3 minute read

Berbagai Pandangan Fundamental

Next Article
Catatan

Catatan

penguasa sezaman di bandar terdekat, Samudra Pasai. Namun, ada bukti mengenai komunitas-komunitas yang lebih awal jauh ke barat di Lamreh, tempat penanda-penanda makam yang telah terkikis parah menunjukkan adanya hubungan dengan India Selatan dan Tiongkok Selatan.3

Kita tak banyak tahu tentang mekanisme yang mendasari permukiman mereka, apakah mereka adalah perantara yang bekerja untuk perdagangan Tiongkok ataukah untuk raja-raja Chola di India Selatan. Pada awal abad ketiga belas para pedagang rempah Aden, di Yaman, akhirnya menyadari keberadaan orang-orang Muslim yang menghuni sebuah tempat yang sekarang mereka sebut “Jawa”.4 Pada abad keempat belas, para penguasa Samudra Pasai bersaing, atau sebaliknya bersekongkol, dengan para penguasa Benggala memperebutkan hak agar nama mereka disebut dalam khotbahkhotbah Jumat di Calicut, tempat orang-orang Jawi (demikian bangsa-bangsa Asia Tenggara dikenal oleh para penutur bahasa Arab) kerap berjumpa dengan sesama muslim berkebangsaan India, Persia, dan Arab.5

Advertisement

Petunjuk mengenai Jawa Islam muncul dalam berbagai tulisan seorang mistikus kelahiran Aden, ‘Abdallah b. As‘ad al-Yaf‘i (1298–1367), yang mengabdikan hidupnya untuk mencatat pelbagai keajaiban ‘Abd al-Qadir al-Jilani (1077–1166), sang wali dari Bagdad yang dianggap oleh banyak persaudaraan mistis sebagai guru tertinggi. Dikenal sebagai tarekat, pada masa al-Yaf‘i persaudaraan-persaudaraan ini telah tumbuh menjadi berbagai kelompok di bawah kepemimpinan para guru, atau syekh, yang diinisiasi secara khusus, yang mengklaim posisi berurutan dalam sebuah mata rantai silsilah para guru yang terentang tanpa putus hingga Nabi.

Apa pun garis keturunan spiritual mereka, entah Qadiriyyah, yang kembali ke ‘Abd al-Qadir al-Jilani, atau Naqsyabandiyyah dari Baha’ al-Din Naqsyaband (1318–89), tarekat memberikan pengajaran teknik-teknik untuk mengenal Tuhan—entah melalui perenungan, tarian yang spektakuler, atau penyangkalan diri—yang lazim disebut “mengingat” (dzikr). Barangkali salah satu dari bentuk dzikr paling terkenal adalah ritual “Dabus” yang disukai oleh tarekat Rifa‘iyyah, yang mengambil nama Ahmad al-Rifa‘i dari Irak (w. 1182), yaitu para jemaah menusuk-nusukkan jarum ke dada mereka tanpa mengalami luka. Tarekat-tarekat yang lain, seperti berbagai cabang Naqsyabandiyyah, dikenal dengan perenungannya yang hening. Apa pun cara dzikr yang digunakan, diyakini bahwa aktivitas semacam itu, jika dibimbing oleh seorang guru yang berpengetahuan, dapat menghasilkan visi ekstatik dan momen “penyingkapan” tabir misteri yang memisahkan hamba dari Tuhan disisihkan.

Menulis pada abad keempat belas, al-Yaf‘i mengenang bahwa sebagai seorang pemuda di Aden dia mengenal seorang lelaki yang sangat cakap dalam komunikasi mistis semacam itu. Lelaki ini bahkan membaiat al-Yaf‘i

ke dalam persaudaraan Qadiriyyah. Lelaki ini dikenal sebagai Mas‘ud al-Jawi; Mas‘ud si orang Jawi.6 Di sini kita tampaknya memiliki bukti bagi teori A.H. Johns yang terkenal mengenai adanya hubungan antara perdagangan dan penyebaran Islam ke Nusantara di tangan para syekh tarekat. Meskipun karya al-Yaf‘i memainkan peranan dalam penyebaran kisah-kisah ‘Abd al-Qadir al-Jilani di Asia Tenggara, tidak ada ingatan lokal mengenai proses ini, jika memang terjadi di Sumatra dengan cara yang sama seperti di Aden. Sebaliknya, kita kerap mendapati kisah-kisah istana tentang bagaimana cahaya kenabian sampai ke kawasan ini.

Dalam beberapa kasus, seorang penguasa pada zaman leluhur konon berjumpa Nabi dalam mimpi, meminta pengakuan seorang utusan dari Mekah atas perpindahan agamanya dalam mimpi itu, atau pernah dikunjungi oleh seorang guru asing yang mampu menyembuhkan penyakit tertentu. Barangkali contoh yang paling terkenal ditemukan dalam Hikayat Raja Pasai: Raja Merah Silu (yang kemudian menjadi Malik al-Salih yang dikenang dengan batu nisan bertarikh 1297) bermimpi bahwa Nabi meludahi mulutnya. Begitu terbangun dia seketika bisa membaca Al-Quran. Kisah ini sangat mirip ‘Abd al-Qadir yang berbahasa Persia digambarkan fasih bertutur bahasa Arab dalam karya al-Yaf‘i, Khulasat al-Mafakhir (Ringkasan TindakanTindakan yang Membanggakan).7

Lebih jauh, Merah Silu dikisahkan menerima seorang syekh dari Mekah untuk mengesahkan perpindahan agamanya, sebuah kisah yang semula tampaknya menunjuk pada sebentuk hubungan tarekat. Walaupun begitu, penekanan pada pengesahan dari Mekah lebih mencerminkan perhatian istana terhadap genealogi kekuasaan dan kekaguman sejak lama terhadap kota tersebut sebagai kediaman abadi keluarga Nabi. Barangkali yang paling masyhur di antara banyak silsilah kerajaan Melayu adalah Sulalat al-Salatin (Silsilah Para Sultan) milik Kesultanan Malaka, yang memasukkan beberapa bagian dari Hikayat Raja Pasai dan mendahului garis keturunan Muhammad dengan menegaskan bahwa pendiri dinasti memiliki darah Alexander Agung.8

Bagaimanapun kondisi sebelum atau sesudahnya, Islamisasi kian mendekatkan kekuatan berbagai koneksi internasional yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Tiongkok. Meskipun mengklaim sebagai keturunan Alexander dan Pasai, para penguasa Malaka menganggap diri mereka sebagai kerajaan bawahan Ming sampai ditaklukkan oleh Portugis pada 1511. Tentu saja, ada banyak hal yang tetap misterius mengenai Malaka. Sementara itu, Ibn Battuta (1304–77) yang kelahiran Tangiers mengklaim pada sekitar 1345 bahwa penguasa Samudra Pasai menganut mazhab Syaf‘i (sebuah aliran penafsiran Hukum Islam yang dihubungkan dengan Muhammad b. Idris al-Syaf‘i [767–820]). Navigator yang lebih belakangan, Sulayman al-Mahri (bertugas 1500-an), malah meragukan keislaman orang-orang Malaka. Dia

This article is from: