49 minute read

12 Pengerasan dan Perpisahan, 1919–1942

Next Article
Simpulan

Simpulan

DUA BELAS

PENGERASAN DAN PERPISAHAN

Advertisement

1919 – 1942

Tidak semua unsur gerakan nasional se-“modern” (atau sesabar) Kaum Muda Sumatra. Pada 1916 Sarekat Islam cabang Padang yang baru saja didirikan segera terpecah antara para pewaris Ahmad Khatib dan mereka yang berafliasi dengan elite tradisional dan para sekutu Suf (baru) mereka yang dipimpin Khatib ‘Ali yang Naqsyabandi.1 Dua insiden membuat kaum Etisis Snouck terluka dan terbunuh pada 1919. Yang pertama, kunjungan perwakilan Sarekat Islam untuk “Pulau-Pulau Luar”, Abdoel Moeis (1883–1959), ke Sulawesi pada Mei menimbulkan pemogokan menentang kerja paksa dan pembunuhan Kontrolir di Toli-Toli, J.P. De Kat Angelino. Kemudian, pada awal Juni, seorang guru kecil dari Garut dan beberapa anggota keluarganya ditembak di rumah mereka setelah menolak permintaan Asisten Residen untuk mengirim beras.2

Perincian insiden yang terakhir, yang kadang dikenal sebagai Peristiwa Garut, segera diperdebatkan, terutama jumlah para pengikut sang guru, Haji Hasan dari Cimareme, dan apakah mereka merencanakan serangan terhadap para serdadu pemerintah di luar rumah. Di satu pihak, komandan Belanda yakin bahwa para penduduk menyiapkan diri untuk menyerang. Di pihak lain, para saksi mengklaim bahwa mereka sedang melantunkan dzikr tarekat.3 Namun, meski dirinya adalah pengamal dzikr, Haji Hasan paling banter memiliki hubungan tak langsung dengan apa yang belakangan oleh para pejabat disebut “Seksi B” (Afdeling B) dari cabang Sarekat Islam di Ciamis, yang dibentuk setelah gerakan tersebut menyebar ke Dataran Tinggi Priangan dan, seperti di Padang, merekrut anggota jaringan tarekat yang lebih tua yang sekarang menyadari bahwa lebih praktis menyusupi SI ketimbang memeranginya. Seorang Suf, Haji Samsari dari Tasikmalaya, mengklaim bergabung dengan Sarekat Islam pada 1917 karena program kemajuannya terlihat menikmati restu pemerintah. Namun, dia mengeluh bahwa cabang tersebut menjadi radikal setelah pada 1919 Ciamis dikunjungi Sukino dari

Batavia dan dua orang syekh; penjual azimat Haji Sulayman dari Cawi dan Haji Adra‘i sang pewaris Muhammad Garut yang dijumpai Snouck pada 1889.

Afdeling B saat itu dibentuk oleh Sosrokardono. Dia mendeklarasikan anggotanya adalah tentara Sarekat Islam yang bertekad meraih kembali kemerdekaan. Samsari kemudian diberi tahu oleh Haji Sulayman bahwa Afdeling B disiapkan untuk merebut kendali atas rakyat Jawa “sehingga kemerdekaan kita berada di tangan kita sekali lagi .... Dan, jika kita menguasainya, kita bisa menentukan hukum negeri ini sekali lagi”.4 Berbeda dari Samsari, Haji Hasan hanya membeli azimat dari Sulayman; azimat yang gagal melindunginya seperti yang secara menyedihkan dicatat oleh beberapa orang dalam surat kabar Melayu. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum (menjabat 1916–21), yang juga dikirimkan kepada Volksraad (sebuah parlemen simbolis yang didirikan pada 1918), Hazeu mendapati bahwa Haji Hasan sekadar berusaha mempertahankan tanahnya agar tak dirampas oleh Wedana, yang didukung oleh Bupati yang angkuh. Oleh karena itu, Hazeu menyarankan agar para pejabat pribumi yang terlibat dalam penyerangan tersebut dipecat. Adapun para pengawas Eropa mereka, terutama J.L. Kal, sang Asisten Residen yang telah memerintahkan tembakan yang membunuh orang-orang desa, disarankan mendapat teguran karena tidak melakukan pengawasan dengan pantas.5

Agoes Salim turut bergabung. Dia menulis berbagai peristiwa secara saksama dalam surat kabarnya Neratja, yang diperbanyak di sebuah percetakan yang semula disubsidi oleh Biro Pustaka Rakyat. Semula dia menyebut baik pejabat Toli-Toli yang terbunuh dan Haji Hasan sama-sama sebagai korban dari sebuah sistem kolonial yang kaku. Dia menyambut penunjukan Hazeu sebagai penyelidik, dan mengecam pengkhianatan para penyedia azimat. Lagi pula, tegas Salim, seorang syahid sejati ingin mati demi agama dan bangsanya sehingga secara logis seharusnya tidak menggunakan azimat pelindung. Dia juga menyerupakan orang-orang Belanda yang teguh memerangi bangsa Spanyol pada abad keenam belas dengan orang-orang Jawa, Lombok, dan Aceh yang memerangi Belanda pada abad kesembilan belas.6

Tjokroaminoto berusaha menenangkan keadaan sembari mengenalkan sudut pandang pribumi kepada khalayak Belanda. Dia menyatakan dalam sebuah surat kabar liberal:

Kami dengan senang hati menghendaki kerja sama dari unsur-unsur Eropa yang bermaksud baik kepada kami, walaupun saya tidak berani menjamin apakah ini bisa memiliki dampak pada surat kabar kami. Saya sendiri dengan senang hati akan bekerja untuk tujuan ini, meskipun ada beberapa faktor yang berperan berada di luar kendali saya. Pada tahun-tahun belakangan ini terdapat kampanye dalam berbagai surat kabar Eropa menentang SI dan para pemimpinnya, yang tidak bisa tidak memunculkan sedikit kebencian yang pastinya bergema dalam surat kabar kami.7

Tak diragukan lagi sebuah kampanye tengah dijalankan atas perintah pabrik gula dan berbagai unsur dalam Pamong Praja. Koran-koran seperti Soerabaijasch Handelsblad menuduh Hazeu yang keras kepala telah mengabaikan Residen Kawasan Priangan yang aristokratis, L. De Stuers. Sementara itu, veteran Aceh H.C. Zentgraaf (1874–1940)—yang menjadi sebuah pemeo untuk cacian konservatif—mengklaim bahwa Hazeu memujimuji para pejabat yang ditunjuknya sendiri dalam birokrasi pribumi.8

Sementara itu, Socialistische Gids yang liberal mengungkapkan harapan bahwa peristiwa Garut memungkinkan Sarekat Islam untuk membersihkan diri dari berbagai unsur yang tak dikehendaki, dan terutama pembersihan yang tidak lagi bersifat simbolis:

Sebagaimana akan jelas bagi pembaca berbagai surat kabar, S.I. Afdeling B terutama didirikan oleh orang-orang yang lebih religius, yakni, mereka yang melihat, atau ingin melihat, S.I. lebih sebagai sebuah perserikatan kaum Mohammedan sejati yang membentuk, atau harus membentuk, sebuah benteng dari orang-orang dengan gagasan lain di negeri ini; mis., terhadap orang-orang Kristen dan para penganut Hindu. Ketika kita menyadari bahwa para anggota S.I. yang terkemuka menganggap “sarekat” lebih sebagai sebuah asosiasi nasional sehingga kedua kelompok tersebut, hingga saat ini, terus-menerus saling bertentangan di lubuk hati masing-masing; dan [ketika kita menyadari] bahwa pengaruh orang-orang Arab cukup besar terhadap kelompok yang pertama sedangkan para pemimpin terkemuka, seperti Tuan Tjokroaminoto, Abdoelmoeis, Hasan Djajadiningrat, dan rekan-rekan, hanya menghormati kelompok pertama ini karena takut terhadap pengaruh mereka atas massa yang besar dan ... karena uang, kita mengerti betapa besar makna perkara Garoet bagi seluruh gerakan S.I. Namun, sejak saat ini, kelompok orang-orang yang lebih murni harus melantunkan nada yang lebih tenang, dan gerakan ini harus melangkah maju ke arah yang lebih murni nasional.9

Akan tetapi, waktu yang menentukan dan ternyata menuturkan kisah yang sangat berbeda. Seperti setelah pemberontakan Gedangan empat belas tahun sebelumnya, Hazeu diabaikan. Pada November Van Limburg Stirum melemahkan berbagai rekomendasi Hazeu berdasarkan saran Direktur Pamong Praja yang baru dinaikkan pangkatnya, F.L. Broekveldt, yang menyatakan diri “bahkan lebih tidak berminat dibandingkan Residen De Stuers untuk mencari kambing hitam”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa Hazeu sekadar merangkum pendapat-pendapat “beberapa jurnalis”. Broekveldt bahkan menolak saran bahwa sang Wedana dan Bupati seharusnya mendapat sanksi, dan akhirnya diputuskan untuk menyelamatkan wajah kedua pejabat itu dengan mengalihkan hukuman kepada para pengikut Haji Hasan yang selamat.10

Beberapa pengamat sudah mengantisipasi putusan demikian. Dengan meningkatnya tekanan terhadap Sarekat Islam oleh para pejabat Belanda pada

September 1919, Salim mencatat bahwa orang-orang pribumi adalah satusatunya pihak yang dibuat seperti penjahat. Namun, dia masih bisa menikmati penangkapan Sosrokardono bulan itu, sementara mingguan liberal De Taak menawarkan analisisnya sendiri mengenai laporan Hazeu pada November. Disusun oleh “seorang humanis sejati” dan “seorang teladan pengetahuan dan objektivitas”, analisis itu menyatakan bahwa rakyat mencari seorang pahlawan ketika ditindas oleh pemerintah yang hanya sedikit memedulikan pendapat mereka. Dengan demikian, penawaran Hazeu adalah sebuah monumen tak disengaja yang didirikan di atas kuburan sang pahlawan Cimareme.11

Akan tetapi, dalam kenyataannya, peristiwa di Cimareme menandai kematian karier dinas Hazeu. Broekveldt telah mengusulkan Asisten Residen Brebes, sang veteran R.A. Kern (1875–1958), sebagai pengganti potensial untuk Kal, si pejabat yang gagal di Garut. Justru Kern segera mendapatkan tempat lebih terhormat di Kantor Urusan Pribumi ketika Hazeu yang sakit hati kembali ke Leiden sebagai profesor bahasa Jawa.12 Salim sendiri mengerahkan para pembacanya dan berusaha menyelamatkan Sarekat Islam dari kehancuran perlahan, pertama melalui Tjokroaminoto. Belakangan, Tjokroaminoto menjadi presiden organisasi ketika dia dan Abdoel Moeis pada 1921 menyerukan jalur keagamaan yang lebih “berdisiplin” dan memaksakan pengusiran orang-orang komunis dari eksekutif lembaga, CSI. Meski Rinkes gagal menahan laju Neratja dengan pandangan pro-Sarekat Islam-nya yang “radikal”, dia mampu menarik Salim dan Abdoel Moeis lebih dekat kepadanya dengan menawari mereka peranan dalam Biro Pustaka Rakyat.13

