1 minute read

MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

BAGIAN EMPAT

MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

Advertisement

Berdasarkan hubungan yang akrab dengan orang-orang Jawa dan kerabat mereka, saya sangat yakin bahwa mungkin ada sebuah kompromi antara Islam dan humanisme di Indonesië dan, berdasarkan pengamatan terkini, saya tidak berani menyangkal adanya kemungkinan yang sama untuk Turki dan Mesir.1 (Snouck kepada Nöldeke, Juni 1909)

Tiga bab terakhir mengamati Snouck yang tengah bekerja di Belanda, Arabia, dan Hindia, serta memberikan ulasan mengenai berbagai kritik dan intervensinya. Berdasarkan pembacaan atas laporan-laporan misionaris, Snouck mempertanyakan nilai teks-teks yang dihasilkan para rival metropolitannya yang berorientasi yuridis, dan dia bertekad untuk memimpin dengan teladan, dari lapangan, sebuah usaha mengubah orientasi Islamologi sehingga bisa bermanfaat secara langsung bagi negara. Sejak saat itu, otoritas kolonial memiliki seorang cendekiawan yang bisa mereka manfaatkan, yang bisa memberikan jembatan menuju berbagai tempat dan orang yang dulu dibayangkan berada di luar kemungkinan penyelidikan terperinci. Yang sangat penting adalah perumusannya kembali terhadap posisi tarekat-tarekat Suf dalam masyarakat Hindia karena hal ini memberinya kontak berharga dengan para kritikus yang berpikiran sama terhadap praktik rakyat di kalangan elite muslim, yang melihat adanya keuntungan dalam kerja sama dengan negara yang mengakui mereka sebagai kekuatan untuk pemerintahan yang efektif. Namun, pelayaran tidak selalu mulus bagi sang Orientalis ternama ini. Pada akhir masa jabatannya di Hindia, Snouck menghadapi kritik dari kelompok muslim muda yang berorientasi pada ibu kota intelektual baru. Barangkali yang lebih buruk baginya, kian banyak pejabat Belanda yang tidak menyukai apa yang mereka anggap sebagai kebijakan-kebijakan yang terlalu memberi hati yang mereka khawatirkan berpotensi menciptakan kesetaraan sosial antara orang-orang Eropa dan pribumi.

This article is from: