Jta agtssptmbr 14

Page 1


Penanggungjawab: Abetnego Tarigan Dewan Redaksi: Khalisah Khalid, Nurhidayati, Ahmad SH, Pius Ginting, Dedi Ratih, M Islah, Zenzi Suhadi, Kurniawan Sabar Redaktur Pelaksana: Irhash Ahmady Editor : Febrina Andriasari Design dan Layout: perfarmerLab.Studio Kolase Ilustrasi Cover: Anggawedhaswhara Kolase Ilustrasi Isi: Anggawedhaswhara & Fajar Ahmad Jawari Penerbit: Walhi Eknas Distributor: Suhardi, Harno

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia JL. Tegalparang Utara 14, Mampang-Jakarta Selatan 12790 T/F: +6221 79193363/7941673 E: informasi[at]walhi.or.id W: http://www.walhi.or.id


Daftar Isi Kata Pengantar

..................................................... I

Dari Dapur Redaksi

...................................................... IV

Kejahatan Kerah Putih ; Lemahnya Hukum Lingkungan Catur Widi Asmoro

...................................................... 1

Kriminalisasi Terhadap Penolakan Pengelolaan Kawasan Karst : Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Masyarakat Dan AktivisLingkungan Hidup M. Irsyad Tamrin

...................................................... 13

Pengelolaan Kawasan Kars Dalam Perspektif Penanggulangan Bencana ET Paripurno, Sunu Widjanarko, Petrasa Wacana, Irfanianto, Abe Rodhialfalah, Thomas Suryono, Fredy Chandra, Imron Fauzi, Gunritno, Ming-ming Lukiarti

...................................................... 31

Karst Maros-pangkep Dan Perlindungan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Zulkarnain Yusuf

...................................................... 45

Ancaman Karst Di Hulu Sungai Batanghari Musri Nauli

...................................................... 61

Mengelola Kawasan Karst Ekotipe Sumberdaya Ekologi Versus Skema Pembangunan Di Jawa Tengah Fitri Indriyaningrum

...................................................... 71


JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014


Kata Pengantar

Karst merupakan kawasan yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang sangat DALAM REJIM KORPORASI

khas. Topogra karst yang sangat unik dengan perbukitan tekstur kasar dan memiliki petakan hingga ronga serta goa yang bagus dimana membentuk alirasan sungai bawa tanah dan menyimpan potensi mata air. Secara potensi sesungguhnya Karst memiliki banyak aspek yang dapat dikembangkan, seperti sumberdaya air diantaranya sebagai sumber air baku untuk kawasan, ekosistem bagi kelelawar dan wallet yang masih bisa dikembangkan sebagai ekonomi tinggi. Masyarakat di

INFRASTRUKTUR

pedalaman Kabupaten Berau dan Kutai Timur, Kalimantan Timur sangat tergantung dengan keberadaan sungai. Karena mereka bermukim di pinggiran sungai dan sungaisungai tersebut dijadikan sebagai jalur transportasi utama.

PEMBANGUNAN

Keberadaan Karst di Indonesia dikatakan sebagai potensi konservasi namun sekaligus menjadi sumberdaya untuk pembangunan infrastruktur. Semakin tinggi kebutuhan akan batu gamping dan lain sebagainya sebagai sumber bahan baku semen

DI BALIK AGENDA

infrastruktur dalam skema MP3EI.

“ONGKOS”

mempertinggi kerentanan dan keselamatan warga. Inilah yang dihadapi sebagian

Jurnal Tanah Air edisi kali ini hadir kehadapan ibu/bapak, anggota Walhi, mitra dan

besar rakyat di belahan Jawa yang padat penduduk. Padahal di luar Jawa, praktik buruk ekspolitasi kawasan karst sudah berlangsung puluhan tahun. Meningkatnya kebutuhan akan bahan baku karst disinyalir sebagai penopang akan mega proyek

sahabat mengusung tema “Ongkos” di Balik Agenda Pembangunan Infrastruktur dalam Rejim Korporasi”. Tema ini diangkat sebagai bentuk pertanggungjawaban gerakan lingkungan hidup menghadang agenda pembangunan yang tidak mengindahkan keselamatan lingkungan karst.

Tanah air sendiri merupakan jurnal yang diproduksi oleh Walhi, bukan sebagai media outreach semata. Jurnal Tanah Air ini diharapkan menjadi media transformasi pemikiran dan gagasan tentang Indonesia kedepan. Selain itu media ini juga sebagai wahana kelola pengetahuan dari orang perorang menjadi pengetahuan public

I


sehingga mendorong satu paradigm perubahan terhadap system demokrasi di Indonesia. Yang utama tentu menjadi alat advokasi terhadap pembelaan oleh Rakyat atas lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Akhir kata, selamat membaca dan menyelami gagasan untuk memperkaya pengetahuan dan advokasi gerakan lingkungan hidup. JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Salam Adil dan Lestari, Abetnego Tarigan Direktur Eksekutif Nasional WALHI

II



Dari Dapur Redaksi

Dengan karakter georgraď€ s Indonesia, sangat mudah ditemui kawasan karst dengan potensi besar diseluruh Indonesia. Menurut Clement Kawasan karst di Indonesia

dengan ujung Timur Indonesia. Di belahan dunia lain, sekitar 20 persen penduduk di dunia memperoleh air bersih dari kawasan karst, seperti di Slovenia, Inggris, Mexico, Yunani, dan masih banyak lagi. Potensi non ekstraktif yang tinggi menjadi hal banyak pilihan negara tersebut untuk dikembangkan melalui pembangunan berkelanjutan.

Disamping aspek diatas Karst saat ini berpotensi juga rawan terhadap ancaman kegiatan bisnis industry pertambangan sebagai bahan baku industry semen. Sebenarnya perhatian dalam upaya pelestarian kawaan karst sudah dimulai diIndonesia, antara lain dengan menjadikannya sebagai suatu taman nasional, yang terdapat di pulau Seram, Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya. Namun demikian taman-

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

memiliki luasan sekitar 145.000 km2, yang tersebar mulai dari ujung barat sampai

taman nasional inipun sedang dalam ancaman perusakan ekosistem oleh industri semen disekitarnya. Beberapa waktu yang lalu, ratusan petani yang berasal dari Desa Tegaldowo, Kecamatan Bunem, Rembang menolak penambangan karst dan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia pada tanggal 16 Juni 2014. Petani yang sebagian besar adalah ibu-ibu melakukan pemblokiran jalan karena menganggap wilayah karst mereka sebagai sumber mata air untuk pertanian. Akibatnya mereka dikriminalisasi dan dianggap sebagai penghambat pembangunan, tak jarang petani ini dipenjara dan ditembak untuk mempertahankan sumber kehidupan.

Tulisan dalam jurnal hendak mengupas beberapa aspek dalam konteks isu karst di Indonesia melalui tema “Ongkos� di Balik Agenda Pembangunan Infrastruktur dalam Rejim Korporasi. Dimana problem hukum lingkungan yang belum menjadi aspek dalam perlindungan lingkungan. Sejauh ini pihak kepolisian belum mampu menjerat korporasi menjadi kasus pidana, polisi baru mampu menjerat individu dan menggunakan buktibukti hukum sesuai dengan KUHP. Perlu terobosan dalam menjalankan dan menegakan hukum lingkungan agar tidak ada kriminalisasi terhadap petani dan rakyat. Pandangan ini dikupas lengkap oleh Catur Widi Asmoro yang merupakan peneliti di INDIES.

IV


M. Irsyad Thamrin dosen hukum dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta juga mengupas secara gamblang bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap rakyat dan aktivis lingkungan hidup dalam menghadapi kriminalisasi. Posisi aparat negara tidak lagi melindungi kepentingan rakyat tapi justru melindungi kepentingan

“ONGKOS”

DI BALIK AGENDA

PEMBANGUNAN

INFRASTRUKTUR

DALAM REJIM KORPORASI

korporasi. Ubi societas ibi Ius. Adagium yang dinyatakan oleh Cicero seharusnya menjadi pedoman bahwa hukum sebagai fenomena sosial terbentuk dan merupakan aturan-aturan untuk memenuhi berbagai kepentingan masyarakat (social) tanpa terkait dengan kepentingan kekuasaan. Pun demikian dalam proses pembangunan perlu menggunakan prinsip keterbukaan atau biasa yang disebut FPIC sehingga rakyat menjadi subjek dalam pembangunan.

Selanjutnya dalam tulisan yang dibuat oleh Eko Teguh Paripurno pengajar dari UPN Veteran Yogyakarta bersama tim mengulas risiko pembangunan dan eksploitasi karst dalam perspektif bencana. Sebenarnya dalam kebijakan pengelolaan karst sudah cukup untuk memberikan perlindungan kawasan yang mampu meniminalisasi risiko bencana. Ada tidaknya aturan semestinya bergantung pada kesimbangan dalam menggunakan potensi karst yang ada karena potensi tersebut tidak hanya untuk konservasi namun juga untuk kepentingan pembangunan yang lain. Perancanaan dan pemilihan lokasi pertambangan diperlukan agar tidak terjadi salah tempat akan menghancurkan ekosistem karst, fungsi lahandan sistem tata air. Perencanaan pertambangan diperlukan untuk memastikan ”nasib” kondisi lahan tersebut pasca pertambangan dilakukan. Perencanaan pertambangan bukan hanya memastikan ada reklamasi, tetapi juga memastikan bahwa pasca pertambangan lahan berfungsi lebih baik.

Praktik buruk korporasi dalam membangun pertambangan membuat dampak diberbagai daerah sangat baik dijelaskan oleh Zulkarnain Yusuf mantan direktur Walhi di wilayah Sulawesi Selatan khususnya di kawasan karst Maros-Pangkep. Problem tumpang tindih ijin ditengah perlindungan karst yang memberikan keuntungan ekosistem dan biodiversities di Sulawesi Selatan. Temuan lapangan, hasil investigasi WALHI Sulawesi Selatan mengungkap bahwa, sebagian besar Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) marmer dan semen yang terdapat dalam kawasan Karst MarosPangkep. Berdasarkan pada kriteria klasikasi Karst yang ada, justru berada dalam kawasan Karst kelas I, yang seharusnya mendapat perlindungan dari Negara.

V


Terjadinya inkonsistensi kebijakan dan fakta dilapangan merupakan salah satu problem mendasar dalam pengelolaan kawasan Karst.

Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi juga mempertegas praktik buruk pemerintah dan korporasi dalam penyelewengan ijin, melalui pemberian Izin Lokasi dan Eksplorasi PT.

Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Wilayah Nasional dan KEPMEN ESDM No 1456.K./20/MEM/2000 dan juga PERMEN ESDM No 17 Tahun 2012, tentang penetapan kawasan bentang alam Karst. Pun demikian dengan paparan tulisan Fitri Indriyaningrum direktur Walhi Jawa Tengah menjelaskan bahwa peruntukan ijin yang menyalahi ketetapan kawasan karst menjadi persoalan mencolok di pertambangan di Jawa Tengah. Bahkan berakhir dengan konik warga dan kriminalisasi. Korporasi melalui kebijakan tetap menjalankan agenda penambangan sehingga menyebabkan kehilangan asset dan sumber penghidupan petani yang menyandarkan hidup pada sumberdaya karst yang membentang dari kabupaten Cilacap, Gombong, Kebumen (DAS Serayu dan Pantai Selatan), Wonogiri

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

SBR Nomor 53 Tahun 2011 bertentangan dengan pasal 50 dan pasal 53 Peraturan

(pegunungan Sewu), Grobogan, Pati, Blora, Rembang, Kudus, Muria (pegunungan Kapur Utara atau pegunungan Kendeng).

Pada akhirnya kita mempertanyakan makna pembangunan apakah untuk mensejahterakan rakyat atau mensejahterakan korporasi. Pilihan tersebut ada pada pengurus negara khususnya pemerintahan baru untuk lima tahun kedepan. Bagi rakyat hanya kawasan karst merupakan bentang alam yang memberikan keuntungan tidak hanya untuk poenghidupan juga masa depan anak cucu.

VI



KEJAHATAN KERAH PUTIH ; LEMAHNYA HUKUM LINGKUNGAN

Oleh Catur Widi Asmoro

1

Seperti kita ketahui bersama, persoalan lingkungan hidup bukan lagi menjadi permasalahan bangsa Indonesia akan tetapi sudah menjadi isu global yang harus ditanggulangi secara serius dan bersama utamanya mengenai Perubahan Iklim karena menyangkut masa depan umat manusia di muka bumi. Kesadaran lingkungan yang bersifat global ini telah dituangkan dalam berbagai konferensi Internasioanl, Regional dan Nasional. Konferensi Internasional pertama mengenai lingkungan hidup diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tahun 1972 yang terkenal dengan Deklarasi Stockholm, dua puluh tahun kemudian tepatnya tahun 1992 diadakan Deklarasi Rio De Janeiro di Brazil adalah merupakan konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup kedua yang lazim disebut Konferensi Tingkat Tinggi Bumi, dilanjutkan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Afrika Selatan pada Tahun 2002 dan Bali Road Map Tahun 2007 di Bali Indonesia. Pada tingkat nasional kesadaran lingkungan hidup telah diwujudkan dalam berbagai peraturan perundangan-undangan dan kebijakan di bidang lingkungan hidup seperti UU No.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Abstrak

4 tahun 1982 tentang Ketentuan PokokPokok Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang saat ini sudah direvisi dengan disahkannya UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara sadar dlihat bahwa kerusakan lingkungan di Indonesia diakibatkan semakin menguatkan posisi korporasi dalam melakukan perluasan ekspolitasi, disisi yang lain Negara dalam hal ini pemerintah memfasilitasi seluasluasnya kebijakan yang mendorong menurunnya daya dukung lingkungan dan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati. Pada satu decade terakhir ini, isu kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan mewarnai problem lingkungan dan bahkan menganggu dan membuat pasang surut hubungan luar negari Indonesia dengan negara tetangga terutama Malaysia dan Singapura. Pun demikian dengan berbagai perusahaan HTI dan Perkebunan Sawit seperti Sinar Mas, Asian Agri dan lainnya. Berbagai praktik yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terencana terus berlangsung di Indonesia. Akibatnya deforestasi dan

1. Peneliti di INDIES

1


KEJAHATAN KERAH PUTIH ; HUKUM LEMAH LINGKUNGAN

degradasi lahan terus meningkat dengan efek yang sistematis tak tertanggulangi, sebelum tahun 2004 deforestasi didominasi oleh penebangan besar besaran sektor HPH (IUPHHK-HA), saat ini telah melampaui phase ke 3 eksploitasi ruang dan sumber daya alam dengan kerusakan lebih dari 56,55 juta hektar oleh 4 sektor komoditi destruktif ; HPH , Sawit, HTI dan Tambang. Padahal Hutan sebagai sumber paru-paru dunia menjadi tema dalam putaran diskusi iklim di global. Komitmen Rejim SBY-Boediono untuk menurutkan emisi karbon dengan mendorong perlindungan kawasan hutan tidak berbanding lurus dengan implementasi di lapangan.

Luasnya konsesi telah melampaui daya tampung dan daya dukung lingkungan serta kemampuan pemerintah untuk mengendalikannya, telah membawa dampak akumulatif sistematis dalam bentuk kebakaran dan asap yang dalam skala berbahaya secara periodik sejak tahun 2006 hingga 2014, Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, kalimantan Tengah, kalimantan Barat dan Batam menjadi langganan asap yang kadarnya mencapai 3 kali lipat dari kadar yang berbahaya bagi manusia.

2

I.

Kejahatan Kerah Putih

Masih ingat dengan ď€ lm Erin Brokovich yang dibintangi arti Julia Robert ? Film yang beredar pada tahun 2001 ini merupakan ď€ lm tentang seorang paralegal yang mengangkat kasus lingkungan yang terjadi di Amerika. Adalah Paciď€ c Gas and Electric (PG&E Corporation) yang menjadi lawannya dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat. dimana perusahaan yang mengetahui bahwa salah satu unit stasiun kompressornya di Hinckley telah mencemari air di daerah tersebut. Akan tetapi perusahaan itu tidak menginformasikan kepada public namun sebaliknya menyakinkan public bahwa air mereka minum masih aman untuk dikonsumsi. Akibatnya, para pengguna air yang telah terkontaminasi menderita berbagai macam penyakit dan bahkan sampai meninggal dunia (industrial poisoning). Kasus ini menjadi salah satu kasus corporate crime terbesar dengan p enj a tuha n s a nks i p i da na b erup a pembayaran ganti rugi dengan jumlah yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan bisnis disektor industry ekstraktif semakin massif. Isu Corporate crime bukanlah merupakan suatu isu yang baru, namun isu semakin membesar akibat terus meningkatknya praktik buruk perusahaan terhadap kualitas lingkungan hidup yang terkandung di dalamnya.


Menurut Hyman Gross dalam tulisan Bismar Nasution menyatakan bahwa tindak pidana (crime) dapat diidentikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability 3 . Pernyataan ini mengundang perdebatan tentang bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di

samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana4. Dalam konteks ini jika suatu korporasi melakukan kelalaian dan terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberi sangsi, lalu sangsi itu akan diberikan kepada siapa dan dalam bentu apa.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya. Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime2.

Black's Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its ofcers or employees (e.g., price xing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“5. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari denisi Braithwaite

2. Singgih, Kejahatan Korporasi yang Mengerikan, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2005, Hal. 9 3. Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 1979,hal.114. 4. Rusmana,SH, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php 5. Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339.

3


KEJAHATAN KERAH PUTIH ; HUKUM LEMAH LINGKUNGAN

mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agenagennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional 6.

II. Pertanggung jawaban Pidana oleh Korporasi Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggotaanggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal i n t e n t y a n g m e l a h i r k a n pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat

6. Sally S. Simpson, Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993).

4


menghadirkan di korporasi dengan sik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.

III. Kejahatan Lingkungan adalah Extra Ordinary Crimes Secara makro kondisi penegakan hukum pidana di bidang lingkungan hidup saat ini belum sesuai harapan

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act)7 serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind)8 dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi.9 Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia. Dua kasus yang muncul di peradilan sampai dengan saat ini hanya berkaitan dengan pelanggaran lingkungan hidup.

masyarakat. Kejahatan lingkungan adalah tindak pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu perusakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat sik atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya menurut Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana kejahatan lingkungan adalah perusakan dan pencemaran yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat sik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Jauh sebelumnya pada kongres PBB ke 5 tahun 1975 di Jenewa mengenai The Prevention Of Crime and The Treatment of Ofenders, Kejahatan Lingkungan dikatagorikan sebagai “Crime as business“ yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan materil melalui kegiatan dalam bisnis atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat, yang biasa dikenal dengan “organized Crimes” “ W hi te C a l l or C ri m e”. S el a nj utny a didalam Kongres ke-7 tahun 1985, antara

7. Actus Reus atau guilty act adalah perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelaku bertanggung jawab secara pidana jika unsur mens rea juga turut terbukti. 8. Mens rea atau gulty mind adalah salah satu unsur dari pertanggungjawaban pidana, disebut juga dengan pengetahuan atau tujuan yang salah. 9. L.C Soesanto, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf

5


KEJAHATAN KERAH PUTIH ; HUKUM LEMAH LINGKUNGAN

lain dimintakan perhatian terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang dipandang membahayakan seperti “economic crimes”,“Environmental offences”, “illegal trafcking in drugs”, “terorism” dan “apartheid”. Sehubungan dengan peranan dari pertumbuhan industri serta kemajuan ilmu dan teknologi, Kongres ke-7 juga meminta perhatian khusus terhadap masalah “industrial crimes”, khususnya yang berhubungan dengan masala, pertama ; kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (public health), kedua ; kondisi para pekerja/buruh/karyawan (labour conditions), ketiga; eksploitasi sumber-sumber alam dan lingkungan (the exploitation of natural resources and environment) dan keempat; p e l a n g g a r a n t e r h a d a p ketentuan/persyaratan barang dan jasa bagi para konsumen (offences against the provision of goods and services to consumers). Berbagai kasus pencemaran air dan laut akibat pembuangan limbah

6

beracun, perusakan kawasan hutan, perusakan terumbu karang, abrasi pantai akibat penambangan pasir, pembalakan liar dan pembakaran kawasan hutan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup semakin merajalela dan bahkan menjurus kearah kejahatan transnasional yang terorganisir. Kebakaran dan asap yang terus terulang tidak lepas dari peran pemerintah menerbitkan perturan yang senjang antara kewenangan dengan kejawiban dalam proses regulasi. Kewenangan penerbitan izin yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah tidak disertai dengan tanggung jawab dan kewajiban yang kuat mengikat perizinan dan dampak. Belum berhasilnya penegakan hukum pidana lingkungan juga dapat dilihat dari data PROPER yang setiap tahun di publikasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Pada periode PROPER 2012 – 2013 ini dari total 1812 perusahaan, sebanyak 201 perusahaan diawasi oleh KLH, 1160 perusahaan diawasi oleh


Pada periode 2012 – 2013 ini, hasil penilaiannya adalah :Peringkat Emas berjumlah 12 perusahaan (0.67%),Peringkat Hijau berjumlah 113 perusahaan (6.31%), Peringkat Biru berjumlah 1039 perusahaan (57.98%), Peringkat Merah berjumlah 611 p e r u s a h a a n ( 3 4 . 1 % ) , Peringkat Hitam berjumlah 17 perusahaan (0.95%). Namun kegiatan PROPER ini berhenti hanya pada tahap pengumanan daftar tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan dan intervensi lebih jauh sehingga kita tidak bisa melihat lebih jauh seberapa taatnya korporasi dalam upaya perlindungan lingkungan hidup. Menurut WALHI, data bencana

ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang. Penyebab utamanya 80% adalah akibat ijin konsesi pertambangan dan perkebunan khususnya Sawit yang semakin massif di seluruh wilayah Indonesia.Dan dari data tersebut tidak ada juga perusahaan yang diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan mereka.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Provinsi dan 451 perusahaan melalui Mekanisme Penilaian Mandiri. Dari 1812 perusahaan sebanyak 20 perusahaan tidak diumumkan peringkatnya karena perusahaan sedang dalam proses penegakan hukum dan tidak beroperasi. Tingkat ketaatan periode 2012 -2013 secara umum mencapai 65% mengalami sedikit penurunan dibanding tahun kemarin yang mencapai 69%.

