6 minute read

Simpulan

Harapan saya buku ini akan memberikan sebuah kontribusi yang berarti bagi kajian Islam di Asia Tenggara dan bagi keilmuan yang lebih luas mengenai Dunia Muslim. Saya telah mempertanyakan konsensus yang berlaku saat ini mengenai esensi formasi religius Indonesia dengan menyoroti berbagai asumsi yang terbentuk selama era kolonial. Ini bukanlah sebuah jalur yang langsung, oleh karena itu patutlah kiranya di titik ini diceritakan alur keseluruhannya untuk menunjukkan bagaimana kesarjanaan kolonial menafsirkan yang prakolonial, dan kemudian mengubah ragam-ragam tertentu kritik-diri Suf reformis menjadi wacana modernis. Sejumlah kerja persiapan tertentu diperlukan untuk menyiapkan panggung. Beberapa bab pertama berusaha memahami unsur-unsur tertentu dari yang diketahui mengenai Islamisasi kawasan dan memperlihatkan bahwa klaim-klaim genealogis mengenai pengetahuan Suf kadang-kadang menggantikan berbagai kenangan perpindahan agama yang lebih tua. Segera setelah kita memikirkan kembali klaim-klaim demikian, kita juga harus memikirkan kembali gagasan bahwa Sufsme pasti menyediakan mekanisme pendukung bagi perpindahan agama di Asia Tenggara atau menjelaskan tradisi toleransi ekumenis Indonesia yang kerap dikumandangkan. Saya telah menunjukkan sebaliknya bahwa pengenalan teknik-teknik formal pengetahuan Suf (yang umumnya terjadi setelahnya) kerap berkaitan dengan intoleransi ulama terhadap variasi populer yang barangkali bermula sebagai peniruan atas hak-hak istimewa istana. Dalam arti ini, sebuah obeservasi yang dibuat oleh Christopher Bayly tampaknya tepat: apa yang dibutuhkan dalam kebanyakan konteks adalah pengakuan akan keunggulan pemujaan sang kaisar, bukannya keseragaman keyakinan.1 Cukuplah dikatakan bahwa, pada abad kedelapan belas, hubungan yang kian intens antara istana-istana Asia dan pusat-pusat pengetahuan Timur Tengah menghasilkan seruan menuju prinsip bahwa praktik-praktik legal normatif harus mendefnisikan standar Islam bagi sebagian besar kaum beriman. Seruan demikian dibarengi oleh penerimaan atau penolakan (yang kurang lazim) terhadap orang-orang

asing dan upaya untuk membatasi pengetahuan Suf pada sekelompok elite terpelajar yang bisa menilai mereka. Dalam kaitannya dengan hal ini, saya juga telah menunjukkan bahwa penyebaran kesarjanaan Mesir sangat penting dalam sebuah upaya yang bisa dikatakan berjangkauan global. Namun, dari satu sudut pandang, proyek yang ditujukan untuk mempertahankan otoritas istana di berbagai pusat Jawi secara paradoksal terhambat sekaligus ditingkatkan oleh campur tangan Eropa. Larangan yang dikeluarkan keratonkeraton Jawa khususnya tampak tidak berarti karena populasi Muslim yang semakin sadar memanfaatkan jaringan transportasi modern untuk mengejar berbagai peluang pendidikan massal atas nama para sultan kuno. Namun, meski para pembantu dan keturunan mereka barangkali mengangguk setuju terhadap jumlah pesantren yang kian meningkat, banyak yang dibuat gelisah oleh popularitas ajaran tarekat yang lebih baru yang ditawarkan oleh para guru yang mengklaim punya hubungan kuat dengan Mekah serta jubah otoritas Nabi.

Advertisement

Barangkali perubahan-perubahan yang paling signifkan terhadap hubungan antarmuslim di pentas global terjadi setelah berbagai perang yang mendera Arabia, Sumatra, dan Jawa ketika sebuah korpus klasik baru mulai dicetak, diawasi oleh para cendekiawan ternama di pusat-pusat tersebut dan Kairo serta Singapura. Dalam apa yang semula tampaknya merupakan paradoks, korpus ini diklaim oleh para guru Suf populer yang mewakili spektrum paling luas kesalehan dan pengalaman langsung berorientasi-Syari‘ah terhadap berbagai Tempat Suci. Pastinya, kumpulan ahli hukum resmi dan Suf populer yang saling bertentangan, yang masing-masing bersenjatakan dan memperdebatkan teks-teks tercetak, tidaklah mungkin bersepakat untuk bersikap antikolonial. Sebaliknya, kita bisa mengamati munculnya sebuah ruang publik muslim yang penuh persaingan di bawah kekuasaan Belanda, dan yang para pesertanya bahkan akan berusaha terlibat dengan struktur kekuasaan tersebut untuk mengejar agenda mereka sendiri.

Sebelum menjelajahi berbagai sejarah tersebut, di bagian kedua saya beralih untuk memperkenalkan orang-orang Eropa agar kita memikirkan kembali hubungan antara perusahaan-perusahaan dagang dan berbagai usaha agamawan metropolitan yang lebih tua, menyasar pendapat yang kerap dinyatakan bahwa Belanda sekadar memedulikan keuntungan di Asia. Kita sekarang mestinya sudah mengenali bahwa terdapat para cendekiawan Belanda yang berusaha merumuskan bagaimana mereka seharusnya memperlakukan para pemeluk sebuah agama yang mereka yakini sudah mereka pahami sepenuhnya dan bahkan diyakini oleh orang-orang paling optimis di antara mereka bahwa mereka bisa menghapusnya. Tentu saja pengetahuan tidaklah cukup. Keakraban dengan Islam dan rasa jijik yang terlalu sering ditimbulkannya memastikan bahwa hanya sedikit yang dilakukan secara

sistematis untuk meneliti Islam sebagai sebuah tantangan. Momen itu baru datang bersama dengan serangan Inggris pada akhir abad kedelapan belas. Sejak saat itu, pesantren-pesantren yang kian mandiri unjuk gigi di Jawa, dan kaum pembaharu yang radikal di Sumatra mengarahkan api jihad mereka terhadap para penyusup Barat.

Islam pada akhirnya muncul sebagai sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar syahadat yang menyusahkan, yang dipaksakan pada sebuah populasi yang lunak dan pasif oleh campuran orang-orang Arab dan haji yang tak bisa dipilah-pilah. Oleh karena itu, Belanda berusaha menerima Islam dalam cara yang bermanfaat bagi negara kolonial mereka. Namun, berubah-ubahnya pendanaan dan persaingan akademik melemahkan usaha ini dan menimbulkan produksi buku-buku panduan yuridis yang berasal dari arsip, bukannya dari lapangan. Adalah para misionaris yang sekali lagi membuat terobosan penting dalam mengingatkan metropolis mengenai siapa yang merupakan “muslim” dan siapa yang bukan, dengan memilih untuk lebih mendengarkan kata-kata para bangsawan dan orang Arab setempat dibandingkan mereka yang merupakan bagian dari banyak haji dan “pendeta” keliling yang merampas otoritas pihak yang disebut sebelumnya.

Berbagai sejarah salah pengenalan dan salah informasi tersebut, yang diungkapkan secara gamblang oleh pembantaian Cilegon pada 1888, menciptakan karier sang Orientalis muda yang lancang Snouck Hurgronje. Ketika kita mengikuti perjalanan dan pekerjaannya, kita melihat betapa keprihatinan kesarjanaan Protestan menjadi terjerat baik dengan imperatif kolonial maupun berbagai visi reformis mengenai Islam, dalam sebuah rute yang membawa kita dari Mekah ke Jawa dan dari Kairo ke Leiden. Snouck bisa dikatakan lebih menyukai penafsiran elitis para sekutu pentingnya yang muslim ketimbang lawan-lawan mereka yang terlalu populis. Keduanya sepakat bahwa tarekat merupakan sisa-sisa kebodohan masa lalu yang terinspirasi oleh India. Pada akhirnya, Snouck, dengan memanfaatkan sisa-sisa tekstual pengetahuan yang sudah kehilangan kilaunya di Jawa, mendidik lingkaran sarjana-pejabatnya sendiri yang tidak pernah mempertanyakan simpulan guru mereka mengenai persoalan orang-orang Indonesia pada masa lalu, masa kini, atau masa depan. Ironisnya bukti defnitif mengenai hubungan antara Sufsme dan sinkretisme India tidak pernah ditemukan dalam teks-teks yang dibawa pulang Snouck ke Leiden. Namun, ini hanya sedikit berarti karena berbagai perubahan besar segera terjadi di koloni. Belanda pastinya merestui kemunculan berbagai tren dalam wacana Islam yang menyebar dari Kairo dan Singapura yang mendesak orangorang Muslim untuk bereaksi pada kekuasaan kolonial dengan menemukan jalan modern mereka sendiri. Jalan ini akan berupa jalan modern yang tentu saja memungkinkan mereka meraih kembali tempat di meja bangsa-bangsa modern hanya pada masa depan yang agak tidak jelas.

Snouck dan para pengikutnya, Belanda maupun Indonesia, menikmati akses pada eselon tertinggi kekuasaan dan pengaruh kolonial hanya selama orang-orang Muslim modern yang mereka dukung mengesampingkan harapan mereka untuk merdeka. Namun, seiring berlalunya waktu, harapan ini tampak semakin bisa dicapai. Rakyat kolonial yang sudah begitu lama berkolaborasi dengan negara kolonial mulai mengutuknya. Kutukan mereka semakin fasih ketika kaum Nasionalis dan negara sama-sama mulai meninggalkan para penengah Orientalis mereka. Bahkan, kredibilitas (dan oleh karena itu manfaat bersama) para Penasihat mengalami kerusakan yang tak dapat diperbaiki pada pengujung 1920-an. Namun, hanya sedikit kritikus di kedua kubu mempertanyakan simpulan-simpulan historis mereka. Berbagai simpulan itu masih bersama kita sekarang. Pastinya terdapat warna Islam pada berbagai insiden seperti yang terjadi di Garut pada 1919, tetapi hanya sedikit pejabat kolonial yang mengawasi para Suf yang terinspirasi Mekah. Ada bahaya global yang lebih jelas untuk ditangani: kaum Sosialis dan Komunis, yang telah berbaur di Kanton atau Paris. Jin modern sudah keluar dari botol, dan dia bukanlah Suf karena para Suf berada jauh pada masa lalu. Dan, orang bisa memahami apa pun yang dia suka dari masa lalu.

This article is from: