Prakarsa. Program Pendampingan Efektivitas Sarana dan Prasarana di Pulau-pulau Kecil Berbasis Masyarakat
Catatan Pengabdian Anak Muda di Beranda Negeri
KISAH PRAKARSA Catatan Pengabdian Anak Muda di Beranda Negeri
DAFTAR ISI
1
BATAS NEGERI YANG PANTAS DISAMBAGI
97
PENGGAL CERITA DARI ALOR Jeszy Patiri
Irma Sabriany
16
SURGA KECIL DI TEPIAN PASIFIK
106
Laode Hardiani
30
JEREBU DI BALIK PENGABDIAN
Surya Asri
125
Ehdra Beta
74
OLEH-OLEH DARI ENGGANO
JEJAK KAKI DI MARORE
KE KAKOROTAN, AKU IKUT! Khoirunnisak
130
MERABA LARAT Wido Cepaka W
Nisriani
92
EKONOMI PRODUKTIF DARI BLUE SEA LESTARI Andi Darmawansyah
145
NEGERI RAWARAWA ITU BERNAMA KIMAAM A Kobit Asan Aman
Batas Negeri yang Pantas Disambangi
IRMA SABRIANY
K
amis, 26 Mei 2016, perjalananku dimulai dari Pamdi, Distrik Supiori Barat dengan menggunakan perahu motor yang bermesin 40 pk. Perjalanan melintasi Samudera Pasifik, medan perairan yang terbuka memaksa perahu motor menembus goncangan ombak dan hembusan angin yang lebih kuat. Tiga jam perjalanan dan untuk pertama kalinya aku tidur di perahu motor. Dalam hati, aku tak henti-hentinya berdoa, apalagi sejauh mata memandang hanya lautan yang entah kapan akan berakhir. Dari jauh, laut biru, hamparan pasir putih, dan perairan yang masih alami. Bebas dari campur tangan manusia pada sebuah pulau yang terpencil. Meos Bepondi atau Pulau Bepondi merupakan salah satu dari enam pulau terluar yang ada di Propinsi Papua. Meos Bepondi terletak dibagian utara Pulau Papua di Samudera Pasifik, berbatasan langsung dengan negara Republik Palau.
Pulau ini bagian dari Distrik Supiori Barat Kabupaten Supiori yang hanya memiliki satu kampung yakni Masyai. Sedikit sejarah tentang pulau terpencil ini. Berdasarkan wawancara secara mendalam dengan masyarakat, Meos artinya pulau dan Bepondi artinya terdepan sehingga Meos Bepondi adalah pulau yang terdepan. Di Meos Bepondi terdapat fasilitas berupa sarana Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun pada tahun 2014 atas kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Terdapat juga fasilitas air minum yakni adanya dua buah desalinasi. Tersedia pula sumur yang airnya tentu saja tawar. Sarana peribadatan terdiri dari satu buah gereja, sedangkan pendidikan yakni hanya ada sekolah dasar (SD). Ada pula sarana kesehatan pustu dengan satu bidan dan dua perawat. Meos Bepondi juga memiliki keterbatasan yakni dalam sarana komunikasi dan sarana transportasi. Di Meos Bepondi sama sekali tidak ada jaringan HP. Transportasi laut yakni kapal reguler tidak ada sama sekali. Jika ingin kesana harus mencarter kapal dengan biaya Rp. 500.000 (pp), yang harus ditambah uang rokok dan pinang sirih kapur. Meski sudah mencarter, kapal tak langsung menjemput, tapi harus menunggu satu hingga tujuh hari. Di Pariyem, Yanem, Sabarmiokre, Pamdi, hingga Rumbori. Hari itu aku beruntung, aku tidak perlu menunggu berhari-hari di Pamdi untuk menuju ke Meos Bepondi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Yakob (tanpa umur), potensi perikanan yakni hasil tangkapan nelayan berupa ikan yang memiliki nilai ekonomis misalnya ikan batu (Synanceia verrucosa), ikan tuna (Euthynnus allecterates), ikan kambing dan ikan kerapu (Epinephelus fuscoguttaus). Hasil 2
Kisah Prakarsa
tangkapan ini kemudian dijual ke Sabarmiokre, Sorendiweri atau langsung ke Biak. Sayur mayur seperti daun petatas dan daun pepaya melimpah ruah. Singkong, pisang, dan keladi juga banyak ditanam masyarakat. Karena keterbatasan aksesbilitas sayur mayur tersebut tidak dijual hanya untuk konsumsi saja. Pisang disini juga unik loh! Kenapa aku bilang unik? Karena buahnya besar dan warnanya orange terang. Sayangnya waktu itu aku lupa mengambil gambarnya. Masyarakat Meos Bepondi bermata pencaharian sebagai nelayan. Dari Supriono (28 tahun) selaku guru SD YPK Syalom Meos Befondi, aku mendapatkan informasi tentang tempat wisata yang ada di Meos Bepondi yakni batu hitam. Kata guru tersebut tempatnya tidak jauh dari batas kampung. Untuk mencapai batu hitam, aku harus melewati kebun warga, kemudian naik bukit dan kembali turun menuju ke laut. Saat tiba di batu hitam, aku melihat pemandangan dengan pantai yang bersih. Aku kemudian duduk di atas batu-batu, sambil menikmati suara ombak. Suara alam yang paling merdu di dunia. Pemandangan di dalam kampung Masyai juga indah dan cantik. Bangunan rumah warga tertata dengan rapi. Halaman rumah mereka ditumbuhi dengan bunga-bunga yang berwarna-warni. Bukan itu saja, mereka juga menanam pohon jeruk nipis dan pepaya, dalam jumlah yang banyak untuk setiap kepala keluarga. Saat aku menyusuri jalan di kampung Masyai, selalu disapa oleh warga sekitar, seperti “selamat pagi Kaka”, “selamat sore Ibu” atau “selamat malam Kaka”. Tibalah waktu aku harus meninggalkan Meos Bepondi. Dalam perjalanan pulang menuju Pamdi, aku menyaksikan atraksi lumba-lumba di lautan. Waktu tempuh perjalanan mencapai enam jam. Hal ini disebabkan bahan bakar (bensin) habis. Aku tak henti-hentinya berdoa semoga pertolongan Kisah Prakarsa
3
datang secepatnya. Keberuntungan masih berpihak kepada kami, saat terombang-ambing di lautan, lewat perahu bermesin Johnson, pemiliknya memberikan bensin. Setelah itu kami singgah di Rumbori untuk membeli bensin. Harga bensin mencapai Rp. 15.000/liter. Perjalanan ke Meos Bepondi memang mahal dan penuh petualangan serta memacu adrenalin. Semua resiko itu akan terbalas dengan keindahan pantai pasir putihnya. Satu lagi jika aku masih diberi kesempatan untuk mengunjungi, maka akan kusempatkan mendaki bukit kecil yang ada di belakang Kampung Masyai. Dalam setiap perjalanan yang kulakukan, aku berharap menemukan sesuatu yang unik dan berbeda. Apalagi sebuah perjalanan mengunjungi pulau-pulau kecil terluar yang berada di Republik Indonesia.
Saya Pu' Hati Tertinggal di Biak Karena aku dan orang tuaku tidak memiliki dana berlebih untuk menikmati keindahan Indonesia, sehingga harus mengakalinya dengan mencari pekerjaan yang dapat membawaku mengunjungi provinsi yang ada di Indonesia. Mungkin saja ijazah dan gelar sarjana tak penting, tetapi yang kukehendaki hanya bermanfaat untuk orang banyak. Rabu, 13 April 2016, 05.30 WIT, akhirnya aku menginjakkan kaki di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Penerbangan Jakarta -- Makassar -- Biak Numfor, berangkat dari Jakarta, pada 21.00 WIB lalu transit di Makassar dan kemudian 05.00 WIT aku dan Diani (Laode Hardiani) tiba di Bandara Frans Kaisepo, Biak. Dalam penerbangan Makassar -- Biak saat akan mendarat di Bandara Frans Kaisepo, aku menyaksikan bola matahari menanjak di ufuk timur dan horizon lautan berwarna orange tertimpa sinar cahaya pagi, aku seakan tersihir dan 4
Kisah Prakarsa
takjub. Saat itu matahari pagi, tak pernah kurasakan sama di setiap tempat, tapi yang pasti keindahannya berubah-ubah. Tergantung suasana hati! Begitu aku bersyukur, maka rasa indah, bukan lagi urusan mata. Perasaanku hari itu bahagia, tak sabar rasanya kaki ini untuk menginjakkan kaki di Pulau Biak. Waktu itu kami dijemput oleh Kak Megareta Tobing dan Pak Gerid. Yah, Biak yang merupakan salah satu pulau kecil yang berada di Teluk Cenderawasih yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Dari Biak-lah, awalnya aku menginjakkan kaki ke Jayapura hingga ke Manokwari, Papua Barat. Selama berada di Kabupaten Biak Numfor, aku banyak mengunjungi beberapa tempat wisata. Kak Julistrio Boby ( Boby), Setiawan Mangando (Aliando), Diani dan Kak Mega yang menemani petualanganku untuk menyaksikan semua yang harus kusisir di Biak. Petualangan di Biak Numfor ini, aku mulai dari Batu Picah yang terletak di Biak Utara Batu Picah terletak di Biak Utara. Jika bepergian ke Kabupaten Supiori, aku selalu melewati tempat ini. Sayangnya, jika menggunakan angkutan umum, aku tentu saja tidak bisa singgah. Sampai suatu hari ada kegiatan di daerah Biak Utara, tak mau aku lewatkan kesempatan ini. Aku pun mengikuti kegiatan, jujur saja saat kegiatan aku tidak fokus. Di pikiranku saat itu, selalu terbersit semoga kegiatan ini cepat selesai. Tubuhku tertinggal dalam kegiatan, tapi pikiran dan imajinasiku, terus menerus mengara ke Batu Picah. Ternyata Sang Maha Segalanya, mengabulkan doaku, yang kubisikkan pada angin dan hawa laut. Siang itu cuaca sangat mendukung, langit biru dan angin pantai sepoi-sepoi. Tibalah kami di Batu Picah. Yang aku lihat, di Batu Picah ini ada tebing-tebing. Setelah melihatnya langsung, aku bisa memastikan dengan Kisah Prakarsa
5
sebutan demikian. Julukan legendarisnya sebagai Batu Picah, karena ombak yang datang dari laut terhalang dan terbentur, berdegum kemudian pecah di antara bebatuan karang. "Ombak yang pecah itu bisa mencapai deburan hingga setinggi 10-15 meter, apalagi jika pasang tinggi", ujar Pak Gerid. "Sayangnya, di Batu Picah ini tidak ada retribusi, yang ada sumbangan sesuka pengunjung", tandasnya. Dari Batu Picah aku pun menuju air terjun Wafsarak.
Air Terjun Wafsarak Air terjun ini berada dekat Batu Picah, seperti sebelumnya, juga tidak ada tiket masuk. Lokasi air terjun ini dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi, dihiasai akar pohon yang menjuntai. Melihatnya serasa berada langsung di area film Tarzan. Akar-akar tersebut, dijadikan oleh anak-anak sebagai lokasi permainan bergelantungan. Diani bahkan sempat mencoba menaiki pohon, kemudian melompat ke dalam kolam air yang berada di bawah aliran air terjun. Segar sekali. Lokasi ini, pantas dikelola oleh BUMDes di desa setempat, dengan menyediakan kamar mandi dan WC. Sehingga bisa menjadi salah-satu area mengumpulkan pundi-pundi untuk pembangunan desa yang mandiri. Entahlah kalau aparat desa setempat, berpikir ke arah itu.
Air Terjun Karmon Kurnia Thamrin, ia yang mengajakku ke air terjun ini. Dalam perjalanan dari Supiori menuju Biak, aku melalui air terjun ini. "Ya udah singgah aja, sambil istirahat katanya." Aku pun mengiyakan. Momentum yang tak direncanakan, kedatanganku bukan di musim hujan. Tiba lokasi, Nia memarkir 6
Kisah Prakarsa
kendaraan. Kemudian kami berjalan ke lokasi, tanpa didampingi pemandu. Jaraknya tidak membuat napas ngosngosan. Tiba di lokasi disuguhkan pemandangan berupa kebeningan air yang membuat batu bisa terlihat. Kemungkinan saat musim hujan, airnya tak sebening pantulan cermin. Meski pantas untuk menjadi lokasi wisata unggulan, tapi hari itu pengunjung hanya kami berdua.
Dari Biak Utara ke Biak Timur Goa Jepang ini terletak di daerah Biak Timur. Jika tak salah ingat, saat itu harga tiket masuknya Rp. 25,000 per orang. Goa Jepang ini merupakan peninggalan pasukan penjajah dari negeri Matahari Terbit. Sisa-sisa peninggalannya, masih ada berupa baling-baling pesawat, tank, jerigen, baju, topi-topi, perlengkapan makan minum, bahkan tengkorak. Perang membuat mereka tak dimakamkan dengan layak. Kemungkinan lain, pihak Jepang kala itu sibuk mengurus kekalahan mereka setelah Hirosima dan Nagasaki, mendapatkan bencana massal yang dikirim dari udara. Zaman dahulu goa ini merupakan benteng pertahanan. Menurut orang yang menjaga tempat ini, banyak turis Jepang berkunjung. Perhatian turis-turis itu, tidak membuat pemerintah Jepang memindahkan tengkorak itu ke pemakaman tertentu. Bisa juga karena ia tak dikenali lagi, maka tak ada di antara wisatawan itu yang merasa tengkorak perlu dibawa pulang. "Berada di dalam goa, terasa aura mistis, membayangkan rasa ngeri, terjebak dalam goa dan meninggal begitu saja tanpa ada keluarga yang merasa kehilangan." Goa itu berada di bawah pohon rindang. Entah pohon itu sudah sebesar itu, kala nyawa tentara Jepang itu melesat dari
Kisah Prakarsa
7
tubuhnya. Sehabis mengunjungi gua, kemudian mengurai arah perjalanan menuju ke area pantai.
Pantai Anggaduber, Biak Timur Tepat seminggu berada di Biak, aku diajak oleh Kak Bobby ke daerah Biak Timur. Katanya, "Yuk ke daerah Biak Timur, di sana itu ada lokasi yang akan dijadikan pabrik keramik tetapi gak jadi, masih banyak mobil truk dan peralatan lainnya yang belum dikembalikan." Sebab lokasi ini bukan tempat yang kuincar untuk kukunjungi, maka aku tak perlu bercerita, pada sesuatu yang 'belum jadi' di area tersebut. Dari tempat ini, kak Bobby mengajakku ke pantai Anggaduber. Karena kunjunganku pada hari Ahad, tentu saja pantai ini ramai oleh pengunjung. Bagi ini mencoba sensasi adrenalin, disini terdapat lokasi untuk terjun bebas ke laut. Pantai ini sudah dikelola, berbeda dengan dua tempat wisata sebelumnya. Di sekitar pantai Anggaduber terdapat gazebo yang disewakan, pantai ini belum dicemari sampah plastik, sebagaimana umumnya wilayah pinggir laut. Pasir putih, yang bernoda oleh buangan manusia, dan air laut yang biru merupakan suatu sajian pemandangan yang ditawarkan pantai Anggaduber ini.
Pantai Segara Indah Bosnik, Biak Timur Perjalanan ke Bosnik, pada mulanya bukan untuk wisata, tapi masih berkaitan dengan pekerjaan yakni survei hasil perikanan. Setelah surve, maka kami bertiga, bersama Diani dan kak Mega ke pantai Segara Indah. Menurut beberapa orang, selain goa jepang, Anggaduber, maka pilihan berikutnya pada pantai Segara Indah Bosnik yang berada di Biak Timur. 8
Kisah Prakarsa
Pemandangan yang ditawarkan, seharusnya kujelaskan mendetail, tapi aku belum sempat merangkainya. Namun, secara sederhana, kesimpulannya yakni sangatlah indah untuk dinikmati. Bila area pantai, layak untuk snorkeling, apalagi diving, maka yang pantas membayangkan kata sifatnya yang berkaitan dengan keindahan, hanyalah yang pernah melakoni salah satu aktivitas tersebut. Berbeda dengan pantai Anggaduber, lokasi ini, sebagaimana umumnya wisata pantai yang tak terjaga, aku temukan lagi pemandangan yang tercemar oleh sampah.
Pantai Samber Sekali merangkuh dayung, tak mungkin satu pulau terlampaui, apalagi dua. Tapi, pepatah yang berkaitan dengan kayuh sampan, kini kulakukan. Aku ke pantai ini karena ada kegiatan dari kantor, tapi saat bersamaan juga berwisata. Pagi itu aktivitas masyarakat baru kembali dari melaut, maka nampaklah ikan-ikan yang besar dan harganya yang bagiku murah. "Waktu itu harga ikannya Rp. 200.000 per ekor. Murah kan ikannya!" Sehabis melihat aktivitas masyarakat, aku pun beralih ke pinggir pantai sambil menikmati suasana hari itu.
Telaga Biru Samares Ide untuk mengunjungi telaga biru Samares berasal dari Nando. "Yuk, ke Samares!", ajakannya sulit kutampik, padahal hari itu aku sedang berpuasa dan besok adalah Hari Raya Idul Adha. Untuk mencapai tempat ini, kami harus bertanya. Meski demikian, kami tetap tersesat. Awalnya kami menggunakan kendaraan roda empat, sampai akhirnya bertemu jalan yang sudah tidak bisa dilalui, baik itu roda empat maupun roda dua. Kisah Prakarsa
9
Yup, hanya dengan berjalan kaki menuruni bebatuan yang menghalangi jalan. Kondisi perjalanan, yang harusnya hanya untuk wisata, tertambahkan dengan sedikit rona petualangan. Hujan pun yang turun, tak sempat diantisipasi dengan membawa jas hujan, mantel, atau payung. Untung alam sekitar menyediakan tanaman berdaun lebar yang memiliki zat anti basah. Hanyalah daun talas yang dipakai sebagai payung. Rasa petualangan itu terbaca pada kawanku, Diani. Kondisi medan, yang dilalui membuat ia harus duduk di jalan, karena kecapekan dan memberi sinyal, "Aku menyerah, tak sanggup melangkah lebih jauh". Sinyal itu kami abaikan, dengan saling memompa semangat, ditambah dengan asupan tekad dan keinginan yang mengebu-gebu, kami memaksakan diri menggerakan engsel lutut, menyusuri jalan, sampai akhirnya kami bertemu dengan pertigaan. Kami membagi tim, ada yang ke arah kiri, kanan dan tengah. Yang mengarah ke kiri, hanya bertemu dengan laut lagi. Pembagian tiga jalur itu, tak berhasil. Ternyata tak ada yang menemukan telaga biru. Akhirnya, setelah lelah mencapai tahap final, kami memutuskan duduk di pantai sambil menikmati cemilan. Peruntungan belum berakhir, ketika bertemu dengan sepasang suami istri. Setelah mengisahkan kegagalan pencarian, pasangan ini berbaik hati untuk mengantar kami ke telaga. Entah bagaimana pasangan ini, yang hanya menggunakan satu jalur, bisa menemukan lokasi. Kami yang jomblo ini, sudah membagi diri hingga tiga, seperti amoeba, tapi hanya bertemu pada titik kelelahan. Barangkali begitulah pernikahan, selalu menemukan hal yang dikehendaki, karena mereka menyatukan hati. Entahlah, mungkin suatu hari bisa kubuktikan. Saat menemukan tempat ini, rasa lelah hilang seketika. Warna biru dengan air yang sangat jernih dan dingin, banyak 10
Kisah Prakarsa
pepohonan yang mengelilingi telaga ini. Kata Nando, "Harus berenang, khan udah jauh-jauh ke sini," lalu lanjutnya, "masa cuma kena percik-percik air. Harus berenang, biar rasa capek terbayarkan." Telaga biru Samares ini masih belum mendapat perhatian atau lebih tepatnya terabaikan oleh perhatian dari pemerintah setempat dan masyarakat. Hal ini terlihat belum adanya fasilitas apapun, seperti tempat sampah dan papan penunjuk jalan. Kemungkinan bukan hanya kami yang pernah tersesat. Di sini, masih berserakan sampah, hasil ulah pengunjung atau yang terbawa ombak. Banyak potensi wisata yang dimiliki Kabupaten Biak Numfor, seandainya saja pemerintah daerah fokus dan serius. Pantai relatif bersih dari limbah, selain sampah-sampah yang masih bisa ditanggulangi dengan membuat tempat pembuangan sementara di tempat tertentu. Beberapa yang sudah aku kunjungi, tidak sempat aku tuliskan misalnya Opiaref, Anggopi, Korem, dan sebagainya. Terlalu banyaknya pantai yang aku datangi, sampai-sampai ketika aku kembali ke pulau Jawa, salah seorang temanku mengajakku main ke pantai. Aku jawab dengan jawaban keengganan, "Aku mau ke pantai, jika nampak seperti di Biak!". Senin, 21 November 2016, aku meninggalkan Kabupaten Biak Numfor. Sedih, hanya satu kata itulah yang dapat menggambarkan perasaan hatiku saat itu. Bukan hanya terasa perih di hati, aku bahkan sampai menitikkan air mata, ketika berpamitan dengan nenek dan keluarga besar kepala kampung Mapia, Willem M. Sen. Biak bukan hanya indah pemandangannya, tetapi bagiku jadi lebih tidak terlupakan karena kebajikan hati orangorangnya. Benar kata Pak Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Supiori, Bapak Robert J. Mattulessy, "Biak, itu bila seseorang teringat padanya, maka ia akan berusaha kembali. Kisah Prakarsa
11
Saat aku meninggalkanya, satu yang selalu terpikirkan, "Suatu hari nanti aku pasti akan kembali!". Perjalanan ke Biak mengajarkanku jika bertemu dengan hal jelek, maka mengingatkanku untuk bersyukur, sedangkan jika bertemu hal yang bagus, maka aku menjadikannya sebuah motivasi. Jelek dan bagus, aku jadikan sebagai pelajaran, karena kutahu dan percaya segala sesuatu terjadi, karena sebuah alasan. Kalau pun tak ada yang pantas kusebut sebagai alasan, maka biarlah mengelupas sebagai kenanga
Pulau Brass, Pulau Terdepan Teras Indonesia Kali ini, takdir membawaku untuk mengunjungi Pulau Brass. Jika tahun 2015, aku menginginkan untuk penempatan di Pulau Brass, ternyata kemudian mendapatkan Pulau Enggano di Kabupaten Bengkulu Utara. Sesuatu yang tertunda memang dan baru terlaksana setahun kemudian. Hari itu, Sabtu (16/07/2016) pukul 03.00 WIT, aku telah berada di Pelabuhan Biak. Butuh sejam menunggu, hingga KM. Mandala 09 berangkat menuju Pulau Brass pukul 04.00 WIT. Perjalanan menuju pulau Brass menghabiskan waktu lebih dari sekali putaran jarum jam atau sekitar 24 – 28 jam. Ahad (17/07/2016) pukul 07.00 WIT kapal telah bersandar di perairan Pulau Brass. Dengan bantuan perahu semang (perahu bercadik yang digunakan sebagai alat transportasi untuk pergi memancing) dengan waktu tempuh 30 menit, aku pun tiba di Pulau Brass pada pukul 07.30 WIT. Tiba di dermaga, terbaca sambutan untuk para pendatang sepertiku, berbunyi ‘WELCOME TO BRASSI’. Tulisan berikutnya juga bukan lagi sambutan tapi berupa tekad dari pasukan garda depan penjaga lautan Indonesia yakni marinir. Di pos pasukan elit tersebut tertera tulisan ‘NKRI Harga Mati’. 12
Kisah Prakarsa
Pulau Brass merupakan bagian dari Kepulauan Mapia. Di gugusannya terdapat lagi dua pulau yakni Fanildo dan Pegun. Pusat pemerintahan terletak di pulau Brass. Pulau Brass hanya memiliki satu kampung yakni Mapia. Menurut kepala kampung, Wilyamns M. Sen (37 tahun), Mapia hanya dihuni oleh 39 KK yang menetap dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan pembuat kopra. Mapia sendiri berasal dari bahasa Sangihe yang berarti bagus. Bila huruf ‘p’ berubah ‘f’, janganjangan ada yang mengira sudah berada disalah satu pulau di Italia, tempat kekuatan kriminal. Biarpun ada yang salah ucap dengan menyebut nama kampung itu, Mafia, tapi disini kejahatan tak mendapat tempat sama sekali. Jenis ikan yang ditemukan yakni tenggiri, kerapu (Epinephelus fuscoguttatus), mubara’ dan kakap (Lutjanidae), di pulau ini aku pertama kali memancing dan berhasil mendapatkan salah satu dari ikan yang kusebutkan di atas. Kejahatan yang mungkin ada di pulau, di antaranya berupa pengeboman ikan, namun masyarakat tidak melakukannya, Mengapa? Berdasarkan hasil wawancara dengan juragan Lasaiji, ia tegas mengatakan, “Untuk apa membom ikan, wong menggunakan pancing saja hasilnya melimpah!” Di pulau ini hanya sedikit penduduk, sehingga tingkat konsumsi tidak membuat mereka serakah mengambil sewenang-wenang hasil laut. Bila hasil tangkapan berlebih, maka dibuat ikan garam. Masyarakat kampung Mapia menyebut ikan asin dengan sebutan ikan garam. Mereka melakukan aktivitas pemancingan berdasarkan adanya kapal yang merapat ke Pulau Brass. Jika ada info bahwa kapal akan masuk ke pulau tersebut, maka masyarakat akan memancing dan hasil pancingan tersebut akan dibawa ke Biak. Sebagai contoh, Kamis malam masyarakat telah mendapatkan info bahwa kapal akan masuk ke pulau Brass. Pada Jumat sore hingga Sabtu pagi, kampung Mapia menjadi sunyi. Mereka Kisah Prakarsa
13
serempak pergi memancing. Aku beruntung, berkat ajakan pak Danang, pak Gunawan dan pak Dedy, aku pun ke Pulau Fanildo cukup dengan berjalan kaki dengan memanfaatkan air surut. Tidak butuh keberanian besar, meski juga merasa ngeri berjalan dari Pulau Brass ke Fanildo. Ketiganya sudah meyakinkan betapa aman berjalan saat surut, yang menempuh waktu 1 jam 40 menit. Meski berada di lokasi surut, aku bisa merasakan sensasi kengerian dengan melihat langsung Samudera Pasifik. Dalam perjalanan ke Fanildo aku sempat melihat ‘anak-anak hiu�. Menurut pak Gunawan, jalur yang kami lalui merupakan daerah hiu. Di Fanildo juga terdapat pos TNI AL tetapi bangunannya tidak terawat. Saat di Fanildo aku tak bertemu dengan marinir ataupun TNI AL atau AD. Menurut Mr. Umar, pengamanan di Fanildo telah diambil alih oleh Lanal Biak. Di tanjung Pulau Brass, aku menyempatkan menaiki mercusuar. Dari atas, bisa melihat luasnya Samudera Pasifik yang berwarna biru dan pulau Mapia yang berbentuk love. Hembusan angin laut yang berhembus ke arah menara suar tersebut menerbangkan seluruh keletihan dan rasa capek selama perjalanan dari Biak ke Pulau Brass. Pulau ini memiliki pantai yang tak dijejali sampah modern apapun juga. Landscape yang landai menjadikannya sebagai tempat favorit penyu bertelur. Jenis penyu yang bisa ditemukan antara lain penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate). Pulang dari Fanildo, Pulau Pegun, masuk dalam rencana untuk tak abai dikunjungi. Aku percaya semua sudah terencana, meski tak selamanya dari kehendakku. Hari itu Pak Novie (seorang marinir dan merupakan komandan satgas PAM Puter XVIII di Pulau Brass. Aku bertemu dengan sang Komandan saat berada di Kab. Biak Numfor), yang kusebut sebagai Bapak Komandan mengatakan “Yuk Besok ke Pegun!� 14
Kisah Prakarsa
Sebisanya kutanya, “Ngapain Pak?� Beliau menjawab singkat, “Patroli.� Tak perlu berpikir, jawabku tak panjang, langsung mengiyakan. Saat tiba di Pegun, Keinginan pertamaku hanya naik ke mercusuar. Tidak diperkenankan ke menara suar tanpa maksud dan tujuan yang jelas, itu pun harus sepengetahuan sang komandan. Izin diperoleh, hanya bila ada yang temani. Saat itu Pak Parman dan Pak Danang, siap menemani. Keduanya merupakan marinir dan TNI AD. Bukan hanya laut biru, dari menara terlihat juga hamparan pasir putih, hingga rimbunan pohon kelapa yang berbaris sepanjang pantai. Di bagian pantai Pulau Brass, tak ada suara tambahan, selain diisi oleh debur ombak. Sangat berbeda dengan suasana di perkampungan yang kadang-kadang riuh. Saat jelang matahari terbit atau terbenam adalah waktu terbaik untuk menyesap panorama di pantai pulau tersebut sambil bercanda dengan para anggota marinir TNI AL. Di pulau terdepan ini, kehidupan warganya masih sederhana, diliputi kebiasaan bergotong royong. Mereka sangat terbuka kepada siapa pun yang datang. Pada mereka yang menetap di pulau ini, aku bisa melihat dengan utuh negara kepulauan ini. Berada di ujung negara ini, tentu merupakan hal yang sulit untuk tetap merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Untunglah mereka tidak terabaikan, apalagi anggota marinir dan TNI AD akrab dengan mereka. Sungguh terlalu, jika hanya alasan jarak yang jauh, kita tak pernah mengunjungi teras Indonesia. Mungkin suatu hari akan ada presiden yang berkunjung, supaya ia tahu masih ada pulau di negara ini yang belum dikuasai oleh pihak asing. Ucapan terima kasih buat pak Novie, Mr. Umar, pak Parman, pak Danang, pak Gunawan dan pak Dedy atas perjalanannya yang adventure dan mohon maaf sempat dibuat panic. Sampai ketemu dibelahan Indonesia lainnya.
Kisah Prakarsa
15
Surga Kecil di Tepian Pasifik
LAODE HARDIANI
S
ebagai seorang yang telah mengguluti dunia NGO. Saya kembali memilik kesempatan untuk mengenal lebih jauh tentang kehidupan masyarakat di Pulau-pulau kecil terluar perbatasan. Melalui Program Pendampingan Evektivitas Pembangunan sarana dan prasarana Pulau-pulau kecil terluar yang digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan DFW-indonesia. Saya kembali diberi kesempatan untuk melakukan tugas pendampingan pada masyarakat di Kabupaten Supiori, Provinsi Papua. Tepatnya di pulau Bras. Kami berangkat mengabdi dengan berasaskan cita-cita mulia, yakni berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat serta turut andil dalam kemajuan suatu daerah. Namun tidak sedikit diantara kami yang menjalani tugas ini didasari keinginan untuk jalan-jalan, atau keinginan untuk mencari 16
Kisah Prakarsa
keindahan negeri yang belum pernah kami saksikan sebelumnya. Namun saya tidak pernah munafik dengan berkata bahwa tugas yang saya jalankan ini sepenuhnya untuk mengabdikan diri yang didasari dengan cita-cita untuk merasakan pengalaman baru, pengalaman untuk hidup tanpa ketergantungan dengan kehidupan gemerlapnya kehidupan Metropolitan. Kehidupan tanpa ketergantungan dengan sinyal telepon genggam yang biasanya selalu menemani saya dalam keseharian. Menjalani hidup dengan terdampar disalah satu Pulau di tepian Samudera Pasifik. Pulau yang luasnya hanya ¹ 3 KM², dengan kondisi pulau tanpa berbagai teknologi masa kini yang senantiasa memanjakan kita. Namun bagi saya ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan dapat terlupakan. Kurang lebih sepuluh bulan lamananya menjalani tugas pendampingan di pulau Bras. Dimana Selama masa pendampingan di pulau ini, banyak hal yang saya pelajari. Bukan hanya masyarakat yang belajar akan tetapi saya juga banyak belajar dari masyarakat itu sendiri. Walaupun Hal tersulit yang saya rasakan bahwa saya harus bisa beradaptasi dengan kehidupan mereka. Akan tetapi saya sudah berkomitmen bahwa saya harus bekerja dengan Totalitas, sehingga semua kendala bisa terlewatkan dengan penuh sukacita sehingga kebahagiaan dan keberhasilan mereka adalah kebahagiaan dan keberhasilan saya juga. Berbagai dinamika dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, saya rasa justru menjadi bumbu-bumbu dapur yang malah membuat makanan semakin penuh rasa dan semakin nikmat ketika disajikan
Kisah Prakarsa
17
Tentang Pulau Brass Kampung Mapia atu lebih dikenal dengan Pulau Bras adalah salah satu pulau kecil terluar berpenduduk di tepian Pasifik. Pulau yang dihuni 57 Kepala Keluarga ini berbatasan langsung sengan Republik Palau yang masuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Supiori , Provisnsi Papua. Untuk sampai kepulau ini, satu-satunya akses transportasi dengan menggunakan kapal Perintis dari pelabuhan Biak. Dengan jarak 150 mil, yang ditempuh dengan waktu 20 jam. Berbicara tentang Pulau Bras adalah berbicara tentang ketertinggalan dalam berbagai segi pembangunan nasional. Di sini saya tidak akan banyak berbicara tentang angka (statistik), tetapi saya akan berbicara fakta; karena fakta adalah data mentah yang dipilih untuk dibicarakan tanpa harus dipilah agar sekedar menyenangkan. Selama melaksanakan tugas dipulau ini, yang menarik perhatian saya adalah Pulau ini belum banyak yang mengetahui keberadaanya. Lokasinya yang terpencil berada di samudera pasifik sehingga masih sangat sedikit orang yang menjamah pulau ini. Padahal, pulau ini menyimpan banyak destinasi menarik. Misalnya saja kehidupan bawah lautnya yang sangat mempesona. Tidak hanya itu, keaneka ragaman berbagai jenis ikan dan coral turut memperindah kehidupan bawah lautanya. Pulau Bras yang masih “Perawan� ini mempunyai pantai yang cantik. Sedangkan wisata sejarah di pulau ini terdapat peninggalan sejarah seperti bangkai pesawat tempur, meriam dan sebuah bandara udara yang sudah tidak digunakan lagi. Bandara udara tersebut dulunya merupakan pangkalan udara pasukan sekutu yang menyerang tentara Jepang diwilayah pasifik yang merupakan salah satu pulau yang digunakan dalam perang Dunia Ke II oleh pasukan sekutru untuk mengalahkan 18
Kisah Prakarsa
Jepang.. Pulau ini pernah dijuluki ‘ AN ISLAND OF DEATH”. Dengan mengunakan pulau ini sebagai markas komando pasukan sekutu yakin mereka akan jadi bisa memutus nadi kekuatan Jepang pada Pulau Luzon di Filipina. Pulau Bras dipandang sebagai pulau ideal untuk dijadikan markas. Alasanya pulau ini sepi, terpencil. Tak Secantik Kelihatannya Kalau tadi saya memilih kata cantik untuk mendiskripsikan keindahan alam pulau Bras. Kali ini saya akan memakai kata “ Terisolasi” untuk mendikripsiakan keadaan pulau Bras. “Pulau Bras itu cantik alamnya, tapi sayang kesehatan sama pendidikannya memprihatinkan. Alam Pulau Bras yang berada di Tepian Pasifik memang indah. Namun bagaimana nasib warganya…? Dengan jarak pulau Bras yang sangat jauh dari pusat pemerintahan negara keasatuan republik Indonesia. Pulau Bras menjadi pulau yang tidak dilihat sebagai daerah yang pantas diberikan perhatian lebih. Banyak hal yang diterlantarkan oleh Pemerintah. Kota terdekat dari Pulau Bras adalah Kota Biak. Jarak tempuh dari Biak ke Pulau Bras adalah 28 Jam menggunakan Kapal Perintis dengan jumlah warganya sebanyak 240 Jiwa atau 57 KK. Pulau yang cantik ini ternyata memiliki banyak permasalahan, seperti Pendidikan dan Kesehatan. Pendidikan Formal di Pulau Ini, hanya ada satu Sekolah Dasar. Untuk tingkat yang lebih tinggi harus melanjutkan Ke Biak yang harus membutuhkan biaya transportasi dan akomodasi yang tinggi. Oleh karena itu, banyak anak-anak di Pulai Ini yang tidak melanjutkan sekolah setelah lulus Sekolah Dasar. Kalau kita melihat kondisi geografisnya yang dikelilingi lautan, kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai nelayan, dan
Kisah Prakarsa
19
sebagian menjadi petani kopra. Sehingga tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya masih tergolong rendah. Karena jaraknya yang terisolir sehingga mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Kehidupan lain yang dilakukan oleh masyarakat di Pulau Bras untuk mendapatkan sumber dana utnuk memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah dengan membuat kopra. Tumbuhan kelapa tumbuh dihampir semua daratan di Pulau Ini, yang mencapai jutaan pohon. Kopra yang dibuat dihargai dengan harga 2500/kg. biasanya warga menjual kopra tersebut ke Kapal-kapal pengepul dari Pulau Buton. Kemudian persoalan lain yang terdapat dipulau ini adalah masalah Kesehatan. Terdapat satu Puskesmas Pembantu, namun tidak didukung oleh sarana medis yang memadai, terutama petugas Kesehatan. Sehingga apabila ada warga yang sakit, lebih memilih berobat ke Pos Satgas yang dijaga oleh TNI. Pendidikan dan Kesehatan merupakan dua hal dari banyak hal yang termaksud kedalam Hak Asasi Manusia (HAM). Penuh Makna dan Pembelajaran Selama melaksanakan tugas dipulau Bras, saya banyak mendapatkan pengalaman, pembelajaran tentang kearifan lokal yang sangat membekas di benak saya. Warganya yang hampir seratus persen bermata pencaharian sebagai nelayan mengajarkan bahwa hidup ini hanya butuh satu hal yang mungkin kita lupakan yaitu Kesederhanaan. Sebelum saya menjalani pengabdian di pulai ini, saya selalu berasumsi bahwa nelayan adalah salah satu korban ketidak adilan politik. Saya meyakini nelayan hidup miskin dan selalu serba berkesusahan. Pikir saya sengguh menyedihkan untuk hidup menjadi nelayan di negeri yang tak peduli terhadap kesejahteraan mereka.
20
Kisah Prakarsa
Namun saat ini saya sadar, bahwa miskin itu adalah kata sifat yang sangat subyektif dan kata sifat yang mungkin kurang komprehensif jika dijadikan sebagai suatu perbandingan. Dari segi pendapatan yang berupa lembaran kertas seperti masyarakat perkotaan. Tapi hamparna laut biru yang membentang mengelilingi pulau adalah ladang bagi mereka untuk hidup sehari-hari. Mereka tak pernah takut untuk kehabisan bahan makanan dan takut tidak bisa mengisi perutnya. Dengan pergi kelaut selama satu jam saja, para nelayan sudah bisa memberikan bahan makanan untuk keluarga dirumah. Kekentalan spiritual di kampung yang saya huni selama kurang lebih 10 bulan ini, juga masih sangat kuat. Tidak adanya pengaruh budaya luar yang masuk dan mendoktrin lewat berbagai teknologi nampaknya adalah penyebab utama kampung yang dihuni 57 Kepala Keluaraga ini masih terdidik dengan baik iman keagamaanya. Masyarakat pulau Bras yang seratus persen memeluk agama Kristen masih benar-benar menjalani ajaran dan perintah agamanya dengan baik. Meskipun saya beragama islam, toleransi akan perbedaan kepercayaan dapat kami rasakan dengan baik. Hal seperti ini sejatinya membeuat saya terdecak kagum, di Pulau perbatasan negeri ini Semboyan agun negeri yang berbunyi ‘Bhineka Tunggal Ika� benar-benar terwujud. Membentuk Badan Usaha Mulik Desa Pemberdayaan masayarakat memiliki bidang garapan yang luas. Salah satu bidang yang menarik untuk dibahas adalah pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat. Sebenarnya, banyak fakta yang menunjukkan bahwa dalam pembangunan, masayarakat pelosok seringkali menjadi pihak tertinggal. Padahal, terdapat dua indikator keberhasilan pembangunan. Kisah Prakarsa
21
Yang pertama, akses dan kontrol akan pembangunan bisa dilakukan atau didapatkan masyarakat. Yang kedua, hasil pembangunan bisa diterima oleh masayarakat secara adil, proporsional, dan berkelanjutan, baik di areal publik atau domestik. Peberdayaan Masyarakat di bidang ekonomi adalah salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan. Saat mereka menjadi kaum terdidik, mempunyai hak-hak kepemilikan, dan bebas untuk bekerja di luar rumah serta mempunyai pendapatan mandiri, inilah tanda kesejahteraan rumah tangga meningkat. dan dapat memiliki kemandirian secara ekonomi, agar mereka punya kuasa dan posisi dalam hubungan domestik, keluarga, dan lingkungan sosial. Mengapa penguatan dan optimalisasi masayarakat secara berkesinambungan dalam kehidupan ekonomi merupakan hal yang sangat penting? Kita bisa melihat fakta dan data bahwa masayarakat terpencil sangat sering menjadi pihak yang lemah, kalah, dan termarginalkan terutama di bidang ekonomi. Kualitas penduduk yang kurang menggembirakan merupakan akibat dari pendekatan pembangunan yang belum mengindahkan kesetaraan dan keadilan. Ini semua berawal dari diskriminasi terhadap mereka yang tinggal jauh dari perkotaan yang menyebabkan tidak memiliki akses, kesempatan, dan kontrol atas pembangunan, serta tidak memperoleh manfaat dari pembangunan yang adil. Hal ini tentunya akan menyebabkan dampak dan akibat baik bagi masyarakat itu sendiri maupun bagi lingkungan keluarga dan sekitarnya. Kemiskinan ekonomi menjadi salah satu akar utama terjadinya diskriminasi. Rendahnya keterlibatan masyarakat miskin dan rentan yang berpengaruh pada mandeknya upaya pemerataan pembangunan di desa turut dipicu oleh lemahnya kapasitas dan tata kelola lembaga ekonomi di desa. Koperasi, sebagai lembaga ekonomi resmi yang pernah ada di Kampun Mapia, gagal mewadahi aspirasi 22
Kisah Prakarsa
dan melibatkan kelompok miskin dan rentan dalam kegiatannya. koperasi tak mendapat ruang yang cukup dalam tata rencana pembangunan desa. “Padahal lembaga ekonomi lokal ini bisa menjadi saluran bagi tersampaikannya aspirasi masyarakat miskin dan rentan dan memastikan terpenuhinya kebutuhan mereka dalam pembangunan desa. Melihat kondisi itu, saya menilai, penting untuk menciptakan tata kelola lembaga ekonomi desa yang demokratis, dimana masayarakat desa yang merupakan kelompok termarjinal dapat ambil peran dalam pembangunan desa. Dalam UU No 6 tahun 2014 merupakan tonggak baru bergesernya pusat pembangunan, dimana desa selanjutnya memegang posisi penting dalam pembangunan. Istilah desa membangun menjadi stategis dan nuansa baru bagi masyarakat, karena keberpihakan pembangunan pada yang terpinggirkan. Program pengembangan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berwatak kewirausahaan sosial dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan, merupakan program inisiatif yang dibuat oleh BUMDes sebagai upaya mewujudkan Kamping mandiri berdikari. Kedepannya kegiatan BUMDes ini diharapkan, bisa membantu pemerintahan desa dalam memenuhi kebutuhan dan atau pelayanan terhadap masyarakat secara maksimal disegala bidang. Sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Visi desa mandiri berdikari akan terwujud melalui kegiatan pembentukan unit-unit usaha yang berkesinambungan serta dalam pengelolaan BUMDes. BUMDes sebagai lembaga ekonomi yang demokratis akan mampu mengakomodasi semua kepentingan masyarakat, termasuk masyarakat miskin dan kelompok rentan. “Ini juga akan berkontribusi terhadap upaya pengurangan ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi
Kisah Prakarsa
23
di perdesaan sehingga sumber-sumber penghidupan tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu saja. Sebagai upaya mewujudkan hal itu, saya mencoba memfasilitasi terbentuknya Badan Usaha Milim Desa (BUMNDes) Kampung Mapia. Dengan terbentuknya BUMDes Kampung Mapia diharapkan masyarakat mampu menjawab kebutuhan keluarga sekaligus menjadi medium memperkuat keterlibatan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan, pengelolaan usaha ekonomi, dan distribusi manfaat. sehingga banyak pembelajaran dari upaya pengembangan ekonomi keluarga. Memperkuat Kelembagaan Ekonomi Kampung Mapia Organisasi ekonomi perdesaan menjadi bagian penting sekaligus masih menjadi titik lemah dalam rangka mendukung penguatan ekonomi perdesaan. Oleh karenanya diperlukan upaya sistematis untuk mendorong organisasi ini agar mampu mengelola aset ekonomi strategis di desa sekaligus mengembangkan jaringan ekonomi demi meningkatkan daya saing ekonomi perdesaan. Dalam konteks demikian, BUMDes pada dasarnya merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa. Beberapa agenda yang bisa dilakukan antara lain: pengembangan kemampuan SDM sehingga mampu memberikan nilai tambah dalam pengelolaan aset ekonomi desa, mengintegrasikan produkproduk ekonomi perdesaan sehingga memiliki posisi nilai tawar baik dalam jaringan pasar, mewujudkan skala ekonomi kompetitif terhadap usaha ekonomi yang dikembangkan, menguatkan kelembagaan ekonomi desa, mengembangkan unsur pendukung seperti perkreditan mikro, informasi pasar, dukungan teknologi dan manajemen, prasarana ekonomi dan
24
Kisah Prakarsa
jaringan komunikasi maupun dukungan pembinaan dan regulasi. Berkat upaya-upaya pelatihan yang coba saya lakukan, dan kegigihan para pengurus BUMDes dalam membuktikan keseriusan mereka untuk memajukan perekonomian desa, pada September 2018, Pemerintah Desa Kampung Mapia menerbitkan surat keputusan (SK) sebagai bentuk pengakuan bahwa BUMDes merupakani salah satu organisasi ekonomi di desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kampung Mapia, berdiri sejak 2 Juli 2018 dengan beberapa Unit usaha yang coba dijanakan sesuai dengan potensi yang dimiliki. BUMDes ini memiliki visi untuk mewujudkan lembaga sosial ekonomi yang mandiri dan berdaya saing sebagai penggerak ekonomi pedesaan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Serangkaian pelatihan dan pendampingan yang saya lakukan diharapkan bisa semakin menguatkan kapasitas para pengurus Bumdes dan yang terpenting adalah bagaiman masyarakat memahami maksud dan tujuan keberadaan BUMDes di desanya. Hal tersebut dirasakan betul oleh Bapak Wilyam Msen (45), selaku Kepala Kampung Mapia, ketika pertama kali mengajak orang-orang untuk mengsosialisasikan berdirinya BUMDES dikampung mapia, sebagai program peningkatan kapasitas masyarakat. Ketika Wilyam Msen, menyampaikan maksud pembentukan ini, tidak sedikit yang mencibir. Anggapan mereka, program ini tidak ada manfaatnya bagi mereka. Barulah setelah diadakan beberapa kali Pertemuan dan sosialisasi, yang disampaikan langsung oleh Pak Dian ,(FS DFW-indonesia), mereka perlahan-lahan memahami apa yang menjadi tujuan dari lembaga tersebut. Masyarakat lain sudah memberi respon yang sangat positif. Sekarang banyak yang ingin bergabung menjadi anggota dalam BUMDes. Tambahnya‌.
Kisah Prakarsa
25
Menurut Wilyams, Kehadiran Fasilitator DFW-Indonesia, tidak hanya bergerak dalam upaya memfasilitasi pembangunan sarana dan prasaranan saja, tetapi juga menginspirasi dan membuka ruang bagi masayarakat untuk berlatih menyampaikan pikiran dan pendapat, betapa pun kecil dan sederhana. Ada upaya membuka diri terhadap pengetahuan baru yang memperkaya wawasan masayarakat. Pendampingan ini berperan dalam melatih semangat menjadi pemimpin dalam diri mereka untuk mempromosikan kegiatan-kegiatan di masyarakat umum demi mempengaruhi orang lain. “masayarakat mendapatkan banyak pengetahuan baru yang membantu perkembangan diri dan pikirani. Yang nantinya dapat saling berbagi pengetahuan satu sama lain. “tambahnya Lagi�. Kepala Kampung Penuh Inspiratif Perjalanan singkat selama di Pulau Bras, tersirat kenangan indah bersama yang menjadi kisah indah dalam perjalanan hidup untuk sebuah pengabdian. Kenangan saya sampai pada sosok Kepala Kampung. Wilyams Msen, sosok pemimpin yang penuh inspiratif yang selalu ingin berbuat demi kemajuan pulau kelahirannya. Ia tidak pernah bisa dikungkung di sebuah tempat dalam suatu waktu yang lama. Ia tidak pernah tinggal bersantai di rumah. Tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana kecintaannya terhadap Kampung Mapia yang dipimpinya. Kegiatan saya sehari-hari bisa dikatakan sangat padat sekali. Di tengah sekian kesibukan kerja-kerja dalam pemerintahan sebagai Kepala Kampung, Kadang saya juga melakukan kegiatan melaut dan berkebun bersama masyarakat. Saya tidak bisa diam karena selalu ingin melihat Mapia maju,� ungkap Wilyams. 26
Kisah Prakarsa
“Pay, pangilan akrab sang kepala Kampung. Ia menyatakan “kehidupan ini hanya satu kali, jadi harus bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, orang lain. Saya tidak ingin mencari sesuatu yang sia-sia. Setidaknya, ada yang mengenang apa yang pernah saya lakukan. Hal ini lah yang membuat ia selalu ingin berbuat dan mengabdi untuk tanah kelahiran. Kondisi pulau yang jauh serta terbatasnya sarana dan prasarana penunjang membuat Kehidupan ekonomi masyarakat yang dipimpinya serba kekurangan. Namun semuah itu tidak membuat Wilyams, untuk menyerah apalagi mengeluh. Ia juga tak lantas menyalahkan takdir dan selalu mengemis kepada Pemerintah. Wilyams terus berjuang. Untuk kemajuan dan kemakmuran desanya. Rasanya agak berlebihan menginventarisir kebijakan nasional pemerintah pusat terhadap Kepulauan Mapia Jika ingin membandingkan, ibarat melihat butiran debu didataran dari balik jendela pesawat di udara). Karena sesungguhnya, Indonesia ini tidak hanya Brass, sehingga pembangunan dengan APBN harus diorientasikan ke Brass semata. Begitulah kira-kira yang harus dipahami dulu. Namun, bagi saya Pulau Bras merupakan salah satu pulau cantik yang menyimpan begitu banyak potensi sumberdaya alam, sehingga masyarakat di pulau ini tidak begitu. Serantai Mimpi Sang Kepala Kampung Rasanya agak berlebihan menginventarisir kebijakan nasional pemerintah pusat terhadap Kepulauan Mapia Jika ingin membandingkan, ibarat melihat butiran debu didataran dari balik jendela pesawat di udara). Karena sesungguhnya, Indonesia ini tidak hanya Brass, sehingga pembangunan dengan APBN harus diorientasikan ke Brass semata. Begitulah kira-kira yang dipahami sang Kepala Kampung dalam menyekapi persoalan pemerataan pembangunan di negeri ini. Kisah Prakarsa
27
Berangkat dari itu semua Terbesit berbagai mimpi sang kepala Kampung untuk perkembangan dan kemajuan Kampungnya. Dengan melihat potensi yang dimiliki pulau Bras, Wilyams Msen, mencoba menyusun sebuah regulasi untuk menjadikan pulau Bras sebagai leding sektor perikanan dan Pariwisata. Dengan dijadikanya pulau ini menjadi penyokong usaha perikanan dan pariwisata jelas nantinya akan menjadi hal yang baik bagi masyarakat pulau. Hal ini karena kampung tersebut nantinya mendapat perhatian langsung dari pemerintah. Berbagai pembangunan fisik sebagai sarana penunjang kegiatan pariwisata dan perikanan akan segera direncanakan sebagai wujud perhatian pemerintah. Dengan demikian pastinya akan terbentuk simbosis mitulisme yang pastinya akan turut andil dalam mensejahterakan masyarakat Kampung. Untuk mendukung hal tersebut Wilyams Msen, kemudian terus berperan aktif dalam memotori kegiatan penyelamatkan dan melestarikan potensi sumber Daya alam di desanya. Walaupun Tidak selamanya kegiatan yang saya lakukan itu dapat berjalan mulus. Ada saja sebagian dari warga yang memandang sebelah mata kegiatan saya,� ujarnya. Meski demikian, Wilyams, tak putus asa. Dia tetap melakukan kordinasi dengan tokoh adat, aparata TNI dan tokoh masyarakat sambil berupaya memberikan pemahaman kepada warga. Wilyams, memahami, tidak semua warga di Kampung Mapia menyadari betapa pentingnya menjaga kelestarian potensi sumber daya yang dimiliki di desanya. Hal itu terlihat dari masih adanya penambangan pasir di bibi pantai, pengambilan batu karang, penangkapan penyu secara besar-besaran serta penangkapan unggas yang menjadi ciri khas kampung mapia. Untuk menghindari hal tersebut tepatnya Pada tanggal 1 Agustus 2018, Pemerintah Kampung, Bamuskam dan unsur masyarakat melakukan musyawarah Penyusunan dan penetapan Peraturan Desa (Perdes) terkait 28
Kisah Prakarsa
pengelolaan dan pemanfaatan potensi Sumber daya alam Kampung mapia. Dengan adanya perdes tersebut diharapkan bisa mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang adil, menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Kampung Mapia, terpenuhi, kelestarian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup dan sumberdaya alam Kampung. Dalam perdes ini, pemerintah Kampung menetapkan beberapa zona pemanfaatan untuk penambangan pasir. Wilyams, mengungkapkan, penetapan zonasi untuk melindungi daerah pesisir pantai dari berbagai kegiatan perusakan yang mengancam kelestarian pesisir pantai dan keselamatan pemukiman masyarakat. Inilah sekelumit pengalaman saya dalam melakukan pendampingan masayarakat di Pulau Bras, mungkin belum banyak hal yang bisa dicapai tetapi cukup banyak pengalaman yang suda saya lalui. Perjalanan singkat 10 bulan menjadi fasilitator tersirat kenangan indah bersama yang menjadi kisah indah dalam perjalanan hidup untuk sebuah pengabdian. Saya sangat bahagia dalam hidup ini yang senantiasa bisa berbagi, memberi manfaat bagi sesama. Begitulah yang kurasakan bersama warga di Kampung Mapia(Pulau Brass). Mereka telah menjadi keluarga baru yang baik selama masa tugasku sebagai fasilitator dan saya benar-benar belajar banyak dari mereka. Walaupun saya sadar saya datang dengan persiapan seadanya, datang dengan ilmu yang tidak bisa memberikan suatu hal yang signifikan untuk kemajuan mereka. Namun demi untuk kemajuan dan kesejahteraan mereka selalu terajut dalam setiap sujudku. Begitulah kurang lebih kisah saya hidup dipelosok Nusantara (Pulau Brasi). Salam hangat saya sampaikan dari yang terlanjur jatuh hati kepada kerifan lokal tanah Papua.
Kisah Prakarsa
29
Jerebu Dibalik Pengabdian
EHDRA BETA
T
ulisan sebelumnya tergambar bahwa sesuatu unsur budaya tidak dapat dilupakan begitu saja, bahkan cenderung melekat dan membekas. Hal ini juga yang membawa penulis ke dalam tatanan sejarah yang lebih kuat, serta condong kepada realitasnya. Sehingga tulisan kebesaran budaya ini tercipta. Banyak tulisan tulisan tentang budaya Bali telah dipublish, namun ini dengan pandangan penulis sendiri. Mungkin semua tidak berlangsung dalam waktu yang singkat, perlu perputaran waktu untuk ini terjadi dan terus teraplikasikan. Berdasarkan Akulturasi sejarah budaya tentang perkembangan budaya hindu Budha yang masuk ke Indonesia, menghasilkan perpaduan yang baik pada saat sekarang. Perpaduan tersebut menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya lama. Proses 30
Kisah Prakarsa
percampuran dengan waktu yang lama antara dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan berlangsung dalam waktu kewaktu sehingga saling mempengaruhi. Sejarah kebudayaan Masyarakat Bali terbentuk dan dimulai dengan datangnya orang-orang Majapahit di Bali, kedatangan tersebut membawa perubahan yang baru bagi masyarakat. Suku dan agamanya menjadi referensi keunikan budayanya di Dunia Ini. Khususnya dari segi kehidupan culture social, maupun aplikasi adat yang bersanding dengan agama Hindu Bali. Sangat masuk akal, jika masyarakat Bali masih berpegang teguh terhadap budaya dan agama yang ada, serta cendrung bertahan hingga saat ini. Dimana perkembangan zaman pun, tidak dapat mempengaruhi sedikitpun kebesaran budaya. Penulis memulai dengan pandangan sederhana saat bertugas menjadi fasilitator lapangan di Nusa Peninda Bali, menggambarkan dasar-dasar tentang aplikasi adat yang diterapkan di sana. Dimana setiap hari penulis melihat kegiatan yang dinamakan penyembahan terhadap tuhan, tuhan yang maha esa. Kegiatan utama yang selalu masyarakat jalani setiap harinya, khususnya di tanah indah Lembongan Kecamatan Nusa Penida. Bukan hanya kegiatan kehidupan yang didasarkan dunia, melainkan kehidupan ketuhanan menuju akhirat. Disini terlihat, mereka sangat akrap dengan persembahan. Khususnya, di dalam penyajian canang atau banten, kegiatan yang dilakukan setiap hari. Lebih dikenal dengan sembahyang, kesempurnaan menjadi factor utama sembahyang yang dilakukan setiap aktifitas kehidupan masyarakat Hindu di Lembongan. Hal ini mewarnai sistematika kehidupan yang berasal dari leluhur wajib untuk selalu diingat. kondisi ini merupakan salah satu ritual, mengingat Tuhan melalui leluhur. Masyarakat Bali yang menganut Agama Hindu yakin proses reinkarnasi yang fleksibel, menjadi acuan leluhur sebagai menata Kisah Prakarsa
31
kehidupan. Kehidupan yang diyakini bukan hanya bereingkarnasi dari manusia kemanusia, tapi juga dari hewan, jin, syetan dan bentuk lainnya untuk menuju kesempurnaan. Proses inilah dikatakan kehidupan dahulu menjadi kehidupan sekarang untuk menuju kesempurnaan dimasa akan datang, sehingga terhindar dari pesakitan. Kearifan lokal di Desa Lembongan pada dasarnya sama dengan suku yang ada di Pulau Bali, nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial yang kerap menjadi acuan dalam menata hubungan kerukunan antara sesama umat beragama di Desa Lembongan. Diantaranya, Nilai kearifan lokal Tri Hita Karana atau dikenal dengan suatu nilai kosmopolit tentang harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan (sutataparhyangan), hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutatapawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan lingkungan alam (sutatapalemahan), dalam hal ini, terkhususnya tumbuhan dan pohon. Nilai kearifan lokal tersebut telah mampu menjaga dan menata pola hubungan kehidupan, yang berjalan sangat dinamis. Menurut Pak Ikun, “bagi masyarakat hindu Bali, banten merupakan kegiatan penyempurnaan meditasi yang ditujukan kepada Tuhan Hwiang Widi. Perwujutan keagungan tuhan yang disajikan dari berbagai rupa, salah satunya dengan Canang/banten dan inilah yang menjadi kesempurnaan setiap peribadaan yang dilakukan. Berdasarkan data Wikipedia Indonesia Canang sari merupakan upakÄ ra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura), tempat sembahyang kecil di rumahrumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi. Canang sendiri merupakan salah satu bentuk banten atau "persembahan". Dari segi 32
Kisah Prakarsa
penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya, canang dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain Canang Genten, Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, dan Canang Meraka. Canang berisi buah, nasi, permen, dupa dan beberapa bahan bahan yang dianggap perlu untuk disajikan setiap harinya. Bahkan disaat saat, upacara penting. Sosok wanita menjadi perwujutan tersendiri, dari sebuah sajian. Menurut salah satu orang tua bernama Ibu Sluti “wanita suku Bali lebih ribet dari pada wanita wanita pada umumnya, banyak sajian setiap hari yang harus dilakukan untuk ratapan sebagai proses berjalannya kehidupan. Penyajian canang dilakukan setiap harinya, selain dari pada itu biasanya ada juga dilakukan untuk Purnama, Tilam, Tumpek, Buda Cemong, Buda Cliwon, dan Anggar Kasih. Ditambah untuk perayaan galungan, yang banyak menghabiskan banten/canang. Menurut data Wikipedia Simbolisme dari bagian-bagian penyusun canang, selain penjelasan di atas adalah sebagai berikut: Ceper Ceper adalah alas dari sebuah canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu. Beras Beras atau wija melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
Kisah Prakarsa
33
Porosan Porosan atau peporosan terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu ("pikiran"), Sabda ("perkataan"), dan Idep ("perbuatan"). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jajan, tebu, dan pisang Jajan, tebu, dan pisang menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta. Sampian Uras Sampian uras atau juga disebut Duras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya ("delapan karakteristik') yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Bunga Bunga yang diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut: Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara. Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma. Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa. Bunga berwarna Biru atau Hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu. Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata. 34
Kisah Prakarsa
Kembang Rampai Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacammacam bungai ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan. Lepa Lepa atau boreh miyik merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang. Minyak wangi Minyak wangi atau miyik-miyikan menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik. Sebuah canang sari disempurnakan dengan meletakkan sejumlah kepeng (uang logam) atau uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan. Canang memiliki peranan yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut Kanista atau "inti dari upakara". Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang. Canang sari digunakan sebagai persembahan harian kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah diberian kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana. Filosofi dari proses persembahan adalah mengurbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan tenaga untuk mempersiapkan persembahan. Canang sari tidak digunakan saat ada kematian di dalam masyarakat atau keluarga. Kisah Prakarsa
35
Canang biasanya disiapkan oleh para ibu ibu di Desa Lembongan, baik yang belum bersuami maupun yang sudah bersuami. Wanita bersuamin biasanya lebih sadar dalam aplikasi adat, karena setiap saat pada waktunya penyajian canang yang harus dilakukan. Selain mereka mempersiapkan kehidupan pribadi, pekerjaan rumah, mengurus suami, mengurus anak. Mereka juga intens tentunya dalam mempersiapkan kebutuhan sembayang. Wanita Suku Bali barulah dianggap sempurna oleh kaumnya bila mana telah melakukan kegiatan wajib tersebut. Sangat jarang wanita Bali di Lembongan, tidak dapat menyiapkan sesembahan. Karena aplikasi agama yang menyesuaikan tataran adat membuat masyarakat yakin, apapun yang terjadi kedepan nanti akan lebih baik adanya. Kekuatan banten yang ada bukan serta merta terbentuk secara instan, perlu pengayaan yang lama untuk itu semua. Sedikitpun masyarakat tidak pernah meninggalkan kebudayaan yang telah ada ini, malah semakin dikuatkan. Bersama sama secara turun temurun saling menguatkan dan menjadi Hal indah yang tidak kalah untuk dilihat dan diresapi dari contoh real lain di kehidupan nyata masyarakat lembongan. Gotong Royong Membantu Pendidikan Masyarakat Desa Bukan suatu hal yang biasa, Ini budaya yang luar biasa terjadi. Setiap orang berbondong-bondong membantu sesama, memberikan hak mereka kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Terasa naluri kebaikan di sini, berbagi tenaga untuk mendapatkan materi yang diberikan kepada orang lain. Dalam artikel sebelumnya, penulis menggambarkan tradisi tolak motor Pulau Panambulai Desa Warabal, di mana sebuah tradisi masih dipertahankan tak pernah lekang oleh waktu. Dalam artikel selanjutnya, penulis ingin berbagi cerita tentang 36
Kisah Prakarsa
kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang, di mana dengan berjalannya waktu membentuk kebiasaan atau lebih tepatnya kultur dasar masyarakat Pulau Panambulai. Kultur yang jarang terlihat di sudut Indonesia lainnya, yaitu budaya gotong royong untuk membantu pendidikan masyarakat desa. Kita sedang hidup di mana ego individu menjadi sangat tinggi, peduli kepada sesama hanya slogan. Jika memberi bantuan saran ataupun tenaga, semua dari kita berbondong untuk melakukannya. Tetapi di sini, di kampung kecil ini, mereka membantu bukan hanya dengan sugesti ataupun tenaga kering dari ototnya, tetapi dengan material, uang, harta yang mereka dapatkan. Dalam kenyataan untuk kebutuhan mereka saja, terkadang tidak dapat memenuhi. Tetapi ini adalah sebuah perwujudan bukti bahwa pendidikan harus diperjuangkan. Bukan hanya bagi anak-anak mereka, tetapi juga bagi orang-orang tua di kampung. Biasanya budaya gotong-royong untuk membantu sesama terjadi pada saat masyarakat desa lainnya sangat membutuhkan. Tradisi ini bukan terjadi dalam waktu singkat ini, melainkan sudah terjadi sejak dahulunya. Masyarakat bekerja bersama-sama, menghasilkan uang. Kemudian hasil kerjanya bukan dinikmati secara pribadi, melainkan untuk kepentingan umum, seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keperluan mendesak lainnya. Kenyataan ini terlihat saat berada enam bulan di sana. Bermula, pada kisah seorang anak asli kampung Warabal yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Kabupaten Fak Fak, Papua Barat. Pada saat itu, dia dan keluarganya mengunjungi kampung tersebut, dengan menggunakan perahu ketingting. Selama menempuh perjalanan, aku sempatkan bercerita leluasa dengan keluarga tersebut sambil menikmati perjalanan dua belas jam menuju pulau kecil di lautan Aru. Dalam sebuah Kisah Prakarsa
37
topik, bapak dari anak tersebut mengatakan, “Sudah lama tidak pulang kampung, hampir delapan tahunan. Sekalian ingin melihat keluarga di sana, juga meminta bantuan pendidikan anak kami,� bapak itu menambahkan. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud bantuan, serta semakin bingung dengan kata “meminta�. Namun, pembicaraan terlupakan dengan kuatnya gelombang Laut Aru. Setelah sampai di daerah tersebut, seperti biasa, penulis menjalankan tugas yang telah diberikan sembari berbaur dengan masyarakat se tempat. Terlihat tingkat pendidikan tentu menjadi permasalahan utama di daerah perbatasan Indonesia, sama halnya dengan Desa Warabal, Pulau Panambulai. Hanya Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di sana, itu pun sekolah menengah tersebut baru mulai beroperasi tahun 2016. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, masyarakat biasanya harus melanjutkan sekolah ke kota. Cara ini terlihat sangat tepat, namun tentu membutuhkan biaya tambahan untuk merealisasikannya. Suatu waktu terdengar informasi bahwa akan ada proyek desa, yaitu pembuatan jalan setapak. Proyek ini terdengar biasa, seperti proyek pembangunan di tempat lainnya. Pembeda dalam proyek di panambulai yang direalisasikan ini adalah hasil dari pekerjaan tersebut akan disumbangkan untuk biaya pendidikan. Lebih tepatnya, teryata upah dari gotong-royong seperti ini akan diberikan untuk menyelesaikan studi anak dari kampung yang memerlukan bantuan. Sontak aku teringat pada sesuatu, pembicaraan di kapal bersama keluarga di kapal itu. Keluarga yang anaknya membutuhkan bantuan pendidikan. Keluarga tersebut telah membicarakan kepada seluruh masyarakat desa. Masyarakat desa bersama sudah sepakat membantu. Karena kebetulan ada 38
Kisah Prakarsa
proyek pembuatan jalan setapak yang akan direncanakan. Masyarakat telah sepakat merencanakan sebagian uang dari hasil pekerjaan akan digunakan untuk menyelesaikan pendidikan keluarga yang membutuhkan bantuan tersebut. Pembagian menggunakan cara sederhana, yakni setengah dari hasil pekerjaan akan diproyeksikan untuk kebutuhan bantuan. Dengan catatan keluarga yang dibantuan harus menyediakan konsumsi saat pekerjaan berlangsung. Ternyata cara ini telah digunakan oleh masyarakat sejak puluhan tahun yang lalu, cara untuk membantu sesama melawan kesulitan pendidikan yang terjadi. Melalui mufakat, masyarakat bersama-sama melakukan bantuan secara berkelanjutan. Biasanya keputusan diambil, persis dalam beberapa hari setelah ada keluarga pemohon meminta langsung kepada masyarakat. Jika tidak ada pekerjaan pembangunan di desa seperti jalan setapak ini, masyarakat akan menggunakan cara lain. Bukan hanya pekerjaan pembangunan, tetapi juga pekerjaan laut, seperti menangkap ikan, menangkap kraka (kepiting bakau), dan juga menyelam mutiara dilakukan masyarakat. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia, khususnya di daerah tersebut. Apabila saat perlu bantuan masyarakat tidak memiliki pekerjaan, biasanya masyarakat akan melakukan iuran per rumah dari tabungan untuk memenuhinya. Tradisi ini telah membantu menyelesaikan pendidikan beberapa anak dari Kampung Warabal. Tidak ada kriteria khusus masyarakat yang dibantu untuk mendapatkan bantuan dengan cara ini. Biasanya bantuan diberikan pada saat masyarakat yang sedang menempuh pendidikan SLTA ataupun kuliah yang mengalami kesulitan biaya. Terkhusus untuk mereka yang sedang mengalami masa akhir pendidikan Kisah Prakarsa
39
perkuliahan karena notabene memerlukan uang yang banyak. Bantuan dapat berupa uang, diberikan langsung kepada yang bersangkutan. Masyarakat tidak menuntut sesuatu setelah mereka membantu, bahkan tidak ada perjanjian antara masyarakat setelah mereka menyelesaikan pendidikannya. Masyarakat juga tidak berharap agar mereka bekerja di Kampung Warabal. Semua bergantung kepada mereka yang dibantu. Hanya sebuah hegemoni kebanggaan yang bisa disematkan dalam hati mereka bahwa akan ada masyarakat dari kampung tersebut dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. Suara masyarakat kampung oleh Dami Mangara, “Akan ada sarjana di kampung kami yang bisa dilihat oleh anak anak lainnya, agar mereka termotivasi untuk bersekolah setinggi-tingginya. Terdengar seperti suara optimis untuk pendidikan yang terbaik di masa depan dari beranda terluar negeri ini. Sebagai pesan moral nyata bagi kita semua, kita harus bersama-sama untuk pendidikan yang lebih baik lagi. Bukan saling menyaingi siapa yang terbaik, tetapi saling membantu, mendukung dan memotivasi sesama dalam bidang bidang keahlian masingmasing agar kebaikan pendidikan berkontribusi terhadap kemakmuran, kita semua. Indonesia raya. Algojo, Para Penghibur dalam Tradisi Tolak Motor di Maluku Penemuan artefak di banyak wilayah serta catatan para historian dan antropolog menguatkan bahwa kebudayaan dan peradapan Maluku telah terbangun bahkan terintregrasi ke dalam satu sistem global sejak ribuan tahun yang lalu, hingga membekas sampai saat ini. Beberapa tulisan yang lalu hanya memberi gambaran tentang kemunduran dari budaya lama, serta hilangnya kearifan lokal terdahulu. Namun pada tulisan ini menegaskan suatu kebudayaan yang masih dipertahankan 40
Kisah Prakarsa
hingga saat ini, khususnya masyarakat lokal di sekitar lautan Aru. Tradisi yang mengukir kebiasaan yang masih dipertahankan, kebiasaan yang tak lekang oleh ruang dan waktu. Berawal dari Kebutuhan kapal motor di sekitar lautan Aru yang sangatlah penting, sebagai sarana tranportasi antar pulau sekitar. Motor laut juga sebagai sarana transportasi untuk mencari ikan nelayan, yang merupakan mata pencarian utama masyarakat. Perahu atau kapal motor menjadi sarana penting dan paling utama untuk mendukung kegiatan, baik berjenis boat dengan bahan viber ataupun Katingting yang terbuat dari kayu. Untuk kapal motor kayu mereka biasanya memproduksi sendiri, pembuatan dan penyusunan motor langsung dilakukan di sana. Banyak kapal motor yang lahir dari tangan tangan kreatif masyarakat Aru, terutama kapal yang terbuat dari jenis kayu seperti, besi, basung dan kapas. Banyaknya jumlah kayu di sana, mendukung produksi penghasil kapal motor. Untuk di Pulau Panambulai sendiri, masih banyak masyarakat yang mahir dalam pembuatan motor laut. Selain membuat motor laut untuk kebutuhan sendiri, mereka juga membuat untuk pesanan orang lain. Hal indah pertama yang digambarkan yaitu, tentang kepongahan masyarakat yang tinggal di sekitar lautan Aru, teruntuk dalam hal pembuatan kapal motor laut. Sedari dulu mereka meyakini, kapal motor buatan tangan mereka tidak akan rusak di tengah lautan. Kapal akan bertahan dari segala kerusakan, sehingga kapal tersebut tetap bertahan. Bahkan kapal motor diyakini tidak akan tenggelam ataupun hancur, walaupun dalam kondisi rusak. Dalam kata lain, kapal yang mengalami kerusakan saat berlayar tetap akan bertahan hingga mencapai daratan. Setelah itu barulah kapal tersebut Kisah Prakarsa
41
rusak dan tidak berfungsi lagi. Mitos kekuatan tersebut berasal dari sebuah proses unik, Tradisi itu adalah tolak motor, sebuah kebiasaan yang dilakukan masyarakat setiap kali selesai dalam pembuatan motor laut. Kapal motor yang selesai dibuat akan menjalani sebuah proses tradisi, tradisi yang unik dan menarik. Tradisi tersebut sudah mereka lakukan sejak dahulu, kebiasan sejak nenek moyang. Tradisi sederhana tersebut dikenal dengan nama “tolak motor�, atau mendorong motor pertama kali masuk ke laut setelah selesai diproduksi. Tolak motor tidak menggunakan mesin pendorong ataupun mesin penarik, melainkan menggunakan tenaga manusia. Biasanya dilakukan oleh masyarakat laki laki yang ada di kampung, sedangkan para perempuan biasanya menyoraki para laki laki agar kuat menolak motor tersebut. Kegiatan ini bukan hanya dihadiri oleh masyarakat setempat, melainkan berasal dari beberapa kampung yang ada di pulau-pulau sekitar. Mereka datang bersama untuk menghadiri undangan dari kampung yang akan melakukan proses tolak motor. Satu hari sebelum proses tersebut dilakukan, tamu undangan sudah berdatangan. Mereka berbaur bersama dengan masyarakat desa, tidak ada kecanggungan, tidak ada perbedaan, yang terlihat hanya kebersamaan yang terpancar dari mereka. Ini hal yang sangat menarik, selain etikat kebersamaan dan gotong royong. Kegiatan ini juga menjadi ajang berkumpulnya seluruh masyarakat. Sebelum kegiatan tolak motor dimulai masyarakat mengadakan suatu acara doa atau dikenal dengan nama “bacabaca�. Sehabis acara baca-baca, masyarakat melakukan acara joget bersama. Saat acara joget masyarakat akan berbondong bondong untuk berpartisipasi, diikuti dengan dentuman musik. Mereka berjoget dan berdendang Bersama-sama, seperti pesta yang biasa mereka lakukan. Kegiatan jogget ini dilakukan 42
Kisah Prakarsa
menjelang pagi hari, sebelum dilaksanakannya kegiatan tolak motor berlangsung. Menjelang menu utama, kegiatan yang ditunggu oleh ribuan mata. Di mana disaat itu kaum laki laki siap untuk menunjukan kekuatan mereka, sedangkan kaum perempuan bersiap berteriak dengan lantang mengikuti nada yang dikenal dengan agujir. Suasana riah gembira sebelum resepsi tolak motor dilakukan. Sebelumnya, para perempuan memberikan kue dan kopi hitam kepada para algojo laki laki. Sambil menyantap hidangan mereka asik dengan tembakau di tangan. Selain bash bush dengan asap rokok, terlihat bukan hanya satu atau dua kelompok, tetapi juga ada banyak kelompok laki laki bersiap menolak motor ke laut. Beberapa dari mereka memasang kayu di bawah motor, dan sebagian lagi mengikat tali untuk mempermudah jalannya motor ke dalam air. Waktu yang ditunggu tunggu tiba, bersiap untuk menolak motor. Satu atau dua komando, para algojo memasang kuda-kuda kuat. Terlihat beberapa dari mereka memegang pinggiran motor, sedangkan sebagian lagi memegang pantat motor. Komando berasal dari ketua team yang berada di atas, posisi ini lebih diutamakan orang yang memiliki suara besar. Selain melakukan teriakan bernada komando, orang yang menjadi ketua pemegang sebuah kayu. Kayu ini berfungsi untuk memukul bagian motor, pukulan bukanlah sembarang pukulan. Nada yang berasal dari pukulan inilah sebagai patokan para algojo untuk mendorong motor, jika pukulan semakin cepat para algojo dengan sigap mendorong dengan kuat. Untuk para perempuan dengan pesonanya, berteriak memberi semangat kepada para laki laki. Sebagian dari mereka teriak dan tertawa, sedangkan sebagian lagi mendengungkan agujir. tampak kegembiraan yang terpancar dari wajah hitam Kisah Prakarsa
43
mereka, hal ini yang membuat momen ini menjadi beda. Detik demi detik membuat motor besar kayu mulai bergeser, berpindah dari tempat pembuatan menuju ke laut. Butuh beberapa jam untuk mengakhiri proses tersebut, hingga akhirnya motor berlabuh di pantai. Setelah motor berlabuh, momen indah lainnya yang sulit untuk dilupakan. Mereka bersama sama saling siram menyiram air masin satu sama lain, peperangan air yang diikuti dengan kegembiraan tiada tara. Disini para perempuan saling siram, di sisi lain para laki laki mengejar untuk ikut menyerang. Menumpahkan air dan rasa bahagia mereka, setelah kerja keras yang mereka lalui. Menandakan proses kegiatan tolak motor sudah berakhir, untuk sementara waktu sebelum motor motor kayu perkasa lainnya siap untuk di tolak. Ini momen budaya yang luar biasa terjadi, bukan hanya bagi mereka tetapi juga bagiku. Bisa berada di sini, dapat hadir ditengah kebahagiaan mereka. ada nilai nilai yang terkandung di dalamnya, nilai cultur dan budaya yang membentuk kebersamaan, kerja sama saling tolong menolong, kebahagiaan, respek dan kemuliaan budaya. Dari sudut lain, kita hanya dapat melihat dan mendokumentasikan. Dalam hati berkata, semoga ini menjadi bukti nyata sebuah kebesaran budaya di salah satu daerah Indonesai. Budaya tentu akan tua, manusiapun akan mati. Namun kebesaran dan akulturasinya akan tetap dikenang hingga anak cucu, tetaplah seperti ini. Tolak motor para orang beranda terdepan yang ikut menandai kebesaran negara.
44
Kisah Prakarsa
Cara Menyiapkan Koperasi Desa kami bukan manusia belakang tanah, kami punya hasrat sejaterah, kami punya semua sumberdaya, kami butuh sebuah lembaga, kami butuh mimpi koperasi.
Kita bersama pasti ingin pertumbuhan ekonomi yang merata, begitu juga mereka yang tinggal di pedalaman Indonesia. Serta semua ingin mengurangi jumlah kemiskinan di seluruh Indonesia. Sama halnya dengan daerah pinggiran Indonesia yang cenderung masih di bawah garis kemiskinan. Peningkatan potensi PPKT sebagai sumber Usaha Ekonomi Produktif masyarakat Desa Warabal merupakan isu yang sangat menarik kita bahas, program yang ditajah oleh pemerintah. Diharapkan akan memberikan dampak yang sangat besar, sejalan dengan nawacita yang dicetus bapak president kita. Selain itu, tentu untuk menaggapi peryataan seperti, peningkatkan kesejateraan masyarakat desa, Mengangkat ekonomi masyarakat desa, dan pilihan tambahan mata pencarian ekonomi produktif. Begitu juga dengan wilayah Pulau pulau Kecil terluar yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Aru. Pertanyaan yang timbul, saat menginjakan kaki di tempat tersebut, membawa isu peningkapan ekonomi produktif adalah bagaimana cara yang instan dan efektif untuk mulai meningkatkan ekonomi masyarakat desa kecil? Hal pertama yang menarik dibahas adalah peningkatan ataupun penguatan kelembagaan masyarakat yang telah ada, tentu dengan tata cara mereka sendiri. Kita tidak bisa, kemudian datang dan mengaduk-aduk seluruh kelembagaan desa untuk dipaksa aktif. Dalam kata lain kita hanya sebagai Kisah Prakarsa
45
pendamping dan supported. Lebih detailnya, hanya memotovasi sumberdaya manusia yang ada di kelembagaan tersebut. Tekanan yang kita berikan langsung ke mereka, supaya lebih mengaktifkan kelembagaan yang sudah ada. Untuk pembentukan kelembagaan baru, mereka pada dasarnya sudah tahu dengan kelembagaan apa yang mereka butuhkan. Kita dapat ambil panutan, dari desa warabal. Di desa tersebut, telah ada kelembagaan berbasis keagamaan, social, ekonomi dan gender. Namun untuk kelembagaan ekonomi, mendapatkan isu hangat. Tepatnya kelembagaan ekonomi baru akan dibentuk. Kelembagaan dengan koseptual pemerintah yaitu BUMDES. Terlihat disini, konsep yang berbeda seperti, kelembagaan masjid dengan strukturnya, kelembagaan, perangkat desa dan perangkat adat dengan strukturnya, kelembagaan masyarakat pengawas (POKMASWAS), kelompok pembuatan abon terdiri dari ibu ibu setempat. Beberapa kelembagaan sudah ada. Inilah harus dikuatkan. Penguatan tidak mengintervensi, bukan juga sekedar memberi bantuan material kepada masyarakat. Lebih kepada memberi pengetahuan yang kuat dan terstruktur kepada penggiat lembaga untuk menuju lembaga desa yang kuat. Lebih fokus lagi, saya harus mengajak beberapa dari anda ke dalam prospektif untuk mendesing prostat (prosedur ketat) kepada sumber manusia yang menjalani lembaga tersebut. Hal yang tidak kalah penting dibahas yakni, pembentukan lembaga yang belum terbentuk. Kelembagaan yang sesuai dengan kondisi nyata yang ada di pulau terluar ataupun desa tertinggal tersebut, bukan kelembagaan yang berhasil di daerah luar. Selanjutnya diteruskan untuk dibentuk di daerah tertinggal ataupun desa terluar. Itu bukan salah satu solusi, kelembagaan yang berhasil di daerah lain, belum tentu akan berhasil di daerah tersebut. Perlu analisis yang kuat disini, untuk meraih capaian yang baik. Untuk Desa Warabal, Jambu 46
Kisah Prakarsa
Air, Warielau dan beberapa desa di sekitar kecamatan Aru Selatan. Dari beberapa waktu dan menghasilkan analisis, didapatkan konsep yang tepat adalah pembentukan kelembagaan yang dapat mengelolah potensi yang ada dengan tangan mereka sendiri. Potensi besar seperti, sektor kelautan, perikanan dan pertanian. Kelembagaan yang terbentuk pertama adalah "ngajely" yaitu, sebuah kelompok pengolahan Buah Raja. Buah endemik yang berasal dari kabupaten Kepulauan Aru secara umum serta Desa Warabal Secara khusus, buah yang merupakan panganan utama masyarakat terdahulu. Panganan yang membuat masyarakat ketergantungan, sebelum adanya beras yang berasal dari padi. Kelompok ini diharapkan dapat mendukung ekonomi masyarakat, terutama para wanita. Buah raja ini dapat dijadikan sumber utama tepung tapioka, namun butuh analisis lanjutan. Selanjutnya yang akan dibahas di sini adalah pembentukan lembaga ekonomi crusial, serta sangat sesuai kondisi yang ada. Kelembagaan ini sebenarnya merupakan suatu wadah yang telah ditunggu puluhan tahun oleh masyarakat desa, khususnya Desa Warabal. Kelembagaan yang akan memberi pencerahan kepada masyarakat, dalam mengelolah potensi mereka sendiri. Kelembagaan yang bukan hanya dapat mengelolah suatu sumberdaya menjadi bernilai, tetapi juga akan mengajarkan diri mereka sendiri dalam suatu tatanan organisasi ekonomi. Kelembagaan tersebut yaitu Koperasi. Koperasi yang terbentuk dengan dampingan fasilitator pulau terluar bernama Masusatah, nama tersebut diambil dari kumpulan nama suku yang ada di desa tersebut. Suku yang ada di daerah itu yakni, Mangar, Surey, Salay dan Tahonjabi. Koperasi ini dibentuk untuk menaungi masyarakat, serta memberi wadah belajar dalam suatu sistem ekonomi. Kisah Prakarsa
47
Koperasi yang sudah terbentuk di Desa Warabal, seyogyanya harus dipupuk pengetahuan sederhana terkait dengan pengolahan lembaga desa, hal ini tentu akan menjadi tanggung jawab pemerintah juga. Bukankah kita sudah mengetahui bahwa dinas koperasi di setiap kabupaten berkewajiban untuk mendapingi masyarakat dalam menjalankan organisasi setiap koperasi. dampingan diserahkan menjadi tanggung jawab pemerintah, karena itu merupakan kewajiban mereka juga. Beberapa dari kami telah menanam sebuah asa, asa besar yang terpatri dari sebuah mimpi lama, koperasi yang didengungkan oleh salah satu bapak Proklamator kita. kita sudah sedikit mewujutkan mimpi mereka, yang puluhan tahun berlalu. akhirnya, kami mulai berfikir koperasi ini akan menjadi cikal bakal sembuah lembaga yang menarik keuntungan bersama, sebuah titik dimana kesejaterahan sudah mulai terlihat, kemiskinan sudah mulai terberantas, sumberdaya manusia kami pun mulai meningkat. terimakasih untuk semua pihak, untuk Koperasi Pertama di Pulau Terluar Kabupaten Kepulauan Aru. Hak-Hak Anak Wajib Dilindungi Sebagai anak yang tumbuh di pulau kecil dengan segala keterbatasannya, banyak hak-hak mereka yang belum terpenuhi. Sebuah konsep perlindungan anak dapat berarti membangun sebuah lingkungan untuk anak dimana mereka dapat hidup, bertahan dan berkembang. Anak-anak juga dilindungi dari kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, buli dan diterlantarkan. Hal ini bukan muncul dari diri mereka sendiri, tetapi harus ada dukungan yang realdari lingkungan keluarga mereka. Lingkungan keluarga yang dimaksud adalah mereka, kedua orang tua maupun saudara dirumah.
48
Kisah Prakarsa
Beberapa hak penting yang dapat dijelaskan dalam Konvensi Hak Anak adalah pertama, hak bertahan hidup. Anak mendapatkan standar hidup yang layak yaitu sandang, pangan, papan, makanan begizi, pelayanan kesehatan, perlindungan dari segala bentuk kekerasan serta jaminan keluarga dalam mendukung pendidikan anak. Poin-poin ini tidak terpenuhi pada anak-anak di Desa Warabal. Banyak anak yang kurang diperhatikan masalahnya, terutama permasalahan pendidikan. Permasalahan ini muncul dari kebiasaan orang tua yang menganggap “kami orang-orang bodoh�. Sebuah kalimat yang selalu keluar dari sebagian mulut masyarakat. Hal ini tentu mempengaruhi mental, motivasi dan tanggung jawab anak-anak tersebut untuk semangat bersekolah. Kondisi yang ada saat ini sangat berbanding lurus dengan dengan revolusi mental pendidikan anak-anak di desa Warabal. Terlihat terjadi penurunan kemauan untuk bersekolah. Lebih tepatnya terjadi penurunan motivasi anakanak untuk menggapai pendidikan tinggi. Jangankan bagaimana anak-anak semakin rajin untuk belajar, untuk mendorong mereka ke sekolah saja masih susah. Anak-anak cenderung melihat orang tuanya yang merasa selalu bodoh. Mereka jelas terpengaruh. Mereka selalu menganggap diri mereka bodoh dan tidak bisa berbuat banyak dalam merubah kehidupan mereka. Poin kedua adalah tumbuh berkembang. Semua hal yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara penuh sesuai dengan potensinya, pendidikan, bermain, waktu luang, aktivitas bersosialisasi serta akses terhadap informasi. Poin ini adalah poin yang paling penting untuk disoroti karena masalah pendidikan di Desa Warabal sangat memprihatinkan. Meski sudah ada sekolah dasar (SD) dan tenaga pengajar, namun banyak ditemukan anak-anak yang masih buta huruf. Orang tua juga tidak menunjukkan perhatian terhadap minat Kisah Prakarsa
49
dan bakat anak. Sarana dan prasarana untuk menunjang kemajuan juga masih sangat kurang, terutama berkaitan dengan akses terhadap informasi. Rendahnya pendidikan orang tua mempengaruh perhatian orang tua terhadap pendidikan anaknya. Anak-anak dibiarkan sendiri dengan cara mereka untuk menjalani dunia pendidikan. Tidak ada pendampingnan khusus yang diberikan oleh orang tua untuk menjalankan pendidikan mereka. Dukungan yang diberikan pada dasarnya dianggap suatu paksaan oleh anak anak. Hal tersebut membuat anak-anak tidak bersemangat mereka menggapai pendidikan tinggi. Selanjutnya, perlindungan terhadap anak. Semua yang diperlukan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan, perlakuan salah dan penelantaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Maluku dalam mendidik anaknya terkadang keras, yakni dengan memukul anak. Tidak terkecuali di desa Waralabal. Banyak anak yang dianggap nakal akan menerima bentakan atau pukulan. Jadi persepsi yang tertanam di sini, hukuman/punishment setimpal adalah pemukulan. Ini jelas sangat mempengaruhi mental anak ke depannya. Mental dan motivasi anak-anak akan down. Mereka cendrung takut untuk menghadapi beberapa permasalahan dalam hidupnya. Dalam waktu yang lama, ini akan menjadikan ketakutan massive dan sulit untuk dihilangkan. Jikapun ada, anak-anak di desa Waralabal hanya memiliki motivasi bersaing, mencoba mengalahkan orang lain, ketakutan untuk tertinggal. Dalam semua hal akan dilandasi dengan ketakutan seperti, ketakutan untuk menjalani pendidikan yang lebih maju lagi. Anak-anak tidak merasa punya keberanian untuk mewujudkan cita-citanya yang berujung pada terhentinya semangat untuk mengejar pendidikan dan merubah hidup kedepan nanti.
50
Kisah Prakarsa
Poin terakhir adalah partisipasi. Anak memainkan peran aktif dalam komunitas sesuai dengan kelebihan dan keterbatasannya, terutama dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan mereka. Secara khusus dalam komunitas keluarga, dalam konteks kecil. Partisipasi anak juga belum terlihat di desa ini, dikarenakan hak-hak yang lain saja belum terpenuhi. Dalam menempuh pendidikan, anak-anak berusaha menentukan hak-hak mereka secara pribadi. Keluarga hanya mendukung secara umum dan hanya berskala kecil seperti hanya memenuhi kebutuhan buku tulis, baju seragam dan kebutuhan sederhana. Seyogyanya hak-hak anak bukan hanya sampai dititik itu saja. Butuh lebih support untuk menjadikan mereka sebagai prioritas bangsa. Revolusi kualitas hidup anak sangatlah penting. Kita bersama seharusnya saling mendukung. Terutama dukungan dari pihak keluarga mereka. Di belahan Indonesia, hal ini belum teraplikasikan dengan baik. Khususnya di daerah timur Indonesia. Masih terdapat kelemahan dalam perlindungan kualitas hidup anak. Antara Keindahan dan Bahaya Penyelaman di Nusa Penida Keindahan dunia bawah air tentunya memberikan sensasi yang berbeda bagi para penyelam. Dunia yang berbeda dari dunia yang dihadapi setiap hari. Sensasi bebas melayang layaknya menjadi seorang astronot. Pemandangan indah warna-warni organisme laut memanjakan mata dan memberikan ketenangan. Setiap selesai melakukan aktifitas penyelaman dan kembali ke rutinitas sehari-hari, terniat bahkan merindukan kembali melakukan penyelaman (Diving) kembali. Diving tentu menjadi aktivitas yang sangat dirindukan, pada setiap penyelam. Khususnya, pada site indah seperti Kecamatan Nusa Penida. Menurut anda apa yang di maksut dengan kegiatan Penyelaman? Kisah Prakarsa
51
Penyelaman menurut pengalaman saya, dapat diartikan sebagai kegiatan memasukan diri ataupun tidak dengan alat atau tampa menggunakan alat untuk satu tujuan tertentu, jika tidak ada tujuan. Berarti penyelam gila. tujuan dapat di bagi dari beberapa aspek seperti, penyelaman penelitian, wisata, underwater dan beberapa kegiatan lainnya. Bagaimana kesan anda sebagai penyelam? Hal yang dialami tentu luar biasa, saya yang notabene berasal dari daratan dapat berkecimpung di dunia penyelaman. Berapa tempat yang telah anda selami? Beberapa Lokasi, tapi belum terlalu banyak. Beberapa tempat yang telah saya kunjungi untuk melakukan penyelaman seperti, Kep. Riau, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Kep. Seribu, Karimun Jawa, Bali, Maluku dan beberapa tempat lainnya. Menurut anda di mana lokasi yang penyelaman yang menyenangkan? Untuk di Indonesia terdapat banyak lokasi yang menyenangkan, dapat dikatakan semua lokasi di indonesai menyenangkan untuk kegiatan penyelaman. Namun ada beberapa tempat yang tentu sangat menyenangkan. Bisa di ceritakan lokasi tersebut? Tentu, salah satu tempat itu adalah Bali. Tepatnya, Nusa Penida. Berawal dari penugasan, sebagai fasilitator Prakarsa dari DFW-indonesia dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jendral Pengolahan Pulau Pulau Kecil Terluar yang bertempat di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Bagaimana Sensasi menyelam di Nusa Penida? Wow..it is amazing Sebelum itu, sepertinya kita harus mengetahui dulu bahwa Kecamatan Nusa Penida terdiri dari 3 (tiga) Pulau Kecil yaitu, Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Tempat ini menjadi surga bagi para penyelam, tidaklah salah. Nusa Penida dinobatkan sebagai finalis Pesona Indonesia
52
Kisah Prakarsa
dominasi surga kawasan terbaik snorkling dan diving di Indonesia. Dimana spot penyelaman di Nusa Penida yang berkesan? Semua tempat di Nusa Penida sangat menyenangkan dan memiliki sensai tersendiri di setiap spotnya. Beberapa yang dijadikan spot snorkeling dan diving di Nusa Penida seperti Manta Point, Crystal Bay, Ceningan Wall, Toyopakeh, Malibu A, Malibu B, Sampalan, Ceningan, Sauna, Kutambi, Cristal Bay, Gamad Bay, Mangrove, Sakenan, Ped, atuh, Lembongan Bay, Batu abah, Pasir Uuk. Apa yang bisa diceritakan? Namun, selain memberikan kenyamanan dan kesenangan, kegiatan penyelaman di Nusa Penida memberikan dampak yang mengerikan, bahkan cenderung berakibat fatal apabila dilakukan tidak sesuai dengan prosedur kesehatan dan keselamatan penyelaman. Mengapa Seperti itu? Karakter pantai Bali yang landai dan cendrung dalam secara tiba tiba yang membuat seperti itu, juga beberapa tempat terdiri dari dinding terumbu karang tinggi. gelombang dan arus selalu berubah. Khususnya, pada bulan tertentu yang tidak memungkinkan para penyelam, terutama yang melakukan kegiatan diving. Saat itu saya tergabung dalam kegiatan pengamatan ekosistem terumbu karang di kawasanan Marine Protected Area dangan menggunakan Reef Health Monitoring yang di Lakukan CTC dan tergabung dengan beberapa pengiat pariwisata yang ada di Kecamatan Nusa Penida. Tujuannya jelas, untuk melihat kondisi kesehatan karang. Kebetulan saya dan Andrew (owner dari Blue Corner) mengikuti penyelaman di semua site. Terdapat tiga belas site penyelaman, setiap harinya dilakukan tiga sampai empat kali penyelaman. Pada setiap titik penyelaman saya menikmatinya, namun terdapat beberapa titik yang harus di lalui dengan kesulitan. Hal ini, dimungkinkan Kisah Prakarsa
53
karena kesiapan fisik tubuh sendiri. Namun hal yang terlihat jelas, dimana lokasi yang baru diketahui tersebut memiliki karakter berbeda. Terdapat gelombang besar dan arus bawah yang kuat, membuat penyelaman saat itu terganggu. Lokasi indah seperti Gamad, Cristal bay dan Manta berubah menjadi site yang berbahaya secara tiba tiba. Jika melakukan kegiatan penyelaman dengan prepare terbatas, serta memiliki fisik yang lemah maka bukan menikmati kegiatan tersebut. Malah akan memperburuk kondisi, khususnya. Untuk diri kita sendiri. Tekanan udara yang ada di dalam air dan di daratan cukup berbeda. Tekanan udara yang ada di sekitar kita akan meningkat ketika menyelam. Tekanan ini akan menghimpit bagian tubuh kita yang beronga, pada umumnya berefek langsung pada rongga hidung, rongga telinga dan rongga dada. Menurut Hardive Blogspot “Tekanan udara pada permukaan laut pada suhu 0oC, pada dasarnya adalah tekanan yang disebabkan oleh berat asmofir di atasnya. Tekanan ini konstan yaitu sekitar 760 mmHg (14,7 psi) dan dijadikan dasar hukum atmosfir (1 ATA), Tambahnya. Hal ini yang membuat banyak para penyelam di Nusa Penida, yang tidak punya pengalaman penyelaman di Bali, kesulitan. Suhu dan tekanan di spot tertentu, terkadang tidak terkontrol. Menurut Marten Welly (MPA Learning Site Manager Coral Triangle Center) “butuh ketenangan yang lebih untuk melakukan penyelaman di Kawasan Nusa Penida, ini bukan hanya untuk penyelaman penelitian tetapi juga pada penyelaman pariwisata, pungkas salah satu intruktur selam di Bali tersebut. Untuk itu persiapkan diri kita, jika ingin melakukan penyelaman di Kawasan Nusa Penida, ataupun di kawasan lainnya. Tidak ada penyelam hebat, jika dia tidak melakukan prosedur yang tepat. 54
Kisah Prakarsa
Tergerusnya Budidaya Rumput Laut Bali Jika kita mencintai sesuatu, biarkan sesuatu itu pergi dan jika sesuatu itu kembali, barulah menjadi milik kita sepenuhnya. Pola kata ini menjadi pikiran berat selalu dalam di pikiranku, tentang perubahan secara yang sangat singkat, dapat dirasakan oleh mata telanjang. Rumput laut yang merubah hidup kita dimasa lalu. telah berkurang, bahkan akan hilang ditelan maraknya pariwisata yang menjanjikan. Sejarah yang akan selalu terukir dibenak dan di hati, setiap masyarakat lembongan. Di mana, rumput laut yang menjadi simbol dan primadona sekarang sudah mulai tiada. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia, terdapat pulau-ulau kecil di provinsi tersebut, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan Merupakan gugusan Pulau Nusa Penida. Desa di dua pulau tersebut, masih sangat asri dan indah. sebelum tahun 2005-an yang desa tersebut mengambarkan suasana kehidupan masyarakat bali zaman dahulu yang belum tersentuh dengan modernisasi. Sosial budaya gotong royong yang menjadi semboyan masih sangat terasa di bawah Tahun 1976. Masyarakat bersama sama membaur membangun Pulau Lembongan yang indah itu, dengan keindahan estetika yang menawan, memberikan pengertian bahwa Tuhan menitipkan alam indah untuk dijaga bersama-sama. Masyarakat di saat itu lebih memiliki kekuatan persaudaraan yang baik dari sekarang, yang menjadikan kedekatan emosional penduduk bersama sama ikut berpartisipasi dan berperan mengembangkan potensi alam yang ada. Sejak zaman dahulu konon kehidupan masyarakat Bali, khususnya Desa Lembongan akrab dengan pertanian, luasnya lahan dan tingginya produktivitas tanah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam, tanaman kelapa, kacang Kisah Prakarsa
55
kacangan, umbi-umbian menjadi komuniti utama penyusun struktur pertanian di Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan sejak dulunya. Masyarakat belum mengenal pembudidayaan rumput laut, rumput laut yang tersebar di sekitar kawasan perairan, hanya tumbuh berserakan di dalam perairan tersebut. Menurut Ujiana, “Masyarakat Pulau Lembongan yang sangat bergantung pada pertanian jenis tanaman Palawija maupun tumbuh-tumbuhan musiman dan holikultura", Dengan berjalannya waktu rumput laut menjadi komoditi besar, yang ada di pulau kecil di Provinsi Bali tersebut. Rumput laut mulai berkembang di Lembongan kurang lebih Tahun 1976. Diawali oleh kedatangan seorang peneliti yang bernama “ Pak Bambang� yang mencoba menanami jenis Spenosium dan Cattonie, di sinilah menjadi awal perubahan pola kehidupan dan ekonomi masyarakat Nusa Lembongan (Ujianana, 2016). Pak Bambang membawa rumput laut jenis cattonie dan spenosumuntuk dikembangkan di Nusa Lembongan. Momen ini menjadikan perubahan persepsi masyarakat, beralih menjadi petani rumput laut. Seluruh masyarakat petani berbondong ikut serta dalam pengembangan rumput laut, mulai dari mencoba menanam sampai dengan fokus melakukan pengembangan budidaya rumput laut itu sendiri. Pada saat itu masyarakat sangat mansyur dengan perkembangan rumput laut dan menjadi awal perubahan dari pola pikir, pola kehidupan, budaya dan ekonomi masyarakat di Pulau Lembongan dan Ceningan. Perubahan ekonomi yang sangat signifikan berubah. Menurut Ujiana, banyak Masyarakat Lembongan yang menjadi kaya raya, dari hasil budidaya rumput laut. Mereka mulai bukan hanya membeli rumah dan tanah di Kota Bali, tetapi juga banyak anak dari mereka dapat bersekolah, hingga ke 56
Kisah Prakarsa
bangku perkuliahan. Perubahan bentuk bangunan rumah menjadi salah satu bukti nyata perkembangan rumput laut di zaman itu. Harga rumput laut pada saat itu, berkisar pada range 1000 rupiah. Tentu pada saat itu termasuk harga tertinggi pada zamannya. Rumput laut yang budidayakan di lembongan mengalami kenaikan pada durasi tahun 1990 sampai dengan 2005. Jenis E Kattonie dan E. Spenosum manjadikan rumput laut tumbuh subur di Perairan Kecamatan Nusa Penida. Khusunya, Nusa Lembongan dan Ceningan. Bukan hanya masyarakat yang bekerja sebagai petani rumput laut, tetapi juga masyarakat yang memiliki pekerjaan seperti guru, karyawan hotel, dan pekerjaan lain. Ikut serta dalam pengembangan rumput laut. Sejarah tentang awal mulanya pembudidaya tersebut, menjadi cerita yang selalu diketahui secara turun temurun. Setiap kaum antara umur 35-70 tahun masih menganggap Pak Bambang sebagai pahlawan di Lembongan yang memberi pengaruh besar dalam sejarah perkembangan rumput laut. Walaupun hingga saat ini, masyarakat tidak pernah benar tau siapa dan di mana Pak Bambang tersebut. Pengaruh yang telah diberikannya bernafaskan ingatan, oleh setiap insan yang ada di Nusa Lembongan dan Ceningan. Tidak akan pernah terlupakan, walaupun kehidupan memaksa perubahan. Perubahan yang tidak dapat diindahkan, Dalam perkembangannya rumput laut budidaya yang dilakukan oleh petani, mengalami pasang surut. Mulai disebabkan diagram pertumbuhan, pasar dan harga rumput laut yang selalu menurun, terutama harga rumput laut di Bali pada umumnya. Hal itu berbanding lurus, dengan perubahan persepsi lingkungan masyarakat rumput laut yang ada di Desa Lembongan Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung Kisah Prakarsa
57
Provinsi Bali. Pola pikir masyarakat Lembongan, sekarang mengarah kepariwisata, meninggalkan potensi sumber daya alam, yang dahulunya menjadi primadona khususnya rumput laut. Tidak ada lagi rumput laut yang diagung-agungkan, tidak ada lagi masyarakat yang menjadi owner di bisnisnya sendiri. Namun mulai pada tahun 2006, stabilitas komunitas rumput laut mengalami penurunan. Terjadi penurunan harga, tidak stabil. Berdasarkan data, petani rumput laut dengan jumlah orang berkisar 98 %. Mulai tahun 2010 pertumbuhan rumput laut di Desa Lembongan, mulai menurun sangat drastis. Di atas Tahun 2010 hingga sampai saat ini pembudidaya rumput laut menjadi 5 % dari jumlah penduduk Pulau Lembongan. Hal itu dipengaruhi oleh harga, laju pertumbuhan, serta pangsa pasar rumput laut yang tidak berpihak kepada petani rumput laut. Petani rumput laut semakin hari menurun, rendahnya animo petani untuk turun melakukan budidaya (SPN, 2016). Buruknya kualitas dari hasil rumput laut yang dihasilkan menjadi salah satu faktor kuat mulai tergerusnya rumput laut tersebut, serta perkembangan hama dan pencemaran yang meningkat dari tinggi pariwisata di Nusa Lembongan. Masyarakat mulai beralih pekerjaan keberbagai bidang, yang memaksa mereka untuk survive. Untuk terus mempertahankan budiya rumput laut, yang tak akan mungkin bisa diteruskan, membeli kebutuhan bibit saja mereka sudah mulai tidak mampu. Tentunya, ini sangat menentukan produktivitas petani rumput laut, serta menentukan kemunduran budidaya rumput laut itu sendiri. Harga bibit dengan produksi yang berbanding terbalik, mulai dari harga per/ikat Rp 7.000,- sampai dengan Rp 15.000/tali. Dari bibit yang ditanam, hanya menghasilkan jumlah diluar ekspektasi. Diperburuk dengan penyakit serta harga jual produksi tinggi,
58
Kisah Prakarsa
yang membuat keadaan pembudidaya rumput laut semakin tersudut. Berkah alam lainlah yang membantu masyarakat Pulau Lembongan, menemukan jati diri mereka kembali yaitu coastal of ecotourism. Peningkatan wisata ke Indonesia destinasi ke Bali menjadi tujuan utama. Selama 2015, Bandara Ngurah Rai melayani 8,6 juta penumpang domestik dan 8,5 juta penumpang internasional, total mencapai 17,1 juta pengunjung dengan rata-rata per hari sebanyak 46.883 orang. Destinasi wisata laut menjadi daya tarik utama beberapa dekade terakhir. Pulau kecil Bali menjadi tujuan utama para wisatawan, salah satunya Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung yang terdiri dari Nusa Penida itu sendiri, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan (data pemerintahan, 2016). Khusus Nusa Lembongan, berdasarkan kurva wisata telah menjadi destinasi terbaik dalam 10 tahun terakhir, beberapa aspek alam seperti wisata alam laut keindahan alam, terumbu karang, mangrove, lamun dan rumput laut memenuhi kebutuhan wisatawan lokal maupun mancanegara. Serta, keidahan budaya tentunya. Kawasan Nusa Lembongan terdapat 151 properti, 22 cruise boat dengan kapasitas 100200 orang yang terdaftar di Nusa Lembongan (SPN, 2016). Rata rata wisatawan local maupun internasional berkisar 2500/hari stay di Nusa Lembongan, dibedakan antara wisatawan noncruise stay dan wisatawan cruise (pelancong). Perubahan tentu terjadi, kearifan lokal yang selalu menjadi primadona, beralih ke suatu konsep baru berbasis 'menjual indahnya alam’. Dalam kurun waktu yang singkat kegiatan pembudidaya rumput laut yang dahulunya berskala besar, menjadi butiran kecil yang menghiasi sebuah kemolekan alam, dan menjadi daya tarik utama ribuan manusia
Kisah Prakarsa
59
berkunjung, melihat, serta merasakan surga alam Tuhan yang ada dimuka bumi ini. Tidak ada lagi gadis gadis hitam, berpakaian sederhana membawa keranjang besar. Untuk menampung rumput dari pantai, Hanya tinggal pesona para turis. Hal yang menjadi berkah tersendiri yang harus dijaga oleh masyarakat Lembongan. Konsep telah berubah, pola pikir kita telah berubah, cara kita telah berubah. Tapi, apakah perlu kita meninggalkan, hingga sesuatu tersebut akan kita lupakan. Perlukah kita meninggalkan sesuatu yang telah membesarkan jati diri kita seperti sekarang ini, sudahkan kita selalu mendampingi hal yang baru dengan tetap menampung sejarah ini. Sejarah ketika “Lembongan menjadi pulau penghasil rumput laut di Bali�. "Walet Sari" Kekuatan dalam Tetesan Air Bersih Provinsi Bali tidak hanya menyajikan kekuatan pariwasata yang tersohor tetapi juga menyajikan pengelolaan lembaga yang terkelola dengan baik. Baik dari segi menjemen dan kegiatan/usaha. Sebagai contoh di Desa Lembongan Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali dalam pengelolaan desalinasi air bersih untuk seluruh kebutuhan masyarakat. Berawal dari fakta, sangat minimnya air tawar di Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan, dimana sebagian besar pemenuhan kebutuhan air bersih memanfaatkan air payau. Daerah yang lebih tinggi memiliki kadar air tawar yang lebih baik, dimana air payau digunakan khusus untuk mandi. Aliran air permukaanpun hanya berskala kecil. Untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat menggunakan air aqua. Aliran tanah yang dimanfaatkan melaui proses bor, juga
60
Kisah Prakarsa
menghasilkan air payau sehingga hanya sedikit masyarakat menggunakan air tersebut untuk dikonsumsi. Di Pulau Ceningan juga tidak terdapat danau, rawa, maupun kolam, baik alami maupun buatan. Penduduk mendapatkan air bersih dari 2 jenis sumber, yaitu sumur (air tanah) dan air tadah hujan. Untuk sumur terdiri dari, sumur bor dan sumur gali (cincing) Berdasarkan kesulitan tersebut, sebuah berkah datang pada Tahun 2013. Desa Lembongan menerima sarana bantuan dari Direktorat Jendral Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, dengan sumber dana dari APBN Tahun 2013. Sarana berupa mesin Desalinasi Air Laut Menjadi air bersih. Semenjak mesin desalinasi air bersih beroperasi, masyarakat mulai beralih ke air bersih desalinasi tersebut khususnya di Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan. Menurut masyarakat Lembongan (2017), air desalinasi lebih murah hargannya dan tentu lebih enak. Bisa dibayangkan kami butuh puluhan tahun untuk merasakan air seperti ini yang hadir di dekat kami, tuturnya. 1 unit Instalasi Pengolahan Air (IPA) sebesar 200 lt/d dengan satu unit reservoir kapasitas 1,700 m3, satu unit intake sistem beserta rumah pompa, serta satu buah panel surya kapasitas 15 Kwp. Awal produksi desalinasi sangat baik, masyarakat sangat berharap besar dengan kehadiran mesin air buatan Swedia tersebut. Mesin yang beroperasi mulai dari bulan Februari 2013 dengan penyaringan salinitydan penurunan kadar garam dari air laut. Desalinasi Desa Lembongan berjalan hingga saat ini. Penjualan tertinggi pada tahun 2015 terjadi pada bulan November yaitu 687 galon/bulan, sedangkan penjualan terendah pada Tahun 2015 pada Bulan Maret yaitu 120 Galon/Bulan. Untuk Tahun 2014 penjualan tertinggi pada Bulan Mei yaitu 551 galon/bulan, sedangkan penjualan terendah pada Bulan Oktober yaitu 333 galon/bulan (Walet Sari, 2016). Kisah Prakarsa
61
Sebenarnya, hanya kelompok yang ditargetkan pemerintah untuk mengelola mesin air bersih desalinasi. Saat ini desalinasi air bersih dikelola oleh lembaga koperasi yaitu, Koperasi Serba Usaha (KSU), dengan nama “Wallet Sari� dapat mengelola keberlanjutan system air bersih di Desa Lembongan. Menurut Direktur Walet Sari, untuk mengelola sarana pemerintahan yang lebih baik khususnya air bersih harus dikelolah oleh sebuah badan usaha. Desalinasi yang dikelola oleh koperasi Walet Sari akan lebih baik dan berkelanjutan. Selain itu, koperasi tentu punya sparedana yang kuat untuk maintainance peralatan jika terjadi kerusakan. Koperasi Walet Sari berdomisili di jalan Ceningan Dusun Ceningan Kangin Desa Lembongan Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Koperasi ini merupakan pengembangan dari koperasi Srinadi, milik Bupati Klungkung. Secara garis besar Koperasi Walet sari mengadopsi sistem dan cara pengolaan yang sama dari koperasi Srinadi. Ketua Koperasi Walet Sari I Wayan Suwidi lahir di Lembongan pada Tanggal 25 Oktober 1964 merupakan sosok sosok yang vital di menajemen koperasi Walet Sari. Perannya dalam Perkembangan koperasi tersebut, tidaklah suatu isapan jempol. Selain sebagai ketua kelompok Walet Sari beliau merupakan Kepala Sekola SDN 001 Lembongan. Sosok yang memiliki 3 orang anak ini, mengiplementasikan kehidupannya dalam pengembangan kawasannya dan kesejateraan masyarakat, khusunya Desa Lembongan. Beberapa nama yang menjadi deccision maker di KSU Walet Sari yaitu I Wayan Seger dan I nyoman Murta sebagai penasehat, I Ketut Taksu, I Made Serman dan I Kadek Santik (sebagai Pengawas). Koperasi Walet Sari Bukan hanya diisi oleh petinggi yang berintegritas tetapi juga diisi orang-orang berpotensi. Seperti, pak Ketut sebagai sekertaris koperasi yang mengatur segala kegiatan/usaha, Naim sebagai teknisi Mesin 62
Kisah Prakarsa
Desalinasi, serta beberapa orang yang menjadikan koperasi Wallet Sari, sebagai koperasi unggulan. Air bersih dari desalinasi Koperasi Walet Sari, bukan hanya dikonsumsi oleh rumah tangga, tetapi juga dimanfaatkan oleh beberapa pihak hotel, resort, villa dan tempat makan di Desa Lembongan. Selain itu, terdapat juga Sekolah Dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah Atas (SMA) dan Paud juga mengkonsumsi air hasil desalinasi, Tambahnya. Pada laporan keuangan pengeloloaan air bersih, terus mengalamin peningakatan yang cukup signifikan, ditandai pada tahun pertama pengelolaan usaha air bersih mendapatkan saldo sebesar Rp. 20.883.000, pada tahun 2014, Rp 21.636.000,00 pada tahun 2015 dan Rp 25.800.000,00 pada bulan april tahun 2016. Masyarakat berharap dengan terkelola mesin desalinasi, yang dianggap sebagai sebuah anugerah dapat memenuhi kebutuhan akan air bersih di Desa Lembongan, hingga kedepan nanti. Selain itu, masyarakat berharap Air desalinasi Desa Lembongan dapat memenuhi kebutuhan air bersih dalam skala besar, serta dapat dirasakan oleh semua penduduk Kecamatan Nusa Penida. Produksi air desalinasi Desa Lembongan, sudah efektif di tangan Koperasi Walet Sari. Progress pengolaan jangka panjang dengan sistem lembaga, berbadan hukum sangat berkembang. Terimah kasih Walet Sari Apakah kami akan hitam selamanya? Pagi ini terasa lelah, malas untuk bangkit dari tempat tidurku. Khayalan, terngiang bahwa saat ini bukan berada di rumah. Dimana tempat ternyaman, selama ini. Pengabdian yang dijalani di salah satu pulau terluar Indonesia, dekat dengan Negara Papua Nugini dan Australia.Tersadar,
Kisah Prakarsa
63
sementara ini tertidur dan berpijak di Desa Warabal yang jauh. Kata beranda terdepan Indonesia sudah sangat terasa di Desa Warabal. Kenyataannya, harus diakui kami bukan lagi daerah belakang tanah (beranda belakang). Namun tempat ini adalah jendela terdepan negeri ini. Disini, Pulau Panambulai Desa Warabal di Lautan Aru. Bermula dari pengamatan akan kondisi belajar-mengajar di SMPNegeri Warabal yang baru saja berdiri. Teringat satu hal, yaitu ibu seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang mana selalu memberikan semangat akan pendidikan. Pendidikan yang baik bukan hanya dimana tempat pendidikan itu berada, tetapi juga bagaimana sistem pendidikan itu sendiri. Di artikel ini akan menjelaskan opini tentang kekurangan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Suara yang muncul dari teriakan kecil anak-anak Desa Warabal Pulau Panambulai Kecamatan AruTengah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku. Apakah kami akan hitam selamanya? Kecewa, kata itu muncul disaat melihat kebodohan yang adadi negeri ini. Belasan anak bingung. Ingin merasakan belajar seperti semua murid di seluruh negeri ini. Tetapi, fakta dilapangan berbeda. Sekolah yang mereka datangi, yang mereka banggakan untuk menempuh pendidikan. Tidak ada guru pengajar, guru yang mereka tunggu tidak ada. Lebih tepatnya tidak akan datang ke sekolah, hari itu dan hari selanjutnya. SMP Negeri Desa Warabal yang baru berdiri pada Tahun 2015, memulai kegiatan belajar mengajar semester pertama pada Tahun 2016. Sekolah itu didirikan tentu untuk memberantas kebodohan. Khususnya anak anak yang berada di Pulau Terluar Indonesia. Bangunan sekolah terdiri dari 9 gedung yang difungsikan sebagai ruang belajar, ruang guru, 64
Kisah Prakarsa
rumah guru serta sarana pendukung. Kondisi bangunan layaknya sekolah yang ada di Kepulauan Aru TengahSelatan lainnya. Untuk mendukung kegiatan mengajar sementara, terdapat satu orang kepala sekolah. Kepala sekolah juga berkewajiban untuk mengajar. Kepala sekolah didukung oleh 2 orang guru pengajar. Salah satu dari mereka berstatus tenaga kontrak Kabupaten, sedangkan satunya lagi berstatus honor sekolah. Beberapa orang sudah dipersiapkan untuk diterima mengajar, termasuk program guru garis terdepan Indonesia. Namun fakta yang ada, guru SMP tersebut tidak ada. Semua berada di Dobo, ibu kota kabupaten. Mereka pulang untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan pribadi, sedangkan murid menunggu mereka di kelas bersama buku yang berserakan dan hampir tercabik. Menurut murid “su mulai sekolah dibuka seng ada guru lai, be pu guru ada di Kota. Suara kecil Dede yang merupakan salah murid berbadan kecil di sekolah tersebut. Kondisi seperti ini memang sudah murid alami sejak dari sekolah dasar. Guru tarada di pulau, tambahnya. Sebagai fasilitator pulau-pulau kecil terluar, dengan antusias saya ikut berpartisipasi mengajar murid untuk mengisi kekosongan pengajar di sekolah tersebut. Pertama kali memasuki kelas, saya mencoba menggunakan metode permainan. Untuk perkenalan dan juga mencoba kemampuan hitungan, baca cepat dan menulis. Metode yang ringan dan santai untuk mendeteksi kemampuan. Dari sana, terlihat dari15 orang murid hanya 5 murid saja yang lancar membaca dan menulis. Sisanya, para murid masih dalam tahap mengeja. Sesaat tertegun, sebab ada beberapa murid yang tidak tahu sama sekali cara membaca. Bahkan untuk menulis kalimat sederhanapun, masih banyak yang tidak bisa sama sekali. Kisah Prakarsa
65
Selain membaca dan menulis, fasilitator memberi pelajaran berhitung atau cara perkalian sederhana. Terlihat, hampir sama dengan kemampuan membaca. Kemampuan berhitung anak-anak yang telah duduk di kelas 7 tersebut, masih sangat terbatas. Perkalian, pembagian, pengurangan dan penambahan tingkatrendah saja masih banyak yang tidak bisa. Untuk perkalian beberapa murid hanya mampu perkalian 1 hingga 5, itupun dengan terbata bata. Selanjutnya aku tertegun pada seorang anak perempuan berwajah manis dan berkulit gelap. Dia Halimah, saat mengitung perkalian 1 saja, dia bahkan salah dan tidak bisa. Ada apa dengan pendidikan di negeri ini. Saat semua orang mengejar pendidikan tinggi, berlomba-lomba menggapai pendidikan yang mereka inginkan, namun disini sangat berbeda. Kita mengerti mereka dari pulau terluar, mereka jauh, mereka terpencil, tapi sadarlah mereka berada pada lorong terdepan di negeriini. Bahkan perlu diketahui, matahari terlihat lebih dulu disini, di Timur ini, disebuah desa yang mereka sebut Pulau jahibutum (nama lain pulau Panambulai). Dari sini, terlihat anak-anakyang mencoba menempuh perjalanan pendidikan setara. Belajar mengerti keadaaan yang sangat memprihatinkan. Mereka wajar kecewa, apalagi pada zaman serba majuini mereka dan orang tua mereka hanya mampu berdiri, melihat, serta berharap. Bagaimana kehidupan mereka kedepan nanti. Orang tua dengan harapan besar terhadap anak anak, hanya menjadi sebuah pengharapan kosong yang tak akan pernah terjadi. Terlihat disini, pemerintah tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan seluruh negeri ini. Bukan hanya menyediakan sarana danprasarana, tetapi juga menjamin kualitas pendidikan yang ada. Fokus pendidikanhanya di kota besar dan belum menjamah semua 66
Kisah Prakarsa
pelosok Indonesia. Hendaknya pemerintah memberi sebuah cahaya terang, setelah kesedihan yang mereka terima. Hanya sebuah pendidikan yang baik, agar termotivasi untuk ikut berjuang bersama, memberikan yang terbaik untuk bangsa yang kita cintai ini. Lingkunganku Sayang, Lingkunganku Malang Hububungan antara pemanfaatan dan menjaga lingkungan, menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, terutama masyarkat di Desa Lembongan. Sejak 5 tahun belakangan ini, berkah pariwisata meningkat, seiring dengan melonjaknya pariwisata datang ke lembongan. Data Satya Posana Nusa (SPN) (merupakan salah satu kelompok lingkungan yang ada di Nusa Lembongan). menyatakan rata rata hingga 2.500 wisatawan/hari melancong ke Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, baik itu pariwisata yang stay/ menginap di pulau tersebut, ataupun tergolong dalam pariwisata par-time, karena hanya singgah sebentar dan kembali pulang ke Pulau Bali. Pada awalnya rumput laut, ikan dan terumbu karang di Nusa Penida tergolong sangat baik, dilihat dari kualitas rumput laut dan ikan ikan segar yang berasal dari daerah tersebut. Tentunya ditunjang oleh kondisi perairan yang baik pula, dengan kondisi natural dan tidak tercemar dengan senyawa apapun. Degradasi warna dari algapenyusun perairan biru Lembongan, menjelaskan kondisi yang sangat baik dan indah. Membuat keindahan pasti dalam setiap pandangan laut sekitar. Tidaklah heran, wisatawan mancanegara ataupun local berkunjung ke Nusa Lembongan. Sebenarnya, peningkatan pariwisa saat ini.
Kisah Prakarsa
67
Tentu memberi dampak positif dan negative kepada lingkungan, khususnya lingkungan perairan disekitar antara Desa Lembongan dan Ceningan. Pada lingkup analisis dampak lingkungan AMDAL pada sebuah usaha/kegiatan. Menjelaskan beberapa pengaru, dampak lingkungan yang terjadi seperti Isuisu degradasi, pencemaran, penurunan keaneka ragaman hayati, sanitasi lingkungan, kesehatan masyarakat dari pengaruh air bersih. Sebenarnya sulitnya kebutuhan air bersih di daerah Pulau Pulau Kecil (PPK) memaksa masyarakat menggunakan air payau untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, kebutuhan seperti MCK dan kebutuhan air bersih lainnya, sedangkan untuk kebutuhan air minum masyarakat menggunakan air kemasan, air kemasan yang di datangkan dari kabupaten. Ataupun, tersedia di Pulau Lembongan dan Ceningan Tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mulai fokus dalam penanganan penyediaan air bersih di pulau tersebut, salah satunya dengan upaya pembuatan fisik sarana dan prasarana shelter air bersih dengan system sanitasi air laut, diawali dengan pembangunan shelterdesalinasi air laut oleh Dirjen Pendayagunaan Pulau Pulau Kecil Kementrian Kelautan dan perikanan pada tahun 2013. Hingga saat ini masih menjadi salah satu sumber air bersih yang memenuhi kebutuhan masayarakat. Pembuatan jaringan air bersih induk, sudah digarap tambahan dari kementrian PU. Jaringan tersebut dibangun Pada tahun 2014, baru dapat beroperasi pada tahun 2016. Kebutuhan air bersih untuk memenuhi Desa Pariwisata Lembongan, sangat lah tinggi. Bahkan dapat dikatakan sebagai indikasi utama, kebutuhan air bersih berbanding lurus dengan kedatangan pariwisata, dan berbanding terbalik dengan pencegahan pencemaran air permukaan, air tanah, serta air 68
Kisah Prakarsa
laut. Menurut Pak suwarbawa (parameter lingkungan alam dan local champion SPN Lembongan) jumlah resort, home stay, villameningkat, hingga di angka 300. Dibagi quantitas, ukuran dan jenis usaha tersebut. Tambahnya, dengan jumlah usaha tersbut. Rata rata memilik kolam renang yang berdekatan dengan laut sekitar Lembongan, ataupun Selat Bali. Dengan kata lain, usaha dalam pembersihan kolam renang tersebut, menggunakan clorin. Salah satunya akan Kebutuhan senyawa clorin pada membersihkan kolam berenang di setiap villa dan resort tersebut, yang ada di Lembongan Dan Ceningan. Menjadikan kebutuhan salah satu senyawa heteropolar ini cukup tinggi. Dalam bentuk ion klorida, unsur ini berbentuk garam dan senyawa lain, sedangkan dalam bentuk padat dan cair clor sering digunakan sebagai Oksidan, pemutihan dan disenfektan. Clorin (Cl2) merupakan salah satu unsur yang ada di alam, jarang dijumpai dalam bentuk bebas. Pada umumnya klorin dijumpai dalam bentuk terikat dengan unsur dan senyawa lain, berbentuk ion klorida di di cakrawala. Tapi gas klorin (cl2) adalah hasil penemuan dan rekayasa dai peradapan manusia. clorin dalam bentuk gas maupun dalam bentuk cairan, dinilai mengandung racun yang sangat tinggi yang mampu mengakibatkan kematian atau cacat permanen (Citizen Enviromental Coalition, 2017). Beberapa data Lembaga lingkungan menyebutkan, clorin mulai memberikan dampak bila terkontaminasi dari kandungan 0,2 PPM sampai 1000 PPM di air : (Departemen Kehutanan dan badan koordinasi penanaman modal). Clorin (Cl-) termasuk ke dalam senyawa anion monoartom, golongan 7a. Unsur clorin dengan nama ion anion clorida. Fenomena ini muncul, setelah fasilitator DFWIndonesia mengalisis kebutuhan air di Desa Lembongan, persisnya pada shelter desalinasi air bersih PDAM, yang baru saja beroperasi yang merupakan alat dengan spesifikasi besar. Kisah Prakarsa
69
Untuk memenuhi kebutuhan air seluruh Desa Lembongan dan Jungut Batu. Awal mulahnya klorin ditemukan di perairan sekitar sumur induk PDAM Nusa Ceningan, yang tertangkap pada pipa saluran induk pembangkit, setelah air masuk ke membrane pembersih, didapatkan kandungan kloring pada air dengan kadar >1, menurut Hendra (staf PDAM Nusa Ceningan). Hal ini sangat aneh, clor dengan kadar rendah jarang di temukan di air laut pada sumur induk PDAM tersebut.Pencegahan yang dilakukan oleh pihak PDAM dengan menembakan senyawa Anion Showerhead ke dalam air. Kandungan klor di air baku memang langsung menurun, tetapi tidak benar benar akan menghilangkan, dan langkah ini hanya untuk kadar klor rendah, jika dengan kapasitas tinggi. Perlu penangulangan dengan langkah yang efektif. bukan hanya dengan penurunan klor yang ada di perairan, Melainkan dengan cara menghilangkan kadar klorin tersebut dari perairan. Pengurangan dalam penggunaan klorin dalam jumlah besar pada proses pembersihan kolam berenang, salah satu usaha yang prospektif. Atau bahkan, menggantinya dengan senyawa lain yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Jumlah kadar klorin yang tinggi diperairan tentu menjadi ancaman yang nyata bagi lingkungan, baik lingkungan perairan itu sendiri, maupun bagi lingkunan manusia yang ada di daratan. “Ancaman yang pasti dari dampak kegiatan yang juga berasal dari manusia�. Sembari itu kita akan tertekun untuk mengingat hal, Bukankah kita wajib menjaga lingkungan. Dengan itu konsep paling tepat adalah kolam control dan rancangan IPAL. IPAL sederhana setiap usaha, ataupun IPAL komunal Untuk mengakomodir semua usaha di Desa Lembongan. Air buangan dengan kadar cloring rendah, ataupun tinggi. Tidak di kirim langsung masuk ke dalam perairan. Perlu pertimbangan, penyaringan air sebelum dibuang langsung ke dalam laut. 70
Kisah Prakarsa
Rekomendasi ini memang bukanlah mutlak, perlu analisis amdal kawasan yang lebih mendalam untuk mengetahui. Seberapa besar pengaruhnya, dengan pertimbang pengaruh kegiatan/usaha. Sangat memberikan dampak buruk kepada lingkungan. Salah Satu Pulau yang Membuat Terpukau Melindungi habitat, mengelolah stok ikan perikanan lestari, mendukung mata pencarian Salah satu pulau yang dapat membuat terpukau untuk melakukan plesiran, yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah kabupaten klungkung, Provinsi bali. Jajaran pulau- pulau kecil dalam satu kecamatan yang tersusun indah menjadi daya tarik sendiri, bukan hanya di kalangan wisata nasional, tetapi juga dari mancanegara hadir, serta terkagum dengan salah satu set di Indonesia khususnya di pulau bali. Jajaran pulau indah tersebut ialah Nusa Penida, dimana ada 3 (tiga) pulau exotis yang menyusunnya. Menikmati indahnya Nusa penida harus dari berbagai view, artinya bukan dari sudut sempit, tetapi sudut indah lainnya yang terkdang tersembunyi oleh rahasia keindahannya. Pulau Bali tidak ada habisnya untuk di jelajahi, namun keindahan lahiriah yang masih terjaga salah satunya adalah Nusa Penida. Kali ini coba menggambarkan berwisata di pulau Nusa penida, sebuah pulau kecil yang berada di selatan Bali. Aktivitas wisata yang bisa anda lakukan di Nusa penida didominasi oleh wisata Pantai atau bahari karena Banyak sekali pantai yang indah yang bisa kita kunjungi disini. Bagi penyelam, tentu menjadi hal tersendiri untuk di ungkapkan. Tidak dapat dibohongi para penyelam dari belahan dunia, ingin mencicipi site satu ini. Banyaknya tempat penyelaman serta spesifikasi keindahan yang berbeda beda, menjadi mangnet sendiri untuk diselami. Kisah Prakarsa
71
Untuk menuju ke pulau indah ini, tidaklah sulit. Selain sudah banyak informasi akurat tentang wisata di Nusa penida serta aktivitas wisata dan juga akomodasi yang bisa dipertimbangan untuk liburan anda selama di Nusa penida. Untuk mencapai Nusa penida kita hanya butuh waktu sekitar 40 menit saja dari Pantai Sanur dengan kapal cepat bermesin 200 pk yang berjumlah 4 sampai dengan 5 buah didalam satu body kapal. Ada dua alternative yang bisa dilalui untuk menuju kesana, alternative pertama anda bisa menuju ke Pelabuhan Toyoh Pakeh ataupun Pelabuhan yang ada di Ibu Kota Kecamatan Nusa Penida. Alternative lainnya dapat ditempuh menuju ke Nusa Lembongan, pulau kecil nan Nusa Penida dapat dicapai dari 5 tempat yaitu Sanur, Pelabuhan Benoa, Kusamba, Tanjung Benoa dan Padang Bai. Banyak terdapat sarana tranportasi dan public-boat setiap harinya yang mengantar penumpang dari dan ke kecamatan Nusa Penida baik pada pagi, siang dan sore hari. Nusa penida juga dapat dicapai sekitar 40 menit dengan menggunakan speedboat double enggin 85 PK. Terdapat pelabuhan ferry di Nusa penida tempat bersandarnya kapal Roro dari Padang Bai (karangasem). Sangat mudah dan cepat dengan adanya berbagai fasilitas yang dibangun sangat penunjang kepariwisataan di Nusa penida. Jadi Liburan ke bali akan lebih berkesan dengan menyempatkan diri untuk wisata ke Nusa penida, selain dapat mengunjungi site indah di Nusa penida sendiri, pengunjung dapat berlayar ke Nusa ceningan dan Nusa Lembongan, dsana banya juga tempat indah yang dapat membuat mata dan hati terhibur. Karena untuk menikmati paket wisata disini anda bisa sesuaikan waktunya karena kami menyediakan paket satu hari wisata di nusa penida dimana sore hari anda sudah kembali di Bali dan melanjutkan wisata anda di Bali. Tapi jika anda ingin berlam lama di Nusa penida masih banyak aktivitas wisata yang 72
Kisah Prakarsa
bisa anda lakukan disni seperti diving, snorkeling atau mungkin ada dan rombongan mau aktivitas beach games juga ada di Nusa penida. Jadi tunggu apa lagi ayo liburan ke Nusa penida
Kisah Prakarsa
73
Oleh-oleh dari Enggano
NISRIANI
A
pril hingga Desember 2016 menjadi salah satu momen yang tidak akan terlupakan bagi saya. Setelah mengikuti beberapa rangkaian seleksi untuk Pendampingan di Pulau – Pulau Kecil terluar Indonesia dari Kementrian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Alhamdulillah saya terpilih menjadi salah satu Fasilitator untuk Pulau Kecil Terluar untuk di tempatkan di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Ini tantangan baru menurut saya, dimana sebelumnya saya belum pernah menginjakkan kaki sama sekali di Bengkulu, apalagi di Pulau terluar yang berada di tengah Samudera Hindia. Namun ini akan menjadi pengalaman menarik pikir saya, karena saya akan merasakan denyut nadi kehidupan di pulau yang menurut informasi yang saya dengar dan baca masih 74
Kisah Prakarsa
cukup terbatas dari segi sarana dan prasana seperti transportasi, komunikasi, dan juga listrik. Selamat datang di Enggano Perjalanan saya menuju Enggano bisa dibilang tidak terlalu menyenangkan akibat mabuk laut yang saya rasakan. Meskipun Perjalanan pertama ke Engggano ditempuh hanya selama 10 jam dari yang biasanya normalnya 12 jam, namun alunan gelombang dilaut tetap saja membuat saya mabuk. Kita bisa menggunakan dua jenis transportasi untuk menuju Enggano, yaitu Kapal Ferry Pulo Tello dan Kapal Sabuk Nusantara 52 dengan rata-rata lama perjalanan selama 10 – 12 jam jika cuaca sedang bagus atau dengan Pesawat kecil yang berkapasitas 10 – 15 orang selama kurang lebih 45 menit. Pukul 03.50 dini hari Kapal ferry yang saya tumpangi akhirnya sandar di Pelabuhan Kahyapu Pulau Enggano. Suasana masih cukup gelap, sehingga saya tidak bisa menyaksikan pesona pulau ini untuk pertama kali. ditambah lagi dipelabuhan Kahyapu Enggano memang belum ada penerangan yang memadai. Hanya cahaya cahaya dari lampu motor dan mobil yang mulai bergegas keluar dari kapal. Namun saya bersyukur akan menikmati sunrise pertama di pulau ini. Sambil menunggu keadaan menjadi sedikit terang, warung yang berada persis di depan pelabuhan menjadi pilihan saya. Warung sederhana dengan penerangan seadanya mengingat listriknya akan mati sebentar lagi, namun menjadi penolong bagi kami penumpang yang baru saja turun dari kapal. Aroma khas kopi dan teh yang baru diseduh air panas menjadi sedikit penenang setelah mabuk. Akhirnya segelas teh
Kisah Prakarsa
75
hangat dan sepiring lontong sayur pun menjadi teman saya menunggu pagi. Perkenalan dan Gonggongan Anjing 18 April 2016 setibanya saya di Pulau Enggano, saya langsung menuju desa paling ujung dari pulau ini yakni Desa Banjarsari. Dari Pelabuhan Kahyapu menuju desa Banjarsari dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam berhubung jalan yang saya lewati memang masih jauh dari kata bagus. Pulau Enggano sendiri terbagi menjadi 6 Desa yakni Desa Kahyapu tempat pelabuhan ferry berada, selanjutnya Desa Kaana yakni Desa yang menjadi lokasi salah satu sarana yang akan saya dampingi, kemudian Desa Malakoni yang merupakan pusat kecamatan dari Pulau Enggano, dimana di desa ini terdapat kantor camat, kantor polsek, beberapa sekolah sd, smp dan sma, serta menjadi satu satunya desa yang memiliki sinyal komunikasi yang lumayan bagus. Setelah itu desa Apoho, desa Meok dan baru setelahnya desa yang paling ujung adalah desa Banjarsari yang merupakan lokasi salah satu prasarana yang juga akan saya dampingi. Jadi selama di Enggano saya akan sering bolak balik ke 2 desa yang menjadi lokasi Desalinasi Air Bersih dan PLTS dari pemerintah yakni Desa Kaana dan Desa Banjarsari. Beruntungnya saya sebelum tiba di Enggano saya sudah terlebih dahulu mendapatkan tempat tinggal dirumah salah satu warga di desa Banjarsari berkat koordinasi lebih awal yang saya lakukan dengan beberapa pihak terkait. Menjadi seorang fasilitator masyarakat memang dibutuhkan kemampuan koordinasi yang baik heheh. Namun meskipun lokasi sarana prasarana dampingan hanya berada di dua desa, namun empat desa lainnnya akan tetap sering saya lewati, jadi saya berpikir
76
Kisah Prakarsa
kenapa tidak sekalian membangun silaturahmi dengan semua desa? Dan itulah yang saya lakukan. Selesai berkenalan dengan yang punya rumah, beres beres barang bawaan dan istirahat sebentar, saya pun menuju rumah kepala desa Banjarsari untuk berkenalan dan menyampaikan maksud kedatangan saya. Beruntung sekali tidak hanya bertemu dengan kepala desa saja, disana juga saya bertemu dengan beberapa orang tokoh masyarakat sehingga kami bisa langsung mengatur waktu untuk mengadakan pertemuan di malam hari dengan seluruh aparat desa, tokoh masyarakat, adat dan warga desa lainnya. Hal yang sama pun saya lakukan di desa Kaana, desa yang juga menjadi lokasi dampingan saya. Penting untuk mengadakan pertemuan awal seperti ini karena mengingat kedatangan saya sebagai orang baru dengan sebuah misi, sehingga tidak hanya satu dua pihak saja yang harus tau tetapi juga pihak terkait lainnya. Tentu tidak lupa dengan terlebih dahulu berkenalan dengan pihak kecamatan juga, pak camat dan seluruh staf kecamatan. Alhamdulillah sambutan yang hangat saya dapatkan dari mereka semua. Tidak terkecuali dari peliharaan sebagian besar masyarakat di Pulau Enggano juga. Untuk diketahui sebagian besar masyarakat di Pulau Enggano terutama yang berada di Desa Malakoni, Apoho dan Meok itu beragama Kristen sehingga tidak jarang yang memiliki peliharaan seperti Anjing. Hal yang cukup membuat saya hampir menangis karena ketakutan setiap berkunjung kerumah aparat desa atau tokoh masyarakat lainnya. Namun bukan berarti gonggongan anjing membuat semangat saya menikmati kehiduan di Pulau Enggano menjadi surut,heheh. Meskipun hal tersebut harus terus terulang setiap saya ada keperluan kerumah masyarakat yang ada peliharaan anjingnya.