Dalam kasus yang melibatkan pejabat negara dan pengusaha, baru sebatas penyalah gunaan ijin dan wewenang seperti yang terjadi pada Adelin Lis, Rusli Zainal dan Hartati Murdaya. Pada kasus pembalakan liar yang dilakukan oleh pengusaha kayu asal Medan Adelin Lis, telah merugikan keuangan negara hampir sekitar Rp.227,02 trilyun, sedangkan kerusakan lingkungan dapat dilihat adanya penggundulan hutan secara liar yang berlangsung dari tahun 1967 telah mengakibatkan kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahunnya meskipun disisi yang lain dapat meningkatkan devisa negara. Terakhir adalah ditangkapnya Rachmat Yasin Bupati Bogor akibat Kasus suap ini diduga terkait pemberian rekomendasi tukar menukar kawasan hutan seluas 2.754

7


KEJAHATAN KERAH PUTIH ; HUKUM LEMAH LINGKUNGAN

hektare di Bogor, Jawa Barat. Nilai suap sebesar Rp 4,5 miliar. Namun belum menyentuh substasi prilaku korporasi dalam memperlakukan lingkungan hidup dan masyarakat yang menjadi korban terdampak. Pada tahun 2013 periode kebakaran mei – juli, dari data yang di publikasikan Walhi, mereka telah melaporkan 117 Perusahaan di Riau dan 6 Perusahaan di Jambi yang mengalami kebakaran konsesinya ke Kementerian Lingkungan Hidup. Pada tahun 2013 juga KLH telah menyelidiki 26 perusahaan dengan 29 kasus dugaan kebakaran hutan dan lahan di Riau. Sampai akhir Juni 2014, sudah 18 perusahaan dengan 67 saksi dimintai keterangan. Dari pemeriksaan lapangan terhadap 26 perusahaan ini, ada tiga perusahaan sudah dinaikkan ke tingkat penyidikan. Yakni, PT. TFDI (perkebunan sawit) di Siak, perusahaan HTI PT. SGP di Dumai dan PT. TKWL (perkebunan sawit) di Kabupaten Siak. Faktanya hingga hari ini belum ada satupun yang ditetapkan tersangka dan dicabut ijinnya. Sebaliknya pada tahun 2014 ini justru kebakaran kembali melanda wilayah ini.

8

IV. Karst

Rakyat Melawan Ijin Tambang

Salah satu kasus tambang terbesar dan meluas di Jawa adalah tambang karst dalam satu decade terakhir. Hasil temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, hingga 2013, izin tambang karst di Pulau Jawa, mencapai 76 izin. Ia tersebar di 23 kabupaten, 42 kecamatan dan 52 desa dengan total konsesi tambang karst 34.944,90 hektar. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi lingkungan di Pulau Jawa. Eksploitasi karst ini, sebagian besar dipacu lewat legalisasi daerah seperti Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRWP 2009 – 2029. Lalu, Perda RTRW Kabupaten Kebumen nomor 23 tahun 2012 menyebutkan bentang alam karst Gombong memiliki luas lebih kurang 4.894 hektar dan seterusnya. Dewasa ini beberapa rencana investasi baru seperti pembangunan investasi pabrik semen Lafarge SA, sebuah produsen semen terbesar di dunia dan PT Semen Bosowa di Jawa Timur. Ada juga PT Ultratech Minning Indonesia di Wono Giri. Kondisi ini jelas memicu konik dan kepentingan perebutan lahan yang massif. Di wilayah Yogyakarta tepatnya di Kabupaten Gunung Kidul dikenal sebagai wilayah karst. Luasan kawasan karst ini sekitar 807 km persegi atau 53% dari luas kabupaten ini 1.483 km persegi. Berdasarkan data inventerisasi dan verikasi dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (EDSM) Yogyakarta ada tujuh perusahaan menambang batu gamping dengan total luas ekploitasi 40 ribu meter


persegi. Sedangkan usaha pertambangan warga ada 14 yang terveriď€ kasi izin eksploitasi berkisar 7.000 meter pesergi.

Penetapa kawasan karst sebagai kawasan lindung geologi melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No 17 tahun 2012 tidak cukup menghadang agenda pembangunan pabrik untuk kebutuhan infrastruktur. Potensi upaya manipulasi Perusahaan agar bisa melanggar hukum lingkungan yang telah ditetapkan. Upaya perlindungan kawasan karst penting karena inimerupakan sumberdaya yang tidak terbarukan karena untuk membentuk bentang alam karst membutuhkan jutanan tahun untuk kembali terbentuk. Perlawanan warga Rembang adalah contoh terbaru dari bentuk kejahatan korporasi yang tidak mengindahkan prinsip keterbukaan terhadap masyarakat.

Jalan Keluar

Kondisi penegakan hukum lingkungan dewasa ini cukup menggambarkan rendahnya kesadaran hukum aparat penegak hukum, para pengusaha, pemilik modal, terhadap lingkungan dan sangat lambannya kinerja aparat penegak hukum didalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu saja telah menghancurkan semangat untuk melindungi, mencegah kerusakan dan perusakan lingkungan yang sedang tumbuh di masyarakat. Bagaimana tidak di dalam negara hukum seperti di Indonesia penegakan hukum sangat ditentukan oleh Pengadilan. Jadi meskipun Kejaksaan sudah berusaha semaksimal mungkin membuat dakwaan yang lengkap dan akurat, setelah pelaku perusakan lingkungan diajukan ke pengadilan tidak divonis, hal ini tentu menjadi bumerang bagi kejaksaan. Oleh karenanya dibutuhkan hakim-hakim yang mempunyai empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan keadilan.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Penelitian yang dilakukan oleh Risyanto dkk (2001) meyebutkan dampak negatif terhadap lingkungan akibat penambangan dolomit meliputi perubahan relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan tanah, terjadinya perubahan tata air permukaan dan bawah permukaan, hilangnya vegetasi penutup, perubahan ora dan fauna, meningkatnya kadar debu dan kebisingan.

V.

Upaya perbaikan kualitas hukum melalui sertiď€ kasi Hakim lingkungan secara sepintas cukup menggembirakan namun tidak cukup menyelesaikan persoalan lingkungan yang kompleks. Perlu satu perbaikan sistematis dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga pelanggaran terhadap kasus lingkungan dapat diselesaikan. Peraturan perundang-

9


KEJAHATAN KERAH PUTIH ; HUKUM LEMAH LINGKUNGAN

undangan yang digunakan pada proses penegakan hukum pidana di bidang lingkungan sudah sangat lengkap terdiri dari UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (general environmental law) dan UU sektoral l a i nny a s ep erti UU Kehuta na n, U U Pertambangan, PP tentang Pengendalian dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, PP tentang Ijin Pembuangan Limbah, UU tentang Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan lain-lain (sektoral environmental law). Namun keberadaan regulasi tersebut belum cukup untuk memberikan kekuatan dan tunduk terhadap peraturan dan kebijakan lingkungan hidup yang lebih jauh. Hingga hari ini kebijakan lingkungan hidup hanya dilihat sebagai problem ikutan dari upaya pembangunan. Parameter sederhana, penentuan menteri lingkungan hidup tidak cukup politis seperti halnya menteri ESDM atau menteri Kehutanan. Dalam pertarungan antar sektor seringkali kepentingan lingkungan hidup dikalahkan oleh sektor-sektor yang lain seperti pertambangan, energi, kehutanan, investasi, dan lain-lain. Konik kepentingan atas ekonomi dan investasi sektor ektraksi sumberdaya alam mampu menyerap tenaga kerja atau melakukan konservasi terhadap satu kawasan bentang alam yang harus diproteksi. Maka tidak heran muncul berbagai

10

regulasi sektoral yang berbenturan dengan kebijakan dan regulasi perlindungan lingkungan hidup. Fakta menunjukan pengusung ide-ide lingkungan hidup harus menghadapi tantangan yang sangat tidak seimbang dari penguasa politik, penguasa dunia usaha dan dari masyarakat sendiri. Kalahnya kepentingan lingkungan hidup dalam pertarungan yang tidak seimbang melawan kepentingan-kepentingan lain tersebut terjadi tidak hanya di forumforum teknis eksekutif, tetapi juga di forumforum politik, di lingkungan lembaga legislative dan bahkan kepentingan nasional masing-masing negara dalam forum internasional. Oleh karena itu di samping ada UU lingkungan hidup yang tentu saja berpihak pada lingkungan, banyak pula produk undang-undang di bidang lain yang justru tidak ramah lingkungan harus diubah dan mengacu kepada upaya perlindungan tanpa menghambat kepentingan pembangunan nasional.


VI. Mendorong Kebijakan Peradilan Lingkungan

1. Black, Henry Campbell, Black's Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339. 2. Dine, Janet, Company Law, Macmillan Press Ltd., 1998. 3. Ferguson,Gerry, Corruption and C r i m i n a l L i a b i l i t y , http://www.icclr.law.ubc.ca/ Publications/ Reports/ FergusonG.PDF 4. Gross, Hyman, A Theory of Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 1979, hal.114. 5. Keenan, Denis & Josephine Biscare, Smith & Keenan's Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1996. 6. Khanna, V.S, Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?, 109 Harv. L.Rev. 1477, The Harvard Law Review Association, 1996 7. Lipton, Philip dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Berkaca dari praktik yang terjadi di lapangan dan hukum lingkungan maka penting untuk hadirnya peradilan lingkungan. Dorongan ini dibutuhkan mengingat kejahatan lingkungan hidup sudah masuk pada kategori bukan kejahatan biasa (extra ordinary crimes), karena korbannya sudah banyak baik korban jiwa, korban materi maupun kerugian sosial ekologis yang tidak dapat dinilai dalam sebuah hitungan (valuasi) ekonomi. Peradilan lingkungan hidup menjadi agenda mendesak yang patut dipertimbangkan untuk dibentuk oleh pemerintahan kedepan untuk mengadili kejahatan lingkungan yang bersembunyi dibalik kebijakan dan regulasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Kita ketahui dalam perkembangannya, kejahatan korupsi sudah dimasukkan pada kejahatan luar biasa, dan ada kebijakan serta kelembagaan yang sekaligus menjadi penegakan hukumnya melalui KPK.

DAFTAR PUSTAKA

11



KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP Oleh : M. Irsyad Tamrin

Kawasan karst merupakan kawasan yang sering menjadi sumber konik antara wacana konservasi dan penambangan. Disisi lain pemerintah dengan dalih melindungi kepentingan investasi yang menguntungkan Negara, seringkali menggunakan pendekatan ketertiban dan keamanan. Atas legitimasi ini aparat penegak hukum menggunakan instrumen hukum pidana sebagai jalur penyelesaian konik terhadap masyarakat yang melakukan penolakan terhadap ijin pertambangan . Penggunaan bahasa kriminalisasi kepada masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, sudah menjadi bahasa umum yang seringkali kita dengar. Kebijakan konservasi dan pelindungan lingkungan selalu bertolak belakang dengan kebijakan pembangunan lainnya dalam penyelesaian konik yang ada. Tulisan ini akan menguraikan bagaimana tumpang tindihnya regulasi mengenai pengelolaan kawasan karst, yang justru menjadi salah satu akar masalah lahirnya konik (baca: factor kriminogen), kriminalisasi dan kecenderungan politisasi hukum pidana

dalam penyelesaian konik sumber daya alam. Fokus tulisan hendak menggambarkan bagaimana konteks perlindungan hukum pidana kepada masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup. I. Pendahuluan Hingga tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan 76 izin tambang karst hanya di pulau Jawa. Izin tersebut tersebar di 23 kabupaten, 42 kecamatan dan 52 desa dengan total konsesi pertambangan karst 34.944,90 hektar. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi lingkungan tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di wilayah lain di Indonesia. 1 Banyaknya izin tersebut seringkali melahirkan konik di masyarakat yang terkena dampak langsung kerusakan lingkungan . Belum hilang dari ingatan kita bagaimana para petani desa Tegaldowo, Sukolilo, Kabupaten Rembang Jateng, mendapatkan kekerasan, intimidasi dan penangkapan karena menolak penambangan Karst dan pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia di wilayah mereka. Dalam upaya penolakan tersebut empat orang petani ditangkap, ibu-ibu petani yang memblokade pabrik semen terluka akibat kekerasan dari aparat keamanan. Alasan

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Abstrak

1. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

13


KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

penolakan warga desa yang mayoritas adalah petani adalah hilangnya sumber mata air dan tanah di pegunungan Kendeng tempat menggantungkan hidupnya mereka.

Berdasarkan data WALHI, pada tahun 2012 telah terjadi 147 kasus kekerasan dan kriminalisasi terkait persoalan lingkungan hidup. Di tahun 2013, naik cukup signikan menjadi 227 kasus konik lingkungan hidup, sumber daya alam dan agraria yang berujung pada tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan pejuang HAM di Indonesia.2 Catatan KPA juga menunjukkan, sepanjang 2004-2012 sedikitnya 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang diantaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 54 petani/warga di seluruh wilayah Indonesia. Sejumlah kejadian yang melibatkan kepolisian dalam penanganan konik agraria, kriminalisasi dan penangkapan kepada pimpinan organisasi rakyat oleh aparat kepolisian yang sering mengunakan jerat pidana dengan pasal-pasal 160, 170, 187, 365 dan 406 KUHP.3 Sebagian besar kasus pidana 2. Annual Report WALHI 2012-2013. 3. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

14

yang dibawa ke pengadilan menjatuhkan vonis bersalah kepada masyarakat yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa. Pertimbangan hakim sendiri ketika memutus perkara secara jelas menyatakan bahwa semua unsur tersebut telah memenuhi unsur-unsur didakwakan. Sekalipun ada alasan yang meringankan, sebagian besar lebih mengambil pertimbangan dengan alasan keluarga, perbuatan baik selama persidangan dan tidak mengulang lagi perbuatannya. Dari kondisi di atas, permasalahan konik lingkungan dan SDA yang terjadi dan dimunculkannya permasalahan kriminal kepada masyarakat maupun aktivis lingkungan mereeksikan bahwa persoalan lingkungan tidak sesederhana yang dibayangkan,. Permasalahan munculnya kriminalisasi yang dilontarkan kepada aparat penegak hukum dan pemerintah terhadap penyelesaian konik lingkungan memberikan gambaran tentang persoalan yang lebih mendasar tentang sosial-politik, ekonomipolitik, dan politik hukum bahwa saat ini ada kondisi yang tidak adil atas nama pembangunan ekonomi. Tarik menarik antara kepentingan peningkatan anggaran dan ekonomi harus berhadapan dengan perlindungan terhadap kekayaan dan kelestarian lingkungan hidup. Dan kesemuanya menggunakan instrumen hukum sebagai dasar pengambilan keputusan politik (baca kebijakan).


JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Kita ketahui bahwa perlindungan terhadap kawasan karst dan kelestarian lingkungan hidup sudah diatur dalam peraturan perundangan-undangan, baik itu UU ataupun aturan dibawahnya. Namun di sisi lain, pemerintah (juga DPR) pun mengeluarkan peraturan mengenai pengelolaan pertambangan mineral batu bara, termasuk di dalamnya mengenai pengelolaan kawasan karst. Kebijakan yang tidak konsisten inilah yang sebenarnya mengakibatkan munculnya polemik dan konik di masyarakat. Ketika konik tidak terselesaikan, penggunaan instrumen hukum pidana kepada masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup yang dianggap mengganggu akan lebih menguatkan lagi pandangan masyarakat bahwa “posisi aparat penegak hukum tidak dalam posisi yang netral dan hukum bukan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakatâ€?.

Ubi societas ibi Ius. Adagium yang dinyatakan oleh Cicero tersebut seharusnya menjadi pedoman bahwa hukum sebagai fenomena sosial terbentuk dan merupakan aturan-aturan untuk memenuhi berbagai kepentingan masyarakat (social) tanpa terkait dengan kepentingan kekuasaan. Kepentingan sosial tersebut meliputi hal-hal seperti kepastian dalam bertransaksi (hubungan hukum), ketertiban masyarakat, ketertiban dalam hubungan kekeluargaan dan lain-lain.Hal-hal ini merupakan kepentingan individu atau masyarakat yang tidak terkait dengan kepentingan kekuasaan. Bahkan kalau tidak ada hukum sebagai aturan sosial tersebut, justru akan menyulitkan para penguasa sendiri, karena akan terjadi kekacauan hubungan antar individu atau sosial yang oleh Thomas Hobbes digambarkan sebagai "homo homini lupus bellum, omnion centra omnes". Kalaupun yang terakhir ini tetap terselip kepentingan yang berkuasa, tetapi hal itu tidak bertujuan memeras atau menindas, melainkan hukum sebagai instrumen yang memberi dasar pada kekuasaan, untuk menjalankan fungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban. Paling tidak, kehadiran hukum dapat dipandang sebagai pranata yang saling menguntungkan antara masyarakat dan penguasa.

15


KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

16

Namun realitasnya tidak sebagaimana yang diungkapkan oleh ď€ lsuf Cicero, dalam hal ini hukum digunakan oleh kekuasaan untuk melindungi kepentingan investasi eksploitasi sumber daya alam dari masyarakat yang menolak kepentingan tersebut. Dengan dalih melakukan perusakan, mengganggu ketertiban dan keamanan, menghambat pembangunan, masyarakat atau aktivis lingkungan yang melakukan penolakan penambangan dicap sebagai kriminal yang melakukan pelanggaran hukum sehingga sudah sepantasnya ditindak oleh aparat penegak hukum. Anggaplah itu benar bahwa tindakan tersebut mengganggu ketertiban, namun penggunaan pidana harus ditimbang dan diperhatikan secara mendalam. Harus dilihat dulu penyebab masalah keamanan itu terjadi, faktor-faktornya, termasuk rasa keadilan dalam masyarakat. Harus dipahami oleh Pemerintah maupun aparat penegak hukum bahwa pembangunan dapat bersifat kriminogen atau dapat meningkatkan kriminalitas apabila pembangunan itu tidak direncanakan secara rasional, perencanaannya timpang atau tidak seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral serta tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral.

II. Kebijakan perlindungan kawasan Karst yang setengah hati Saat ini payung hukum yang mengatur mengenai ketentuan pertambangan Indonesia adalah UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang ini secara substansi tidak mengakui hak rakyat untuk membuat keputusan menerima atau menolak sebuah investasi yang berpotensi merusak sumber-sumber kehidupan mereka. Hal ini terbukti dengan tidak ada satupun pasal yang menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menolak investasi pertambangan di wilayah mereka. Undang Undang ini sebenarnya harus memasukkan konsep Free Prior and Informed Concern (FPIC) yang sudah diadopsi oleh banyak negara. Konsep ini adalah sebuah konsep yang mengatur hak masyarakat untuk mendapatkan informasi sebelum sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan menyatakan setuju atau menolak. Dengan kata lain, masyarakat memiliki hak untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan seperti apa yang dapat berlangsung dalam tanah mereka. Permasalahan lain yang muncul terkait dengan regulasi pertambangan adalah tidak harmonisnya aturan mengenai penambangan karst. Tumpang tindihnya aturan yang tersebar ini memunculkan banyak tafsir yang digunakan untuk memuluskan upaya penambangan di kawasan bentang


a. Kawasan Karst Kelas I, merupakan kawasan lindung yang di dalamnya tidak boleh ada kegiatan penambangan. Boleh dilakukan kegiatan lain asal tidak mengganggu proses karstikasi dan tidak merusak fungsi kawasan karst. b. Kawasan Karst Kelas II, merupakan kawasan karst yang di dalamnya boleh dilakukan aktivitas penambangan dengan disertai studi AMDAL, UKL dan UPL c. Kawasan Karst Kelas III, merupakan kawasan karst yang di dalamnya boleh dilakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan perundangan. Pada implementasinya regulasi ini membuka tafsir4 untuk dimanipulasi oleh pihak pihak investor demi keuntungan semata tetap melakukan kegiatan eksploitasi karst walaupun masuk kawasan karst kelas I. Apalagi oknum oknum birokrasi, akademisi mampu diarahkan untuk menetapkan kawasan tersebut menjadi klasikasi kelas II atau III termasuk melakukan manipulasi

terhadap proses AMDAL. Akhirnya Izin pendirian perusahaan tambangkarst terus diterbitkan tentu dengan berbagai perhitungan dan argumen yang mengiringinya. Pada perkembanganya dengan derasnya tuntutan perlindungan terhadap kawasan karst, Pemerintah mengelurkan peraturan yakni PPNo. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan Pemerintah ini dianggap mampu melindungi kawasan karst karenadalam regulasiini tidak lagi dikenal Kawasan Karst Kelas I, Kelas II atau Kelas III.5 Dalam peraturan ini, semua bentang alam karst dan goa termasuk dalam Cagar Alam Geologi (Pasal 60 ayat 2 poin C dan F).Cagar Alam Geologi dalam peraturan tersebut dimasukkan dalam Kawasan Lindung Geologi (Pasal 52 ayat 5), Kawasan Lindung Geologi sebagai bagian dari Kawasan Lindung Nasional (Pasal 51). Secara hierarki, kedudukan kawasan karst dalam PP No. 26 tahun 2008 sangat jelas, yaitu merupakan bagian dari Kawasan Lindung Nasional.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

alam karst. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat semangat untuk melindungi kawasan karst dari upaya penambangan. Peraturan Pemerintah ini cukup ketat dan membawa angin segar bagi kelestarian kawasan karst karena sebelumnya telah ada Keputusan Menteri ESDM No. 1456 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan karst diklasikasikan menjadi tiga bagian yakni :

Belum sampai setahun, Lembaga legislatif dan Pemerintah masih tergoda dengan potensi keuntungan dari eksploitasi tambang di kawasan karst dengan mengeluarkan regulasi yang baru pada tahun 2009.Dalam UU No. 4 Tahun 2009 membuka kesempatan untuk kawasan karst untuk di tambang.Dalam Pasal 1 angka 4 UU No 4 tahun 2009 menyatakan bahwa “pertambangan

4. Belum adanya standarisasi metode investigasi dan klasikasi kawasan karst.Sehingga banyak pihak yang sebenarnya tidak memahami tentang karst berani membuat klasikasi berdasarkaan metode yang tidak tepat.Akibatnya, kawasan karst yang seharusnya masuk kriteria kelas I turun menjadi kelas II atau III. 5. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No.1456 tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan karst

17


KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah”. Berikutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan pada Pasal 4 ayat (3) menjelaskan bahwa pertambangan mineral dikelompokkan ke dalam empat komoditas tambang, yaitu : i. ii. iii. iv.

pertambangan mineral radioaktif; pertambangan mineral logam; pertambangan mineral bukan logam; dan pertambangan batuan.

Mineral bukan logam menurut PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Usaha Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi “intan, korundum, grat, arsen, pasir kuarsa, uorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, uorit, ball clay, re clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirolit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen”.Khusus untuk batu gamping yang merupakan sumber batu

kapur dan bahan baku semen dapat dijumpai pada kawasan bentang alam karst.6 Dari ketentuan PP tersebut yang merupakan turunan dari UU No 4 tahun 2009 menjelaskan bahwa karst yang merupakan bagian dari mineral bukan logam merupakan salah satu obyek tambang, hal ini sangatlah bertentangan dengan PP No 26 tahun 2008 yang menyatakan bahwa kawasan karst merupakan kawasan yang harus dilindungi karena merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan dan memiliki fungsi sebagai wilayah penampung air (catchment area).Salah satu fungsi pentingnya berkaitan dengan ketersediaan air sehingga kelestariannya menjadi krusial, langsung berhubungan dengan kehidupan masyarakat.7 Dari uraian ini sangatlah jelas bahwa Pemerintah masih setengah hati atau lebih tegasnya belum memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi kawasan karst dari eksploitasi. Akan selalu ada argumen bahwa peningkatan ekonomi menjadi faktor utama dilakukannya penambangan di kawasan

6. Karst, menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 Pasal 1 nomor 1 adalah “bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/dolomite. 7. Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Permen ESDM) Nomor 17 Tahun 2012 Pasal 3 menyebutkan bahwa “Kawasan bentang alam karst merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional”. Masih menurut Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2012 tersebut, pada Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa “Kawasan bentang alam karst sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan kawasan bentang alam karst yang menunjukkan bentuk eksokarst dan endokarst”. Bentuk eksokarst yang disebutkan dalam Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2012 Pasal 4 ayat (5) terdiri atas : mata air permanen, bukit karst, dolina, uvala, polje, dan/atau telaga. Sedangkan Pasal 4 ayat (6) menyebutkan bahwa “bentuk endokarst terdiri atas sungai bawah tanah; dan/atau speleotem”

18


Berubah-ubahnya kebijakan pengelolaan dan perlindungan kawasan karst berpotensi melahirkan konik yang besar di masyarakat. Hal ini patut dipertanyakan bagaimana keseriusan dan political will Pemerintah dalam pembuatan kebijakan melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya. Dalam hubungan antara politik kriminal dengan politik sosial, kebijakan pada hakikatnya merupakan bagian integral antara upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare).8 Dalam konteks ini, apakah sudah tepat kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, ataukah bertolak belakang dengan realitas bahwa kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah justru tidak melindungi mereka ? Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang terjadi ketika pihak swasta dan Pemerintah tetap

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

karst. Pembenaran eksploitasi tambang bisa dilakukan melalui legalisasi di daerah melalui Peraturan daerah (Perda) tentang RT/RW ataupun pengeluaran izin dari Kepala Daerah sesuai dengan mekanisme formal yang ada. Sebagai contoh kasus pendirian pabrik dan penambangan di pegunungan kendeng (Rembang), penggunaan kawasan cekungan air tanah watu putih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen ini melanggar Perda RTRW Jawa Tengah No 6 tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini kawasan lindung imbuhan air. Juga Perda RTRW Kabupaten Rembang no 14 tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.Namun dengan dalih penambangan dilakukan di area morfologi karst di lokasi zona kering maka Pemerintah kabupaten Rembang menyetujui untuk dilakukannya penambangan. Apalagi penambangan di kawasan karst tidak secara tegas untuk dilarang secara keseluruhan.Kebijakan ini diambil karena mendatangkan investasi senilai 3, 717 trilyun yang berpotensi menambah pendapatan asli daerah (PAD), namun sejalan dengan itu, kerusakan lingkungan serta penurunan kualitas kesehatan masyarakat terus terjadi.

8. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hal. 44

19


KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

20

ngotot untuk dilakukannya penambangan dan masyarakat bersikeras menolak rencana tersebut ? Masyarakat khususnya yang langsung bersinggungan di daerah tersebut dan terancam kesejahteraannya pastinya akan mempertahankan (baca : melawan) dengan cara apapun, untuk itu apakah Aparat penegak hukum dan Pemerintah akan menindak mereka termasuk menggunakan pendekatan hukum pidana ? Pada akhirnya kesemua ini melahirkan polemik/konik yang tidak pernah terselesaikan dan akan selalu muncul di kemudian hari. Pemerintah justru dengan kebijakannya yang menjadi penyebab masalahnya. Berdasarkan hal tersebut di atas satu satunya solusi menyelesaikan polemik/konik yang selalu manifest tersebut, adalah memberlakukan kebijakan yang konsisten dengan melarang seluruh kawasan karst (secara limitatif) sebagai obyek tambang. Namun tentunya hal ini harus disertai political will dan komitmen yang kuat. Bagaimanapun juga investasi semen (karst) yang dianggap besar nilai ekonomisnya tidak bisa dibandingkan dengan investasi lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati yang selain nilai ekonomis yang bisa dikembangkan juga nilai-nilai lainnya. Belajar dari eksploitasi pertambangan sebelumnya, pemanfaatan kawasan lindung oleh industri tambang selalu menyisakan efek samping yang begitu besar seperti polusi, hilangnya sumber air, rusaknya lahan pertanian dan perkebunan juga punahnya keanekaragaman hayati.

III. Menolak Penambangan Karst, Kriminalisasi ataukah Politisasi Penegakan Hukum Pidana? Beberapa waktu lalu ramai diberitakan di media tentang penangkapan petani/masyarakat Rembang oleh aparat Kepolisian paska bentrok ketika warga menolak dan memblokade kawasan pendirian tambang karst dan pabrik semen PT Indonesia di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang. Aktivis lingkungan hidup maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengutuk aksi tersebut dan menolak cara-cara “kriminalisasi” yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dalam penyelesaian konik/sengketa lingkungan hidup. Jauh sebelum kasus Rembang, kasus semacam ini sudah banyak terjadi di beberapa wilayah Indonesia yang berujung penangkapan serta intimidasi. Banyak kalangan meneriakkan dan menolak cara penyelesaian penolakan warga terhadap aktivitas penambangan kawasan karst.melalui cara kriminalisasi terhadap masyarakat dan aktivis lingkungan hidup.


JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Dalam perspektif hukum pidana, penggunaan terminologi “kriminalisasi” terhadap masyarakat dan aktivis lingkungan hidup sebenarnya kurang tepat. Karena di dalam kebijakan hukum pidana sebagaimana yang terdapat di dalam KUHP memang tidak pernah menyebutkan bahwa menjalankan “aktivitas perlindungan lingkungan hidup merupakan tindakan kriminal”, dengan kata lain suatu bentuk “kejahatan”. Menurut J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif),

yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.9 Untuk itu dalam konteks banyaknya masyarakat ataupun aktivis lingkungan hidup yang ditangkap dan diproses pidana, penggunaan teminologi “kriminalisasi” oleh beberapa kalangan dimaksudkan sebagai tindakan Aparat Penegak Hukum menggunakan pasal KUHP untuk menjerat aktivis dan masyarakat yang melakukan aksi penolakan pertambangan.

9. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hal. 44

21


Di bawah ini adalah Pasal –pasal KUHP yang sering digunakan Aparat Kepolisian ketika terjadi konik penolakan pertambangan, dengan alasan Alasan Penjeratan Pidana

penjeratan pidana dan gambaran bentuk tindakan /perbuatan. Lihat bagan di bawah ini

Pasal KUHP yang disangkakan

Kegiatan/aksi Masyarakat dan Aktivis Lingkungan

KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

Hidup Adanya kerusakan barang/fasilitas

Pasal 170 ,telah melakukan tindakan pidana

Perusahaan :melakukan penutupan kantor perusahaan

perusahaan, atau muncul korban

secara bersama-sama dimuka umum

tambang, menduduki/memblokade

(biasanya cuma luka luka) dari

melakukan kekerasan terhadap orang atau

penyebab kerusakan lingkungan

Perusahaan maupun Pemerintah

barang

lokasi tambang

Pemerintah :Aksidi kantor pemerintah untuk mencabut ijin tambang, atau dugaan munculnya ijin illegal yang dikeluarkan Masyarakat termobilisasi untuk

Pasal 160, Barang siapa di muka umum

Biasanya

melakukan penolakan tambang yang

dengan lisan atau dengan tulisan menghasut

masyarakat yang menggalang melakukan penolakan

dikenakan

dikaitkan dengan adanya

supaya melakukan perbuatan yang dapat

tambang,

penghasutan untuk melawan

dihukum, melawan pada kekuasaan umum,

demonstrasi/korlap aksi blockade.

kebijakan Pemerintah,

dengan kekerasan atau supaya jangan mau

aktivis

kepada

pemimpin

penggerak

aksi,

kelompok

pemimpin

menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang. Masyarakat melawan Aparat

Pasal 214 dan/atau pasal 212 dan/atau pasal

Masa aksi menolak pembubaran aksi/protes penolakan

Penegak Hukum dan Pemerintah

216 KUHP (Kejahatan terhadap Penguasa

tambang, Ketika aparat melakukan kekerasandalam

ketika aksi masyarakat dibubarkan.

Umum) melawan dengan kekerasan kepada

melakukan pembubaran aksi, muncul perlawanan atau

(dianggap mengganggu kemanan dan

pegawai negeri yang sedang melakukan

bentuk

ketertiban atau tidak memiliki izin

pekerjaan yang syah dan atau tidak

terprovokasi

aksi/demonstrasi)

menghiraukan perintah dari petugas

mengakibatkan ada aparat terluka (biasanya korban juga

Perusahan/pihak swasta yang

Pasal 335, Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP

Demonsrasi, melakukan protes di perusahaan yang

melaporkan masyarakat terkait

selengkapnya berbunyi, “Barang siapa secara

memasuki lingkungankerja perusahaan, melakukan

tindakan/bentuk-bentuk aksi

melawan hukum memaksa orang lain supaya

blockade atau melarang pegawai perusahaan tambang

penolakan masyarakat

melakukan, tidak melakukan atau membiarkan

bekerja, menuntut pemimpin perusahaan atau kepala

sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau

daerah membatalkan investasi tambang atau ijin usaha

dengan memakai ancaman kekerasan, baik

tambang, dan lain lain.

pertahanan

ketika

dibubarkan(masyarakat

tindakan kekerasan

aparat)

yang

lebih banyak jatuh dari pihak masyarakat).

terhadap orang itu sendiri maupun orang 10

lain.” Pemerintah yang melaporkan karena

Pasal

dianggap mencemarkan nama baik

pencemaran/penghinaan. Pasal-pasal

tentang

Melakukan orasi, membuat selebaran, kampanye di media

inilah

massa elektronik maupun cetak tentang dampak buruk

pejabat biasanya terkait jin yang

yang juga dikenal sebagai “pasal-pasal karet”

dari pertambangan, tentang dugaan manipulasi ijin

dikeluarkan, atau pihak swasta yang

dimana Klausul dalam pasal-pasal tersebut

tambang atau dugaan pelanggaran tata ruang dan lain

melaporkan

terkait

bisa menjebak karena tidak ada parameter

sebagainya

pencemaran/

perusakan

berdampak kepada

tuduhan yang

310

dan

311

KUHP

yang jelas.

nama baik

orang/ perusahaan Kepada masyarakat yang dianggap

KUHP jo pasal 55 KUHP dan atau pasal 56

ikut serta atau membantu aksi

KUHP. Turut serta melakukan perbuatan

/perbuatan yang disangkakan

pidana (delik penyertaan maupun pembantuan)

Warga msyarakat yang ikut aksi penolakan tambang

10. MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 335 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP terkait delik perbuatan tidak menyenangkan dan Pasal 21 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. MK membatalkan frasa perbuatan tidak menyenangkan dalam Pasal 335 KUHP, tetapi MK tak membatalkan Pasal 335 ayat (1) KUHP dan Pasal 21 ayat (4) KUHAP sebagai pasal yang bisa dilakukan penahanan. “MK menyatakan bahwa frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.Eko Teguh Paripurno, Apakah Kebijakan Pembangunan Kita Meningkatkan resiko bencana, Pembangunan Ekosistem Kawasan Karst jawatengah, cat watu putih rembang, Semarang 7 Juli 2014 Sekda propinsi Jawatengah

22


Dari bagan di atas, hanya mengkaitkan kolom 1 dan 2, tentunya sangat besar kemungkinan masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup dipidanakan. Sangat mudah bagi aparat kepolisian dengan bukti atau kekuasaan tafsir yang dimiliki untuk memenuhi unsur unsur sebagaimana pasal yang disangkakan. Namun kalau dihubungkan dengan kolom 3 rasanya tidak adil dan bijak (cenderung represif) penggunaan pasal KUHP tersebut tanpa memperhatikan factor factor lainnya. Perlu di cermati dan harus digali lebih dalam secara ď€ losoď€ s maupun sosiologis penggunaan pasal pasal tersebut dengan menjawab pertanyaan : 1. Apakah bentuk/tindakan masyarakat tersebut memiliki kaitan dengan niat (mens rea/ intention) jahat ?

2. Apakah perbuatan yang bertujuan melindungi lingkungan hidup merupakan tindakan immoral, dengan kata lain apakah tepat atau sebanding tindakan masyarakat dalam aksi penolakan terhadap penambangan karst maupun eksploitasi sumber daya alam harus selalu menggunakan pendekatan pidanadengan menggunakan pasal pasal KUHP sebagai jalur penyelesaian ? Menjawab pertanyaan pertama, mengutip paparan Edwin H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur yakni :a) Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian, b) Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, c) harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana, d) harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibatakibat yang merugikan, e) harus ada maksud jahat (mens rea), f) Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan, g) Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Dari bagan di atas, hanya mengkaitkan kolom 1 dan 2, tentunya sangat besar kemungkinan masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup dipidanakan. Sangat mudah bagi aparat kepolisian dengan bukti atau kekuasaan tafsir yang dimiliki untuk memenuhi unsur unsur sebagaimana pasal yang disangkakan. Namun kalau dihubungkan dengan kolom 3 rasanya tidak adil dan bijak (cenderung represif) penggunaan pasal KUHP tersebut tanpa memperhatikan factor factor lainnya. Perlu di cermati

23 11


KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri, h) Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.11 Dari ketujuh unsur tersebut, khususnya huruf d, e,f,g dan dikaitkan dengan kolom 3 tidak memenuhi syarat bahwa perbuatan masyarakat tersebut di kategorikan sebagai kejahatan. Secara imparsial kasus-kasus penolakan terhadap penambangan karst dan eksploitasi SDA yang merusak lingkungan sangat jarang berdasarkan atas niat jahat, artinya betul betul karena niat dan upaya untuk melakukan penyelamatan lingkungan atau setidaknya karena alasan lingkungan tersebut sebagai mata pencaharian/ kelangsungan hidup mereka. Tidak ada hubungan kesatuan antara niat jahat merusak/mengganggu keamanan orang, perusahaan maupun pemerintah dengan tujuan merugikan siapapun. Menjawab pertanyaan kedua. Menggunakan perspektif HAM tentang hak ekonomi sosial budaya (Ekosob) dimana salah satu konsepsinya “Negara berkewajiban secara terus menerus untuk melakukan pemenuhan terhadap lingkungan hidup yang bersih dan sehat”. Dalam situasi Pemerintah belum banyak berbuat optimal menjaga kelestarian lingkungan hidup, harusnya masyarakat yang secara aktif menjaga dan melindungi lingkungan hidup mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang tinggi. Untuk itu ketika masyarakat berkonik (baca : marah) dengan pihak swasta yang melakukan perusakan lingkungan dengan

11. Soedarto, Op.Cit .,44

24

melakukan tindakan yang dianggap merugikan pihak swasta atau pemerintah tidak bisa serta merta dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dan dijerat dengan pasal pasal KUHP. Jika itu tetap dilakukan siapa sebenarnya yang tidak bermoral ? Hal yang sangat berbahaya apabila Penguasa (baca pemerintah) dan aparat penegak hukum menggunakan pasal-pasal KUHP terhadap aksi perlindungan lingkungan hidup tanpa menggunakan pertimbangan pertimbangan yang bijaksana dan rasional. Ini bisa dikategorikan politisasi hukum pidana ! Harus diingat bahwa penggunaan pasalpasal KUHP (baca kriminalisasi) tidak boleh dilakukan jika dimaksudkan sekedar sebagai reaksi atas suatu masalah atau bahkan politisasi hukum p i d a n a d a n j u g a h a r u s mempertimbangkan efek yang timbul terhadap penggunaan pasal tersebut dalam kasus konik lingkungan.


Hal ini tentunya bisa menjadikan penguasa ataupun calon penguasa yang “otoriter” mendapatkan justikasi dari momen tersebut untuk melakukan politisasi hukum pidana. Seperti yang dikemukakan oleh Richard Quinney sebagai berikut :12

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

a. Hukum merupakan cerminan kepentingan dari kelompok masyarakat tertentu, bukan dari seluruh masyarakat. b. Hukum tidaklah mewakili suatu kompromi dari kepentingankepentingan yang bebeda, tetapi mendukung beberapa kepentingan tertentu saja dan mengorbankan beberapa kepentingan tertentu yang lain. c. Kelompok kepentingan yang mempunyai akses kekuasaan dalam mengambil keputusan politik, akan lebih berpeluang untuk mengartikulasikan nilai-nilai ataupun kepentingan-kepentingannya.

Dari uraian Richard Quinney tersebut jika dikaitkan dengan pasalpasal KUHP yang digunakan untuk menjerat masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup, nampak bahwa isi ketentuan KUHP tersebut sangat rentan diselewengkan agar sesuai kepentingan penguasa. Apalagi pasal seperti itu dahulu sering digunakan untuk tujuantujuan politik untuk menjaga kekuasaan dari musuh-musuh politik.Menurut G.P. Hofnagels, suatu politik kriminal harus rasional, kalau tidak demikian antara kejahatan dan kekuasaan dalam proses melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional artinya politik criminal sudah tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”.13 Untuk itu kalau kita kaitkan dengan kriminalisasi masyarakat dan aktivis lingkungan hidup (baca : penyelesaian kasus lingkungan hidup melalui hukum pidana), dari beberapa pasal-pasal KUHP yang telah ada dan sudah diterapkan bisa dilakukan suatu evaluasi terhadap efek yang timbul bagi pelaku, korban ataupun masyarakat. Hal ini ditujukan agar efektitas dan esiensi dalam penciptaan hukum yang berorientasi pembaharuan dapat sesuai dengan tujuan mensejahterakan masyarakat, selain itu pula evaluasi ini dilakukan untuk mencegah/terhindar dari pendekatan rasional yang pragmatis yang menurut Jeremy Bentham bahwa pidana janganlah diterapkan/digunakan apabila “groundless, needless, unprotable or inefcacious”.14

12. Richard Quinney, The Social Reality Of Crime, Boston, Little Brown, 1973, page 35. 13. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Cetakan Kedua, Bandung, 1998, hal 163 14. Ibid, hal 135.

25


KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

IV. Upaya Perlindungan Hukum Pidana Masyarakat dan Aktivis Lingkungan Hidup Menurut Mulyana W Kusumah, dalam hubungan dengan semangat untuk membangun negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial, maka hukum pidana nasional harus dapat didayagunakan bukan saja sebagai dasar politik hukum pidana untuk mengendalikan kejahatan, akan tetapi juga harus menjadi dasar berkurangnya kecenderungan bagi proses penegakan yang lebih diarahkan pada berbagai bentuk peristiwa pidana “konvensional”, kriminalisasi perilaku sosial yang dipandang tidak sesuai dengan nilai serta konstalasi kepentingan ekonomi dominan, penggunaan kekerasan tidak sah (illegitimate violence) terhadap mereka yang dicap sebagai pelaku kejahatan, serta penulisan perilaku politik yang dipandang mengancam status quo politik melalui formulasi “delik-delik ideologi” maupun pasal-pasal penabur kebencian (hartzai artikelen).15 Dari uraian Mulyana tersebut mengenai tujuan hukum pidana nasional dikaitkan dengan penggunaan pasal KUHP untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat ataupun aktivis penolak tambang merupakan gaya orde baru (baca : konvensional). Artinya belum ada perubahan yang signikan orde hukum kita menuju negara yang demokratis dan berkeadilan sosial. Hukum yang harusnya menjadi jembatan untuk melakukan penyelesaian konik lingkungan hidup sampai hari ini hanya menjadi instrumen pembungkam kritik

kepada masyarakat yang melakukan penolakan terhadap eksploitasi sumber daya alam. Ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban ketidakadilan ekologi karena terampas hak atas lingkungannya dan juga menjadi korban ketidakadilan hukum ketika melakukan penolakan dan perlawanan terhadap eksploitasi sumber daya alam. Secara bijak, Pemerintah dan Aparat penegak hukum seharusnya memahami bahwa munculnya tindakan reaktif dari masyakarat tersebut justru berawal dari kebijakan pemerintah dan investor yang tanpa pandang bulu melakukan eksploitasi tanpa mempertimbangkan dampak serius kepada hajat hidup orang banyak. Aparat penegak hukum seharusnya memiliki perspektif bahwa tindakan masyarakat tersebut bagian dari perjuangan keadilan ekologis yang menjadi pertahanan diri mereka dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka dari alam. Disinilah aparat penegak hukum harus memahami losos nilai keadilan ekologis yang diperjuangkan tersebut adalah bagaimana jaminan keselamatan dan perlindungan masyarakat termasuk perlindungan hukumnya.

15. Hendardi et.all, Pembaharuan Hukum Pidana dalam perspektif Hak Asasi Manusia, Jaringan Informasi Masyarakat Friderich Naumann Stiftung kerjasama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, 1992, hal 63.

26


1. UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) khususnya dengan Pasal 66 sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata”.16 Dalam konteks pidana seharusnya regulasi ini bisa menjadi lex specialis untuk memproteksi jeratan KUHP kepada masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup. KUHP sendiri mengatur mengatur tentang ketentuan tersebut sebagaimana dalam pasal 63 ayat 2 yang menyatakan “jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat

secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Aparat penegak hukum terutama hakim di Indonesia penting sekali untuk memahami kehadiran dan kegunaan Pasal 66 UUPPLH, Dimana pasal ini dilahirkan untuk memberikan proteksi kepada lingkungan termasuk kepada masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Dalam beberapa kasus yang terjadi ketika masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup dijerat pasal KUHP, aparat penegak hukum masih mengabaikan atau tidak memahami ketentuan aturan ini baik secara losos maupun substansi.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Berdasarkan hal tersebut di atas, lantas bagaimana konsep perlindungan dalam perspektif penegakan hukum pidana untuk menjawab realitas banyaknya masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup yang dijerat menggunakan pasal KUHP? Hal tersebut antara lain :

2. Menempatkan aparatur hukum dan Pemerintah pada posisi netral. Aparat penegak hukum seharusnya tidak dibebani oleh komitmen politik dalam penyelesaian kasus melalui proses peradilan pidana. Tindakan aparatur hukum akan selalu dinilai sebagai bagian dari kebijakan politis pemerintah ataupun yang memiliki akses kekuasaan. Mengapa terjadi penilaian demikian ? Dengan asumsi bahwa hukum berada dalam subsistem sosial, “teori arus sibernetika” Talcott Parson bisa dipakai untuk menjelaskan hubungan antara sistem politik dan sistem sosial, yang termasuk pula sistem hukum. Dari segi ideal,

16. Sebagai perbandingan di dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP (Strategic Legal Action Against Public Participation), yaitu gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi atau whistle blower dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di masa datang.

27


KRIMINALISASI TERHADAP PENOLAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KARST : PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP MASYARAKAT DAN AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP

28

sistem politik akan diatur atau dikontrol sistem hukum yang mempunyai informasi lebih tinggi. Namun pelaksanaan hukum akan dikondisikan oleh keadaan politik, yang berenergi lebih besar. Sistem peradilan, termasuk peradilan pidana, akan sangat tergantung pada kondisi yang terjadi dalam subsistem politik. Artinya, kehendak politik akan banyak berpengaruh, atau bahkan sangat menentukan pengoperasian sistem peradilan pidana tersebut. Kita ketahui Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kewenangan yang cukup besar kepada institusi Kepolisian yaitu diberikan kekuasaan umum untuk menangani kriminal (general policing authority in criminal matter). Dalam melaksanakan wewenang tersebut Kepolisian berperan dalam melakukan kontrol kriminal (crime control) dalam menjalankan penegakan hukum. Coba kita bayangkan apabila Kepolisian ataupun pemerintah yang memiliki kekuasaan begitu besar justru kolusi dengan investor/perusahaan tambang termasuk untuk memberikan perlindungan dalam operasionalisasi tambang. Ketika masyarakat ataupun aktivis lingkungan hidup berhadapan dengan perusahaan tersebut sangatlah mudah menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pembungkaman (politisasi hukum pidana).

V. Penutup Konik pengelolaan dan perlindungan kawasan karst menjadi konik yang selalu ada sepanjang regulasi yang ada tidak diubah. Upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun Pemerintah sebagai jalur penyelesaian konik penolakan tambang kawasan karst merupakan respon terhadap maraknya masyarakat dan aktivis lingkungan hidup yang dijerat dengan pasal KUHP. Kondisi ini akan terus berlangsung selama peraturan perundang-undangan di Indonesia masih mengatur mengenai ijin penambangan di kawasan karst yang notabene sebagai bagian dari Kawasan Lindung Nasional yang memegang fungsi dan peranan penting atas ketersediaan air kebutuhan masyarakat. Menurut hemat penulis, dengan mempertimbangkan manfaat dan kegunaan kawasan karst bagi masyarakat maupun bagi lingkungan itu sendiri, segala peraturan yang terkait dengan pengelolaan kawasan karst harus dicabut. Kebijakan ini bisa menjadi salah satu factor kriminogen. Pemerintah harus bisa dan tegas menyatakan bahwa kawasan karst adalah kawasan yang terlarang untuk dilakukan penambangan untuk kepentingan apapun dengan ancaman pidana bagi yang melanggarnya. Dengan demikian maka tidak akan ada lagi tindakan represif terhadap masyarakat yang ingin mempertahankan kelestarian kawasan karst.


Pada akhirnya komitmen dan political will Pemerintah menjadi kunci dari itu semua. Namun apakah Pemerintah berani dan mampu melepaskan diri dari tekanan investasi dan memprioritaskan perlindungan masyarakatnya ? Tidak ada yang tahu !

Daftar Pustaka 1. Annual Report WALHI 2012-2013 2. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) 3. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 4. Hendardi et.all, Pembaharuan Hukum Pidana dalam perspektif Hak Asasi Manusia, Jaringan Informasi Masyarakat Friderich Naumann Stiftung kerjasama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, 1992. 5. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Cetakan Kedua, Bandung, 1998. 6. Richard Quinney, The Social Reality Of Crime, Boston, Little Brown, 1973. 7. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977. 8. Syahruddin Husein,Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, Digitized by USU digital library 2003.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Selain itu menempatkan posisi Pemerintah dan Aparat penegak hukum pada posisi yang netral akan mencegah kemungkinan terjadinya politisasi hukum pidana dalam konik pengelolaan dan perlindungan kawasan karst. Masyarakat dan aktivis lingkungan hidup yang melakukan perjuangan terhadap keadilan ekologis seharusnya dilindungi dengan mengefektifkan pelaksanaan pasal 66 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam konteks pidana seharusnya regulasi ini bisa menjadi lex specialis untuk memproteksi jeratan KUHP kepada masyarakat maupun aktivis lingkungan hidup.

29



PENGELOLAAN KAWASAN KARS DALAM PERSPEKTIF PENANGGULANGAN BENCANA Oleh: ET Paripurno, Sunu Widjanarko, Petrasa Wacana, Irfanianto, Abe Rodhialfalah, Thomas Suryono, Fredy Chandra, Imron Fauzi, Gunritno,

Seputar Kars Kita Kars (bahasa Inggris : karst, bahasa Italia : carso, bahasa Slovenia : kras) adalah nama suatu daerah di timur laut kota Trieste, Slovenia. Karena kekhasan bentangalamnya, Cvijic, geologiawan abad 19 yang meneliti daerah itu mengabadikan dengan istilah kars. Kars diartikan sebagai bentuk bentangalam khas yang berkembang di suatu kawasan batuan karbonat atau batuan lain yang mudah larut, dan telah mengalami proses kartiď€ kasi sampai pada kondisi tertentu. Kekhasan ini antara lain dapat dilihat dari fenomena yang ada di permukaan (exokarst) dan di bawah permukaan (indokarst). Indonesia mempunyai batuan karbonat yang luasnya mencapai 15,4 juta hektar. Beberapa diantaranya dikenal telah berkembang menjadi kawasan-kawasan kars, misalnya Gunungsewu (Jawa Tengah – Jawa Timur), Kendeng Utara, Karangbolong, Gombong Selatan (Jawa Tengah), Kars Maros (Sulawesi Selatan). Beberapa kawasan kars tersebut merupakan kawasan kars penting kaliber dunia. Pepatah, tidak kenal maka tak sayang, barangkali cukup pas jika diterapkan pada hubungan kita dengan kawasan-

kawasan kars yang ada di Indonesia. Nampaknya, orang lain lebih mengenal kars kita, dibanding kita mengenalnya. Ujungnya, mereka lebih menyayangi kawasan itu. Misalnya, pada tahun 1994, kars Gunungsewu secara aklamasi oleh International Union of Speleoloogy dinyatakan sebagai World Natural Heritage. Perbukitan-perbukitan konikal yang terbentuk di kawasan kars Gunungsewu juga merupakan ekotipe khas dari kars tropis basah dengan batuan batugamping tebal dan berteras, yang jarang dijumpai di Indonesia. Mac Donnald & Partners dari British Cave Research Assosiation, menyebutkan bahwa kars ini merupakan salah satu contoh konikal kars terbaik di dunia. Oleh karena itu sangat layak jika kawasan ini secara geomorfologis dijadikan morfotipe, yaitu Tipe Kars Gunungsewu.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Ming-Ming Lukiarti

Fenomena eksotik kars, baik eksokarsik dan endokarsik merupakan bentukan yang tidak ternilai. Bentukan eksokars secara umum berupa bukit-bukit dengan besar dan ketinggian beragam, berbentuk kerucut, kubah, dan lembah dolina atau polje. Ciri khas bentang alam ini selain perbukitan, adanya dekokan (closed depresions) dengan berbagai ukuran, pengasatan (drainage) permukaan yang terganggu, serta gua

31


PENGELOLAAN KAWASAN KARS DALAM PERSPEKTIF PENANGGULANGAN BENCANA

dan sistem pengasatan bawah tanah. Kars yang didominasi bukit cembung landai merupakan ciri kars daerah tropis basah dengan lapisan batugamping tebal. Disela-sela bukit terdapat lembah / ledokan yang tak berhubungan satu dengan yang lain (blind dry valley), luweng (sinkhole), tanah merah (terrarossa). Tempat saudara-saudara kita, komunitas kars, bertani dan berladang. Komunitas kars telah melakukan kegiatan ini turun temurun dengan selaras alam dan ramah lingkungan. Pertanian lahan kering dan sistem tumpang sari, telah terbukti ampuh mensiasati alam, dengan cara memanfaatkan tanpa harus menghancurkannya. Gua merupakan salah satu fenomena endokarsik. Proses pembentukan gua membutuhkan waktu ratusan sampai ribuan tahun untuk mencapai kondisi seperti sekarang. Pola ini berakhir pada bentukan sungai ataupun danau bawah tanah. Pada sungai gua bawah tanah terdapat ornamen-ornamen gua yang sangat menarik. Kondisi ini menjadikan lingkungan gua sangat unik dan ekstrim. Terutama pada kondisi suhu dan kelembaban yang relatif tetap sepanjang waktu. Perjalanan air saat melewati celah dan lapisan batugamping, sambil melarutkan batu gamping yang terdiri dari senyawa penyusun utama kalsium karbonat (CaCO3), sehingga air menjadi mengandung kalsium karbonat. Air celah ini yang kemudian muncul menetes dari atap-atap gua, dan meninggalkan partikel kalsium karbonat

32

tersebut di atap, dan proses ini berlangsung terus menerus dan tumbuh menjadi stalagtit (stalactite). Karena perbedaan kadar kalsium karbonat dan bentuk rekahan, antara satu tempat dengan tempat lain menyebabkan stalaktit berbeda-beda bentuk. Sebagian tetesan air tersebut menetes sampai ke lantai, meninggalkan senyawa kalsium karbonat tadi dalam bentuk stalagmit (stalagmite). Jika suatu saat, stalagtit dan stalagmit bertemu, maka terbentuk tiang dari lantai sampai atap yang disebut pilar (column). Ornamen-ornamen akibat tetesan air ini disebut batu tetes atau drip stone. Jika air celah dan air perlapisan tersebut muncul dan mengalir di dindingdinding gua maka disebut ow stone. Bentukan ini merupakan ornamen gua yang indah, menyerupai payung (canopy) atau tirai (gordyn).


I.

Kebijakan Pengelolaan Kars

Sebenarnya, terlepas ada atau tidak peraturan itu, jika hubungan mutualis yang ingin dikembangkan maka tidak berlebihan jika kawasan kars ini lebih layak jika dikonservasi : diamankan bentuk bentang alam kars permukaan maupun bawah permukaan dengan segala ekosistemnya, untuk dimanfaatkan secara lestari.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Saat ini terdapat peraturanperaturan tentang pengeloaan lingkungan dan tata ruang khusus kawasan kars baik peraturan nasional maupun daerah yang dapat dipergunakan sebagai acuan mengenai pemanfaatan daerah kars. ・ Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. ・ Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. ・ Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. ・ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Nasional. ・ Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-11/MENLH /3/1994 tentang Kawasan Lindung. ・ Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1518 K/20/MPE/1999 tentang Pengelolaan Kawasan Karst. ・ Keputusan Menteri Energi dan Sumber D a y a M i n e r a l N o m o r 1456K/20/MEM/2000, tanggal 3 Nopember 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst. ・ Keputusan Menteri Energi dan Sumber D a y a M i n e r a l N o m o r 0398K/40/MEM/2005 Tanggal 25 Pebruari 2005 tentang Penetapan Kawasan Karst Sukolilo. ・ Peraturan MenteriEnergi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst. ・ Keputusan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral Nomor 2641 K/40/MPE/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Sukolilo. ・ Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3045 K/40/MEM/2014Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunungsewu, ・ Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3043 K/40/MEM/2014Tentang Penetapan Bentang Alam Karst Gombong. ・ Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 128 Tahun 2008 Tentang Penetapan Kawasan Karst Sukolilo. ・Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah.

33


PENGELOLAAN KAWASAN KARS DALAM PERSPEKTIF PENANGGULANGAN BENCANA

34

Konservasi itu pemanfaatan lestari. Tetapi rasanya yang terjadi tidak demikian. Perubahan dan hadirnya peraturanperaturan kawasan kars namaknya belum diarahkan ke pemanfaatan lestari. Oleh karena itu banyak yang menduga hadirnya kebijakan lebih didasarkan atas kepentingan diluar pemanfaatan lestari. Sebagai contoh, bisa kita lihat perubahan kebijakan karst di Kars Sukolilo, baik kebijakan nasional maupun kebijakan provinsi yang hadir, dan tumpang tindih.

II.

Potensi Kars

Di beberapa gua itu dijumpai akumulasi air yang melimpah. Karena batugamping mudah larut air di akifer kars mempunyai angka kesadahan sangat tinggi. Pergerakan air tanah kars dimulai dari masukn-ya air hujan menuju saluran pelarutan di bawah permukaan melalui porosias primer dan sekunder. Pada batugamping terumbu airtanah bergerak melalui rongga-rongga saluran pelarutan. Pergerakan air tanah membentuk arus sederhana dan menunjukkan ronggarongga saluran pelarutan yang dilewati airtanah. Pada batugamping berlapis, pergerakan air tanah menjadi lebih kompleks. Air tanah bergerak melalui saluran pelarutan dan celah antar bidang perlapisan serta melalui ruang antar butir. Pada akhirnya airtanah tersebut muncul pada tepi kars melalui celah antar bidang perlapisan dan juga pada batas kontak dengan batulempung kedap air. Permeabilitas batuan kars biasanya sangat besar, hal ini mengakibatkan air dapat melaluinya dengan sangat leluasa. Air di daerah kars mempunyai pola laku, sebaran, sifat kimia, ď€ sika, serta biologis unik, yang pada umumnya berbeda dengan air di daerah jenis media berpori lainnya. Banyak contoh yang menunjukkan kars menjadi penyatu air penting. Kawasan kars Gunungsewu mempunyai lebih-kurang 76 mata-air, sejumlah 34 mata-air terdapat di sebelah selatan-timur, sepanjang pantai antara Ngrenean dan Wediamba; sedang sedikitnya 42 mata-air terdapat di wilayah Kecamatan Panggang, di bagian barat dan utara.Potensi air


kawasan kars, bisa kita lihat dari contoh air tanah yang ada di sistem Gua BribinBaron. Sistem air tanah tersebut mempunyai debit 5.684 liter per detik.

CAT Watuputih yang merupakan bagian Kawasan Kars Kendengdi Kabupaten Rembang merupakan area imbuhan air sebesar 2555,1 ha. CAT Watuputih tersebut saat ini mencatu banyak mataair. Mata air terbesar adalah Sumber Sewu di Desa Tahunan di bagian Timur CAT Watuputih memiliki debit 600 lt per detik, atau menghasilkan 51.840.000 liter per hari. Mataair terkecil adalah Belik Watudi Desa Timbrangan di bagian barat CATWatuputihdengan debit 0,02 liter per detik, sehingga menghasilkan 1.728 liter per hari. Sementara, mataair Sumber Semen merupakan sumber utama untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat607.188 jiwa di 14 kecamatan di Kabupaten Rembang.

Sungai bawah tanah bukan saja memenuhi kebutuhan air kita. Sungai itu juga bank plasma nutfah atas jenis-jenis ikan air tawar di pulau Jawa. Didalam perairan bawah tanah tersebut terdapat ikan lele lokal, pelus, gabus, tawes, keting dan juga udang. Sebagian jenis ikan itu sudah sulit dicari, dan bahkan punah di perairan permukaan pulau Jawa. Sungai bawah tanah tersebut merupakan suatu habitat tersendiri. Sungai-sungai ini bermuara di bawah permukaan air laut, berdidinding terjal dan tidak terlihat dari atas. Kondisi ini menguntungkan beberapa jenis ikan laut maupun ikan air tawar yang membutuhkan air tawar atau air laut guna menjalani sebagian dari proses kehidupannya. Ikan jambal,

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Kawasan kars Kendeng di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati mempunyai lebih dari 80 mata air dengan debit relatif konstan menyantuni kebutuhan air bersih bagi 8000 kk, menyantuni kebutuhan pengairan lebih dari 4.000 hektar sawah, untuk sumber energi alternatif mikro hidro. Kawasan kars Kendeng di Desa Brati, Kecamatan Tambakromo, terdapat 109 gua dan 34 mata air yang ditemukan. Salah satunya adalah mataair Ronggoboyo yang juga sebagai tempat punden untuk upacaraupacara adat. Lainnya mataair Sumber Agung, Kali Cilik, dan Kali Gede yang dipergunakan untuk irigasi dengan debit terukur mencapai 303.826 liter per detik.

Kawasan kars di Kecamatan Giritontro dan Giriwoyo memiliki beberapa sistem sungai bawah tanah. Sungai bawah tanah terbesar adalah di Luweng Pace, dengan debit puncak di musim hujan 794 liter perdetik dan pada musim kemarau 200 liter per detik. Selain itu, Paguyuban Warga Giriwoyo mendapatkan 54 mataair, 10 sumur, 8 telaga, dan 23 gua yang tersebar di wilayah tersebut.

35


PENGELOLAAN KAWASAN KARS DALAM PERSPEKTIF PENANGGULANGAN BENCANA

bertelur di air tawar kemudian dewasa di laut dalam. Ikan pelus, bertelur dilaut dan dewasa di perairan tawar. Aktivitas bertelur tersebut berlangsung musiman dengan migrasi besar-besaran.

36

Gua juga bermakna untuk pengembangan burung walet. Begitu besar nilai sarang burung walet bagi pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah. Sayangnya, nilai yang tinggi ini menjadih buah simalakama. Kita terlalu bernafsu mengambil sarangnya. Mestinya sarang diambil pada periode tertentu, ketika sarang sudah selesai digunakan bertelur dan membesarkan anaknya. Sehingga populasi burung ini tetap terjaga bahkan akan bertambah. Dan kita tak henti menikmati Di gua, kita bisa “berternak� kelelawar. Ada dua keuntungan yang bisa kita hasilkan. Pertama, kelelawar tersebut menjadi musuh alami dari berbagai macam serangga hama. Kedua, menjadikan kelelawar sebagai sumber fosfat guano, yang terdiri dari senyawa P2O5 yang biasa digunakan untuk pupuk yang menggunakan fosfat sebagai salah satu senyawa penyusunnya. Fosfat guano ini terjadi dari endapan kotoran kelelelawar. Endapan ini bertumpuk dan tertimbun dalam

jangka waktu lama. Fosfat guano yang bermutu baik dihasilkan oleh jenis kelelawar pemakan serangga misalnya species hipposideras diadema. Fosfat guano ini sendiri juga perlu ditambang, karena dapat mengkontaminasi sumbersumber air, apabila terdapat dalam jumlah besar. Tetapi gangguan akibat penambangan fosfat terhadap kelelawar yang hidup dalam gua ini harus dikurangi, salah satu caranya dengan melakukan penambangan pada malam hari, saat kelelawar melakukan aktiď€ tas di luar gua. Gua juga dapat dikembangkan sebagai obyek wisata, baik dengan atau tanpa melakukan pemugaran sama sekali. Gua dengan pemugaran bisa kita lihat di gua Pindul dan gua Jomblang (Gunungkidul), gua Tabuhan (Pacitan), gua Jatijjar (Kebumen), gua Akbar (Tuban), guwa Lawa (Trenggalek). Gua kars yang tanpa pemuaran dapat merupakan alternatif lain bagi pecinta wisata penerobosan hutan maupun pendakian gunung. Perpaduan keduanya dapat dikembangkan olah raga yang penyusuran gua (caving), panjat tebing (climbing), orientering, jalan dan lari lintas alam (hashing). Pengelolaan ekowisata yang berbasis kerakyatan merupakan salah satu upaya alternatif terpilih yang dapat dilakukan. Wisata bukan hanya milik agen wisata


atau pemandu wisata, tetapi juga milik komunitas. III.

Tambang dan Risiko pada Kars

Hampir semua pemerintah daerah menawarkan potensi sumberdaya alamnya. Provinsi Jawa Tengah misalnya, menawarkan potensi batugamping yang diperkirakan sebesar 168.963.370.000 ton, dengan kandungan CaCO3 antara 80 % - 95 %, yang tersebar

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Otonomi daerah memicu masingmasing lembaga eksekutif dan legislatif menghitung-hitung potensi sumberdaya daerahnya untuk dijual murah. Semua bagaikan kebakaran jenggot, bersiasat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) guna menutup kebutuhan rutin. Kawasan kars tentu tidak luput perhitungan itu. Pikiran paling sederhana dan konvensional adalah menjadikan potensi kawasan kars tersebut sebagai aset pertambangan. Apalagi, kehidupan nyata keseharian kita tidak lepas dari kebutuhan atas bahan tambang itu. Jika dicermati, menempatkan kars sebagai bahan tambang, berarti menempatkannya kars sebagai bahan “tidak berharga�. Untuk pertambangan rakyat, dan nampaknya pada pertambangan skala besarpun, nilai yang diberikan bukan atas bahan tambang, tetapi atas proses penambangan : menghitung ongkos gali dan memasukkan ke truk. Lebih jauh, penambangan serampangan justru merupakan tindakan menebar ancaman yang akan menuai bencana dikemudian hari. Setidaknya pada pemanfaatan lahan dan air.

di Kabupaten Wonogiri, Kebumen, Grobogan, Blora dan Rembang. Tanahliat diperkirakan sebesar 38.003.491.490 ton tersebar di Kabupaten Wonogiri, Rembang, Grobogan, dan Banjarnegara. Pasir Kuarsa diperkirakan sebesar 25.899.660.000 ton besar tersebar di Kabupaten Rembang, Jepara dan Blora. Gypsum diperkirakan sebesar 120.00 Ton tersebar di Kabupaten Blora, Wonogiri, Tegal dan Grobogan. Proses penambangan ini bukan tanpa risiko.

Kenyataan menunjukkan bahwa “lawan� pengelolaan kawasan kars untuk pemanfaatan lestari bukanlah masyarakat lokal, tetapi modal para pendatang. Modal telah mengancam kawasan kars. Kawasan itu telah dikapling-kapling untuk tambang dan industri wisata. Pertambangan yang

37


PENGELOLAAN KAWASAN KARS DALAM PERSPEKTIF PENANGGULANGAN BENCANA

38

datang ke kawasan kars, menjadikan kawasan kars ini tercabik-cabik. Ini hampir terjadi di semua kawasan kars di Jawa. Di kawasan kars Gunungsewu misalnya, jika kita terlambat, maka morfotipe kars terbaik di dunia itu hilang sudah. Di kawasan kars itu pula, eksploitasi air sungai tanah dengan teknologi tinggi dan debit tinggi akan mengganggu keseimbangan tata air. Saat ini pun kita sedang “kehilangan” satu gua Seropan. Pembangunan instalasi eksploitasi air gua itu telah merajam ornamen gua. Tidak adakah cara lain yang dapat digunakan, sehingga pembangunan tidak perlu menghancurkan? Perancanaan dan pemilihan lokasi pertambangan diperlukan agar tidak terjadi salah tempat akan menghancurkan ekosistem karst, fungsi lahan dan sistem tata air. Perencanaan pertambangan diperlukan untuk memastikan ”nasib” kondisi lahan tersebut pasca pertambangan dilakukan. Perencanaan pertambangan bukan hanya memastikan ada reklamasi, tetapi juga memastikan bahwa pasca pertambangan lahan berfungsi lebih

baik. Perencanaan pertambangan yang baik juga untuk memastikan bahwa pelaksanaan pertambangan akan menguntungkan dan tidak memunculkan korban, serta tidak merugikan sektor lain saat ini dan di masa mendatang. Persepsi masyarakat atas kegiatan pertambangan harus dihargai karena persepsi tersebut merupakan hasil pembelajaran atas praktik pertambangan di tempat lain. Prinsip “empan papan” dengan perspektif konservasi ini memungkinkan kawasan kars dimanfaatkan secara lestari dan mutualistis. Seiring dengan laju pembangunan dan kebutuhan batugamping di pulau Jawa meningkat tajam, cepat atau lambat kegiatan penambangan yang sporadis akan menghancurkan fenomena kars. Oleh karenanya perlu segera dilakukan pendataan ulang potensi kars untuk membuat tata ruang yang benar. Dari posisi itu tata ruang yang mendukung semua komponen dapat berkembang dengan baik. Tata ruang bukan sekedar ditentukan atas kenampakan sik kan?


IV. Pengurangan Risiko: Belajar Dari Tegaldowo Fenomena kars sudah jelas, tetapi informasi tentang kars terbatas. Pengkajian seksama perlu dilakukan dan perlindungan kars perlu menjadi perhatian utama. Sampai saat ini belum ada kebijakan perlindungan kars holistik, sehingga pengelolaan kars berpotensi tidak tepat asas pembangunan berkelanjutan. Dari sisi penanggulangan bencana, saat ini kita masih belum sepenuhnya mampu meniadakan risiko bencana. kemampuan kita untuk mengidentiď€ kasi, memahami, dan mengambil tindakan dalam menangani risiko bencana dapat merubah tingkat risiko. Semakin mampu mengindentiď€ kasi dan memahami tingkat risiko akan semakin tepat dalam melakukan penyelenggaraan penanggulangan. Permasalahannya, kita cenderung tutup mata terhadap kebijakan pembangunan yang berpotensi meningkatkan risiko. Perlu kesadaran kritis bahwa pembangunan bukan hanya mengurangi risiko bencana1, tetapi juga berpotensi meningkatkan risiko bencana dan memunculkan bahaya serta ancaman bencana2 baru; yang pada akhirnya akan menghadirkan bencana.3

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Hal lain, proses rehabilitasi lahan yang kita kenal sebagai upaya restorasi, reklamasi dan remodel lahan tidak pernah berjalan dengan baik. Restorasi lahan sebagai upaya pemulihan lahan sedekat mungkin kembali ke kondisi asli sebelum ada tambang dengan seluruh nilai lingkungan, ekologi dan peninggalan bersejarahnya. Kegiatan ini hampir mustahil dilakukan. Apalagi oleh kegiatan tambang terbuka yang lazim digunakan industri semen. Reklamasi lahan sebagai upaya pemulihan lahan agar aman, stabil dan tidak mudah tererosi. Lahan yang semula digunakan untuk pertanian atau hutan dapat kembali ke tingkat produksi awal. Dari lahan pertanian, dikembalikan ke lahan pertanian. Dari hutan dikembalikan ke fungsi hutan. Proses ini masih banyak kendala. Semen Gresik masih menyisakan masalah dengan Kabupaten Tuban berkenaan dengan lahan tambangnya yang belum direklamasi. Remodel lahan sebagai upaya menciptakan tata guna lahan baru yang sangat berbeda dengan sebelum ada tambang, misalnya mengubah lahan bekas tambang menjadi danau, lapangan golf, tempat wisata, jauh panggang dari api. Di Indonesia hanya ada satu contoh yang bisa di lihat, yaitu Taman Wisata Garuda Wishnu Kencana Bali.

Pembelajaran atas risiko pembangunan yang merentankan, serta komponen-komponen yang menjadi

1. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. (Pasal 1 ayat 17 UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana) 2. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana (Pasal 13 ayat 1 UU no 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana) 3. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Pasal 1 ayat 1 UU no 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana)

39


PENGELOLAAN KAWASAN KARS DALAM PERSPEKTIF PENANGGULANGAN BENCANA

40

rentan dapat kita pelajari dari rencana pembangunan pabrik semen di Tegaldowo, Kabupaten Rembang. Rencana pabrik tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan merentankan lebih dari 49 gua, 4 sungai bawah tanah dan 109 mataair yang tersebar di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sebagai mataair parenial yang mengalir di sepanjang musim. Penambangan mengurangi jumlah simpanan air diffuse, dan meningkatkan aliran conduit. Bertambahnya persentese aliran conduit saat musim hujan akan mengakibatkan banjir, dan berkurangnya persentase aliran diffuse saat musim kemarau menyebabkan mata air menjadi kering.Apa yang menjadi rentan? Pertambangan berpotensi merentankan zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Pertambangan akan merentankan kualitas dan kuantitas serta sebaran mataair berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah baratdaya, utara dan selatan pegunungan Watuputih.

CAT Watuputih merupakan hulu 2 sungai besar di Jawa Tengah, yaitu K. Solo, K. Lusi dan K. Tuyuhan. Kerusakan ekologis hulu secara langsung dan tidak langsung berisiko pada ketiga DAS tersebut. Daerah tangkapan hilir K. Solo berada pada CATWatuputih dengan luasan 2.122 ha. Penambangan seluas 491.5 ha berkontribusi pada kerentanan K. Mrayun, K. Kowang, K. Kening, dan akan bermuara di K. Solo di daerah Bojonegoro. Daerah tangkapan K. Lusi terdapat di CATWatuputih dengan luas 126.9 ha dan tidak terdampak oleh kegiatan penambangan. daerah tangkapan K. Lusi tapak pabrik dengan luas 349.91 ha, selanjutnya berkontribusi pada kerentanan K. Sadang, K. Kedawung, K. Ngampel, dan masuk ke K. Lusi yang akan mengalir melewati Grobogan, dan Purwodadi. Daerah tangkapan K. Tuyuhan berada pada CAT Watuputih dengan luas 319 ha. Terdampak kegiatan penambangan seluas 69.01 ha. Daerah tangkapan ini berkontribusi pada kerentanan K. Sambung Dawong, K. Grubugan, K.Kroyo, K.Tuyuhan dan bermuara di laut Jawa didaerah Lasem.


Dengan demikian apa yang dilaksanakan masyarakat Tegaldowo merupakan kegiatan pencegahan untuk pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf c meliputi: a. identikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; b. kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi sebagai sumber bahaya bencana; c. pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi ancaman atau bahaya bencana;

d. penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; e. penguatan ketahanan sosial masyarakat. Mengapa pencegahan tersebut dilakukan? Apakah kita meragukan bahwa pembangunan yang kita lakukan tidak berisiko pada aset kars kita? Tidak merusak morfologi? Tidak merusak volume reservoir? Tidak merusak sistem kekar? Tidak merusak sistem sungai bawah tanah? Tidak merusak tanah penutup? Tidak merusak vegetasi penutup? Tidak merusak kualitas dan kuantitas air? Tidak merusak aset lain? V.

Rekomendasi

Akar permasalahan adalah strategi dan praktek pengelolaan yang diterapkan di kawasan kars tidak berdasarkan pada manajemen konservasi karst dan air. Tingkat degradasi dapat dikurangi apabila semua pihak melakukan transformasi strategi dan praktek pengelolaan kawasan karst; sepakat menerapkan pengelolaan konservasi ekosistem kars dan air, berdasarkan berdasarkan fungsi sosial, biotis dan sik. Agar tidak hanya mimpi, maka penerapan “sederhana” dapat

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Berkenaan dengan hal tersebut maka masyarakat percaya kegiatan pencegahan bencana4 untuk menghilangkan dan mengurangi ancaman bencana perlu dilakukan. Dalam perspektif penanggulangan bencana, apa yang dilakukan masyarakat merupakan upaya pencegahan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana5 pada saat pra bencana6 dalam situasi tidak terjadi bencana7.

4. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. (Pasal 6 ayat 17 UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.) 5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehablitasi. (Pasal 1 ayat 5 UU No 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi (a) pra bencana, (b) saat tanggap darurat, (c) pascabencana (pasal 33 UU No 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana). 6. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan pra bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf a meliputi (a) dalam situasi tidak terjadi bencana, dan (b) dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana (Pasal 33 UU No 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana). 7. Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf c meliputi: (a) identikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; (b) kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi sebagai sumber bahaya bencana; (c ) pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi ancaman atau bahaya bencana; (d) penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; (e) penguatan ketahanan sosial masyarakat

41


PENGELOLAAN KAWASAN KARS DALAM PERSPEKTIF PENANGGULANGAN BENCANA

dilakukan, antara lain dalam bentuk:

42

1. Kita lebih memperhatikan hal-hal yang sensitif dan mendesak untuk dikerjakan atau dihentikan. Diperlukan kajian holistik atas sebab-akibat sebuah kegiatan, di kawasan karst terhadap lokasi dan waktu tertentu; terutama pada kegiatan beresiko besar yang mengakibatkan kerusakan ekosistem dan siklus hidrologi, yang tidak mungkin dilakukan usaha rehabilitasi. 2. Pemerintah daerah tidak memperbesar dan menggantungkan PAD dari penambangan batutersebut. Perlu segera mencari alternatif sumber pendapatan dari aktiď€ tas pengelolaan sumberdaya terbarukan Misalnya, PAD melalui penyediaan air bersih, bukan dari pajak usaha pertambangan. 3.Perlu ada keyakinan bahwa pertambangan tidak akansustainable. Lebih bijaksana memilih lokasi penambangan di lokasi, yang berdasarkan kajian holistik tidak memiliki dampak luar penting terhadap ekosistem kars dan siklus hidrologi. Sekalipun transportasi lebih mahal, dan investasi lebih mahal. k e m a m p u a n k i t a u n t u k mengidentiď€ kasi, memahami, dan mengambil tindakan dalam menangani risiko bencana dapat merubah tingkat risiko 4. Pola pemanfaatan ruang yang baik merupakan modal awal untuk usahausaha pengurangan risiko bencana. jangan kita mencari keuntungan dengan cara merugikan pihak lain. Jangan kita mencari keuntungan dan mengurangi risiko dengan cara meningkatkan risiko pihak lain.


http://nou22femme.ď€ les.wordpress.com



KARST

MAROS-PANGKEP

DAN

PERLINDUNGAN

TAMAN

NASIONAL

BANTIMURUNG BULUSARAUNG Oleh: Zulkarnain Yusuf

The charm and uniqueness Karst of MarosPangkep, not only storing the high potential economic and Ecological, But also the area of a Living Space For Various Species and it was a giant laboratory for the development of science and life testimony of the ancient history of Mankind. It's ironic the the potential of it simply inviting wealth problems in utilization, industrial mining marine spreading terror threat Karst and safety for life sustainability living things in this area. What was the genuine role of the government policies toward ecosystem of Karst in Maros-Pangkep Karst area? Is the policies was made as an effort of the guarantee protection of an exisisting Karst ecosystem in that area? How was the the extractive industry in exploiting the raw materials of Karst for the needs of the business market of marble quarries and cement mine. Is there a strong relationship which able to measure the destructive force of the Masterplan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Development policy (MP3EI) in the corridor-4 Sulawesi towards Maros-Pangkep Karst ecosystem. I n the end, we j us t ca n ma ke a n argumentation, analysis, and opinion toward the concrete situation made by

the destructive of Karst theritories. We often forget that the form of capital birocrate space policies always makes an area as a commodity or a storefront space for the benet of production Capital Corporation. Because until this moment the rate of destruction keeps continues and tearing the landscape wall and the tower of Karst and the damage became a certainty.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Executive Summary

I. Ekosistem Karst Maros-Pangkep, Ruang Hidup dan Keistimewaannya Seorang naturalis, Alfred Russel Wallace memberikan julukan “The Kingdom of Buttery”, untuk menggambarkan pesona keindahan alam Bantimurung, setelah melakukan eksplorasi ora dan fauna di Bantimurung yang merupakan bagian dari kawasan Karst Maros pada tahun 1857. Ini dilakukannya setelah mempublikasikan laporan-laporan perjalanan dan koleksi spesimennya. Sejak saat itulah deskripsi kawasan Karst Maros-Pangkep dan keanekaragaman hayatinya mulai dikenal oleh para ilmuwan, naturalis, dan masyarakat di Eropa. Kawasan Karst yang berada dalam wilayah administratif k a b u p a ten M a ros d a n k a b up a ten Pangkep ini, merupakan gugusan towertower Karst, yang menyebar di 13 wilayah

45


KARST MAROS-PANGKEP DAN PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

46

kecamatan, yakni meliputi kecamatan Bantimurung, Simbang, Cendrana, Camba, Mallawa, Tompobulu, Bontoa, dan Turikale, serta di Kabupaten Maros, serta kecamatan Balocci, Minasa Te'ne selanjutnya kecamatan.Tondong tallasa, Bungoro, Labakkang di kabupaten Pangkep. Tidak hanya keunikan geomorfologi yang tiada duanya di Indonesia, keindahan panorama alam kawasan Karst Maros-Pangkep, dan potensi keberagaman makhluk hidupnya sangat kaya. Kawasan ini telah ribuan tahun menjadi ruang hidup bagi beragam species tumbuhan dan hewan. yang mendiami tidak hanya di permukaan tanah ataupun tebing-tebing Karst yang curam, melainkan juga hidup di kegelapan gua-gua bawah tanah yang banyak terdapat di kawasan Karst Maros-Pangkep. Di kawasan ini terdapat tidak kurang dari 284 species tumbuhan berkayu, 103 species kupu-kupu yang beberapa diantaranya merupakan jenis endemik, serta beberapa species penting lain yang kondisi populasinya sudah semakin menurun di alam, misalnya, kera hitam Sulawesi yang merupakan jenis primata endemik Sulawesi, kuskus beruang dan kuskus kecil yang khas, berbagai jenis kelelawar, musang Sulawesi, dan jenis primata terkecil di dunia, Tarsius Spectrum atau BalaoCengke juga telah resmi tercatat sebagai penghuni kawasan ini. Kars MarosPangkep menjadi kawasan Karst yang paling terkenal di Indonesia karena landskapnya yang spesiď€ k dan memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Asia

Tropika (Deharveng & Bedos 1999 dalam Suhardjono dkk, 2007). Kekayaan keanekaragaman hayati kars MarosPangkep, telah memperkaya khasanah dan koleksi bioversity bangsa Indonesia, dan menjadi bagian dari sumber ilmu pengetahuan dunia yang harus dilindungi dan dijaga daya dukung ekosistemnya. Keindahan kawasannya juga memiliki nilai tinggi sebagai potensi wisata, utamanya objek wisata Bantimurung yang terdapat dalam kawasan Karst Maros.

Keistimewaan kawasan Karst seolah tak pernah habis, Karst juga merupakan reservoir atau penyimpan air raksasa dan pengatur tata air yang sangat strategis kedudukannya dalam menopang aktivitas produksi masyarakat di kab. Maros dan Pangkep. Dengan formasi geologi utama berupa batuan kapur, kawasan kars dan kawasan hutan di sekitarnya merupakan catchment area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Beberapa


Pada tahun 1902-1903, ahli prasejarah, Frits Sarasin dan Paul Sarasin berhasil menemukan sisa-sisa peralatan manusia prasejarah berupa serpih, bilah, mata panah dan alat-alat yang terbuat dari tulang di gua Cakondo, Ulu Leba dan Balisao Kabupaten Maros. Para ahli menarik kesimpulan bahwa, pada masa prasejarah, gua-gua payung atau rock shelter di kawasan Karst Maros merupakan satu-satunya tempat yang

ideal untuk berlindung. Baik sebagai tempat tinggal maupun sekedar transit, dalam melakukan perjalanan migrasi penduduk dari daratan asia ke kawasan pasiď€ k. Pada tahun 2007 Balai Peninggalan Prasejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan melaporkan bahwa 27 Situs Purbakala yang wajib dilindungi di kawasan kars Maros-Pangkep dari total 89 gua prasejarah yang ada. Di kawasan ini juga terdapat tidak kurang dari 400 gua yang dapat menyajikan keindahan bentukan ornamen gua (speleotem). Gua-gua di kawasan karst MarosPangkep, terutama gua fosil mempunyai nilai arkeologi yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia p ra s ej a ra h, y a ng da p a t mengua k kehidupan manusia prasejarah dan budayanya. Sebagai kawasan yang dapat memberikan kesaksian sejarah kehidupan manusia purba yang pernah mendiami tempat ini. Sehingga tidaklah berlebihan bila kawasan ini kemudian menjadi tempat istimewa bagi para ilmuwan dan naturalis untuk melakukan riset demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan kata lain kawasan Karst adalah laboratorium alam raksasa untuk penelitian dan pemajuan pendidikan.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

sungai berhulu di kawasan ini, antara lain sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai yang mempengaruhi sistem hidrologi danau Tempe di Kabupaten Wajo. Sungai lainnya adalah Sungai Pangkep, Sungai Pute dan Sungai Bantimurung-Maros. Di samping itu juga ditemukan beberapa mata air dan sungai kecil, terutama di gugusan bebatuan Karst, serta aliran air bawah tanah pada sistem perguaannya. Dapat disimpulkan bahwa kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan kawasan penting, sebagai sumber air untuk kebutuhan pertanian, pertambakan dan air bersih bagi beberapa wilayah kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan. Tanah, air dan kebudayaan bertani tidak dapat dipisahkan. Bahwa disetiap hamparan tanah/areal datar, yang menghubungkan tiap gugusan Karst, terdapat kawasan hutan, serta terbangun kebudayaan pertanian masyarakat yang berbasis pada pertanian subsisten. Yang kemudian membuat pola relasi yang kuat antara masyarakat dan sumber daya hutan yang menjadi satu kesatuan dari sistem e k o l o g i k a w a s a n K a r s t .

47


KARST MAROS-PANGKEP DAN PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

II. Kebijakan Negara yang Mempengaruhi Kawasan Karst, dan Sejarah Pengelolaan Karst MarosPangkep Sebagai Ruang Perlindungan. Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM, merupakan dua raksasa pemilik klaim terbesar atas ruang kawasan Karst Maros-Pangkep, sekaligus pemilik regulasi yang paling mempengaruhi pengelolaan kawasan. Surat Keputusan Menteri Kehutanan, No.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan BantimurungBulusaraung, dan menjadikannya sebagai kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung seluas Âą 43.750 Ha, telah membuat Kementerian Kehutanan menjadi penguasa yang paling berpengaruh atas kawasan kars Maros-Pangkep, karena dari sekitar 40,000 Ha luas kawasan Karst Maros-Pangkep, 20,000 Ha diantaranya masuk dalam kawasan taman nasional Babul. Kebijakan perlindungan kawasan dalam bentuk Taman Nasional, bukanlah sebuah upaya perlindungan yang baru terhadap kawasan Karst Maros-Pangkep. Sebelumnya berbagai kebijakan Negara juga lahir untuk melindungi ekosistem

Karst yang sangat penting. Pengalaman praktik dalam perlindungan kawasan Karst Maros-Pangkep, telah memiliki sejarah yang panjang. Negara ini telah banyak belajar dan memiliki rangkuman pengalaman yang sangat berharga dalam mengupayakan perlindungan kawasan. Hampir seratus tahun, kita berpraktek mengupayakan perlindungan kawasan Karst, semestinya teori-teori termaju dari gerakan konservasi yang populis atau perlindungan kawasan yang memberikan rasa keadilan bagi kemanusiaan dapat lahir dari kawasan ini. Pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-XX, mengambil langkah menertibkan status penetapan dan penataan kawasan-kawasan hutan di seluruh bagian kawasan Karst MarosPangkep serta areal berhutan lain di sekitarnya. Air terjun Bantimurung yang mulai terkenal sejak kunjungan Wallace dijadikan kawasan konservasi sejak tahun 1919 dengan luas 18 Ha berdasarkan Guvernements Besluits tanggal 21-2-1919 No.6 Staatblad No.90. Delapan puluh tahun kemudian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Keputusan Nomor: 890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999, yang menjadikan kawasan karst Maros-Pangkep dan kawasan lain di

[Lukisan pada dinding gua prasejarah di kars Maros-Pangkep]

48


K e p u t u s a n M e n t e r i Pertambangan dan Energi, Nomor: 1518 K/20/MPE/1999, Tentang Pengelolaan kawasan Karst dan Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral, Nomor:

1456 K/20/MEM/2000, tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars. Kedua regulasi ini dengan terang menjelaskan, bahwa pengelolaan kawasan Karst bertujuan untuk pengoptimalan pemanfaatan kawasan Karst yang berwawasan lingkungan, dengan sasaran peningkatan upaya perlindungan kawasan Karst yang memiliki arti penting dalam pelestarian fungsi hidrogeologi, proses geologi, ora dan fauna serta nilai sejarah dan budaya. Serta sasaran untuk pelestarian keunikan dan kelangkaan bentukan alam di kawasan Karst.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

sekitarnya sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung, produksi dan konservasi. Antara dekade 1980-2000, di kawasan karst Maros-Pangkep telah ditunjuk dan/atau ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas ± 11.906,9 Ha (TWA. Bantimurung seluas 118 Ha, TWA. Gua Pattunuang seluas 1.506,25 Ha, CA. Bantimurung seluas 1.000 Ha, CA. Karaenta seluas 1.226 Ha, CA. Bulusaraung 8.056,65 Ha). Barulah pada tanggal 18 Oktober 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan BantimurungBulusaraung seluas ± 43.750 Ha terdiri dari Cagar Alam seluas ± 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas ± 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ± 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Produk kebijakan perlindungan dalam bentuk taman nasional ini, tentulah dapat kita harapkan dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi setelah 8 tahun masa penetapannya, pengelolaan TN.BantimurungBulusaraung, masih harus mengalami banyak permasalahan, yang seolah ingin menguji seberapa kuat daya proteksi yang bisa dilakukannya.

Satu lagi Keputusan Menteri tentang pedoman pengelolaan kawasan Karst, mengatur soal klasikasi kawasan Karst, yaitu kawasan Karst kelas I merupakan kawasan lindung sumberdaya alam, yang tidak boleh ditambang. kawasan Karst kelas II, dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan lain, tetapi harus dilengkapi dengan studi lingkungan (Amdal atau UKL dan UPL). kawasan Karst kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria sebagaimana dimaksud dalam

49


KARST MAROS-PANGKEP DAN PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

kawasan Karst kelas I dan II. dan Di dalam kawasan Kars kelas III dapat dilakukan kegiatan pertambangan. Upaya inventarisasi, penyelidikan dan penetapan klasikasi kawasan Karst, agar sesuai dengan situasi objektf di dalam kawasan, tentunya tidak semudah seperti yang kita bayangkan. Pengumpulan data, pembuatan peta dan penyusunan laporan teknisnya, pastinya memiliki tahapan-tahapan yang rumit dan pembiayaan yang besar dalam pengerjaannya. Hal inilah yang membuat proses penetapan klasikasi kawasan Karst I - III Maros–Pangkep, sampai saat ini belum terealisasi. Penyebab lainnya adanya faktor benturan kebijakan sektoral yang menguasai peruntukan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan Karst sebagai kawasan hutan. Temuan lapangan, hasil investigasi WALHI Sulawesi Selatan mengungkap bahwa, sebagian besar Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) marmer dan semen yang terdapat dalam kawasan Karst Maros-Pangkep. Berdasarkan pada kriteria klasikasi Karst yang ada, justru berada dalam kawasan Karst kelas I, yang seharusnya mendapat perlindungan dari Negara. Terjadinya inkonsistensi kebijakan dan fakta dilapangan merupakan salah satu problem mendasar dalam pengelolaan kawasan Karst. Kawasan Lindung Geologi untuk bentang alam Karst yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah .26 Tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), merupakan angin segar perlindungan kawasan Karst.

50

Menurut PP.26/2008, Kawasan Lindung Geologi, salah satunya adalah kawasan cagar alam geologi, yang memiliki keunikan bentang alam, dan ditetapkan dengan criteria; memiliki bentang alam goa; memiliki bentang alam ngarai/lembah; memiliki bentang alam kubah; atau memiliki bentang alam Karst. Kemudian muncullah kontroversi yang dipicu oleh penafsiran pasal 60, ayat (2), huruf f, yang menyebutkan kawasan lindung geologi adalah kawasan yang memiliki bentang alam Karst. pasal ini kemudian menimbulkan interpretasi dan persepsi yang berbeda-beda terkait dengan kawasan lindung geologi.

