DUA BELAS
PENGERASAN DAN PERPISAHAN 1919–1942
T
idak semua unsur gerakan nasional se-“modern” (atau sesabar) Kaum Muda Sumatra. Pada 1916 Sarekat Islam cabang Padang yang baru saja didirikan segera terpecah antara para pewaris Ahmad Khatib dan mereka yang berafiliasi dengan elite tradisional dan para sekutu Sufi (baru) mereka yang dipimpin Khatib ‘Ali yang Naqsyabandi.1 Dua insiden membuat kaum Etisis Snouck terluka dan terbunuh pada 1919. Yang pertama, kunjungan perwakilan Sarekat Islam untuk “Pulau-Pulau Luar”, Abdoel Moeis (1883–1959), ke Sulawesi pada Mei menimbulkan pemogokan menentang kerja paksa dan pembunuhan Kontrolir di Toli-Toli, J.P. De Kat Angelino. Kemudian, pada awal Juni, seorang guru kecil dari Garut dan beberapa anggota keluarganya ditembak di rumah mereka setelah menolak permintaan Asisten Residen untuk mengirim beras.2 Perincian insiden yang terakhir, yang kadang dikenal sebagai Peristiwa Garut, segera diperdebatkan, terutama jumlah para pengikut sang guru, Haji Hasan dari Cimareme, dan apakah mereka merencanakan serangan terhadap para serdadu pemerintah di luar rumah. Di satu pihak, komandan Belanda yakin bahwa para penduduk menyiapkan diri untuk menyerang. Di pihak lain, para saksi mengklaim bahwa mereka sedang melantunkan dzikr tarekat.3 Namun, meski dirinya adalah pengamal dzikr, Haji Hasan paling banter memiliki hubungan tak langsung dengan apa yang belakangan oleh para pejabat disebut “Seksi B” (Afdeling B) dari cabang Sarekat Islam di Ciamis, yang dibentuk setelah gerakan tersebut menyebar ke Dataran Tinggi Priangan dan, seperti di Padang, merekrut anggota jaringan tarekat yang lebih tua yang sekarang menyadari bahwa lebih praktis menyusupi SI ketimbang memeranginya. Seorang Sufi, Haji Samsari dari Tasikmalaya, mengklaim bergabung dengan Sarekat Islam pada 1917 karena program kemajuannya terlihat menikmati restu pemerintah. Namun, dia mengeluh bahwa cabang tersebut menjadi radikal setelah pada 1919 Ciamis dikunjungi Sukino dari