Kisah Prakarsa
77
Pendampingan Desalinasi Air dan PLTS Sejak mengikuti pembekalan awal saya menjadi tau bahwa pemerintah saat ini khususnya Kementrian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan beberapa lembaga lain sudah membangun beberapa sarana dan prasarana penting di Pulau – Pulau kecil terluar guna mendukung pengembangan masyarakat yang ada di Indonesia dan salah satunya berada di Pulau Enggano tempat saya akan menghabiskan waktu 8 bulan lamanya. Dua sarana prasarana yang menjadi tugas saya untuk mendampingi proses berjalannya dan pengembangannya yaitu Desalinasi Air dan juga PLTS. Kedua sarpras ini sebenarnya sudah dibangun sebelum kedatangan saya. Dimana pembangunannya didampingi oleh fasilitator yang bertugas sebelum saya. Sehingga tugas saya yaitu melanjutkan perjalanan dua sarpras ini yang dikelola oleh sebuah kelompok masyarakat pengelola atau KMP. Jadi bersama dengan kelompok pengelola saya bertugas untuk menemukan gagasan atau ide – ide yang bermanfaat untuk pengembangan sarpras. Namun tidak hanya pengembangan sarprasnya saja tentunya, melainkan juga pengembangan sumberdaya manusia pengelolanya. Setelah urusan perkenalan dengan semua aparat kecamatan dan desa selesai, barulah selanjutnya saya melanjutkan dengan pertemuan dan perkenalan dengan kelompok pengelola sarpras. Saya memulai dengan kelompok PLTS terlebih dahulu, berhubung pada saat pertama datang ke Engggano saya langsung menuju desa lokasi PLTS yakni desa Banjarsari. PLTS atau biasa kita kenal dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya merupakan salah satu sumber energi listrik yang mengandalkan sinar matahari. Karena kekuatannya mengandalkan sinar matahari sehingga penggunaannya pun tentu berbeda dengan listrik yang pada umumnya kita nikmati di kota. 78
Kisah Prakarsa
PLTS di desa Banjarsari ini dibangun pada tahun 2014 melalui kerjasama antara Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. Berkekuatan 50.000, bisa dinikmati hanya oleh 300 KK, serta memiliki batas waktu menyala yakni hanya dari pukul 6 sore hingga 5 pagi atau sekitar kurang lebih 11 jam saja. jumlah Kwh untuk setiap rumahpun dibatasi, sehingga jangan coba coba jika anda suatu saat ke Enggano dan mencoba untuk mencari lemari pendingin/kulkas, mesin cuci, men charge laptop, karena bisa dipastikan jatah listrik anda akan habis sebelum waktunya. Pengalaman saya ketika belum lama berada di Enggano tepatnya di desa lokasi PLTS, saya mencoba men charge laptop dan hp sekaligus sementara pada saat itu tv yang punya rumah juga sedang menyala. Benar saja belum sampai tengah malam, listrik kami mati karena kehabisan daya. Terpaksa kami ganti dengan lampu pelita seadanya. Awalnya memang terasa sulit menyaksikan bahkan mengalami sendiri kehidupan masyarakat dengan listrik seadanya dan harus pandai pandai dalam menggunakannya, namun lama kelamaan saya pun bisa menikmatinya dengan memanfaatkan waktu dengan hal hal lain meskipun tanpa listrik. Kelompok pengelola PLTS ini sendiri berjumlah 6 orang, 1 ketua, 2 operator, 1 bendahara, dan 2 anggota. Dengan mereka saya mengagendakan untuk bisa bertemu minimal 2 minggu sekali untuk melihat dan membahas hal hal terkait PLTS, serta sebulan sekali kami agendakan untuk kerja bakti membersihkan shelter PLTS agar bisa bertahan lama penggunaannya. Hal baru yang menyenangkan bagi saya, dimana sebelumnya saya sama sekali tidak memiliki basic tentang kelistrikan. Namun berkat pembekalan awal saya jadi mengerti sedikit dan setelah terjun langsung kelapangan sedikit banyak menjadi menambah pengetahuan saya. Kelompok pengelola Kisah Prakarsa
79
pun cukup proaktif ketika saya ajak untuk membahas hal hal terkait PLTS. Meskipun tidak jarang juga ada masalah yang kami hadapi di lapangan. Disinilah fungsi fasilitator untuk bisa memfasilitasi masyarakat, menjadi penengah dan perantara bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya ke pihak – pihak terkait lainnya. Dan saya sangat menikmati itu semua. Tidak jauh berbeda dengan mendampingi kelompok PLTS, Desalinasi Air yang terletak di desa Kaana pun memiliki kelompok masyarakat pengelola yang bertugas untuk memelihara Desalinasi dan melayani jual beli air setiap harinya. Saat pertama kali berada di desa Kaana saya ditawari untuk menginap dirumah ketua kelompok saja karena mengingat jarak desa Kaana dengan desa Banjarsari tempat saya tinggal lumayan jauh. Dan memang benar akan sangat memakan waktu jika saya harus bolak balik setiap harinya dari desa Kaana ke desa Banjarsari. Dan begitulah seterusnya, jika saya ada agenda bersama kelompok desalinasi, maka saya akan menginap di desa Kaana. Begitu juga jika saya ada agenda dengan kelompok PLTS saya pun akan beranjak ke desa Banjarsari. Desalinasi air di desa Kaana sendiri juga sudah dibangun terlebih dahulu sebelum saya bertugas dan pembangunannya pun diawasi oleh fasilitator sebelum saya. Desalinasi air sendiri merupakan suatu wadah penyulingan air menjadi air layak konsumsi yang dibantu dengan beberapa mesin dan juga bantuan panel tenaga surya. Mengingat di Pulau kecil terluar jarang kita bisa menemukan air yang benar benar layak untuk dikonsumsi,entah untuk minum,mandi,masak dan lain sebagainya. Kelompok desalinasi yang saya dampingi ini berjumlah 4 orang, dengan 1 orang ketua, 1 orang bendahara dan 2 orang anggota. Keempatnya memiliki tugas yang sama meskipun 80
Kisah Prakarsa
secara struktur organisasi berbeda posisi yakni bertugas untuk merawat,memelihara dan melayani masyarakat yang akan membeli air. Jadi setiap harinya kelompok akan bergantian untuk bertugas jaga di R.O. tidak hanya melayani masyarakat yang membeli air tapi juga membersihkan lingkungan sekitar R.O setiap harinya. Bersama dengan kelompok pengelola pun, kami rutin mengadakan pertemuan untuk sekedar sharing hal hal yang terkait dengan desalinasi. Seperti mengecek laporan harian kelompok, laporan bulanan, kendala yang sedang dihadapi ataupun hal hal lain yang kami temukan di lapangn. Kelompok diarahkan untuk rutin mengadakan kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar desalinasi. Beruntungnya tidak hanya kelompok yang terlibat jika sedang ada kerja bakti, melainkan beberapa orang masyarakat pun tanpa keberatan ikut serta membantu. Meskipun lokasi desalinasi berada di desa Kaana, namun tidak jarang masyarakat dari desa lain jauh jauh datang untuk membeli air di desalinasi desa Kaana. Selain karena harganya yang cukup murah yakni hanya Rp. 3000, masyarakat desa lain juga merasa keberadaan air desalinasi ini sangat membantu mereka ketika sumber air lain tidak bisa diandalkan. Kabar baiknya saat ini kelompok desalinasi sudah memiliki 2 buah motor viar bantuan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, sehingga mereka bisa dengan lebih mudah mendistribusikan air galon yang akan dijual. Tidak hanya di desa Kaana saja, melainkan di beberapa desa lainpun bisa menikmati. Cuman bedanya jika airnya diantarkan masyarakat harus menambah 1000 – 2000 per galon tergantung jarak tempat tinggal. Dari hasil penjualan air galon inilah yang dikelola kelompok khususnya bendahara untuk keperluan operasional dan perawatan desalinasi air setiap harinya.
Kisah Prakarsa
81
Orang Tua Angkat di Perantauan Namanya Ibu Asnawi, atau orang – orang biasa memanggilnya Ibu Andri. Saya bertemu beliau bukan secara kebetulan, melainkan info dari fasilitator yang juga pernah tugas di Enggano sebelum saya,Kak Irma. Sebelum berangkat ke Enggano Kak Irma sudah terlebih dahulu memberitahu bahwa �jangan lupa temui ibu angkat saya di desa Malakoni, dulu saya tinggal disitu orangnya baik�. setibanya saya di Enggano pun setelah menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu, saya pun menuju desa Malakoni mencari tahu ibu yang dimaksud Kak Irma. Waktu itu saya memang ada agenda ke desa Malakoni karena ingin bersilaturahmi dengan pihak TNI AL disana. Jadi pada saat selesai urusan di kantor TNI AL saya pun menyempatkan bertanya tentang Ibu Asnawi. Ternyata rumahnya persis berada di depan kantor TNI AL, wah beruntung sekali pikir saya karena tidak perlu jauh jauh lagi mencari. Saya pun langsung menuju rumah bu Asnawi. Alhamdulillah pertemuan pertama kami begitu hangat, bu Asnawi sama seperti yang diceritakan kak Irma, Baik dan juga ramah. Tidak hanya bu Asnawinya saja tapi juga suami beliau begitu ramah menyambut kedatangan saya. Dirumah itu bu Asnawi tinggal bersama suami dan dua orang anak laki – lakinya. Setelah berkenalan dan menikmati segelas teh hangat dan makanan ringan, bu Asnawi tanpa ragu langsung menawarkan untuk saya menginap saja dirumahnya. Namun karena hari itu saya masih ada agenda lain, sehingga belum bisa menginap dan mengatakan saya akan menginap besok jika pekerjaan di desa Banjarsari sudah selesai. Pertemuan pertama saja sudah seakrab ini, tidak salah kak Irma meminta saya untuk tinggal bersama bu Asnawi.
82
Kisah Prakarsa
Di desa Banjarsari saya memang tinggal dengan pasangan suami istri yang juga baik dan sangat ramah, namun kami jarang bertemu selain malam hari, karena bapak dan ibu ini sibuk di kebun dari pagi hingga sore hari. Sehingga kami terkadang hanya sempat berbincang jika malam hari, namun mereka berdua juga sangat baik, sayapun menganggap sudah seperti orang tua angkat. Saya merasa bersyukur sekali bisa bertemu dengan orang – orang baik di tempat tugas. Begitupun juga jika saya sedang berada di desa Kaana, jika tidak menginap dirumah ketua kelompok desalinasi, terkadang saya juga diminta menginap dirumah bapak dan ibunya yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah ketua kelompok. Keduanya sama begitu baik dan ramah dengan saya. Saya jadi merasa memiliki keluarga baru di Enggano. Tidak hanya disatu desa tapi di tiga desa sekaligus. Yang jelas pengalaman hidup di Enggano sama sekali tidak terasa membosankan meskipun dengan sarana dan prasarana yang terbatas seperti listrik, akses jalan, transportasi dan komunikasi. Karena itu semua bisa tergantikan dengan adanya keluarga baru yang saya temukan. Keesokan harinya sesuai janji saya dengan bu Asnawi, sayapun berangkat menuju desa Malakoni kerumah bu Asnawi dari desa Banjarsari. Betapa terkejut dan senangnya saya ketika tiba dirumah ibu dan mendapati makanan di meja yang sudah siap untuk disantap. Ibu tau saja kalau saya sedang lapar setelah bermotor dari Banjarsari melewati jalanan yang aduhai menggoncang heheh. Makan siang yang mantap dengan orang – orang baru yang menyenangkan, maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan. Dan seperti itulah waktu saya di Enggano berjalan. Jika tidak dirumah bapak ibu di Banjarsari, saya akan ke rumah bapak ibu di Malakoni atau sekali waktu saya di rumah bapak ibu di Kaana. Semuanya sudah seperti keluarga bagi saya. Saya tidak akan kebingungan mencari tempat tinggal di Enggano. Kisah Prakarsa
83
Jika sedang ada waktu luang, saya pun terkadang memanfaatkan waktu untuk ikut membantu dalam aktivitas sehari hari bapak dan ibu angkat saya. Seperti ketika di Banjarsari, bapak ibu yang memiliki banyak pohon melinjo di kebun, saya pun tidak ingin ketinggalan ikut mengupas melinjo atau sekedar membantu menjemurnya. Bapak dan ibu di Malakoni yang membantu mengelola Desalinasi Air milik Angkatan Laut, sesekali jika sedang di Malakoni saya ikut melayani warga yang ingin membeli Air. Dan aktivitas – aktivitas lain yang biasa kami lakukan bersama sama. Jadi jangan pernah takut merantau ke daerah lain, karena kita akan menemukan banyak orang – orang lain dan juga keluarga baru yang akan menambah koleksi memori pengalaman kita nantinya. Sayangnya saya tidak memiliki banyak koleksi foto ketika sedang bersama keluarga di Enggano karena lebih asik menikmati kebersamaan dengan mereka tanpa sempat mengambil gambar heheh. Ke Enggano, Cobain Emping dan Ikan Asinnya Meskipun berada ditengah samudera hindia dengan beberapa keterbatasan, tapi Enggano punya keunggulan juga yang bisa mengangkat nama mereka. Siapa yang belum kenal Keripik Emping dan Ikan Asin milik Enggano? Dua makanan khas yang mulai banyak dilirik oleh orang – orang yang berkunjung ke Enggano, termaksud saya sebagai fasilitator heheh. Bukan tanpa alasan orang – orang banyak yang mencari keripik emping dan ikan asin di Enggano. Bahkan saya sendiri pun mengakui jika emping enggano itu beda dengan emping dari daerah lain. Karena kenapa? Karena kalau pada umumnya keripik emping itu banyak yang pahit jika dimakan, di Enggano keripik emping yang dihasilkan terasa berbeda. Saya sama
84
Kisah Prakarsa
sekali tidak merasakan pahit yang biasa terdapat pada kripik emping lainnya. Karena biasanya tidak sedikit orang – orang yang enggan makan kripik emping karena rasanya pahit. Namun cobalah ke Enggano dan rasakan kripik emping buatan masyarakatnya. Di Pulau Enggano, pembuatan kripik emping bisa dengan mudah kita temui hampir disemua desa yang ada. Namun menurut pengalaman saya, kripik emping yang enak itu yang dibuat di desa Banjarsari. Sayapun penasaran seperti apa masyarakat Banjarsari membuatnya. Beruntung sekali tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada rumah warga yang memang rutin memproduksi emping. Sekali waktu saya menyempatkan main kesana dan melihat langsung proses pembuatannya. Tapi karena rasa penasaran saya cukup tinggi akhirnya saya menawarkan diri untuk ikut mencoba membuat emping sendiri. Ibu yang membuat pun tidak sungkan menjelaskan kepada saya terlebih dahulu tentang proses pembuatannya dari awal. Mulai dari melinjonya dipetik, di jemur, dipisahkan dari kulit luarnya, di sangrai, dibuka lagi kulitnya sampai tinggal bijinya, kemudian di tumbuk diatas plastik khusus selagi masih panas membentuk bulatan, dan terakhir dijemur kembali, baru kemudian siap di goreng dan dinikmati. Rupanya prosesnya cukup panjang, wajar saja jika harga jualnya juga lumayan mahal. 1 kg kripik emping dijual seharga 40 – 50 ribu. Bisa lebih mahal lagi jika sedang banyak permintaan namun produksi sedikit karena cuaca yang tidak mendukung. Tapi soal rasa tidak perlu diragukan lagi. Emping Enggano memang sudah cukup lama terkenal enak dan gurih, sehingga tidak sedikit orang – orang yang selalu membawa kripik emping jika dari Enggano. Lain emping lain juga dengan Ikan Asin. Selain terkenal dengan olahan empingnya, Enggano juga terkenal dengan ikan Kisah Prakarsa
85
asinnya yang enak, gurih dan asinnya pas. Faktor dikelilingi dengan lautan, tentu tidak sedikit juga ikan yang diperoleh oleh nelayan setiap harinya. Untuk menyiasati agar ikan yang banyak tersebut tidak terbuang percuma, dimanfaatkanlah oleh warga untuk mengolahnya menjadi ikan asin. Banyak terdapat kelompok – kelompok usaha perikanan di Enggano. Dan salah satu yang menjadi olahan andalannya yaitu ikan asin. Meskipun terdapat banyak tempat produksi ikan asin, namun dari kesemuanya itu masing – masing jarang yang sepi pembeli. Jika emping favorit saya yang berada di desa Banjarsari, untuk ikan asin saya lebih memilih yang di desa Kahyapu. Entah kenapa saya merasa ikan asin yang di desa Kahyapu jauh lebih nikmat. Namun bukan berarti ikan asin yang lain tidak, mungkin karena dari awal yang saya coba adalah ikan asin yang dibuat di desa Kahyapu. Harga ikan asin di Enggano juga bervariasi mulai dari 35 ribu/kg – 50/kg tergantung jenis ikannya. Saya paling suka jika sedang ada keperluan ke kota, ikan asin Enggano pun ikut saya bawa heheh. Bahkan tidak jarang ada beberapa kenalan saya di kota Bengkulu yang menitip untuk dibelikan ikan asin Enggano. Sambil menyelam minum air hehehe. Meskipun tugas utama saya sebagai fasilitator untuk PLTS dan Desalinasi, namun kesempatan untuk bisa ikut mempromosikan dan menjual ikan asin dan emping Enggano tidak saya lewatkan. Karena masih termaksud bagian dari tugas saya. Sesekali pun saya sempatkan untuk berkunjung ke rumah rumah warga yang memproduksi ikan asin, bertemu dengan kelompok pembuatnya, melihat bagaimana proses pembuatannya, bertukar pendapat tentang ide ide untuk pengembangan usaha ikan asin tersebut. untuk hal ini saya juga kadang bekerjasama dengan Penyuluh perikanan bantu yang juga bertugas di Enggano.
86
Kisah Prakarsa
Sampai Akhirnya Bertemu Si Dia Hal yang agak lucu mungkin untuk diceritakan, mengingat tujuan saya ke Enggano memang hanya karena mendapatkan tugas untuk mendampingi kelompok sarpras dan menemukan pengalaman sebanyak banyaknya dari tugas kali ini. Dalam setiap bulannya saya bertugas, akan ada satu atau dua kali dalam bulan tersebut saya akan ke kota Bengkulu yang artinya saya harus kembali menggunakan kapal untuk menyebrang ke Kota Bengkulu. Baik itu untuk urusan mengirim laporan, ataupun juga terkadang ada urusan lain dengan instansi terkait di Kabupaten Bengkulu Utara yang merupakan wilayah administrasi Pulau Enggano/Kecamatan Enggano. Kenapa saya memilih menggunakan kapal ferry, karena selain biayanya lebih murah dibanding menggunakan pesawat, saya juga ingin lebih menikmati setiap detik perjalanan dari dan menuju pulau Enggano. Walaupun hampir setiap naik kapal saya selalu mabuk laut, tapi entah kenapa saya tetap menikmatinya juga. Bagi saya setiap perjalanan itu harus dinikmati, apalagi ini adalah pengalaman pertama saya bolak balik menggunakan kapal dalam waktu tempuh yang cukup lama yakni 12 jam, jadi tak mengapalah mabuk sedikit. Lagipula dalam setiap perjalanan selalu saja ada satu atau dua orang yang bertegur sapa dengan saya dan akhirnya kami saling kenal. Seiring waktu karena seringnya saya bolak balik Bengkulu – Pulau Enggano dan sebaliknya menggunakan kapal ferry, oleh teman penyuluh perikanan bantu yang juga bertugas di Enggano, akhirnya saya mengenal beberapa orang dari crew kapal tersebut. dan mereka pun jadi mengenal kami karena sering bertemu dan mondar mandir ke enggano. Tidak terbersit niat apapun dari saya selain untuk menambah
Kisah Prakarsa
87
kenalan dan saudara walaupun mereka adalah orang – orang yang bekerja dikapal. Setiap diatas kapal memang tidak ada aktivitas lain yang bisa dilakukan selain duduk menunggu, tidur, ataupun sekedar berjalan jalan ke sekitar kapal menikmati pemandangan lautan lepas di samudra hindia. Sayapun sama sekali jarang memperhatikan setiap orang yang berlalu lalang kecuali dengan orang yang kebetulan mengajak saya mengobrol atau sebaliknya. Sampai pada satu waktu, ketika saya sedang berada di Kota Bengkulu dan sedang main diluar bersama teman – teman penyuluh bantu, secara tidak sengaja bertemu dengan salah satu crew kapal fery yang biasa kami tumpangi. Dan yang membuat saya sedikit kaget adalah ketika crew ini menyampaikan ke saya kalau ada seorang teman dia sesama crew di kapal yang sedang mencari pasangan dan dia berniat untuk mengenalkan saya ke temannya itu. Karena saya memang tidak kepikiran untuk mencari pasangan yang profesinya pelaut, obrolan dengan crew saat itu tidak begitu saya tanggapi. Namun yang menjadi semangat adalah kedua teman penyuluh saya yang bilang kenapa tidak mencoba saja dulu berkenalan. Namun lagi lagi saya pun tidak begitu menanggapi, malah saya bilang ke mereka kalau saya tidak mau punya pasangan pelaut, saya tidak mau ditinggal tinggal nantinya hahaha. Teman saya pun hanya ikut tertawa sambil bilang hati – hati loh sama omongan sendiri. Sampai beberapa minggu setelahnya crew kapal tersebut masih terus menawarkan kepada saya untuk mengenalkan temannya ke saya karena temannya serius ingin mencari pasangan, namun saya tetap tidak menanggapi. Tidak lama setelah itu ketika saya sudah berada di Enggano kembali, saya dan teman penyuluh hendak menuju desa Banjarsari. Namun karena hujan sedang turun cukup deras sehingga kami 88
Kisah Prakarsa
mampir berteduh disebuah rumah warga yang sudah kami kenal di desa Kahyapu. Saat itu teman yang dimaksud crew kapal itu rupanya sedang berteduh disitu juga. Saya tau karena teman saya yang menyampaikan bahwa dia orang yang dimaksud yang mau dikenalkan ke saya. Saya sempat melihat sebentar sambil berkata dalam hati “oh..dia orangnya� tapi tanpa berpikir yang lain lain. Setelah kejadian itu entah kenapa intensitas kami bertemu menjadi semakin sering. Entah berpapasan secara tidak sengaja di kapal, atau ditempat lain. Kami hanya saling bertatap muka tanpa ekspresi apapun jika secara kebetulan bertemu. Karena saya menganggap tidak ada apa – apa, dan saya pun tidak kenal. Beberapa hari kemudian crew kapal tersebut kembali mengabari saya bahwa dia serius ingin mengenalkan temannya dan mengatakan bahwa temannya itu juga serius ingin berkenalan dan ingin mengajak bertemu diluar rame – rame dengan teman teman saya juga. Akhirnya setelah dibujuk oleh teman teman saya, saya pun luluh juga dan mengiyakan tapi nanti setelah saya di Bengkulu saja, karena di Enggano saya masih ada kesibukan dengan kerjaan. Jadilah pertemuan yang kesekian kalinya itu menjadi perkenalan kami yang pertama. Ada sedikit rasa grogi juga karena sebetulnya sudah sering bertemu muka namun belum pernah bertegur sapa. Sampai pada saat itu saya tidak merasakan apa – apa, sama saja dengan teman teman crew kapal yang lain. Saya menganggap seperti teman ataupun saudara baru. Setelah perkenalan itu rupanya dia menjadi tak segan lagi untuk menegur jika kami bertemu. Tak sungkan lagi untuk sekedar melempar senyum, bahkan mengobrol lewat messenger atau sms. Dia juga menjadi terlihat lebih sumringah ketika tau saya akan berangkat ke Enggano lagi atau dari Kisah Prakarsa
89
Enggano saya akan ke Bengkulu, dia tidak akan segan menawarkan kamarnya untuk saya tempati meskipun saya bersama teman teman. Tidak segan untuk membantu saya ketika saya ada keperluan dalam urusan pekerjaan ataupun urusan lainnya. Semuanya berlalu dengan begitu cepat, kami menjadi semakin dekat. Ketika sedang di Enggano mengajak saya keliling pulau, menemani saya bekerja dan tanpa terasa benih – benih itu akhirnya tumbuh juga. Dan sampailah pada saat dia mengutarakan niatnya ke saya. Waktu itu saya sedang berada di desa Kaana, baru saja selesai bertemu dengan kelompok Desalinasi Air dan sedang duduk diteras rumah Bapak ibu ketua kelompok desalinasi ketika ada panggilan masuk dari dia. Saya coba angkat tapi suaranya putus putus karena memang sinyal disitu kurang bagus. Karena penasaran ada apa, saya coba mencari posisi lain di dekat pohon dan barulah disitu saya bisa mendapat sinyal cukup bagus. Obrolan ditelpon pun dimulai, seperti biasa diawali dengan basa basi bla bla bla, baru setelah itu akhirnya dia mengutarakan niatnya yang sebenarnya ke saya. Seandainya saya berkenan dia ingin menjadikan saya pasangan hidupnya, pasangan yang menemani dan mendampingi dalam suka dan duka. Saya pun dibuat terharu saat itu tapi sekaligus bertanya tanya, kenapa tidak di depan saya saja langsung dia ngomongnya. Tapi tidak sampai saya tanyakan seperti itu. Akhirnya sayapun mengatakan, jika memang serius ingin seperti itu, temui orang tua saya langsung dan minta sama mereka agar merestui kita. Rencana tuhan memang tidak pernah ada yang tau, siapa sangka niat awal saya berangkat ke Enggano karena pekerjaan dan ingin menemukan hal hal baru, malah mempertemukan saya dengan orang yang tidak pernah saya 90
Kisah Prakarsa
duga sebelumnya. Beberapa bulan menjalin hubungan, saling kenal satu sama lain akhirnya pada desember 2016 setelah kontrak kerja di Enggano selesai, dia pun membuktikan omongannya dengan jauh jauh terbang ke Kendari untuk menemui orang tua saya dan menyatakan niatnya untuk membawa hubungan kami ke pernikahan. Kedatangan dia kehadapan orang tua dan keluarga saya sekaligus menjadi oleh – oleh yang paling indah yang bisa saya bawa dari Enggano selepas tugas selesai.
Kisah Prakarsa
91
Ekonomi Produktif dari Blue Sea Lestari
ANDI DARMAWANSYAH
K
esuksesan bisa diraih oleh siapa saja, bukan hanya lakilaki, perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk meraih keberhasilan. Bukan hanya para orang tua yang katanya lebih berpengalaman, orang muda juga berkesempatan untuk sukses lebih dini. Bukan hanya di kotakota besar, di Pulau terluar pun kesuksesan itu dapat menghampiri. Prinsip itulah yang dipegang erat oleh salah satu kelompok kecil yang bernama Blue Sea Lestari yang ada di Pulau Sebatik, salah satu Pulau kecil terluar yang ada di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Pulau Sebatik terletak di bagian timur Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, yang merupakan sebuah pulau kecil dengan dua kepemilikan, yakni bagian selatan pulau merupakan wilayah Indonesia, sedangkan bagian utara pulau merupakan 92
Kisah Prakarsa
wilayah Malaysia. Secara geografis Pulau Sebatik terletak pada 117040’BT – 117054’BT dan 4002’LU – 4010’LU, dengan luas daratan 246,61 km2. Kelompok Blue sea lestari terbentuk pada tanggal 19 Juni 2015 dengan Ketua kelompok yang mempunyai motivasi besar untuk sukses. Namanya Sitti Patimah, ia sering dipanggil oleh rekannya ima’, wanita yang berdomisili di desa Sei Nyamuk Kecamatan Sebatik timur itu bermimpi membangun suatu usaha yang nantinya dapat menjadi lapangan kerja baru untuk masyarakat pulau kecil terluar. Patimah sangat jeli melihat potensi yang ada di pulaunya. Menurutnya, Pulau Sebatik memiliki Sumber Daya Alam yang sangat melimpah terutama Sumber Daya Alam di bidang kelautan dan perikanan yang sayang jika dibiarkan begitu saja dan tidak dikelola dengan baik. Sumber daya alam yang sangat melimpah yang ada di Pulau Sebatik antara lain rumput laut dan berbagai jenis ikan. Maka dari itu Patimah melihat adanya peluang untuk mengelola sumber daya alam itu menjadi beraneka jenis makanan agar menambah nilai jual sumber daya alam tersebut. Patimah berinisiatif mengajak ibu-ibu warga sekitar desa Sei Nyamuk untuk membentuk suatu kelompok yang bergerak di bidang pengolahan dan pemasaran hasil kelautan dan perikanan. Ibu-ibu sekitar desa Sei Nyamuk sangat antusias menyambut ajakan Patimah. Mereka yang mayoritas istri nelayan itu berharap kelak dengan adanya kelompok ini dapat membantu penghasilan keluarga. Dengan adanya kelompok ini juga dapat mengola hasil tangkapan suami mereka menjadi makanan yang siap dijual. Patimah atau ima (panggilan akrab) adalah warga desa Sei Nyamuk, anak ke-3 dari 7 bersaudara dari pasangan H. Muh. Yakif dan Hj. Darmawati, menetap bersama orang tuanya di salah satu desa yang jumlah penduduknya paling padat di Pulau Sebatik. Desa ini dihuni Kisah Prakarsa
93
sekitar 4.978 jiwa penduduk, lahir di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan sekitar 30 tahun silam tepatnya pada 14 Februari 1986. Ima’ tumbuh dan besar di Tawau Malaysia. Kebanyakan masa kecilnya dihabiskan di Tawau, hidup dan sekolah di Negara tetangga. Kegemarannya memasak dan membuat kue tidak lepas dari peran orang tuanya yang sering membuat kue dan menjualnya. Hingga akhirnya Patimah tumbuh menjadi gadis dewasa yang gemar memasak dan membuat kue. Pada tahun 2008 Patimah dan orang tuanya hengkang ke Sebatik. Disinilah awal mula ia menyalurkan hobi memasaknya, dengan sering membuat kerupuk yang berbahan dasar ikan. Melihat melimpahnya hasil perikanan di Pulau Sebatik ia berfikir mengelolanya menjadi makanan siap saji. Namun ia sadar jika menglolah sendiri dia akan kerepotan jika nantinya pesanan membludak. Maka dari itu ia berinisiatif mengajak warga sekitar untuk membentuk kelompok. Pada tanggal 19 Juni 2015 dengan didampingi penyuluh perikanan dan fasilitator masyarakat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terbentuklah kelompok usaha ekonomi produktif yang bernama “Blue sea lestari� dengan anggota kelompok sebanyak 10 orang. Inisiasi penumbuhan kelompok Blue Sea Lestari dilaksanakan dengan pertemuan di rumah ibu Patimah. Pada kesempatan tersebut disepakati beberapa hal mengenai nama kelompok, yang akhirnya disepakati oleh semua kelompok bernama Blue sea lestari. Pada kesempatan tersebut sekaligus dipilih kepengurusan kelompok, dimana terpilih sebagai pengurus kelompok yaitu Ketua kelompok Patimah sendiri, Sekretaris Aminah dan yang menjadi bendahara adalah Murni. Kelompok usaha ekonomi produktif Blue Sea Lestari berdiri atas dasar kepentingan dan tujuan yang sama. Mereka memiliki semangat untuk menciptakan lapangan kerja baru buat ibu-ibu rumah tangga terutama dalam mengelola hasil 94
Kisah Prakarsa
laut yang sangat melimpah yang ada di Pulau Sebatik. Hal ini semata-mata bertujuan untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan menciptakan lapangan kerja yang dapat menambah keterampilan masyarakat sekitar. Pada akhir tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan melaksanakan program pendampingan efektifitas sarana dan prasarana dan memberikan bantuan berupa alat pendukung seperti freezer, kulkas, oven, kompor gas, spiner dan lain-lain untuk memproduksi olahan hasil laut. Adanya bantuan alat ini sangat mendukung kegiatan produksi kelompok. Sebelum bergabung dengan kelompok Blue Sea Lestari, aktifitas keseharian anggota kelompok beraneka ragam. Ada yang menjahit pukat, ada ibu rumah tangga biasa dan ada yang menjual hasil tangkapan suami mereka. Setelah bergabung di kelompok ini mereka mempunyai pekerjaan baru yang kedepannya mereka harapkan dapat membantu keuangan keluarga. Sumber daya yang kelompok manfaatkan sebagai bahan dasar olahan yaitu sumber daya hasil kelautan dan perikanan. Beberapa di antaranya yaitu rumput laut, ikan tenggiri, ikan gulama, ikan lemuru, ikan teri, ikan tuna. Dari bahan dasar tersebut menghasilkan produk yaitu kue bangke, buras garis, nastar (bahan dasar dari rumput laut), amplang (bahan dasar dari ikan tenggiri atau ikan gulama), kerupuk ikan dan lekor (bahan dasar ikan teri atau ikan lemuru), abon dan bejabu (bahan dasar dari ikan tuna). Produk-produk ini memiliki rasa yang sangat khas dan tanpa menggunakan bahan pengawet sedikitpun sehingga produk memiliki peluang untuk bersaing dengan produk lainnya dalam hal kualitas dan cita rasa. Namun dalam perjalanannya kelompok Blue Sea Lestari menghadapi banyak tantangan untuk dapat bersaing. Tantangan yang paling besar yaitu dalam hal pemasaran, Kisah Prakarsa
95
belum banyak warung-warung dan toko-toko besar yang mau menampung hasil produksi dari kelompok ini. Mayoritas produk yang ada di Sebatik masih kalah bersaing dengan produk-produk dari negara tetangga yang telah mengakar di Pulau Sebatik. Tetapi kelompok Blue Sea Lestari tidak patah semangat, mereka mencoba membangun kelompok yang kuat dengan melengkapi segala administrasi yang dibutuhkan untuk sebuah produk seperti PIRT, labeling hingga sertifikat halal. Pemasaran hasil produksi kelompok awalnya dipasarkan dari rumah ke rumah. Saat ini kelompok juga memasarkan ke dinas-dinas yang ada di Kabupaten Nunukan. Selain itu kelompok juga mulai menjajaki peluang kerjasama dengan pihak-pihak yang ingin bermitra. Hingga kini sudah ada pihak yang ingin bermitra yaitu UKM Karang Unarang. UKM Karang unarang adalah toko oleole khas Pulau Sebatik binaan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi. Kelompok berharap hal ini menjadi sebuah langkah awal untuk bisa berkembang dan sukses ke depannya. Sehingga hasil kelautan dan perikanan Pulau Sebatik mempunyai nilai jual yang tinggi dengan diolah menjadi makanan siap saji yang bersaing dengan produk lainnya. Yang ke depannya dapat tercipta lapangan kerja baru untuk istri nelayan dan menambah keterampilan setiap anggota kelompok. Sehingga diharapkan dengan adanya kelompok ini, Sumber Daya Manusia masyarakat Pulau Sebatik dapat meningkat dan dapat mengelola hasil lautnya secara mandiri dan berdaya saing.
96
Kisah Prakarsa
Penggal Cerita dari Alor
JESZY PATIRI
D
esa Langkuru adalah desa yang berada di kabupaten Alor yang berbatasan dengan Timor Leste. Desa ini berada dibagian timur pulau Alor dan terletak di pesisir pantai hingga ke gunung. Apabila kita berada di desa Langkuru dan memandang laut kita akan melihat sebuah pulau di depan yang adalah Timor Leste. Desa Langkuru terbagi menjadi 4 RW yaitu Mademang, Puimang, Ukamana dan Belekuru. Mademang adalah RW 1 yang terletak dipesisir pantai akan tetapi sangat disayangkan, penduduk yang bekerja sebagai nelayan hanya 10 orang (data BPS 2015) sementara yang dominan masyarakat Langkuru bekerja sebagai petani. Di lautan yang luas, nelayan Langkuru hanya menangkap ikan kecil-kecil yang hanya dijual untuk dikonsumsi sehari-hari saja. Hal ini mungkin karena fasilitas nelayan yang masih sangat terbatas seperti perahu yang mereka gunakan untuk Kisah Prakarsa
97
memancing adalah perahu dayung atau katinting, alat pancing mereka berupa pukat dan mata kail ukuran kecil yang hanya cocok untuk memancing ikan yang kecil saja serta tidak adanya tempat penyimpanan ikan sperti coolbox dan es. Bukan cuma nelayan Desa Langkuru saja tetapi hampir seluruh masyarakat pesisir bagian timur pulau Alor hanya menangkap ikan di sekitar pesisir saja, padahal bila di lihat selat Ombay merupakan jalur ikan tuna, tetapi nelayan yang berada di selat ombay hanya punya alat tangkap jaring yang digunakan untuk menangkap ikan di daerah yang dangkal, beda dengan nelayan di bagian barat Kabupaten Alor yang rata-rata merupakan penangkap tuna, walaupun masih ada juga yang menangkap dengan jaring. Apakah nelayan bagian timur tidak memiliki keahlian untuk menangkap ikan-ikan laut dalam? Kalau memang seperti itu, kenapa Pemerintah Daerah tidak memperhatikan hal tersebut dan memberikan pelatihan kepada nelayan-nelayan tersebut. Apakah nelayan di daerah timur malas dan pasrah dengan keadaan? Ataukah Pemerintah Daerah yang pilih kasih? Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bapak Rohmin kalau nelayan dibagian timur Kabupaten Alor merupakan nelayan yang baru belajar menjadi nelayan, mereka masih belum punya keahlian menangkap ikan di laut dalam. Kalau benar begitu, kenapa Pemerintah Daerah tidak membantu mereka? Tetapi saat melihat kondisi nelayan di beberapa tempat di bagian timur, sepertinya mereka bukan lah orang yang baru mencoba profesi sebagai nelayan, tetapi mereka memang sudah memiliki profesi nelayan sejak dari nenek moyang mereka hanya saja memang dari dulu mereka hanya menggunakan perahu dayung dan jaring saja, mereka belum pernah menggunakan alat tangkap untuk menangkap tuna atau ikan bernilai ekonomis lainnya.
98
Kisah Prakarsa
Desa Langkuru Waktu saya mengetahui kalau saya akan d tempatkan di Pulau Alor, saya langsung menghubungi orang-orang yang bisa memberikanku tempat tinggal di pulau Alor nantinya. Setelah menghubungi beberapa orang yang saya kenal, akhirnya saya mendapatkan tempat tinggal di rumah Kak Gerson kenalan saya di Nabire yang kebetulan rumahnya sedang kosong di pulau Alor namun ada Kakaknya yang menjaga rumah tersebut. Saat saya tiba di Pulau Alor, saya dijemput oleh staff Dinas Kelautan dan Perikanan dan di bawa langsung menemui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan. Setelah saya menemui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, saya kemudian di antar menuju ke tempat tinggal saya di Mebung rumahnya Kak Gerson. Sesampai dirumah, saya menemui Kak Lince yang adalah Kakaknya Kak Gerson. Saya memperkenalkan diri, kemudian menjelaskan tujuan saya datang ke Pulau Alor dan akan di tugaskan di Desa Langkuru dan Tereweng. Saat Kakak Lince mendengar nama Langkuru, langsung beliau mengatakan kalau Langkuru itu jauh, untuk kesana biasanya lewat darat naik ojek. Terus juga orang-orangnya masih sangat primitive, alamnya masih kuat jadi kalau kesana nanti hati-hati ya, pesan Kak Lince. Saya awalnya menjadi takut, karena hal serupa juga dikatakan oleh Kak Gerson, bahkan Kak Gerson mengatakan kalau Desa Langkuru ini merupakan Desa yang banyak hal mistis/gaib nya, tetapi saya kembali berpikir kalau apa yang dikatakan orang-orang benar kenapa fasilitator sebelumnya bisa betah tinggal di Desa Langkuru? Harusnya mereka sudah mengeluh dan minta pulang, tapi kenyataannya tidak jadi saya juga pasti baik-baik saja. Kemudian saya menelpon Citra fasilitator sebelumnya untuk menanyakan kondisi sebenarnya di Desa Langkuru. Kata Citra disana orangnya baik-baik, kesana kau pakai perahu motor saja karena langsung sampai di Kisah Prakarsa
99
Langkuru, kalau kau lewat darat sangat sulit.� Mendengar kata Citra saya jadi sedikit lega. Hari minggu sepulang dari Ibadah, Kak Lince memperkenalkan saya dengan seorang hamba Tuhan yang dulunya pernah pelayanan di Desa Langkuru. Ibu tersebut menceritakan kisahnya waktu pertama kali datang ke Desa Langkuru tahun 80-an, kemudian Ibu ini memberikan nasehatnasehat ke saya kalau di tawari makan berdoa dulu, jangan menolak pemberian mereka, kemudian jangan banyak mengeluh jalan saja karena nanti waktu sampai di pantai kita akan jalan kaki cukup jauh dan mendaki lagi nanti ada orang yang akan bawakan barang kita, jangan juga foto sembarang karena disana alamnya masih sangat alami, begitu pesan Ibu tersebut. Saya pun mendengarkan dengan baik, tetapi saya juga berpikir, itukan sudah lama sekali, pasti sekarang sudah tidak seperti itu. Jadwal perahu motor setiap hari selasa dan sabtu, jadi pada hari selasa saya pun berangkat ke Desa Langkuru dengan hati yang penasaran, apakah benar yang dikatakan orangorang tentang Desa Langkuru? Saya berangkat ditemani oleh dua orang TNI yang bertugas di Kecamatan Pureman. Desa Langkuru termasuk dalam Kecamatan Pureman. Sepanjang jalan, saya mengamati orang-orang yang berada di perahu motor bersama-sama dengan saya. Ternyata mereka semua adalah pegawai Kecamatan Pureman. Mereka banyak mengobrol tentang keluhan mereka terhadap kinerja Pemerintah Daerah yang tidak memperhatikan Kecamatan mereka, padahal Kecamatan Pureman merupakan kampung dari Bapak Bupati dan beberapa petinggi di Pemerintahan, tetapi justru kampung mereka tidak diperhatikan. Selain itu juga saya banyak mengobrol dengan Pak Niko salah satu TNI yang mengantar saya. Ternyata Beliau ini berasal 100
Kisah Prakarsa
dari Timor Leste yang dulunya masih Timor-Timor. Banyak keluarganya yang memilih untuk tetap tinggal di Timor Leste. Dulunya perhatian pemerintah pusat terarah ke Timor Leste, semua bantuan dan pembangunan diutamakan untuk TimorTimor tetapi hanya karena segelintir orang yang sekarang menjadi petinggi di Negara Timor Leste dulunya tidak suka dengan prinsip Bapak Presiden Sukarno yang mengatakan berdiri sama tinggi duduk sama rendah sehingga mereka bersikeras untuk mau merdeka, dengan begitu mereka yang di atas tetap di atas dan yang di bawah tetap di bawah sampai sekarang. Tetapi sekarang masyarakatnya semakin melarat, karena hasil pertanian mereka tidak laku dikalangan orang luar negeri seperti sayur-sayuran dan juga hasil laut mereka. Orang luar negeri adalah orang yang pemilih, mereka tidak akan membeli sayur yang dijual dipinggir jalan atau di pasar dengan kondisi terbuka, orang luar negeri juga jarang untuk mau makan ikan bakar sehingga banyak jualan masyarakat Timor Leste menjadi tidak laku. Selain itu, budaya kita yang bisa saling berbagi juga tidak berlaku lagi di Timor Leste membuat masyarakat Timor Leste semakin sulit untuk beradaptasi. Itulah sekilas cerita Bapak Niko mengenai Timor Leste yang saya dengarkan di atas perahu motor dalam perjalanan menuju Desa Langkuru. Enam jam perjalanan menuju Desa Langkuru, akhirnya berakhir juga. Saya pun tiba di Desa Langkuru. Saat mesin perahu motor telah mati saya melihat sekeliling desa Langkuru, ternyata tidak ada pelabuhan ataupun dermaga, saya kemudian berpikir bagaimana caranya kita turun? Berenang? Tidak mungkin. Ternyata kami menggunakan sampan untuk menuju ke daratan. Sampan tersebut hanya memuat 8 orang saja, jadi anak buah perahu akan bolak-balik untuk mengantarkan penumpang menuju ke daratan, di pintu perahu
Kisah Prakarsa
101
sudah ada anak buah perahu yang menagih biaya transportasi sebesar Rp. 50.000. Setelah sampai di daratan, saya langsung di antar menuju kerumah Kepala Desa yang ternyata berjarak 50 meter dari pesisir pantai. Sesampai di rumah jabatan Kepala Desa, saya langsung disambut baik oleh istri Kepala Desa dan di antarkan menuju ke kamar. Kemudian saat kami sedang duduk-duduk menunggu Kepala Desa yang lagi memancing, kami suguhi minuman oleh istrinya Kepala Desa. Dengan kejadian yang baru saya alami, saya pun kembali mengingat kata-kata dan pesan-pesan orang untuk saya. Saya tidak mengabaikan pesan mereka, tetapi ternyata sebagian besar apa yang mereka katakan tidak benar tentang desa Langkuru. Saya tinggal seminggu di Desa Langkuru dan mulai berinteraksi dengan masyarakat Desa Langkuru, semuanya baik dan ramah-ramah. Bahkan ada beberapa pendatang yang tinggal di Desa Langkuru ini yang menjadi pedagang di Desa ini. orang-orang tersebut berasal dari Makassar, Jawa dan bahkan Cina. Ada juga guru-guru bantu SM3T dan GGD yang berasal dari padang, Cirebon dan Gorontalo semuanya nyaman tinggal di Desa Langkuru. Suatu hari saya mengobrol dengan ketua Lembaga Adat yang ada di Desa Langkuru untuk menanyakan sejarah Desa Langkuru. Setelah mendengarkan cerita Bapak Imanuel Sailana yang merupakan Ketua Lembaga Adat, saya pun menjadi mengerti. Dulunya Langkuru itu adalah Desa yang penduduknya dari pesisir pantai hingga ke gunung, tetapi setelah berkembangnya penduduk yang ada di Desa Langkuru, akhirnya desa Langkuru dibagi menjadi dua yaitu Desa Langkuru dan Langkuru Utara. Desa Langkuru banyak orang di Luar saya mengenalnya dengan Mademang karena Ibu Kota Desa Langkuru adalah Mademang, sementara yang mereka tahu yang dinamakan Langkuru adalah Desa Langkuru Utara yang berada di gunung. 102
Kisah Prakarsa
Makanya waktu saya mengatakan akan ke Desa Langkuru, mereka langsung berpikir tentang Desa Langkuru Utara yang memang lebih dekat menggunakan jalan darat daripada perahu motor, karena kalau pakai perahu motor kita harus berjalan kaki berjam-jam untuk sampai Ke Langkuru Utara dan juga karena gunung jadi kita harus mendaki. Namun yang salah adalah orangnya yang masih sangat primitive, walaupun Kepala Desa nya termasuk Kepala Desa yang keras dalam memimpin Desa Langkuru, tetapi orang di Desa Langkuru Utara juga baik dan ramah jadi tidak ada yang perlu di khawatirkan. Selain itu, saat ini Desa Langkuru juga sudah memiliki fasilitas Listrik PLTS 30 Kwp, walaupun listriknya terbatas tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa Langkuru khususnya Mademang, sudah ada air bersih baik melalui sumur maupun jalur perpipaan yang mengalir setiap saat dan juga saat ini sedang pengerjaan BTS untuk kebutuhan telekomunikasi masyarakat Desa Langkuru. Desa Langkuru tidak kalah menariknya dengan daerah-daerah yang lainnya yang ada di Kabupaten Alor, bila anda adalah orang yang ingin menikmati ketenangan anda bisa datang ke Desa Langkuru. Desa Langkuru punya tempat untuk dapat menikmati alam yang indah. Desa Langkuru juga punya cerita asal mula Desa Langkuru yang di ukir disebuah goa yang sampai sekarang masih dijaga, selain itu juga ada namanya “Batu Topi� yang sering dijadikan tempat rekreasi oleh masyarakat Desa Langkuru. Dikatakan Batu Topi karena bentuknya yang seperti topi di tengah-tengah lautan. Tapi sayangnya “Batu Topi� yang bukan hanya menarik dilihat dari permukaan saja tetapi juga menarik dilihat dalam lautnya sudah tidak menarik lagi karena sudah banyak terumbu karang yang rusak akibat pengeboman ikan selama tahun 2004, sekarang sudah tidak ada lagi Kisah Prakarsa
103
pengeboman tetapi dampaknya sangatlah terlihat dan sampai sekarang tidak ada upaya pemerintah untuk memperbaikinya. Padahal bila terumbu karang di daerah “Batu Topi� ini bagus mungkin akan menjadi daerah wisata yang diminati. Karena selain bisa berenang dan snorkeling bahkan diving, kita juga bisa sekalian menikmati alam sambil bakar-bakar ikan, sungguh indah bukan? Rekomendasi untuk Alor Pulau Alor merupakan salah satu Pulau Terluar yang ada di Indonesia. Sebagian besar pulau yang masuk dalam pulau terluar yang berpenduduk hanyalah satu desa saja namun tidak dengan pulau Alor. Pulau Alor memiliki 17 Kecamatan dan 120 Desa sehingga masalah yang ada di pulau Alor juga beragam, mulai dari infrastruktur dasar yang masih kurang hingga potensi yang belum di kembangkan. Untuk potensi perikanan yang sedang dikembangkan berada di Pulau Pantar yaitu budidaya rumput laut dan di Kecamatan Moru ada budidaya Mutiara yang dikelola oleh perusahaan dari Australia dan Jepang. Usulan yang saya harapkan untuk pulau Alor adalah : Tahun ini saya mendampingi hanya di dua desa yaitu desa Langkuru dan Desa Tereweng yang memiliki PLTS dan sampai saat ini keduanya masih berfungsi dengan baik, hanya saja modul PLTS di desa Langkuru pecah. Kelompok mau menggantinya dengan iuran yang telah dikumpulkan hanya saja mereka tidak tahu harus menghubungi siapa yang bisa menolong mereka mendapatkan modul tersebut karena modul tersebut harus dipesan dari Bandung. Sedangkan di desa Tereweng kekurangan meteran dan mereka juga tidak tahu bagaimana cara membeli meteran. Oleh karena itu, saya meminta kalau bisa KKP atau ESDM bisa bekerjasama dengan pihak yang menjual alat-alat PLTS yang terpercaya sehingga 104
Kisah Prakarsa
dapat membantu kelompok pengelola dalam merawat PLTS dan melayani masyarakat. Karena selama ini, saya sudah hubungi teknisi TML yang memasang PLTS tersebut namun sampai sekarang tidak direspon oleh mereka, padahal kelompok dan dinas sudah bersedia menanggung semua biaya yang diperlukan. Desa Tereweng sampai saat ini masih sangat membutuhkan air bersih. Sudah pernah ada bantuan PDT yaitu desalinasi air munim tahun 2006 akan tetapi hanya 2 tahun berjalan desalinasi tersebut langsung rusak dan sampai saat ini belum ada perbaikan sama sekali. Jadi semenjak saat itu sampai saat ini masyarakat desa Tereweng menggunakan air hujan untuk kebutuhan air tawar mereka. Sebenarnya bukan hanya desa Tereweng saja yang membutuhkan air bersih, masih ada beberapa desa di Pulau Alor yang juga membutuhkan air bersih dan juga penerangan. Untuk penerangan, pulau Alor sebelah timur dan selatan masih banyak yang belum menikmati listrik. Untuk potensi perikanan, yang berkembang saat ini di pulau Alor adalah budidaya mutiara di kecamatan Moru, budidaya rumput laut di pulau Pantar, budidaya teripang di Kecamatan Alor Barat Laut. Sedangkan di desa Langkuru potensinya adalah kemiri dan mungkin bisa dikembangkan menjadi minyak kemiri dan di tereweng adalah ikan belo-belo yang pernah di buat abon ikan dan bisa dikembangkan saat ini.
Kisah Prakarsa
105
Jejak Kaki di Marore
SURYA ASRI
K
einginan untuk berpetualang menjelajahi negeri ini masih kuat melekat. Informasi seputar peluang kerja yang bersentuhan langsung terhadap masyarakat banyak terupdate di grup2 media sosial. Sampailah pada suatu informasi penerimaan Fasilitator Masyarakat oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia yang bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang patut untuk dicoba. Melalui dukungan IKAL Univ. Riau saya bulatkan niat untuk menjadi salah satu diantara mereka. Seiring berjalannya waktu dan dengan melalui beberapa tahapan, akhirnya sampailah saya di Tanah Sulawesi. Lokasi yang baru pertama kali saya tapakkan kaki dan tidak mengenal siapapun di tanah ini. Seperti yang tertera pada Surat Tugas tujuan saya adalah Pulau Marore. Pulau Marore merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filiphina. 106
Kisah Prakarsa
Pulau ini terletak di bagian utara Pulau Sulawesi dan masuk kedalam Administrasi Kabupaten Sangihe Provinsi Sulawesi Utara. Diantara ribuan pulau-pulau kecil di Indonesia, Pulau Marore merupakan salah satu dari 31 jumlah pulau yang berpenduduk. Pulau kecil Indonesia yang berada di perbatasan ini memiliki jumlah penduduk ¹ 663 jiwa yang terdiri dari ¹ 189 kepala keluarga. Dari sekian jumlah penduduk yang terdapat di pulau ini, laut masih menjadi sumber utama dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Ya‌ sebahagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Dengan sumber Daya Alam yaitu ikan yang melimpah dan kondisi lingkungan tempat tinggal yang jauh dari perkotaan, menjadi seorang pengail ikan di laut lepas menjadi kegiatan rutin sehari-hari. Banyak kegiatan yang dilakukan selama berada di Pulau Marore sebagai bagian dari program pendampingan masyarakat di PPKT. Sebagian kisah pendampingan akan kuceritakan pada tulisan ini. Kuperkenalkan Diriku di Hadapan Masyarakat Marore Masih teringat jelas bahwa Senin, 18 April 2016 merupakan hari dimana kaki ini menginjak salah satu daratan terluar Indonesia. Sekitar pukul 17.05 Sunset yang indah menyambut K.M Sabuk Nusantara 51 bersandar di Pelabuhan Marore. Kapal yang membawaku menuju pulau terluar lokasi penugasan. Lelah rasanya harus berada di dalam kapal tersebut selama 15 jam. Perjalanan paling jauh yang pernah aku arungi menggunakan kapal laut. Kehadiranku disambut baik oleh Bapak Camat Kepulauan Marore, S.Y. Onthoni dan Sekretaris Kampung Marore, Zeth Sumolang. Sedikit berbincang pada saat dipelabuhan saya
Kisah Prakarsa
107
diajak menuju rumah dinas Camat yang letaknya berhadapan dengan POS Angkatan Laut Marore. Sesampai di rumah dinas camat, Saya sedikit menjelaskan maksud dan tujuan tugas dan berapa lama harus bertugas di Marore. Banyak hal yang dibincangkan dan pada akhirnya sekretaris kampung menyarankanku untuk melakukan perkenalan kepada masyarakat pada hari minggu di gedung gereja. Gedung gereja merupakan satu tempat dimana semua masyarakat marore bisa berkumpul. Masyarakat marore terkenal dengan ketekunan dalam beribadah. Setiap hari minggu seluruh masyarakat marore tidak ada yang melaut. Hari minggu diartikan sebagai hari ibadah dan dari pagi sampai malam diisi dengan kegiatan ibadah. Mulai kegiatan ibadah gereja, kegiatan ibadah kelompok sampai ibadah remaja, pemuda dan orang tua. Setelah selesai melaksanakan ibadah, saya dipersilahkan memasuki ruang gereja dan mencoba menyapa masyarakat yang ikut melaksanakan ibadah di hari itu. Kupandang perlahan wajah serius masyarakat mendengarkan penyampaianku dan sedikit bertanya-tanya saat ku sampaikan asalku, Pekanbaru. Banyak yang tidak tau dimana itu pekanbaru karena yang selama ini tidak pernah terdengar ditelinganya. Proses perkenalan berjalan dengan baik dan keakraban bersama masyarakat di pulau Marore dimulai pada saat itu juga. Marore, dari Sudut Lensa Masker Minggu pertama berada di lokasi penugasan saya habiskan dengan melakukan observasi secara umum. Beberapa informasi penting berhasil saya dapatkan dari masyarakat pulau Marore. Melalui wawanara dengan salah satu nelayan saya mengetahui banyak hal tentang perikanan dan potensi laut di Marore. Masyarakat nelayan Pulau Marore memang 108
Kisah Prakarsa
dalam kegiatan sehari-harinya selalu mendapatkan ikan cakalang maupun tuna pada saat melaut. Tapi hasil tangkapan nelayan yang dikategorikan mahal itu tidak memberikan efek besar bagi perekonomian masyarakat. Bagaimana tidak, ikanikan yang berharga mahal itu hanya dihargai Rp.15.000/kg nya di Pulau ini. Dan jika ingin menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, nelayan harus membawa hasil tangkapannya ke Ibu kota kabupaten. Harga ikan di kabupaten dapat mencapai Rp. 25.000-35.000/ kg nya, Bahkan jika kwalitas ikan tersebut masih berada dalam grade atas (A) bisa mencapai harga Rp. 45.000-55.000/Kg nya. Jarak dari Pulau Marore ke Ibu kota kabupaten cukup jauh. Jika dilalui dengan perahu nelayan bisa menghabiskan waktu sekitar 6-8 jam. Dan itu juga tergantung cuaca di lautan, karena pada saat cuaca buruk, nelayan akan kesulitan untuk mencapai Ibu kota kabupaten (Tahuna). Bahkan bisa mencapai 2-3 hari perjalanan, karena harus berhenti untuk berteduh di Pulau-pulau lainnya terlebih dahulu. Dalam sekali perjalanan, BBM yang dipergunakan bisa mencapai 25-30 liter. Dan ini merupakan suatu perjalanan yang cukup mahal dan memiliki resiko tinggi, selain harga BBM dan cara mendapatkannya yang cukup sulit, Masyarakat nelayan harus mengambil resiko yang sangat besar. Sebenarnya ada juga cara lain yang dilakukan Nelayan dalam membawa hasil tangkapannya ke Tahuna. Yaitu dengan menggunakan Kapal Perintis yang beroperasi Âą 2 Minggu sekali. Tetapi terkadang nelayan lebih memilih menggunakan perahu sendiri dan dapat menuju Tahuna ketika hasil tangkapan sudah terkumpul banyak. Dalam sekali melaut, nelayan yang menggunakan perahu (Pumboat) dengan mesin rata-rata 16 PK dapat mendapatkan hasil tangkapan berkisar 15-20 Kg/hari. Dan untuk menjualnya ke Tahuna, ikan hasil tangkapan terlebih dahulu dikumpul beberapa hari sampai benar-benar banyak. Hasil tangkapan Kisah Prakarsa
109
yang mencapai 20 Kg tersebut, tidak sepenuhnya dapat terkumpul, karena ada kalanya ikan tersebut akan berkurang pada saat masyarakat datang ke pantai dan membantu mengangkat perahu ke daratan. Ya‌ orang-orang yang membantu mengangkat perahu akan mendapakan 1 ekor ikan ukuran sedang (¹1 kg/ekornya). Jadi hasil tangkapan juga akan semakin berkurang. Dari beberapa hasil komunikasi dengan nelayan, mereka tidak merasa keberatan dalam memberikan ikan kepada setiap orang yang membantu mengangkat perahunya. Mereka beranggapan ini sudah terjadi dari dahulu kala dan dapat dikatakan tradisi lokal yang ada di Pulau Marore. Nah, setelah ikan hasil tangkapan dikumpul, biasanya akan diberi es batu yang dibuat di kulkas masing-masing sampai ikan benar-benar banyak dan siap dibawa ke Tahuna. Bukan Es balok yang mereka pergunakan. Karena mereka tidak bisa mendapatkannya dan salah satu caranya hanya dengan es batu yang dibuat di rumah masing-masing. Semakin lama ikan yang akan dikirim ke Tahuna, maka semakin banyak pula kebutuhan es batu yang disiapkan. Nah, coba bayangkan jika Nelayan dalam pengirimannya menggunakan kapal perintis yang datangnya sekali dalam 2 minggu. Bukan cuma es batu saja yang harus dipersiapkan, tetapi harus memikirkan mutu dan kwalitas ikan juga pasti berkurang. Karena terlalu lama dalam Box penyimpanan dan cara penanganan yang di pergunakan masih bersifat sederhana. Sehingga harga jual ikan cakalang dan tuna dipasaran juga sangat murah. Beberapa nelayan mengatakan bahwa ikan Tuna memang harganya mahal, tapi itu berlaku bagi mereka yang memiliki alat tangkap dan armada tangkap yang mahal pula. Masyarakat nelayan tidak mungkin mengirimkan ikan tuna jika hanya 1 ekor saja, karena akan merugikan dan memakan biaya yang tidak setimpal dengan penghasilan dan waktu akan 110
Kisah Prakarsa
terbuang karena tidak dapat melaut. Dalam sekali melaut, terkadang nelayan hanya mendapatkan 1 ekor ikan tuna ukuran sedang saja dan sisanya ikan Cakalang dan ikan Tenggiri bahkan Hiu. Itu juga tergantung cuaca dan lokasi penangkapannya. Masyarakat nelayan tidak berani melaut terlalu jauh, karena armada tangkap yang relatif kecil dan ketersediaan BBM yang seadanya. Selain itu faktor cuaca juga mempengaruhi, karena pada saat ini, cuaca tergolong tidak bersahabat untuk melaut (Angin Utara masyarakat Pulau Menyebutnya). Jadi, mengumpulkan hasil tangkapan selama beberapa hari sebelum mengirimnya/membawanya ke Tahuna masih dianggap menjadi salah satu solusi terbaik bagi masyarakat nelayan. Dengan harga jual hasil tangkapan yang relatif rendah, maka pendapatan nelayan juga masih rendah dan hal ini berakibat langsung dengan tingkat perekonomian serta kesejahteraan masyarakat nelayan yang ada di salah satu pulau terluar yang berpenduduk ini. 53 Menit Kawio-Marore Kata syukur yang sebesar-besarnya terucap dari mulut ini ketika telapak kaki kembali menyentuh pasir pantai dan meninggalkan papan terapung ini. Sebuah perjalanan dan pengalaman hidup yang tak akan pernah terlupakan selamanya. Bersama 2 orang warga pulau yang begitu saya kagumi berhasil menaklukkan sebuah ujian kecil dari perjalanan laut.Saya mendapatkan pelatihan uji nyali di 53 menit tepat tanggal 21 Mei 2016. Jarak antara kedua pulau ini tidaklah terlalu jauh, bahkan tanpa bantuan alat sekalipun Pulau Kawio masih terlihat dengan jelas dari pulau Marore. Setiap harinya warga pulau banyak yang menyeberang dari pulau Kawio ke Marore atau bahkan sebaliknya.Biasanya warga menggunakan PumBoat Kisah Prakarsa
111
(perahu nelayan) sebagai alat transportasinya menghabiskan waktu sekitar 30-35 menit.
dan
PumBoat adalah salah satu perahu andalan masyarakat untuk melakukan perjalanan laut.Untuk ukuran setiap perahu juga berbeda-beda. Pumboat berwarna Putih Hijau yang memiliki panjang total 5.22 meter, lebar 0.55 meter dan tinggi 0.45 meter inilah saksi sebuat perjalanan laut saya, Babinsa dan Hendra di 53 menit Kawio-Marore. 19:22 WITA (Pantai Pulau Kawio) Perjalanan dimulai tepat jam 19.22, dimana saya dipersilahkan naik keatas perahu dan duduk di bagian depan. Ada sedikit rasa takut karena ini merupakan pengalaman pertama saya menyeberang pulau di malam hari dan dengan menggunakan perahu tradisional nelayan yang ukurannya hanya 5 meter lebih.Setelah tali pengikat dilepas, babinsa mengambil pendayung dan Hendra mulai menghidupkan mesin perahu 16 PK miliknya.Perahu di bawa keluar dari pelabuhan dengan perlahan.Terlihat jelas bagaimana kepiawaian seorang nelayan pulau Kawio ini dalam mengemudikan perahu kecilnya.Perahu mulai bergerak stabil dan perasaan takut yang ada di awal tadi mulai hilang dan perlahan menikmati perjalanan laut malam ini. Babinsa yang duduk dibagian belakang asik menguras air yang masuk ke dalam perahu. Terselip sebatang rokok di selahselah jari kirinya.Hendra yang bertugas mengemudikan perahu asik mengobrol dengan saya tentang pengalamannya pertama kali melaut malam bersama salah satu saudara laki-lakinya.Pria yang mengaku senang mengotak-atik mesin ini terlihat mulai bernostalgia dengan masa lalunya. Pengalaman pertamanya menyeberangi Pulau Kawio menuju Pulau Marore juga dengan PumBoat yang ukurannya sama dan dengan 3 orang juga.
112
Kisah Prakarsa
19:31 WITA (Tengah Laut) Laju Perahu yang tadinya bergerak stabil tiba-tiba mulai pelan. Saya yang duduk di bagian depan menoleh kebelakang dan melihat Nakhoda menoleh kiri-kanan. Lebih kurang 15 detik kemudian, dia menyuruh saya memasukkan barangbarang bawaan ke dalam Box kecil yang terletak di bagian depan perahu. Terdengar Hendra dan Babinsa kerkomunikasi dengan bahasa daerah yang saya tidak terlalu paham artinya.Hendra langsung mengambil sebuah Jeregen kecil berisi bensin dan menambahkan minyak ke mesin perahu.Perjalanan dilanjutkan tanpa sedikitpun saya berfikir akan hal-hal buruk kedepannya. 19:36 WITA (Tengah Laut) Disaat sedang asik menikmati perjalanan, Perahu kecil ini mulai berayun-ayun diatas permukaan air laut.Saya berteriak-teriak kecil menikmati kejadian itu.Tidak lama kemudian Hendra menyuruh saya duduk di dasar lantai perahu dan berpegangan pada kiri dan kanan bambu penyeimbang.Belum selesai dia berbicara, hujan turun perlahan dan membasahi perahu beserta kami bertiga.Perjalanan terus dilanjutkan sampai pada akhirnya mulut ini secara spontan mengucapkan Allahuakbar. Gelombang besar dan angin kencang menghempas perahu kecil ini.Saya lihat kiri-kanan dan ternyata cuaca di tengahtengah perjalanan kurang bersahabat. Gelombang semakin besar, Angin semakin kencang dan arus semakin deras mencoba menghalangi perjalanan malam ini.Saya disuruh tetap duduk dan berpegangan kuat serta berdoa agar tidak terjadi hal-hal buruk.Hendra dan Babinsa yang semakin bekerja keras bercakap-cakap dengan nada yang sedikit kuat yang membuat saya semakin tidak nyaman berada
Kisah Prakarsa
113
dalam posisi saat itu.Mesin perahu mulai terdengar seolaholah tidak mampu menembus badai yang sedang kami hadapi. 19:45 WITA (Tengah Laut) Mulut masih tetap berdoa dan pandangan mata selalu tertuju pada daratan Pulau Marore yang diterangi oleh beberapa lampu jalan. Terkadang pandangan mulai kabur..Air laut yang terhempas sampai ke perahu dan wajah mengakibatkan mata ini perih. Badan mulai kedinginan, tangan mulai sedikit kaku dan sedikit susah untuk dilepaskan dari bambu penyeimbang. Saya juga tidak terlalu paham kenapa hal ini bisa terjadi, mungkin karena faktor ketakutan serta kedinginan. Hujan mulai reda, tapi angin dan gelombang yang tingginya sekitar 1-1.5 meter masih saja menghalangi perjalanan ini. Kepanikan mulai meningkat saat hendra mulai tak stabil dalam mengemudikan Pumboat miliknya. Air laut masuk ke dalam perahu dari penjuru arah dan saya yang duduk di bahagian depan perahu seolah-olah tak berdaya akan semua itu. Mulut tak henti-hentinya berdoa selama perjalanan itu. Suara yang keluar dari mulut yang awalnya terdengar dengan jelas perlahan mulai pelan.Gigi atas dan bawah saling bertabrakan serta kaki yang gemetar menandakan bahwa saya sedang dalam kondisi sangat kedinginan.Tatapan mata hanya tertuju pada satu tujuan, cahaya lampu Pulau Marore. Cahaya itu terkadang menghilang, disaat gelombang besar berada di depan perahu. Ketika cahaya lampu menghilang, maka saya harus mengeratkan pegangan saya karena akan ada air laut yang masuk ke perahu dan terhempas ke tubuh ini. Mata perih, badan menggigil, kepala pusing dan perut seolah-olah ingin mengeluarkan semua yang ada di dalamnya.Rasa mual menjadi teman baru dalam perjalanan ini, tapi pemikiran tetap difokuskan pada cahaya lampu Pulau Marore. 114
Kisah Prakarsa
20:03 WITA (Tengah Laut) Angin mulai bertiup pelan dan gelombang semakin kecil.Saya dapat merasakannya ketika jalannya perahu sudah tidak seperti kuda lumping lagi.Perahu mulai dipelankan dan saya menoleh kebelakang.Saya lihat wajah kedua teman saya di dalam perahuukuran 5.22 meter tersebut.saya terkejut dan kagum, tidak terlihat sedikitpun rasa kepanikan di wajah mereka. Yang saya lihat hanya badan yang mulai menggigil dan mata yang mulai bengkak.Mungkin karena hujan dan hempasan air laut yang menyebabkan semua itu terjadi.Perlahan saya lepaskan pegangan tangan kanan saya dari bambu penyeimbang.Saya kepal-renggangkan beberapa kali berharap kaku yang sedang saya alami sedikit berkurang. Saya lakukan hal yang sama dengan tangan kiri. Dengan sedikit ragu saya masukkan tanga saya ke dalam laut, dan saya bersyukur ternyata tangan ini masih dapat merasakan hangatnya air laut. Saya terkejut dengan suara yang memanggil saya dari belakang perahu.Hendra menyodorkan saya sebungkus rokok beserta mancisnya, “Hayo merokok dulu biar gak kedinginan�, kira-kira begitulah kata yang diucapkan kepada saya saat itu.Saya sempat tergoda dengan tawaran itu, tetapi karena saya merasa masih sanggup menahan kedinginan ini, saya menolak hal itu dan sedikit berbohong kalau saya sedang batuk.Memang saya tidak merokok dan tidak ada niat untuk merokok.Perahu masih bergerak pelan, cahaya lampu Pulau Marore mulai terlihat jelas dan Gerimis masih setia menemani perjalanan ini.Saya lihat Hendra dan Babinsa masih asik dengan rokok yang menempel di bibirnya.Nafas saya mulai berhembus stabil karena badai telah berlalu.
Kisah Prakarsa
115
20:15 WITA (Pantai Pulau Marore) Mesin perahu mulai dipelankan dan perahu kecil tersebut mulai menyentuh pasir pantai.Perlahan saya coba untuk berdiri dan turun dari perahu.Saya melompat dari perahu dan sampai dipantai Pulau Marore dengan mengucap Syukur Alhamdulillah. Mata melirik ke arah tangan kiri dan melihat jam sudah menunjukkan jam 20:15. Barang-barang bawaan segera diturunkan dan perahu kami angkat ke pantai.Setelah semua selesai kami berlari menuju sebuah gedung dan beristirahat sejenak.Saya menyempatkan bertanya kepada mereka tentang kejadian yang baru saja kami alami. Mereka menjawab kalau sebentar lagi akan terjadi Musim Barat dimana gelombang besar, angin kencang dan badai seperti tadi akan sering terjadi. Setelah perbincangan singkat tersebut, saya berterima kasih kepada mereka berdua karena telah diberikan sebuah pelajaran dan pengalaman hidup yang begitu luar biasa. Sebuah hal yang tidak akan pernah terlupakan dari ingatan ini dan diabadikan dalam tulisan ini. Kami bergegas ke pondokan masyarakat dan berbincang-bincang lebih banyak sambil menyeduh secangkit kopi hitam pekat untuk menghangatkan badan yang menggigil ini. Sebuah kisah yang begitu membekas pada diri saya.Terlihat jelas dimata saya bagaimana perjuangan masyarakat pulau jika ingin menyeberang dari satu pulau ke Pulau lainnya.Rintangan-rintangan besar sering menghalangi perjalanannya. Adalah sebuah kerugian besar bagi saya ketika tidak dapat mengabadikan perjalanan ini.Perjalanan yang begitu memberikan arti besar bagi saya kedepannya.Keberanian dan kemampuan kedua teman saya yang ada di perahu memberikan saya semangat yang berbeda.
116
Kisah Prakarsa
Menyerahkan diri kepada Sang Pencipta dalam hal apapun menjadi poin penting yang dapat saya ambil kali ini. Semua atas kehendakNya dan apa yang terjadi tepat di 53 menit saya berada di atas perahu adalah sebahagian kecil dari pelajaran yang diberikan kepada saya. Terima kasih Alam, Terima kasih Laut, Terima kasih Hujan, Terima kasih Angin, Terima kasih Gelombang, Terima kasih PumBoat dan terima kasih buat semua, Saya mendapatkan pelatihan yang begitu dahsyat di 53 Menit Kawio-Marore. Gema Takbir dari Kaum Minoritas Setiap langkah adalah perjalanan dan akan terukir dalam kenangan. Kisah yang terjalani terpatri kuat dalam benak dan ingatan ketika seruan takbir terdengar sayup-sayup menuju merdu menghampiri telinga yang menantikannya. Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar. Lantunan kata itu seolah-olah menjadi penyejuk kalbu dan penyegar hati. Hari kemenangan telah tiba‌.. Hari sukacita ada didepan mata. Bergegas seluruh raga mempersiapkan sambutan buat hari kemenangan yang sudah ditunggu hadirnya. Berbondongbondong menuju musholah utk menyerukan nama Sang pencipta. Kutolehkan kepala kearah kiri dan kanan‌ dan kusadari bahwa raga ini berada di lokasi yang baru bersama orang-orang baru untuk merayakan hari suka cita. Terlintas kuingat sebuah pemikiran saat awal Ramadhan di bulan lalu‌ Pertayaan-pertanyaan yang menyerukan dimanakan saya menyuarakan Takbir tahun ini akhirnya terjawab sudah.. Marore tempatnya. Marore, sebuah pulau yang terletak di bagian utara Indonesia yang menjadi sudut bingaki nusantara. Sebuah pulau yang dihuni 663 jiwa dimana muslim menjadi agama minoritas.
Kisah Prakarsa
117
Hanya ada 5 jiwa saja yang beragama muslim di pulau ini. Hanya ada 5 jiwa saja yang merayakan hari kembali fitri ini. Dan hanya 5 jiwa saja yang akan menyuarakan gema kabir kebesaran sang Ilahi. Yaaa….. pemikiran itulah yang ada di benakku saat kubayangkan bahwa diriku berada disana pada 1 Syawal 1437 H. Ketakutan-ketakutan akan kesedihan sangat kuat menerjang… kegelisahan karena tak bisa bertemu sanak saudara masih menjadi momok terbesar… dan aku pasrahkan semuanya,, logika bermain dan menyerukan kata “ Bukankah ini adalah sebuah resiko dari pilihan..? Bukankah ini adalah jalan yang sudah secara sadar untuk dipilih..? Kata2 penguat jiwa dan penghancur rasa gundah yang walaupun hanya sekecil pasir pantai bermain-main dibenak ini. Aku yakinkan hati bahwa inilah tempat terbaik, Tempat dimana cerita baru akan aku ukir indah dengan alur dan kisah yang tentunya berbeda dengan orang lain. Matahari terbit,…. pagi menyambut, raga bergegas bersiap-siap melaksanakan sholat Idul fitri di musholah pos AL Marore.. Takbir, tahmid dan tahlil dikumandangkan,, beberapa raga yang terpanggil hatinya mendatangi tempat darimana suara itu berkumandang. Kekhawatiran awal terhapuskan, ternyata ada 20 orang yang merayakan lebaran bersama di sini. Merayakan hari kemenangan di garda terdepan indonesia. Mereka adalah orang-orang yang statusnya sama seperti saya, “Pendatang”. Pendatang yang mengabdikan dirinya untuk negeri tercinta, mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk mimpi dan harapan. Dan merelakan kebersamaannya dengan keluarga untuk perubahan menuju yang lebih baik. Suasana 1 Syawal sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, silaturahmi dengan sanak saudara dan sesama muslim memang kami lakukan disini, tapi hanya 2 rumah saja yang menjadi lokasi kunjungan. Yaaaa.. hanya ada 2 rumah. Siang menjelang sore, kami habiskan waktu bercerita dan 118
Kisah Prakarsa
bergurau sesama muslim.. saya paham betul bahwa ini dilakukan hanya untuk menghilangkan pemikiran sedih tidak bertemu dengan keluarga. Hanya sebagai pengalih fikiran agar tidak memikirkan aktifitas rutin keluarga.. saya tahu itu,, karena saya juga melakukan itu. Matahari lebaran pertama perlahan menuju ufuk barat, menuju tempat kemana dia harus pergi dikala senja telah tiba. satu per satu kaum muslim bergegas kembali ke lokasi masingmasing.. Yaaaaaa.. harus kembali ke pulau seberang, pulau yang dilintasi hanya dengan jalur laut dan menggunakan perahu tradisional yang terbuat dari kayu dan triplek. Pumpboat orang sini menyebutnya, dan ketinting orang Sumatera beri nama. Aku pandang satu per satu mereka melangkah meninggalkan tanah Marore dan naik ke atas kayu terapung itu. Dan mulai menyadari bahwa kami memang harus berpisah seiring siang akan berpisah juga dengan bumi. Suasana semakin senja dan kejutan kecil terjadi di lingkungan Pos AL. Terdengar suara sayup sayup yang menyuarakan kata “Permisiâ€?‌ aku cari sumber suara tersebut dan terlihat dengan jelas Kapitalaung Kampung Marore datang membawakan 2 loyang kue bolu untuk kami yang merayakan lebaran. Ucapan syukur dan terimakasih langsung disampaikan bersama-sama. Kami bergegas bersiap-siap mempersiapkan kursi dan meja untuk menyajikan makanan dan minuman seadanya di Lingkungan Pos AL. Tradisi di Pulau marore memang seperti ini, Kaum muslim akan menyiapkan makanan dan minuman untuk para warga desa yang akan berkunjung untuk silaturahmi ke kediaman para muslim, itu cerita yang saya dapatâ€?. Memang rencana ini sudah kami persiapkan sebelumnya, anggota Pos AL yang sedang bertugas di Marore menjadi motor penggerak untuk mengadakan sambutan ini. Berbekal seadanya kami dengan Pede menanti kunjungan para warga desa ke Pos AL Marore. Kisah Prakarsa
119
Malam tiba, kami siap di posisi masing-masing, dan membagi tugas siapa yang akan mengerjakan apa dan apa yang harus dilakukan nantinya. Aku menoleh ke arah gerbang, terkejut‌. mulut terbuka secara tidak sadar dan badan terpaku di posisi satu titik. Terlihat dari kegelapan satu per satu warga masuk ke halaman Pos AL sambil memainkan alat musik tradisional dan mengumandangkan lagu-lagu tradisional pula. Yaaaa‌ seluruh warga desa berbondong-bondong datang untuk bersilaturahmi kepada kami kaum minoritas yang ada di pulau Marore. Rombongan masyarakat yang dikomandoi Kapitalaung dan ketua jemaat ini menghapuskan semua pemikiran yang melekat di fikiranku saat awal penugasan. Kegiatan yang direncanakan sangat sederhana berubah menjadi kegiatan besar dan formal.. kegiatan yang dirayakan oleh seluruh warga Pulau, Lebaran untuk seluruh masyarakat pulau. Nyanyian-nyanyiaan tradisional berkumandang, suara musik yang mengiringi nyanyian terdengar merdu dan membawa kebahagiaan. Tarian-tarian khas sangihe dipertontonkan dimalam itu. Malam ini terlihat jelas dimataku bahwa masyarakat Pulau Marore masih menjunjung tinggi kerukunan umat beragama. Masih menjunjung tinggi rasa saling menghormati antar agama. Saling menunjukkan tolereansi yang begitu tinggi. Memberikan kenyamanan dan kedamainan tersendiri disaat kaum minoritas diperlakukan sangat baik di pulau ini. Terima kasih Marore dan seluruh isinya.. Akan menjadi cerita tersendiri bagi pribadi ini yang tak akan pernah berhenti mengikuti kemana kaki ini melangkah mengikuti kehendaknya.
120
Kisah Prakarsa
Fasilitasi Masyarakat Menuju Kemandirian Menurut saya, Masyarakat yang tinggal di Pulau-Pulau Terluar bukanlah orang miskin. Bukan orang bodoh dan bukan juga orang malas. Tetapi mereka seolah-olah dianggap miskin, bodoh dan malas oleh kalangan orang yang tidak pernah hidup langsung bersama mereka. Mereka adalah orang-orang hebat yang mampu bertahan hidup walau keterbatasan segalanya. Semangat kerja yang dimiliki masyarakat pulau jauh lebih besar. Mereka akan melaut walau kondisi cuaca sedikit bergelombang. Semangat mereka begitu besar yang menginspirasiku melakukan sesuatu hal untuk kemajuan mereka. Kegiatan Belajar Bersama. Yaa.. Kegiatan ini aku lakukan untuk mengajak anak-anak di Pulau Marore lebih semangat dalam belajar. Setiap malam aku luangkan 2 jam waktu untuk duduk dan bercerita bersama mereka. Anak-anak yang duduk di SD sejatinya adalah anakanak yang lebih mencintai permainan. Tapi berbeda dengan anak-anak Marore. Sebuah kerugian bagi mereka jika tidak mengikuti kegiatan belajar malam setiap harinya. Proses ini saya namakan “Membangun Cahaya dari Marore�. Mempersiapkan generasi-generasi penerus yang memiliki pengetahuan dan luas dan berani dalam mengungkapkan sesuatu. Saya bukanlah seorang tenaga pendidik yang bisa mengajarkan mereka hal-hal yang spesifik. Saya hanya bisa mengajarkan matematika dasar dan Bahasa Inggris seadanya. Saya lebih sering mengajak mereka bercerita dan memberikan semangat belajar. Satu hal yang sangat senang saya lakukan dan mereka juga sangat senang mendengarkannya. Pembentukan rumah baca di Pulau Marore
Kisah Prakarsa
121
merupakan satu hal yang dapat saya lakukan sebagai bukti bahwa Membangun Cahaya dari Marore benar-benar serius. Dengan keberadaan rumah baca, anak-anak dapat sesukanya membaca buku yang mereka suka. Saya selalu mengatakan bahwa para orang hebat bisa berhasil karena mereka dapat “Menggenggam dunia�. Menggenggam dunia yang dimaksud adalah mengetahui apa yang ada di dunia. Semua itu bisa terjadi hanya karena membaca. Dengan membaca, Jakarta serasa dekat dan mengetahui apa yang ada disana. Kata-kata itu menjadi cambuk semangat bagi mereka untuk meningkatkan minat baca dan menjadi yang terbaik untuk memajukan Pulau Marore. Selain belajar dengan anak- anak SD, saya juga meluangkan waktu berbagi ilmu dengan siswa SMP dan SMA. Melalui kegiatan sosialisasi dan sharing ilmu saya bagikan apa yang saya tau dan mereka ceritakan apa yang membuat saya terkagum-kagum. Saya coba membagikan ilmu kenapa air laut asin dan kenapa warnanya biru. Jelas bukan satu hal yang mereka fikirkan walaupun setiap harinya mereka merasakan bahwa air laut rasanya memang asin. Saya juga belajar bagaimana cara menombak ikan dan belajar hidup sederhana dari mereka. Selain itu saya mendapatkan banyak cerita bagaimana rasanya hidup di pualu terluar. Apakah ada sebuah keinginan untuk pergi meninggalkan pulau dan tidak ingin kembali. Mereka mengatakan bahwa aku nyaman berada disini karena disini kekayaan indonesia. Mendengar kalimat tersebut aku ajak mereka membuat sebuat puisi yang isinya mengungkapkan perasaan hati anak perbatasan.
122
Kisah Prakarsa
Suara Hati dari Perbatasan Gagahnya matahari yang menemani hari ini mulai perlahan pergi. Sunset orang-orang menyebutnya. Anak-anak kecil itu tersenyum dan bermain di dermaga pelabuhan yang dibangun sekitar 1 dekade lalu. Keceriaan tiada tara terpacar dari wajah imut hitam dan polos itu. Aku melangkah mendekat dan menggenggam tangannya. Terasa dingin dan keriput. Lidahku bergerak megeluarkan kalimat pertanyaan, “Su lama ngana berenang opo..?� dijawabnya dengan meberikan senyum diawal. “Sudah kak, torang su dari jam 4�. Kulihat arlojiku dan menunjukkan pukul 17.26 WIT. Pantas tangannya sudah keriput kedinginan, ternyata sudah berenang lebih dari 1 jam lamanya. Aku tergoda untuk ikut merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan. Bermain bersama di air laut dan menunjukkan aksi-aksi yang begitu waw kalau menurut saya. Anak kecil, polos dan penuh keceriaan. Apa yang aku fikirkan bahwa mereka lepas dan tanpa beban melakukuan aktifitas itu. Tidak mengenal mereka ada di mana dan dengan kekurangannya. Yang mereka lakukan begitu membuat saya terpesona bahwa bahagia tidak mengenal tempat dan alat. Bahagia hanya membutuhkan semangat dan keikhlasan menjalankannya dan tidak lupa bersyukur. Masyarakat pulau Marore banyak mengajarkan bagaimana caranya bersyukur dan bertahan dalam kesederhanaan. Dengan keterbatasan mereka masih bisa hidup mandiri. Keesokan harinya di teras Puskesmas Marore aku sempatkan untuk bercerita dengan Tiga orang anak Marore. Dhea Suenaung, Katrin Mendome dan Sinta Pamikiran. Banyak canda tawa yang keluar dari mulit mereka. Dan sampailah kepada satu petanyaan bagaimana sih enaknya hidup di Jakarta..?. Aku tertegun dan mengajak mereka untuk membuat puisi dari pertanyaan itu. Aku mengajak mereka untuk tidak memikirkan kemewahan yang ada di kota besar. Kisah Prakarsa
123
Aku mengajak mereka menyampaikan apa yang mereka rasakan selama 14 tahun tinggal di Pulau Marore. Jauh disini tersimpan mimpi Aku dan mereka saling menyadari Uluran tangan sangat berarti Tapi apalah daya kami hanya bisa menanti Jauh dari keramaian ada kami Yang selalu setia pada ibu pertiwi Tak pernah sekalipun aku sesali Bahwa takdirku terlahir disini Kebahagiaan dikala siang bersama teriknya matahari Aku menyadari bahwa diriku berada disini Jangan pernah kau ragukan lagi Kekayaan Indonesia ada di sekitar kami Hai kalian para putra dan putri Masihkan sesali keadaan kau saat ini Apa jadinya jika kita bertukar posisi Hanya ingin berbagi beginilah kehidupan kami Salam anak ibu pertiwi Jauh dari ibukota negara ini Jangan pernah mengutuk takdirmu saat ini Karena itulah yang terbaik dari sang Ilahi.
8 bulan penuh makna dan 8 bulan mendapatkan pelajaran berharga dari masyarakat pulau terluar indonesia ini. Mereka bukan orang miskin dan bodoh, mereka hanya dianggap miskin dan bodoh. Jika memang potensi yang ada disekitar mereka dikelola dan dimanfaatkan sebaik mungkin maka kesejahteraan Indonesia mungkin bisa terwujud. Puau Balud pulau Saranggani, Filiphina, Dekat dimata tapi jauh dihati. Pulau Sangihe, Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa Ibukota Negara, Begitu jauh dimata tapi dekat dihati S.Y. Onthoni (Camat Kepl. Marore)
124
Kisah Prakarsa
Ke Kakorotan, Aku Ikut!
KHOIRUNNISAK
H
ai semua, saya Nisak, lengkapnya Khoirunnisak. Saya ingin bercerita tentang kehidupan di Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia. Tahu kan ya, kalau Indonesia memiliki setidaknya 92 pulau kecil yang menjadi batas terluar wilayahnya? Di antara pulau-pulau kecil tersebut ada 32 pulau yang berpenduduk, lainnya tidak. Kosong, hanya ada vegetasi dan hamparan pasir putih. Di masa pemerintahan sekarang, pulau terluar berpenduduk tersebut boleh berbangga, sebab pemerintah telah menyatakan janjinya untuk membangun republik ini dari pinggiran, dari pulau-pulau itu. Berbagai kementerian, membuktikannya dengan mengirimkan muda-mudi negeri ini untuk mengabdi di batas teluar dan pedalaman NKRI. Ada Sarjana Mengajar di Daerah 3T (SM3T) dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada Nusantara Sehat (NS) dari Kementerian Kesehatan, ada pula Kisah Prakarsa
125
Fasilitator Masyarakat Pulau-pulau Kecil Terluar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan ada juga Patriot Energi dari Kementrian ESDM. Sebagai alumni program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB 2011, saya beruntung, tiga bulan lalu dipinang (cieleh dipinang), dipinang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta LSM Destructive Fishing Watch(DFW) untuk sembilan bulan hidup bersama masyarakat di sebuah pulau kecil bernama Kakorotan. Kakorotan? Kakorotan, pernah dengar nama Kakorotan? Pulau Kakorotan terletak di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Untuk sampai di pulau kecil ini, terlebih dahulu kita harus singgah ke Melonguane, Ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud. Kita bisa mencapainya dengan naik pesawat reguler dari Manado yang terbang setiap hari, atau kapal Manado-Melonguane yang jadwalnya tiga kali seminggu. Ingat ya, dengan naik pesawat atau kapal laut, jangan paksakan berenang. Jauh! O iya, selanjutnya untuk mencapai Kakorotan kita bisa naik speedboat ke pelabuhan Lirung, lalu naik kapal perintis Sabuk Nusantara 51 yang berlayar dua minggu sekali. Sampai di Kakorotan kita akan disambut dermaga yang sangat panjang. Panjang sekali. Desa Kakorotan sendiri sebenarnya meliputi tiga pulau. Pulau Kakorotan, Pulau Malo, dan Pulau Intata. Di antara ketiga pulau tersebut hanya Pulau Kakorotan yang berpenduduk, lainnya tidak. Mungkin nanti, ketika jumlah penduduk Kakorotan semakin padat dan lahan tak lagi tersedia, Intata dan Malo bisa menjadi solusi. Ah tapi entahlah. Ketiga pulau tersebut memiliki keunikan masing-masing. Pulau Kakorotan dengan datarannya yang agak berbukit 25 persen lahannya digunakan untuk permukiman, sisanya ladang, 126
Kisah Prakarsa
sedang Pulau Malo dan Intata dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan perkebunan dan beberapa tempat di Intata dijadikan sebagai tempat pelestarian warisan budaya. Menurut hikayat, kehidupan masyarakat adat Kakorotan sudah ada semenjak dahulu kala pada abad ke 13. Kemudian pada tahun 1628 terjadi tsunami yang membelah Kakorotan menjadi tiga pulau hingga saat ini. Setelah itu masyarakat yang masih bertahan, kemudian berusaha bangkit dan melanjutkan hidup. Mereka menyadari bahwa untuk bertahan hidup, mereka tidak hanya sekadar hidup untuk diri mereka saat itu. Agar anak cucunya juga bisa melanjutkan hidup, mereka harus hidup selaras dengan alam. Wah manisnya. Oleh karena itu, mereka bersepakat untuk membuat Eha yaitu pengaturan masa tanam tanaman di darat serta Mane’e, panen laut dengan menggunakan sammi, alat tangkap berupa janur dan tali hutan yang ramah lingkungan. Masyarakat di Lombok, Nusa Tenggara hingga Papua menyebutnya Sasi, dan buka Sasi. Sasi lo ya, bukan Sasa apalagi Susi. Bagi saya yang datang dari Pulau Jawa yang sesak dari tahun ke tahun, Kakorotan adalah desa yang amat kaya. Tutupan karangnya masih alami dan padat, hamparan pasir putih, beragam peninggalan bersejarah yang masih tersimpan rapi di tempatnya. Semua terbungkus rapi dalam kelembagaan adat yang menaunginya. Sebagai contoh, Kakorotan terkenal dengan ikan demersalnya yang sangat melimpah karena masih banyak karang hidup di ketiga pulaunya. Kelembagaan adat melarang segala alat tangkap yang dapat merusak lingkungan. Demikian pula dengan nelayan dari daerah lain yang ingin menangkap ikan di sini, mereka harus izin terlebih dahulu kepada Ratumbanua, beliau adalah mangkubumi Kakorotan.
Kisah Prakarsa
127
Kelembagaan adat mengatur hampir segala aspek kehidupan masyarakat mulai dari kepemilikan lahan secara komunal suku hingga berbagai aturan dalam kehidupan seharihari. Kelembagaan adat ini bersinergi dengan kelembagaan gereja dan pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakat. Intinya, sumberdaya alam Kakorotan yang besar itu diikat oleh aturan yang ditentukan oleh masyarakatnya sendiri. Indah ya? Pembaca yang keren, jangan terlena dulu dengan romantisme desa dan pulau di masa lalu yang selalu diceritakan damai, aman, nyaman, tenang dan sejahtera. Kakorotanpun dari tahun ke tahun menyimpan pula banyak permasalahan di dalamnya. Tepatnya tantangan dan cobaan. Hampir sama seperti pulau kecil yang lain, permasalahan yang melingkupi pulau ini di antaranya akses transportasi yang terbatas, ketersediaan air bersih, listrik, abrasi pantai serta telekomunikasi. Permasalahan tersebut berimbas pada mahalnya bahan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, harga satu bungkus mie instan di pulau ini bisa mencapai 5.000 ribu rupiah, dua kali lipat harga biasanya. Permasalahan telekomunikasipun juga hampir sama. Saat tower rusak seperti yang terjadi pada bulan Mei sampai pertengahan Juni lalu, masyarakat patut bersyukur jika masih bisa menemukan signal dari pulau besar yang kebetulan tersesat di ujung Pulau Malo. Masyarakat, termasuk saya juga tentunya. Begitulah, tinggal bersama masyarakat pulau dengan berbagai potensi, permasalahan, dan perbedaan keyakinan tentu saja menjadi hal yang sangat menantang dan pengalaman yang begitu berharga. Itu pula yang menjadi motif utama ketika memutuskan untuk mengambil bagian menjadi fasilitator di Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) tahun ini bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan.
128
Kisah Prakarsa
Bagi saya, menjadi fasilitator masyarakat berarti menjadi mata, telinga, dan mungkin perpanjangan tangan manusia modern yang belum mampu menjangkau perbatasan. Yang belum merasakan bagaimana menghadapi tantangan hidup di pulau-pulau kecil terluar. Bagi saya, menjadi fasilitator masyarakat di perbatasan artinya membantu masyarakat untuk tidak menjadi terbatas. Membantu mereka untuk secara perlahan mencari tahu potensi yang mungkin saja belum sempat disadari keberadaannya saat ini. Atau paling tidak menjadi bagian dari mereka dalam memandang realita hidup, menemukan sudut pandang baru dalam berfikir dan meramu sesuatu. Ke Kakorotan aku ikut, menjadi bagian darinya, menjadi bagian dari kehidupan di perbatasan bukan berarti terbatas dan harus merengek bukan? Oleh karena itu mari tersenyum, jaga bara api merah putih tetap menyala di sini, kita ke Karototan membangun Negeri!
Kisah Prakarsa
129
Meraba Larat
WIDO CEPAKA WARIH
G
eliat kehidupan di Pulau Larat dapat diraba dari interaksi warga pada sumber daya alam, tradisi, dan relasi sosial. Dengan itu mereka bisa bertahan dan berkembang meniti kehidupan, dengan rumput laut, ikan, kacang tanah hingga kain tenun. Wido Cepaka Warih, fasilitator Program Pendampingan Efektivitas Sarana dan Prasarana di Pulau-pulau Kecil Berbasis Masyarakat (PRAKARSA) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan DFW Indonesia menuliskan dan mengirimkan temuantemuannya Selama berada di pulau yang berbatasan dengan Benua Australia itu. Ragam foto dan narasi ini serupa tawaran untuk meraba urat nadi kehidupan di Pulau Larat versi fasilitator Prakarsa periode 2016. ***
130
Kisah Prakarsa
Semenjak rumput laut mulai tertebas harganya, sebagian masyarakat di Pulau Larat memilih meninggalkan budidaya rumput laut. Beragam persoalan menjadi batu ganjalan bagi pembudidaya. Selain harga yang tak stabil mereka juga diserang penyakit. “Rumput laut kami terkena penyakit ice-ice, sekitar tahun 2014. Semenjak itu harga turun terus,” ungkap Ibu Maya sembari menunjukkan bekas lahan budidaya metode longline rumput laut di Desa Ritabel. “Sekitar tahun 2012-an harga agar-agar (rumput laut) kering setiap kilogram mencapai Rp 15.000. Kalau sekarang hanya laku Rp 4.000-5.000,” kata Om Kui, seorang petani rumput laut di desa Lamdesar Timur, Pulau Larat. “Ketika rumput laut berjaya, jalanan setapak depan rumah-rumah itu tertutup sama jemuran agar-agar. Masyarakat bisa menyekolahkan anaknya sampai lanjut kuliah, usaha dagang, buka warung, bangun rumah, banyak lagi pokoknya,” sambung ibu Maya. Hingga Juni 2016, pemerintah daerah tak tutup mata melihat persoalan rumput laut. Melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, berbagai bantuan seperti bibit rumput laut maupun pelatihan pengolahan budidaya dan hasil rumput laut tak lepas dari agenda rutin dinas terkait. Tujuannya demi kemandirian masyarakat Larat dalam mengelola sumber daya yang ada. Selain gambaran status rumput laut dan dinamikanya saat ini di Larat, gambaran tentang potensi perikanan juga penting untuk diceritakan. Informasi awal tentang ini saya temukan saat bertemu dengan dua orang nelayan di Pulau Lelingluan yang sedang memanggul ikan bubara dan sakuda. “Ayo mas, satu ikat Rp 35.000 saja ini, ikan masih segar baru nyampe subuh tadi,” salah satu penjual menawarkan ikan bawaanya. “Mama, ini ikan apa?”, tanya fasilitator DFW (Destructive Fishing Watch) yang sedang bertugas di sini, ikan Kisah Prakarsa
131
yang berbeda. �Ikan samandar, harga seikat Rp 35.000, enak dan empuk dagingnya,� ujarnya. Transaksi pun terjadi, ternyata satu ikat isinya ada 15 ekor ikan samandar sebesar telapak tangan orang dewasa. Untuk jenis ikan sakuda maupun kakap seukuran pergelangan tangan orang dewasa kita bisa membelinya seharga Rp 50.000-60.000, apalagi ketika anda lihai menawar dibumbui dengan obrolan hangat akan mendapatkan harga yang lebih murah. Menurut Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang dilansir dari data Dinas Kelautan dan Perikanan, di tahun 2013 produksi perikanan di Tanimbar Utara (Pulau Larat) sebesar 1.382 ton dan mengalami penurunan sebanyak 1.207 ton di tahun 2014. Untuk melihat potensi perikanan ini kita perlu melihat angka armada dan alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Pulau Larat. Jumlah perahu/motor tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan Pulau Larat adalah perahu jukung sejumlah 190 dikuti perahu kecil 168, perahu besar 33, motor tempel 139, dan kapal motor 26. Armada tersebut beberapa bersumber dari bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Masyarakat di Pulau Larat sebagian besar menggunakan pancong, sero, dan jaring insang untuk menangkap ikan dalam kesehariannya. Belum tersedianya cold storage di Pulau Larat juga berpengaruh terhadap nilai tambah perikanan tangkap. Selama ini, nelayan memanfaatkan es produksi rumahan, itupun hanya bertahan beberapa hari saja. Buce, Ketua Kelompok Nelayan Barrakuda, ketika ditemui di rumahnya juga mengatakan hal yang sama. “Kami kalau melaut jauh-jauh tidak sebanding antara BBM, es dengan jumlah tangkapan. Di sini belum ada pabrik es atau penyimpanan ikan, ini yang kami harapkan dari pemerintah 132
Kisah Prakarsa
baik pusat mapupun daerah, agar nantinya perikanan di Pulau Larat ini bisa maju dengan dukungan sarana dan prasarana yang ada,� katanya. Potret dalam Kacang Botol Selain menyimpan potensi perikanan, Larat dikenal dengan potensi pertaniannya, seperti kasbi (singkong), umbiumbian lain, pateka (semangka), jagung, dan kacang tanah. Saat menjumpai masyarakat di salah satu desa Pulau Larat yaitu Desa Lamdesar Barat, kita akan melihat potret aktivitas masyarakat sedang menjemur dan mengupas kacang tanah di selasar rumah. Dengan jarak 50 km ke pusat Larat, masyarakat Lamdesar Barat biasa menjual kacang tanah yang telah dikelupas dengan harga Rp 20.000-25.000 per kg. Tumpukan karung kacang tanah seakan menjadi saksi jerih payah selama bekerja berladang. Dalam satu karung besar terdapat 30-40 kilogram kacang tanah masih dengan kulitnya. Untuk menghasilkan satu karung kacang tanah bersih (sudah dikelupas kulitnya), mereka harus mengelupas 3-4 karung kacang tanah. Lebih serunya lagi, setelah pulang sekolah atau di waktu senggang, anak-anak di Lamdesar Barat tidak mau ketinggalan berbagi keceriaan dengan mengelupas kulit kacang tanah. Terkadang memang, tangan mereka lebih cepat dari tangan orang dewasa mengupas kulit kacang. Akan nampak senyum bahagia dan gigi putihnya ketika mereka diberi uang jajan Rp 30.000 per karung kacang tanah bersih seusai ikut mengupas. Semakin banyak karung dengan isi 30 kg per karung, maka akan semakin lebar senyum mereka, artinya akan mempunyai tabungan untuk membeli keperluan sekolah.
Kisah Prakarsa
133
“Kalau untuk kacang botol, yang ditaruh di botol seukuran air mineral harganya Rp 15.000, sedangkan botol kaca bisa Rp 25.000-30.000,” ujar Bapak Pice yang juga mempunyai ladang kacang tanah. “Kalau sekarang sudah mulai enak, sekitar dua bulan lalu, karena ada truk yang masuk ke sini, jadi gampang jual kacang ke pusat Larat, kalau tempo lalu, ketika akan menjual dalam jumlah banyak, kami harus pakai perahu ketinting dan ongkosnya lebih mahal,” sambung Pice saat sedang menjemur kacang tanah depan rumahnya. Angin segar harapan berhembus ke Larat. Jalan trans Larat sudah mulai dikerjakan tahun ini. Beberapa tahun lagi semua desa akan merasakan lancarnya akses dan distribusi hasil panen, sehingga harapan mereka dapat meningkatkan roda perekonomian selama ini semakin cerah. Tenun dari Bumi Lelemuku Bukan hanya rumput laut, ikan, dan kacang tanah. Di Larat terdapat anggrek endemik namanya lelemuku. Ini dapat pula dikembangkan terutama bagi pencinta bunga. Selain itu, kurang lengkap rasanya kalau berkunjung ke Pulau Larat jika tak membawa oleh-oleh berupa kain tenun yang dibuat dengan tangan langsung (hand made) oleh masyarakat Larat. Hampir semua perempuan di desa bisa membuat tenunan, baik dalam bentuk scarf maupun syal. Untuk selembar syal, mereka bisa menjual dengan harga Rp 150.000. “Satu syal bisa dua sampai tiga hari buatnya, tergantung kesibukan, kalau mau dikasi nama orang juga bisa di syalnya, atau memilih warna kombinasi benang dan corak syal,” terang Mama Desa Lamdesar Barat. Belajar dari kesabaran memintal benang-benang halus dan ragam corak warna, membuat kita akan jatuh cinta pada kearifan masyarakat di Larat. Dari masyarakat di Pulau Larat, kita bisa 134
Kisah Prakarsa
belajar untuk lebih arif dan bijaksana dalam mengelola segala hal, belajar kearifan lokal dan budaya mereka, belajar untuk tetap sederhana dalam mengelola sumber daya alam dan menjaga harmoni di pulau-pulau kecil terluar. Listrik Rp10.000,00 Per Bulan Di tepian dermaga Lamdesar Barat, Pulau Larat, saya bertemu dengan kelompok pengelola pembangkit listrik tenaga surya, mereka menamakan dirinya "Faduk Mavu", padanan filosofi Cahaya Pengetahuan. Hadirnya terang dan cahaya di pulau terdepan pertanda ikhwal peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan, begitu harapan masyarakat sewaktu Rapat Negeri digelar. Faduk Mavu menjadi tumpuan keberlanjutan pengelolaan energi matahari di desa tepian Arafura tersebut. Mari tengok ke belakang dan realitas, adanya kondisi mangkrak bantuan-bantuan dari pemerintah maupun pihak lain, karena kurangnya perhatian pada pembangunan manusia, penyiapan sumber daya untuk mengelola bantuan tersebut. Mengapa? Karena dengan adanya penyiapan sumber daya manusia untuk mengelola, keberlanjutan akan kesadaran kepemilikan dan kebutuhan bersama menjadi sebuah bagian dari nadi kehidupan masyarakat. *** Tahun 2014, merupakan sebuah catatan masyarakat Lamdesar Barat, Pulau Larat. Sebuah desa pesisir di pulau terdepan, bilangan jarak 300 mil dari Darwin, Australia ini, mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Komunal dengan kapasitas 50 kwp (kilowatt-peak). Hal ini menjawab kebutuhan listrik di pulau terdepan. Kehadiran fasilitator pulau terdepan merupakan teman bagi masyarakat dalam mengelola bantuan
Kisah Prakarsa
135
tersebut, akhirnya dibentuklah kelompok masyarakat pengelola (KMP). Masyarakat juga dilibatkan semenjak awal pembangunan, hal ini guna menumbuhkan rasa keberpihakan dan kepemilikan bersama. Gotong royong sudah menjadi ruh negeri ini. Dari anak sekolah sampai kakek nenek ikut membantu proses pembangunan PLTS yang diawali dengan doa dan upacara adat. Mereka mengambil porsi keterlibatan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ada yang membangun fondasi panel surya, memikul baterai, membersihkan areal, menyediakan makanan dan minuman dan banyak cerita menarik lainnya. Dalam perjalanan proses pendampingan, sudah ada kesepakatan dalam musyawarah desa mengenai aturan dalam pengelolaan (AD/ART), besarnya iuran tiap bulan, kerja bakti membersihkan areal PLTS, hal-hal yang tidak diperbolehkan dilakukan untuk menjaga kelangsungan pembangkit. Proses pendampingan selalu ada cerita tersendiri. Ada cerita sukses dan sebaliknya, ada cerita "lecet" di pertengahan jalan. Justru proses "lecet" ini yang akan mendewasakan semua pihak dari masyarakat maupun pendamping. Bukan seberapa banyak kita jatuh, tetapi apakah kita mau bangkit dan berdiri kembali? Ketika memasuki bilangan menjelang akhir tahun 2015, terjadi keresahan yang menjadi buah bibir masyarakat. Setelah ditelusur karena adanya salah satu oknum masyarakat yang menyambung kabel secara ilegal, sehingga mengakibatkan kerusakan pada salah satu komponen PLTS. Dengan adanya kerusakan tersebut, menjadi pelajaran cukup berharga bagi masyarakat, karena ketika sebelumnya di malam hari terang, sekarang gelap dan kembali menggunakan lampu minyak atau genset warga. Adanya kemarahan dari masyarakat terhadap oknum tersebut, menjadikannya sebuah musyawarah panjang dalam Rapat Negeri yang dipimpin oleh kepala desa. 136
Kisah Prakarsa
Pemberlakuan sanksi dan hukuman pun diberikan, begitu juga dengan sanksi sosial secara tidak langsung dari masyarakat itu sendiri. Saat adanya kerusakan, kelompok pengelola sudah mengerti prosedur pelaporan yang harus dijalankan. Dimulai dari pemerintah desa sampai pemerintah kabupaten. Memang butuh proses bertahap, tetapi kelompok sudah melaksanakan prosedur yang sesuai. Jawaban atas perbaikan akhirnya datang juga di tahun 2016, dalam kurun waktu sekitar 6 bulan kerusakan, komponen tetap dipelihara dan terjaga dengan baik. Setelah adanya perbaikan, digelar kembali ajang Rapat Negeri yang dipimpin oleh Kepala Desa untuk berkomitmen bersama masyarakat dalam menjaga dan mengelola PLTS. Kini mereka menyadari bahwa pengelolaan merupakan tanggung jawab bersama. Dengan iuran Rp 10.000/bulan, masyarakat kembali menikmati kerlip cahaya di malam gulita. Iuran tersebut dikumpulkan untuk memberikan apresiasi kinerja kelompok pengelola dan perawatan PLTS. Saat ini sekitar 188 KK, 742 jiwa merasakan manfaat dari tiga buah mata lampu yang terpasang di tiap rumah. Geliat anak-anak belajar mulai tambah semarak, ibu-ibu mengelupas kulit kacang tanah dan membuat kain tenun serasa ada harmoni dalam bunyi ombak pecah di karang ujung desa. Di lain kesempatan, pemerintah desa akan memasukkan anggaran perawatan PLTS jangka panjang dalam dokumen RPJMDes dan RKPDes. Satu lagi bentuk bukti konkrit dari masyarakat pulau terdepan dalam menjaga sarana prasarana. Pengelolaan bantuan berbasis masyarakat menjadi kepemilikan bersama untuk sebuah keberlanjutan. Pulau terdepan mengajarkan contoh kearifan dan arti sebuah tanggung jawab.
Kisah Prakarsa
137
Kunci keberlanjutan dari adopsi teknologi terletak pada kolaborasi aspek teknis dan sosial. Dukungan teknis berupa pelatihan operator pengelola dan transfer ilmu menjadi bagian yang tak terpisahkan. Perlahan tapi pasti, kolaborasi membuka ruang diskusi dan partisipasi untuk proses kemajuan pulau terdepan. Pemberian bantuan sarpras berupa teknologi baru (contoh PLTS) tanpa adanya keterlibatan, penyiapan sumber daya manusia untuk mengelolanya dan dukungan teknis yang bisa diakses, bisa jadi hanya sebuah pepesan kosong untuk bicara keberlanjutan! Mari berkolaborasi untuk pulau terdepan NKRI! Kisah Olis, Si Penjaga Listrik Matahari Arnolis Fun mematikan sebatang rokok kretek, menyimpannya di pinggiran batas bangunan rumah pembangkit. Dengan cekatan, mulai memasukkan anak kunci ke lubangnya, serta merta cahaya lampu di ruang kontrol menambah hangat di siang terik. Olis, sapaan akrabnya, menunjuk angka-angka yang tertera di box kecil perangkat inverter pembangkit surya. Dia mengangkat jempol kanannya pertanda kondisi pengisian baterai cukup normal hingga di bilangan 95%. Maklum di luar, matahari menyengat panas. Kemudian, dia membawaku ke ruang baterai, sembari membersihkan kotoran dan debu. "Kami bersyukur, terima kasih pemerintah sudah hadir di sini, sekarang desa tidak gelap lagi saat malam hari, saya juga bisa memperbaiki mesin ketinting yang rusak atau mesin motor yang dititipkan oleh tetangga," kata Olis. "Dan tentunya, anak saya bisa belajar dengan nyaman pada malam hari." Sejak awal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Olis dilibatkan dalam proses pembangunan, hingga pembentukan kelompok pengelola. Dia tidak sendirian, 138
Kisah Prakarsa
bersama Kelompok Pengelola Faduk Mavu setia mengelola PLTS dengan kapasitas 50 kwp. Desa Lamdesar Barat, tempat Olis tinggal dan mengabdikan dirinya untuk menjaga bantuan pemerintah menjadi contoh kemandirian masyarakat untuk menjaga keberlangsungan. Desa ini berada di ujung timur bagian dari Pulau Larat, salah satu dari 111 pulau terluar di Indonesia. Masyarakat percaya dengan keberadaan Olis untuk menjadi operator sekaligus teknisi lokal PLTS. Kesehariannya membantu memperbaiki mesin ketinting masyarakat yang rusak menjadi harapan bagi masyarakat Lamdesar Barat. "Saya sering dimintai tolong sama tetangga buat memperbaiki mesin ketinting yang rusak, genset juga sering, bahkan mesin motor. Ya, tidak ada patokan jasa, terkadang dikasih rokok atau balas jasa yang lain ketika saya juga butuh pertolongan. Ya begitulah kehidupan di pulau, saling tolong menolong, kerjasama, kerja bakti," tutur Olis sembari memperlihatkan modul-modul pengelolaan dan perawatan PLTS. Olis bersama Iwan, sesama operator kelompok PLTS pernah diberikan kesempatan untuk mengikuti diklat pengelola PLTS di Jakarta. Di sana, mereka belajar lebih lanjut teknis perawatan dari panel surya, inverter, baterai, jaringan, penanganan kerusakan dan pengelolaan yang berkelanjutan. "Saya senang, diberi kesempatan ke Jakarta, ini pertama kali dalam hidup saya, bisa lihat ibukota Negara, bisa lihat Monas, Monumen Nasional kebanggaan Indonesia, semoga dapat pengalaman banyak di sini, " katanya. "Saya dan Iwan harus mengikuti sesi pelatihan dari awal sampai akhir, beberapa memang ada yang belum pernah dengar dan kurang mengerti, tapi kami berusaha tanya sama pelatih dan teman-teman yang
Kisah Prakarsa
139
lain juga, bahkan dikasih modul juga, jadi bisa dibaca-baca lagi sampai di rumah." Perjuangan dan dedikasi Olis, Iwan dan kelompok pengelola PLTS bukan tanpa hambatan. Bahkan pernah mengalami suatu kasus yang membuat mereka hampir patah arang. "Tahun kemarin, ada yang coba-coba nyambung kabel, tapi ilegal, jadinya konslet, kena ke rumah pembangkit, untung hanya sakelar yang mati, pelakunya udah dihukum juga sama desa secara sosial," tutur Olis. Dari apa yang terjadi, masyarakat dan kelompok pengelola semakin turut andil untuk menjaga bantuan yang menjadi milik bersama. Dari pulau terluar, cahaya PLTS menjadi saksi dedikasi Olis dan kelompok pengelola dalam merawat dan menjaga energi masa depan. Kini PLTS sudah menjadi urat nadi masyarakat, semua saling memelihara, mengingatkan dan menjaga. Iuran perlahan akan mulai dinaikkan seiring kesadaran dari masyarakat sendiri. Dari 10.000/bulan menjadi 15.000/bulan. Sedikit demi sedikit, ada tabungan yang bisa disisihkan untuk perawatan, ini sebuah apresiasi untuk proses panjang yang telah kita lalui bersama. Inilah wujud dari sebuah nawacita, membangun Indonesia dari pinggiran. Bebak, Simbol Ketahanan Pangan Sebentar lagi alarm di gawai pintar ini berbunyi. Entah kapan terakhir kali aku mendengar kokok ayam di nuansa embun yang belum jatuh dari tepian dedaunan. Ingatan ini melayang, menerobos beberapa bulan yang sudah lewat berujung di sebuah desa bernama Lamdesar Barat. Desa ini berada di timur Pulau Larat, secara administrasi sebagai pulau terdepan yang mempunyai endemik Anggrek Lelemuku ini bagian dari Maluku Tenggara Barat.
140
Kisah Prakarsa
Adik angkatku Wawan sudah tak sabar merengek sambil menarik bajuku, tak lama pecah tangis manjanya. Seperti biasa, bocah yang baru menginjak usia 4 tahunan ini minta sarapan kue donat. Dari ujung dapur rumah, terlihat asap putih menggelayut manja di sela-sela bambu dapur tua. Mama Bo, biasa aku memanggilnya, sudah duduk di depan tungku perapian. Tak luput, aku ajak Wawan menuju sumber kehangatan pagi ini. Cuaca menggelayut dingin akibat terpaan angin dari Arafura. Mataku tak berkedip memandang makanan dari singkong yang tertata di wadah plastik. "Bebak" ternyata biasa Mama Bo bilang ke aku. Atau merk yang dikenal sebagai penganan khas Maluku, embal. Bebak atau embal ini terbuat dari tepung singkong, dicetak halus di cetakan tanah liat, terkadang Mama Bo menggunakan bekas loyang tanah, ditaruh di atas api. Sederhana dan mudah. Tak selang hitungan menit, bebak pun dibuka dari cetakan. Aroma harum menyengat membuatku lapar. Aku ambil dua, satunya untuk Wawan. Giginya meringis sambil tangannya mengambil bebak dariku. Ternyata setelah aku selidik lebih jauh, proses pembuatan tepung dari singkong "kasbi" pun mengundang decak kagum. Singkong dibersihkan dan diparut, hasil parutan singkong dimasukan ke dalam karung bersih. Setelah ditekan oleh kayu yang di atasnya diletakkan batu karang dan dibiarkan dalam jangka waktu tertentu, agar air dari singkong tersebut menjadi tepung. Nah, setelah jadi tepung, baru bisa dibuat bebak yang enak. Teman setia dari bebak adalah kacang tanah goreng dan secangkir teh manis hangat. Tinggal celupkan saja embal hangat khas buatan Mama Bo ke dalam teh manis. Sesekali diselingi sejumput kacang tanah goreng menambah kelezatan santapan pembuka hari. Sarapan pagi yang sangat spesial. Oh iya, hampir terlupa, Bebak ini memiliki kadar pati
Kisah Prakarsa
141
yang tinggi, kadar gula yang rendah, tentunya memiliki efek mengenyangkan. Jadi aman untuk penderita diabetes. Diversifikasi dan ketahanan pangan dapat aku rasakan di sini. Sudah sejak lama masyarakat di Lamdesar Barat menjadikan singkong sebagai bagian dari urat nadi kehidupan. Mama Bo mengajarkanku bagaimana bersahabat dengan alam. Bagaimana menjaga tanah ladang dan memanfaatkan secukupnya. Sebelum ke dermaga, aku habis melahap 4 bebak dan segelas teh hangat, tak ayal makanan ini membuatku bertahan sampai siang bahkan senja. Ah, mau nyebur dulu ke laut biru sama anak-anak, "ayo adik Wawan sini ikut deng kaka Ido pi ronda-ronda!" Menikmati Kuliner “Kasuami� di Saumlaki Sore sebentar lagi beranjak pergi ketika saya memasuki pintu gerbang pelabuhan Suamlaki. Tidak ada kerumunan orang-orang yang naik maupun turun dari kapal putih. Sebutan untuk kapal Pelni. Hanya terlihat beberapa buruh pelabuhan mengangkut karung-karung coklat, menuruni tangga kayu curam yang hanya selebar kaki manusia, begitu cepat mereka naik turun dari kapal barang yang baru sandar dari Surabaya. "Mungkin, barang-barang pesanan dari toko dekat pasar," pikir saya sambil melayangkan pandangan pada seorang bocah kecil sedang bersiap melepas umpan ke dalam kolam pelabuhan. "Ade, lagi biking apa kah?" kata saya penasaran ketika melongok ember hitam kecil pecah di bagian ujungnya. "Kaka, beta masih memancing ikang kecil-kecil ini," jawabnya malumalu. "Kaka mau coba kah?" balasnya sambil memperlihatkan benang kail pancingnya kepada saya. Sudah terbiasa di sini kalau memancing hanya menggunakan benangnya saja.
142
Kisah Prakarsa
"Seng usah, ade sa, kaka mo pi ronda-ronda dulu ya," jawab saya sesaat setelah mendengar dari kejauuhan teriakan mandor pada buruh yang terlambat mengambil karung coklat lusuh tadi. Tak terasa, sudah terdengar aksi gertak tendang dari cacing-cacing di perut saya, pertanda sudah meminta haknya, apalagi kalau bukan makan malam. Tengak-tengok keluar dari pintu gerbang pelabuhan, tampak di ujung jalan ada penjual ikan bakar yang mengepul deras asap putih. Baunya pun tercium seiring hembusan angin yang mengarah ke arah saya. Sepanjang jalur pintu keluar pelabuhan dipenuhi oleh penjual beraneka rupa, dari makanan, toko kelontong sampai kain, rasanya kalau malam masih diterangi bulan cerah mereka akan buka sampai matahari benar-benar terbangun. Lapak seorang mama yang saya lupa menanyakan namanya menyajikan makanan yang khas dan unik dari bilangan kawasan Sulawesi Tenggara. Saya tergoda melihat bentuk kerucut putih mirip gunung, kasuami gunung namanya. Jangan salah walaupun namanya mengandung kata suami, tidak ada kaitannya kok, mudah diingat ketika pertama kali jumpa. "Kasuami itu banyak sebenarnya macamnya, tapi yang laku dan dijual di sini hanya kasuami gunung, sudah paling mantap itu kaka," kata mama penjual kasuami ketika saya tampak penasaran melihat-lihat jenis makanan unik satu ini. Cara pembuatan tepung kasuami pun ternyata sangat mudah. Pertama kali, singkong atau kasbi diparut hingga halus. Setelah halus dimasukkan ke dalam wadah kantung plastik atau karung yang bersih. Kemudian ditekan dengan kayu atau batu untuk mengeluarkan airnya. Biarkan dulu mengering hingga semalam. Biasanya kalau banyak airnya masih agak sedikit masam, tapi kalau sudah kering betul rasanya manis dan harum.
Kisah Prakarsa
143
"Untuk membentuk kasuami gunung, caranya singkong atau kasbi yang telah halus tadi dimasukkan ke dalam wadah anyaman dari daun kelapa berbentuk kerucut kemudian dikukus. Setelah matang baru disajikan," tambah mama penjual sembari memilihkan beberapa kasuami untuk saya bawa pulang ke sekretariat. Untuk harga satu kasuami ukuran besar cukup merogoh kocek Rp10.000,00, terkadang saya diberi potongan apalagi setelah banyak bercerita dengan mama penjual. Paling pas kalau disantap bersama jodohnya, ikan bakar panas nan segar. Bulan tampak tersenyum melihat seorang anak manusia makan kasuami dan ikan bakar dengan lahapnya. Sudah lega sepertinya cacing-cacing di perut, mungkin sudah tertidur pulas ditelan kudapan malam yang mengenyangkan. Nah, kalau kebetulan mampir ke Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, jangan lupa mencicipi kasuami dan ikan bakarnya di kawasan pelabuhan ya. Katong tunggu di Saumlaki!
144
Kisah Prakarsa
Negeri Rawa-rawa itu Bernama Kimaam
A KOBIT ASAN AMAN
Om yang pasang desalinasi tempo hari itu Pak punya suku, dari NTT. Dia bagus sekali. Orang di Kalilam sampe mo menangis pas dia pamit.
B
ahkan di hari ketika melapor diri, saya sudah diberikan standar yang cukup tinggi oleh seorang kepala bidang di salah satu OPD yang berkaitan dengan program pendampingan saya. Saya hanya tersenyum diplomatis dan bergumul hebat dengan pernyataan tersebut sesudahnya. Apakah ini motivasi? Boleh jadi. Optimisme dan semangat pengabdian yang sempat bergairah itu perlahan memudar. *** Ya, saya menjadi fasilitator lapangan pada PRAKARSA, Program Pendampingan Efektivitas Sarana dan Prasarana di Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT) Berbasis Masyarakat, sebuah program pemberdayaan masyarakat kerjasama Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) dan Destructive Fishing Watch (DFW). Saya memperoleh lokasi tugas di kampung (desa) Kisah Prakarsa
145
Kalilam yang kerap disebut Batu Merah. Adapun kampung ini terletak di Pulau Kolepon, Kabupaten Merauke. Negeri yang asing. Itulah gambaran awal sewaktu mendengar nama lokasi tugas saya. Tentang Merauke sebagai kabupaten paling timur Indonesia, saya tahu itu. Juga pernah saya membaca sejarah Boven Digul, kabupaten di sebelah utara Merauke yang namanya kerap disebut dalam pelbagai buku sejarah republik sebagai tempat buangan. Namun mengenai Pulau Kolepon, sedikitpun saya tak tahu menahu tentangnya. Ketika pertama kali menjejakkan kaki di pulau tersebut pada medio April 2016, saya mengenal pulau ini sebagai negeri yang terlupakan. Betapa para penduduk pulau tersebut hidup dalam segala keterbatasan, kekurangan sumber air bersih, infrastruktur dasar yang teramat minim hingga pada cara pandang yang sangat berbeda. Gambaran utuh Pulau Kolepon adalah nusantara mini dengan sebuah hikayat kontradiktif yang terus menggelayut di benak siapa saja yang pernah singgah; negeri mahakaya dengan sumber daya alam melimpah namun rakyatnya masih hidup berkubang keterbatasan. Pulau Kolepon merupakan salah satu pulau-pulau kecil terluar (PPKT) Indonesia yang terletak di wilayah Kabupaten Merauke, Propinsi Papua. Luas wilayah pulau ini ialah 14.898,66 km2 dan berbatasan dengan Negara Australia. Meski memiliki nama resmi Pulau Kolepon, namun pulau ini sering disebut pada literatur lain dengan nama Yos Sudarso, Dolok, Frederick Hendrick atau Kimaam. Nama terakhir adalah sebutan paling populer buat masyarakat setempat. Mayoritas dari mereka bahkan menjadi bingung bila dikatakan bahwa pulau yang mereka huni ternyata memiliki beberapa nama lain.
146
Kisah Prakarsa
Pulau Kolepon terbagi atas empat distrik (kecamatan) yakni Distrik Kimaam, Distrik Waan, Distrik Tabonji dan Distrik Ilwayab (hanya satu kampung yang berada di pulau ini). Dari keempat distrik tersebut, hanya Distrik Kimaam yang memiliki akses transportasi paling baik sebab terdapat transportasi reguler yang menjadi penghubung pulau ini dengan Kota Merauke. Akses dari dan ke Pulau Kolepon dapat ditempuh melalui laut dan udara melalui Kimaam. Jika melalui akses laut, pelayaran dapat ditempuh selama 14-18 jam dengan kapal perintis atau kapal feri. Patut diingat juga bahwa akses ini tak dapat ditempuh apabila kondisi perairan Laut Arafura tidak bersahabat. Sementara jika akses udara yang hendak dipilih, perjalanan akan menghabiskan 45 menit waktu dengan menggunakan jasa maskapai penerbangan perintis. Rute penerbangan ini dibuka satu kali setiap harinya tiap hari Senin hingga Kamis dan kadang-kadang tersedia extra flight pada hari Jumat. Letak Kalilam atau yang kerap disebut Batu Merah, kampung yang menjadi lokasi tugas saya berjarak 12 km dari Kimaam, pusat distrik. Perjalanan dari Kimaam ke Kampung Kalilam dapat ditempuh melalui jalur laut dan darat. Untuk jalur laut, warga biasanya menggunakan speedboat, longboat (sampan yang dilengkapi mesin tempel) atau kole-kole (sampan). Perjalanan dari Kimaam ke Kalilam akan dimulai dengan melintasi Sungai Ndambu yang panjangnya adalah 8 km dan keluar di muara sungai yang bersebelahan dengan Dermaga Kimaam, lalu rute ini akan melewati Selat Mariana sejauh 4 km ke arah barat sebelum tiba di Kampung Kalilam. Akses menuju Kalilam juga dapat ditempuh lewat jalan darat. Tidak adanya transportasi reguler membuat kita harus mencari ojek di Kimaam yang jumlahnya masih sangat terbatas. Adapun ruas jalanan yang menghubungkan KimaamKalilam baru diaspal sepanjang 8 km dari arah Kimaam dan 2 Kisah Prakarsa
147
km lainnya (pembetonan) dari arah Kampung Kalilam. Itu berarti ruas jalan yang belum diaspal adalah sejauh 2 km yang mana tidak bisa dilewati saat musim penghujan mengingat daratan Pulau Kolepon didominasi oleh bentangan rawa-rawa. Karena itulah, orang-orang di daratan Pulau Papua menyebut orang Kolepon sebagai suku Bob Anim, suku Marind yang menghuni tanah rawa-rawa. Kampung Kalilam merupakan sebuah kampung yang baru didirikan pada tahun 1972 seiring program penataan kampung di seluruh wilayah Provinsi Irian Jaya kala itu. Penduduk aslinya berasal dari beberapa kampung terpisah yakni Kawe, Wetaw, Sibenda, Wanggambi dan Kalilam yang terletak nun jauh di sebelah barat Pulau Kolepon. Karena berasal dari kampung yang berbeda, tidaklah mengherankan kalau sering terjadi konflik horizontal yang berlatarbelakang asal kampung. *** Pada hakikatnya, program pendampingan PRAKARSA adalah sebuah upaya untuk mewujudkan kemandirian masyarakat PPKT. Selain berorientasi pada perubahan cara pandang, program ini juga sebetulnya sedikit mempertipis kadar diskriminasi negara terhadap PPKT. Ya, PPKT sebagai garda terdepan bangsa sudah waktunya mendapat porsi pembangunan yang seharusnya menjadi hak mereka. Hingga kini tercatat sudah tiga jenis bantuan yang dihibahkan oleh KKP kepada masyarakat Kampung Kalilam. Yang pertama adalah satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (kerjasama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral), lalu Keramba Jaring Apung (KJA) dan desalinasi air bersih. Sayangnya, KJA akhirnya dipindahkan ke kota Merauke
148
Kisah Prakarsa
karena perairan Kalilam ternyata tidak cocok untuk lokasi budidaya ikan. Sementara itu PLTS dan desalinasi berjalan dengan lancarnya dan telah sangat signifikan membantu kehidupan masyarakat Kalilam. Setiap rumah diterangi oleh nyala listrik (kurang lebih tiga tahun) di mana anak-anak dapat belajar dengan nyaman. Selain itu, musim kemarau tidak lagi menjadi momok yang menakutkan selama peralatan desalinator masih dalam kondisi normal. Ketua Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) Sebastian Awy (46 thn) pada sebuah kesempatan pernah berujar bahwasanya PLTS dan desalinasi ini merupakan berkat dari Tuhan melalui orangorang kementerian. Selain beberapa jenis barang yang dihibahkan di atas, KKP juga membangun satu paket jetty apung di Distrik Waan. Metode pemberdayaan yang diusung oleh program PRAKARSA menitikberatkan substansi program pada perubahan mindset dan perilaku masyarakat. Pendekatan ini, melalui asas kesetaraan, partisipasi dan keberlanjutan, telah memberi ruang kepada masyarakat lokal untuk bersama-sama dengan fasilitator merumuskan isu pembangunan. Dalam setiap kesempatan, saya selalu berusaha menyuntikkan kesadaran serta berdiskusi bersama mengenai tantangan dan harapan masyarakat Kalilam. Sayangnya, karena 35 % warga kampung Kalilam berdomisili di luar kampung, intensitas pertemuan dengan mereka tidak sebanyak warga yang tinggal di kampung. Untuk diketahui bahwa beberapa masyarakat Kaliam membangun befak (rumah sementara) di kompleks dermaga Kimaam dan menetap di sana. Ada juga yang berburu ke hutan selama berhari-hari untuk mencari rusa, babi hutan atau ikan. Beberapa anggota kelompok menganut pola hidup seperti ini sehingga mereka jarang terlibat aktif ketika ada FGD, kerja bakti atau forum kampung lainnya.
Kisah Prakarsa
149
Pulau Kolepon tak hanya subur di daratan, hasil lautnya sungguh menakjubkan. Selat Mariana dan laut di sekitar Kalilam sangat kaya akan aneka ikan; ikan kakap putih, kakap cina, gulama dan kurau adalah beberapa komoditas andalan. Tidaklah berlebihan kalau saya menyebut bahwa citarasa ikan kakap Selat Mariana tidak memiliki tandingan. Adapun penduduk Kalilam hanya mencari ikan untuk sekedar dikonsumsi hari itu saja. Apakah karena laut mereka sangat kaya akan ikan sehingga mereka hanya melaut saat butuh? Atau pula karena armada tangkap mereka sangat sederhana? Kalaupun mencari ikan, mereka hanya mengambil gelembungnya saja untuk dijual mengingat harga gelembung ikan sangat mahal; terkadang kita menjumpai bangkai ikan yang terapung ketika melintasi selat Mariana. Tidak adanya pasar serta minimnya kapal pembeli ikan membuat mereka terpaksa membuang badan ikan begitu saja. Pernah ada perusahaan ikan di Wanam yang terletak di seberang Pulau Kolepon di mana para nelayan biasa menjual ikannya di sana. Sayangnya setelah ketiadaan perusahaan tersebut, kapal pembeli ikan yang disiapkan oleh pemerintah masih jauh dari kata cukup. Warga Kalilam juga banyak bertani. Sebagian dari mereka menanam padi, sebagian lainnya terus mengandalkan sagu sebagai makanan pokok. Penduduk Kalilam juga gemar berburu. Mereka berburu rusa atau babi hutan untuk dijual ke pengumpul di Kimaam. Tingkat kesadaran pendidikan masyarakat Kalilam cukup rendah. Hal ini terlihat jelas dalam keseharian mereka. Tidak sedikit putra putri Kalilam yang putus sekolah atau bahkan tak pernah menempuh pendidikan dasar karena harus mengikuti orang tua mereka tinggal di kebun atau di dermaga. Saat
150
Kisah Prakarsa
beranjak remaja, mereka sudah harus menikah. Fakta yang membuat kita merasa miris. *** Terdapat dua kelompok binaan yang saya dampingi yakni Tim Pengelola Listrik Desa (TPLD) yang bernama Wen Weh dan Kelompok Masyarakat Pengelola (KMP) desalinasi yang bernama Wer Fri. KMP Wen Weh tidak lagi berjalan aktif sehingga salah satu tugas saya adalah merestrukturisasi organisasi ini. Kelompok ini menyisakan satu orang anggota saja yaitu Alfons Maria Baren yang berkapasitas sebagai teknisi atau operator. Tua Alfons, sapaan akrabnya, telah bekerja sendirian merawat PLTS selama kurang lebih beberapa bulan dengan ikhlas (tua adalah sapaan akrab terhadap pria yang lebih tua di Kalilam). Pada 24 Juli 2016, pemerintah kampung menggelar rapat bersama masyarakat di rumah kepala kampung dengan salah satu agenda adalah tentang keberlanjutan pengelolaan PLTS. Keputusan rapat mewajibkan masyarakat untuk membayar tunggakan iuran dan menegaskan pengelola PLTS untuk kembali mengaktifkan diri. Sebagai salah satu bukti dukungan pemerintah kampung, Kepala kampung bahkan menegaskan bahwa pihaknya akan memotong dana kampung pada item upah kerja pembersihan jalan dan saluran pembuangan dan upah tersebut akan dialihkan ke kelompok pengelola PLTS. Satu hal yang pasti, hasil rapat tersebut tak pernah dijalankan. Situasi berbeda justru terlihat pada kelompok desalinasi. KMP Wer Fri memiliki manajemen organisasi yang amat bagus. Meski hanya tiga sampai empat anggota yang aktif (dari enam personil), aktivitas kelompok yang dipimpin oleh Ladis
Kisah Prakarsa
151
Mbarawa ini cukup mengagumkan. Mereka bahkan sudah membangun mitra bisnis hingga ke kampung Kimaam, pusat distrik. Selain itu juga mereka bahkan berencana untuk membuka kios guna menjual pinang dan kopi serta menyasar dermaga Kimaam sebagai target pasar. Segalanya berjalan lancar hingga komponen ae sollarcell mengalami gangguan pada Agustus 2016. Produksi pun terhenti dan masyarakat kembali kekurangan air minum. Tak hanya mendampingi kelompok binaan, saya juga pernah mengajar di sekolah dan mengelola taman baca mini bersama anak-anak SD di rumah singgah. Taman baca mini yang dirintis oleh Aksi Tepian Negeri (ATN) ternyata sangat bermanfaat bagi generasi muda Kalilam. Banyak diantara mereka sangat bersemangat membaca dan menanyakan sesuatu bila tak dipahami. Meski terkadang beberapa dari mereka hanya datang dan mengobrol saja namun mereka sangat piawai ketika diminta bercerita. Satu hal yang menarik adalah turut bergabungnya para pemuda dan beberapa orang tua ke taman baca mini kami. Di Kalilam, roda pemerintahan kampung lebih banyak dijalankan oleh sekretaris kampung sebab kepala kampung lebih sering berada di luar daerah. Fungsi kontrol terhadap aktivitas KMP yang kepala kampung miliki tak pernah dilakukannya mengingat dirinya selalu berada di kota Merauke. Sepanjang delapan hingga sembilan bulan masa pengabdian fasilitator, ia baru satu kali ke Kalilam. Beberapa kali ketika ditemui di Merauke, beliau menuturkan bahwa dirinya mesti berada di kota guna mengurus dana kampung (dana desa). Mengurus dana kampung selama berbulan-bulan? Jenis jawaban yang menarik dari seorang kepala kampung.
152
Kisah Prakarsa
Saat berada di kota, saya dan kepala kampung rutin berkoordinasi dengan pihak Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) untuk intervensi anggaran dana kampung terhadap kepentingan kelompok serta koordinasi pembentukan Badan Usaha Milik Kampung. Pihak BPMK pada awalnya mengatakan bahwa dana kampung bisa digunakan untuk pemeliharaan aset PLTS serta biaya operasional pengelola namun pada akhirnya rencana ini gagal sebab terbentur regulasi. Agar desa dapat melakukan pembiayaan, aset dimaksud harus terlebih dahulu menjadi milik desa. Tentunya hal ini menjadi pelajaran semua pihak ke depannya agar hibah PLTS sebaiknya langsung diserahterimakan ke pihak yang bersedia bertanggungjawab atas keberlangsungan aset dimaksud. Pada tataran ini, pihak desalah yang paling mampu menunjukkan komitmen dan tanggung jawab terhadap wacana dimaksud. Saya juga rutin berkoordinasi dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) serta Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kab. Merauke. Terima kasih kepada pihak DKP yang telah begitu kooperatif. Mereka sudah mengalokasikan anggaran untuk pembuatan pagar, pembelian galon air minum serta perlengkapan lainnya. Apresiasi yang luar biasa terhadap Bu Martha Bayu dan jajarannya yang amat peduli terhadap masyarakat pesisir. Juga kepada pihak Distrik Kimaam yang telah banyak memberikan support. Konsep pemberdayaan masyarakat harusnya dijauhi dari iming-iming rupiah. Sebagai ekspresi rasa syukur dan bentuk kebersamaan, tentunya makan pinang bersama, merokok dan minum kopi bersama adalah sebuah keharusan. Di Merauke, hal ini dikenal dengan istilah lima sila (sirih, pinang, kapur, gambir, tembakau). Sangat disayangkan kalau ada lembaga atau yayasan tertentu yang memanjakan masyarakat dengan menghamburkan banyak uang; hal yang menyebabkan pikiran Kisah Prakarsa
153
masyarakat akan terpola bahwasanya tenaga fasilitator atau siapapun yang datang dari kota adalah sumber duit. Karenanya, pihak yang hendak mengadakan kegiatan di masyarakat tidak boleh memanjakan masyarakat dengan memberi uang secara berlebihan. *** Saya pernah menghadapi sebuah permasalahan ketika beberapa warga Kalilam tanpa izin mengambil beberapa buah jangkar Keramba Jaring Apung (KJA) dan menjualnya ke kapal barang. Seperti diketahui bahwa peralatan KJA tersebut akan dipindahkan ke kota Merauke; sebagian peralatan sudah dipindahkan namun sebagiannya belum sempat diangkut karena masih menunggu kedatangan kapal. Pada akhirnya kami dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan pihak lain; aparat kampung dan beberapa penduduk setempat berusaha meyakinkan saya agar melaporkan hal ini kepada pihak Batalyon Infantri (Yonif) Yalet 755 Merauke di Kimaam. Perlu diketahui bahwa Yonif Yalet adalah satuan khusus prajurit yang biasanya diperbantukan di daerah tertentu seperti perbatasan negeri. Adapun Yalet terkenal akan ‘kefektifannya’ dalam menjaga kemanan pulau dan sangat ditakuti oleh masyarakat seantero pulau Kolepon karenanya. Beberapa warga Kalilam pernah menuturkan bahwa mereka ‘tidak takut’ tehadap aparat kepolisian dan pihak Koramil, namun terhadap Yalet, mereka angkat tangan. Karenanya, saya lebih memilih untuk menyelesaikan persoalan ini dengan pendekatan saya sendiri; mungkin terdengar sedikit naif namun jika saya melaporkan hal ini ke pihak militer maka terang saja persoalan baru akan timbul nantinya. Apapun itu, saya masih memegang prinsip bahwa perubahan cara pandang
154
Kisah Prakarsa
haruslah lahir dari kesadaran, bukan dihantui oleh rasa takut atau paksaan. Meski terdapat kehebohan yang menyita atensi seantero dermaga Kimaam, setidaknya kami dapat menghindari perkelahian fisik sebab massa yang hadir sangat banyak. Perdebatan panas yang tersaji pada siang dan sore di hari itu, 22 Juni 2016 menyisakan kenangan dan pelajaran yang amat berarti. Saya lantas banyak memberi harapan kepada warga setempat agar dapat menumbuhkembangkan sense of belonging terhadap sarpras umum. *** Mengenang Kalilam berarti mengenang moment di mana saya tiba pertama kalinya di kampung tersebut dengan berjalan kaki sendirian sejauh 5 km. Ban sepeda motor milik aparat distrik yang menghantar saya bocor di tengah jalan; beliau kembali ke Kimaam dan saya, yang tak henti-hentinya mengagumi rimba nan indah, dengan penuh semangat mengayunkan langkah menuju Kalilam. Mengenang Kalilam juga berarti mengenang malam terakhir di sana ketika saya dan Om Markus (seorang guru SD yang menghantar saya) harus berjalan kaki dan mendorong sepeda motor sejauh 6 km menuju Kimaam karena bannya pecah. Sebuah kebetulan yang takkan mungkin terlupa. Mengenang Kimaam berarti mengenang bising nyamuk dan nyanyian kodok pada malam hari, juga manis senyuman yang dilumuri merah pinang serta hitam ampas kopi rusa. Mengenang Kimaam berarti mengenang tembang Mitha Talahatu atau lagu folk Papua New Guinea. Kimaam, negeri rawa-rawa yang awalnya begitu asing namun pada akhirnya terasa begitu dekat di hati.
Kisah Prakarsa
155
Saya lalu teringat kisah mengenai mandor proyek desalinasi dari Manggarai Flores yang begitu disenangi oleh warga Kalilam; kisah yang dituturkan oleh seorang pegawai di lingkup sebuah stakeholder sewaktu saya melapor diri. Apakah saya sudah mencapai standar yang beliau maksudkan? Entahlah. Saat kapal feri KMP Muyu yang saya tumpangi menyusuri perairan Selat Mariana untuk terakhir kalinya, saya lantas naik ke buritan kapal dan hanya bisa berucap terima kasih. Saya yakin burung-burung camar yang terbang di sekitar buritan kapal mendengar ucapan tersebut dan meneruskannya. Kalaupun burung-burung itu tidak mengabarkannya, angin tentu tak akan mengabaikannya.
*PLTS Kalilam berhenti beroperasi sejak pertengahan tahun 2017. Yang rusak cuma inverternya. Hanya karena persoalan remeh temeh tentang status kepemilikan aset, malam-malam di Kalilam tak lagi diterangi nyala listrik.
156
Kisah Prakarsa
Destructive Fishing Watch Indonesia