Sementara itu, orang-orang Arab tertentu terus bertengkar mengenai martabat yang harus diberikan kepada mereka, atau mengenai apakah mereka bisa dianggap peserta yang setara dalam perjuangan nasional. Seperti sudah kita lihat, sebagian orang merasa bahwa lelaki yang telah menyingkirkan nama “Arabisch” dari gelar resminya lebih menyukai kelompok Irsyadi dengan kerugian para sayyid ‘Alawi yang telah melayani Belanda dan Inggris dalam membentuk pengetahuan mengenai, dan dengan demikian kebijakan terhadap, Islam di kawasan. Banyak di antara orang-orang ini terhubung dengan berbagai silsilah awal reformisme di Nusantara, dan melanjutkan dialog mereka selama bertahun-tahun. Salah seorangnya adalah ‘Abdallah al-‘Attas, yang dijumpai Snouck di Jeddah pada 1884, dan tetap berada di sisi Jawi dari pemisah ini terlepas dari warisan ‘Alawi-nya. Yang lain adalah Muhammad Salim al-Kalali dari al-Imam, yang belakangan membantu H.J.K. Cowan muda (l. 1907) menafsirkan prasasti kuno Pasai.14

Hal serupa bisa dikatakan mengenai mantan kolega al-Kalali, Muhammad b. ‘Aqil, yang bersama dengan ‘Ali b. Ahmad b. Syahab menjadi penasihat terkemuka bagi Inggris di Batavia dan Singapura (seperti yang sangat diketahui Belanda). Keduanya bertanggung jawab untuk menyusun

daftar orang-orang Arab yang dicurigai digunakan Inggris untuk menghalangi gerak bebas orang-orang Irsyadi ke Hadramaut. Dalam daftar ini, Inggris menggambarkan Bin Syahab sebagai “orang Arab yang pertama-tama dan paling bisa diandalkan serta setia di Jawa”.15 Setelah Perang Dunia Pertama, W.H. Lee Warner di Singapura masih membacakan sebuah ceramah panjang yang sejalan dengan persepsi sayyid mengenai peran mereka yang seharusnya dalam mengarahkan Islam di Nusantara. TKNM, “meski tak dapat diragukan merupakan langkah cerdik”, telah gagal. Sementara itu, kekerasan lain bisa ditunjukkan sebagai akibat kelaparan (sebenarnya ditimbulkan oleh blokade Inggris pada masa perang terhadap Hindia yang netral) “orang-orang pribumi pada masa tekanan nasional yang menyedihkan”.

Andai materi semacam itu ditimbulkan oleh pengaruh murni Islam fanatik—tipe “jehad”—atau oleh pengaruh (yang kurang murni secara keagamaan, tetapi samasama gilanya karena berusaha memanaskan keadaan) orang-orang Arab terdidik yang unggul yang didukung oleh para agen penghasut Eropa, yakni ... oleh sang Said dengan api keagamaannya atau oleh sang Sjech tak bermoral, yang didukung oleh emas Jerman, pesta pembunuhan akan terjadi di mana-mana di seluruh bagian penduduk Belanda, terutama ketika kekuatan militer dan angkatan laut Belanda setempat sepenuhnya disusupi—sebagaimana yang terjadi—oleh kecenderungan Bolsyevik. Oleh karena itu, Belanda tampaknya bertekad untuk mengurangi, sebisa mereka, kekuatan unsur-unsur Arab (untuk memengaruhi pribumi di titik paling rentan seorang muslim, agamanya), dengan memanas-manasi berbagai perselisihan antarkelas Arab, terutama perselisihan-perselisihan yang muncul dalam program Al Irsyad. Belanda seperti halnya orang-orang Arab pendukung gerakan ini, merujuk pada “penghapusan berbagai perselisihan kelas yang lama”, bukan dengan sebutan yang sebenarnya, yakni memanas-manasi berbagai perselisihan itu hingga titik bakar sekadar dengan upaya untuk menghapuskannya. Pemerintah Belanda sangat mengetahui bahwa tak ada seorang Said pun akan menyerahkan hak-hak istimewanya tanpa pertarungan sengit.

Lee Warner, yang tidak menyadari kemungkinan bahwa Inggris sendiri yang memanas-manasi perselisihan tersebut, kemudian menuduh Hazeu “yang tergila-gila pro-Jerman” telah “melacurkan pengetahuannya yang tak diragukan mengenai berbagai perkara Islam” untuk membantu Manqusy dalam “rencana-rencana anti-Inggris”-nya dan demi “mempermalukan orangorang Islam penyokong Inggris yang paling hangat”. Padahal, tugas sejati Hazeu sebagai seorang pejabat Belanda seharusnya “untuk menenangkan, bukannya membantu perkembangan, berbagai potensi ledakan”.16

Bisa dinyatakan bahwa, pada 1919, Belanda dan Inggris telah memulai dua jalur sangat berbeda dalam memerintah rakyat Muslim mereka. Secara garis besar, Inggris lebih menyukai bantuan kelompok elite tepercaya dari masa lalu, sementara Kantor Urusan Pribumi dan negara Belanda (yang memilih

mengikuti Kantor tersebut) mengalihkan harapan kepada para pemimpin berbagai organisasi baru seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, dan berbagai badan seperti Jong Java dan Jong Sumatranen Bond untuk bertindak sebagai katup pelepas bagi uap nasionalis. Baru belakangan Inggris sepenuhnya menyadari seberapa jauh kebijakan-kebijakan mereka telah terputus oleh berbagai intrik Sayyid Bin Syahab dan Bin ‘Aqil. Namun, berbagai ramalan ‘Alawi tampaknya menjadi kenyataan ketika Hazeu dipaksa keluar pada 1920. Adapun W.N. Dunn di Batavia sangat optimis akan masa depannya di koloni, kalau bukan Akademi, tempat dia mengklaim bahwa sang mantan penasihat pastinya akan menemukan “peluang besar untuk menanamkan teori-teori berbahayanya ke dalam pikiran generasi masa depan para pejabat kolonial Belanda.”17 Dia juga melampirkan transkrip diskusi pada 29 Agustus 1919 antara Bin ‘Aqil dan Ajun Penasihat Schrieke yang diberinya pengantar dengan sebuah komentar mengenai para penasihat, yang “semula bermaksud melayani Pihak Berkuasa setiap kali muncul persoalan yang pelik mengenai agama”:

Penasihat seharusnya adalah orang terpelajar, bukan politisi. Hazeu melangkah terlalu jauh dan turut aktif berperan dalam urusan-urusan pribumi dan Arab. Dia berhasil memperoleh kepercayaan Gubernur Jenderal, yang sangat tidak berpengalaman dalam urusan-urusan oriental dan sangat mudah teperdaya oleh kepandaian sang pakar. Kontak langsung yang seharusnya ada antara pemerintah dan eksekutif sudah putus. Nasihat Hazeu lebih disukai ketimbang nasihat para Residen atau Direktur Pamong Praja dan, terdorong oleh keberhasilannya, dia melangkah begitu jauh hingga mencampuri urusanurusan lokal di berbagai distrik, sepenuhnya mengabaikan para pajabat yang berwenang, yang otoritasnya dihancurkan .... Di mata Hazeu yang berkecenderungan “etis”, semua yang dilakukan pribumi adalah baik dalam dirinya sendiri, atau setidaknya bisa dimaafkan. Namun, peristiwa Koedoes [sic] mengguncang kepercayaan Gubernur kepada Penasihat-nya, dan sejak saat itu pengaruh Hazeu mulai memudar. Ada anggapan bahwa pengetahuan teoretis sang “Penasihat” tidak bisa mengalahkan pengalaman orang yang berada di lapangan. Berbagai tindakan lebih keras diambil baik terhadap para “pembaharu” politik Eropa maupun pribumi, dan pendirian sang Penasihat perlahan mulai tak bisa dipertahankan.18

Dunn pastinya terkekeh ketika dia membaca tanya-jawab Schrieke dan Bin ‘Aqil, saat yang pertama konon terdiam menanggapi jawaban pihak kedua mengenai kurangnya dukungan kalangan elite Arab untuk Belanda. Ini adalah persoalan “simpati”, kata Bin ‘Aqil, bertanya (di antara hal-hal lain) apakah orang-orang Arab pernah “berusaha mengangkat senjata melawan orang Belanda”; atau “berusaha menciptakan revolusi atau bahkan turut serta bersama orang-orang pribumi dalam kegiatan revolusioner mereka”; apalagi “membentuk perkumpulan rahasia dengan tujuan menghancurkan kedamaian

negeri dan orang-orang Belanda”. Wawancara ini mestinya memanas ketika Schrieke menyatakan bahwa orang-orang Arab tidak mendukung Belanda.

B.A. Tuduhan itu tidak benar. Saya tahu tak ada satu bagian pun dari India

Belanda [sic] berhasil dikuasai otoritas Belanda tanpa bantuan para

SAID. Benar atau tidak? D.S. [Setelah diam sejenak] Ya, dalam banyak kasus. B.A. Sebagai balasan, apa yang sudah dilakukan Belanda untuk orang-orang

Arab umumnya, dan khususnya para SAID? [Di sini Dr. Schrieke tampaknya kebingungan dan berhenti menegaskan poin tersebut tanpa memberikan jawaban terhadap pertanyaan terakhir.

Sesaat kemudian dia menyatakan:] D.S. Orang-orang Arab memberikan simpati mereka kepada pemerintahpemerintah lain. B.A. Saya tidak mengakui mereka berbuat demikian. Namun, wajar jika seseorang menyukai siapa pun yang berbuat baik kepadanya dan membenci siapa pun yang berbuat jahat. Bagi yang berbuat baik kepada orang-orang Arab, tak diragukan lagi, mereka akan condongi dan dialah yang akan mereka cintai meski ini bukanlah kekhasan orang-orang Arab. D.S. Adakah cabang Masyarakat Al-Irsjad di Singapura? B.A. Tidak. D.S. Kenapa? B.A. Karena, Pemerintah Inggris selalu mengawasi dan tidak akan pernah membiarkan apa pun yang bisa menghasilkan dampak buruk untuk masuk atau bertahan di dalam negerinya. D.S. Bukankah tidak adil melarang pendirian sebuah cabang Al-Irsjad di sana? B.A. Akankah sebuah pemerintah yang beradab membiarkan suatu penyakit menular seperti kolera memasuki negerinya?

.... D.S. Al-Irsjad tidaklah seperti apa yang Anda yakini. B.A. Al-Irsjad seperti yang sudah saya jelaskan dan bisa dibandingkan penyakit menular. Jika melihat sejarah Hindia Belanda Timur, Anda akan menemukan bahwa persoalan di Padang yang merupakan penyebab hilangnya ratusan nyawa muncul dari sebuah gerakan yang karakternya mirip Al-Irsjad. Hal yang sama berlaku pada persoalan yang sekarang terjadi antara Nejd (kaum Wahabi) dan Hedjaz yang senjatanya sekarang sibuk bekerja demi menekan aktivitas kaum Wahabi. Pemerintah Inggris tidak membiarkan orang-orang semacam itu diterima sekadar untuk mencegah berbagai gagasan buruk dan aktivitas kaum Wahabi agar tidak berjaya. D.S. Apakah Anda khawatir akan ada pertempuran di antara orang-orang

Arab karena Al-Irsjad?

B.A. Tidak, karena para pemimpin Al-Irsjad adalah orang-orang dari suku para pembajak, pencuri, petani, kuli, dan badui, yang di tanah kelahiran mereka tidak bisa mengenakan pakaian seperti yang Anda lihat mereka pakai. Mereka sangat rendah dan menyadari berbagai kesulitan yang akan mereka hadapi. Mereka sepenuhnya tidak mampu menciptakan kesulitan apa pun berupa perkelahian. Mereka datang ke sini untuk tujuan yang sangat berbeda, meskipun, secara pasti, akan terjadi pemberontakan di kalangan pribumi karena pendidikan yang sekarang disebarkan oleh Al-Irsjad yang akan menciptakan perpecahan di kalangan diri mereka sendiri dan akhirnya akan menimbulkan pertumpahan darah. Pemerintah Belanda akan mendapati bahwa tugas paling sulit adalah memadamkan apinya, dan kemudian baru menyadari kenyataan bahwa mereka telah menciptakan persoalan ini dengan tetap diam dan pada saat ini memberikan dukungan pada gerakan Al-Irsjad. Ini harus dianggap sebagai kesalahan besar. Terkait dengan peristiwa sejenis ini, saya akan menunjukkan kepada Anda apa yang sudah menimpa Turki akibat membiarkan orang-orang jahat berbaur dengan pribumi negeri tersebut. D.S. [dengan penuh semangat] Anda tidak bisa mengatakan bahwa Pemerintah memberikan dukungan pada Al-Irsjad. B.A. Apa yang sudah saya jelaskan adalah fakta yang sangat diketahui oleh publik. Bagaimana tidak? Pemimpin gerakan itu adalah seorang pejabat

Pemerintah (Manggoesj)—seseorang yang sangat dihormati oleh

Pemerintah. Dia melakukannya di bawah pengawasan Pemerintah.

Bagaimana mungkin Pemerintah tidak mengetahui apa yang diketahui publik? Karena tidak puas, dia menyeret Konsul Jenderal Pemerintah asing (Turki) untuk mendukung maksudnya dengan membawanya dari satu tempat ke tempat lain. Aksi mereka pastinya mendukung kebenaran pernyataan saya bahwa Pemerintah peduli pada gerakan Al-Irsjad. D.S. [dengan mendesak] Anda tidak boleh berkata begitu. B.A. Apa gunanya Anda mendesak agar saya tidak mengatakan sebuah fakta yang diketahui oleh ratusan ribu orang?

Pada Juni 1920 Dunn menasihati Lord Curzon bahwa meski tak ada pengganti yang sudah ditunjuk untuk Hazeu, tiga Ajun Penasihat sudah dicalonkan; Kern, Hoesein Djajadiningrat, dan Schrieke. Dari ketiganya, Dunn menyatakan Djajadiningrat-lah “yang paling menarik”, mengingat dia dididik di Leiden, seorang doktor bahasa-bahasa oriental, dan terkenal sangat cakap. Namun, sayangnya Dunn mendapat informasi keliru mengenai kesetiaan Djajadiningrat. Sebagai “saudara Bupati Bantam yang merupakan turunan langsung para Raja Jawa Barat”, dia “sangat tidak menyukai Belanda”.19

Barangkali akan lebih adil jika dikatakan bahwa dia sangat tidak tertarik pada berubahnya sifat rezim yang akan berkuasa selama dua dekade lagi, sementara kebangkitan kembali Wahhabiyyah akan memberi amunisi tambahan bagi para sayyid yang menentang al-Irsyad dan bagi banyak pembaharu yang bersekutu dengan mereka. Perselisihan ini akhirnya menjadi begitu panas sehingga Schrieke ditugaskan mengawasi konfik tersebut di surat kabar serta menyusun sebuah laporan mengenai negara Hasyimi yang tengah berjuang yang umumnya didukung oleh para sayyid.

20

ISLAM DI BAWAH SEBUAH NEGARA INTOLERAN

Jabatan Penasihat untuk Urusan Pribumi menyiratkan bahwa seseorang memberi Pemerintah—Hindia Belanda dengan demikian Gubernur Jenderal— nasihat mengenai segala urusan, jika Gubernur Jenderal berkenan menerimanya. Apalagi pada hari-hari yang berhubungan dengan gerakan nasionalis dan segala manifestasinya serta berbagai urusan yang sepenuhnya muslim. Kita bisa membayangkan bahwa seorang gubernur jenderal dengan pemahaman dan simpati terhadap nasionalisme menganggap patut menerima nasihat demikian, sementara, di sisi lain, seorang gubernur jenderal lain, yang menganggap bahwa cara kerja yang tepat adalah dengan menjalankan negeri ini sebagai sebuah negara polisi sehingga tidak akan merasa perlu berkonsultasi dengan sang penasihat. Pada masanya sebagai penasihat, Gobée mengetahui kebenaran hal ini. Secara pribadi, dia selalu mendapat kepercayaan dari penduduk pribumi. Orang kaya maupun miskin tahu cara mendatangi kantornya. Dia selalu siap untuk mendengarkan keluhan dan cerita mereka untuk membantu mereka pada masa-masa sulit atau menunjukkan jalan bagi mereka.21 (R.A. Kern, obituari untuk E. Gobée, 1954)

Sejauh ini kita sudah mempertimbangkan berbagai tindakan yang diambil di Leiden, di bawah Snouck, menuju institusionalisasi kajian Islam. Tujuan Snouck adalah membekali para pejabat dengan sebuah pengetahuan dasar yang kukuh mengenai bahasa, hukum, dan mistisisme agar mereka bisa berperan sebagai penyokong yang murah hati terhadap hak-hak pribumi di negara kekuasaan Belanda. Snouck hanya mampu menghasilkan beberapa salinan pucat dirinya karena bekerja melawan arus resmi. Yang berbaris mengadang dirinya dan para pakarnya adalah para kritikus tangguh yang percaya bahwa kaum Etisis telah melahirkan mimpi buruk yang mengancam imperium tropis mereka. Dalam sebuah esai tuduhan yang melantur dan mengambil judulnya dari De stille kracht—(Kekuatan Tersembunyi), novel karya Louis Couperus mengenai ketakutan akan Islam dan orang-orang pribumi—mantan Konsul Jeddah yang sakit hati, Henny, menyiarkan berbagai spekulasinya yang dulu diabaikan mengenai Syattariyyah sebagai bukti bahayanya nasionalisme

Islam seperti yang disokong Snouck. Dia bahkan menuduh Snouck tidak menyadari bahaya yang dimunculkan oleh para tokoh seperti Kiai Krapyak, atau setidaknya orang-orang yang terdorong mengikutinya secara membuta seolah dia adalah seorang syekh Suf. Di antara banyak tuduhannya, kadang berdasarkan pembacaan selektif atas Mekka dan De Atjèhers, Henny lebih jauh menuduh bahwa sang penasihat kerap lebih memercayai orang-orang pribumi dan Arab yang meragukan ketimbang para Pamong Praja yang sudah lama dibuat prihatin oleh bahaya-bahaya yang mereka hadapi, pertama dari berbagai persaudaraan dan kemudian dari Afdeling B Sarekat Islam.22

Pada pertengahan ‘20-an kaum yang menyebut dirinya Etisis menerima kritik yang lebih banyak lagi. Di Belanda, pembalikan reaksioner menyaksikan pendirian sebuah sekolah pelatihan di Utrecht pada 1925 sebagai tandingan bagi kemapanan Leiden yang dianggap berada di bawah kendali seorang Arabis yang nyaris menjadi orang Arab.23 Sementara itu, beberapa pihak di Hindia menganggap putusan ‘Abd al-Ghafar, yang dulu tanpa cacat, untuk menikahi Ida Maria van Oort (1873–1958) sebagai bukti ketidaktulusannya, atau setidaknya sebagai langkah kembali ke agama Eropa-nya. Seorang koresponden untuk Djawa Tengah menyatakan bahwa Snouck mengaku menjadi seorang muslim sekadar untuk menulis buku-buku mengenai Islam. Sewaktu kembali ke Belanda, Snouck menikah sesuai ritual Kristen. “Dan, itu sudah benar,” katanya, “setiap orang sudah seharusnya mengangkat agama mereka sendiri.” Sebagai tanggapan, Darmo Kondo menyatakan, “Sekarang kita bertanya kepada diri kita sendiri, agama apa yang benar-benar sejati untuk orang Jawa? Menurut S.I. dan orang-orang pada umumnya, adalah Islam!”24

Selalu akan ada orang yang kegiatannya seolah hendak membuktikan bahwa Snouck sejak semula memang condong pada Kristen. Setelah menyelesaikan studi doktor di bawah bimbingan Snouck pada 1921 (mendiskusikan kembali teks Suf dari abad keenam belas yang kali pertama diedit oleh Gunning), Hendrick Kraemer (1888–1965) dipercaya oleh Masyarakat Injil Belanda untuk menyiapkan Injil terjemahan bahasa Jawa yang baru dan mengkaji berbagai perkembangan terbaru dalam Islam. Usaha pertamanya berbentuk laporan yang dikirimkan dari Kairo berisi tentang berbagai perkembangan terbaru di sana, termasuk manifestasi nada antikolonial yang lebih nyaring di kalangan para siswa.25 Laporan-laporan demikian tentu saja ditujukan untuk membantu misi. Ketika menduduki jabatan penasihat bagi Jong Java, dia memberikan kuliah-kuliah mengenai agama Kristen. Sebagian siswa mengungkapkan keinginan untuk mendapat lebih banyak kuliah mengenai Islam. Hal ini menimbulkan perpecahan dan terbentuknya Jong Islamieten Bond (JIB), yang surat kabarnya, Het Licht, mendaulat si orang Sumatra, Agoes Salim, sebagai penasihat utama. Surat kabar ini sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan gerakan Ahmadiyah di India

dan memanfaatkan karya-karya kesarjanaan Barat. Meski banyak hal bisa disimpulkan dari fakta bahwa karya Snouck Hurgronje dikutip dalam artikelartikel yang dikirim ke Het Licht, tak ada penerimaan yang pasif terhadap apa yang disampaikan olehnya dan para penirunya.26

Pemisahan kepentingan antara Belanda dan rakyat Muslim-nya semakin mengeras. Kraemer semakin tenggelam dalam tradisi tekstual Sufsme, menggambarkan Islam sebagai entitas Timur Tengah yang darinya orang-orang Indonesia secara efektif terasingkan. Dia melihat kaum Muslim Indonesia sebagai sebuah persoalan misi. Kraemer yakin bahwa para pemimpin elite kaum Muslim Indonesia—bahkan yang terdidik ala Belanda—menjelajahi asal usul agama mereka untuk menguatkannya di sebuah panggung yang mereka anggap berjangkauan global serta memperbaiki kegagalan mereka yang mencolok untuk memenuhi standar-standar yang sebenarnya. Tak diragukan lagi, para anggota muda Jong Islamieten Bond tidak antusias terhadap berbagai simpulan yang dicapai dalam volume pertama kuliahkuliah Kraemer untuk para guru Kristen, ketika dia mengatakan bahwa Islam yang terikat aturan dirancang untuk mendominasi dunia, sedangkan Kristen ditakdirkan untuk memperbaruinya.27

Para anggota Jong Islamieten Bond melaporkan dengan penuh semangat pendirian berbagai surat kabar persaudaraan, seperti Seruan Azhar di Kairo. Di sisi lain, mereka tetap tertarik pada apa yang disampaikan orang-orang seperti Kraemer mengenai evolusi mereka dari Sarekat Islam dan Muhammadiyah.28 Sebuah tajuk rencana Kasman menunjukkan bahwa berbagai asosiasi Islam sudah lama mengusahakan sebuah pendidikan yang didasarkan pada Islam sekaligus sejarah nasional yang juga memperhatikan “ilmu pengetahuan dan berbagai tuntutan zaman modern”.

Jika sekadar mengambil pandangan objektif terhadap sejarah kita, kita akan melihat bahwa tidak di mana pun, terlebih di pulau kita, Islam dipaksakan kepada rakyat melalui sebuah penaklukan. Begitu pula Islam tidak dibawa kepada kita oleh para imigran. Tak lebih dari sembilan orang yang membawa Islam ke sini. Berkat teladan mereka yang luar biasa, rakyat terbawa ke agama mereka yang membebaskan orang dari ketakutan serta penyembahan banyak roh dan dewa, yang membuat orang bebas dari sistem kasta yang membuat rakyat pribumi melihat diri mereka digolongkan sebagai kasta paling rendah, sementara dua kasta tertinggi disediakan untuk mereka yang datang dari seberang laut dan meraih kedudukan penguasa.29

Bagi Kasman, adalah tentara Jawa yang meruntuhkan kerajaan-kerajaan Hindu sebelum membanjirnya hegemoni Barat, bukan orang-orang Arab yang menurutnya tidak patut mendapat penghormatan istimewa. Akan jauh lebih baik bagi orang-orang Indonesia, pikirnya, mempelajari penyebab yang

telah mengubah sebuah bangsa padang pasir setengah liar menjadi bangsa yang menguasai dunia, dan menjawab tuduhan bahwa Islam melumpuhkan perempuan. Jauh lebih banyak ruang dalam Het Licht ditujukan untuk membela yang oleh para editor dirasa sebagai agama yang banyak diftnah, terutama dalam kaitannya dengan fatalisme yang dianggap dikandungnya. Seperti yang ditulis oleh seorang Tidar pada Juni 1926:

Orang Islam disebut fatalis. Wahai betapa sebuah kata yang hebat! Betapa sebuah kesalahan yang besar! Mereka lupa bahwa fatalisme tidak berada dalam Islam, tetapi dalam sang pribadi. Islam murni dan bebas dari fatalisme. Mereka masih mengacaukan Islam dengan sisa Hinduisme. Ya, orang-orang ini tidak ingin melihat Islam secara saksama. Mereka hanya tahu sedikit mengenai Islam, dan itu pun dari orang non-Islam yang sepenuhnya dikenal sebagai Islamolog seperti Snouck Hurgronje dan rekan-rekan. Orang-orang terpelajar ini tidak mengetahui kebenaran mengenai Islam, meski menguasai bahasa Arab.30

Lagi pula, seperti yang juga dicatat Tidar, musuh Nabi adalah para penutur bahasa Arab yang sempurna, tetapi mereka pun tidak mengenal karakter Islam yang sebenarnya. Para pemeluk Islam bukanlah hamba siapa pun, seperti yang ditunjukkan oleh contoh orang-orang Turki dan Maroko. Namun, ini tak berarti bahwa orang-orang Islam elite memutuskan semua komunikasi dengan Belanda, atau bahkan dengan para Islamolog. Sebuah ulasan mengenai ulang tahun pertama Jong Islamieten Bond secara antusias mencatat kehadiran Penasihat untuk Urusan Pribumi yang diundang selain banyak asosiasi—termasuk Jong-Java, Jong-Sumatranen Bond, Jong-Ambon, Studie-Club “Indonesia”, Muhammadiyah, Partij Sarekat Islam, Jam’iyyat alKhayr, dan Studie-fonds Kota Gedang—yang berkumpul untuk merayakan berbagai usaha mereka untuk memberikan manfaat bagi “Indonesia kita tercinta”.31

Pada 1926 terdapat partai-partai yang penting di panggung, bukan sekadar klub-klub. Kelompok komunis dan nasionalis sekuler perlahanlahan membangkitkan harapan rakyat dan memenangkan bagian terbesar dari perhatian mereka—dan, akibatnya, bagian terbesar pula dari perhatian pemerintah. Persidangan-persidangan pun digelar, dan mereka yang diputuskan bersalah melakukan penghasutan atau pelanggaran aturan sensor yang keras dipenjara atau diasingkan ke kamp-kamp seperti Boven Digul, di Nugini Belanda. Sedangkan bagi Islam dan pemerintah Hindia, kejutan terbesar barangkali muncul setelah usaha pemberontakan Komunis di Sumatra Barat dan Banten pada 1926–27. Setelahnya, ratusan orang akan kembali dapat melaksanakan ibadah haji secara relatif aman. Dalam kasus pemberontakan Sumatra Barat, Schrieke dipanggil lagi dan, pada 1928, memberikan sebuah penilaian mengenai berbagai peristiwa ini. Namun, Mekah yang didatangi

para pelarian pemberontak telah berubah. Dengan meninggalnya al-Zawawi, mengungsinya para syarif, dan kembalinya Wahhabi di bawah pimpinan Ibn Sa‘ud, terdapat ancaman yang jelas baik terhadap wibawa sayyid maupun praktik tarekat di segala sisi. Selain itu, banyak makam yang disucikan dari masa lalu rencananya akan dihancurkan. Di Hindia, kabar tersebut disambut dengan ketidakpercayaan. Penghapusan kekhalifahan oleh Majelis Nasional Turki telah menimbulkan jauh lebih banyak diskusi dan kampanye, berujung pada pembentukan utusan-utusan tandingan menuju Mekah dan Kairo untuk mewakili umat Muslim Hindia yang, ternyata, lebih bersatu daripada sebelumnya, meski hanya dalam arti bahwa mereka ingin memetakan masa depan tanpa kepemimpinan Arab.32

Sebagai bagian dari pergeseran ini, dan reaksi atas klaim kaum reformis bahwa mereka mewakili keseluruhan kepentingan Indonesia di Mekah, dan juga klaim Sayyid Bin ‘Aqil dan Hasan al-‘Attas bahwa mereka mewakili seluruh bangsa Asia Tenggara di Kairo, sebuah aliansi para kiai Jawa mulai membentuk sebuah komite mereka sendiri untuk dikirimkan ke Mekah.33 Maka, sebuah lembaga baru, “Nahdlatul Ulama” (NU), lahir di bawah bimbingan Hasyim Asy‘ari dari Tebuireng. Tapi, apa makna gerakan(-gerakan) baru ini bagi Asy‘ari? Dalam sebuah risalah eskatologis, yang diterbitkan bertahun-tahun setelah dia wafat, Asy‘ari menulis mengenai kemunculan “faksi licik” ‘Abduh dan Rasyid Rida pada sekitar 1912. Mereka dianggap menyerang Sunah yang disepakati oleh orang-orang besar masa lalu, khususnya praktik ziarah kubur serta dzikr. Namun, Asy‘ari tidak menjelaskan berbagai kekeliruan mereka secara mendalam. Dia mengarahkan perhatian pada penjelasan tradisional terhadap penyimpangan kaum pseudo-Suf dan Wujudiyyah, yang tetap merupakan ancaman terbesar bagi umat Muslim, yang dalam pandangannya sama dengan kaum Materialis dan Kristen (atau bahkan “Majusi” dalam hal ini).34

LEIDEN, KAIRO, DAN MEKAH

Pada 1927 Snouck secara resmi mundur dari jabatan guru besarnya di Universitas Leiden. Setelah bertahun-tahun, dia akhirnya mengikuti garis pemikiran yang sangat kritis terhadap sebuah sistem yang dia rasa tidak mampu menjawab berbagai kebutuhan orang-orang Indonesia modern. Keberatannya yang paling bagus diringkas dalam sebuah artikel dari 1923 yang menyuarakan bahwa dia mengingat kasus Arsyad b. ‘Alwan dari Serang, yang dibiarkan merana di pengasingan setelah Pemberontakan Cilegon.35 Semasa Snouck pensiun, karya-karya utamanya yang dikumpulkan oleh muridnya, A.J. Wensinck (1882–1939), dibundel untuk perpustakaan-perpustakaan Orientalis di seluruh dunia. Banyak murid serta koleganya hadir, atau setidaknya diundang, untuk bersulang memberi selamat kepada sang sesepuh

kajian Islam. Murid-muridnya juga mulai mendirikan sebuah institut untuk kajian Islam. Para kontributornya meliputi para bangsawan, mantan gubernur jenderal, dan Orientalis yang aktif di Eropa. Kelompok terakhir ini mencakup Hazeu dan Kern (yang juga kembali ke Belanda dengan kecewa pada 1926), Louis Massignon di Paris, dan R.A. Nicholson di Cambridge. Dari luar negeri ada kontribusi dari Muhammad Kurd ‘Ali (1876–1953) di Damaskus, Ahmad Zaki (1867–1934) di Kairo, ‘Umar Nasif di Jeddah, ‘Abd al-Rahman b. ‘Abdallah al-Zawawi di Mekah, para anggota Kantor Urusan Pribumi, serta ‘Umar Manqusy, ‘Ali al-Habsyi, Abu Bakr dan Isma‘il al-‘Attas, dan tentu saja keluarga Djajadiningrat. Bahkan, dalam pengantarnya pada Panji Poestaka edisi khusus kenang-kenangan, Hoesein Djajadiningrat menyatakan bahwa dia dan orang-orang sezamannya menghormati Snouck sebagai “guru, dalam oriental dan mistis”, serta menambahkan bahwa semua guru tersamar olehnya dan menganggap kehormatan kalah pamor olehnya.36

Yang absen dari perayaan tersebut adalah nama banyak penasihat kehormatan dan sahabat penting yang didaftar di Panji Poestaka. Beberapa orang tidak hadir karena usia, jarak, atau masalah fnasial. Tetapi, juga tampaknya ada sebuah pergeseran dari rombongan orang-orang seperti Sayyid ‘Utsman dan Hasan Mustafa ke orang-orang seperti Ahmad Surkati dan Agoes Salim, sebuah pergeseran yang memiliki keserupaan global.37 Kairo tetap merupakan titik penting dalam jaringan Snouck. Dia sangat mengetahui berbagai perdebatan yang terjadi di kota itu. Universitas negerinya baru didirikan pada 1908 dengan direktur Ahmad Zaki. Sang Direktur berusaha merekrut Snouck ke dalam staf pengajarnya.38 Snouck juga menjalin hubungan dengan beberapa intelektual Kairo ketika mereka belajar di Eropa, termasuk Mansur Fahmi serta dua bersaudara ‘Ali dan Mustafa ‘Abd al-Raziq, kesemuanya pergi ke Prancis diilhami gagasan-gagasan Muhammad ‘Abduh. Namun, meski Mansur Fahmi bisa menulis dengan antusias pada 1925 mengenai harapannya akan sebuah masa depan modern di bawah kepemimpinannya, dia juga menunjukkan bahwa ‘Abd al-Raziq bersaudara mendapati jalan mereka agak sulit.39

Yang lebih tua dari kedua bersaudara itu, Mustafa ‘Abd al-Raziq (1885–1947), lulus dari al-Azhar pada 1908 dan pergi ke Sorbonne pada 1909, tempat dia belajar di bawah bimbingan Émile Durkheim. Sejak 1911 dia belajar Hukum dan Filsafat Islam di Lyon, mempertahankan sebuah tesis mengenai al-Syaf‘i. Setelah kembali ke Mesir pada 1914 dia bekerja sebagai seorang jurnalis dan administrator, dan terlibat dalam Partai Ummah. Menyusul pencopotannya dari al-Azhar oleh Raja Fu’ad, dia menjabat profesor utama dalam Filsafat Islam di Universitas Kairo mulai 1927 hingga 1938. Di sini dia mengedit makalah-makalah ‘Abduh dan menulis mengenai Sufsme. Tampaknya Mustafa-lah yang telah membawa ke konsensus Salaf zaman modern bahwa

Sufsme adalah sebuah kepedulian antikuarian. Sebuah petunjuk mengenai pandangan-pandangannya perihal masalah ini bisa ditemukan dalam publikasi yang berawal sebagai sebuah kuliah yang disampaikannya di Leiden pada 1932 dan yang dia publikasikan bersama Massignon.40

Yang jauh lebih kontroversial adalah saudara Mustafa, ‘Ali (1888–1966). Dia menyatakan bahwa lembaga khalifah adalah sebuah inovasi, barangkali mengulangi kuliah-kuliah Snouck mengenai persoalan ini.41 Seperti yang diinformasikan Mansur Fahmi kepada Snouck pada 1925, pernyataan itu membuat gelar ‘Ali dicopot karena tidak semua pihak di Kairo bersimpati pada program dua bersaudara ‘Abd al-Raziq itu, pun tidak semua pengikut ‘Abduh berhubungan baik dengan Snouck Hurgronje. Rasyid Rida adalah salah seorang kritikus yang vokal terhadap pembicaraan apa pun mengenai kematian khalifah. Ada pula Syakib Arslan (1869–1946) yang mengecam Snouck karena berusaha menghilangkan kesetiaan orang-orang Muslim di Timur Jauh terhadap kaum Mukmin yang lebih luas dan sebaliknya menanamkan dalam diri mereka rasa kepemilikan nasional yang semu. Namun, rasa tidak sukanya pada apa yang dia anggap sebagai rencana Snouck untuk menciptakan kaum Muslim “Indonesia” tidak mencegahnya dari mengandalkan tulisan-tulisan Snouck dalam soal mendokumentasikan sejarah bangsa tersebut serta orang-orang Arab di antara mereka. Rasa tidak suka yang sama tidak menghentikan Rasyid Rida dari mengirimi Snouck sebuah salinan karyanya Wahy almuhammadi (Wahyu Muhammad) pada 1933. Mungkin sebagai usaha untuk mengajak Snouck ke posisinya.42 Juga jelas bahwa Rida, yang kerap mengunjungi lingkaran-lingkaran Naqsyabandiyyah pada masa mudanya, memiliki pandangan serupa mengenai persaudaraan-persaudaraan “mabuk”. Meskipun dia menahan diri tidak menerbitkan manuskripnya yang sudah lama dijanjikan mengenai tarekat, pandangan-pandangannya terlihat jelas karena perlahan-lahan dia mulai berderap seiring sejalan dengan orangorang Saudi pada 1920-an.

MENDUNG MENGGANTUNG DI ATAS KANTOR URUSAN PRIBUMI

Meski bertindak sebagai Kanselir Universitas Leiden sejak 1922, Snouck Hurgronje terus melatih (atau setidaknya menguji) para sarjana-pejabat dengan caranya yang tersohor tak kenal kompromi sebelum mereka diizinkan ke lapangan atau, bagi sedikit orang dan setelah studi tambahan dalam bahasa Arab dan bahasa Aceh, ke Kantor Urusan Pribumi. Dua lulusan dari program yang melelahkan ini adalah G.F. Pijper dan G.W.J. Drewes. Yang pertama menyelesaikan sebuah disertasi mengenai Alf masa’il di bawah bimbingan van Ronkel pada 1924 dan kemudian dikirim ke Batavia menerima tugas sebagai Asisten Penasihat, pertama di bawah Kern dan kemudian di bawah

Émile Gobée (1881–1954).43 Dia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh di segala sisi masyarakat Hindia. Dia paling dikenal karena kaitannya dengan kaum pembaharu seperti Ahmad Surkati, wakilnya ‘Abdallah b. ‘Abd al-Qadir Harhara (ditandai dalam berkas-berkas Inggris sebagai “musuh yang sangat berbahaya”), dan Hamka (‘Abd al-Malik Karim Amrullah), putra Haji Rasul yang banyak omong.44 Sementara itu, Drewes, putra seorang kepala sekolah Protestan, pada 1925 mempertahankan studinya mengenai tiga orang Akmali dari abad kesembilan belas. Dia pindah ke Jawa untuk menduduki sebuah jabatan di Kantor Urusan Pribumi sebelum dipindahkan ke Biro Pustaka Rakyat pada tahun berikutnya.45

Baik Drewes maupun Pijper sangat mengagumi guru mereka, mengikuti nasihatnya dan mengabadikan kenangan mengenainya di Leiden dan Amsterdam. Namun, mereka tidak diperlakukan setara. Jauh dari setara. Snouck memulai sebuah korespondensi yang panjang dan kebapakan dengan Pijper segera setelah ulang tahunnya yang ketujuh puluh. Sebaliknya, dia tak pernah menawarkan catatan-catatan lapangannya kepada Drewes muda atau malahan dia tidak pernah berbagi dengan Drewes. Tesis Drewes jelas tidak menggunakan berbagai manuskrip Snouck sebagai rujukan, yang bisa jadi memberikan informasi mengenai pokok bahasannya. Pada satu titik dia terpaksa mengutip panjang lebar edisi bahasa Inggris (bukannya edisi asli berbahasa Belanda) karya Snouck De Atjèhers.

Meski tak mendapat restu gurunya—selain berbagai penghinaan seperti dilewatkan Snouck pada 1929 untuk sebuah jabatan yang jatuh ke tangan C.C. Berg (1900–90)—Drewes selalu berpegang pada berbagai standar gurunya, meniru metode-metodenya yang keras, dan mempertahankan minat pada bidang kajian Islam masa lalu dan masa kini. Setelah menghadiri sebuah ceramah di Yogyakarta oleh Mirza Wali Ahmad Beg yang seorang Ahmadiyyah, dia menulis kepada teman baiknya Petrus Voorhoeve (1899–1996) pada 1926, menyatakan bahwa Djåwå adalah surat kabar yang membayar para kontributornya “dengan sangat baik”. Pada tahun tersebut dia memublikasikan sebuah artikel singkat di surat kabar Djåwå mengenai Syekh Yusuf.46 Yang tidak disebutkannya adalah bahwa dia termasuk sebagai dewan redaksinya, bersama Hoesein Djajadiningrat. Surat kabar itu kemudian menjadi tempat bagi beberapa tinjauan pertamanya, yang terkenal keras, seperti ketika dia mencabik-cabik sebuah tesis J. Doorenbos mengenai Hamzah Fansuri.47

Segera setelah tiba di Jawa, Drewes ditunjuk sebagai seorang pejabat bahasa, sebuah jabatan yang semula dikira Pijper sepele dibandingkan peran awalnya yang sangat sibuk. Namun, seperti akan kita lihat di bawah, keadaan berubah bagi Pijper dan bahkan bagi Kantor secara umum, setelah berbagai pemberontakan pada pertengahan tahun dua puluhan. Pastinya dia tidak selalu menjadi cendekiawan pertama yang dimintai pendapat.

Sebaliknya, cendekiawan itu adalah Schrieke yang saat itu menjabat Guru Besar Etnologi dan Sosiologi di Batavia. Schrieke yang diutus untuk menulis tentang pemberontakan komunis di Sumatra Barat, naik ke jabatan Direktur Pendidikan (dan dengan demikian atasan Pijper) pada 1929. Hal ini membuat Pijper sangat tidak senang. Pijper percaya bahwa Schrieke menganggapnya sebagai otoritas pesaing mengenai Islam di Batavia. Benar atau tidak, suratsurat Pijper kepada Snouck, yang pernah disebutnya sebagai “cita-citanya yang tak mungkin tercapai”, menuturkan kisah yang tak dikehendaki mengenai Kantor yang terpecah di bawah tekanan untuk melaksanakan tugasnya di hadapan Pamong Praja yang tidak terlalu menghargai para Penasihat, dan pastinya tidak terlalu bersimpati kepada orang-orang Indonesia.

Keadaan tidak bermula dengan begitu muram bagi sang Ajun Penasihat untuk Urusan Pribumi. Segera setelah kedatangannya, Pijper menemani Kern dalam sebuah tur mengelilingi Banten pada akhir Januari 1926, menemui Penghulu Kepala saat itu, Raden Muhammad ‘Isa (l. 1874), kerabat lain keluarga Djajadiningrat yang mengklaim pernah bertemu Snouck di Jeddah ketika masih muda. Namun, saat itu adalah masa yang tegang. Sang Residen sangat ingin mengetahui apa yang bisa dipelajari Pijper mengenai pengaruh komunisme terhadap orang-orang lokal. Pastinya terdapat ketegangan dalam keluarga sang kiai terkemuka Banten, Asnawi dari Caringin. Menantunya, Ahmad Khatib (yang lain), yang menggantikan Hasan Djajadiningrat sebagai kepala Sarekat Islam di Serang pada 1920, konon adalah komunis terkemuka di kawasan ini. Menurut kabar angin, Asnawi telah meminta agar Ahmad Khatib menceraikan putrinya. Ahmad Khatib sama sekali tidak ingin melakukannya, mengingat dia mendapatkan gengsi yang besar dari hubungannya dengan seorang kiai yang, seperti Muhammad ‘Isa, terhubung dengan keluarga Djajadiningrat. Anggota klan ini termasuk mantan Bupati Serang, R.A. Djajadiningrat (w. 1933) dan putra tertuanya, R.A.A. Djajadiningrat, mantan murid Snouck dan kemudian Bupati Batavia.48

Sebagian besar dari informasi ini berasal dari Kiai Ru’yani, yang mengaku pernah berjumpa dengan ‘Abd al-Ghafar di Mekah ketika masih muda. Asnawi juga mengaku memiliki sejenis hubungan dengan ‘Abd alGhafar karena iparnya adalah pelayan Snouck di Mekah. Setidaknya inilah yang diketahui Pijper sewaktu kembali berkunjung pada September ketika kisah Kiai Ru’yani dibenarkan oleh Asnawi yang lemah, setelah disambut dengan sangat hormat oleh bupati yang tengah menjabat yakni anggota lain dari keluarga besar Djajadiningrat. Tak perlu dikatakan, posisi kedua orang ini dan keluarga Djajadiningrat secara umum terancam ketika sebuah pemberontakan meletus pada November. Meski salah seorang anggota Raad van Indië meramalkan bahwa Achmad Djajadiningrat muda akan menuju kamp konsentrasi yang terkenal di Boven Digul, sejarah selalu berulang dan

priayi keturunan bangsawan lolos dari celaan sedangkan sang kiai yang sepuh itu dikirim ke pengasingan.49

Nasib demikian tampaknya tidak terlalu menarik minat Pijper saat itu. Dalam surat-suratnya kepada Snouck, dia lebih sering berkomentar mengenai betapa penyebutan nama samaran gurunya itu, ‘Abd al-Ghafar, telah membuka banyak pintu untuknya ketika dia mewawancarai para pejabat pribumi dan para cendekiawan dengan menggunakan bahasa Arab. Pijper semula berlatih bahasa Arab bersama seorang Palestina, Tayseer Nabilcy (Taysir Nabulsi), dan belakangan bersama ‘Abdallah b. Salim al-‘Attas. Pijper juga memberikan imbalan secara rutin atas bantuan yang dia dapatkan dari Hoesein Djajadiningrat, yang menjelaskan segala macam peraturan hukum kepadanya dan mendukung penjelasannya baik dengan tulisan-tulisan Sayyid ‘Utsman maupun Ahmad Surkati “yang tak ternilai”, yang juga mengajarinya bahasa Arab selama tiga tahun.50

Kontak seumur hidup lainnya adalah orang Banten “yang maju” dan “sangat saleh”, Sjoe’aib Sastradiwirja, yang mengajarinya “berbagai rahasia” kajian Islam dan shalat sejak 1926.51 Meski sehari-hari berinteraksi dengan anak asuh Agoes Salim ini (belum lagi guru, editor, dan anggota Jong Islamieten Bond), Pijper mengaku tetap terkejut dengan kesalehan mereka, sebagaimana dalam laporan mengenai Hoesein Djajadiningrat yang “sama sekali tidak bebas dari hal-hal Mohammedan”:

Ini menjadi jelas bagi saya pada banyak kesempatan, yang terakhir ketika saya bertanya kepadanya bagaimana seharusnya saya bicara mengenai Islam dalam kuliah-kuliah saya kepada para murid Akademi Pemerintah. Ketika saya beralih pada pengantar historis kritis mengenai asal usul dan sejarah awal Islam, dia menunjukkan sifat hipotetis-nya kepada saya. Dia juga menegaskan bahwa kesarjanaan Barat hampir tidak berubah dalam perlakuan tradisionalnya terhadap Mohammad dan ajarannya; [tetapi] saya seharusnya tidak punya masalah khusus dengan ajaran ini. Untuk beberapa saat saya meragukan poin terakhir ini. Bagaimana saya harus menjawab ketika seorang murid “yang tercerahkan” bertanya bagaimana memahami penyusunan dan asal usul berbagai gagasan Koran? Memang dampak kritik Eropa mulai berhasil masuk, dalam makalah-makalah dan berbagai terbitan berkala kita menemukan reaksi. Di Bantam tahun lalu saya bertemu seorang Asisten Wedana yang masih muda, yang tertarik pada Verspreide Geschriften karya Anda! Saya sangat mengharapkan petunjuk dari Anda mengenai bagaimana saya harus mempelajari aspek historis dari tugas saya.52

Snouck membalas bahwa dia sepenuhnya memahami permintaan bantuan Pijper pada keluarga Djajadiningrat dan langkah Hoesein yang semakin “konservatif”:

Tradisi keluarga dan tanah airnya, dan barangkali bahkan kecenderungan pribadinya, memberikan dorongan yang mudah. Aspek historis Islam memang paling sulit ditangani para murid dari lingkungan muslim. Ia mengharuskan seseorang untuk bertindak dengan kebijaksanaan yang ekstrem untuk menyampaikan apa yang perlu tanpa menimbulkan penistaan atau penghinaan. Kadang penyampaian hasil yang dikehendaki oleh para cendekiawan bisa secara objektif dipisahkan tanpa menyiratkan bahwa sang pembicara yang mengungkapkannya bersepakat dengan hal tersebut. Apa pun yang terlihat seperti celaan bisa dihilangkan. Pada tahun-tahun belakangan khalayak saya juga terdiri atas sebagian kaum muda dari keluarga Mohammedan; tetapi saya tidak pernah menyadari apakah satu atau lain hal merupakan penghinaan karena saya selalu sangat waspada agar tidak mengadopsi nada yang ironis atau meremehkan.53

Balasan Snouck tampaknya hanya mendorong Pijper untuk menuturkan anekdot tak masuk akal yang lain, mengisahkan betapa, terlepas dari pendidikan Barat-nya, Hoesein sepakat dengan beberapa pernyataan Agoes Salim mengenai kesempurnaan inheren hukum Islam dalam hubungannya dengan perempuan.54

Akan tetapi, jika Pijper mengkhawatirkan apa yang akan dipikirkan orang-orang Muslim mengenai kuliah-kuliahnya, dan mengenai kesarjanaan Belanda secara umum, pada akhirnya dia akan lebih khawatir mengenai apa yang dipikirkan atasannya tentang kantornya. Di lapangan dia segera mengetahui bahwa Kantor Urusan Pribumi dipandang rendah oleh Pamong Praja. Pijper juga tidak terkesan oleh keengganan pemerintah untuk terlibat dalam persoalan-persoalan klerikal, yang berarti bahwa negara hanya sedikit, atau sama sekali tidak, membutuhkan solusi yang diusulkan oleh para koleganya.55 Dalam hitungan bulan antusiasme Pijper berganti perasaan semakin terkurung dalam sebuah biro yang dia rasa memberinya terlalu sedikit ruang bagi keterlibatan dengan orang-orang Hindia. Dia bahkan meminta cuti setahun di Banten untuk mempelajari kondisi lokal agar lebih mampu merancang peraturan mengenai berbagai hal yang sulit dipahami olehnya.56

Tanggapan Snouck pertama-tama berkenaan dengan urusan dinas karena para ahli hukum yang kerap diajaknya berdiskusi mengenai masalah-masalah hukum Islam semuanya berpandangan bahwa prinsip non-interferensi di pihak negara hanyalah sebuah slogan. Dalam praktiknya, negara berkewajiban menjadi pemimpin karena negara adalah satu-satunya lembaga yang mampu mendukung pernyataan keagamaan. Snouck merasa bahwa seruan kalangan pribumi kepada pemerintah agar tidak turut campur dalam urusan-urusan agama merupakan sebuah kekeliruan.57 Sedangkan mengenai harapan rahasia Pijper untuk mendapatkan cuti belajar, setelah meratapi kenyataan bahwa satu-satunya waktu luang yang pernah dia nikmati adalah dalam perjalanan

antara Eropa dan Hindia, Snouck agak bingung. Dia mendorong kolega juniornya itu untuk memikirkan baik-baik posisinya. Menurut Snouck, berbagai perjalanan sebenarnya telah memberi Pijper akses menuju banyak pengalaman pribadi dan tentu banyak lagi yang akan menyusul.58

Keadaan tampaknya kembali tenang untuk sesaat. Namun, pada 1930 terindikasi adanya tekanan terhadap Kantor Urusan Pribumi, yang menimbulkan semakin banyak perpecahan di kalangan staf, terutama antara Gobée dan para bawahan Eropa-nya. Bawahan Gobée tidak menyukai tuntutan dinas yang dibebankan kepada mereka dengan mengorbankan berbagai usaha ilmiah yang lebih mereka sukai. Ketika permohonan Pijper untuk melakukan sebuah tur studi di Ambon tidak dijawab oleh Residen, Pijper juga menyerang Gobée karena sudah mengirimnya dalam tugas bodoh pada Ramadan, sembari menyatakan bahwa “kutukan” Kantor Urusan Pribumi adalah dangkalnya kualitas riset mereka.59 Kemudian, ada para editor Pamong Praja yang mesti dikhawatirkan, seperti ketika catatan resminya mengenai Islam untuk Indisch Verslag (Laporan Hindia) 1931 diterbitkan dalam keadaan “banyak terpotong dan diedit dengan sembarangan”.60 Pada tahun yang sama, Pijper melihat “awan gelap” menggantung di atas Kantor Urusan Pribumi ketika muncul berita pada November bahwa Gubernur Jenderal baru yang konservatif, B.C. de Jonge (menjabat 1931–36) berencana menempatkan Kantor di bawah tanggung jawab langsung Pamong Praja.61

Ketakutan semacam itu sedikit mereda pada 1932 ketika dirasakan bahwa Gubernur Jenderal De Jonge telah terlepas dari cengkeraman para penentang Stuw, gerakan metropolitan yang menganjurkan emansipasi yang lebih besar bagi orang-orang Indonesia dibandingkan yang dimungkinkan oleh parlemen simbolis (Volksraad). Namun, berbagai pidato memuji Kantor Urusan Pribumi, yang disampaikan di Volksraad oleh Wiranatakoesoema (1888–1965)—dengan dukungan Mohammed Husni Tamrin (1894–1941) dan Wiwoho Probohadidjojo dari JIB—meningkatkan kecurigaan Pamong Praja. Meski demikian, dengan berangkatnya C.O. van der Plas (1891–1977), yang konfiknya dengan Gobée sangat sengit, Pijper mendapati dirinya ada di sebuah kantor yang jauh lebih tenang dibandingkan saat dia datang. Pijper kemudian menghabiskan lebih banyak waktu menulis kepada Snouck mengenai kecintaannya pada kesusatraan Arab dan kekagumannya kepada para cendekiawan Mesir modern seperti Taha Husayn, Mansur Fahmi, dan Zaki Mubarak, sembari memperlihatkan sikap agak meremehkan terhadap kaum Hadrami setempat yang diyakininya semakin sadar bahwa mereka ketinggalan dalam perlombaan menuju kemajuan.

Pijper tetap memperhatikan segala jenis gerakan dan tokoh Islam. Dia menganggap potret ‘Ali al-Habsyi yang dibingkai sama bergunanya seperti potret ‘Abd al-Ghafar untuk memulai percakapan di kantornya.62 Pijper secara

rutin diutus ke kongres Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond, dan Persis garis keras Bandung, dan tertarik pada tahun-tahun terakhir sang guru tarekat Arsyad Banten (1854–1934) di Manado. Arsyad Banten dikenal pula sebagai Arsyad alTawil, “yang tinggi”, untuk membedakan dengan Arsyad b. ‘Alwan al-Qasir yang lebih pendek. Arsyad diasingkan ke Sulawesi setelah pemberontakan Cilegon. Dia memilih tetap tinggal di sana meski telah diizinkan kembali ke Banten pada 1918. Dia adalah syekh tarekat terkemuka bagi kelompok minoritas muslim, bahkan duduk di Raad Agama. Pijper tampaknya menganggap menarik laporan yang menyebut nama Arsyad karena berbagai alasan, termasuk penyebutan sebuah tarekat, “yang tampaknya masih ada di sini”.63

Ketika meninggal pada 1934, pemakaman Arsyad al-Tawil dihadiri baik orang-orang Kristen maupun muslim. Surat kabar setempat memuat sebuah obituari yang pastinya membuat senang Snouck, yang mengingat kedua Arsyad, yang pendek dan yang tinggi, sebagai korban sistem kolonial:

Pada usia lebih dari 100 tahun, Bapa Hadji Banten meninggal dunia di rumahnya di Kampoeng Koemaraka sebagai interniran tertua di Minahasa. Dia masyhur di setiap sudut Minahasa, di seluruh Indonesia dan Belanda, bahkan di Hedjaz! Dikenal sebagai Hadji Arsjad Tawil, dia masyhur dalam surat-surat kaum terpelajar di Leiden, dan Bapa Hadji adalah sahabat dekat pakar Islam, Prof. Snouck Hurgronje, sang guru besar di Leiden yang mengajar para hakim senior. Mendiang Hadji datang sebagai seorang muda ke Airmadidi via penjara Glodok di Djakarta, dengan tuduhan sebagai penghasut pemberontakan Banten (bukan pemberontakan komunis pada 1926). Di Minahasa, Bapa Hadji bekerja sebagai penghoeloe Landraad dan goeroe Islam terkenal serta pemimpin santri Islam. Pada pukul 5.00 pagi hari ke-20 Maret 1934, jenazah Bapa Hadji diiringi ribuan muslim dan nonmuslim ke pemakaman Islam di Kokaweg. Komunitas Muslim seluruh Minahasa mengatakan bahwa makam Bapa Hadji Banten akan menjadi sebuah kramat. 64

Laporan tersebut mungkin juga menyenangkan Pijper, yang hampir pasti memiliki pandangan Kristen-nya mengenai Islam. Snouck yang agnostik tentu sangat berhasil menekan sebuah nada ironis dalam kuliah-kuliahnya di Leiden, mengingat bahwa Pijper bebas berteori mengenai berbagai prasyarat yang dibutuhkan untuk berbaur dengan orang-orang Muslim. Perhatikan komentarnya mengenai “perspektif yang tenang dan sehat” seorang calon untuk jabatan Konsul Jeddah, C. Adriaanse (1896–1964):

Dia berasal dari kalangan Reformis, yang tentu akan membantunya memahami dunia pemikiran Moslim. Untuk itu, menurut saya seseorang harus selalu memiliki salah satu dari tiga hal: latar belakang Reformis, atau latar belakang religius—terutama dengan orientasi Injili, atau berdarah Semit. Dengan ini saya hendak menyatakan kecuali salah satu dari tiga syarat tadi dipenuhi, kesarjanaan seseorang mengenai Islam tidak akan pernah berarti apa-apa.65

Juga jelas bahwa kehadiran Pijper dalam perdebatan antara Persis dan Ahmadiyah, disusul kongres NU, benar-benar merupakan Paskah yang siasia. Dalam hal yang pertama, terjadi perdebatan sengit dari kedua belah pihak. Pijper merasa bahwa kelompok Ahmadiyah, dengan teknik mereka yang terlatih menghadapi orang-orang Kristen di India, memiliki kemampuan retoris yang jauh lebih unggul dibandingkan “para pembela ortodoksi, betapapun terpelajar dan tajamnya”. Adapun dalam kongres di Batavia bagi “kelompok paling sayap kanan”, asosiasi “para teolog kuno”, Pijper mencatat:

Kongres ini berlangsung enam hari, dengan pertemuan setiap pagi dan sore. Kelelahan fsik lebih besar bagi saya ketimbang lelah secara mental. Sangat melelahkan ber-sila di lantai untuk waktu begitu lama. Lingkaran diisi tokohtokoh terbaik para kjahi Jawa, yang datang dari Bantam hingga Banjoewangi. Mereka adalah orang-orang yang terasing dari kehidupan modern, tanpa minat terhadap politik selama dunia pikiran mereka dibiarkan bebas. Namun, tetap ada keterlibatan dengan topik-topik aktual, seperti pemeriksaan postmortem dan persoalan Sajjid, meski dari sudut pandang yang sangat konservatif.66

Pijper juga menyatakan bahwa segala jenis pertanyaan dijawab dengan rujukan buku-buku tradisional. Misalnya, apakah bisa dianggap “darurat” (dan oleh karena itu diperbolehkan) bagi perempuan untuk pergi ke pasar tanpa bercadar dan tidak ditemani seperti yang merupakan praktik standar di Hindia. Ketika ditanyakan apakah perempuan saat masuk surga akan mendapat empat puluh pelayan laki-laki, kumpulan ulama berserban itu tampak terbahak-bahak. Sebuah fakta yang dianggap Pijper menggambarkan semangat kongres.

Saya, layaknya Raja Saul di antara para nabi, diperlakukan sangat sopan (di kongres-kongres Moslim yang berorientasi modern orang merasakan suasana yang kurang bersahabat terhadap orang asing di tengah-tengah mereka). Saya (selain rasa sakit di persendian) merasa seolah sedang duduk di pangkuan Ibrahim. Tapi: itu berarti kehilangan enam hari kerja, dan malam.67

Meski dirinya lebih nyaman dengan kaum tradisionalis “ortodoks”, Pijper merasa dia juga bisa memberikan banyak pada gerakan-gerakan modern, seperti al-Irsyad dan Muhammadiyah, yang para pemimpinnya dia kenal baik. Mereka meliputi Raden Muhtadi Natadiningrat, putra Muhammad ‘Isa. Muhtadi, seorang lulusan sekolah pelatihan bagi dokter pribumi dan kepala “seminari” Muhammadiyah di Yogyakarta, adalah seorang kawan bicara yang bersahabat. Sebaliknya, Pijper mendapat pengalaman yang lebih sulit dengan seorang guru didikan Mesir yang “sangat anti-Barat”.68

Tentu saja tidak semua lulusan Azhar punya sikap bermusuhan. Putra Kiai Ru’yani, yang naik menjadi wakil ketua pondokan Indonesia di al-Azhar

pada awal 1930-an, diratapi baik oleh orang-orang Indonesia maupun Belanda atas kematiannya yang mendadak pada 1945.69 Bagaimanapun, Pijper bisa menghadapi kedua jenis aktivis tersebut. Seperti yang dia tulis, “Moehammadijah mempertahankan diri sebagai sebuah organisasi yang hebat. Para anggotanya, menurut saya, tidak selalu simpatik, tapi saya menghargai pekerjaan mereka.”70 Pijper juga agak menggurui Snouck mengenai pertanyaan apa itu Islam dan arti penting kontribusi potensialnya terhadap berbagai tren modern di Indonesia. Snouck yang lebih kalem, yang selalu menasihatinya agar bersabar, kerap mendesaknya untuk memublikasikan, dalam kata-kata Friedrich Max Müller (1823–1900), “potongan-potongan” dari bengkelnya ketimbang menunggu menyatukan semua potongan informasi potensial menjadi sebuah mahakarya. Dalam satu kesempatan, Pijper menyesal bahwa meski telah kembali ke Belanda terbebani dengan segala macam berkas yang dia rencanakan untuk dimanfaatkan untuk tulisan-tulisannya, semua itu tersingkir ketika proyek baru yang lebih mendesak dimulai sehingga berkas-berkas itu kehilangan “aktualitas”-nya.71

Terdorong oleh nasihat semacam itu, Pijper mengumpulkan potonganpotongan miliknya menjadi Fragmenta Islamica, yang berasal dari penyelidikan sumber primer mengenai posisi perempuan dalam pendidikan dan masjid, perceraian dan kemurtadan, serta munculnya tarekat Tijaniyyah.72 Ketika bukunya terbit, Pijper akhirnya merasa yakin bahwa Kantor Urusan Pribumi tidak lagi terancam akan ditempatkan di bawah Pamong Praja, meski Gubernur Jenderal De Jonge masih menganggap Kantor itu tidak memiliki manfaat yang jelas.73 Pijper bahkan melunakkan retorikanya mengenai Schrieke. Dia mengakui bahwa Schrieke telah menyelamatkan pekerjaannya ketika terancam. Namun, Pijper tidak pernah benar-benar memercayai lelaki itu yang akhirnya pergi ke Belanda (dan Institut Tropis Amsterdam) pada 1935.74

Pijper akhirnya naik menjadi Penasihat untuk Urusan Pribumi pada 1936. Setelah itu, dia bisa lebih memahami tekanan yang telah dibebankan kepada para mentornya. Meningkatnya ketidakpercayaan di kedua sisi masyarakat Hindia pastinya membuat Schrieke sangat gelisah dan dia telah menentang penahanan banyak Nasionalis di Boven Digul.75 Dia juga bergabung dengan Stuw, seperti halnya Drewes, yang melalui berbagai jenjang kepangkatan hingga menjadi Direktur Biro Pustaka Rakyat pada 1930 serta menggantikan Hoesein Djajadiningrat sebagai Direktur Sekolah Hukum Batavia pada 1935.

Orang Indonesia sendiri semakin sedikit yang punya kesabaran untuk terus digurui, baik di Tanah Air maupun di luar negeri. Juga semakin banyak muncul pertanyaan mengenai warisan Snouck di kalangan orang-orang Indonesia dan mereka yang tertarik terhadap Indonesia. Revisi terjemahan Syakib Arslan atas karya Lothrop Stoddard, New World of Islam (diterbitkan pada 1923), menampilkan sebuah kuliah mengenai Hindia Belanda yang disampaikan di Kairo pada 1929 oleh sekutu Snouck Isma‘il al-‘Attas. Edisi revisi itu juga

mencantumkan komunikasi Arslan dengan sang sesepuh kajian oriental itu. Di sini Arslan menentang pandangan-pandangan orang Belanda itu. Menurutnya, Snouck mengakui bahwa “kaum bidah” di antara muslim Jawi selalu lebih fanatik menentang Belanda ketimbang mereka yang beragama secara benar.76

Komunikasi ini bermula pada Kongres Orientalis di Leiden pada 1932 tempat sang penulis terkenal Taha Husayn juga hadir dan tampil sangat vokal. Sementara itu, Snouck yang merasa letih dengan dunia—dia tentu mengagumi daya ingat Taha Husayn, tetapi mengeluhkannya sebagai tidak memiliki “kebijaksanaan” yang dibutuhkan untuk berbaur dengan orang normal— melihat suaranya sendiri diproyeksikan lebih jauh dengan terjemahan bahasa Inggris dalam Mekka volume dua yang baru keluar dari percetakan.77 Sang penerjemah (mantan Konsul Inggris J.H. Monahan) menyatakan bahwa gambaran Snouck terhadap kota tersebut “tidak sepenuhnya ketinggalan zaman”, tetapi dia dan sang pengarang sangat menyadari berbagai perubahan besar yang tengah berlangsung di sana. Para konsul Belanda selanjutnya, Gobée, van der Plas, dan D. van der Meulen menjaga agar guru mereka tetap mendapat informasi sepenuhnya mengenai berbagai peristiwa di Arabia. Pangeran Faysal b. Sa‘ud bahkan mulai mengirimkan foto-foto kota yang sedang berubah setelah bertemu di Leiden pada 1926.78

Snouck merasa hubungan antara Belanda dan Kerajaan Arab Saudi sangat baik dibanding dengan rezim-rezim sebelumnya, dan barangkali dia pergi ke kubur pada 1936 dengan satu kekhawatiran yang berkurang mengenai hal tersebut. Namun, ada orang-orang di Arabia yang ingin menunjukkan bahwa hubungan dengan Hindia juga sama baiknya. Ini jelas merupakan pesan yang hendak disampaikan pada 1937 ketika sebuah surat kabar berkala baru diluncurkan di Mekah oleh orang-orang Sumatra dari kelompok yang oleh Pendeta Episkopal Raymond LeRoy Archer (1887–1970) disebut “ortodoks” mengingat nada sebuah laporan yang ditulisnya mengenai Pesisir Barat pada tahun tersebut.79 Berjudul al-Nida’ al-islami/Perseruan Islam, surat kabar Mekah itu adalah upaya untuk membawa para murid Jawi kembali ke Hijaz. Nada artikel-artikelnya jelas reformis, tetapi Sufsme tidak terlalu dikutuk dibandingkan para syekhnya pada masa modern. Para editornya berkonsentrasi pada berbagai pencapaian bangsa-bangsa Asia Tenggara—sekarang disebut secara eksplisit sebagai “orang-orang Melayu” dan “orang-orang Indonesia”— dan mengisahkan Islamisasi di tanah air mereka oleh para pedagang Arab. Narasi ini pastinya tampak wajar bagi mereka. Namun, muncul reaksi keras dari salah seorang penulis Arab, Husayn Ahmad Hasanayn, yang mengutip karya C.C. Berg bahwa bahasa Melayu dipenuhi “berbagai keanehan” jika digunakan untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab.80

Kejengkelan yang sama menyambut kekhawatiran yang disuarakan dalam Pedoman Masyarakat di Medan pada 1938. Di bawah tajuk “kitab-kitab

jang berbahaja”, dia mengeluh adanya ribuan risalah Barat yang menyerang Islam dengan menggunakan berbagai buku yang beredar di kalangan Muslim sendiri. Secara khusus dia menyasar apa yang digambarkannya sebagai dongeng omong kosong dan takhayul yang diduga diimpor dari Persia dan India.

Jika orang lain tidak mempelajari kebenaran sejati mengenai Islam, dan jika para intelektual muda didikan Barat melihat kandungan buku-buku semacam itu yang ada di tangan orang-orang Muslim masa kini, mereka akan menjatuhkan vonis bahwa Islam adalah agama bangsa-bangsa liar di ujung paling terpencil dari pulau-pulau yang tidak memiliki kebudayaan. Ketika kami belajar di soerau lima belas tahun lalu, kitab Bada-i‘oez Zoehoer masih disukai di kalangan para murid. Di sana dinyatakan bahwa dunia terletak di ujung tanduk seekor sapi raksasa yang, ketika ketakutan, menggoyangkan kepalanya dan menyebabkan gempa dahsyat!

Yang barangkali lebih buruk dalam pandangan sang pengarang adalah sebuah karya yang dikenal sebagai Daqa’iq al-akhbar (Perincian-Perincian Berbagai Berita). Karya ini menyatakan bahwa Nur Muhammad mendahului penciptaan, terbang menembus tujuh lapis langit dalam bentuk seekor burung nuri. Lalu, ada juga kisah-kisah “Syi‘ah”, seperti mengenai Muhammad Hanafyya, dan berbagai wirid serta mantra ajaib tarekat yang begitu memikat bagi orang-orang desa dan dijual di toko-toko buku. Sebagian bahkan mengklaim bahwa Tuhan dan manusia adalah satu dan bahwa shalat tidak lagi diperlukan bagi kelompok elite!

Karena alasan-alasan demikian, selain memprotes buku-buku Barat, para pengarang dan penulis muslim juga harus memperhatikan penyakit yang menjangkiti umat mereka sendiri untuk mencegah agar kita tidak menjadi bahan tertawaan yang tak berdaya. Ingat: Sjech Moehammad Abdoeh memperoleh kemenangan besar ketika dia berdebat dengan flsuf Arnest Renan [sic]. Namun, dia kalah ketika di akhir polemik tersebut sang flsuf berkata, “Saya mengakui bahwa saya telah kalah ketika menghadapi argumen-argumenmu, tetapi keadaan umat Muslim yang saya lihat hari ini membuat saya mustahil menyerah di hadapan informasi Anda ....” Perhatikanlah!81

Terlepas dari retorika mereka mengenai kondisi fsik yang ditanggung oleh begitu banyak muslim Indonesia, banyak pembaharu meyakini bahwa perang melawan penyimpangan zaman pertengahan di kalangan orang awam perlahan-lahan berhasil dimenangi, seperti halnya perang melawan kekuasaan kolonial mulai berakselerasi. Dengan badai yang mulai berkumpul di Eropa dan Asia, sebagian orang bahkan sudah mencium kemenangan bagi sebuah tanah air muslim yang bisa dikenali. Tepat sebelum pendudukan Jepang, berbagai surat kabar dengan nada yang jelas-jelas Islami mendesak keras meminta konsesi dari sebuah negara bayangan yang sekarang terputus dari

metropolis, yang telah jatuh ke tangan Jerman pada Mei 1940. Memuat artikel-artikel presiden masa depan, Soekarno, Islam Raya di Solo bahkan menampilkan sebuah sampul baru yang menunjukkan sebuah menara pseudoMoor dipasang dengan latar belakang peta kasar Nusantara. Para editornya dengan bangga mengumumkan sampul mereka:

Saudara-Saudara, Anda pasti akan mengenalinya. Ini tidak benar-benar indah, tetapi cukup manis! Cobalah, Saudara-Saudara, perhatikan sekarang juga, pikirkanlah sejenak. Pelajaran apa yang bisa kita ambil darinya? Seperti gambargambar lainnya, yang satu ini juga menggambarkan, secara sangat sederhana, Fondasi, Tujuan, dan Cita-cita serta Kenangan “Islam Raya”. Rakyat Indonesia! Bayangkan. Pikirkan. Renungkan! Betapa tanah yang untuknya kita akan menumpahkan darah kita bisa begitu gemerlap dan memesona! Aman, damai, dan puas. Kita ingin menyaksikan masa keemasannya yang asli dan ... bahkan lebih lagi ... yang akan datang! Namun ... ini semua masih merupakan impian dan cita-cita yang harus diwujudkan. Syarat-syaratnya? Iman, harapan, dan tindakan. Namun, hal yang paling penting adalah agar kita menjadi SADAR. Perhatikan, dan semoga Tuhan bersama kita.82

Yang lain juga merasa bahwa Indonesia masa depan membutuhkan kenangan keemasan muslim yang sepatutnya. Agoes Salim menandai kelahiran Nabi pada 1941 dengan sebuah pidato panjang berjudul “Riwajat Kedatangan Islam di Indonesia”. Mantan abdi kekuasaan kolonial itu (dan musuh bagi Pijper yang sinis) menyatakan bahwa kepustakaan Barat harus dibaca ulang dengan latar sumber-sumber non-Barat. Dia meyakini bahwa adalah laporan yang, paling banter, “tidak memuaskan” yang mengklaim bahwa Islam baru datang ke Tanah Air pada abad ketiga belas. Dia merujuk pada sumbersumber Tiongkok yang diyakininya menunjukkan kehadiran muslim yang lebih awal. Dia mengutip Syakib Arslan untuk bertanya apakah Islam benarbenar datang lewat tangan orang-orang Afrika Utara sebelumnya.83

Para cendekiawan Belanda digusur dari tempat istimewa mereka tanpa menyadarinya. Ini adalah urusan kesarjanaan seperti biasa. Pijper memberikan kuliah-kuliah yang diterima dengan baik di Batavia mengenai orang-orang Arab Hindia yang setia, memuji al-Habsyi sebagai pewaris Sayyid ‘Utsman yang memberi inspirasi, dan melanjutkan diskusinya dengan al-Irsyad dan Persatuan Islam mengenai langkah-langkah menuju sebuah volume yang direncanakan mengenai reformisme.84 Drewes, tepat sebelum menduduki apa yang diniatkan sebagai jabatan sementara di Leiden, menerbitkan sebuah buku bersama Raden Poerbatjaraka (1884–1964) mengenai bertahannya kisah-kisah ‘Abd al-Qadir dalam kesusastraan Indonesia. Di Utrecht, Jan Edel menggunakan manuskrip yang dikumpulkan oleh Djajadiningrat dan Pijper untuk mempertahankan sebuah tesis di bawah bimbingan Juynboll mengenai Hikayat Hasan al-Din. Dalam tesisnya, dia berusaha keras menentukan identitas berbagai individu Banten ketimbang

mempertanyakan apa tepatnya sifat rujukan pada Khidr atau sifat ritus berbagai tarekat Suf. 85 Untuk maksud yang sama, Voorhoeve mengunjungi Barus dengan harapan menemukan makam Hamzah Fansuri. Namun, penduduk setempat hanya bisa menunjukkan kepadanya apa yang mereka yakini sebagai makam seorang Arab bernama Syekh Mahmud.86 Dalam sebuah surat yang ditulis tujuh bulan kemudian, dia mengungkapkan harapan bahwa Drewes barangkali segera datang ke Sumatra.87 Bagaimanapun, berbagai peristiwa segera akan mengejutkan semua orang. Pada Maret 1942 Belanda disapu bersih, para mualaf Jepang dikirim ke masjid-masjid tertentu dan ke kantor-kantor yang sebelumnya dijalankan oleh para penerus Snouck. Terlepas dari usaha kembali Belanda yang gagal pada 1945–49, era kerja sama dan persaingan yang formatif telah berakhir. Dan, bersamanya berakhir pula masa lalu kolonial Indonesia.

SIMPULAN

Peristiwa Afdeling B mendatangkan malapetaka dan secara tidak langsung menghancurkan hubungan antara para penasihat kolonial dan negara. Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan bahwa persoalan-persoalan modern tidaklah terselesaikan. Peristiwa tersebut juga memberdayakan kekuatan-kekuatan yang kebangkitannya akan berakibat pada pengucilan praktis Kantor Urusan Pribumi dari berbagai putusan penting yang memengaruhi kehidupan orangorang Indonesia yang terbebas dari janji-janji perwalian kolonial. Para juru kampanye Sarekat Islam dan lembaga-lembaga terkait juga dipaksa mundur dari ranah politik yang semakin didominasi oleh para agitator nasionalis dan komunis, yang mengarahkan serangan retoris mereka terhadap orangorang yang mereka yakini telah mengakibatkan keterbelakangan yang meluas di kalangan orang-orang Indonesia. Sudut pandang mereka bisa ditentang, tetapi serangan mereka selaras dengan konsensus keilmuan global mengenai apa itu Islam yang sejati, baik dalam keadaannya yang hidup maupun dalam historisnya. Zaman telah berubah, dan orang-orang Indonesia juga harus berubah.

This article is from: