoalan pengelolaan sumberdaya pesisir laut dan pulau-­‐pulau kecil ; 1. Mengehentikan penguasaan wilayah pesisir dan pulau-­‐pulau kecil dalam bentuk Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan yang kembali diakomodir dalam Undang-­‐Undang No. 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-­‐Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-­‐Pulau Kecil; 2. Moratorium konversi lahan di wilayah pesisir untuk kepentingan industri /aquaculture. Situasi ini mensyaratkan bagaimana kesiapan masyarakat pesisir dalam mengelola kawasan dengan pendekatan small scale aquaculture; 3. Menghormati wilayah kelola kolektif nelayan tradisional dan masyarakat pesisir serta perlindungan wilayah tangkap dari intervensi korporasi; 4. Mengakui hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir untuk mengontrol dan mengelola wilayah tangkapnya secara mandiri; 5. Menghentikan penangkapan ikan yang berlebihan yang dilakukan dengan cara berbahaya bagi ekologi di wilayah pesisir dan laut. Dengan tujuan untuk menghindari degradasi sumber daya dan dampak perubahan iklim di masyarakat pesisir, serta membahayakan kedaulatan pangan; 6. Menolak aktivitas industry ekstraktif dan perkebunan skala besar monokultur di pulau-­‐pulau kecil; 7. Memperkuat organisasi nelayan tradisional agar mampu membangun resiliensi terhadap ekspansi pembangunan dan monopoli wilayah pesisir, serta tangguh dalam menghadapi perubahan iklim; Penutup dan Rekomendasi Mempertegas komitmen untuk menata kembali tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup, termasuk ekosistem pesisir dan pulau-­‐pulau kecil agar menjadi lebih baik dan lebih berpihak kepada rakyat, (seharusnya) menjadi hal terpenting bagi pemimpin negeri ini kedepan. Pengarusutamaan isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup pada momen debat capres/cawapres kedepan adalah mutlak harus dilakukan. Harapannya KPU sebagai institusi penyelenggara pesta demokrasi pada tanggal 9 Juli nanti memberikan satu alokasi yang besar terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Diharapkan dalam pemaparan Visi dan Misi Calon Presiden rakyat bisa membaca kemana arah pengelolaan sumberdaya alam dan keberlanjutan lingkungan akan dibawa oleh pemimpin kedepan. Kemampuan para calon pemimpin untuk menjelaskan kepada seluruh rakyat Indonesia tentang konsep/model pengelolaan sumber daya alam, tentang komitmen penyelesaian konflik sumber daya alam, tentang solusi terbaik untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi generasi sekarang dan yang akan datang, juga harus diperdebatkan secara langsung oleh capres dan cawapres. Harapannya dari debat tersebut, rakyat bisa mendapatkan pendidikan politik dan kemudian mampu secara mandiri untuk menentukan pilihan kepala negara yang akan memimpin mereka selama 5 tahun kedepan. Upaya untuk membangun ciri dan karakter keberpihakan dalam diri calon pemimpin bangsa, harus melalui cara terbuka dan akuntabel. Memberikan solusi atas tata kelola yang diinginkan oleh rakyat dan memikirkan resolusi konflik sumber daya alam/agrarian adalah sebuah proses politik, sehingga sulit kemudian untuk terhindar dari proses tarik-­‐menarik kepentingan.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.