Penggiat lingkungan hidup dan pemerhati Karst melihat bahwa bentang alam Karst merupakan kawasan yang mengandung nilai keanekaragaman hayati dan non hayati yang tinggi, selain mempunyai nilai-nilai ilimiah, ekonomi, ekologis dan kemanusiaan. Bahwa nilainilai strategis yang dimiliki oleh kawasan Karst haruslah di kelola dengan sangat hati-hati, karena bila satu komponennya terganggu maka keseimbangan ekosistemnya akan terganggu pula, dan akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan dan daya dukung kawasan. Di lain pihak, para pengusaha


III . Industri Pertambangan di Kawasan Karst Maros-Pangkep, Mendulang Keuntungan, Merusak Ekosistem & Mengancam Keselamatan Hidup Masyarakat Lokal Relasi ekonomi-politik, yang menghubungkan kepentingan ekonomi/investasi perusahaanperusahaan tambang, dengan kekuasaan politik pejabat di daerah untuk maksud penguasaan sumber daya kawasan dan akumulasi capital, sangat mempengaruhi arah pemanfaatan kawasan Karst. Kedua pemilik kepentingan ini penerima manfaat terbesar dari kawasan Karst, baik secara vulgar maupun tertutup melakukan koalisi dengan mempropagandakan pentingnya peningkatan investasi di industri tambang, yang sangat dibutuhkan demi pemajuan pembangunan & memacu pertumbuhan ekonomi daerah untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu, pemerintah kabupaten 'wajib' memberikan ruang seluas-luasnya bagi investasi tambang. Dan upaya koalisi ini kini dipermudah dengan lahirnya Undang-Undang Minerba yang berkontribusi besar dalam memuluskan jalan bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan dan memberikan sebanyak mungkin Izin Usaha Pertambangan kepada perusahaan-perusahaan tambang.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

tambang menilai bahwa ketika kawasan Karst sepenuhnya menjadi kawasan lindung maka industri tambang, nilai ekonomi dan kepentingan pembangunan akan terpinggirkan, dan disisi lain, kebijakan izin pemanfaatan Karst untuk industri tambang terlebih dahulu dikeluarkan oleh pemerintah, jauh sebelum terbitnya PP.26/2008, yang menetapkannya sebagai kawasan lindung geologi. Pertanyaannya kemudian, apakah PP.26/2008 mampu untuk mencegah laju kerusakan kawasan Karst? Karena paska ditetapkannya PP ini pada tahun 2008, belasan IUP pertambangan baik yang baru maupun perpanjangan masih tetap diterbitkan oleh pemerintah daerah.

Tahun 2012, Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2012 menyebutkan sebanyak 29 izin Usaha Pertambangan (IUP) jenis marmer dikeluarkan di Kabupaten Maros, dengan luas WIUP

51


KARST MAROS-PANGKEP DAN PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

52

yang bervariasi 16.7 Ha hingga 50 Ha. Tercatat 22 perusahaan marmer yang beroperasi di Kab.Maros, memiliki total luas WIUP marmer seluas 781 Ha. Untuk wilayah kabupaten Pangkep dikeluarkan 44 IUP yang diberikan kepada 39 perusahaan tambang marmer, dengan luasan masing-masing WIUP 5 Ha – 50 Ha. Total luas WIUP marmer yang ada di Kab.Pangkep adalah 1,270 Ha, yang terdapat di 5 Kecamatan.

Sebaran areal tambang batu gamping di kawasan kars Maros-Pangkep (Achmad 2011)

Tapi dari usaha pertambangan yang ada, industri semen yang paling agresif mengerogoti kawasan Karst. Di Karst Maros-Pangkep trdapat 2 industri semen besar yang mengusai Wilayah Izin Usaha Pertambangan batu gamping dengan total luas 2,354.7 Ha, yakni Semen Tonasa seluas 1,354.7 Ha di Kab Pangkep, dan Semen Bosowa dengan luas 1,000 Ha di Kab. Maros. Ke 73 IUP marmer dan 3 IUP perusahaan semen, wilayah izin usaha pertambangannya teridentiď€ kasi berada dalam kawasan Karst yang masuk dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, areal

penggunaan lain, dan diduga juga masuk dalam kawasan konservasi. Penting di pahami bahwa sebagian besar WIUP marmer dan semen tersebut berada dalam kawasan Karst kelas I dan II. yang mana untuk Karst kelas I tidak boleh ditambang, dan Karst kelas II, boleh di tambang dengan syarat pengelolaan lingkungan yang ketat. Bahwa sebagian WIUP tersebut juga menjadi bagian dari kawasan lindung geologi, sebagaimana ciri-ciri ď€ sik bentang alam Karst yang dimaksud dalam PP.26/2008. Hasil investigasi WALHI Sulsel pada tahun 2011, melaporkan bahwa selain pertambangan marmer dan semen, di dalam maupun di sekitar kawasan Karst Maros-Pangkep juga terdapat jenis usaha tambang yang lain. 7 IUP Batubara dengan total luas 4.639.03 Ha. Tambang pasir silika seluas 77 Ha, 25 Ha diantaranya adalah kawasan Hutan Lindung. Tambang tanah liat untuk Industri seluas 74.8 Ha. Usaha tambang khromit dengan luas wilayah IUP 195 Ha. Total luas wilayah izin usaha pertambangan semen dan marmer yang terdapat dalam kawasan Karst MarosPangkep seluas 4,405.7 Ha. ini belum termasuk untuk jenis tambang lain yang juga berada di dalam dan sekitar kawasan Karst Maros-Pangkep. Bila dihitung presentase luas areal pertambangan semen dan marmer dengan total keselurahan luas kawasan Karst Maros-Pangkep yang seluas 40,000 Ha, maka sekitar 11% dari luas kawasan tersebut adalah areal pertambangan, yang pastinya akan mengalami kerusakan, atau bahkan hilang dari peta


IV. MP3EI dan Perluasan Kerusakan Ekosistem Karst Maros,Pangkep Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, untuk meningkatkan kapasitas produksi, perusahaan industry semen di Sulawesi Selatan melakukan pengembangan dan perluasan pabrik semen mereka, baik yang dimiliki oleh semen tonasa di Kab.Pangkep,yang berencana meningkatkan produksinya hingga 6.7 juta ton pertahun. Maupun yang di usahakan oleh semen bosowa di Kab.Maros, yang menetapkan target peningkatan produksi sampai 3 juta ton pertahun. ekspansi perusahaan tersebut dengan dalih bahwa kebutuhan dan permintaan semen untuk pasar dalam negeri terus meningkat. Pada tahun 2013, juga ada rencana investasi baru untuk pengembangan pabrik semen di Kab.Maros. PT Conch dari China, akan menanamkan modal 5 triliun untuk menjadi salah satu perodusen semen di Sulawesi Selatan. Pabrik semen ini akan dibangun di Kecamatan Simbang dan Tompobulu, dengan luas wilayah pengembangan sekitar 500 hektar. Makin bersemangatnya pengembangan dan perluasan industry semen, tentu saja berimplikasi kuat terhadap daya dukung potensi batu gamping yang terdapat dalam kawasan. Ini berarti akan terjadi eksploitasi yang makin meluas terhadap kawasan Karst Maros-Pangkep.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

bumi. Sudah puluhan tahun aktiď€ tas pertambangan merambah kawasan Karst Maros-Pangkep, hal ini membuat industry tambang menjadi sangat mapan untuk dapat memastikan eksploitasi dalam kawasan terus berlanjut. Secara ekonomi entah telah berapa banyak nilai keuntungan yang berhasil dihisap oleh puluhan industry keruk ini dalam setahun. Dan seberapa besar nilai ekologis dalam kawasan yang telah dirusaknya, adalah satu pertanyaan yang semestinya harus bisa dijawab dan dipertanggung jawabkan. Perusahaan tambang Mengais keuntungan dengan memproduksi bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan. Dampak yang saat ini terjadi di dalam dan sekitar kawasan, yaitu hilangnya harmonisasi kehidupan antara alam dan masyarakat, serta rusaknya ruang hidup kawasan. Dan bagi para petani di sekitar kawasan tidak ada lagi masa depan atas ruang produksi, semua telah di persembahkan demi kepentingan akumulasi kapital. Desa Mangilu di kabupaten Pangkep, dapat dijadikan contoh dari praktek massif industry destruktif. yang mana ada 40 IUPertambangan yang mengeksploitasi wilayahnya, yang kemudian menjadikan desa tersebut sebagai desa debu di ladang tambang, yang tidak lagi memiliki hari depan.

53 9


KARST MAROS-PANGKEP DAN PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

Fenomena pengembangan industry semen di Sulawesi Selatan, bukan tanpa dasar analisa ekonomi yang tajam dari para operator industry semen di Sulsel, yang menguasai sebagian pasar semen dalam negeri, khususnya untuk kawasan timur Indonesia. Indikasi kuat dari makin massifnya pengembangan industry semen, utamanya di picu oleh banyaknya mega proyek pembangunan infrastruktur yang di programkan dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Berdasarkan laporan Tim Kerja Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi KP3EI Koridor Ekonomi Sulawesi, pada tanggal 10 Mei 2012 di Jakarta, Pada table Indikasi Investasi Infrastruktur Di Koridor Ekonomi (KE) Sulawesi, per 7 Mei 2012, kita dapat melihat besarnya gelembung proyek infrastruktur, yang diperkirakan akan meledakkan perekonomian di koridor ekonomi Sulawesi. Dan tentu saja industry semen menjadi industry strategis untuk mendulang keuntungan dari ledakan tersebut. Tabel Indikasi Investasi Infrastruktur Di Kawasan Perhatian Investasi (KPI) Koridor Ekonomi (KE) Sulawesi, per 7 Mei 2012

Tabel Indikasi Investasi Infrastruktur Di Kawasan Perhatian Investasi (KPI) Koridor Ekonomi (KE) Sulawesi, per 7 Mei 2012

(Sumber: Dokumen Laporan Tim Kerja KP3EI Koridor Ekonomi Sulawesi)

54

Pada table di bawah, terdapat 121 proyek infrastruktur dengan total nilai investasi 201 trilyun lebih, yang di programkan pelaksanaannya di KPI Koridor Ekonomi Sulawesi. 121 proyek infrastruktur tersebut, bisa dipastikan sebagian besar pengerjaan konstruksinya menggunakan semen sebagai bahan baku utamanya. Dapat dibayangkan berapa banyak kebutuhan semen yang akan dihabiskan dalam proyek-proyek infrastruktur tersebut, dan seberapa kuat industry semen untuk memenuhi kebutuhan pasar yang dipersembahkan megaproyek MP3EI di 6 koridor ekonomi yang ada. Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai pemasok utama bahan baku industry semen di Sulsel, tentu akan mengalami dampak dan beban ekologis yang makin besar dari situasi ini. Pertanyaannya kemudian seberapa besar nilai ekologis kawasan Karst MarosPangkep yang akan hilang dan di korbankan untuk membiayai proyekproyek ambisius MP3EI. Apakah kawasan Karst Maros-Pangkep harus terus memfasilitasi keserakahan yang ditebar oleh para pemilik capital yang tersaji dalam MP3EI.


Hingga pada akhirnya kita menyadari bahwa Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia, sesungguhnya adalah Master Plan Percepatan Pengrusakan Kawasan Karst Indonesia.

Kegiatan penambangan Karst adalah kegiatan yang pasti merubah bentang alam yang ada menjadi lingkungan baru yang berbeda. Karst adalah sumber daya alam yang tidak dapat lagi diperbarui. Penambangan dapat menciptakan kerusakan lingkungan yang serius dalam suatu kawasan. Skala potensi kerusakan ini tergantung pada berbagai faktor kegiatan pertambangan dan faktor keadaan lingkungan. Faktor kegiatan pertambangan antara lain berkaitan dengan letak kedudukan mineral, faktor teknik pertambangan, pengolahan, dan sebagainya. Sedang faktor lingkungan adalah faktor kepekaan dan daya

1.

2.

3. 4. 5.

6.

7. 8.

Kerusakan habitat dan keanekaragaman hayati pada lokasi pertambangan, baik yang ada di permukaan, maupun guagua dan aliran sungai yang terdapat di bawah tanah. Perubahan landskap/gangguan visual/kehilangan penggunaan lahan. Pencemaran yang disebabkan oleh limbah tambang dan tailing. Kecelakaan/ terjadinya longsoran fasilitas tailing. Peningkatan emisi udara, debu, perubahan iklim dan konsumsi energi. Pelumpuran dan perubahan aliran sungai serta perubahan air tanah dan kontaminasi. Kebisingan, radiasi dan toksisitas logam berat. Perusakan peninggalan budaya dan situs arkeologi.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

V. Degradasi Kawasan Kars & Rusaknya Sistem Sosial-Ekologi dalam Ruang Kapital.

dukung lingkungan, antara lain faktor geograď€ s dan morfologis, faktor fauna dan ora, faktor hidrologis dan lain-lain (KLH, 2000). UNEP (1999) menggolongkan dampak-dampak yang timbul dari kegiatan pertambangan sebagai berikut:

55


KARST MAROS-PANGKEP DAN PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

9.

55 56

Terganggunya/menurunnya kesehatan masyarakat dan permukiman di sekitar tambang.

Peta Ancaman Tambang di Desa SalenrangPemberian IUPertambangan tanpa di dasarkan pada kajian lingkungan hidup yang strategis, dan tanpa mempertimbangkan daya dukung serta daya tampung lingkungan hidup dalam kawasan, merupakan mesin penghancur keanekaragaman hayati, situs-situs purba, menghilangkan hak rakyat atas tanah dan melanggar jaminan perlindungan Hak Ekosob masyarakat. Serta disisi lain juga menggeser cara berproduksi masyarakat dari bertani menjadi buruh-buruh murah di pertambangan, sekaligus menjadikannya sebagai masyarakat yang konsumtif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ini dapat kita saksikan disekitar areal wilayah usaha pertambangan yang ada dalam kawasan, utamanya pada industry s e m e n . d a n y a n g p a l i n g mengkhawatirkan ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya air, yang bisa mengganggu pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Situasi ini membuktikan bahwa harapan

pemerintah kabupaten untuk mendapatkan keuntungan dengan beternak IUPertambangan, justeru mendatangkan malapetaka dengan rusaknya bentang alam, yang kemudian menghilangkan keseimbangan ekosistem dalam kawasan, mendatangkan bencana ekologis, hingga memunculkan bencana social bagi masyarakat sebagai hasilnya. Sangat di sayangkan, karena secara implementatif kebijakankebijakan sektoral yang saling tumpang tindih dalam pengelolaan kawasan Karst, justeru melemahkan system perlindungan kawasan yang ada. Tidak tegasnya penegakan dan kepastian hukum yang melindungi kawasan, telah membuat laju kerusakan kawasan Karst terus meningkat. Pelanggaran aturan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, telah dimulai dari pengurusan perizinan, pada saat kegiatan penambangan berlangsung dan paska tambang. Praktek suap maupun gratiď€ kasi dalam pengurusan proses perizinan, sudah menjadi rahasia umum dalam penerbitan izin tambang oleh pemerintah daerah. izin pinjam pakai kawasan hutan hutan dan penambangan terbuka di kawasan


pemanfaatan dan penguasaan ruang untuk industry pertambangan dalam kawasan Karst Maros-Pangkep, justeru tidak hanya berkontribusi dalam penghilangan keanekaragaman hayati kawasan, melainkan juga bertanggung jawab atas ancaman keselamatan hidup rakyat, dan kemiskinan menjadi sebuah keniscayaan. Negara telah melakukan pembiaran terhadap terjadinya pelanggaran ataupun kejahatan atas lingkungan hidup & kemanusiaan.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

hutan lindung menjadi trend pelanggaran yang ada. Kewajiban perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang terkait dengan AMDAL, baik itu pencemaran oleh limbah, polusi udara, polusi visual dan kebisingan, penggunaan air yang melebihi batas yang telah di tentukan, juga merupakan beberapa bentuk pelanggaran yang sering ditemukan dalam usaha penambangan dalam kawasan Karst. Kewajiban perusahaan melakukan rehabilitasi dan reklamasi lingkungan paska tambang, merupakan sebuah kewajiban yang tidak pernah ditunaikan oleh perusahaan tambang. Dan yang lebih memprihatinkan pelanggaran-pelanggaran ataupun tindakan kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang ini, tidak pernah mendapatkan sanksi ataupun tindakan yang tegas dari pihak yang berwenang. Berangkat dari situasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gerak akumulasi kapital yang terus menyasar dan diarahkan untuk memperluas eksploitasi sumber daya kawasan akan semakin meluas, tidak hanya merampas tanah dan air rakyat sebagai sumber-sumber kehidupan, melainkan juga menghilangkan hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat, yang merupakan hak asasi manusia. Dengan rusaknya system ekologis dan fungsi lingkungan hidup kawasan, membuat masyarakat sangat rentan dan rawan dalam menghadapi ancaman bencana ekologis. Artinya dalam penggambaran realita yang ada, [Desa Mangilu di Ladang Tambang]implementasi dari kebijakan

Daftar Pustaka

57


KARST MAROS-PANGKEP DAN PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

58

1. Degradasi Vegetasi dan Dampak PertambanganTerhadap Ekosistem Karst Maros-Pangkep. Oleh: Amran Achmad 2. Tambang Dalam Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 7 Februari 2013. (walhi-sulsel.blogspot.com) 3. Klasikasi Kawasan Kars Maros, Sulawesi Selatan, Untuk Menentukan Kawasan Lindung dan Budidaya. Oleh: Arif Daryanto dan Oki Oktariadi (PusatLingkungan Geologi-Badan Geologi) 4. Kajian Keberadaan Penambangan Marmer di Karst Hutan Lindung Bulusaraung. Studi Kasus di Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Oleh: MOEHD SUBCHAN . 5. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung periode 2008 – 2027, kabupaten Maros dan Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan . Disusun Oleh:Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 6. Menakar Kerusakan Ekosistem Karst Oleh Industri Tambang. Dokumen laporan hasil investigasi WALHI Sulsel, November 2012. 7. Dokumen laporan Tim Kerja Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi KP3EI Koridor Ekonomi Sulawesi, yang disusun pada tanggal10 Mei 2012 di Jakarta 8. Ekosistem Karst Sulsel Makin Terancam, 26 November 2013 ( w a h y u C h a n d r a – www.mongabay.co.id)


http://4.bp.blogspot.com



ANCAMAN KARST DI HULU SUNGAI BATANGHARI

Oleh : Musri Nauli JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Sebelum lahirnya UU No. 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, di daerah hulu1 Sungai Batanghari2, masyarakat mengenal Dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung. Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau

Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman3). Sedangkan Margo 4 mencakup mencakup setiap Dusun yang terdiri dari Bathin. Mengepalai Margo biasa dikenal dengan nama Pesirah5. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979, maka Dusun menjadi Desa sebagai pemerintahan terendah (village government). Sedangkan kampung menjadi dusun.

1. Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938. 2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) Âą 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat. DAS Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di landscape TNKS terdapat Margo Batin Pengambang dan Margo Sungai Tenang. Sedangkan di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay. Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.). Namun studi ini akan dikonsentrasikan kepada Margo Sumay (Sungai Sumay), Margo Sungai Tenang (sungai Batang Tembesi) dan Margo Batin Pengambang (Sungai Batang Asai) 3. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938. 4. Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Van Vollenhoven meneyebutkan beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang kepulauan. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89. 5. Dari berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah (margahoofd) adalah kepala pemerintahan marga pada masa Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra (Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862

61


ANCAMAN KARST DI HULU SUNGAI BATANGHARI

Masyarakat Melayu6 Jambi termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu.7 Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan)8. Dilihat dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasikasikan dalam Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai dengan aktivitas di Kampung9. Kampung merupakan pusat

ditempuh 6 – 8 jam. Kabupaten Sarolangun memiliki Luas Wilayah 6.174 Km2. Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 Kecamatan dan 144 Desa, dan memiliki jumlah populasi penduduk ±264.541 Jiwa. Memiliki kawasan hutan seluas 252.377 hektar. Tabel 1. Status Kawasan hutan di Kabupaten Sarolangun

ingatan (center of memory), sekaligus pusat suam (center of soul). Kampung menjadi pita perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom)10. Kawasan Bukit Bulan termasuk kedalam masyarakat hukum adat (rechtsgemeenshap) Bukit bulan. Terletak di Kabupaten Sarolangun. Dari ibukota Propinsi Jambi ke ibukota Sarolangun berjarak 180 arah selatan. Dari Ibukota Kabupaten ke kawasan Bukit Bulan dapat

Berdasarkan peta Pemerintah Belanda tahun 1923 “Schetskaart R e s i d e n t i e D j a m b i Adatgemeenschappen (Marga's) schaal 1 : 750.000, Bukit Bulan merupakan termasuk kedalam Margo Bukit Bulan yang pusat margo di Meriboeng. Margo Bukit Bulan berbatasan dengan Margo Batang Asai, Margo Bathin Pengambang dan Margo Cermin Nan Tiga.

6. Istilah Malayu pertama kali muncul pada tahun 671 M oleh seorang biksu Tiongkok bernama I-Tsing yang pada saat itu bermukim di kerajaan Malayu (Jambi) yang terletak di lembah Batang Hari untuk memperdalam pengetahuan mengenai lsafat agama Budha. ULI KOZOK, PH.D, KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA, Yayasan Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006 7. Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 19978. Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan) 8. Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan) 9. Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 34 10. Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 40

62


Penghormatan terhadap daerahdaerah yang dijaga ditandai dengan berbagai seloko. Masyarakat hulu Sungai Batanghari mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Mereka mengenal dengan istilah Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”. Di Daerah Sarolangun mereka mengenal Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus. Di Margo Sungai Tenang mereka mengenal Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis. Sedangkan di Margo Sumay mereka mengenal dengan istilah hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Sebagai masyarakat hukum adat yang menjunjung nilai-nilai kebajikan yang ditandai dengan seloko11 seperti “ke aik cemetik keno naik kedarat durian runtuh – dilaman rumah lemang tesanda – naik kerumah anak ado”12, yang buto pengembus lesung – yang pekak pelepas bedil – yang lumpuh menunggu rumah – yang bisu menyimpan rasio” 13 , alam sekato rajo- negeri sekato batin – luhak sekato penghulu – rantau sekato jenang – kampung sekato tuo – rumah sekato tenganai – anak berajo kebapak – kemenakan berajo kemamak – bini sekato laki“14 atau seloko ”negeri bapaga adat - tepian bepaga baso, laman basapu undang – rumah baseko bamalu“

11. Vergouwen menegaskan “Seloko” adalah petatah, petitih yang didapatkan dari pengetahuan turun temurun, memberikan motivasi bagi suatu kelompok untuk bertindak (in action). Dalam khazanah Bahasa Belanda dikenal dengan istilah “gevleugelde woorden (kata-kata bersayap), yaitu seperangkat kata yang begitu diucapkan akan menyebar dan hinggap dimana-mana seperti burung dan siapapun dapat menimba manfaat darinya. Lihat Nico Ngani, Perkembangan hukum Adat Indonesia 12. Melambangkan kemakmuran 13. Mengandung makna bahwa setiap potensi sumberdaya, khususnya potensi sumberdaya manusia dapat dimaksimumkan pendayagunaannya dalam mencapai cita-cita bersama, dimana pelaku pembangunan harus sesuai dengan bidang keahliannya. 14. Mengandung makna bahwa setiap individu dalam bermasyarakat harus memegang etika moral yang bersifat naturalistik. Dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan Batin dari Desa”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap).

63


ANCAMAN KARST DI HULU SUNGAI BATANGHARI

Embun. Atau Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi). Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi. Ter Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan”.15 Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano”.16 Namun ancaman terhadap masyarakat di hulu Sungai Batanghari. Salah satunya dengan semakin gencarnya mempersiapkan kawasan ini sebagai lokasi tambang dan kawasan industri semen. Salah satunya PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk (PT. SBR) di Sarolangun. Kawasan bukit karst yang terdiri dari beberapa bukit karst yaitu Bukit Bulan17, Bukit Petak, Bukit Gedong, Bukit Tengah dan Bukit Mentang. Pembukaan areal tambang untuk produksi semen pada tahap awal ini akan dilakukan pada areal seluas 5.000 hektar yang mencakup lima desa: Napal Melintang, Mersip, Merbung, Berkun dan Renah Alai.

Kawasan Karst merupakan kawasan yang sangat mengagumkan dengan owstone, goa sepanjang 1,5 km yang menghubungkan dusun Dalam dan dusun Duri, sungai bawah tanah, yang merupakan hulu sungai Batanghari. Dikelilingi hutan lindung rainforest dengan aneka satwa langka dan tumbuhan langka. Pembukaan kawasan Karst dapat merusak tatanan morfologi karst serta ekosistem yang terdapat di dalamnya. Pembukaan karst yang merupakan bentangan alam karst yang berbukit-bukit yang merupakan hamparan Bukit Barisan Sumatera Bukit Bulan yang dilindungi pemerintah melalui peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 sebagai kawasan geologi unik dan rentan akan terancam rusak. Sementara itu, ada lebih dari 100 goa beraliran sungai bawah tanah aktif serta tujuh mata air untuk pengairan sawah dan keperluan rumah tangga. Padahal pemerintah kabupaten Sarolangun menetapkan Bukit Bulan sebagai kawasan hulu lindung yang hanya boleh untuk pertanian tradisional dan pariwisata alam. Tertuang dalam peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2004 yang masih berlaku.

15. Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Ibid, Hal. 71 16. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938 17. Kawasan karst Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Indonesia terletak koordinat -2° 38′ 18.02″ S 102° 26′ 6.16″ E ; -2° 39′ 34.2″ S 102° 26′ 22.2″ E dan -2° 39′ 35.64″ S 102° 26′ 20.4″ E).

64


Berdasarkan hasil overlay peta tematik komponen kars menghasilkan peta kelas kawasan kars, yaitu kawasan kars lindung geologi mempunyai jumlah (total) skor antara 79 hingga 141, dan kawasan kars budi daya mempunyai jumlah (total) skor antara 47 hingga 78. Kondisi di lapangan kawasan kars lindung geologi memiliki keunikan bentang alam kars, sehingga arah pemanfaatannya sesuai untuk kegiatan geowisata. Sementara pada kawasan kars budi daya dapat dilakukan kegiatan penambangan setelah dilakukan studi geologi lingkungan detail untuk menentukan zona pemanfaatan lahan secara optimal.

Dari kedua peraturan tersebut terdapat sinkronisasi yang dapat mengklasiď€ kasikan kars ke dalam kawasan budi daya dan kawasan lindung geologi. Oleh karena itu diperlukan analisis penetapan kawasan kars agar pemanfaatannya optimal dan berwawasan lingkungan. Metode analisis menggunakan standar baku yang digunakan di Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, sementara proses analisis menggunakan sistem informasi geograď€ s (SIG) dengan cara pembobotan dan overlay.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Penyelidikan geologi mengenai kawasan lindung karst ini sudah banyak dilakukan, termasuk badan geologi kementrian ESDM, akan tetapi era otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat ini, menjadikan pemerintah kabupaten setempat tidak memiliki visi yang sama tentang kelestarian kawasan karst kelas I dan kelas II ini, dan mereka sedang mempersiapkan skenario penghancuran kawasan dan ekosistemnya untuk industri semen.

Pemerintah Kabupaten Sarolangun dengan mudahnya melanggar regulasi di Indonesia dengan memberikan izin lokasi dan eksplorasi pertambangan kepada pelaku bisnis tersebut. Dan saat ini mereka terus melakukan konspirasi untuk meningkatkan izin menjadi tahap izin operasi produksi.18 Izin Lokasi dan Eksplorasi PT. SBR Nomor 53 Tahun 2011 berada dalam kawasan atau kawasan karst dengan terdiri dari dari beberapa wilayah lokasi bukit karst Bukit Bulan, Bukit Petak, Bukit Gedong, Bukit Tengah dan Bukit

18. Walaupun pemerintah indonesia telah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional, terutama pasal 50 dan pasal 53 mengenai kawasan lindung geologi, Kepmen ESDM Nomor 1456.K./20/MEM/2000 dan Permen ESDM nomor 17 tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam Karst, akan tetapi pemerintah kabupaten (Bupati) setempat tidak menghiraukan peraturan tersebut dan melanggar peraturan dengan tetap memberikan kawasan Karst Bukit Bulan sebagai bahan baku industri semen.

65


ANCAMAN KARST DI HULU SUNGAI BATANGHARI

Mentang, dan lokasi ini berada dalam kawasan hutan lindung. Namun setelah keluar izin lokasi dan eksplorasi PT SBR apabila kita perhatikan didalam ketentuan pasal 50 dan pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Wilayah Nasional sangatlah bertentangan. Izin lokasi dan eksplorasi PT SBR termasuk kedalam kawasan lindung geologi. Didalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456.K/20/MEM/2000 tentang pedoman pengelolaan kawasan kars yang bersifat operasional, menyatakan bahwa kawasan kars kelas I merupakan kawasan lindung sumber daya alam yang penetapannya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari kedua peraturan tersebut terdapat sinkronisasi yang dapat mengklasiď€ kasikan kars ke dalam kawasan budi daya dan kawasan lindung geologi. Oleh karena itu diperlukan analisis penetapan kawasan kars agar pemanfaatannya optimal dan berwawasan lingkungan. Metode analisis

66

menggunakan standar baku yang digunakan di Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, sementara proses analisis menggunakan sistem informasi geograď€ s (SIG) dengan cara pembobotan dan overlay. Dengan demikian maka pemberian Izin Lokasi dan Eksplorasi PT. SBR Nomor 53 Tahun 2011 bertentangan dengan pasal 50 dan pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Wilayah Nasional dan KEPMEN ESDM No 1456.K./20/MEM/2000 dan juga PERMEN ESDM No 17 Tahun 2012, tentang penetapan kawasan bentang alam Karst. Bupati Sarolangun tidak mengindahkan aturan yang ada diatas tersebut dengan tetap memberikan dan mengeluarkan izin lokasi dan eksplorasi tambang semen di area karst. Pemberian izin PT. SBR yang termasuk kedalam kawasan lindung geologi yang dekat pemukiman serta merupakan sumber kehidupan masyarakat di 7 Desa yang berada di hulu Sungai Batanghari. Masyarakat kemudian menolak pemberian izin terhadap PT. SBR. Melalui

@C. Rahmadi-2007


perangkat desa, masyarakat kemudian menyurati berbagai pihak. Seperti yang dialami masyarakat Desa Berkun Kecamatan Limun yang sejak setahun lalu mengajukan surat penolakan terhadap rencana izin.

Dia juga menambahkan kehadiran tersebut juga berdampak buruk pada Hutan Adat Bathin Betuah seluas 98 hektar yang telah ditetapkan dalam SK Bupati Sarolangun Nomor 206 tahun 2010. “Hutan adat kami terancam, padahal keberadaan hutan adat ini untuk kepentingan masyarakat guna melinungi hulu air untuk irigasi areal sawah dan sumber air bersih”19 Di areal tersebut tercatat ada sebelas hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat Pengulu Laleh (128 ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat Pengulu Patwa (295 ha), hutan adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat Paduka

Di Harian Kompas, sikap ini juga ditunjukkan sehingga persoalan karst di Sarolangun menjadi persoalan nasional. Kawasan karst Bukit Bulan, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi, terancam oleh masuknya tambang dan pabrik semen. Industri ini juga bakal mengganggu ekosistem kawasan hulu lindung dan bagian taman geologi berusia 290 juta tahun yang diajukan sebagai warisan dunia.21

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Kepala Desa Berkun Paisal menyebutkan ada beberapa alasan mereka menolak kehadiran di desanya. Pasalnya sebelum areal rencana izin, areal tersebut merupakan hak kelola masyarakat sejak lama dan terdapat kebun-kebun karet milik mereka. “Disano, ado kebun-kebun karet kami, dan terdapat juga tanaman-tanaman buah serta kuburankuburan lamo tempat nenek bunyut kami,” sebutnya.

Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati (78 ha), hutan adat Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan adat Imbo Lembago (70 ha).20

Ketidaktegasan sikap pemerintah terlihat dengan terus melenggangnya perlahan namun pasti sosialisasi analisis dampak lingkungan sebuah perusahaan tambang yang akan memproduksi seman digelar baru-baru ini. Pengetahuan yang bersandarkan kepada pengetahuan lokal baik melalui seloko, petatah-petitih dan tambo memberikan pengetahuan yang baik terhadap masyarakat. Dari seloko, petatah-petitih dan tambo dapat diketahui tentang sejarah dan wilayah klaim adat baik masing-masing Desa. Keberhasilan masyarakat mementahkan kehadiran berbagai perusahaan dan melindungi kawasan konservasi berdasarkan loso yang dianutnya.

19. Wawancara dengan Kepala Desa Berkun, Alam Sumatera, September 2013 20. Data dari berbagai sumber. KKI-Warsi, G-Cinde, Walestra. 21. Kompas, 25 September 2013

67


ANCAMAN KARST DI HULU SUNGAI BATANGHARI

Keadaan di atas menegaskan betapa ekosistem hutan pada saat masih terjaga dengan baik. Kawasan hutan ini penting untuk dipertahankan, karena berada di wilayah hulu Jambi dan merupakan kawasan ekologi penting. Selain menjadi sumber air bagi DAS utama Batanghari, juga merupakan wilayah penghidupan masyarakat setempat. Secara keseluruhan hutan ini merupakan kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Kawasan yang tersisa di Jambi. Kemampuan menjaga hutan oleh masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari berbanding terbalik dengan kawasan hutan dikelola perusahaan atau negara. Luas tutupan lahan hutan Jambi selama 10 tahun berkurang sebesar satu juta hektare. Dari 2,4 juta hektare pada 1990 menjadi 1,4 juta hektare pada tahun 2000, atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektare. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut22. Penurunan tutupan lahan hutan disebabkan oleh alih fungsi kawasan 22. Dari berbagai sumber, WALHI Jambi, 2011.

68

hutan menjadi areal pengunaan lain (APL) untuk perkebunan besar kelapa sawit dan budidaya pertanian lainnya. Selain itu juga oleh kegiatan perusahaan HPH, HTI dan pertambangan. Ketidakmampuan negara dan masih berdebat berdebat tentang cara terbaik mengatasi perubahan iklim, emisi karbon pun terus meningkat. Masyarakat di hulu Batanghari sendiri telah melakukan upaya penyelamatan hutan. Filosoď€ dan Nilai nilai adat (local wisdom) dalam pengelolaan sumberdaya alam disepakati masyarakat sebagai prinsip utama dalam pengelolaan hutan kemudian diatur didalam kedalam sebuah peraturan desa. Dengan cara demikian dan kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan lestari dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pelajaran dari ď€ losoď€ masyarakat di hulu Sungai Batanghari didalam mengelola sumber daya alam menjadi pelajaran berharga. Begitu pentingnya keberadaan masyarakat didalam menata dan menjaga sumber daya alam merupakan kekuatan masyarakat melindungi kawasan dari penghancuran.


Pentingnya kawasan karst di areal yang dilindungi masyarakat berdasarkan seloko “Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”, Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus. Atau Rimbo sunyi “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Rencana penghancuran kawasan karst dunia ini akan semakin dipercepat jika pengesahan dokumen AMDAL disetujui oleh konspirasi pemerintah setempat. Padahal kawasan karst ini berada sangat dekat dengan kawasan Geopark Merangin, yang telah diajukan badan geologi Kementrian ESDM ke UNESCO. Geopark yang diperkirakan berusia 300 juta tahun dan kawasan karst Bukit Bulan tentunya akan menjadi ladang riset utama para geolog dunia dalam mempelajari evolusi bumi23.

Istilah Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran yang diwariskan secara turun menurun merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi. Penghancuran kawasan karst berdampak kepada sungai di Batang Asai dan Sungai Batang Limun. Sungai di hulu yang mengairi Sungai Batanghari. Sungai Terpanjang di Sumatera.

23. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/geopark-merangin-menuju-jaringan-geopark-dunia

69



MENGELOLA KAWASAN KARST EKOTIPE SUMBERDAYA EKOLOGI VERSUS SKEMA PEMBANGUNAN DI JAWA TENGAH Oleh : Fitri Indriyaningrum Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Tengah

Bahwa Indonesia mempunyai bentang kawasan karst yang sangat luas, data dari Bappenas yang dilansir pada tahun 2003, Indonesia mempunyai kawasan karst 15,4 juta ha. Sedang menurut Clements (2006) yang dikutip oleh Cahyo Rahmadi, Indonesia diperkirakan mempunyai kawasan karst 142.000 km2. 1 Sedang sebaran bentang karst di Indonesia tersebut meliputi gunung Leuser, perbukitan Bahorok, Payakumbuh, Bukit barisan, Baturaja (pulau Sumatra). Sukabumi, Cilacap, Gombong, Kebumen, pegunungan Sewu, pegunungan Kapur utara, pegunungan Kendeng, perbukitan Blambangan (pulau Jawa). Perbukitan Flores, perbukitan Sumba, perbukitan Timor Barat (Nusa Tenggara). Pegunungan Schwaner, pegunungan Sangkulirang (pulau Kalimantan). Perbukitan Maros Pangkajene, kawasan Wowolesea, (pulau Sulawesi). Pulau Muna, pulau Tukang Besi pulau Seram, pulau Halmahera (kepulauan Maluku). Kawasan Fakfak, pulau Biak, pegunungan Tengah, pegunungan Lorentz (pulau Papua)2 dan masih banyak lagi dengan

sebaran yang lebih luas dan rinci di negeri yang tercinta ini. Bentang karst tersebut merupakan morfologi eksokarst, iindokarst sserta sistem sungai bawah tanah yang telah terbentuk dan tersusun atas formasi bulu, dengan penyusun batuan batu gamping masif berumur miosen tengah – miosen atas, struktur llipatan sinklinal, patahan yang mampu membentuk gua runtuhan dan gua pelarutan. gua horisontal mengikuti pola perlapisan, dengan arah gua mengikuti struktur batuan. Dengan demikian kawasan karst merupakan penyangga keseimbangan ekosistem.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Executive Summary

Akan tetapi program pembangunanisme telah mengancam seluruh kekayaan dan aset sumberdaya alam ini sehingga kebijakan pembangunan telah meningkatkan risiko bencana ekologis dan mengancam seluruh sumber-sumber pelayanan alam kepada kehidupan.

1. Cahyo Rohmadi, Biospeleologi dan Inventarisasi fauna Gua dan apa peran bagi pengelolaabn karst?, makalah disampaikan dalam Seminar “Potensi Kawasan Karstt� IMPALA Universitas Brawijaya Malang, 21-22 April 2012 2. Dr. Rahmat Bowo Suharto, S.H.M.H, Perlindungan Hukum Kawasan Karstt di Era Otonomi Daerah, disampaikan dalam seminar nasional Universitas Muhamdiyah Surakarta, 13 Desember 2013

71


MENGELOLA KAWASAN KARST EKOTIPE SUMBERDAYA EKOLOGI VERSUS SKEMA PEMBANGUNAN DI JAWA TENGAH

I. Karst Sebuah Berkah Karst adalah istilah bahasa Jerman yang berarti tanah gersan dan bebatuan. Kawasan karst sering hanya dianggap sebagai lahan kering dan berbatu, sehingga tidak mengherankan kalau batu dianggap sebagai potensi mesin uang untuk ditambang. Batu dan batuan gamping di tambang peruntukannya untuk pondasi rumah, pondasi gedung, infrastruktur, batu nisan, keramik, kalsit, dolomite, gowano, fosfat bahkan bahan baku semen .dan lain sebagainya. Bisnis sektor tambang juga berpeluang dan memberikan bisnis tersendiri seperti Bupati di Jawa Tengah yang berkeinginan mempunyai toko bangunan yang dipakai untuk “jualan semen� seperti bupati Cilacap yang sudah sukses jualan semen Holcim. Pun demikian dengan Bupati Pati yang akan jualan semen gresik (tertolak oleh warga dan menang secara hukum formal yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung). Menurut Peraturan Mentri ESDM nomer 17 tahun 2012, karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit. Sedangkan bentang alam karst adalah karst yang menunjukan bentuk eksokarst dan endokarst tertentu.3 atau kawasan karst adalah bentang alam khas yang berkembang di suatu kawasan batuan karbonat (batu gamping dan dolomite) dan sudah mengalami proses pelarutan oleh air hujan.4

Sedang ciri-ciri kawasan karst adalah ditemukannya banyak goa-goa, sungai bawah tanah, bukit yang saling sambung menyambung bahkan kadang terdapat telaga. Goa yang terdapat dalam kawasan karst sering dijadikan tempat tinggal binatang seperti wallet, ular dan kelelawar.5 Kawasan karst di Jawa Tengah membentang dari kabupaten Cilacap, Gombong, Kebumen (DAS Serayu dan Pantai Selatan), Wonogiri (pegunungan Sewu), Grobogan, Pati, Blora, Rembang, Kudus, Muria (pegunungan Kapur Utara atau pegunungan Kendeng). Potensi kawasan karst ini tidak hanya faktor ekonomi saja seperti yang telah terdiskripsikan di atas, tetapi penyimpan dan peĂąata kelola air yang terbaik, keindahan alam yang ada dipermukaan tanah maupun yang ada di dalam tanah, goa-goa, binatang-binatang yang bisa menjadi obyek pariwisata, atau juga menjadi sumber keilmuan seperti geomarfologi, spetiologi, biospelologi, ekologi, palentologi dan lain sebagainya. Atau juga tidak kalah penting nya adalah aspek budaya sebagai tempat pertapaan, ziarah, legendan dan dongeng pra sejarah.6

3. Peraturan Mentri ESDM, No. 17 tahun 2012 4. M. Arief Zayyn, Mengelola Kawasan Karstt, ekotipe bentang alam karstt khas daerah beriklim tropis basah, disampaikan dalam seminar nasional Universitas Muhamdiyah Surakarta, 13 Desember 2013 5. Eko Haryono, Hidup Bersama dengan kawasan Karst, Versi Karst Gunung Sewu dan Karst Gombong, Yogyakarta 2004 6. M. Arief Zayyn, ibid

72


II. Studi Regulasi Usaha dan upaya pelestarian lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan lainya khususnya untuk kawasan karst atau kawasan geologi sebenarnya sudah diatur oleh regulasi yang kita punya, seperti UU nomer 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, UU nomer 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, UU nomer 32 tahun 2009 tentang Lingkungan hidup, UU nomer 27 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU nomer 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, PP nomer 38 tahun 2007, Peraturan Menteri ESDM nomer 17 tahun 2012, PP nomer 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara, karst merupakan sumberdaya alam yang masuk katagori mineral.7 PP nomer 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara, PP nomer 26 tahun 2008 tentang Tata Ruang Nasional, Perda nomer 6 tahun 20110 tentang Tata Ruang

Propinsi Jawa Tengah dan lain sebagainya. “Untuk itu siapapun kita berkwajiban untuk menegakan seluruh produk regulasi tersebut. Siapapun kita tidak punya kuasa untuk memperkosa produk regulasi. Tidak boleh ada ruang untuk perselingkuhan antara negara dan penguasaha yang dibungkus dalam bingkai birokrasi dengan dukungan tentara dan polisi. Rakyat dan organisasi sipil harus terus cerdas dan mengawasi dinamika pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ini” Dengan demikian perlindungan Kawasan Bentang Alam Karst/ KBAK merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional. Kawasan bentang alam karst harus terus disuarakan agar tidak dikorbankan untuk mendapatkan keuntungan komuditas yang bernilai ekonomi semata.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Ancaman utama kelestarian kawasan karst adalah kawasan karst hanya dilihat sebagai “mesin uang” melalui pertambangan. Laju pertambangan dengan segala bentuk “maa” telah membuktikan secara faktual dari berbagai daerah di Jawa Tengah mengalami kerusakan bahkan terancam hilang seperti pulau Nusa Kambangan kabupaten Cilacap oleh PT Holcim. Untuk itu seluruh produk regulasi tentang perlindungan karst dan kawasan karst harus ditegakan oleh siapapun.

7. Pengertian mineral menurut pasal 1 angka 2 UU nomer 4 tahun 2009 adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam , yang memiliki sifat sik dan kimia tertentu serta susunan Kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

73


MENGELOLA KAWASAN KARST EKOTIPE SUMBERDAYA EKOLOGI VERSUS SKEMA PEMBANGUNAN DI JAWA TENGAH

Peraturan Mentri ESDM nomer : 17 tahun 2012 kawasan bentang alam karst yang menunjukan bentuk eksokarst dan endokarst mempunyai kriteria sebagaimana berikut : 1. Memiliki fungsi ilmiah sebagai obyek penelitian dan penyelidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan 2. Memiliki fungsi sebagai daerah imbuhan air tanah yang mampu menjadi media meresapkan air permukaan ke dalam tanah. 3. Memiliki fungsi sebagai media penyimpan air tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer yang keberadaanya mencukupi fungsi hidrologi. 4. Memiliki mata air permanen, dan 5. Memiliki gua yang membentuk sungai atau jaringan sungai bawah tanah.8 Adapun bentuk eksokarst yang dimaksud diatas adalah adalah sebagaimana berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Mata air permanen Bukit karst Dolina Uvala Polje, dan/atau Telaga

Sedang bentuk endokarst sebagaimana dimaksud terdiri dari 1. Sungai bawah tanah, dan/atau 2. Speleontem9 Dari gambaran regulasi tersebut jelas siapapun tidak boleh melanggar sekalipun dengan persengkokolan birokrasi. Seperti yang terjadi dalam kawasan advokasi WALHI Jawa Tengah di kabupaten Wonogiri tepatnya di 8. Peraturan Mentri ESDM, Nomer 17 tahun 2012 9. Peraturan Mentri ESDM, ibid 10. Peraturan Mentri ESDM, nomer 17 tahun 2012, ibid

74

k ec a m a ta n W ury a ntoro, E rom ok o, Pracimantoro, Giritontro dan Giriwoyo. Kabupaten Pati tepatnya di kecamatan Sukolilo, Kayen, Gabus dan Tambakromo. Kabupaten Grobogan tepatnya di kecamatan Tanggungharjo. Kabupaten Rembang tepatnya di kecamatan Gunem. Menurut fakta dan data lapangan yang ada adalah masuk katagori kawasan bentang alam karst yang merupakan kawasan lindung giologi.10 Akan tetapi para Bupati dengan kekuatan birokrasi telah memberikan izin kepada para pengusaha untuk eksplorasi dan eksploitasi. Rakyat pun bergerak melakukan gerakan kritis demi keutuhan kawasan dan tegaknya aturan. Rakyat bergerak tak kenal lelah, bahkan di Sukolilo dengan komunitas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) memenangkan “sengketa� dengan bupati dan semen gresik dengan dibuktikan produk kasasi dari Mahkamah Agung. Sementara masyarakat Wonogiri sampai hari ini masih terus berjuang menegakkan kedaulatan yang tergabung dalam Save Pegunungan Sewu. Dan Untuk masyarakat Rembang sudah begitu yakin bahwa lahan harus dipertahankan untuk asset masa depan dengan membentuk JMPPK Rembang yang didukung dengan organisasi sipil lainnya. Yang selanjutnya penulis mencoba mendiskripsikan studi empirik perlawanan rakyat ini.


III. Studi Empirik Perlawanan Rakyat WALHI Jawa Tengah bersama rakyat dan seluruh jaringan organisasi masyarakat sipil melakukan advokasi demi kedaulatan ekologi dan tegaknya regulasi.

Kabupaten Pati Jawa Tengah dengan luas wilayah 150.368 ha yang terdiri dari 58.749 ha. Lahan sawah dan 91.619 ha. bukan sawah yang terbagi dalam 21 kecamatan , 401 desa, 5 kelurahan, 1.106 dukuh, 1.464 RW dan 7.463 RT.11 Dari sekian luasan tersebut yang masuk wilayah pegunungan Kendeng Utara tepatnya di kecamatan Sukolilo, Kayen, Gabus dan Margorejo dengan total luas kebutuhan lahan 1.560 ha. Dengan rincian penambangan batu kapur 900 ha. Penambangan tanah liat 500 ha. Untuk areal produksi 75 ha. dan untuk infrastruktur 85 ha. dan tersebar di w i l a y a h d a r i 1 3 d e s a . 1 2 Masyarakat pun resah. Keberadan Serikat Petani Pati atau SPP yang selama ini konsen dan konsisten memperjuangakan hak-hak Petani pun tidak tinggal diam. SPP dibawah kepemimpinan Husaini yang juga aktif di Yayasan Sheep Indonesia mengorganisir masyarakat Tapak dan jaringan masyarakat sipil di luar Pati. Tidak hanya berhenti di sini, masayarakat bersama masyarakta sipil melakukan studi lapangan tapak semen gresik. Hasilnya persis yang dilakukan Pusat Studi

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

1. Rakyat Pati melawan Semen Gresik dan Bupati

Menejemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta dan ASC Yogyakarta, yaitu seluruh tapak pendirian pabrik semen gresik di Sukolilo ini memiliki cirri-ciri yang yang ditetapkan dalam Peraturan Mentri ESDM nomer : 17 tahun 2012 seperti banyaknya situs, tempat-tempat alami yang eksotik dan potensial untuk pariwisata. Untuk kecamatan Kayen, Tambakromo dan sukolilo terdapat banyak goa seperti goa Wareh, goa Lowo dan goa Pancur dan beberapa situs sejarah seperti makam Saridin, pertapaan Watu Payung peninggalan kerajaan majapahit.

Koalisi rakyat pun terbentuk, atas inisiasi Serikat Petani Pati (SPP), Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL), Pemuda Tani Indonesia (PTI) badan otonom HKTI Cabang Pati, Komunitas Sedulur Sikep sebagai Komunitas Adat Tertinggal (menurut pemerintah Pati), Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), WALHI Jawa Tengah melakukan kampanye penyelamatan pegunungan Kendeng dengan membangun mimbar demokrasi.

11. Badan Pusat Statistik kabupaten Pati Dalam angka, 2007 12. Harian kompas, 1 Agustus 2008

75


MENGELOLA KAWASAN KARST EKOTIPE SUMBERDAYA EKOLOGI VERSUS SKEMA PEMBANGUNAN DI JAWA TENGAH

Orator utamanya adalah MH Ainun Najib (budayawan dan Kyai Kanjeng), Lilo Sunaryo, PhD (ketua Marem/Tolak PLTN) Husaini (SHEEP), M. Arief Zayyn (WALHI Jawa Tengah), Anis Sholeh Ba'asin dengan Sampak Gusurannya dan ditutup dengan doa oleh mbah Tarno sesepuh dan Panutan (tokoh central) sedulur sikep yang kemudian dilanjutkan upacara penyelamatan pegunungan kendeng ala Sedulur Sikep yang dipimpin oleh mbah Tarno. Rakyat yang tergabung dalam JMPPK dan diketuai oleh Gunretno terus bergerak dengan soliditas yang tinggi. Bahkan pada tanggal 22 Januari 2009 masyarakat tanpa ada komando menahan mobil dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk dengan seluruh penumpang nya yang akan mengukur kebutuhan tanah tapak. Polisi pun bergerak dengan menangkap, menahan dan melakukan kekerasan kepada Gunretno, Sudarto, Tamsi, Sarpin, Mua'alim, Agus Porwanto, Tolan, Sukarman, Sutikno, Sunarto dan Muhammad Zaenul Wafa.

13. Narasi Dokumen Internal WALHI Jawatengah

76

Mereka yang tergabung dalam JMPPK ini tidak jera, bahkan semangat untuk terus berlawan semakin berkobar membangun jaringan dengan Kontras, Komnas HAM, NGO di Jakarta, PBNU, Solidaritas Rakyat Peduli Lingkungan yang dikenal dengan SARIDIN, yaitu masyarakat Pati yang ada di Jakarta. Organisasi inilah yang kemudian penopang oprasional ketika harus bersinergi dengan organisasi sipil di Jakart. dan puncaknya adalah mem-PTUN kan bupati Pati dan PT. Semen Gresek (Persero) Tbk. atas dikeluarkannya Surat Keputusan nomer 540/052/2008 oleh Bupati Pati tentang Surat Ijin Pertambangan Daerah (SPID) eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur untuk PT. Semen Gresik (Persero) Tbk di kecamatan Sukolilo. Proses PTUN ini diawali dengan permohonan WALHI Jawatengah kepada Bupati Pati dengan nomer surat 049/WALHI-Jtg/A/XII-2008 perihal : Keberatan Terhadap Keputusan Bupati Mengenahi Surat Ijin Penambangan Derah (SIPD) no540/052/2008 tentang Penambangan Batu Kapur oleh Pt. Semen Gresik (Persero) Tbk.13


Proses PTUN ini dilakukan oleh WALHI melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, perihal : Gugatan Pembatalan Keputusan Surat Ijin Penambangan Daerah (SPID) no. 540/052/2008 tentang penambangan batu kapur oleh Semen Gresik (Persero) melalui PTUN Semarang. Proses ini selanjutnya dimenangkan oleh WALHI ditingkat kasasi dengan putusan Mahkamah Agung dengan nomer 103 K/TUN/2010, yang memutuskan PT. Semen Gresik untuk menghentikan seluruh kegiatan rencana penambangan. 2. Rakyat Wonogiri Menolak Semen Ultratech Mining Indonesia Kawasan pegunungan sewu yang membentang dari kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Jogyakarta, kabupaten Wonogiri Jawatengah dan kabupaten Pacitan kabupaten Ponorogo Jawatimur tidak bisa dipisahkan sendiri-sendiri dalam pengelolaanya, karena merupakan satu kesatuan bentang alam karst. Sementara untuk kabupaten Wonogiri, setidaknya di kecamatan Giriwoyo, kecamatan Wuryantoro, kecamatan Pracimantoro kecamatan

Giritontro masyarakat terusik dan resah dengan adanya rencana pembangunan pabrik semen oleh PT. Ultratech Mining Indonesia yang telah mengantongi ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Wonogiri dengan nomer 545.21/006/2011 dan atau nomer 545.21/007/2011 Keresahan dan keterusikan masyarakat diwujudkan dengan melakukan audensi kepada bupati Wonogiri pada tanggal 29 Mei 2013 tetapi Bupati tidak mau menemui kekuatan masyarakat yang berjumlah tidak kurang dari 50 orang ini hanya ditemui oleh Sekretariad Daerah (Sekda) dan beberap staff yang lain. Dari audensi ini lah masyarakat baru tahu bahwa pengukuran tanah-tanah mereka yang selama ini dilakukan oleh orang-orang yang asing di mata penduduk desa ternyata dikandung maksud akan didirikannya pabrik semen oleh PT. Ultratech Mining Indonesia sebuah investor dari India.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Bahkan dukungan dari berbagai NGO Regional, Nasional dan media semakin menguat terbukti berita tentang gerakan JMPPK ini terus menghiasi berbagai media nasinal dan daerah, terlebih dalam proses gugutan melalui PTUN, yaitu EN WALHI, YLBHI atau LBH Semarang, YAPHI yang selanjutnya para Pengacara ini menjadi Pengacaranya WALHI

Sosialisai dijalankan, masyarakat pun terbelah. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bahkan Bupati Wonogiri dengan seluruh tim nya terang-terangan mengatakan gunung-gunung ini hanya akan diratakan yang selanjutnya akan didirikan rumah sakit gratis, sekolah gratis sambil mempertontonkan ď€ lm pabrik semen yang ada di India.

77


MENGELOLA KAWASAN KARST EKOTIPE SUMBERDAYA EKOLOGI VERSUS SKEMA PEMBANGUNAN DI JAWA TENGAH

Alasan Masyarakat Menolak Penambangan dan Pendirian Pabrik Semen di Wonogiri bukan tidak berdasar, bahwa Karst Pracimantoro menurut fakta lapangan telah memnuhi kreteria kawasan lindung giologi sebagaimana diatur oleh Peraturan Mentri ESDM nomer : 17 tahun 2012. Bahkan pemerintah Kabupaten Wonogiri telah menetapkan bahwa karst Pracimatoro yang meliputi kecamatan Eromoko, kecamatan Pracimantoro, kecamtana Giritontro, kecamatan Paranggupito dan kecamatan Giriwoyo telah ditetapkan menjadi Kawasan Lindung Giologi berupa Kawasan Cagar Alam Geologi.14 Bukti ini sangat kuat sebagai karst kelas I, yaitu banyak bermunculan di lereng-lereng perbukitan. Mata air di kawasan karst kecamatan Giriwoyo ini mendominasi fenomena hidrologi karst dan bersifat permanen atau mengalir sepanjang tahun sebagian besar bermunculan dari system sungai bawah tanah (conduit aquifer) sebagian yang lain berupa rembesan dari celah bebatuan (ď€ sur auifer).

Banyak lagi bukti kalau kawasan karst Pracimantoro Wonogiri yang menjadi bagian dari pegunungan Sewu ini adalah ditemukannya 60 lebih sumber mata air, 8 telaga, 48 ponor, 27 goa dan 15 sumur hanya dari 3 desa, yaitu desa Tirtosworo, desa Girikikis dan desa Sejati.15 Warga Wonogiri terus melakukan perlawanan, yang tergabung dalam Paguyuban Peduli Pegunungan dan bersinergi dengan LPH-YAPHI, WALHI Jawa Tengah dan WALHI Jogyakarta, Jatam Jakarta dan membentuk jaringan dengan nama Jaringan Advokasi Pegunungan Sewu (JAPS). M e r e k a t e t a p a k a n mempertahankan wilayah ulayatnya yang telah memberikan hidup dan penghidupan secara turun temurun dengan cara apapun. Dan sat ini sedang gencar-gencar nya mengkapanyekan melalui media sosial, media cetak (elektronik) dan lainnya. Sementara JAPS sedang dalam proses persiapan naskah gugatan.

Bukti yang lain adalah ditemukannya banyak goa-goa vertikal maupun goa-goa horizontal yang jumlahnya mencapai ratusan dalam satu kawasan karst Pracimantoro ini. Bahkan goa-goa ini banyak dihuni berbagai banyak biota, salah satunya adalah goa Lowo yang dihuni puluhan ribu kelelawar.

14. Perda Nomer 9 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Wonogiri 2011 – 2031 pasal 25 15. Edi Ariyanto (ketua Tim Survai Paguyuban Pedulu Gunung Sewu) Rencana Berdirinya Pabrik Semen di Kecamatan Giriwoyo Wonogiri Meresahkan Masyarakat, disampaikan Seminar Save Pegunungan sewu olej Jaringan Advokasi Pegunungan Sewu (WALHI Jateng dan Yogya, jatam Jakarta dan LPH YAPHI) di taman sari Colomadu, 29 Maret 2014

78


3. Perempuan Garda Depan Rembang Fenomena karst watu putih

Sekalipun kawasan cekungan air tanah Watu Putih belum di tetapkan sebagai kawasan karst oleh pihak yang berkompeten akan tetapi prasyarat menjadi kawasan karst secara faktual tersedia semua, Yaitu : a. Secara lapangan terbukti secara aktif ditemukannya 109 titik mata air. b. 49 tempat gua dan beberapa fosil yang menempel pada dinding gua. c. 4 sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus. d. Bahkan untuk kota rembang dan kota lasem mengunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengambil dari salah satu mata air tersebut. Semakin menguatkan keyakinan bahwa kawasan lindung geologi Watu Putih Harus di lindungi dari dinamika proses produksi semen karena hanya akan merusak tata kelola alami sumber daya air yang berperan sangat penting

Kawasan Cekungan Air Watu Putih dalah kawasan lindung Geologi maka apabila pihak-pihak tertentu untuk tetap melakukan eksploitasi terlebih untuk pabrik semen dan industri ektraktif lainnya tidak tertemukan secara kuat dalil hukum atau regulasinya. Bahkan kebutuhan lahan yang sangat luas untuk perusahaanperusahaan semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian, sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

Merupakan bagian karst kendeng morfologi eksokarst, iindokarst serta sistem sungai bawahttanah ttelah tterbentuk tersusun atas formasi bulu, dengan penyusun batuan batu gamping masif berumur miosen ttengah – miosen atas sstruktur llipatan ssinklinal utara selatan dan patahan ttimur – barat. tterdiri dari gua runtuhan dan gua pelarutan gua horisontal mengikuti pola perlapisan, dengan arah gua mengikuti struktur batuan.

bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan lasem.

Selain itu, hal ini juga akan menurunkan produktiď€ tas sektor Pertanian pada wilayah sekitar, karena dampak buruk yang akan timbul, misalnya: 1. Matinya sumber mata air, 2. Polusi debu, 3.Terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. 4.Terancamnya ketahanan dan kedaulatan pangan daerah maupun tingkat nasional yang hanya akan menimbulkan kerentanan-kerentanan.

79


MENGELOLA KAWASAN KARST EKOTIPE SUMBERDAYA EKOLOGI VERSUS SKEMA PEMBANGUNAN DI JAWA TENGAH

Kerentananan dan keterancaman tersebut meliputi : 1. 49 gua, 4 sungai bawah ttanah, 109 mata air disekitar cat watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim 2. Zona jjenuh air berada di sekitar mata air sumber semen dan brubulan.. pada ketinggian 150 mdpl, ssedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdp 3. Sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area cat watu putih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan pegunungan watu putih 4. Cat watu putih yang merupakan area iimbuhan air sebesar 2555,09681 ha 5. Mata air tterbesar sumber seribu, debit 600 lt/detik di desa ttahunan di bagian timur cat watu putih, dan tterkecil belik watu dengan debit 0,02 liter/detik, di desa ttimbrangan di bagian barat cat watu putih dengan debit terkecil menghasilkan 1728 liter/hari, debit terbesar menghasilkan 51.840.000 liter/hari 6. Sumber semen merupakan sumber utama untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat 607.188 jjiwa di 14 kecamatan kabupaten rrembang (pdam,, 2013) 7. Penambangan mengurangi jjumlah simpanan air diffuse, dan meningkatkan aliran conduit. bertambahnya persentese aliran conduitssaat musim hujan akan

mengakibatkan banjir, dan berkurangnya persentase aliran diffuse saat musim kemarau menyebabkan mata air menjadi kering.. 8. Daerah tangkapan hilir k. bengawan solo berada pada cat watu putih dengan luasan 2122 ha. penambangan sseluas 491.5 ha. berkontribusi pada kerentanan pada kali mrayun, kali kowang, kali kening,dan akan bermuara di kali bengawan solo di daerah bojonegoro.. 9. Daerah ttangkapan kalillusi terdapat di cat watu putih dengan lluas 126.9 ha dan tidak terdampak oleh kegiatan penambangan. Daerah ttangkapan kali llusi ttapak pabrik dengan lluas 349..91 ha, selanjutnya berkontribusi pada kerentanan kali Sadang, kali kedawung, kali ngampel dan masuk ke kali llusi yang akan mengalir melewati Grobogan, Purwodadi. 10. Daerah ttangkapan kali ttuyuhan berada pada cat watu putih denganlluas 319 ha.tterdampak kegiatan penambangan seluas 69.01 ha. 11. Daerah tangkapan ini berkontribusi pada kerentanan kali sambung dawong, kali grubugan, kalirroyo, kali ttuyuhan dan bermuara di laut jjawa di daerah lasem.16 Dari kerentanan dan keterancaman tersebut apabila dipaksakan, beberapa temuan kajian kritis literer terkuak dan tidak bisa

16. Eko Teguh Paripurno, Apakah Kebijakan Pembangunan Kita Meningkatkan resiko bencana, Pembangunan Ekosistem Kawasan Karst jawatengah, cat watu putih rembang, Semarang 7 Juli 2014 Sekda propinsi Jawatengah

80


terbantahkan, bahwa penggunaan kawasan cekungan air Tanah Watu Putih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar:

Mendasarkan keperuntukan lahan cat watu putih Rembang oleh masyarakat sebagai sumber-sumber kehidupan secara permanen, menjadi sumber-sumber mata air untuk kebutuhan pertanian dan suplai PDAM kabupaten Rembang, potensi kerentanankerentanan yang hanya akan menghadirkan kebencanaan dan khususnya untuk terjaminnya kehidupan anak cucu dan generasi akan datang, masyarakat pun melakukan penolakan pendirian pabrik semen PT Indocement.

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

1. Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air 2. Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi. 3. Penebangan kawasan hutan yang sudah dilakukan oleh pihak Semen Indonesia tidak sesuai dengan Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013, dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diizinkan untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan yang secara administrasi Pemerintahan terletak pada Desa Kajar dan Desa Pasucen kecamatan Gunem Kabupaten rembang provinsi Jawa Tengah. 4. Namun fakta di lapangan, Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwono kecamatan Bulu seluas kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik. 5. Perlu diketahui dalam Perda nomor 14 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industry besar.17

IV. Gerakan Masyarakat

Rakyat Rembang bergerak dengan membangun jaringan dari seluruh tokoh masyarakat, bahkan mendirikan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang yang beraliansi dengan JMPPK Sukolilo Pati. Rakyat pun terus bergerak melakukan perlawanan di kawasan “Tapak� dengan ujung tombank nya para perempuan.

17. WALHI Jawatengah, surat kepada Gubenur Jawatengah, nomer 051/WALHI-Jtg/VI-2014, tertanggal 27 Juni 2014

81


MENGELOLA KAWASAN KARST EKOTIPE SUMBERDAYA EKOLOGI VERSUS SKEMA PEMBANGUNAN DI JAWA TENGAH

Perempuan Garda Depan sekarang bertepatan 2 bulan ini tidak meninggal tapak. Mereka terus mengibarkan semangat untuk mempertahankan lahan tanah sebagai sumber-sumber penghidupannya. Sehingga adalah suatu kewajiban kalau ibu-ibu perkasa ini terus menerus melakukan upaya penghentian pendirian pabrik semen, upaya ibu-ibu ini pun sebuah aksi yang terus menerus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, terutama tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi masyarkat sipil dan lain sebagainya. Upaya ibu-ibu tidak bisa dihentikan lagi oleh siapapun dan angka tawaran hanya satu, yaitu seluruh alat berat yang sudah dipersiapkan oleh PT Semen Indonesia juga pergi dari kawasan tapak, ibu-ibupun kan berhenti dari aksi doa dan pulang kerumah.

V. Penutup Demikian rekam jejak pembangunan di Indonesia justru telah menjebak pada pembangunan versus asset (sumber daya alam). Pembangunan kita justru telah merusak dan merubah marfologi, merubah volume reservoir, merubah system kekar, merubah system sungai bawah tanah, merubah tanah penutup, merubah vegetasi penutup, merubah tatanan air dan merubah asset-asset sumberdaya lain. Kita telah menuwai bencana ekologis yang meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

82

Hancurnya keanekaragaman hayati Punahnya beberapa spesies yang unik dan khas Kerusakan bentukan-bentukan alam yang unik Rusaknya arkeologi dan budaya setempat Hancur dan lenyapnya paleonologi Hilangnya pemandangan yang indah Rusaknya tatanan air Hancurnya lahan pertanian Hilangnya sumber-sumber kehidupan penduduk setempat Tercemar dan rusaknya obyek wisata alam goa-goa karstt Tercemarnya lingkungan hunian penduduk Menurunnya tingkat kesehatan masyarakat


Daftar Pustaka :

JURNAL TANAH AIR / AGUSTUS - SEPTEMBER 2014

1. Cahyo Rohmadi, Biospeleologi dan Inventarisasi fauna Gua dan apa peran bagi pengelolaabn karst?, makalah disampaikan dalam Seminar “Potensi Kawasan Karstt” IMPALA Universitas Brawijaya Malang, 21-22 April 2012 2. Dr. Rahmat Bowo Suharto, S.H.M.H, Perlindungan Hukum Kawasan Karstt di Era Otonomi Daerah, disampaikan dalam seminar nasional Universitas Muhamdiyah Surakarta, 13 Desember 2013 3. Peraturan Mentri ESDM, No. 17 tahun 2012 4. M. Arief Zayyn, Mengelola Kawasan Karstt, ekotipe bentang alam karstt khas daerah beriklim tropis basah, disampaikan dalam seminar nasional Universitas Muhamdiyah Surakarta, 13 Desember 2013 5. Eko Haryono, Hidup Bersama dengan kawasan Karst, Versi Karst Gunung Sewu dan Karst Gombong, Yogyakarta 2004

11. Edi Ariyanto (ketua Tim Survai Paguyuban Pedulu Gunung Sewu) Rencana Berdirinya Pabrik Semen di Kecamatan Giriwoyo Wonogiri Meresahkan Masyarakat, disampaikan Seminar Save Pegunungan sewu olej Jaringan Advokasi Pegunungan Sewu (WALHI Jateng dan Yogya, jatam Jakarta dan LPH YAPHI) di taman sari Colomadu, 29 Maret 2014 12. Eko Teguh Paripurno, Apakah Kebijakan Pembangunan Kita Meningkatkan resiko bencana, Pembangunan Ekosistem Kawasan Karst jawatengah, cat watu putih rembang, Semarang 7 Juli 2014 Sekda propinsi Jawatengah 13. WALHI Jawatengah, surat kepada Gubenur Jawatengah, nomer 051/WALHI-Jtg/VI-2014, tertanggal 27 Juni 2014

6. UU Nomer 2/2009 Pengertian mineral menurut pasal 1 angka 2 UU nomer 4 tahun 2009 adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam , yang memiliki sifat sik dan kimia tertentu serta susunan Kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu 7. Badan Pusat Statistik kabupaten Pati Dalam angka, 2007 8. Harian kompas, 1 Agustus 2008 9. Narasi Dokumen Internal WALHI Jawatengah 2008 10. Perda Nomer 9 tahun 2011, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Wonogiri 2011 – 2031 pasal 25

83 12


http://papanpelangi.ď€ les.wordpress.com



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.