11 minute read

Gambar 3 Islam Nusantara, 1600–1900

Next Article
Catatan

Catatan

Gambar 3. Islam Nusantara, 1600–1900.

PERMULAAN YANG MENDASAR, AKHIR YANG MISTIS

Advertisement

Memahami Al-Quran adalah inti dari pendidikan Islam. Murid Jawi lazimnya akan memulainya dari juz terakhir, yaitu juz ketiga puluh.30 Dibantu guru serta teman-teman sebaya, sang murid belajar cara melafalkan teks tersebut menggunakan berbagai teknik pengucapan. Seluruh rangkaian studi yang menekankan penghafalan dan pelafalan lisan juga merupakan keterampilan yang sangat penting dan sangat dihargai bagi transmisi kesusastraan Melayu secara umum. Orang buta dianggap sebagai praktisi yang paling terkenal dan mahir, sebagaimana dicatat oleh Zayn al-Din dari Sumbawa dalam buku ajar karyanya dari 1888:

Sebagian ulama menyatakan bahwa penglihatan lebih unggul dibandingkan pendengaran karena penglihatan memungkinkan seseorang menangkap semua bentuk, warna, dan gerakan, berbeda dengan pendengaran, yang hanya menangkap jejak-jejak suara. Namun, pernyataan ini terbantahkan oleh kenyataan mengenai adanya banyak hal di dunia yang tidak tertangkap oleh orang-orang yang sepenuhnya melihat.31

Pada usia dua belas, murid yang berdedikasi biasanya sudah menyelesaikan bacaan seluruh Al-Quran dan siap melanjutkan pelajaran dasar-dasar keimanan. Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa teks-teks

yang paling populer di Nusantara dahulu adalah Sittin mas’ala f l-fqh (Enam Puluh Pertanyaan mengenai Fikih) karya Abul-‘Abbas al-Misri (w.1416); Alf masa’il (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi anonim yang disebut Bab ma‘rifat al-islam (Bab mengenai Mengenal Islam). Pada pertengahan abad kesembilan belas, karya-karya tersebut tergantikan oleh dua karya lain. Yang pertama adalah kitab tanya-jawab Abu l-Layts alSamarqandi (w. 983 atau 993). Di Jawa, kitab yang kerap disebut Asmarakandi ini diringkas dalam Bab ma‘rifat al-islam. Yang lain adalah Umm al-barahin karya al-Sanusi, yang dikenal oleh orang Melayu dengan nama Sifat Dua Puluh dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai Sanusi. 32

Sebagian besar kitab-kitab di atas disusun sebagai tanya-jawab yang mudah dihafalkan, seperti contoh dari kitab pengantar karya al-Samarqandi berikut:

Jika engkau ditanya, “Apa itu iman?” maka jawabannya, “Saya percaya kepada Tuhan, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, Hari Akhir, dan bahwa takdir—baik atau buruk—ditetapkan oleh Allah Yang Mahakuasa. Jika engkau ditanya, “Bagaimana beriman pada kitab?” maka jawabannya, “Allah Yang Mahakuasa telah menurunkan kitab untuk [setiap] nabi, dari sebuah tempat yang tidak diciptakan, abadi, dan tanpa lawan. Siapa pun yang meragukan apa yang ada dalam Surah-Surah atau Syahadat, dia telah berbuat kekafran.”33

Dengan cara yang mirip, sang murid mempelajari jumlah kitab yang dibawa oleh masing-masing nabi serta bagaimana masing-masing kitab menggantikan kitab yang datang sebelumnya sampai dengan Nabi Muhammad datang membawa Al-Quran. Meskipun kitab tanya-jawab alSamarqandi digunakan untuk waktu yang lama, Umm al-barahin-lah yang paling banyak digunakan pada pengujung abad kesembilan belas. Zayn alDin, yang memberikan anotasinya terhadap karya tersebut pada 1880-an, mencatat bahwa Umm al-barahin adalah “yang paling terkenal di semua kalangan orang Arab, Jawi, Turki, India, dan lainnya”. Teks al-Sanusi memang menawarkan sebuah ringkasan mengenai sifat-sifat Tuhan serta mendaftar sifat-sifat para nabi dan wali yang mudah dihafalkan dan dipahami oleh setiap orang beriman. Kitab tersebut juga menggambarkan para malaikat, Hari Kiamat, dan semua “rahasia” dzikr.

34

Untuk memperoleh pemahaman terdalam, seseorang tetap saja membutuhkan bimbingan guru yang ahli dalam masalah-masalah tersebut. Dalam komentarnya, Zayn al-Din menulis panjang lebar untuk menjelaskan berbagai perbedaan antara para nabi dan malaikat. Zayn juga secara ringkas menjelaskan bagaimana berbagai kelompok bisa diklasifkasikan menurut

derajat kausalitas yang mereka kaitkan pada kehendak Tuhan vs tindakan manusia. Ketika al-Sanusi bicara mengenai rahasia-rahasia dzikr, Zayn al-Din menambahkan bahwa sementara ulama biasa harus mengulangi kalimat “Tiada tuhan selain Allah” sebanyak tiga ratus kali sehari, Suf harus melakukannya setidaknya dua belas ribu kali, terutama jika diperintahkan demikian oleh tarekat.35

Meskipun ada penyebutan tarekat, para pembaca teks al-Sanusi atau bahkan komentar Zayn al-Din yang tidak berpengalaman tidak mungkin akan siap menerima pengajaran cara-cara sebuah tarekat dari tangan syekhnya, terutama mengingat keunggulan yang diberikan pada pengetahuan tentang Syari‘ah. Sang murid pertama-tama harus menghafalkan kitab-kitab mengenai tata bahasa, seperti Ajurrumiyya yang diberi judul sesuai nama pengarangnya, yaitu Abu ‘Abdallah Muhammad b. Da’ud b. Ajurrum (w. 1323). Baru setelah itu dia mampu mendekati karya-karya fkih yang lebih padat beserta berbagai komentar dan komentar-atas-komentarnya. Kitab-kitab fkih kerap memerinci berbagai kewajiban dasar yang sama, mulai dari urusan kebersihan, ritual, shalat, haji, warisan, hingga jihad. Dalam hal fkih, “pendekatan” atau “aliran yuridis” (madzhab) Imam Syaf‘i memang paling diikuti di Asia Tenggara, tetapi keempat mazhab Suni lainnya tetap dinyatakan absah.36

Pengetahuan yang diperoleh seorang murid akan bergantung pada pengalaman pribadi sang guru sehingga aman untuk mengatakan bahwa kitab-kitab inti Imam Syaf‘i dibaca di mana-mana. Melalui kitab-kitab tersebut, para murid menjadi tahu betapa aturan-aturan fkih bergantung pada prinsip-prinsip umum keimanan dan pada berbagai riwayat sahih mengenai perbuatan Nabi. Yang lebih penting, mereka akan mempelajari makna substantif Al-Quran melalui penggunaan teks-teks tafsir. Teks tafsir yang paling populer di kalangan orang-orang Asia Tenggara adalah karya “dua Jalal”. Terkait dengan hal ini, Tarjuman al-mustafd karya ‘Abd al-Ra’uf dari Singkel yang paling lama digunakan di wilayah-wilayah berbahasa Melayu di Nusantara, meskipun penggunaannya biasanya dikaitkan dengan silsilah “Qusyasyi” dari Syattariyyah.

Bukti mengenai berbagai persoalan yang disebutkan di atas dan mengenai berbagai strategi menghafal yang digunakan mudah ditemukan dalam banyak manuskrip yang tersimpan dalam berbagai koleksi saat ini. Dalam sebuah contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah ringkasan teks fkih karya Ba Fadl al-Hadrami (w. 1512) dengan terjemahan antarbaris yang tidak lengkap.37

Sebaliknya, buku catatan kebanyakan murid jauh lebih penuh sesak. Anotasi kata-per-kata yang dilafalkan oleh sang guru kerap berdesakan dengan penjelasan lebih panjang di bagian pinggir mengenai pentingnya sebuah istilah atau gagasan tertentu. Kelaziman yang terjadi dalam buku-buku semacam ini

adalah pernyataan bahwa Islam tidaklah lengkap tanpa memberi perhatian pada dimensi batin, dan sebuah peringatan bahwa pengetahuan mengenai realitas sejati harus dicari oleh semua orang. Begitu pula berbagai pemikiran yang dihubungkan kepada Ibn al-‘Arabi yang melanjutkan tradisi yang dipopulerkan oleh al-Fansuri dan Syams al-Din, dan kemudian dimoderatkan oleh ‘Abd al-Ra’uf.

Diskusi mistis mengenai hubungan antara “batin” dan “lahir” merupakan sesuatu yang ajek dalam sejarah Islam. Namun, kita perlu menekankan bahwa menghubungkan wacana semacam itu dengan aktivisme tarekat hanyalah dugaan sejarah yang tidak didasarkan bukti kuat. Penyebutan topik-topik tersebut secara umum harus dipahami dalam wacana yang lebih luas mengenai ajaran etis, yang lazim disebut sebagai akhlaq. Meskipun kita mendapati beragam pengetahuan rahasia dalam buku-buku pegangan siswa, kadang disandingkan kutipan-kutipan dari Imam ‘Ali atau Ibn al-‘Arabi, hal ini jarang sekali bisa dilacak pada sebuah silsilah yang bisa dibuktikan atau bahkan dalam arti umum kepada para tokoh Jawi di kalangan muhaqqiqin.

Simpulan di atas melemahkan pernyataan yang lazim bahwa Islam Indonesia pada abad kedelapan belas hakikatnya adalah Sufsme tarekat. Namun, bukti yang ada memberikan ruang kepada kita untuk menyatakan bahwa baiat minoritas yang menonjol pada saat itu terhadap seorang syekh Suf tertentu bergantung pada apa yang diyakini sebagai klaim sang syekh terhadap ortodoksi dan hubungannya dengan Mekah. Lagi pula, Sufsme hanya bisa diakses oleh sekelompok elite sehingga wajar jika dalam lingkaranlingkaran tarekat terdapat persaingan untuk masuk ke dalam elite tersebut dan untuk memiliki jubah sang guru asli. Pakubuwana IV barangkali tidak menyaksikan tantangan Sammani terhadap ajaran Karang pada akhir 1780an, tetapi ada lebih dari cukup pengikut Syattari untuk berbagi warisan ‘Abd al-Muhyi. Lagi pula, perdebatan sering kali lebih bercorak politis ketimbang doktrinal.

Berbagai koleksi manuskrip saat ini menunjukkan fakta bahwa banyak orang Jawa tetap berbaiat pada Syattariyyah dan menggunakan teks-teks terkait seperti Tarjuman karya al-Sinkili serta Tuhfa karya al-Burhanpuri. Ajaran Melayu “Karang” yang lebih tua juga tetap mendapatkan dukungan di Jawa hingga beberapa lama melalui berbagai silsilah dan dalam aneka bentuk. Namun, kadang-kadang berbagai penafsiran dan persaingan bisa menimbulkan sempalan-sempalan baru yang lebih terhubung dengan berbagai mitos Wali Sanga ketimbang dengan Arabi via ‘Abd al-Muhyi (lihat Bab 8). Sebuah contoh silsilah ‘Abd al-Muhyi yang lebih bisa diverifkasi berlanjut melalui Bagus Nur Zayn dari Cirebon, dan dari sana ke putra-putranya. Jalur yang lain mengarah ke dua guru Batavia, Anak Tong dan Baba Jainan, yang pada gilirannya akan disusul oleh dua orang Syattari penutur bahasa Melayu

yang bermukim di kota itu selama kekuasaan peralihan Inggris pada 1811–16. Mereka adalah Enci’ Baba Salihin dan Hazib Sa‘id dari Matraman, keduanya mantan murid Hajji Nur Ahmad Awaneh dari Tegal.38

Bagaimana persisnya seorang mukmin berbaiat kepada seorang guru Syattari seperti Bagus Anom? Kita bisa merujuk pada instruksi yang ditulis untuk seorang syekh dalam sebuah buku panduan yang dicetak di Singapura pada 1877:

Mintalah orang untuk bertobat dari dosa-dosanya dan peganglah tangan semua yang hadir. Suruhlah sang murid menyentuhkan tangan ke tanah dan setelahnya sang syekh meletakkan tangannya di atas tangan si murid. Kemudian, sang syekh membaca [dalam bahasa Arab]: Aku berlindung dari setan yang terkutuk. Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, Dia akan memberinya pahala yang besar. [QS. 48:10] Kemudian, sang syekh berkata: Ya Allah, aku rela Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, AlQuran sebagai tuntunan, Kakbah sebagai kiblat, Tuan Syekh sebagai syekh, guru dan pembimbing kami, dan para fakir yang mengikuti[nya] sebagai saudara. Aku punya hak dan kewajiban yang sama seperti mereka. Ketaatan menyatukan kami, ketidaktaatan menceraikan kami. 39

Baiat adalah sebuah pengukuhan yang membuat syekh dan murid menyatu dalam sebuah kontinum hubungan yang terentang hingga pribadi Nabi Muhammad. Baiat memberikan akses terhadap pengetahuan mengenai yang Ilahiah kepada murid yang membaiatkan kesetiaan total kepada sang syekh. Secara teoretis, individu yang telah mencapai visi mengenai Tuhan yang disahihkan oleh syekhnya dapat memimpin upacara dzikr atau bertindak sebagai wakilnya, yang diizinkan untuk memberikan petunjuk dan berwenang menerima murid-murid baru dengan sebuah lisensi (ijazah) yang menguraikan silsilahnya. Sebagaimana telah dijelaskan, otoritas dalam tarekat sangat bergantung pada silsilah. Kitab panduan abad kesembilan belas yang dikutip di atas, misalnya, memasukkan silsilah “Syaytari” [sic] yang diwariskan dari pengarang Melayu dan pengikut ‘Abd al-Samad, Da’ud b. ‘Abdallah dari Patani, yang berlanjut ke belakang melalui klan Tahir dari Aceh hingga alQusyasyi.40

Walaupun begitu, bagi kebanyakan Suf, keikutsertaan dalam sebuah tarekat jarang berarti lebih dari mempelajari aturan-aturan tarekat tersebut, mengikuti dzikr bersama, dan membaca wirid. Yang sangat populer adalah perayaan-perayaan yang dikenal sebagai mawlid dan hawl, memperingati ulang tahun (kelahiran, kematian, atau keduanya) Nabi dan seorang wali tertentu. Tapi, apa makna bagi para individu melakukan baiat semacam itu

dan menempatkan diri mereka dalam sebuah garis transmisi? Meskipun ini pertanyaan yang sulit, dalam berbagai teks terdapat petunjuk mengenai apa yang diharap akan dirasakan oleh individu. Pada 27 Agustus 1810 Hazib Sa‘id menyelesaikan studinya di bawah bimbingan Nur Ahmad dari Tegal dan diberi lisensi untuk menyampaikan ajaran-ajarannya kepada orang lain. Setelah menyamakan baiatnya kepada sang syekh dengan janji setia kepada Tuhan—seperti yang diperintahkan dalam buku panduan Syattari yang dikutip di atas—Hazib Sa‘id menyalin sebuah pernyataan, pertama dalam bahasa Arab dan kemudian pernyataan yang serupa (tetapi tidak persis) dalam bahasa Melayu, menegaskan berlanjutnya hubungan antara guru dan murid. Sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan yang berbahasa Melayu:

Aku rela dengan Tuhan Allah dan aku rela dengan Nabi Muhammad yang perintahnya kuikuti sejak kehidupan ini hingga akhirat. Aku rela Islam sebagai agamaku dan Al-Quran yang hukumnya kuikuti. Aku rela Kakbah sebagai kiblatku untuk kuhadapi dengan dadaku. Aku rela untuk mengarahkan hatiku kepada Allah Yang Mahakuasa. Aku rela karena ruhku memuji Allah, dan aku rela karena indraku mendapat izin dari Allah Yang Mahakuasa, dan aku rela orang yang mengajariku menjadi guruku. 41

Dari panduan berbahasa Melayu-Jawa, jelaslah bahwa Hazib Sa‘id dan Baba Salihin menyelesaikan program yang sama. Keduanya juga memiliki silsilah yang menyebut-nyebut Hamza al-Fansuri, meskipun hanya dalam konteks pernyataan bahwa ‘Abd al-Ra’uf dari Singkel tergolong dalam kelompok orang “Jawi” yang sama.42 Pertanyaan apakah Hazib Sa‘id dan Baba Salihin menganggap diri mereka sebagai bagian dari orang-orang ini sulit untuk dijawab, dan sama sekali tidak jelas bahwa para guru tersebut, atau murid-murid mereka, mewakili orang beriman pada umumnya di Jawa abad kesembilan belas. Dengan mengingat pembatasan ini, kita perlu memikirkan cara-cara komunitas Islam dikomunikasikan di luar konteks elite para syekh tarekat dan sekolah-sekolah yang baru muncul yang kadang mereka bina.

MENUJU SEBUAH PUBLIK MUSLIM?

Sudah dijelaskan bahwa ruang publik muslim modern mengakar pada berbagai kelompok sosial dan gerakan populer yang lebih awal, termasuk pada apa yang sekarang disebut persaudaraan Suf “internasional”.43 Berbagai tradisi Islam, seperti shalat berjemaah, hidangan syukuran, dan ziarah pada makam para wali, menyebar dalam sangat banyak cara. Tradisi lainnya yang juga lazim adalah minat terhadap kisah-kisah para nabi dan wali, yang dituturkan kepada para pendengar yang tertarik terhadap tafsir Al-Quran dalam bentuk mistisnya. Dalam hal ini pula telah dijelaskan bahwa sastra

Melayu klasik dipenuhi perumpamaan Suf, dan bahwa catatan-catatan semisal Hikayat Muhammad Hanafyya harus dibaca sebagai uraian alegoris mengenai mistisisme Wujudi.44

Meskipun hikayat-hikayat lokal terbukti menyerap banyak ajaran Suf, patut diragukan bahwa sebagian besar pendengarnya dapat memahami pesanpesannya yang tersembunyi. Puisi mistis al-Fansuri dan kisah para pahlawan Islam pasti diminati, terutama kisah kehidupan Nabi Muhammad. Puisi-puisi pujian seperti Burdah (Selendang) karya al-Busiri (w. sekitar 1296) sangat populer, sama halnya dengan teks-teks mengenai kelahiran Nabi karya Ibn al-Dayba‘i (1461–1537) dan Ja‘far al-Barzanji (1690–1764). Banyak yang meyakini bahwa Nabi Muhammad turut hadir bersama para pendengar manakala teks-teks itu dibacakan. Kebenaran keyakinan tersebut masih menjadi perdebatan teologis. Yang jelas, perilaku sebagian besar yang hadir cukup mengganggu kaum puritan. Mereka mengeluhkan bahwa banyak Jawi hanya datang untuk merokok, menonton pertunjukan wayang yang diadakan bersamaan, atau sekadar berjalan-jalan.45

Diduga teks yang paling populer adalah Isra’ wa-mi‘raj al-nabi, yang berkisah tentang Nabi Muhammad menaiki binatang ajaib terbang menembus tujuh langit dan bertemu Allah, yang mengizinkan dia berada sejauh “dua ujung busur” dari ‘arasy. Kisah ini adalah rujukan tak langsung bagi jarak mistis yang disebut oleh al-Burhanpuri, tetapi kebanyakan pendengar umumnya sekadar menikmati drama petualangan tersebut. Mi‘raj cenderung dibesar-besarkan dalam karya-karya utama lainnya, seperti Yawaqit karya al-Sha‘rani dan karya heterodoks berbahasa Jawa Kitab Usulbiyya, tempat Nabi Muhammad disebutkan bertanya kepada Allah apakah dia boleh duduk di atas ‘arasy. Kisah-kisah tambahan seperti itu pada akhirnya akan kurang disukai karena banyak pembaca lebih memilih untuk mencari kisah yang asli. Pada awal abad kedua puluh seorang mantan santri mengamati bahwa Mi‘raj sangat populer di kalangan teman-temannya karena di dalamnya dijelaskan secara ringkas kewajiban-kewajiban dasar Islam melalui dialog antara Nabi Muhammad dan Nabi Musa.46 Namun, apa pun yang dilakukan para pendengar Jawi terhadap puisi-puisi Suf, Mi‘raj, atau sejarah dinasti mereka sendiri, jelaslah bahwa mereka selalu mengikuti perkembangan terkini di dunia Islam yang lebih luas, tempat mereka merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan.

SIMPULAN

Setelah mempertanyakan kekunoan pesantren dan penyebaran tarekat pada masa-masa awal, bab ini mencari tanda-tanda fenomena tersebut di tempattempat seperti Sulawesi, tempat ditemukan bukti mengenai Khalwatiyyah. Juga Jawa, yang pada akhirnya didominasi oleh para guru Syattari yang mengklaim

This article is from: